Anda di halaman 1dari 9

Mencari Psikologi Islam[i]:

Beberapa Gagasan dan Pendekatan

Syamsuddin Arif
INSISTS Jakarta dan UNIDA Gontor
Contact: tagesauge@gmail.com / 0811-118-5848 (WA)

P
sikologi sekarang berbeda dengan psikologi dulu. Selama kurang lebih
dua ribu tahun, psikologi merupakan ilmu atau pemikiran (λόγος)
tentang jiwa (ψῡχή). Baru di abad ke-20 hingga sekarang, psikologi

T
diartikan sebagai kajian rapi mengenai perilaku dan olah akal: the systematic
study of behavior and mental processes. 1 Meminjam kata-kata Adrian Furnham
dan David Oakley, psikologi sekarang bertujuan memahami perilaku manusia
AF
serta mekanisme dan proses-proses yang membuat orang bergerak.2 Revolusi
psikologi dimulai oleh ahli fisiologi Jerman bernama Wilhelm Wundt (w. 1920),
yang menolak animisme atau hylozoisme (kepercayaan bahwa semua benda itu
hidup) maupun spiritualisme (aliran yang mengatakan bahwa roh itu ada dan
berdiri sendiri), dan menyimpulkan bahwa gerak tubuh dan perilaku lebih
R

disebabkan oleh mekanisme otak daripada kesadaran jiwa. Bahkan,


menurutnya, hampir semua isi otak atau kesadaran kita terkait dengan dan
atau berakar pada hal-ihwal tubuh kita.3 Sejak itu psikologi modern
D

menganggap rūḥ tidak ada, dan hanya fokus mengkaji tingkah laku manusia
dalam kaitannya dengan otak (brain) atau apa yang diistilahkan sebagai ‘olah
akal’ atau proses mental.

1 Tessie J. Rodriquez, Understanding Human Behavior (Manila: Rex Bookstore, 2009), hlm. 2.
Cf. Gregory J. Feist and Erika L. Rosenberg, Psychology: Perspectives and Connections
(Boston: McGraw-Hill, 2012): “Psychology is the scientific study of human thought and
behavior”.
2 Adrian Furnham dan David Oakley, Why Psychology (London: University College London
(UCL) Press, 1995), hlm. ix: “It aims to understand behavior and the mechanisms and
processes which make people tick.”
3 Wilhelm Wundt, Grundzüge der physiologischen Psychologie (Leipzig: Wilhelm Engelmann,
1874), hlm. 858: “Mit zureichender Sicherheit lässt sich wohl der Satz als begründet ansehen,
dass sich nichts in unserem Bewusstsein ereignet was nicht in bestimmten physiologischen
Vorgängen seine körperliche Grundlage fände = With sufficient certainty, the statement can be
regarded as well-founded that nothing occurs in our consciousness that does not find its
physical basis in certain physiological processes”.

1
Radikalisasi psikologi terjadi di tangan John B. Watson (w. 1958) dan
Burrhus F. Skinner (w. 1990) yang menekankan studi perilaku yang dapat
diamati dan menolak pendekatan introspeksi dan teori-teori tentang pikiran
bawah sadar seperti rumusan Sigmund Freud (w. 1939) beberapa dekade
sebelumnya. Menurut aliran yang disebut Behaviorisme ini, perilaku (manusia
ataupun hewan) merupakan tindak balas tubuh terhadap rangsangan: behavior
is a physiological response to stimuli. Watson terinspirasi oleh Ivan Pavlov (w.
1849), peraih Hadiah Nobel asal Rusia, yang dalam eksperimennya mampu
membuat anjing mengeluarkan air liur hanya dengan rangsangan bunyi bel
yang dipasangkan dengan pemberian makanan. Setelah beberapa kali
mengulang percobaan ini, anjing tersebut terbukti mengeluarkan air liur hanya
dengan mendengar bunyi bel saja. Watson mengadopsi dan mengadaptasi
metode eksperimen Pavlov (yang kemudian dinamakan ‘classical conditioning’)
kepada perilaku manusia dan menerbitkan hasil eksperimennya tentang si
kecil Albert (“Little Albert”) pada tahun 1920, di mana ia ‘berhasil’
mengkondisikan ketakutan pada bayi berumur 11 bulan itu terhadap seekor

T
kelinci putih dengan berulang kali memasangkannya dengan bunyi dentang
keras dari sebatang logam yang dipukul palu. Begitu bangganya Watson
sampai ia pun berseloroh: “Beri aku selusin bayi yang sehat sempurna, dan
AF
biarkan aku sendiri yang membesarkan mereka, dan aku menjamin dapat
memilih dari mereka itu secara acak dan melatihnya untuk menjadi ahli
apapun –dokter, pengacara, saudagar, dan bahkan pengemis dan pencuri,
terlepas dari bakat, naluri, kecenderungan, kemampuan, keahlian dan ras
leluhurnya.”4
R

Karya-karya Watson mempengaruhi Skinner yang terkenal dengan teori


operant conditioning. Menurut Skinner, tingkah laku bukan sekadar respon
terhadap stimulus, tetapi suatu tindakan yang disengaja, di mana kondisi
D

perilaku ditentukan oleh imbalan atau hukuman yang menyertainya.


Contohnya, seorang anak belajar untuk tidak menyentuh knalpot setelah tahu
panasnya membuat kulitnya melepuh. Respon menghindari knalpot disebut
‘perilaku operan’ karena dilakukan dengan sengaja dan kehendak sendiri
(voluntary). Inilah yang membedakan teori ‘pengkondisian operan’ Skinner
dengan teori ‘pengkondisian klasik’ Pavlov. Teori Pavlov mengisyaratkan bahwa
respon anjing mengeluarkan air liur itu merupakan perilaku ‘otomatis’ atau
reflex tak sadar yang muncul akibat rangsangan yang dipasangkan dengan

4 John B. Watson, Behaviorism (Chicago: University of Chicago Press, 1930), hlm. 104: “Give me
a dozen healthy infants, well-formed, and my own specified world to bring them up and I'll
guarantee to take any one at random and train him to become any type of specialist I might
select –doctor, lawyer, merchant-chief, and yes, even beggarman and thief, regardless of his
talents, penchants, tendencies, abilities, vocations, and race of his ancestors”.

2
peristiwa biologis (makan).5 Air liur tidak bisa dikontrol, dan karenanya bukan
perilaku operan yang bisa dikendalikan oleh pelakunya atau orang lain melalui
imbalan dan hukuman. Dalam eksperimennya, Skinner melatih tikus dan
merpati agar menekan tuas untuk mendapatkan hadiah makanan. Setelah
latihan beberapa lama, hewan-hewan tersebut melakukan tindakan yang
diharapkan (conditioned response: R) bahkan tanpa kehadiran imbalan berupa
makanan (unconditioned stimulus: US), jika kaitan antara R dan US telah
diingat.6

Observasi Kritis
Psikologi modern berkembang sangat pesat. Teori-teori baru terus
bermunculan, baik yang merivisi atau memodifikasi teori sebelumnya,
menguatkan ataupun melemahkan bahkan mematahkan teori lainnya. Maka
kritik di kalangan pakar psikologi bukan hal tabu atau aneh. Termasuk di
antaranya adalah Profesor Malik B. Badri7 yang memiliki pandangan cukup
kritis terhadap psikologi modern. Menurutnya, secara umum dapat dikatakan

T
psikologi modern itu adalah produk ilmuwan Barat, yang lahir dari dan untuk
kebutuhan masyarakat Barat yang mayoritas (untuk tidak mengatakan
AF
semuanya) materialistis dan sekuler. Terutama psikologi modern yang
berkembang di Amerika. Itulah sebabnya mengapa ahli-ahli psikologi di Inggris
dan Perancis banyak yang mengeluhkan betapa kentalnya pengaruh kultur
Amerika dalam psikologi kontemporer. Karena buku-buku rujukan psikologi
saat ini kebanyakan dikarang oleh orang-orang Amerika, maka mahasiswa
R

Inggris dan Perancis sesudah lulus pun ikut-ikutan corak dan gaya psikologi
Amerika. Padahal psikologi Amerika itu dasarnya adalah eksperimen terhadap
binatang seperti tikus, monyet, kelinci, burung merpati dan mahasiswa yang
D

kesimpulannya belum tentu berlaku untuk manusia atau konteks budaya di


tempat lain. Orang-orang Rusia pun menolak psikologi Amerika seraya
membangun psikologi mereka sendiri yang lebih sesuai dengan dan untuk
orang Rusia. Mereka berupaya membuat teori-teori baru dan eksperimen

5 Lihat Ivan P. Pavlov, Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological Activity of the
Cerebral Cortex, terj. G.V. Anrep (London: Oxford University Press, 1927).
6 Lihat B.F. Skinner, The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis (New York:
Appleton-Century, 1938) dan Science and Human Behavior (New York: Macmillan, 1953).
7 Profesor Malik Babekir Badri adalah alumnus American University of Beirut (AUB) pada
tahun 1956, meraih doktor dari Universitas Leicester Inggris pada tahun 1961, mengantongi
gelar profesor sejak 1971. Ia menjadi guru besar psikologi di berbagai kampus di Saudi Arabia,
Malaysia dan Turki. Namanya tercatat sebagai Fellow dan Chartered Psychologist, British
Psychological Society, anggota dewan pakar UNESCO, dan pendiri sekaligus presiden
International Association of Muslim Psychologists. Karyanya yang terkenal adalah The
Dilemma of Muslim Psychologists, sebuah buku kecil yang berasal dari makalahnya untuk
pertemuan Ikatan Ahli Ilmu Sosial Muslim Amerika pada tahun 1976 berjudul “Muslim
psychologists in the Lizard’s hole” (psikolog muslim dalam lubang biawak) yang kemudian
diterbitkan di Journal of Muslim Social Scientists, sebelum ia kembangkan menjadi buku.

3
tersendiri, seperti yang dilakukan Ivan Pavlop pada tahun awal abad ke-20.
Kritik terhadap psikologi modern yang sekular juga banyak dilontarkan oleh
kalangan Katolik di Barat. Makanya, bagi Malik Badri, sungguh aneh kalau
orang Islam masih menelan bulat-bulat psikologi dari Barat.8
Ketika ditanya apa yang salah dengan psikologi modern, Malik Badri
mengatakan bahwa psikologi modern dibangun diatas asumsi-asumsi yang
keliru tentang manusia. Apa hakikat manusia? Jawaban kepada pertanyaan
inilah yang mendasari pelbagai teori psikologi tentang kepribadian. Misalnya
teori Sigmund Freud yang mengajarkan bahwa manusia hanyalah hewan yang
bertindak atas dorongan-dorongan seksual-agresif dari bawah-sadarnya. Dari
sini ia membangun psikoterapinya. Cara mengobati orang sakit jiwa ialah
dengan membawa si pasien keluar dari bawah-sadar ke alam sadarnya. Ada
juga John B. Watson, yang menganggap manusia tak lebih dari hewan yang
prilakunya ditentukan sepenuhnya oleh lingkungan. Mereka ini tidak percaya
akan wujudnya jiwa. Maka fokusnya hanya lingkungan: bagaimana mengubah
prilaku manusia dengan mengubah lingkungannya. Apakah Anda kira konsep

T
mereka tentang manusia itu diperoleh dari penelitian di laboratorium? Tidak.
Semua itu sebenarnya hasil reka-reka semata. Maka sebagai Muslim, kita
tentu tidak bisa menerima pandangan-pandangan semacam itu. Konsep Islam
AF
tentang manusia jelas berbeda. Maka psikologi kita pun mestinya berbeda.9
Ia juga menyarankan agar ketika mengajar mahasiswa kita mesti
selektif, pandai memilah dan memilih mana yang berguna dan mana yang
bermasalah. Kita tidak mengatakan semua teori psikologi modern harus
dibuang, tegasnya. Kita hanya menolak, misalnya, asumsi psikologi
R

behavioristik bahwa manusia itu hewan belaka. Tetapi terapi behavioristik


yang menekankan pentingnya imbalan dan ganjaran boleh saja kita terapkan.
Namun, sebagai muslim alangkah baiknya kalau diikuti juga petunjuk dan
D

tuntunan Islam dalam menangani penderita. Di sinilah perlunya psikolog


muslim juga memiliki wawasan keilmuan Islam yang memadai. Kita boleh
menyebutnya sebagai Islamisasi psikologi. Berbicara soal Islamisasi, Malik
Badri lalu menyodorkan dua teori untuk dipertimbangkan. Pertama, yang ia
namakan “Islamisasi tipe A”, adalah bagaimana kita mengubah orang menjadi
muslim yang lebih baik. Yang kedua adalah “Islamisasi tipe B”, yaitu
bagaimana kita menjadikan psikologi sebuah ilmu yang sesuai dan bermanfaat
bagi umat Islam.10

8 Wawancara Malik B. Badri, “Psikologi Modern Tidak Netral”, dalam jurnal Islamia, vol. X,
no.1 (Jan. 2016), hlm. 87–88.
9 Wawancara Malik B. Badri, “Psikologi Modern Tidak Netral”, dalam jurnal Islamia, vol. X,
no.1 (Jan. 2016), hlm. 88–89.
10 Ibid., hlm. 89–90.

4
Membangun psikologi Islam memang tidak semudah membalik telapak
tangan. Islamisasi psikologi memerlukan kerja kolektif yang serius dan perlu
waktu lama. Prosesnya dapat dibagi menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama
yang perlu dilakukan adalah mengkaji secara intensif karya-karya ilmuwan
muslim tentang jiwa manusia dan relevansinya dengan psikologi modern.11
Pendekatannya adalah historis, filologis dan filosofis. Contohnya penelitian
yang dilakukan oleh Fazlur Rahman,12 M. Saghir Masumi13 dan para orientalis
seperti Edwin E. Calverley,14 Duncan B. Macdonald,15 Louis Massignon,16
Susanne Diwald,17 Gerhard Endress,18 Deborah L. Black,19 dan masih banyak
lagi.20 Dalam hal ini, Malik Badri tidak sependapat dengan sikap kalangan
tertentu yang mencemooh kajian khazanah klasik. Sebabnya, kalau kita
perhatikan, orang-orang Barat sendiri selalu kembali kepada pemikir silam
semisal Plato dan Aristoteles serta membanggakan tokoh-tokoh dari kalangan
mereka kepada mahasiswanya. Maka tidak ada salahnya jika kita juga
mengenalkan para ilmuwan Muslim dan kontribusi mereka dalam psikologi
kepada mahasiswa dan masyarakat kita.

T
Tahap berikutnya, setelah kajian-kajian semacam itu dilakukan,
mulailah sedikit demi sedikit membangun psikologi kita sendiri –psikologi yang
AF
11 Lihat ulasan Amber Haque, “Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early
Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists,” dalam Journal of
Religion and Health, vol. 43, no. 4 (2004), hlm 357–377.
12 Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology: An English Translation of Kitāb al-Najāt, Book II,
Chapter VI, withHistorico-Philosophical Notes and Textual Improvements on the Cairo
Edition (Oxford: Oxford University Press, 1952; repr. Hyperion Press, 1981).
R

13 M. Saghir Masumi, Imam Razi’s ‘Ilm al-Akhlāq: English translation of his Kitab al-Nafs wal-
Rūḥ wa Sharḥ Quwāhumā with Introduction and Commentary (New Delhi: Kitab Bhavan,
1978.).
D

14 Edwin E. Calverley, “Doctrines of the Soul (nafs and rūḥ) in Islam”, dalam jurnal The Muslim
World, xxxiii (1943), hlm. 254–264.
15 Duncan B. Macdonald, “The development of the idea of spirit in Islam”, dalam jurnal Archiv
Orientální, ix (1931), hlm. 307–351 = dimuat juga dalam The Muslim World, xxii (1932), hlm.
25–42 dan 153–168.
16 Louis Massignon, “L'idee de l'esprit dans l'Islam“, dalam jurnal Eranos–Jahrbuch, xiii (1945),
hlm. 277–282.
17 Susanne Diwald, “Die Seele und ihre ‘geistigen’ Kräfte im Kitāb Ikhwān aṣ-Ṣafā’,” dalam
Islamic Philosophy and the Classical Tradition, ed. Samuel M. Stern, A. Hourani and Vivian
Brown (Oxford: Oxford University Press, 1972), hlm. 49–61.
18 Gerhard Endress, “Al-Kindî über die Wiedererinnerung der Seele”, dalam jurnal Oriens 34
(1994), hlm. 174–219.
19 Deborah L. Black, “Estimation (Wahm) in Avicenna: The Logical and Psychological
Dimensions”, dalam jurnal Dialogue XXXII (1993), hlm. 219–258 dan ead. “Memory,
Individuals and the Past in Averroes's Psychology,” dalam jurnal Medieval Philosophy and
Theology 5 (1996), hlm. 161–87.
20 Simon Landauer, “Die Psychologie des Ibn Sina”, dalam jurnal Zeitschrift der Deutschen
Morgenländischen Gesellschaft (ZDMG), xxix (1875), hlm. 335–418 = Avicenna's offering to the
Prince, terj. dan ed. A.E. van Dyck (Verona, 1906).

5
berangkat dari kebutuhan dan worldview kita sebagai Muslim.21 Dan ini perlu
dilakukan dengan sikap “seolah-olah psikologi Barat itu tidak ada sama sekali”,
kata Malik Badri: forgetting the Western psychology, as if there is no psychology
at all! Sesudah itu, barulah kita coba menggagas teori-teori dan metode-
metode baru untuk riset dan terapi. Jadi, psikologi Islam itu bukan sekadar
justifikasi ilmu Barat dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis alias “ayatisasi”
yang sifatnya apologetik belaka, tetapi merupakan proyek serius yang
menghendaki upaya bersama dan berkelanjutan dengan segenap waktu dan
pikiran.

Tiga Corak Pendekatan


Sejarah keilmuan Islam yang gemilang mencatat tiga corak pendekatan dalam
memahami jiwa manusia. Pertama, pendekatan Qur’ani-Nabawi dimana jiwa
manusia dipahami dengan merujuk pada keterangan kitab suci al-Qur’an dan
hadis-hadis Rasulullah saw. Perbincangannya berkisar sifat-sifat universal

T
manusia (syahwat kepada lawan jenis, properti, uang, fasilitas mewah, takut
mati, takut kelaparan, pongah, pelit, korup, gelisah, mudah frustrasi), sebab
maupun akibatnya (lupa kepada Allah, kurang berzikir, ikut petunjuk syaitan,
AF
tenggelam dalam hawa nafsu, hidup merana dan mati menyesal, di akhirat
masuk neraka), dan beberapa karakter jiwa (nafs): yang selalu menyuruh
berbuat jahat (ammārah bis-sū’), yang senantiasa mengecam (al-lawwāmah)
dan yang tenang damai (al-muṭma’innah). Perspektif ini diwakili oleh tokoh-
tokoh semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350). Dalam kitabnya ar-Rūḥ,
R

misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh manusia yang


memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Roh orang mati itu
wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur.22
D

Kedua, pendekatan Falsafi dimana pelbagai masalah jiwa dibahas


menurut pandangan para filsuf Yunani kuno. Mazhab falsafi ini mulai
berkembang pada abad ke-10 Masehi, menyusul penerjemahan karya-karya
ilmuwan Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Para psikolog Muslim pada masa
itu banyak dipengaruhi oleh teori-teori jiwa Plato (Platonisme), Aristoteles

21 Untuk uraian mengenai worldview Islam, lihat S.M. Naquib al-Attas, Prolegomena to the
Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of
Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC),
1995).
22 Lihat Y. Tzvi Langermann, “Ibn al-Qayyim’s kitāb al-Rūḥ: Some Literary Aspects”, dalam
Islamic Theology, Philosophy and Law: Debating Ibn Taymiyya and Ibn Qayyim al-Jawziyya,
ed. Birgit Krawietz dan Georges Tamer (Berlin: Walter de Gruyter, 2013), hlm. 125–145; cf.
Geneviève Gobillot, “Corps (badan), âme (nafs) et esprit (rūḥ) selon Ibn Qayyim al-Ğawziyyah
à travers son Kitab al-Rūḥ: Entre théologie rationelle et pensée mystique”, dalam jurnal
Oriente Moderno, vol. 90, no. 1 (2010), hlm. 229-258.

6
(Aristotelianisme), bahkan Hermetisme (Kebatinan).23 Tak mengherankan,
sebab Aristoteles mengupas aneka persoalan jiwa manusia dengan sangat logis
dan terperinci. Teori-teorinya tertuang dalam bukunya De Anima (tentang
hakikat jiwa dan aneka ragam kekuatannya) dan Parva Naturalia (risalah-
risalah pendek mengenai persepsi inderawi dan hubungannya dengan jiwa,
daya hapal dan ingatan, hakikat tidur dan mimpi, firasat dan ramalan).24
Adapun Plato ialah filsuf yang pertama kali melontarkan teori tiga aspek jiwa
manusia: rasional (berdaya pikir), animal (hewani), dan vegetatif (berdaya
tumbuh).25
Hampir semua filsuf Muslim yang menulis karya tentang jiwa bertolak
dari pandangan Aristoteles. Mulai dari Miskawayh yang menulis kitab Tahdzīb
al-Akhlāq (‘Pembentukan Karakter’)26 dan Abu Bakr ar-Rāzī pengarang kitab
at-Ṭibb ar-Rūḥānī (‘Penyembuhan Jiwa’)27 hingga Ibn Rusyd28 dan Abū Barakāt

23

T
Charles Genequand, “Platonism and Hermetism in al-Kindi‘s fī al-Nafs”, dalam Zeitschrift für
Geschichte der arabisch-islamischen Wissenschaften, iv (1987-1978), hlm. 1–18; dan Cristina
D’Ancona, “La dottrina neoplatonica dell’anima nella filosofia islamica: un esempio in al-
AF
Kindi,” dalam Actes del Simposi Internacional de Filosofia de l’Edat Mitjana, El pensament
antropològic medieval en els àmbits islàmic, hebreu i cristià, Vic-Gerona, 11–16 d’abril de
1993, ed. P.Lorent et al. (Vic-Gerona, 1996), hlm. 91–96 = D'Ancona Costa, Cristina,
“Aristotelian and Neoplatonic elements in Kindî's Doctrine of Knowledge.” American Catholic
Philosophical Quarterly LXXIII, 9–35.
24 Franz Brentano, The Psychology of Aristotle, terj. Rolf George (Berkeley: University of
California Press, 1977); Herbert Granger, Aristotle’s Idea of the Soul (Boston: Kluwer
R

Academic Press, 1996); Michael V. Wedin, Mind and Imagination in Aristotle (New Haven:
Yale University Press, 1988); Deborah Modrak, Aristotle: The Power of Perception (Chicago:
The University of Chicago Press, 1987).
25 J.L. Stocks, “Plato and the Tripartite Soul”, dalam jurnal Mind, vol. 24, no. 94 (1915), hlm.
D

207–221; T.M. Robinson, Plato’s Psychology (Toronto: University of Toronto Press, 1970); A.-
Ed. Chaignet, De la psychologie de Platon (Brussells: Culture et Civilisation, 1966); Essays on
Plato’s Psychology, ed. Ellen Wagner (Oxford: Lexington Books, 2001); dan J. Burnet, “The
Socratic doctrine of the soul”, dalam Proceedings of the British Academy, 7 (1916), hlm. 235–
259.
26 Peter Adamson, “Miskawayh’s Psychology” dalam Classical Arabic Philosophy: Sources and
Reception, ed. Peter Adamson (London: The Warburg Institute, 2007), hlm. 39–54. Cf. M.
Arkoun, Traité d’éthique (Tahḏīb al-aẖlāq wa taṭhīr al-aʿrāq) de Miskawayh: traduction
française avec introduction et notes (Damaskus: Institut français de Damas, 1988).
27 Abu Bakr ar-Razi, Opera Philosophica, ed. Paul Kraus (Kairo, t.p., 1939); Arthur J. Arberry,
The Spiritual Physick of Rhazes (London: John Murray 1950), repr. as Razi’s Traditional
Psychology (Damascus: ta,p. dan t.t.);.Lenn E. Goodman, “Razi’s myth of the fall of the soul:
Its function in his philosophy”, dalam Essays on Islamic Philosophy and Science, ed. George F.
Hourani (Albany: SUNY Press, 1975), 25-40.
28 Averroes, Epitome of Parva Naturalia, terj. Harry Blumberg (Cambridge, MA: The Mediaevel
Academy of America, 1961) = Ibn Rusyd, Talkhīṣ Kitāb an-Nafs, Aḥmad Fuʼād Ahwānī (Kairo,
1950); Averrois Cordubensis: Commentarium Magnum in Aristoteles De Anima Libros, ed. F.
Stuart Crawford (Cambridge, MA: The Mediaeval Academy of America, 1953); Averroës:
Middle Commentary on Aristotle's De anima, terj. Ivry, Alfred L. Ivry (Provo, Utah: Brigham
Young University Press, 2002).

7
al-Baghdādī.29 Menurut mereka, jiwa manusia adalah penyebab kehidupan.
Tanpa jiwa, manusia tak berarti apa-apa. Kecuali ar-Rāzī, semua filsuf percaya
bahwa jiwa manusia itu tunggal dan sendiri. Karenanya mereka menolak teori
transmigrasi jiwa atau tanāsukh dari satu tubuh ke tubuh yang lain, seperti
dalam kepercayaan agama tertentu. Dalam salah satu kitabnya, Ibn Sīnā
menegaskan pentingnya penyucian jiwa dengan ibadah seperti shalat dan
puasa. Sebab, menurutnya, jiwa yang bersih akan mampu menangkap sinyal-
sinyal dari alam ghaib yang dipancarkan melalui Akal Suci (al-‘aql al-qudsī).
Kemampuan semacam inilah yang dimiliki oleh para nabi, tambahnya. Jiwa
para nabi itu begitu bersih dan kuat sehingga mereka mampu menerima
intuisi, ilham dan wahyu ilahi.30
Ketiga ialah pendekatan Sufi di mana penjelasan tentang jiwa manusia
didasarkan pada pengalaman spiritual ahli-ahli tasawuf. Dibandingkan dengan
psikologi para filsuf yang terkesan sangat teoritis, apa yang ditawarkan para
Sufi lebih praktis dan eksperimental. Termasuk dalam aliran ini kitab ar-
Riyāḍah wa Adab an-Nafs (‘latihan dan pendidikan jiwa’) karya al-Ḥakīm at-

T
Tirmidzī (w. 898) di mana beliau terangkan kiat-kiat mendisiplinkan diri dan
membentuk kepribadian luhur.31 Menurut Abū Ṭālib al-Makkī (w. 996), jiwa
manusia sebagaimana tubuhnya membutuhkan makanan yang baik, bersih,
AF
dan bergizi. Jiwa yang tidak cukup makan pasti lemah dan mudah sakit.
Semua itu diterangkan beliau dalam kitab Qūt al-Qulūb (‘nutrisi hati’).32
Tokoh penting lainnya ialah Imam Abu Hamid al-Ghazālī (w. 1111) yang
menguraikan dengan sangat memukau aneka penyakit jiwa dan metode
penyembuhannya. Penyakit yang diderita manusia ada dua jenis, ujarnya, fisik
R

dan psikis. Kebanyakan kita sangat memperhatikan kesehatan tubuh tetapi


jarang peduli dengan kesehatan jiwa. Bagaimana cara mengobati penyakit-
penyakit jiwa seperti egoisme, serakah, phobia, iri hati, depresi, waswas, dan
D

sebagainya beliau jelaskan dalam kitabnya yang berjudul Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn.
Di kitab ini juga diuraikannya prosedur latihan rohani dan pembentukan
karakter, bagaimana menaklukkan hawa nafsu dan membersihkan diri dari
segala kotoran batin agar manusia bisa hidup sentosa dan bahagia.33

29 Jari Kaukua, “Self, Agent, Soul: Abū al-Barakāt al-Baghdādī’s Critical Reception of
Avicennian Psychology”, dalam Subjectivity and Selfhood in Medieval and Early Modern
Philosophy, ed. J. Kaukua dan T. Ekenberg (Cham: Springer,2016), hlm. 75-89.
30 Lihat Ibn Sīnā, kitāb an-Nafs, ed. Fazlur Rahman, hlm 248–250 dan F. Rahman Avicenna’s
Psychology, hlm 36–37.
31 Cf. A Treatise on the Heart dalam Three Early Sufi Texts, ed. Nicolas Heer dan Kenneth
Honerkamp (Louisville, KY: Vons Vitae, 2003).
32 Saeko Yazaki, Islamic Mysticism and Abū Ṭālib al-Makkī: The Role of the Heart (London:
Routledge, 2012). Cf. Die Nahrung der Herzen: Abu Ṭālib al-Makkis Qūt al-qulūb, terj.
Richard Gramlich, 4 jilid (Stuttgart: Franz Steiner, 1995).
33 Lihat Al-Ghazali on Disciplining the soul: Kitab riyāḍat al-nafs; & on Breaking the two
desires: Kitab kasr al-shahwatayn: books XXII and XXIII of the Revival of the religious sciences:

8
Di abad modern, upaya-upaya untuk menyelami lautan ilmu psikologi
Islam dan “menjual mutiara-mutiara”nya brilian masih terkendala oleh
beberapa hal. Pertama, adanya sikap fanatik sebagian besar ilmuwan muslim
kepada segala hal yang dilakukan oleh orang Barat, yang mungkin disebabkan
oleh perasaan rendah diri (minderwürdigkeit) yang dibarengi oleh adorasi dan
idolisasi tokoh-tokoh keilmuan Barat. Kedua, sikap tergesa-gesa menolak dan
atau menilai buruk (prejudice) bahkan antipati terhadap hal-hal yang berbau
agama dengan alasan tidak ilmiah (unscientific). Sebagian bahkan menganggap
psikologi Islam itu pseudo-science yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini bisa jadi karena sebab ketiga, yaitu minimnya pengetahuan agama dan
ketidakmampuan merujuk sumber-sumber primer dalam bahasa Arab. Jika
para kyai dan ulama tidak menguasai psikologi, para psikolog muslim
umumnya masih terkendala oleh bahasa Arab yang merupakan conditio sine
qua non (syarat mutlak) untuk bisa menjelajahi dan menggali literatur
psikologi Islam yang sangat kaya namun belum terjamah itu. Walhasil, psikolog
muslim tinggal memilih mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow,

T
Ellis, dan lain-lain atau belajar dari para ahli psikologi Islam. Wallāhu a‘lam.
AF
R
D

Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn, terj. Timothy J. Winter, 2nd new ed. (Cambridge, UK: Islamic Texts Society,
1995); cf. Abstinence in Islam: Curbing the Two Appetites by al-Ghazali, terj. Caesar E. Farah
(Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1992).

Anda mungkin juga menyukai