Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial terdiri dari laki-laki dan perempuan yang

hidup bersama-sama di masyarakat dan berinteraksi satu sama lain karena

kepentingan yang sama. Oleh karena itu, pergaulan antara laki-laki dan

perempuan di tengah masyarakat merupakan suatu yang tidak dapat di hindari.Ini

merupakan sebuah realitas dan tidak dapat pula di pungkiri bahwa ketika terjadi

interaksi, sering kali muncul rasa suka atau senang satu sama lain. Namun naluri

ini sering disalahgunakan, dengan mengatasnamakan kebebasan, hubungan

lakilaki dan perempuan yang semula merupakan hubungan tolong-menolong dan

kerja sama antara sesama manusia berubah menjadi hubungan “jinsiyah” atau

hubungan kejantanan dan kebetinaan.

Muncul pengertian bahwa hubungan pria dan wanita hanyalah sebatas

hubungan atas dasar kecintaan yang sebenarnya untuk memuaskan hawa nafsu

(seksualitas) semata. Untuk mewujudkan itu, maka diciptakanlah sarana-sarana

yang dapat membangkitkan naluri seksual, melalui media masa (media cetak

maupun media elektronik) yang berpengaruh terhadap munculnya naluri tersebut.

Bisa dilihat bagaimana tayangan iklan, mode busana, film dan sinetron yang

semuanya menggambarkan perilaku pergaulan bebas muda-mudi dan secara jelas

menjurus ke arah pornografi dan pornoaksi. Sementara di masyarakat, pacaran

dan segala bentuk aktivitas (seperti duduk berduaan berbicara sambil berpegangan
tangan, jalan berdua, berciuman dan seterusnya) di anggap merupakan hal yang

biasa dan sesuai dengan trend masa kini.

Sebaliknya orang yang membatasi diri dalam bergaul dianggap kuper,

kuno, tidak normal dan seterusnya. Akibatnya, terjadi kerusakan akhlak dan

penurunan moral yang cukup parah dan sangat memprihatinkan terjadi di dalam

masyarakat. Fenomena kumpul kebo dan pelacuran juga sampai pada dunia

pendidikan (munculnya istilah ayam kampus, ayam abu-abu dan ABG pelajar

SLTP) hingga pada perilaku seks menyimpang (lesbian dan homo) yang

merupakan gejala patologi sosial yang ada di masyarakat, menggerogoti dan

menghancurkan sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Kasus hamil

diluar nikah, pelecehan seksual, aborsi, penyakit kelamin dan yang paling parah

penyakit HIV/AIDS, merupakan bukti yang menunjukan bahayanya masalah ini

bagi tatanan sosial dalam masyarakat.

Pada masa lalu eksploitasi terhadap wanita di kenal sebagai sebuah

fenomena. Seiring perkembangan pengetahuan, diketahui bahwa ada

bentukbentuk pekerja wanita yang bisa dikategorikan sebagai pekerjaan yang

mudah dicari dan banyak menghasilkan keuntungan yang sekaligus sebagai

pekerjaan yang tercela bagi seorang wanita. Satu bentuk pekerjaan tersebut yaitu

pekerjaan yang terjun dalam dunia pelacuran. Tidak bisa ditolerir tindakan yang

melibatkan wanita-wanita dalam pekerjaan yang tercela ini. Mereka melakukan

pekerjaan tercela ini atau terjerumus ke dunia pelacuran ini karena adanya faktor

ketidak mampuan keluarga dan ketidakmampuan masyarakat melindungi mereka

dan lainlain. Faktor budaya dan pemahaman agama yang sempit yang
menempatkan wanita dalam posisi inferior dan pria pada posisi superior

merupakan juga salah satu penyebabnya. Sayangnya persoalan ini jarang sekali

diangkat sebagai suatu prioritas utama. Hal yang sama, juga terjadi dalam hal

peningkatan kesehatan terhadap wanita, maupun pekerjaan wanita.

Pelacuran atau yang juga sering disebut prostitusi (berasal dari bahasa

Latin pro-stituere) secara sederhana dapat diartikan “membiarkan diri melakukan

persundalan, perzinaan, percabulan, dan pergendakan”. Pelacuran adalah

penyerahan diri secara badaniah seorang wanita untuk pemuasan laki-laki

siapapun yang menginginkannya dengan pembayaran. Pekerja seks komersial dan

pelacuran pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, hal tersebut dapat dilihat dari

pengertian pelacuran yang dikemukakan oleh Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar

(1984:10-11) bahwa:

“Prostitusi atau pelacuran adalah suatu perbuatan seorang wanita

memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk

memperoleh bayaran dari laki-laki yang datang dan wanita tersebut tidak ada

pencaharian yang lain kecuali yang diperolehnya dari perhubungan

sebentar-sebentar dengan banyak orang”.

Pelacuran adalah pekerjaan paling tua di dunia dan fungsional dalam

sistem sosial masyarakat selama berabad-abad. Sebenarnya, pelacuran dan

pornografi merupakan eksploitasi seksual dan komersial atas kaum perempuan,

merendahkan harkat dan martabat perempuan. Ini sebenarnya justru menjadi

pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Di beberapa negara, undang-undang anti


pelacuran telah ditetapkan, karena dianggap sebagai salah satu eksploitasi seksual

dan komersial atas perempuan.

Exploitation de’l homme par l’homme adalah satu kata yang dibenci oleh

setiap orang yang cinta akan kemerdekaan, namun, tanpa disadari eksploitasi

manusia atas manusia itu dilaksanakan secara bersama-sama. Laki-laki

mengeksploitasi perempuan, dan perempuan mengeksploitasi rekan sejawatnya.

Mengapa perempuan paling banyak dieksploitasi? Ada suatu budaya yang

sengaja dihembuskan sehingga perempuan adalah merupakan sesuatu obyek yang

menarik. Budaya salah kaprah dengan dibungkus modernisasi itulah yang

berhembus sehingga membuat perempuan ikut mengeksploitasi rekan sejenisnya.

Memang hanya laki-laki yang tidak bertanggungjawab yang melakukan ekploitasi

ini, akan tetapi selanjutnya perempuanlah yang asyik mengeksploitasi dirinya

sendiri.

Bergantung kepada "kelas"-nya, maka para pelacur punya "daerah operasi"

yang berbeda. Di antara mereka ada yang beroperasi di jalan-jalan ramai (itulah:

"lubang jalan-jalan"), ada yang di kompleks lokalisasi. Ada yang menunggu

panggilan di rumah tertentu (karena dipanggil itulah, maka ada istilah “call girl” --

wanita panggilan, atau bisa juga disebut “taxi girl”, karena datangnya dengan

berkendaraan taksi). Dan mereka melakukan itu tentu memiliki sebab atau alasan

kuat yang mendorong mereka untuk tetap berkerja pada pekerjaan yang menurut

sebagian orang adalah pekerjaan yang tidak baik atau benar baik secara moralitas

dipandang dari norma masyarakat yang berlaku dan norma agama.


Pelacuran diciptakan oleh struktur masyarakat, yang mendesak kaum

perempuan maupun lelaki, untuk memilih pekerjaan ini sebagai jalan keluar dari

kesulitan ekonomi yang dihadapinya. Selain itu pelacuran disebabkan oleh

rendahnya pendidikan dan peluang kerja.

Menurut Alam A. S. (I Pebrianti 2014). Upaya mencari penghasilan untuk

sekarang ini tidaklah mudah karena lapangan kerja yang sangat terbatas

disamping tingkat pendidikan yang sangant rendah. Dengan tingkat pendidikan

yang rendah dan tidak adanya keterampilan yang mereka miliki menyebabkan

mereka mencari jenis pekerjaan yang dengan cepat menghasilkan uang. Salah satu

jalan pintas dalam perjalanan hidup seorang perempuan akibat cobaan-cobaan

hidup yang berat dirasakan, perempuan tersebut terjun dalam dunia pelacuran.

Melacur didefinisikan oleh Perkins dan Bennet sebagai tindakan transaksi

bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat

kontrak jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan

kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam. Selain itu, dengan perspektif

ekonomi Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa pelacuran dapat diartikan sebagai

suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan

perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah (Hidayah, 2016).

Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah salah satu jenis profesi yang

mengalami konstruksi sosial buruk dan penuh stigma sampai dikategorikan

sebagai sampah masyarakat (Destrianti & Harnani, 2018). Banyak istilah yang

dilekatkan kepada perempuan yang menyerahkan dirinya kepada laki-laki untuk

kepentingan seks. Mulai dari Pelacur, Pekerja Seks Komersial (PSK), Sundal,
Wanita Tuna Susila (WTS) dan Lonte (Kenedi, 2017; Koentjoro & Sugihastuti,

1999). Namun tetap saja, dalam istilah Syam, identitas PSK adalah identitas yang

tidak transparan atau hidden identity (Syuhudi, 2019). Tindakan melacur dianggap

hina karena yang dilakukan menyimpang dari norma agama, moral dan adat, tapi

di balik itu semua PSK masih meyakini agama sebagai tuntunan hidup

(Hidayatulloh, 2008; Jauhari, 2020).

Agama hadir di kalangan PSK berbeda dengan agama yang hadir di

kalangan kyai. Agama hadir dalam diri PSK hanya ketika waktu tertentu, yaitu di

saat-saat sedang merenung atau dalam kesendirian. Jika Tuhan terasa hadir dalam

diri PSK maka seluruh bayangan hidupnya terasa berada dalam kesalahan,

sebaliknya jika Tuhan telah pergi maka PSK akan kembali dalam kehidupan

semula (Syam, 2011). Pengertian agama dalam konteks ini lebih dekat kepada

pernyataan bahwa individu atau kelompok masyarakat yang meyakini bahwa

Tuhan itu ada ataupun mengakui adanya dzat yang mempunyai kekuatan

supranatural, maka ia sudah dapat dikatakan masyarakat beragama (Khodijah,

2014). Ketika perintah agama dilaksanakan oleh manusia maka agama mengalami

pergeseran makna. Pergeseran tersebut terjadi karena agama bersentuhan dengan

kehidupan manusia, seperti kebiasaan, gaya hidup, tingkat kebutuhan ekonomi

dan lain-lain. Begitu juga yang terjadi pada PSK yang meyakini agama dan

mengetahui bahwa perbuatan melacur yang dilakukan adalah dosa yang dapat

mengantar ke neraka, tapi PSK masih melacur, maka dalam konteks ini terjadi

proses pergeseran makna yang disebut dengan rasionalisasi. Fenomena

keberagamaan manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Fenomena


tersebut ditandai dengan normativitas ajaran wahyu, tapi dapat juga dilihat dari

historisitas pemahaman dan interpretasi individu atau kelompok terhadap norma-

norma ajaran agama yang dipeluknya. Selain itu dapat juga dilihat dari

bentukbentuk amalan dan praktik-praktik ajaran agama dalam kehidupan sehari-

hari (Abdullah, 1999).

Pembicaraan mengenai komersialisasi jasa seks di Indonesia tidak bisa

dilepaskan dari berbagai istilah yang saling terkait, misalnya prostitusi, pelacuran

dan industry seks komersial. Pelacuran merupakan praktek penjualan jasa seksual

oleh seseorang terhadap pengguna jasa seks. Penyedia pelayanan seksual tersebut

umumnya disebut pelacur, Wanita Tuna Susila (WTS) atau Pekerja Seks

Komersial (PSK). Umumnya WTS atau pekeja seks perempuan didefinisikan

sebagai perempuan yang memberikan jasa pelayanan seksual atas permintaan dan

bertujuan memuaskan pemakai dengan imbalan uang atau barang. Meskipun

banyak orang memandang istilah-istilah WTS atau PSK yang Selain PSK, pihak–

pihak yang terlibat dalam pelacuran adalah konsumen, germo/mucikari, dan

perantara. Konsumen adalah pihak yang menggunakan jasa seks untuk

memperoleh kepuasan seksual dari seorang pekerja seks dengan memberikan

sejumlah imbalan materi. Germo/mucikari adalah seseorang yang mendapatkan

keuntungan materi dari transaksi seks melalui keterlibatannya secara sebagian

atau sepenuhnya dalam mengadakan, memfasilitasi, dan mengendalikan

pengelolaan pelacuran, termasuk penyediaan tempat untuk berlangsungnya

transaksi seksual, mengawasi pelaksanaan dan atau perekrutan, menyediakan

makan dan perlindungan, atau membuat keputusan atas mobilisasi kerja pekerja
seks. Sementara itu, perantara bisa berperan sebagai calo atau perekrut yang

mendapatkan imbalan dengan berperan menghubungkan antara konsumen dengan

pekerja seks atau dengan mucikari yang mengelola praktek prostitusi.

Perantara juga mungkin mendapatkan imbalan dari germo/pengelola

pelacuran atas keterlibatannya dalam mencari, merekrut, membujuk, atau

membawa perempuan untuk dijadikan pekerja seks di lokasi prostitusi. Pelacuran

memiliki beragam bentuk yang tumbuh dan berkembang sesuai perkembangan

jaman. Ada pelacuran yang prakteknya dapat didentifikasi dengan mudah, seperti

halnya di rumah bordil/lokalisasi, kawasan remang-remang (jalur lalu lintas jarak

jauh) atau di antara pelacur jalanan yang berkeliaran di tempat-tempat terbuka

untuk menjajakan dirinya. Ada pula praktek pelacuran yang terselubung yang

tidak mudah dikenali karena pelakunya berkedok menjalankan aktivitas non-

prostitusi. Secara umum, Surtees (2004) mengkategorisasi tipe pelacuran di

Indonesia ke dalam 2 kelompok yaitu: tipe tradisional (umum) dan tipe non-

tradisional. Yang termasuk dalam pelacuran tipe umum adalah pelacuran yang

sebagian besar dilakukan di wilayah lokalisasi yang dilakukan oleh perempuan

untuk tujuan mendapatkan uang.

Dengan kata lain dalam kelompok ini, hanya uang yang menjadi alat

pembayaran. Para penjual jasa seks di kelompok ini umumnya berasal dari

keluarga miskin, memiliki tingkat pendidikan rendah dan menjadi pekerja seks

karena kesulitan ekonomi. Sementara itu pelacuran non-tradisonal umumnya

dilakukan oleh mereka yang berlatar belakang social ekonomi menengah ke atas

dan pendidikan tinggi di kota-kota besar. Termasuk di dalamnya praktek


pelacuran yang dilakukan oleh para pelajar atau mahasiswa (dalam modus pecun,

perek, wanita panggilan) dan para profesional atau mereka yang sudah memiliki

pekerjaan tetap (seperti pada kasus Sekretaris Plus). Menurut Surtees (2004),

berbeda dengan selain motif ekonomi, pekerja seks non-tradisional ini menjadi

pekerja seks untuk tujuan petualangan dan eksperimen. Di samping menerima

pembayaran dalam bentuk uang, tidak jarang mereka juga menerima balas jasa

berupa barang-barang mewah/mahal seperti telepon genggam, pakaian, parfum,

tiket masuk klub bergengsi, dan sebagainya. Umumnya mereka beroperasi di

salon kecantikan, spa, karaoke, mall, hotel, dan sebagainya.

Pelacuran menyimpan kompleksitas yang tidak mudah diurai dan

memendam persoalan dilematis yang gawat. Tidak ada orang yang benar-benar

bercita-cita dan memilih menjadi pelacur, meski juga tidak jarang yang gampang

menjalani pekerjaan sebagai PSK secara sadar dan profesional karena desakan

hidup yang tidak terhindarkan. Tetapi tidak gampang menemukan jawaban yang

sebenarnya mengapa seseorang menjadi PSK.

Menghapuskan sama sekali kegiatan para PSK seperti rencana penutupan

lokalisasi atau operasi penertiban tampaknya tidak mungkin. Justru ini akan

menimbulkan dampak lain dan tidak menyelesaikan masalah. Barangkali yang

paling mungkin adalah tindakan agar dampak negatif yang ditimbulkannya tidak

meluas ke masyarakat, misalnya dampak kesehatan yaitu munculnya PMS

termasuk HIV-AIDS. Untuk itu perlu dipahami latar belakang dan motivasi

mereka menjadi PSK; apakah oleh faktor ekonomis, faktor psikologis, biologis,

bahkan mungkin politis.


Penulis mencoba meneliti permasalahan mengenai pelacuran dari sudut

pandang ilmu sosial dengan lebih memfokuskan pada masalah kehidupan seorang

wanita yang menggeluti pekerjaan menjadi pekerja seks komersial dan mencoba

mengambil judul penelitian mengenai: Netralisasi Perempuan Pekerja Seks

Komersial (Studi Pada Perempuan X dan Y Pekerja Seks Komersial).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis dapat

mengidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut:

 Bagaimana netralisasi Perempuan Pekerja Seks Komersial ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yaitu:

 Untuk mengetahui netralisasi perempuan perkerja seks komersial ?

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis.

Secara teoritis manfaat dari penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan bagi

mahasiswa maupun masyarakat untuk mengetahui ”bagaimana netralisasi

perempuan perkerja seks komersial”.

2. Manfaat Akademis

Secara akademis penelitian ini dapat menjadi bahan refrensi peneliti lain

dalam meneliti kasus yang sama.


3. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti:

1. Menambah wawasan dalam hal penelitian.

2. Memahami sebuah permasalahan sosial yang ditinjau dari ilmu

pengetahuan.

3. Menumbuhkembangkan rasa peduli terhadap para perilaku menyimpang

khususnya para pekerja seks komersial.

b. Bagi pekerja seks komersial:

Penelitian ini diharapkan dapat menemukan akar permasalahan yang

terjadi pada pekerja seks komersial sehingga mereka dapat kembali di tengah-

tengah masyarakat dengan peran sebagaimana mestinya.


BAB II

STUDI KEPUSTAKAN DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Mengenai Perilaku Menyimpang

Perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak sesuai dengan

normanorma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Perilaku

menyimpang dapat terjadi pada manusia muda, dewasa, atau tua baik laki-laki

maupun perempuan. Perilaku menyimpang ini tidak mengenal pangkat atau

jabatan dan tidak juga tidak mengenal waktu dan tempat. Penyimpangan bisa

terjadi dalam skala kecil maupun skala besar. Menurut Bruce J Cohen (dalam

buku terjemahan Sahat Simamora), Perilaku menyimpang didefinisikan sebagai

perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat atau

kelompok tertentu dalam masyarakat. Batasan perilaku menyimpang ditentukan

oleh normanorma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Suatu tindakan

yang mungkin pantas dan dapat diterima di satu tempat mungkin tidak pantas

dilakukan di tempat yang lain. Menurut Robert M.Z Lawang, perilaku

menyimpang adalah suatu tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang

berlaku dalam suatu system social.

Perilaku menyimpang adalah perilaku dari para warga masyarakat yang di

anggap tidak sesuai dengan kebiasaan , tata aturan atau norma sosial yang berlaku.

secara sederhana kita memang dapat mengatakan bahwa seseorang dapat

berprilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat

(minimal di suatu kelompok atau komunitas tertentu) perilaku atau tindakan


tersebut di luar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma sosial yang

berlaku.

Secara umum, yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang, antara

lain:

a. Tindakan yang noncomform, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan

nilainilai atau norma-norma yang ada.

b. Tindakan yang antisosial atau asosial, yaitu tindakan yang melawan

kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum.

c. Tindakan-tindakan kriminal, yaitu tindakan yang nyata-nyata telah

melanggar aturan-aturan hukum tertulis dan mengacam jiwa atau

kesalamatan orang lain.

Definisi perilaku menyimpang yang di kemukakan oleh Clinard & meier dalam J.

Dwi Narwoko & Bagong Suyanto (2011:103-105) didefinisakan secara berbeda

berdasarka empat sudut pandang. Pertama Definisi secara statistikal adalah segala

perilaku yang bertolak dari suatu tindakan yang bukan rata-rata atau perilaku yang

jarang dan tidak sering dilakukan. Pendekatan ini berasumsi, bahwa sebagian

besar masyarakat di anggap melakukan cara-cara dan tindakan yang benar.

Kedua, Secara absolut atau mutlak. Definisi perilaku menyimpang yang

berasal dari kaum absolutis ini berangkat dari aturan-aturan sosial yang dianggap

sebagai sesuatu yang “mutlak” atau jelas dan nyata, sudah ada sejak dulu,serta

berlaku tanpa terkecuali, untuk semua warga masyarakat.kelompok absolutis

berasumsi, bahwa aturan-aturan dasar dari suatu masyarakat adalah jelas dan
anggota-anggotanya harus menyetujui tentang apa yang disebut sebagai

menyimpang dan bukan.

Ketiga, secara reaksi. Perilaku menyimpang menurut kaum reaktivis bila

berkenaan dengan reaksi masyarakat atau agen kontrol sosial terhadap tindakan

yang dilakukan seseorang. Artinya, apabila ada reaksi dari masyarakat atau agen

kontrol sosial dan kemudian mereka memberi capatau tanda (lebeling) terhadap si

pelaku, maka perilaku itu telah di cap menyimpang, demikian pula si pelaku juga

dikatakan menyimpang. Menurut becker dalam j. Dwi Narwoko & Bagong

Suyanto (2011:104), penyimpanga adalah suatu akibat yang kepada siapa cap itu

telah berhasil diterapakan; perilaku menyimpang adalah perilaku yang dicapkan

kepadanya atau orang lain telah memberi cap kepadanya.

Keempat, secara normatif. Sudut pandang ini didasarkan atas asumsi ,

bahwa penyimpangan adalah suatu pelanggaran dari suatu norma sosial.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku menyimpang adalah perilaku

manusia yang bertentangan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma

yang berlaku dalam masyarakat. Masa remaja merupakan masa transmisi dari

masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja dalam gambaran yang umum

merupakan suatu periode yang dimulai dengan perkembangan masa pubertas dan

menyelesaikan pendidikan untuk tingkat menengah, dimana perubahan biologis

yang membawanya pada usia belasan (teenagers) seringkali mempengaruhi

perilaku masa remaja. Para remaja tersebut sangat peka terhadap gagasan bahwa

mereka harus seperti orang dewasa atau kanak-kanak, sehingga mereka segera

mengganti mode pakaiannya. Perilaku menyimpang pada remaja terjadi pada


masyarakat dikalangan atas maupun dikalangan bawah contohnya saja di kotakota

besar. Dikota Banjarnegara Banyak kasus pergaulan bebas di kalangan remaja

telah mencapai titik kekhawatiran yang cukup parah, terutama seks bebas. Mereka

begitu mudah memasuki tempat-tempat khusus orang dewasa, apalagi malam

minggu. Pelakunya bukan hanya kalangan SMA, bahkan sudah merambat di

kalangan SMP. Dalam kehidupan para remaja sering kali diselingi hal hal yang

negative dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan sekitar baik lingkungan

dengan teman temannya di sekolah maupun lingkungan pada saat dia di rumah.

Hal hal tersebut dapat berbentuk positif hingga negative yang serng kita sebut

dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja itu sendiri merupakan perbuatan

pelanggaran norma-norma baik norma hukum maupun norma sosial. Sedangkan

Pengertian kenakalan remaja Menurut Paul Moedikdo,SH adalah Semua

perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak

merupakan kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti

mencuri, menganiaya dan sebagainya.Semua perbuatan penyelewengan dari

norma kelompok tertentu untuk menimbulkan keonaran dalam masyarakat. Semua

perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial.

a. Ciri ciri perilaku menyimpang

Menurut Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformationsebabsebab

penyimpangan/kejahatan dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

1) Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat

pembawaan yang dibawa sejak lahir).


2) Faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Misalnya

keadaan rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang

tidak serasi.

Untuk lebih jelasnya, berikut diuraikan beberapa penyebab terjadinya

penyimpangan seorang individu (faktor objektif), yaitu :

1) Ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan. Seseorang yang

tidak sanggup menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam

kepribadiannya, ia tidak dapat membedakan hal yang pantas dan tidak

pantas. Keadaan itu terjadi akibat dari proses sosialisasi yang tidak

sempurna, misalnya karena seseorang tumbuh dalam keluarga yang

retak(broken home). Apabila kedua orang tuanya tidak bisa mendidik

anaknya dengan sempurna maka anak itu tidak akan mengetahui hak dan

kewajibannya sebagai anggota keluarga.

2) Ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial. Terjadinya ketegangan

antara kebudayaan dan struktur sosial dapat mengakibatkan perilaku yang

menyimpang. Hal itu terjadi jika dalam upaya mencapai suatu tujuan

seseorang tidak memperoleh peluang, sehingga ia mengupayakan peluang

itu sendiri, maka terjadilah perilaku menyimpang.

3) Ikatan sosial yang berlainan. Setiap orang umumnya berhubungan dengan

beberapa kelompok. Jika pergaulan itu mempunyai pola-pola perilaku

yang menyimpang, maka kemungkinan ia juga akan mencontoh pola-pola

perilaku menyimpang.
4) Akibat proses sosialisasi nilai-nilai sub-kebudayaan yang menyimpang.

Seringnya media massa menampilkan berita atau tayangan tentang tindak

kejahatan (perilaku menyimpang)Hal inilah yang dikatakan sebagai

prosesbelajar dari sub-kebudayaan yang menyimpang,

b. Jenis jenis perilaku menyimpang

Berdasarkan kekerapan atau berat-ringannya penyimpangan.

1) Penyimpangan Primer (Primary Deviation) Ciri-cirinya :

a) Bersifat sementara / temporer

b) Gaya hidupnya tidak didominasi oleh perilaku menyimpang

c) Masyarakat masih mentolerir / menerima Contoh: pegawai negeri yang

membolos kerja, banyak minum alkohol pada waktu pesta, siswa yang

membolos atau menyontek saat ujian dan pelanggaran lalu lintas.

2) Penyimpangan Sekunder (Secondary Deviation) Ciri-cirinya :

a) Bersifat permanen / tetap

b) Gaya hidupnya didominasi oleh perilaku menyimpang

c) Masyarakat tidak bisa mentolerir perilaku menyimpang tersebut. Contoh:

pembunuhan, perjudian, perampokan dan pemerkosaan.

c. Berdasarkan jumlah pelakunya

1) Penyimpangan Individu

Penyimpangan individu adalah penyimpangan yang dilakukan oleh

seseorang individu dengan melakukan tindakan-tindakan yang

menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Contohnya pencurian yang

dilakukan sendiri.
2) Penyimpangan Kelompok

Penyimpangan kelompok adalah penyimpangan yang dilakukan secara

berkelompok dengan melakukan tindakan-tindakan menyimpang dari

norma-norma masyarakat yang berlaku. Pada umumnya penyimpangan

kelompok terjadi dalam sub kebudayaan yang menyimpang yang ada

dalam masyarakat. Contohnya gank kejahatan atau mafia.

3) Penyimpangan Institusi Penyimpangan institusi dilakukan oleh organisasi

yang melibatkan organisasi lainnya yang dilakukan rapih. Sebagai

contohnya tidakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara.

d. Sifat-sifat perilaku menyimpang

Secara umum, terdapat dua sifat penyimpangan, yaitu:

1) Penyimpangan yang bersifat positif Penyimpangan yang bersifat positif

adalah penyimpangan yang memiliki dampak positif terhadap sistem sosial

karena mengandung unsur inovatif, kreatif dan memperkaya alternatif.

Umumnya, penyimpang ini dapat diterima masyarakat karena sesuai

dengan perubahan zaman. Contoh, emansipasi wanita dalam kehidupan

masyarakat yang memunculkan banyak wanita karier.

2) Penyimpangan yang bersifat negatif Dalam penyimpangan yang bersifat

negatif, pelaku bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dipandang rendah

dan berakibat buruk serta mengganggu sistem sosial. Tindakan dan

pelakunya akan dicela dan tidak diterima masyarakat. Bobot

penyimpangan dapat diukur menurut kaidah sosial yang dilanggar.


Contoh, seorang koruptor selain harus mengembalikan kekayaan yang

dimilikinya kepada negara, juga tetap dikenakan hukuman penjara.

e. Masalah Perilaku Seksual

Tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh remaja sehubungan

dengan kematangan seksualitasnya adalah pembentukan hubungan yang lebih

matang dengan lawan jenis dan belajar memerankan seks yang diakuinya. Pada

masa remaja sudah mulai tertarik pada lawan jenis, mulai bersifat romantis yang

didikuti oleh keinginnan yang kuat untuk memperoleh dukungan dan perhatian

dari lawan jenis, sebagai akibatnya remaja mempunyai minat tinggi pada seks.

Remaja lebih banyak mencari informasi tentang seks dari sumber-sumber yang

kadang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya dari teman sebaya yang

sama-sama kurang memahami arti pentingnya seks, internet, media elektronik

yang semakin canggih, dan media cetak yang kadang-kadang lebih mengarah pada

pornografi.

Sebagai akibat dari informasi yang salah dapat menimbulkan perilaku seks

remaja yang apabila ditinjau dari segi moral dan kesehatan tidak layak untuk

dilakukan misalnya berciuman, bercumbu, mesturbasi, dan bersenggama.

Pergaulan bebas di kalangan remaja telah mencapai titik kekhawatiran yang cukup

parah, terutama seks bebas. Mereka begitu mudah memasuki tempat-tempat

khusus orang dewasa, apalagi malam minggu. Pelakunya bukan hanya kalangan

SMA, bahkan sudah merambat di kalangan SMP. ‘’Banyak kasus remaja putri

yang hamil karena kecelakan. Kita tahu tidak mungkin mengajarkan agama hanya
dalam tempo satu hari saja dan lantas berharap anak akan mampu menjalankan

ibadahannya, maka demikian juga untuk seks.

Salah satu cara menyampaikan pendidikan seksual pada anak dapat

dimulai dengan mengajari mereka membersihkan alat kelaminnya sendiri. Dengan

cara “Mengajari anak untuk membersihkan alat genitalnya dengan benar setelah

buang air kecil (BAK) maupun buang air besar (BAB), agar anak dapat mandiri

dan tidak bergantung dengan orang lain. Pendidikan ini pun secara tidak langsung

dapat mengajarkan anak untuk tidak sembarangan mengizinkan orang lain

membersihkan alat kelaminnya.

f. Bentuk-bentuk perilaku menyimpang

1) Perilaku seks di luar nikah selain ditentang oleh norma-norma sosial, juga

secara tegas dilarang oleh agama. Perilaku menyimpang ini dapat

dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang belum atau bahkan

tidak memiliki ikatan resmi. Dampak negatif dari perilaku seks di luar

nikah, antara lain, lahirnya anak di luar nikah, terjangkit PMS (penyakit

menular seksual), bahkan HIV/AIDS, dan turunnya moral para pelaku.

g. Dampak perilaku menyimpang

1) Berbagai bentuk perilaku menyimpang yang ada di masyarakat akan

membawa dampak bagi pelaku maupun bagi kehidupan masyarakat pada

umumnya.

a) Memberikan pengaruh psikologis atau penderitaan kejiwaan serta tekanan

mental terhadap pelaku karena akan dikucilkan dari kehidupan masyarakat

atau dijauhi dari pergaulan.


b) Dapat menghancurkan masa depan pelaku penyimpangan.

c) Dapat menjauhkan pelaku dari Tuhan dan dekat dengan perbuatan dosa.

d) Perbuatan yang dilakukan dapat mencelakakan dirinya sendiri.

2) Dampak Bagi Orang Lain/Kehidupan Masyarakat Perilaku penyimpangan

juga membawa dampak bagi orang lain atau kehidupan masyarakat pada

umumnya. Beberapa di antaranya adalah meliputi hal-hal berikut ini :

a) Dapat mengganggu keamanan, ketertiban dan ketidakharmonisan dalam

masyarakat.

b) Merusak tatanan nilai, norma, dan berbagai pranata sosial yang berlaku di

masyarakat.

c) Menimbulkan beban sosial, psikologis, dan ekonomi bagi keluarga pelaku.

d) Merusak unsur-unsur budaya dan unsur-unsur lain yang mengatur perilaku

individu dalam kehidupan masyarakat.

h. Tips untuk mengatasi dan mencegah perilaku menyimpang remaja

Beberapa tips untuk mengatasi dan mencegah kenakalan remaja, yaitu:

1). Perlunya kasih sayang dan perhatian dari orang tua dalam hal apapun.

2). Adanya pengawasan dari orang tua yang tidak mengekang. contohnya: kita

boleh saja membiarkan dia melakukan apa saja yang masih sewajarnya,

dan apabila menurut pengawasan kita dia telah melewati batas yang

sewajarnya, kita sebagai orangtua perlu memberitahu dia dampak dan

akibat yang harus ditanggungnya bila dia terus melakukan hal yang sudah

melewati batas tersebut.


3). Biarkanlah dia bergaul dengan teman yang sebaya, yang hanya beda umur

2 atau 3 tahun baik lebih tua darinya. Karena apabila kita membiarkan dia

bergaul dengan teman main yang sangat tidak sebaya dengannya, yang

gaya hidupnya sudah pasti berbeda, maka dia pun bisa terbawa gaya hidup

yang mungkin seharusnya belum perlu dia jalani.

4). Pengawasan yang perlu dan intensif terhadap media komunikasi seperti tv,

internet, radio, handphone, dll.

5). Perlunya bimbingan kepribadian di sekolah, karena disanalah tempat anak

lebih banyak menghabiskan waktunya selain di rumah.

6). Perlunya pembelajaran agama yang dilakukan sejak dini, seperti beribadah

dan mengunjungi tempat ibadah sesuai dengan iman kepercayaannya.

7). Kita perlu mendukung hobi yang dia inginkan selama itu masih positif

untuk dia. Jangan pernah kita mencegah hobinya maupun kesempatan dia

mengembangkan bakat yang dia sukai selama bersifat Positif. Karena

dengan melarangnya dapat menggangu kepribadian dan kepercayaan

dirinya.

8). sebagai orang tua harus menjadi tempat CURHAT yang nyaman untuk

anak anda, sehingga anda dapat membimbing dia ketika ia sedang

menghadapi masalah.

2. Definisi Gaya Hidup

Gaya hidup menurut (Kotler, 2002:192) adalah pola hidup seseorang di

dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup

menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan


lingkungannya. Gaya hidup juga menunjukkan bagaimana orang hidup,

bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu

dalam kehidupannya, juga dapat dilihat dari aktivitas sehari-harinya dan minat apa

yang menjadi kebutuhan dalam hidupnya. Merujuk pada permasalahan dalam

penelitian, Giddens mengidentifikasikan tiga bentuk gaya hidup. Yang pertama,

hidup bersama diluar nikah (cohabitation), Yang kedua, keluarga orang tua

homoseks (gay parent families) dan yang ketiga, hidup membujang. Gaya hidup

menyimpang tersebut, dengan sendirinya masih sering menghadapi tentangan dari

masyarakat dan orang tua, khususnya.

1. Gaya Hidup Menyimpang

Dalam pembahasan mengenai gaya hidup menyimpang dalam kehidupan

masyarakat, memang bukanlah fenomena yang sangat baru dibicarakan. Bahkan

perilaku tersebut sudah ada sejak dulu kala. Yang menjadi hal yang patut

dipertanyakan yaitu, mengapa dalam kehidupan manusia perilaku dengan gaya

hidup menyimpang sebagai dasarnya masih saja terus ada, walaupun dalam

kehidupan masyarakat terdapat tatanan nilai dan norma yang mengatur kehidupan

perilaku bagi setiap manusia. Sebenarnya, titik permasalahan yang mendasari

terjadinya perilaku menyimpang adalah cara manusia dalam mencapai tujuan dan

kehendak dalam proses pencapaian pemuasan dirinya.

Sebab semua orang pastilah mempunyai tujuan dan ingin memuaskan diri

sendiri, dan dalam prosesnya sering kali tidak didasari dengan tatanan nilai serta

norma dalam pemenuhan kebutuhannya tersebut. Sebagian kelompok dalam

masyarakat menganggap bahwa tatanan nilai dan norma yang ada dalam
masyarakat merupakan pengekangan dan membatasi mereka dalam mencapai

kebebasan dalam mencapai tujuan hidup. Hal ini yang kemudian menjadi faktor

yang mendorong mereka melakukan penyimpangan dalam proses pemusan

kebutuhan hidup dan pencapaian tujuan dalam kehidupan mereka.

Sifat cara manusia untuk mencapai titik tujuan (kepuasan) tersebut

digolongkan menjadi dua macam, yaitu :

a. Tindakan yang sesuai dengan norma-norma yang diterima oleh masyarakat

banyak atas norma umum. Tindakan ini disebut konformis.

b. Tindakan yang berlawanan dengan norma- norma yang berlaku dalam

masyarakat. Tindakan yang pertama dianggap sebagai tindakan yang benar

(konformitas), sedangakan yang kedua disebut tindakan yang menyimpang

dari pola-pola aturan atau perilaku menyimpang atau penyimpangan

(delinqueen) (M. Elly dan Usman. 2011:237-238).

Defenisi tentang perilaku yang menyimpang, bersifat sangat relatif karena

tergantung dari masyarakat dalam mendefinisikan perilaku menyimpang itu

sendiri. Nilai-nilai budaya, zaman atau kurun waktu yang tertentu yang ada dalam

masyarakat juga dapat menjadi tolak ukur dalam memakna penyimpangan yang

terjadi dalam kehidupan masyarakat.

3. Prostitusi

1. Pengertian Prostitusi

Pelacuran secara umum merupakan praktik hubungan seksual sesaat, yang

kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur

utama dalam praktik pelacuran, menurut Truong dalam bukunya Dr. Bagong
Suyanto (1992: 159), adalah: pembayaran, promiskuitas, dan ketidak hancuhan

emosional.

Secara sederhana, prostitusi adalah perilaku atau tindakan yang

mengaitkan kegiatan seksual dengan uang. Prostitusi merupakan pekerjaan yang

tidak membutuhkan keterampilan, banyak menyerap tenaga kerja, melibatkan

perempuan, dan berbayaran tinggi. Bahkan, di kalangan perempuan pekerja seks

komersial (PSK) di jalanan sekali pun, bayaran mereka relatif lebih tinggi

daripada pekerjaan lain yang berkeahlian di wilayah yang sama. Para perempuan

yang bekerja di bisnis prostitusi biasanya memperoleh penghasilan yang jauh

lebih tinggi. Di kalangan pelaku di industri seks komersial, memang banyak jalan

yang bisa dipilih untuk tetap mengembangkan bisnis yang secara ekonomi sangat

menguntungkan tersebut. Noeleen Heyzer dalam bukunya Dr. Bagong Suyanto

(1986: 160 ) membedakan tiga macam tipe pelacur menurut hubungannya dengan

pengelola bisnis pelacuran.

a. pelacur yang bekerja sendiri tanpa calo atau majikan. Mereka sering

beroperasi di pinggir jalan atau masuk satu bar ke bar yang lain.

b. pelacur yang memiliki calo atau beberapa calo yang saling terkait secara

hierarkis. Biasanya, si pelacur hanya memperoleh sebagian kecil dari uang

yang dibayarkan kliennya.

c. pelacur yang berada di bawah naungan sebuah lembaga atau organisasi

mapan. Contohnya, panti pijat, lokalisasi, dan hotel-hotel.

Perempuan yang terlibat dalam prostitusi bisa dalam bentuk pelacur

jalanan, pelacur di rumah bordil, bar atau klub malam, atau gadis panggilan.
Pelacur yang termasuk kelas tinggi memiliki penampilan yang lebih baik, lebih

muda, dan lebih sehat menghasilkan tarif yang lebih tinggi pada setiap

pelanggannya. Perempuan yang terjerumus dalam bisnis prostitusi umumnya

terjebak antara perbudakan ekonomi dan emosi serta bekerja di bawah kondisi

yang sama dengan seorang budak. Tetapi, karena keuntungan dan penghasilan

yang ditawarkan bisnis seksual itu sangat menguntungkan, bisa dipahami jika

praktik pelacuran seolah tidak pernah bisa diberantas hingga tuntas. Pelacur

biasanya bisa memperoleh penghasilan tertinggi ketika mereka masih muda dan

sedang populer. Seorang perempuan muda yang menjadi primadona biasanya

menjadi anak kesayangan mucikari karena mampu menarik pelanggan yang lebih

banyak.

Menurut Commemge dalam Tjahjo Purnomo (1985:10) prostitusi atau

pelacuran adalah suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau menjual

tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh bayaran dari laki-laki yang datang

kepada wanita tersebut.

Kartini kartono (1992:207) medefinisikan prostitusi atau pelacuran

merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjual belikan badan,

kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu seks,

dengan imbalan pembayaran Soerjono Soekanto (1990:374) mengatakan

prostitusi atau pelacuran merupakan suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan

diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah.

Kartini Kartono (1992 : 207) mendefinisikan prostitusi atau pelacuran merupakan

peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan


kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu seks, dengan imbalan

pembayaran.

Sedangkan PSK adalah para pekerja yang bertugas melayani aktivitas

seksual dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah

memakai jasa mereka tersebut (Koentjoro, 2004:26). Berdasarkan pendapat diatas

dapat di katakan beberapa hal :

a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola

organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi,

dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa terkendali dengan

banyak orang disertai ekploitasi dan komersialisasi, imppersonal tanpa

afeksi sifatnya.

b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjual

belikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada orang banyak untuk

memuaskan nafsu seks dengan imbalan bayaran.

c. Pelacuran iyalah perbuatan yang dilakukan perempuan dengan

meyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan

mendapat upah.

Dari beberapa pendapat diatas dapat peneliti simpulkan bahwa

prostitusi/pelacuran adalah suatu perilaku menyimpang dimana wanita lah yang

menjadi objek, baik wanita dewasa maupun anak-anak yang menjual tubuhnya ke

kaum laki-laki untuk mendapatkan upah/bayaran.

2. Kategori Prostitusi
Menurut Kartini Kartono (1992:209) ada beberapa orang yang termasuk

kategori pelacuran atau prostitusi yaitu :

a. Penggundikan yaitu pemeliharaan istri tidak resmi, istri gelap atau

perempuan piaraan. Mereka hidup sebagai suami istri, namun tanpa ikatan

perkawinan.

b. Tante girang yaitu wanita yang sudah menikah, namun tetap melakukan

hubungan seks dengan laki-laki lain, untuk mengisi waktu kosong dan

bersenang-senang dan mendapatkan pengalaman-pengalaman seks lain.

c. Gadis-gadis bar yaitu gadis-gadis yang bekerja sebagai pelayan-pelayan

bar dan sekaligus bersedia memberikan layanan seks kepada para

pengunjung.

d. Gadis-gadis bebas yaitu gadis-gadis yang masih sekolah atau putus

sekolah, putus studi akademik atau fakultas, yang mempunyai pendirian

yang tidak baik dan menyebarluaskan kebebasan seks untuk mendapatkan

kepuasan seksual.

e. Gadis-gadis panggilan adalah gadis-gadis dan wanita-wanita yang biasa

menyediakan diri untuk dipanggil dan dipekerjakan sebagai pelacur,

melalui penyaluran tertentu.

f. Gadis-gadis taxi, yaitu gadis-gadis panggilan yang ditawar-tawarkan dan

dibawa ketempat-tempat hiburan dengan taxi-taxi tersebut.

g. Hotstes atau pramuria yaitu wanita-wanita yang menyamarkan kehidupan

malam dalam night club. Yang pada intinya profesi hostess merupakan

bentuk pelacuran halus.


h. Promisikuitas inilah hubungan seks secara bebas dengan pria manapun

juga atau dilakukan dengan banyak laki-laki.

Dari tinjauan berdasarkan kategori prostitusi diatas, maka prostitusi yang

terjadi di kalangan putih abu-abu ini termasuk kategori gadis-gadis bebas. Alasan

prostitusi ini termasuk prostitusi gadis-gadis bebas adalah dimana para wanita

atau gadis-gadis ini masih berstatus duduk di bangku sekolah menengah atas,

dimana mereka akan melakukan seks dengan para pria manapun yang mereka

kehendaki untuk memuaskan nafsu para lelaki hidung belang yang bisanya sudah

beristri.

3. Faktor Pendorong

Timbulnya Prostitusi Faktor yang menyebabkan prostitusi semakin marak

terjadi dan terus berkembang dari waktu ke waktu, 5 faktor penyebab terjadinya

pelacuran, yakni:

a. Lemahnya tingkat keimanan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha

Esa,pada dasarnya, keimanan adalah landasan sseorang dalam menjalani

kehidupan ini. Tiap-tiap agama mempunyai aturan sendiri-sendiri

mengenai perintah dan larangan Tuhan Y.M.E. Tidak ada satu pun agama

yang memperbolehkan pelacuran terjadi. Dalam hidupnya, seseorang harus

selalu berada pada jalur yang benar yakni jalur yang sudah diatur dalam

kitab suci agama. Dengan dilandasi keimanan yang baik, diharapkan orang

tersebut akan kuat menjalani arus tajam dalam kehidupan ini.

b. Kemiskinan, kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk

merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk menjual


moral untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan

yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman;Pada

dasarnya, penyebab utama terjadinya pelacuran ialah faktor ekonomi.

c. Keinginan cepat kaya (materialistic), keinginan untuk memiliki materi dan

standar hidup yang lebih tinggi-memicu terjadinya pelacuran. Aktivitas

haram ini sudah menjamah lingkungan pendidikan. Pelajar SMP, SMA,

Mahasiswa banyak pula yang terjun dalam dunia ini. Motifnya, selain

faktor kemiskinan juga adanya keinginan untuk dapat segera memenuhi

kebutuhan gaya hidup yang mewah.

Lena Edlund dan Evelyn Korn (2002) mengidentifikasi beberapa faktor

yang memengaruhi keterlibatan perempuan dalam sektor prostitusi.

1. Jumlah perempuan dan rasio perempuan dibandingkan laki-laki. Dengan

makin banyaknya jumlah laki-laki daripada perempuan, makin besar

peluang pelacur perempuan untuk memperoleh penghasilan yang tinggi.

2. Kemiskinan. Dalam struktur pasar kerja di mana hanya sedikit peluang

bagi perempuan untuk bisa memperoleh pekerjaan yang layak, hal itu akan

menjadi alasan penting kenapa perempuan terpaksa memilih bekerja di

sektor prostitusi.

3. Reputasi dan stigma yang mesti ditanggung perempuan yang bekerja

sebagai pelacur. Berbeda dengan istri yang disimpan dan diperlakukan

dengan sopan, pelacur memiliki nilai lebih karena bersedia menawarkan

jasa layanan seksual yang beraneka ragam gaya yang mungkin memalukan

bagi perempuan yang berstatus istri.


4. Adanya paksaan yang membuat perempuan masuk ke dalam bisnis

prostitusi. Ada ikatan utang kepada mucikari atau calo atau faktor yang

membuat perempuan terpaksa terlibat dan bertahan bekerja sebagai

pelacur hingga utang mereka lunas.

5. Perceraian dan kehilangan keperawanan, meski tidak selalu terjadi, sering

menjadi faktor yang mendorong perempuan masuk ke dalam bisnis

prostitusi.

Munculnya fenomena prostitusi bukan sekadar imbas penutupan lokalisasi

dan bukan sekadar mengejar penghasilan yang lebih besar. Lebih dari itu, masalah

tersebut adalah fenomena sosial yang berkaitan dengan persoalan ekonomi-politik,

kultural, gaya hidup, dan sebagainya. Ibarat mengurai benang ruwet, dalam upaya

penanganan praktik pelacuran, banyak tali-temali persoalan yang mesti diurai satu

per satu secara sabar dan empatif. Sepanjang upaya penanganan pelacuran belum

ditempatkan dalam konteks pemberdayaan dan perlindungan kaum perempuan

dari pengaruh ideologi patriarki dan tekanan struktural kemiskinan, sepanjang itu

pula praktik pelacuran akan tetap muncul dalam berbagai bentuk, baik yang

terangterangan maupun yang terselubung.

4. Dampak prostitusi

Beberapa dampak yang ditimbulkan oleh pelacuran ialah :

a. Menimbulkan dan menyebar luaskan penyakit kelamin dan kulit. Penyakit

yang paling banyak terdapat ialah syplis dan gonorrhoe (kencing nanah).
b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami yang tergoda oleh

pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai pala keluarga, sehingga

keluarga menjadi berantakan.

c. Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada

lingkungan, khususnya anak-anak mudaremaja pada masa puber dan

adolesensi.

d. Berkolerasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika

(ganja, morpin, heroin dan lain-lain)

e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama.

f. Bisa menyebabkan terjadinya disfungsi seksual, misalnya impotensi,

anorgasme, nymfomania, satirialis, ejakulasi prematur yaitu pembuangan

seperma sebelum zakar melakukan penetrasi dalam vagina atau liang

sanggama, dan lain-lain.

4. Netralisasi

1. Pengertian Netralisasi

Netralisasi berasal dari kata “netral” yang artinya tidak membantu atau

tidak mengikuti salah satu pihak. Sedangkan Netrasasi adalah keadaan dan sikap

netral (tidak memihak, bebas). Sehingga seseorang dapat dinyatakan netral apabila

ia tidak memihak kepada dua atau lebih orang atau memihak kepada organisasi

atau lembaga dalam penentuan sesuatu misalnya organisasi partai politik. Netral

juga dapat diartikan sebagai:

a. Sikap tidak memihak dan tidak berpihak terhadap salah satu kelompok/

golongan.
b. Tidak diskriminatif.

c. Steril dari kepentingan kelompok

Netralisasi atau neutrality (kenetralan) berasal dari kata neutral yang

berarti murni. Murni dalam hal ini disamakan dengan tidak memihak.Sedangkan

asas netralitas adalah bahwa setiap pegawai aparatur sipil negara tidak berpihak

dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan

siapapun.

B. Study Terdahulu

Table 2.1 Beberapa Kajian Penelitian Terdahulu

No Nama Judul Pendapat


1 BUNGA MIRANCE PEREMPUAN Dalam penelitian tersebut
SIBUEA PEKERJA SEKS membahas mengenai
KOMERSIAL (PSK) Masalah prostitusi atau
DAN JARINGAN pelacuran dikategorikan
PROSTITUSI sebagai masalah sosial yang
TERSELUBUNG DI sangat sensitif dan kompleks
TEMPAT karena menyangkut
PARIWISATA PANTAI peraturan sosial, nilai-nilai
PASIR PADI sosial, moral, dan etika.
PANGKALPINANG
2 Hengky Adin Rivai FENOMENA Dalam penelitian tersebut
PEREMPUAN membahas mengenai faktor-
PEKERJA SEKS faktor yang mendorong
KOMERSIAL munculnya praktik prostitusi
DENGAN di mIRC yang dilakukan
MENGGUNAKAN oleh perempuan pekerja seks
APLIKASI CHATTING komersial. Selain itu juga
INTERNET RELAY untuk mendeskripsikan
CHAT mIRC DI proses transaksi seks yang
YOGYAKARTA dilakukan oleh perempuan
pekerja seks komersial
dengan memanfaatkan
mIRC. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa
fenomena perempuan pekeja
seks yang menggunakan
mIRC karena beberapa
faktor. Pertama, keamanan
dan privasi. Keamanan dan
privasi yang dimaksud
adalah identitas mereka
sebagai pekerja seks kecil
kemungkinan untuk
diketahui oleh orang-orang
terdekat mereka seperti
keluarga, teman, dan orang-
orang terdekat lainnya.
Kedua, faktor kemudahan.
Faktor kemudahan yang
dimaksud adalah perempuan
pekerja seks cukup
menggunakan mIRC untuk
chatting dan menawarkan
jasa pelayanan mereka
kepada calon konsumen.
3 Idha Chusaini KORBAN Dalam penelitian tersebut
EKSPLOITASI membahas mengenai
EKONOMI Eksploitasi ekonomi pada
PEREMPUAN perempuan pekerja seksual
PEKERJA SEKS merupakan nomena yang
KOMERSIAL DI sering terjadi di masyarakat
RAWA BEBEK dan sudah berlangsung lama
PENJARINGAN bahkan hal ini menjadi suatu
JAKARTA UTARA hal yang lumrah ditengah
masyarakat. Perempuan seks
komersial merupakan
perempuan yang bekerja
menjajakan dirinya kepada
laki-laki dengan
mengharapkan upah berupa
uang. Dalam melakukan
pekerjaanya ini tidak sedikit
pihak-pihak yang dengan
sengaja mengambil
keuntungan atau
mengeksploitasi para
perempuan pekerja seksual
ini. Adapun Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui
hal yang melatarbelakangi
perempuan memilih bekerja
sebagai perempuan seks
komersial, dan mengetahui
bentuk kekerasan yang
terjadi pada perempuan seks
komersial serta mengetahui
bentuk eksploitasi ekonomi
yang terjadi pada perempuan
seks komersial.
C. Landasan Teori

Teori Netralisasi Larry J. Siegel mengungkapkan, Major premise youth

learn ways of neutralizing moral restrain and periodically drift in and out of

criminal behavior pattern. Explains way may delinquents do not adult criminals.

Explains why youthful law violators can participate in conventional behavior.

(Larry J. Siegel). Pendapat utama teori netralisasi (neutralization theory), bahwa

seseorang akan belajar untuk menetralkan moral yang mengendalikan tingkah

laku manusia, kemudian melakukan perilaku menyimpang (Siegel:212).

Selain itu, teori ini menjelaskan bagaimana caranya melakukan

penyimpangan, dan cara untul terlibat dalam tingkah laku menyimpang. David

Matza menegaskan, Theory neutralization stresses youth’s learning of behavior

rationalizations that enable them to overcome societal values and norms and

engage in illegal bahaviour.

Teori netralisasi menekankan tentang proses pembelajaran kaum muda

untuk merasionalisasi perilaku menyimpang yang dilakukan sehingga diharapkan

dapat memperdaya bekerjanya nilai-nilai kemasyarakatan dan norma- norma

dalam masyarakat. John Hagan mengemukakan sebagai berikut. At base,

neutralization theory assumsed that peoples action are guided by their thought.

Thus, the question asked by this theory is, what is it about the thought of

otherwise good people that sometimes turn them bad? It can be noted that
question posed assumsed that most people most of the time, are guided by “good”

thought. In other words, neutralization theory, assumsed there is general

agreement in our society about “the good think life” and the approriate ways of

optaining them. (Hagan:156).

Teori netralisasi mengasumsikan, bahwa tingkah laku manusia

dikendalikan oleh pemikiran-pemikiran pelaku. Teori ini menanya- kan, apakah

yang ada di balik pemikiran orang-orang yang baik sehingga kadang- kadang

membuat mereka berubah menjadi orang yang berperilaku jahat atau buruk atau

menyimpang dari norma masyarakat? Berdasarkan pertanyaan tersebut, teori ini

menganggap bahwa kebanyakan orang, dalam sebagian besar waktunya, pada saat

melakukan sesuatu perbuatan dikendalikan oleh pemikiran- pemikiran yang baik,

tetapi mengapa orang yang pada umumnya memiliki pemikiran yang baik tersebut

sampai melakukan perbuatan yang menyimpang atau melakukan kejahatan. Untuk

menjawab pertanyaan tersebut, Sykes dan Matza mengemukakan, bahwa The

delinquent, is a apologenic failure, who drifs in to deviant lifestyle througt of

justification “we call these justifications of devian behavior techniques of

neutralization; and we believe these techniqies make up crucial component of

Sutherland’s definitions forable to the violation of law (Hagan:156). Pelaku

kejahatan adalah seorang yang apologetic failure, yaitu orang-orang yang gagal

meminta maaf atas perbuatannya, kemudian terbawa ke dalam suatu gaya hidup

yang menyimpang dari norma.

Proses tersebut berlangsung secara halus, dan hal tersebut digunakan oleh

pelaku sebagai alasan pembenaran atas tingkah lakunya. Pembenaran terhadap


penyimpangan perila- ku seseorang melibatkan banyak komponen yang rumit

sebagaimana proses pelanggaran hukum sebagaimana didefiniskan oleh

Shuterland. Selanjutnya, Sykes dan Matza menjabarkan 5 (lima) teknik netralisasi

yang dapat dilakukan oleh pelaku kejahatan, yaitu sebagai berikut.

a. Denial of Responsibility, yaitu pelaku menggambarkan dirinya sendiri

sebagai orang-orang yang tidak berdaya dalam menghadapi tekanan-

tekanan masyarakat (misalnya kurang mendapat kasih sayang dari orang

tua, berada dalam pergaulan atau lingkungan yang kurang baik).

b. Denial of Injury, yaitu pelaku berpandangan bahwa perbuatan yang

dilakukan tidak menyebabkan kerugian yang besar pada masyarakat.

c. Denial of Victim, yaitu pelaku memahami diri sendiri sebagai “sang

penuntut balas”, sedangkan para korban dari perbuatannya dianggap

sebagai orang yang bersalah.

d. Condemnation of the Condemners, yaitu pelaku beranggapan bahwa orang

yang mengutuk perbuatan yang telah dilakukan sebagai orang- orang

munafik, hipokrit, sebagai pelaku kejahatan terselubung, karena dengki,

dan sebagainya.

e. Appeal to Higher Loyalities, yaitu pelaku merasa bahwa dirinya

terperangkap antara kemauan masyarakat dan ketentuan hukum yang ada

di masyarakat dengan kebutuhan kelompok yang lebih kecil, yaitu

kelompok tempat mereka berada atau bergabung.

Berdasarkan paparan tentang teori nertralisasi di atas, dapat dipahami

bahwa teori netralisasi mengungkapkan bahwa tingkah laku menyimpang atau


jahat dilakukan seseorang karena didasarkan pada pemikirannya sendiri dan

didorong oleh beberapa kondisi di luar individu, sehingga pelaku selalu mencari

alasan pembenar atas perbuatannya melalui proses rasionalisasi.

D. Kerangka Pemikiran

Pada kalangan pekerja seks komersial, dorongan utama dalam memilih

pekerjaan karena faktor lemahnya tingkat keimanan dan faktor lainnya adalah

kemiskinan, kemiskinan juga telah memaksa banyak keluarga untuk

merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk menjual moral.

Penyebab utama terjadinya pelacuran ialah keterpurukan kondisi ekonomi.

Keinginan cepat kaya (materialistic), keinginan untuk memiliki materi dan standar

hidup yang lebih tinggi.Reputasi dan stigma yang mesti ditanggung perempuan

yang bekerja sebagai pelacur, Adanya paksaan yang membuat perempuan masuk

ke dalam bisnis prostitusi, Perceraian dan kehilangan keperawanan, meski tidak

selalu terjadi, sering menjadi faktor yang mendorong perempuan masuk ke dalam

bisnis prostitusi. Dalam pembahasan mengenai gaya hidup menyimpang dalam

kehidupan masyarakat, memang bukanlah fenomena yang sangat baru

dibicarakan.

Bahkan perilaku tersebut sudah ada sejak dulu kala. Yang menjadi hal

yang patut dipertanyakan yaitu, mengapa dalam kehidupan manusia perilaku

dengan gaya hidup menyimpang sebagai dasarnya masih saja terus ada, walaupun

dalam kehidupan masyarakat terdapat tatanan nilai dan norma yang mengatur

kehidupan perilaku bagi setiap manusia. Sebenarnya, titik permasalahan yang

mendasari terjadinya perilaku menyimpang adalah cara manusia dalam mencapai


tujuan dan kehendak dalam proses pencapaian pemuasan dirinya. Sebab semua

orang pastilah mempunyai tujuan dan ingin memuaskan diri sendiri, dan dalam

prosesnya sering kali tidak didasari dengan tatanan nilai serta norma dalam

pemenuhan kebutuhannya tersebut.

Sebagian kelompok dalam masyarakat menganggap bahwa tatanan nilai

dan norma yang ada dalam masyarakat merupakan pengekangan dan membatasi

mereka dalam mencapai kebebasan dalam mencapai tujuan hidup. Hal ini yang

kemudian menjadi faktor yang mendorong mereka melakukan penyimpangan

dalam proses pemusan kebutuhan hidup dan pencapaian tujuan dalam kehidupan

mereka. Adapun dampak yang ditimbulkan prostitusi terhadap PSK Menimbulkan

dan menyebar luaskan penyakit kelamin dan kulit, Merusak sendi-sendi

kehidupan keluarga, Berkolerasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan

narkotika (ganja, morpin, heroin dan lain-lain), Merusak sendi-sendi moral, susila,

hukum dan agama. Faktor yang mendorong munculnya fenomena prostitusi

mekanisme gaya hidup pekerja seks komersial dan dampak yang ditimbulkan

prostitusi terhadap pekerja seks komersial tersebut akan menjadi fokus dalam

penelitian ini. Kerangka pikir yang telah dijelaskan jika diuraikan dalam bentuk

bagan dapat dilihat sebagai berikut:

Pekerja Seks Komersial

Gaya hidup
perempuan Dampak
Faktor
pekerja seks Yang
Pendorong
komersial Ditimbulkan
Munculnya
Prostitusi
Prostitusi
Terhadap
Perempuan
Prilaku Menyimpang

Sumber: Modifikasi Penulis 2023

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe penelitian

Bentuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Arikunto

(2013) bahwa “penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk

menyelidiki keadaan, kondisi atau hal lain-lain yang sudah disebutkan, yang

hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian”. Dalam penelitian deskriptif

fenomena ada yang berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan,

kesamaan dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan yang lainnya.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah tata cara penelitian yang menggunakan data

deskriptif. Dalam penelitian ini menghasilkan data yang dikatakan oleh responden

secara tertulis, lisan, maupun dengan kebiasaan atau perilaku nyata. Dalam

metode kualitatif ini tidak menggunkan angka ataupun alat pengukur.

Pengumpulan data tersebut dilakukan dalam latar yang wajar/alamiah (natural

setting), bukan dalam kondisi yang tekendali atau laboratis (Kasiram, 2008).

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk memahami fenomena sosial dan


memperbanyak pemahaman secara mendalam terhadap objek penelitian. Dalam

penelitian yang akan dilakukan, peneliti akan terjun langsung untuk memperoleh

data-data yang dibutuhkan. Sehingga data yang disajikan tersebut bersifat natural

sebagaimana yang tengah terjadi. Adapun dalam penelitian ini, secara langsung

peneliti akan bertanya terhadap para konselor yang berkaitan dengan pembahasan

penelitian.

Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada penelitian untuk

melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan. Hal tersebut tidak hanya

membantu peneliti dalam memahami konteks dan berbagai perspektif dari orang

yang sedang diteliti, namun agar mereka yang diteliti menjadi lebih terbiasa

dengan kehadiran peneliti di tengah-tengah mereka (Kasiram, 2008).

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan dimana kegiatan penelitian dilakukan.

Penentuan lokasi dimaksudkan untuk mempermudah atau memperjelas lokasi

yang menjadi sasaran dalam penelitian. Untuk memperoleh data dan keterangan

sesuai dengan penelitian ini, maka lokasi penelitian yang dipilih peneliti adalah di

kota Pekanbaru. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut karena masyarakat

berhadapan dengan permasalahan ini secara tidak langsung serta untuk

mengetahui bagaimana Pandangan masyarakat terhadap pekerja seks komersial

(PSK).

D. Key Informan dan Informan

Peneliti kualitatif tidak dimasudkan untuk generalisasi dari hasil

penelitiannya. Subjek penelitian ini menjadikan informan dalam penelitian ini


akan dipilih secara purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dangan

pertimbangan tertentu, teknik ini bisa diartikan sebagai suatu proses pengambilan

sampel dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil

kemudian pemilihan sampel dilakukan dengan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu,

asalkan tidak menyimpang dari ciri-ciri sampel yang ditetapkan (Sugiyono, 2009).

Informan penelitian terbagi menjadi dua yaitu:

1. Informan Kunci (key informan)

Merupakan para ahli yang sangat memahami dan dapat memberikan

penjelasan berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian dan tidak dibatasi

dengan wilayah tempat tinggal, misalnya akademisi, budayawan, tokoh agama

dan tokoh masyarakat.

2. Informan Tambahan

Yaitu siapa saja yang ditemukan di wilayah penelitian yang diduga dapat

memberikan informasi tentang masalah yang diteliti.

3.1 Tabel Jumlah Narasumber Yang menjadi Key Informan dan

Informan

No Narasumber Informan Key Informan


1 PSK - 2
2 Tokoh Masyarakat 2 -
2 Masyarakat - 3
Jumlah 2 5
Sumber :Modifikasi Penulis,2023.

Perbedaan antara masyarakat dan tokoh masyarakat, Menurut Sulfan

(2018) masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem

tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum tertentu yang sama, serta mengarah
pada kehidupan kolektif. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang karena

tuntutan kebutuhan dan pengaruh keyakinan, pikiran, serta ambisi tertentu

dipersatukan dalam kehidupan kolektif. Sistem dan hukum yang terdapat dalam

suatu masyarakat mencerminkan perilaku-perilaku individu, karena individu-

individu tersebut terikat dengan hukum dan sistem tersebut.

Sedangkan tokoh masyarakat dalam kamus umum bahasa dalam kamus

umum bahasa Indonesia, tokoh diartikan sebagai rupa, wujud dan keadaan, bentuk

dalam arti jenis badan, perawakan, orang yang terkemuka atau kenamaan didalam

lapangan politik suatu masyarakat. Tokoh masyarakat, tentunya merupakan

representasi dari adanya sifat-sifat kepemimpinan yang menjadi acuan bagi

masyarakat dalam mewujudkan harapan serta keinginan-keinginan masyarakat

sehingga tokoh masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari sifat kepemimpinan yang

tercermin didalam diri tokoh masyarakat tersebut.

Dalam penelitian ini yang menjadi informan dan key informan penelitian

adalah orang pilihan penulis yang dianggap terbaik dalam memberikan informasi

yang dibutuhkan. Penulis mengambil informan dan key informan ini dikarenakan

dalam lingkungan orang ini terdapat orang-orang yang baru saja keluar dari

lembaga pemasyarakatan.

E. Jenis dan Sumber Data


Sumber data dalam suatu penelitian sering didefinisikan sebagai subjek

data-data penelitian itu diperoleh (Moleong,2014). Mengenai data penelitian ini,

dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Sumber data primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama. Data yang dikumpulkan bersifat orisinil. Sumber data ini dapat diperoleh

melalui wawancara atau interview langsung kepada informan yakni seorang

mantan narapidana karena mereka adalah sumber yang memiliki berbagai

informasi pokok dalam penelitian ini (Moleong, 2014).

2. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian orang

lain. Data tersebut diperoleh dari laporan-laporan penelitian terdahulu. Adapun

sumber-sumber yang dimasukkan kedalam kategori sumber sekunder dalam

penelitian ini adalah berupa jurnal-jurnal, skripsi, maupun artikel yang dimiliki

relevansi dengan tema yang sedang diteliti (Moleong, 2014)

F. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dapat digunakan dalam

mengumpulkan data penelitian dan dibandingkan dengan standar ukuran yang

telah ditentukan. Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan masalah yang

akan dibahas dalam penelitian dibutuhkan beberapa teknik pengumpulan data

(Moleong, 2014), diantaranya:

1. Observasi
Menurut Widoyoko (2014) observasi merupakan “pengamatan dan

pencatatan secara sistematis terhadap unsur-unsur yang Nampak dalam suatu

gejala pada objek penelitian”. Menurut Sugiyono (2014) “observasi merupakan

suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses

biologis dan psikologis”.

3. Wawancara

Teknik wawancara dalam penelitian ini adalah dengan menggunkan

wawancara terstruktur. Dalam hal ini pada awalnya peneliti menanyakan

serangkaian pertanyaan yang sudah terstruktur kemudian satu persatu diperdalam

untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut (Moleong,2014). Teknik ini

digunakan untuk memperoleh data dari informan-informan yang mempunyai

relefansi dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, dengan

demikian jawaban yang diperoleh bisa meliputi semua variable, dengan

keterangan yang lengkap dan mendalam.

4. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan sumber data sekunder yang dibutuhkan untuk

kelengkapan data primer (Sumadi, 1998).Data-data yang termasuk dalam

dokumentasi adalah yang diperoleh dari wawancara, buku-buku, jurnal, dokumen,

serta peraturan-prtaturan untuk melengkapi data-data tersebut.

Berdasarkan penjelasan para ahli, maka data disimpulkan bahwa observasi

adalah penelitian dengan melakukan pengamatan dan pencatatan dari berbagai

proses biologis dan psikologis secara langsung maupun tidak langsung yang

tampak dalam suatu gejala pada objek penelitian.


G. Teknik Pengolahan Data

Pada jenis penelitian kualitatif ini, pengolahan data tidak harus dilakukan

setelah data terkumpul atau pengolahan data selesai. Dalam hal ini, data sementara

yang terkumpul, dan data yang sudah ada data diolah dan dilakukan analisis data

secara bersamaan. Dalam penelitian ini berfokus kepada Pandangan Masyarakat

Terhadap seorang Mantan Narapidana di Tembilahan.

H. Teknik Analisa Data

Sesuai dengan jenis penelitian ini juga menggunakan analisis data

kualitatif. Prosesnya adalah seluruh data yang diperoleh peneliti, baik dari

wawancara maupun penelusuran dokumen kemudian sampai dikemungkinan

untuk diambil sebuah kesimpulan mengenai penelitian.

I. Rencana Jadwal Waktu Kegiatan Penelitian

3.2 Tabel :Jadwal waktu dan kegiatan penelitian

Bulan Dan Minggu Tahun 2021


N Jenis
o Kegiata Juni Ags - DesembeJanuari – Maret
Juli nov r februari
n (2023) (2023) (2023)
(2023) (2023) (2024)
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1
Persiapa
1 n dan
penyusu
nan UP

2 Seminar
UP
3 Penelitia
n
Lapanga
n
Pengelolaa
4 n dan
Analisis
Data
Konsulta
5 si dan
Bimbing
an
Skripsi

6 Ujian
Skripsi
Revisi dan
7 Pengesah
an
Skripsi
Pengganda
an serta
8
penyeraha
n Skripsi
Sumber : Modifikasi Penulis (2023)

J. Rencana Sistimatika Laporan Penelitian

Untuk mengetahui secara garis besar tentang penyusunan skripsi ini, maka

penulis menjabarkan dalam Enam Bab sebagai berikut :

BAB 1 PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN DAN KERANGKA BERPIKIR

Dalam bab ini merupakan jabaran dari studi kepustakaan dan kerangka

berpikir yang terdiri dari studi kepustakaan, kerangka pemikiran, konsep

operasional.
BAB III METODE PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai tipe penelitian, lokasi penelitian, jenis

dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan

jadwal waktu kegiatan penelitian.

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Didalam bab ini menjelaskan tentang tempat dilaksanakannya penelitian

dan data pendukung lainnya yang memiliki relavansi dengan pokok

pembahasan penelitian.

BAB V HASIL & PEMBAHASAN

Bab ini merupakan bagian inti dari penulisan karya ilmiah ini yang

merumuskan tentang hasil penelitiaan yang telah dilaksanakan kemudian

dilakukan analisa mengguanakan teori penelitian kemudian dilakukan

penyederhanaan agar mudah untuk dipahami sebagai suatu karya ilmiah,

BAB VI PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan setiap bab didalam

penelitian yang berisikan kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai