Anda di halaman 1dari 8

Abstrak

Catcalling, sebuah istilah yang tidak asing untuk didengar terutama di daerah perkotaan besar
seperti di Jakarta. Dalam catcalling, terdapat bentuk komunikasi di mana pelaku memberikan
ekspresi verbal terhadap korbannya misalnya melalui siulan dan juga komentar-komentar tentang
bentuk tubuh mereka dengan menyerang atribut seksual korban. Namun, hal ini menjadi sebuah
permasalahan karena terdapat ambiguitas makna yang terdapat di masyarakat tentang catcalling
sebagai candaan atau pelecehan seksual terutama terhadap perempuan. Catcalling merupakan
pelecehan seksual secara verbal dan merupakan bagian dari rape culture.

Pendahuluan

Berbagai kriminalitas terjadi setiap harinya di jalanan. Salah satunya merupakan pelecehan
seksual yang biasanya sering didapatkan terjadi di jalan raya. Biasanya terjadi secara verbal atau
yang sering disebut dengan istilah catcalling. Pada masa ini, perilaku itu telah berkembang dan
menjadi sebuah fenomena di masyarakat. Mengapa hal ini dapat disebut sebagai sebuah
fenomena? Karena kejadian tersebut merupakan hal-hal yang nyata dan dapat disaksikan
menggunakan pancaindra.

Menurut hasil Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik dengan persentase sebanyak 64 persen
dari 38.766 perempuan, 11 persen dari 23.403 laki-laki, dan 69 persen dari 45 gender lainnya
pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Kebanyakan dari korban mengaku bahwa mereka
pernah mengalami pelecehan yang diterima secara verbal, yaitu komentar atas tubuh sebanyak
60 persen, fisik seperti disentuh sebanyak 24 persen dan visual seperti main mata sebanyak 15
persen. (Sumber: Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik). Walaupun hasil survei tersebut
sudah terbit, namun masih banyak masyarakat yang belum aware mengenai isu ini. Hal ini
dikarenakan adanya stereotip gender yang dibentuk oleh patriarki sehingga menimbulkan makna
ganda yaitu catcalling sel agai candaan dan catcalling sebagai pelecehan seksual.

Chhun (2011) mengidentifikasikan catcalling sebagai: penggunaan kata-kata yang tidak senonoh,
ekspresi secara verbal dan juga ekspresi non-verbal yang kejadiannya terjadi di tempat publik,
contohnya: di jalan raya, di trotoar, dan perhentian bus. Secara verbal, catcalling biasanya
dilakukan melalui siulan atau komentar mengenai penampilan dari seorang wanita. Ekspresi
nonverbal juga termasuk lirikan atau gestur fisik yang bertindak untuk memberikan penilaian
terhadap penampilan seorang wanita (Chhun, 2011).

catcalling sebagai penggunaan kata-kata yang tidak senonoh, ekspresi verbal dan non-non-verbal
yang terjadi di tempat publik seperti: jalan raya, trotoar dan halte bus (Hidayat & Setyanto, 2020)

Dalam Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, ada tiga jenis pesan verbal
yaitu: verbal vokal, verbal visual, verbal vokal-visual. Pada vokal adalah ketika pesan verbal
disampaikan menggunakan suara (secara vokal). Pada visual adalah ketika mengucapkan
serangkaian pesan verbal tidak hanya menggunakan sebatas ucapan tetapi juga menggunakan
visualisasi agar visual tersebut juga dapat dilihat atau bahkan didengar menggunakan telinga oleh
penerimanya. Pada vokal-visual adalah pengucapan kata-kata atau rangkaiannya menggunakan
vokal dan dibantu lagi dengan adanya visualisasi (Liliweri, 2009). Jenis-jenis pesan verbal yang
disampaikan oleh pelaku catcalling kepada korbannya ada beberapa macam diantaranya; dalam
bentuk nada misalkan suara kecupan, suara ciuman dari jauh, atau siulan, Yang kedua, komentar,
biasanya mengomentari bentuk tubuh, atau secara kalimat tidak melecehkan tetapi dikatakan
dengan tujuannya melecehkan, misalnya salam. Ada juga yang terang-terangan mengatakan hal
yang vulgar mengenai korban. Selain itu, pandangan mata yang berlebihan juga termasuk
pelecehan karena membuat yang dipandang merasa tidak nyaman. Misalnya, seseorang yang
memandangi orang lain dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Pembahasan

Pemahaman mengenai catcalling di masyarakat masih sangat rendah karena adanya pewajaran.
Masih adanya anggapan bahwa catcalling adalah hal yang biasa atau merupakan bentuk dari
candaan dan pujian menyebabkan hal ini terus terjadi berulang-ulang. Menurut Budi Wahyuni
perilaku ini bisa menjadi langgeng dan terus menerus terjadi juga dikarenakan oleh adanya peran
budaya patriarki. Beliau memberikan pendapatnya mengenai hal ini dalam wawancara dengan
mengatakan: “Iya. Pewajaran dan pelanggengan budaya patriarki tadi. Budaya patriarki itu
kan ingin memposisikan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Ini kan sudah menciptakan relasi
kuasa yang satu tinggi, yang satu rendah. Nah, salah satu akar dari kekerasan termasuk
kekerasan seksual. Pelecehan seksual bagian dari kekerasan seksual adalah relasi kuasa yang
timpang. Jadi, relasi kuasa yang timpang akan melahirkan itu, melecehkan, merendahkan,
menyerang atribut seksual tertentu, menyerang harkat martabat perempuan gitu loh.”

Catcalling merupakan salah satu produk dari budaya patriarki. Penempatan laki-laki di atas
perempuan menyebabkan terjadinya relasi kuasa sehingga tidak tercapai kesetaraan gender.
Budaya patriarki ini bukan hanya dilanggengkan oleh lakilaki namun juga ada peran perempuan
yang turut serta di dalamnya. Perempuan dalam budaya patriarki sudah terbiasa didominasi oleh
laki-laki. Karena perbedaan kedudukan itu, perempuan dianggap sebagai objek.

Menurut Bhasin (2000) dalam bukunya Memahami Gender, relasi gender menjadi tidak
seimbang dikarenakan oleh patriarki. Secara umum, patriarki memiliki pengertian sebagai
dominasi yang dilakukan oleh laki-laki; kata “patriarki” didefinisikan sebagai kuasa yang
dimiliki oleh ayah atau “patriarch” (kepala keluarga), dan sejak awal mula telah digunakan untuk
mendeskripsikan secara spesifik sebagai “keluarga yang didominasi oleh laki-laki”—keluarga
tersebut, yang beranggotakan perempuan, laki-laki yang berusia lebih muda, anak-anak, budak
dan pembantu rumah tangga, berada dalam kuasa yang dimiliki oleh laki-laki pemimpin keluarga
ini. Saat ini, istilah itu digunakan untuk merujuk kepada kekuasaan laki-laki, kepada relasi kuasa,
dalam keadaan laki-laki berada di tingkatan yang lebih tinggi dari perempuan, dan menjadi ciri
dari sistem di mana perempuan terus direndahkan menggunakan banyak cara (Bhasin, 2003).

Menurut Fakih (1996), stereotip gender merupakan pemberian label terhadap jenis kelamin
tertentu. Dalam hal ini, lebih banyak menyasar terhadap perempuan, contohnya adalah stereotip
tentang perempuan berdandan dengan tujuan untuk membuat lawan jenisnya yaitu laki-laki
merasa tertarik terhadapnya. Oleh karena itu, pada kasus kekerasan dan pelecehan seksual sering
disangkutpautkan dengan stereotip ini. Tidak jarang, perempuan objek kekerasan dan pelecehan
seksual tersebut seringkali menjadi pihak yang justru disalahkan (Susetyo, 2010:26). Selain itu,
budaya patriarki juga memberikan tekanan pada laki-laki. Budaya ini menciptakan keadaan di
mana laki-laki dianggap jantan apabila sudah melakukan catcalling. Tekanan tersebut yang
menyebabkan laki-laki akhirnya melakukan hal itu karena adanya paksaan dari luar. Kedua hal
ini dalam patriarki menyebabkan perilaku ini terus menerus terjadi dan belum bisa diakhiri.

Catcalling sebagai salah satu perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan dan
dikategorikan sebagai suatu tindak pidana seringkali tidak terperhatikan, hal ini dikarenakan
tindakan atau perbuatan tersebut dilakukan secara spontan. Banyak kalangan masyarakat di
Indonesia yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban atau bahkan pelaku perbuatan
catcalling. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap masyarakat tentang catcalling itu
sendiri. Perbuatan catcalling tanpa sadar telah mengurangi hak-hak asasi seseorang, seperti hak
untuk merasakan kehidupan yang damai, hak untuk merasa aman dalam beraktifitas, hak untuk
merasa tentram membangun hidup dan kehidupan serta bahagia lahir dan batin dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga keberadaan catcalling ini penting untuk dihilangkan. Akan tetapi,
Pelaku perbuatan catcalling sampai saat ini masih sulit untuk dijerat keranah hukum selama tidak
melakukan kekerasan fisik terhadap korban, tetapi dalam hal ini perlu adanya penekanan untuk
menghentikan perbuatan catcalling dan menjerat sekaligus menyadarkan pelaku catcalling, serta
dengan memberikan pemahaman tentang aturan hukum catcalling kepada publik, terutama
korban dapat membawa kasus ini guna merandapatkan keadilan bagi hak asasi masing-masing
korban. Catcalling di Indonesia dikategorikan kedalam salah satu perbuatan pidana atau suatu
tindak pidana dan bertentangan dengan hukum dan kesusilaan. Penegakan hukum terhadap
perbuatan catcalling di Indonesia sejauh ini belum memiliki kejelasan dan kepastian hukum,
bahkan penanganan dan penyelesaian terhadap perkara catcalling ini tidak bisa diselesaikan
secara tegas. Korban catcalling masih sulit untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya. Sejauh ini
perlindungan terhadap korban perbuatan catcalling diatur dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban sebagai dasar hukumnya. Sedangkan, Sedangkan bagi pelaku perbuatan catcalling
dapat dikenakan Pasal 281 butir (2) dan Pasal 315 pada KUHP dan Pasal 34 j.o Pasal 8, dan
Pasal 35 j.o Pasal 9 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Berbagai macam bentuk pelecehan dewasa ini semakin meningkat. Umumnya perempuan yang
sering menjadi korban pelecahan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan laki-laki pun bisa
menjadi korban dari tindak pelecehan. Pelecehan yang terjadi tidak hanya didapati di ruang
tertutup saja, melainkan sekarang banyak tindakan pelecehan yang dialami kaum hawa dilakukan
di ruang public atau terbuka, salah satunya yang paling sering ditemui adalah perbuatan
catcalling.

September 2019, melalui situs tribunnews.com diberitakan bahwa Polisi menangkap Pelaku
perbuatan catcalling disalah satu lampu merah yang ada di Bekasi, dalam kasus ini korban yang
tidak lain adalah seorang perempuan berusia 24 tahun dan pelaku adalah seorang laki-laki
berusia 37 tahun menyelesaikannya perkara ini dengan jalan damai. Selanjutnya di tahun 2020,
baru-baru ini Hanna Al Rashid salah satu aktris sekaligus Duta SDG untuk Kesetaraan Gender
yang dikenal aktif menyuarakan kesetaraan gender, terutama yang berkaitan dengan pelecehan
menjadi korban catcalling oleh driver Ojek Online di kawasan Cipete, Jakarta Selatan.

Catcalling sebagai salah satu tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
seringkali tidak terperhatikan, hal ini dikarenakan tindakan atau perbuatan tersebut dilakukan
secara spontan. Banyak kalangan masyarakat di Indonesia yang tidak menyadari bahwa dirinya
adalah korban atau bahkan pelaku perbuatan catcalling. Hal ini dikarenakan kurangnya
pemahaman terhadap masyarakat tentang catcalling itu sendiri.

Banyak yang beranggapan bahwa catcalling adalah suatu perbuatan yang lumrah dan merupakan
hal yang wajar dilakukan, bahkan faktanya banyak yang menganggap catcalling sebagai suatu
pujian atau candaan yang disampaikan seseorang di tempat-tempat umum. Akan tetapi, nyatanya
tindakan atau perbuatan tersebut termasuk salah satu bentuk gangguan di jalan (street
harassement) dan tindakan pelecehan seksual secara verbal atau termasuk kategori pelecehan
seksual nonfisik yang terjadi kepada seseorang tanpa kesukarelaan orang tersebut (Kinasih,
2007).

Pelecehan seksual dalam naskah akademik suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) Republik
Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) diartikan sebagai segala perbuatan
baik secara fisik maupun bukan fisik, menjadikan organ seksual korban sebagai objek sasaran,
dalam prakteknya dilakukan dengan panggilan-panggilan yang tidak diinginkan, gerakan atau
isyarat yang menunjukkan secara terang-terangan adanya keinginan yang bersifat seksual
sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman dan terancam, tersinggung, merasa dilecehkan
martabatnya, bahkan mungkin akan berdampak pada kesehatan dan keselamatan korban (Naskah
Akademik Rancangan UndangUndang (RUU) Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS),
2017).

Catcalling di Amerika, Inggris, dan negara-negara Barat lainnya menjadi suatu hal yang sangat
krusial, catcalling biasanya dapat berupa kalimat pujian iseng seperti “You look so pretty?”, “Hi,
sexy girl”, hingga kalimat yang mengerikan dan jelas bersifat seksual seperti “Nice tits!”, “Hi
girl, come with me?”, bahkan sentuhan-sentuhan berlebihan. Sedangkan, di Indonesia, catcalling
yang terjadi biasanya berbentuk bebunyian suara atau siulan-siulan tidak sopan, kalimat godaan
dan sapaan absurd seperti “Hai, cantik, mau ke mana?”, “Cewek, sendirian aja, nih? Mau
ditemenin, nggak?”, atau berbentuk perhatian berlebihan yang tidak masuk akal dan memanggil
dengan kalimat bernada menggoda seperti “Kok, cemberut aja, Neng? Lagi sedih ya?”,
“Kayaknya boleh juga nih”. Biasanya jika korban catcalling ini tidak merespon atau bersikap
acuh kepada pelaku, maka catcalling akan berlanjut menjadi komentar-komentar dengan kalimat
seperti “Ih, sombong banget, sih?”, “Jangan malu-malu dong”, dan kalimat lainnya yang bersifat
melecehkan.

Merasakan kehidupan yang damai, hak untuk merasa aman dalam beraktifitas, hak untuk merasa
tentram membangun hidup dan kehidupan serta bahagia lahir dan batin dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga keberadaan catcalling ini penting untuk dihilangkan. Akan tetapi,
Pelaku perbuatan catcalling sampai saat ini masih sulit untuk dijerat keranah hukum selama tidak
melakukan kekerasan fisik terhadap korban, tetapi dalam hal ini perlu adanya penekanan untuk
menghentikan perbuatan catcalling dan menjerat sekaligus menyadarkan pelaku catcalling, serta
dengan memberikan pemahaman tentang aturan hukum catcalling kepada publik, terutama
korban dapat membawa kasus ini guna merandapatkan keadilan bagi hak asasi masing-masing
korban.

Catcalling dalam bahasa Indonesia bukanlah diartikan dengan panggilan kucing, tetapi lebih
mengarah kepada kalimat godaan verbal, yaitu suatu tindakan berbentuk siulan atau kalimat
godaan yang dilontarkan seseorang kepada orang lain, pada umumnya adalah wanita yang lewat
dimuka publik. Dalam kamus Oxford Dictionary, catcalling diartikan sebagai bebunyaian tidak
sopan seperti siul-siulan, panggilan, dan perkataan atau komentar yang bersifat seksual, bahkan
terkadang dilakukan bersamaan dengan tatapan mata yang bersifat melecehkan sehingga
membuat seseorang menjadi tidak nyaman.

Catcalling di Indonesia dikategorikan kedalam salah satu perbuatan pidana atau suatu tindak
pidana dan bertentangan dengan hukum dan kesusilaan. Perbuatan pidana merupakan suatu
tindakan atau perbuatan yang dilarang untuk dilakukan karena melanggar norma hukum dan
memiliki ancaman sanksi terhadap orang yang melanggar aturan tersebut, larangan ini ditujukan
kepada perbuatannya dan sanksi ditujukan kepada pelaku perbuatan atau tindak pidana
(Moeljatno, 2002). Dengan kata lain, setiap orang yang melakukan perbuatan atau tindak pidana
catcalling akan mendapatkan sanksi hukum.

Catcalling dikategorikan sebagai suatu perbuatan pidana karena memenuhi unsur-unsur dari
suatu tindak pidana yang menurut Prof. Simons unsur-unsur tersebut yaitu: Adanya suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia, diancam pidana, unsur melawan hukum, dilakukan
dengan kesalahan, dan orang yang mampu beratnggung jawab (Ruba’i, 2014).

Perbuatan atau tindakan catcalling memenuhi unsur pertama dari suatu tindak pidana, karena
catcalling merupakan perbuatan manusia, dimana perbuatan yang dilakukan adalah melontarkan
kalimat bermuatan pornografi atau perilaku yang memberikan rasa tidak nyaman terhadap orang
lain, misalnya bersiul, mengeluarkan bunyi atau suara yang memancing seksualitas, atau
berekspresi tidak pantas seperti menyipitkan mata dan tersenyum menggoda. Catcalling
merupakan pelecehan seksual secara verbal, karena termasuk perbuatan asusila dan mengandung
muatan pornografi maka dapat diancam dengan pidana tentang kejahatan terhadap kesusilaan.

Tindakan Catcalling dapat dikatakan melawan hukum karena mengganggu dan mengurangi hak
asasi manusia (HAM) orang lain, dimana dalam hal ini perbuatan atau tindakan yang
mengganggu dan mengurangi hak asasi orang lain melanggar hukum. Unsur kesalahan dalam
perbuatan catcalling ini diantaranya ialah kemampuan dari diri pelaku kejahatan tersebut untuk
bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukannya, hubungan yang kuat antara
pembuat dengan perbuatannya yang dilakukan karena kesengajaan atau kealpaan dan tidak
terdapat alasan penghapus kesalahan seperti alasan pemaaf. Pertanggung jawaban dari pelaku
catcalling berkaitan erat dengan kesalahan yang pelaku buat. Seseorang dikatakan mampu untuk
dimintakan pertanggungjawabnnya apabila tidak ada lagi alasan pembenar dan/atau alasan
pemaaf dari perbuatan yang dilakukannya. Catcalling atau pelecehan seksual secara verbal
membuat korbannya merasakan ketidak nyamanan, terganggu, ketakutan, trauma bahkan
gangguan secara mental dari keadaan seperti itu.

Saat seseorang menjadi korban atau saksi pelecehan yang terjadi di jalan, ada sejumlah cara yang
dapat dilakukan untuk menghadapinya. Jika tak berani menghadapi pelaku secara langsung,
korban bisa meminta bantuan atau melaporkan insiden yang menimpanya ke orang yang ada di
dekatnya. Bila kita tidak mengalami langsung pelecehan di jalan, tetapi menyaksikannya, hal
yang bisa kita lakukan ialah menatap atau memarahi pelaku. Perhatian kepada korban juga tidak
kalah pentingnya. Pelecehan yang diterima korban, baik verbal, visual, maupun fisik, akan
meninggalkan perasaan tidak nyaman, bahkan dapat membuat takut atau trauma.
Memberikannya minum, menenangkannya, atau membawanya ke tempat lebih aman merupakan
tindakan-tindakan yang berguna untuk meredakan ketakutannya.

Adapun apabila kita (perempuan) yang menjadi korban cattcalling, maka yang harus kita
lakukan adalah :

1. Menghindari kumpulan atau gerombolan laki-laki di pinggir jalan. Seperti yang kita


tahu catcall sering dilakukan oleh laki-laki berkelompok. Ini akan membuat mereka merasa
aman untuk mengganggu perempuan yang lewat dalam radius pandangan mereka. Dan laki-
laki  yang berkumpul selain  mempunyai kemungkinan besar untuk menggoda, mereka juga 
akan menertawakan perempuan yang sedang kesal dan “sombong” ketika mereka
melakukan catcall. Menghadapi kumpulan laki-laki seperti itu hanya akan membuat kita
tidak aman. Lebih baik putar balik jalan, jika sedang di jalan. Cari alternatif jalan lain,
meskipun lebih jauh tapi aman. Bisa juga kita belok ke sebuah toko dan melihat-lihat
beberapa barang di sana, sambil mengamati apakah mereka sudah pergi.

2. Berhenti dan menatap mata mereka. Sekali-kali beranikan diri untuk tidak menunduk dan
melihat ke arah mereka. Jika situasinya siang hari dan kamu harus melewati sekelompok
laki-laki yang nongkrong di pinggir jalan, lalu mereka melemparkan catcall, berhentilah
tepat di tempat kamu diteriaki dan tengok ke arah mereka.  Cara ini tidak akan membuatmu
puas karena mereka akan bersiul-siul seolah tidak melakukan apa pun. Tapi cara ini cukup
membuat nyali mereka ciut untuk melakukannya lagi pada kamu, karena gerakan mendadak
kamu akan membuat laki-laki sedikit kaget, sebab mereka tidak menyangka reaksi
perempuan semacam itu.

3. Jawab dengan punggung dan lekas berlalu. Catcall biasanya dilakukan oleh laki-laki


lebih dari dua orang. Pelaku catcall akan melakukan segala cara untuk membuat kita benci.
Misalnya, jika seorang berhijab lewat dan mereka bersahut “Assalamualaikum…”, jika
perempuan tersebut tidak menjawabnya, maka akan diteriaki sombong, dan dijadikan bahan
tertawaan bersama. Jika dijawab pun, mereka akan bersama-sama bilang
“alhamdulillahhh….” dan ditertawai bersama pula. Jika kamu ada dalam situasi seperti ini
dan ingin menjawab,  jawab saja dengan kata pendek singkat dan sekenanya tanpa
memandang ke arah mereka sedikitpun. Bisa juga mendadak pura-pura mengangkat telpon
dan sibuk bercakap-cakap dengan lawan bicara di telepon.  

4. Hindari menggunakan perhiasan menyolok. Jika kamu takut bahwa catcall mereka akan


berlanjut pada perampokan, maka simpan dulu perhiasan berharga di dalam tas. Ini akan
lebih membuat kamu percaya diri dalam melewati keadaan yang tidak menyenangkan
tersebut.

5. Lakukan dengan percaya diri dan selalu pastikan kamu aman. Kita tidak bisa melawan
mereka secara frontal karena pasti akan kalah jumlah. Yang terpenting kita melawan dengan
cara yang aman. Berikan tanda pada mereka bahwa kita tidak suka dan jangan main-main
dengan itu. Catcall adalah salah satu cara untuk melecehkan perempuan, karena laki-laki
mengharapkan catcall bisa meninggikan posisi mereka untuk bisa bebas memanggil-
manggil perempuan asing dan menertawakannya. 

Simpulan

Fenomena catcalling ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama dan menjadi sebuah permasalahan
yang ada di masyarakat terutama di perkotaan besar seperti Jakarta. Fenomena ini kurang
mendapatkan perhatian karena minimnya edukasi yang menyebabkan ketidaktahuan mengenai
pemahaman tentang catcalling. Masyarakat masih menganggap makna catcalling sebagai ambigu
antara candaan atau pujian dan bentuk dari pelecehan seksual terutama terhadap perempuan.

Catcalling adalah pelecehan seksual. Pelaku melakukan catcalling kepada korban dengan
menyerang atribut seksual yang dimilikinya. Penyerangan itu dilakukan melalui ekspresi verbal
seperti siulan, suara kecupan, dan gestur main mata dengan tujuan untuk mendominasi dan
membuat korban merasa tidak nyaman. Budaya patriarki menempatkan posisi laki-laki di atas
perempuan yang menyebabkan ketimpangan di antara laki-laki dan lawan jenisnya yaitu
perempuan. Adanya ketimpangan dalam relasi kuasa menyebabkan perempuan dianggap sebagai
objek. Hal ini menyebabkan kerentanan terhadap perempuan sehingga perempuan menjadi
korban dari kekerasan dan pelecehan seksual.
Namun, ternyata yang menjadi korban dalam praktik patriarki ini bukan hanya terjadi terhadap
perempuan saja. Ada juga akibat yang bisa terjadi pada laki-laki karena adanya tekanan sosial
terhadap laki-laki. Anggapan bahwa laki-laki baru bisa dianggap jantan apabila sudah melakukan
catcalling membuat perilaku ini menjadi langgeng dan sulit dihentikan. Catcalling merupakan
bagian dari rape culture. Perilaku ini berada di layer kedua dari piramida rape culture. Walaupun
sebenarnya masih berada di tingkat pelecehan yang ringan namun perilaku ini tidak bisa
dianggap wajar atau normal. Perilaku ini akan semakin sulit dihilangkan apabila masyarakat
terbiasa untuk mewajarkan catcalling.

Oleh karena itu, edukasi mengenai pemahaman mengenai catcalling sebagai pelecehan seksual
yang terjadi secara verbal terutama terhadap perempuan merupakan hal yang sangat penting.
Target utamanya adalah kepada calon pelaku serta calon korban agar calon pelaku tidak
melakukan catcalling dan calon korban bisa melapor apabila hal itu terjadi padanya.

Referensi bacaan

https://tirto.id/cara-cara-perempuan-melawan-pelecehan-di-jalan-cx4j

https://www.liputan6.com/citizen6/read/3119742/kesal-dilecehkan-wanita-pemberani-malah-
swafoto-dengan-pelaku

https://journal.untar.ac.id/index.php/koneksi/article/view/6487

https://www.kompasiana.com/slamet.rahardjo/54f80961a333113a618b48e8/apa-dan-bagaimana-
ontologi-itu

http://yayasanpulih.org/2020/06/catcalling-salah-gak-sih/

https://magdalene.co/story/5-cara-hadapi-catcall

referensi jurnal

Hidayat, A., & Setyanto, Y. (2020). Fenomena Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual
secara Verbal terhadap Perempuan di Jakarta. Koneksi, 3(2), 485.
https://doi.org/10.24912/kn.v3i2.6487

Anda mungkin juga menyukai