Anda di halaman 1dari 4

Maju mundurnya peradaban dapat dilihat melalui kondisi ekonomi, politik, mentalitas,

ataupun dari latar belakang pendidikan. Maka dari itu Imam mencoba melihat peradaban di
Indonesia melalui beberapa aspek, yang pertama dapat dilihat dari aspek industri.
Menurutnya industri di Indonesia kurang bisa berkembang karena tidak mempunyai tradisi
trilogi industrialisasi, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi., yang ada adalah langsung
mengarah ke perdagangan. Pada aspek demokrasi, menurutnya Pancasila sudah kehilangan
nilai kohesifnya yang akhirnya berakhir kepada keretakan. Sedangkan di bidang pendidikan
telah terjadi fragmentasi keilmuan dan pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
teknologi lebih sering dimanfaatkan untuk hiburan dan gengsi ketimbang untuk physical
extension.
Hari Anak Perempuan Sedunia 11 Oktober 2023
Kasus pelecehan sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Bahkan bisa
dikatakan bahwa pelecehan sudah menjadi budaya dan menyatu dengan keseharian
masyarakat Indonesia. Kondisi ini tentu sangat membuat perempuan selalu menjadi was-was
dan gelisah. Perempuan seperti dituntut oleh keadaan untuk bersikap maupun berpenampilan
sesuai dengan apa yang membuatnya tidak menjadi alasan pelaku melakukan tindakan
tersebut.

Pelecehan seksual terhadap perempuan masih menjadi fenomena bungkam di Indonesia.


Artinya, dalam kondisi yang sebenarnya perempuan di Indonesia mengalami kehidupan yang
tak aman. Apabila setiap tahun kecenderungan kekerasan terhadap perempuan terus
meningkat, maka hal tersebut menunjukkan belum adanya perlindungan yang efisien
terhadap perempuan. Bahkan dapat dikatakan, pelecehan terhadap perempuan menjadi
budaya yang menguat di kalangan masyarakat.

Dengan banyaknya kasus pelecehan dari tahun ke tahun membuktikan secara jelas bahwa
masih banyak yang tidak mengerti apa saja yang termasuk ke dalam pelecehan seksual.
Mereka juga kerap berfikir bahwa apa yang dilakukannya tidak menimbulkan dampak atau
permasalahan besar bagi korban.
Di Indonesia hubungan antara laki-laki dan perempuan masih didominasi dan dipengaruhi
dengan ideologi gender yang menumbuhkan budaya yang bernama budaya patriarki. Sistem
patriarki yang mendominasi kebudayaan mendesak terjadinya kesenjangan serta
ketidakadilan gender, yang pengaruhi bermacam bidang serta aspek aktiiftas manusia.
Sehingga posisi serta peranan laki-laki mempunyai pernanan yang lebih besar serta dominan
dibanding posisi perempuan.

Perempuan juga dikelilingi dengan banyaknya peraturan yang membelenggu dan membatasi
ruang gerak aktifitas perempuan, sehingga tidak jarang adanya budaya patriarki mendorong
terjadinya perbuatan yang tidak menyenangkan seperti pelecehan seksual. Inilah penyebab
sering terjadinya pelecehan seksual.
Apa Pengaruhnya?
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), "Pelecehan
seksual berkaitan erat dengan kekuasaan dan sering terjadi dalam masyarakat yang
memperlakukan perempuan sebagai objek seks dan warga kelas dua."
Sebuah contoh umum mengenai hal ini adalah ketika perempuan diminta untuk melakukan
perbuatan seksual dengan imbalan akan diberikan pekerjaan, promosi, atau kenaikan gaji.
Contoh lain adalah pelecehan yang terjadi di jalan, yaitu dapat berupa siulan, komentar atau
isyarat yang tidak diinginkan, bahasa kasar serta tidak sopan, bahkan pemerkosaan.

Permasalahan ini menjadikan laki-laki memandang perempuan cuma sebatas objek saja.
Perempuan dianggap objek yang bisa digoda, sebaliknya laki-laki dianggap sebagai
penggoda.

Pakaian perempuan terkadang dijadikan alibi atau kambing hitam untuk membetulkan aksi
pelecehan seksual itu sendiri. Padahal tak sedikit juga laki-laki memakai pakaian yang
"kurang" daripada perempuan. Seharusnya, perempuan juga bisa bebas berpakaian sesuai
yang ia mau.

https://www.kompasiana.com/athalieaisyah3288/5fe03c7a8ede485df747c2a2/pengaruh-
budaya-patriarki-terhadap-pelecehan-seksual

Pelaporan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus ibarat sebuah gunung es yang
terlihat kecil di permukaan namun besar di kedalaman. Maka dari itu, banyak sekali kasus
tersembunyi yang belum terungkap baik oleh para pemangku kebijakan maupun oleh
khalayak umum.

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, terdapat 2.204 kasus kekerasan seksual
yang dilaporkan. Dengan rincian, 1.149 kasus terjadi di ranah personal, 1.051 di ranah publik,
dan 4 kasus di ranah negara.

Data Komnas Perempuan juga menunjukkan bahwa kejahatan seksual tidak mengenal
batasan jenjang pendidikan. Artinya setiap jenjang pendidikan memiliki potensi terjadinya
kekerasan seksual, entah di pesantren maupun institusi pendidikan umum.
Menurut data yang dikumpulkan berdasarkan laporan ke Komnas Perempuan maupun
laporan dari berbagai organisasi masyarakat lainnya pada 2021, jumlah korban kekerasan
terhadap perempuan tertinggi berada di bangku SMA, yakni sebanyak 2.679 kasus. Diikuti
oleh SMP sebanyak 1.532 kasus, dan universitas sejumlah 859 kasus.

Angka-angka tersebut memberitahukan bahwa kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi


di usia produktif dan anak di bawah umur.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia CH. Salampessy mengatakan, kekerasan seksual erat
kaitannya dengan penyalahgunaan relasi kuasa. Akarnya dapat ditelusuri pada budaya
patriarki yang kental di masyarakat.

Menurut Olivia, budaya patriarki menjadi faktor utama terjadinya kekerasan seksual karena
korban, dalam hal ini cenderung banyak dari kalangan perempuan, dijadikan masyarakat
kelas dua yang dimarginalkan.

“Kita perlu sadari bersama yang budaya kita budaya patriarki yang memang sudah hidup dan
terinternalisasi dalam kehidupan kita sehari-hari di mana mengkonstruksi masyarakat dengan
menempatkan perempuan itu sebagai subordinat sehingga kemudian pengalaman-pengalaman
perempuan ini kemudian dimarjinalkan,” terang Olivia, dalam studium generale dengan topik
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di ITB, Rabu (2/11/2022).

Penyalahgunaan relasi kuasa dengan budaya patriarki juga dijelaskan oleh Kate Millett dalam
bukunya Sexual Politics (1970) bahwa patriarki dilihat sebagai institusi politik, di mana
kata politik di sini mengacu pada semua “hubungan terstruktur kekuasaan” dan salah satu
antara jenis kelamin adalah "hubungan dominasi dan subordinasi".

Hooks (2000) menyatakan budaya patriarki mengunggulkan laki-laki sebagai kelompok


superior lebih dari wanita. Dengan adanya dominasi ini, laki-laki diwajarkan untuk
mengeksploitasi dan menindas perempuan bahkan sekalipun dengan kekerasan.
Dapat disimpulkan bahwa patriarki akan menjadi sebuah konsep, terutama konsep budaya
laki-laki yang akan diwariskan dari generasi ke generasi. Di sini, perempuan menjadi korban
utama dari budaya yang diwarisi ini.

Dengan kata lain, ada hubungan erat antara budaya patriarki dan kekerasan seksual di mana
korban dipandang sebagai objek atau makhluk yang tidak berdaya dan dapat diperlakukan
bebas sesuai kehendak pelakPencegahan, penanganan, dan pemulihan menjadi aspek penting
dalam mengurangi dan menanggulangi kasus kekerasan seksual. Namun, Olivia CH.
Salampessy menyatakan ada beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam pencegahan,
penanganan, dan pemulihan kasus kekerasan seksual.

Empat hambatan tersebut di antaranya impunitas pelaku kekerasan, penundaan berlarut kasus
kekerasan seksual, lembaga pendidikan belum memiliki SOP pencegahan, penanganan, dan
pemulihan korban kekerasan seksual, serta masih adanya budaya victim blaming.

Olivia menjelaskan, impunitas pelaku kekerasan seksual sering kali berupa alternatif
penyelesaian kasus yang ditawarkan oleh penegak hukum seperti mediasi. Faktor hambatan
mengenai penundaan kasus yang berlarut terkait dengan kendala bukti dan administrasi yang
dipermasalahkan oleh birokrasi.

Selanjutnya, payung hukum menjadi aspek penting untuk perlindungan dan jaminan korban.
Khusus di ranah pendidikan tinggi, saat ini telah lahir Permendikbud Ristek tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Setiap kampus harus menurunkan
peraturan ini dengan membentuk satuan-satuan tugas PPKS.

Terakhir, mengenai budaya victim blaming yang menitikberatkan sumber kasus pada korban
yang mana berkorelasi dengan budaya patriarki.

Paradigma perempuan berpakaian terbuka, aturan tidak boleh keluar malam, serta analogi
kucing-ikan asin menjadi bukti bahwa lingkungan dalam budaya patriarki gagal menciptakan
ruang aman bagi perempuan dan masyarakat termarginalkan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai