Anda di halaman 1dari 7

laporan kasus kekerasan pada perempuan dan anak cenderung meningkat setiap tahun di Makassar.

Meski begitu, hal tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk positif dari kesadaran masyarakat pada
waspada kekerasan perempuan dan anak di masyarakat.

Berdasarkan data rekap seluruh pelayanan dan jaringan P2TP2A Kota Makassar, Sulawesi Selatan, kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tertangani P2TP2A Kota Makassar dan jaringannya
cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Pada 2015, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi sebanyak 1.025 kasus, 2016
sebanyak 1.172 kasus. Sementara periode Januari Maret 2017 sebanyak 64 kasus.

"Kategori kekerasan yang terjadi bermacam-macam, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual,
penelantaran hingga trafficking, baik terhadap perempuan maupun anak," ujar Andi Tenri, Kepala Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kota Makassar, dalam rangkaian acara Three
Ends, di Makassar, Sabtu (22/4).

Andi mengakui kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Kota Makassar
mengalami peningkatan. Hal itu disebabkan saat ini masyarakat sudah berani melaporkan kekerasan
yang mereka alami. Selain itu karena upaya aktif pihaknya yang melakukan penjangkauan langsung ke
Unit PPA Polres Kota Makassar.

Selain melakukan penjangkauan langsung ke unit khusus kepolisian, Dinas PPPA juga memaksimalkan
peran lembaga P2TP2A. P2TP2A Kota Makassar mempunyai rumah aman (shelter) warga berbasis
masyarakat, yang digunakan untuk penampungan atau penitipan sementara korban perempuan dan
anak.

Rumah aman milik P2TP2A Kota Makassar ini tidak hanya digunakan untuk penampungan atau penitipan
perempuan dan anak yang merupakan warga Kota Makassar, tetapi juga warga lintas kabupaten/kota
maupun provinsi di Indonesia. Saat ini shelter warga berbasis masyarakat yang kami miliki berjumlah 10
yang tersebar di 10 kelurahan.
Kekerasan terhadap perempuan dewasa ini, merupakan suatu hal yang
menarik karena banyak diperbincangkan oleh kalangan praktisi, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi dan masyarakat luas. Hal itu dilatar
belakangi adanya tuntutan peren perempuan yang semakin komplek seiring
dengan perkembangan jaman yang cendrung lebih memperhatikan Hak-Hak
Asasi Manusia (HAM) tanpa melihat atau membedakan jenis
kelamin. Kekerasan terhadap perempuan merupakan timdakan pelanggaran
HAM yang paling kejam yang dialami perempuan. Oleh karenanya tidak
salah apabila tindak kekerasan terhadap perempuan tersebut oleh organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) disebut sebuah kejahatan kemanusiaan.
Serangkaian data yang dikeluarkan UNIFEM (dana PBB untuk perempuan)
tentang kekerasan menunjukan bahwa di Turki jumlah perempuan yang
mengalami kekerasan oleh pasangannya mencapai 57,9 % pada tahun 1998.di
India, jumlahnya mencapai 49% pada tahun 1999, di Amerika Serikat
jumlahnya mencapai 22,1 %.
Di Banglades, laporan terakhir tahun 2000 menyebutkan 60 % perempuan
menikah mengalami kekerasan oleh suami. Di Indonesia sendiri, sekitar 24
juta perempuan atau 11,4 % dari total penduduk Indonesia pernah mengalami
tindak kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan dewasa ini tidak saja
merupakan masalah individu, melainkan juga merukapan masalah nasional
dan bahkan sudah merupakan masalah global. Dalam hal-hal tertentu
kekerasan terhadap perempuan dapat dikatakan sebagai masalah
transnasional. Dikatakan masalah global dapat dilihat dari ditetapkan hukum
internasional yang menyangkut fenomena tersebut seperti ditegaskan olh
Muladi sebagai berikut:
a) Viena Declaration.
b) Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against
Women (1979).
c) Declaration on the Elimination of Violence Against Woman (1993).
d) Bejing Declaration and Platform for Action (1994).
Kekerasan terhadap perempuan sebagai masalah global, sudah mencemaskan
setiap negara di dunia, tidak saja negara-negara yang sedang berkembang
tetapi juga termasuk negara-negara maju yang dikatakan sangat menghagai
dan peduliterhadap HAM seperti Amerika Serikat. Indonesia sebagai negara
yang sedang berkembang, menyandang predikat buruk dalam masalah
pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM yang salah satu diantaranya
pelanggaran HAM perempuan.
Pelanggaran HAM perempuan tersebut dapat digolongkan sebagai tindak
kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi
di mana saja (di tempat umum, di tempat kerja, dilingkungan keluarga
(rumah tangga) dan lain-lainnya. Dapat dilakukan oleh siapa saja (orang tua,
saudara laki-laki ataupun perempuan dan lain-lainnya dan dapat terjadi kapan
saja (siang dan malam). Kekerasan terhadap perempuan yang menjadi
sorortan tulisan ini yakni kekerasan terhadap perempuan yang lokusnya dala
rumah tangga. Dewasa ini kekerasan terhadap perempuan sangat
mencemaskan banyak kalangan terutama kalangan yang peduli terhadap
perempuan. Walaupun sejak tahun 1993 sudah ada Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan namun kekerasan terhadap perempuan tetap
ada dan bahkan cendrung meningkat.
Hal tersebut dapat diketahui dari pemberitaan di mass media baik media
cetak maupun media elektronik.Mengingat luasnya kontek kekerasan
terhadap perempuan, namun dalam tulisan ini dibatasi hanya kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga dalam kedudukannya sebagai istri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yan dimaksud Kekerasan terhadap perempuan ?
2. Apa saja dampak kekerasan terhadap perempuan ?
3. Apa saja pencegahan dan penanganannya ?
4. Apa saja Undang-Undang yang mengatur ?

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan


Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,
perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan
atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Secara filosofis,
fenomena kekerasan merupakan sebuah gejala kemunduran hubungan
antarpribadi, di mana orang tidak lagi bisa duduk bersama untuk
memecahkan masalah. Hubungan yang ada hanya diwarnai dengan
ketertutupan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan. Dalam hubungan seperti ini,
tidak ada dialog, apalagi kasih. Semangat mematikan lebih besar daripada
semangat menghidupkan, semangat mencelakakan lebih besar daripada
semangat melindungi. Memahami tindak-tindak kekerasan di Indonesia yang
dilakukan orang satu sama lain atau golongan satu sama lain dari perspektif
ini, terlihat betapa masyarakat kita sekarang semakin jauh dari menghargai
dialog dan keterbukaan. Permasalahan sosial biasa bisa meluas kepada
penganiayaan dan pembunuhan. Toko, rumah ibadah, kendaraan yang tidak
ada sangkut pautnya dengan munculnya masalah, bisa begitu saja menjadi
sasaran amuk massa. Secara teologis, kekerasan di antara sesama manusia
merupakan akibat dari dosa dan pemberontakan manusia. Kita tinggal dalam
suatu dunia yang bukan saja tidak sempurna, tapi lebih menakutkan, dunia
yang berbahaya. Orang bisa menjadi berbahaya bagi sesamanya. Mulai dari
tipu muslihat, pemerasan, penyerangan, pemerkosaan, penganiayaan,
pengeroyokan, sampai pembunuhan. Menghadapi kenyataan ini, ada dua
bentuk perlawanan yang dilakukan sejauh ini dengan bernafaskan ajaran cinta
damai.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan yang dikenakan pada
seseorang semata-mata karena dia perempuan yang berakibat atau dapat
menyebabkan kesengsaraan/penderitaan secara fisik, psikologis atau seksual.
Termasuk juga ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di muka umum
maupun dalam kehidupan pribadi. (pasal 1, Deklarasi Internasional
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 1993).

Aspek Budaya :
• Kuatnya pengertian yang bersumber pada nilai-nilai budaya yang
memisahkan peran dan sifat gender laki-laki dan perempuan secara tajam dan
tidak setara.
• Sosialisasi pengertian tersebut melalui a.l. keluarga, lembaga pendidikan,
agama, dan media massa, menyebabkan berlakunya keyakinan dan tuntutan:
• laki-laki dan perempuan punya tempat dan perannya sendiri-sendiri yang
khas dalam keluarga/perkawinan/berpacaran.
• laki-laki lebih superior daripada perem-puan, dan mempunyai hak penuh
untuk memperlakukan perempuan seperti barang miliknya
• keluarga adalah wilayah pribadi, tertutup dari pihak luar, dan berada di
bawah kendali laki-laki
• Diterimanya kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik
Aspek Ekonomi :
• Ketergantungan perempuan secara ekonomi pada laki-laki;
• perempuan lebih sulit untuk mendapatkan kredit, kesempatan kerja di
lingkup formal dan informal, dan kesempatan mendapat-kan pendidikan dan
pelatihan.
Aspek Hukum :
• Status hukum perempuan yang lebih lemah dalam peraturan perundang-
undangan maupun dalam praktek penegakan hukum;
• Pengertian tentang perkosaan dan KDRT yang belum menjawab
sepenuhnya kebutuhan perlindungan bagi korban dan penanganan pada
pelaku;
• Rendahnya tingkat pengetahuan yang dimiliki perempuan tentang hukum,
• Perlakuan aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya peka pada
perempuan dan anak perempuan korban kekerasan.
Aspek Politik :
• Rendahnya keterwakilan kepentingan perempuan dalam proses
pengambilan keputusan di bidang politik, hukum, kesehatan, maupun media.
• Kekerasan terhadap Perempuan masih belum sepenuhnya dianggap sebagai
persoalan yang berdampak serius bagi negara,
• Adanya resiko yang besar bila memperta-nyakan aturan agama,
• Terbatasnya partisipasi perempuan di organisasi politik.
BISA TERJADI DI MANA SAJA?
kembali ↑
Kekerasan fisik, psikologis-emosional, seksual dapat terjadi di :
• lingkungan keluarga, misal kekerasan terhadap istri/anak, incest;
• masyarakat umum, misal: pelecehan seks oleh guru/orang lain, praktek-
praktek budaya yang merugikan perempuan/anak perempuan
• wilayah konflik/non konflik dan bencana, misal: kebijakan/fasilitas publik
yang tidak peka gender yang memungkinkan untuk terjadinya kekerasan,
maupun tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat.
APA SAJA DAMPAKNYA?
kembali ↑
Pada Korban :
• Kesehatan Fisik a.l., memar, cedera (mulai dari sobekan hingga patah
tulang dan luka dalam), gangguan kesehatan yang khronis, gangguan
pencernaan, perilaku seksual beresiko, gangguan makan, kehamilan yang tak
diinginkan, keguguran/ melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah,
terinfeksi penyakit menular seksual, HIV/AIDS
• Kesehatan Mental: a.l., depresi, ketakutan, harga diri rendah, perilaku
obsesif kompulsif, disfungsi seksual, gangguan stress pasca trauma
• Produktivitas kerja menurun: sering terlambat datang ke tempat kerja, sulit
berkonsentrasi, berhalangan kerja kare-na harus mendapat perawatan medis,
atau memenuhi panggilan polisi/meng-hadiri sidang.
• Fatal: bunuh diri, membunuh/melukai pelaku, kematian karena
aborsi/kegugur-an/AIDS
Pada Anak :
• Gangguan kesehatan dan perilaku anak di sekolah,
• Terhambatnya kemampuan untuk menjalin hubungan yang dekat dan positif
dengan orang lain,
• Kecenderungan lari dari rumah, adanya keinginan bunuh diri
• Berkemungkinan menjadi pelaku atau cenderung menjadi korban kekerasan
yang serupa di masa remaja/dewasanya
Pada Masyarat & Negara :
• Penurunan kualitas hidup dan kemampuan perempuan untuk aktif ikut serta
dalam kegiatan di luar rumah, termasuk untuk berpenghasilan dan menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat.
• Besarnya biaya untuk penanganan kasus di kepolisian maupun pengadilan,
serta biaya untuk perawatan kesehatan bagi korban
• Menguatnya kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
kembali ↑
Ingat! Persoalan ini bukan persoalan perempuan saja, tetapi merupakan
persoalan bersama.
Pencegahan, penanganan korban dan pelaku adalah tanggung jawab semua
pihak: laki-laki, perempuan, lingkungan tetangga, tokoh agama/masyarakat,
lembaga pendidikan/ agama, dunia usaha maupun pemerintah.
Kerjasama antara pusat penanganan krisis bagi perempuan korban (women’s
crisis center) dengan masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah merupakan
suatu kemutlakan.
Upaya pencegahan dan penanganan korban maupun pelaku yang ada masih
jauh dari memadai. Bagi para perempuan penyandang cacat, kondisi ini lebih
berat dirasakan.
Khusus tentang dukungan bagi korban untuk dapat melanjutkan hidupnya
secara mandiri, sehat dan bermartabat, dibutuhkan beragam dukungan yang
bentuknya fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan korban, dan
bersifat memberdayakan.
PERATURAN/KEBIJAKAN YANG BERKAITAN DENGAN
PEMENUHAN HAK KORBAN
kembali ↑
1. Amandemen UUD 1945
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan.
4. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
5. UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak Kompilasi Hukum Islam
6. UU no 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
7. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan a.l.,:
• Kejahatan terhadap kesusilaan
• Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang
• Kejahatan terhadap nyawa
• Penganiayaan
8. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
9. Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan (RAN PKTP)
10. Keppres tentang Pengarusutamaan Jender
11. Keppres tentang RAN anti Perdagangan Perempuan
12. Keppres tentang RAN anti Eksploitasi Pekerja Anak

Anda mungkin juga menyukai