Anda di halaman 1dari 3

Perempuan dalam Budaya Patriarki di Dunia Jurnalistik

Dunia teknologi sudah banyak mengalami perubahan dari masa ke masa, begitupun dunia
jurnalistik. Semakin berkembangnya dunia maka kita harus kembangkan juga kemampuan serta
kualitas dan pikiran kita dalam menghadapi era yang sudah tergantikan dengan teknologi
canggih ini, terutama budaya patriarki yang masih melekat pada masyarakat Indonesia, baik
dalam seksualitas, dunia kerja maupun hiburan yang sebagian dari kebijakannya masih
mengandung bias gender.

Patriarki, berasal dari kata patriarkat, yang diartikan struktur yang menempatkan peran laki-laki
sebagai penguasa tunggal atau sentris (Rokhmansyah, 2013)

Dalam dunia jurnalistik peran perempuan dengan media sangat berkaitan erat layaknya kulit
buah yang menempel pada isinya. Banyak sekali berita yang menjadikan perempuan sebagai
objek, dengan judul yang tidak relevan dan isi berita yang berorientasi seksual, contohnya
seperti berita pemerkosaan perempuan, yang justru menyudutkan korban.

Pelecehan seksual atau sexual harassment, dapat dimaknai sebagai perilaku yang ditandai
dengan komentar-komentar seksual yang tidak diinginkan dan tidak pantas, atau pendekatan-
pendekatan fisik berorientasi seksual yang dilakukan di tempat atau situasi kerja, profesional,
atau lingkup sosial lainnya (Rusyidi, Bintari & Wibowo, 2019:75).

Pelecehan seksual menjadi isu sosial yang serius dan menjadi keterlibatan yang penting bagi
individu, organisasi, maupun masyarakat secara keseluruhan. Di dunia pekerjaan seringkali
pekerja perempuan tidak mendapatkan haknya, baik dalam hal cuti, pembagian gaji maupun
posisi dan struktur perusahaan yang malah didominasi oleh laki-laki. Tak sedikit pula para
jurnalis perempuan yang mendapatkan perlakuan buruk saat bekerja dilapangan seperti adanya
diskriminatif dan pelecehan dan kekerasan seksual.

Hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tercatat ada 25 dari 34 jurnalis perempuan
yang pernah mengalami kekerasan seksual. Para pelaku kekerasan seksual ini juga beragam,
mulai dari narasumber, pejabat politik dan non-politik, atasan, bahkan rekan kerja sesama
jurnalis.

Belum lagi kekerasan yang terjadi di media sosial, berdasarkan data yang didapat dari The
Chilling Global Trends in Online Violence Agains Women Journalist, UNECSO pada tahun
2021 kekerasan online yang dialami jurnalis perempuan mencapai 73 persen, dan 49 persen
kekerasan online tersebut dikaitkan dengan gender. Bisa jadi inilah alasan mengapa ketimpangan
jumlah jurnalis perempuan dan laki-laki sangat tinggi.

Dalam studi insiden utama (USMSPB, 1981:1987) menyebutkan tujuh kelompok perilaku yaitu
godaan seksual, lelucon, komentar atau pernyataan: tekanan untuk kencan; surat,panggilan
telepon, atau materi yang bersifat seksual; sugestif seksual penampilan atau gerak tubuh;
sentuhan yang disengaja, membungkuk,menikung, atau mencubit; tekanan untuk kenikmatan
seksual; perkosaan atau penyerangan seksual.

Selain yang disebutkan diatas perilaku yang termasuk dalam kekerasan seksual sesuai draf RUU
PKS yaitu seperti pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; pemaksaan perkawinan, dan
pemaksaan pelacuran, lalu ada perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.

Penyebab pelecehan seksual yang bisa terjadi dimana dan kapan saja :

1. Pelaku memiliki hasrat seks yang tidak bisa disalurkan, lalu mereka mencari target untuk
memenuhi hasrat tersebut dengan mencari seseorang yang menurutnya dapat ia kontrol dan
lebih lemah darinya
2. Pelaku memiliki otoritas pada korbannya, misal ia adalah atasan ataupun senior
3. Adanya trauma yang dimiliki pelaku atas kekerasan seksual yang dialaminya sewaktu kecil
4. Ketergantungan pada obat-obatan atau minuman keras
5. Pelaku dikelilingi oleh orang/keluarga yang memiliki paham patriarki yang kuat
6. Fantasi seksual yang tinggi mendorong pelaku untuk melakukan pelecehan seksual
7. Faktor kemiskinan
8. Hubungan keluarga yang buruk
9. Faktor kemiskinan
10. Sering menononton film dan video porno.

Para jurnalis perempuan dan aktivis sosial sudah menyuarakan isu ini, tetapi seperti yang kita
ketahui bahwa beberapa dari mereka yang menyuarakan isu kesetaraan gender mendapatkan
feedback yang kurang baik, dan adanya pembocoran identitas di internet serta ancaman-ancaman
kekerasan lainnya dari beberapa oknum yang tidak diketahui, beberapa diantaranya yaitu adanya
peretasan yang dilakukan untuk menghentikan aktivitas web pemberitaan.

Para jurnalis juga menjalin kerjasama dengan lembaga hukum yang bergerak dalam menangani
kasus pelecehan seperti pengajuan tuntutan kepada para pelaku dan juga pemerintahan atas
penanganan kasus yang menurutnya tidak adil, mereka akan terus berdiri untuk korban pelecehan
seksual baik yang dialami perempuan maupun laki-laki. Selain itu para jurnalis perempuan
melakukan negoisiasi dan mengajukan permintaan secara kolektif kepada atasan, lalu berdiskusi
mengenai pelakuan diskriminatif, yang terakhir mengenai para jurnalis perempuan berusaha
menggali studi tentang gender yang dipublikasikan melalui media.

Pencegahan harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan ,
perangkat desa di setiap daerah dan juga pemerintah, sosialisasikan pencegahan pelecehan
seksual yang rutin, dan waspadalah terhadap lingkungan sekitar, usahakan jika ingin keluar
rumah bawalah alat yang akan membantu Anda dalam keadaan terdesak, seperti lampu yang
dilengkapi alarm pertahanan diri dan pepper spray.

Solusi dan upaya pemerintah yang dapat membantu para jurnalis mendapat hak-hak nya adalah
dengan penegakkan hukum dan memastikan perangkat hukum memberikan perlindungannya.
Kekerasan seksual juga sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
membahas kekerasan dan pelecehan seksual. Lalu kasus ini juga di dukung oleh organisasi yang
ada di Indonesia, yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Anda mungkin juga menyukai