Anda di halaman 1dari 11

Kekerasan Seksual Sebagai Bentuk Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan

Nama : Fayza Fadillah


NIM : 1910116985 / VI A
Mata Kuliah : Hukum dan Gender
Dosen Pengampu : Hj. Yenny A.S., SH., MH.

Abstrak

Kasus kekerasan seksual makin marak terjadi di tempat-tempat umum ataupun dalam
lingkungan rumah tangga. Fakta tersebut menunjukkan posisi perempuan kian rentan terhadap
aksi kejahatan seperti pemerkosaan dan pencabulan. Kondisi ini diperparah dengan rentannya
posisi korban terhadap teror, intimidasi, tidak terlindungi hukum dan terisolir dari masyarakat
luas. Pemerintahan memiliki tanggung jawab besar menangani kasus tersebut. Pelecehan di
tempat umum misalnya dilakukan oleh supir atau bahkan penumpang lain yang tidak mempunyai
etika. Dari tindakan menyentuh bagian sensitif wanita hingga terjadinya pemerkosaan di
angkutan umum. Kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang sangat meresahkan. Dari segi
kualitasnya modus operandi ini semakin mengikat dan kadang kala dilakukan dengan cara yang
tidak manusiawi. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini tidak terbatas pada kerugian
fisik saja melainkan juga kerugian non fisik merupakan penderitaan yang sangat membebani
kehidupan korban. Oleh karena itu, dengan adanya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, maka sudah seharusnya dapat melindungi perempuan dari
korban kekerasan seksual.
Kata Kunci : kekerasan seksual, diskriminasi gender, perempuan

A. Pendahuluan
Kekerasan terhadap perempuan sampai saat ini masih menjadi isu yang sangat penting, baik
itu di dalam negeri ataupun di luar negeri. Kekerasan ini terjadi dalam segala bidang kehidupan
baik itu dalam lingkungan budaya maupun agama. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan
pada akhirnya akan menghambat perempuan untuk terlibat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan
pendidikan. Terdapat fakta di luar negeri maupun di Indonesia, Menurut Catatan Tahunan
(CATAHU) Komnas Perempuan, pada tahun 2011 jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP)
meningkat sekitar 13,32% menjadi sebesar 119.107 kasus dibandingkan pada tahun 2010 yaitu
sebanyak 105.103 kasus. Data ini disampaikan berdasarkan laporan dari 395 lembaga layanan
perempuan korban kekerasan yang tersebar di 33 Provinsi. Menurut data dari Komnas
Perempuan, pada tahun 2010 jumlah KtP tertinggi terdapat di Jawa yaitu sebesar 63.229 korban
yang tercatat, lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2009 yang berjumlah 12.374 korban yang
tercatat. Bahkan hingga saat ini, berdasarkan catatan dari KemenPPA, kasus kekerasan seksual
telah mencapai sebanyak 7.191 kasus di tahun 2020 dan sepanjang tahun 2021 terdapat 10.247
kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 10.368 orang.
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari
2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. Jumlah tersebut berdasarkan data Sistem Informasi Online
Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian PPPA. Belum lagi kasus
kekerasan seksual yang tidak dilaporkan karena alasan-alasan tertentu.
Perempuan yang diperlakukan dengan tindak kekerasan maka realitas jasmani dan mental-
psikologis daya aktualitasnya tidak mampu merespons lingkungan. Aktualitas dirinya
terdegradasi, sehingga harga dirinya jatuh dengan keadaan jiwa yang tertekan. Jenis kekerasan
terhadap perempuan mencakup kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomis
dan kekerasan sosial budaya. Jadi dalam konteks sosiologis kekerasan terhadap perempuan
terjadi pada proses interaksi, yang menghasilkan adanya ketidakseimbangan posisi tawar dalam
status peran atau kedudukan.
Korban kekerasan seksual menerima perlindungan hukum yang lemah sebab dalam KUHP
hanya mengatur tindakan pelecehan seksual sebagai tindakan yang tidak menyenangkan. Selain
itu, tindakan pelecehan seksual merupakan suatu hal yang privat sehingga untuk mencari bukti
maupun saksinya menjadi lebih sulit yang akhirnya berujung kepada kejahatan seksual tersebut
tidak dapat dibuktikan, padahal tidak dapat dibuktikan bukan berarti kejahatan itu tidak pernah
terjadi.
Kemudian, banyak dari respon masyarakat terhadap korban kekerasan seksual justru
membebani korban itu sendiri. Masyarakat tanpa tahu apa yang telah dialami oleh korban pada
saat kejahatan seksual berlangsung cenderung menyalahkan korban dan bahkan ada yang
membenarkan aksi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan seksual tersebut. Pada akhirnya korban
merasa enggan untuk speak up dan hanya memendamnya sendiri sehingga berujung mengalami
depresi.
Locus kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi di mana pun. Tidak ada tempat yang
mutlak aman bagi perempuan, situasi aman bagi perempuan hanya bisa dijamin jika ada upaya
khusus untuk mewujudkannya. Angkutan umum yang tidak memperhatikan kenyamanan dan
keamanan penumpang cenderung sering terjadi tindak kriminalitas seperti pencopetan,
perampokan, penculikan atau yang sedang sering muncul di berita di media elektronik atau
media cetak adalah pelecehan seksual di angkutan umum.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk memaparkan faktor yang
menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan dampak yang dialami oleh
korban setelah mengalami kekerasan seksual, serta upaya perlindungan hukum yang diberikan
terhadap korban kekerasan seksual.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam artikel ini
adalah :
1. Apa faktor yang menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan seksual?
2. Bagaimana dampak yang dialami oleh korban setelah mengalami kekerasan seksual?
3. Bagaimana upaya perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban kekerasan seksual?

C. Pembahasan dan Analisis


1. Faktor Penyebab Perempuan Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Sebelumnya harus dipahami bahwa faktor penyebab kekerasan seksual bukan berasal dari
pihak korban yang 'mengundang' aksi pelecehan dengan memakai baju seksi atau jalan
sendiri di malam hari melainkan memang niat murni dari pelaku. Sebuah survei telah
dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Hollaback! Jakarta, perEMPUan,
Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, dan Change.org Indonesia.
Hasilnya korban kejahatan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan dengan pakaian
terbuka, tetapi juga dialami oleh perempuan yang berhijab. Kejadian yang menimpa korban
juga tetap dialami meskipun di siang hari yang notabenenya masih ramai orang beraktivitas
di luar rumah. "Top 3 baju yang mereka (perempuan) pakai adalah ada rok/celana panjang
(18%), baju lengan panjang (16%). Ini membantah sama sekali (ucapan) 'salah sendiri
nggak pakai baju sopan'. Kita punya data sendiri 17% itu korbannya memakai hijab, ini
sama sekali bukan masalah baju," ujar Peneliti Lentera Sintas Indonesia, Rastra.
Dalam kerangka psikologi evolusioner, rasio jenis kelamin pria-wanita yang lebih tinggi
(lebih banyak pria daripada wanita) menimbulkan persaingan di antara pria untuk
mendapatkan pasangan wanita. Hal ini dapat menyebabkan kecemburuan seksual dan
frustrasi di antara laki-laki yang berkontribusi terhadap kekerasan seksual. Kerangka teoritis
ini melihat kekerasan seksual sebagai metode yang digunakan oleh pria untuk memastikan
kesetiaan seksual pasangan wanita mereka. Namun, teori ini hanya berlaku untuk kekerasan
seksual intrarelationship karena mengacu pada kesetiaan, yang terjadi dalam konteks suatu
hubungan.
Semua kasus kekerasan terhadap perempuan bersumber pada ketimpangan kekuasaan
antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan ini disebut juga sebagai kekerasan berbasis
gender (gender based violence). Ada kemungkinan bahwa dalam budaya di mana laki-laki
dan peran laki-lakinya dihargai lebih baik, kekuatan tambahan yang dirasakan atau nyata
dapat mendorong mereka untuk memikirkan “hak-hak mereka”. Jika seorang wanita menolak
hubungan seksual, hal itu dapat dianggap sebagai ancaman langsung. Oleh laki-laki terhadap
kejantanan mereka, memicu krisis identitas laki-laki dan berkontribusi terhadap kontrol dan
kekerasan seksual seperti yang dilihat sebagai cara untuk menyelesaikan krisis ini.
Dilaporkan bahwa korban yang mencoba melakukan perlawanan atau melarikan diri dari
situasi lebih mungkin dianiaya oleh pelaku.
Kemudian, kekerasan dalam rumah tangga karena pemaksaan melakukan hubungan
seksual. Faktanya kasus KDRT merupakan kasus yang paling menonjol diantara kasus
kekerasan lainnya terhadap perempuan. Layanan mitra Komnas Perempuan mencatat kasus
kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul
kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga
adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah
kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Mengingat sekarang Indonesia sedang dilanda pandemi virus covid19 sehingga
menyebabkan kualitas hidup masyarakat menurun sebaliknya kekerasan terhadap perempuan
di ranah personal semakin meningkat.
Bagi wanita, sex diasosiasikan dengan kesenangan dan dipandang sebagai tanda untuk
hubungan yang kuat dengan pasangan mereka selama itu didasarkan pada persetujuan
bersama dan suasana hati yang tepat. Namun, kebanyakan yang dialami oleh wanita saat
melakukan sex dengan pasangannya adalah rasa sakit dan tidak nyaman karena dilakukan
dalam keadaan dipaksa dan disiksa tetapi tidak dapat menolaknya demi memenuhi
kewajibannya sebagai seorang istri. Hal demikian memang suatu topik yang privat karena
berkaitan dengan hubungan rumah tangga sebagai pasangan suami istri, tetapi perlu dipahami
kembali bahwa melakukan sex harus sama-sama mau jika tidak atas persetujuan bersama
maka sex yang dilakukan dapat dipandang sebagai tindakan kekerasan seksual karena
memaksakan terpenuhinya nafsu alamiahnya kepada orang lain yang enggan. Segala sesuatu
yang dilakukan dengan paksaan dan ancaman merupakan tindakan kekerasan. Meskipun
memang kewajiban seorang istri adalah melayani suaminya bukan berarti suami dapat
bertindak sesuka hati tanpa mempertimbangkan pendapat istri yang merasa kurang nyaman.
Faktor lainnya adalah dikarenakan dominasi nilai-nilai patriarki. Benih-benih pemukulan
istri berakar pada posisi perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki atau berada di
bawah otoritas dan kendali laki-laki. Hubungan perempuan dan laki-laki seperti ini telah
dilembagakan dalam struktur keluarga partiarkal dan didukung oleh lembaga-lembaga
ekonomi dan politik oleh sistem keyakinan termasuk sistem religius yang membuat
hubungan semacam itu tampak alamiah, adil bermoral dan suci.
Kemudian, pemahaman ajaran agama yang bias. Dalam realitas sehari-hari di masyarakat
pemahaman-pemahaman yang membenci perempuan banyak disosialisasikan. Faktor
penafsiran menempati posisi yang sangat strategis dalam tindak kekerasan seksual dalam
rumah tangga. Karena inilah yang biasanya merupakan pembenaran awal bagi tindakan
tersebut. Berdalih argumen hukum atau dari nilai-nilai patriarki terasa terlalu jauh. Bagi
orang-orang yang menjadi penyiksa istri, biasanya agama merupakan sesuatu yang terdekat
dalam bayangan mereka untuk membenarkan perilakunya.

2. Dampak yang Dialami Oleh Korban Kekerasan Seksual


Kekerasan seksual menjadi peristiwa yang membuat korbannya mengalami trauma dan
terkena tekanan mental. Setelah mengalami kekerasan kehidupan korban ikut berubah,
mereka menjadi takut dan tidak percaya diri serta bersikap waspada yang berlebihan. Setiap
korban memiliki respon yang berbeda terhadap peristiwa yang menimpanya sesuai dengan
kepribadian masing-masing korban. Mereka memerlukan uluran bantuan baik berupa layanan
hukum, medis, maupun dukungan sosial dari masyarakat. Media massa juga ikut berperan
dalam membantu pemulihan korban yaitu dengan mempublikasikan sumber daya untuk
membantu korban dan memberikan edukasi kepada masyarakat berupa pemahaman terhadap
peristiwa kekerasan seksual.
Tatanan hukum Indonesia yang tidak cepat tanggap kurang memerhatikan kondisi dari
korban kekerasan seksual dapat mengakibatkan timbulnya perasaan menyalahkan diri sendiri
oleh korban karena menganggap dirinya lemah tak berdaya. Padahal apa yang dialami oleh
korban pada saat kejahatan berlangsung terdapat penjelasan ilmiahnya dalam ilmu
pengetahuan psikologi disebut freeze response. Psikolog sekaligus konselor Nuzulia Rahma
Tristinarum, menjelaskan alasan seseorang tidak mengambil tindakan saat dirinya mengalami
pelecehan. “Saat kejadian berlangsung, bisa jadi seseorang tidak dapat melakukan hal yang
tepat karena reaksi alamiah otak dan tubuh. Freeze respons ini membuat tubuh terasa tidak
dapat digerakkan, selama proses ini otak sedang mencerna apa yang terjadi dan
memberikan sinyal bahaya sehingga tubuh memberikan respon diam yang sebenarnya
adalah untuk melindungi,”.
Berikut ini diuraikan dampak-dampak yang dapat dialami oleh perempuan sebagai
korban kekerasan seksual :
1. HIV dan Infeksi Menular Seksual Lainnya
Kekerasan ketika berhubungan intim merupakan kontributor penting dalam kerentanan
perempuan terhadap HIV dan IMS. Mekanisme yang mendasari kerentanan wanita
terhadap HIV atau IMS adalah hubungan seksual secara paksa. Perempuan dalam
hubungan kekerasan, atau yang hidup dalam ketakutan kekerasan, juga mungkin
memiliki kontrol terbatas atas waktu atau keadaan dari hubungan seksual, atau
kemampuan mereka untuk menegosiasikan penggunaan kondom.
2. Aborsi
Perilaku kekerasan terhadap perempuan berdampak besar pada kesehatan seksual dan
reproduksi perempuan serta penggunaan kontrasepsi seperti kondom, ketidakmampuan
perempuan untuk menolak paksaan laki-laki dalam penggunaan kondom mengakibatkan
kelahiran yang tidak diinginkan. Diperkirakan dari 80 juta kehamilan yang tidak
diinginkan setiap tahun, setidaknya setengah dihentikan melalui aborsi dan hampir
setengah dari mereka berlangsung dalam kondisi aborsi yang tidak aman. Kehamilan
yang tidak diinginkan dilakukan dengan risiko bagi ibu dan bayi karena aborsi ilegal dan
risiko kematian akan mengancam.
3. Berat Badan Lahir Rendah dan Prematur
Berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur atau pembatasan pertumbuhan dalam
rahim sangat berhubungan dengan stress dan lingkungan yang tidak mendukung yang
berakibat pada tingkat stress kronis menjadi faktor risiko utama kesehatan ibu dan akan
mempengaruhi janin. Studi observasional yang dilakuakan untuk menyelidiki kekerasan
pada pasangan intim berpotensial mengakibatkan bayi lahir berat rendah serta lahir
prematur.
4. Luka Non-Fatal
Kekerasan pada pasangan yang berhubungan intim secara paksa dikaitkan dengan banyak
konsekuensi kesehatan, tetapi efek yang langsung cedera adalah fatal dan non-fatal.
Diperkirakan bahwa sekitar setengah dari wanita di Indonesia yang terluka secara fisik
dengan pasangan mereka, sebagian besar dari mereka masih terlihat bekas luka di bagian
kepala, leher dan wajah akibat kekerasan pasangan mereka, diikuti oleh cedera otot dan
cedera genital.
5. Depresi dan Bunuh Diri
Kekerasan seksual dapat menyebabkan depresi dan usaha bunuh diri serta peristiwa
traumatis sehingga perempuan akan menjadi deprsi memungkinkan terjadi perilaku
bunuh diri. Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita dengan masalah kesehatan mental
akibat kekerasan seksual sering akan mengakhiri hidupnya.

3. Upaya Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual


Mengingat kejamnya kekerasan seksual yang kerap terjadi pada perempuan, maka
diperlukan adanya upaya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Adapun upaya
perlindungan yang diberikan dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, penanganan kasus
kekerasan seksual terhadap korban yang akan diterima oleh petugas penerima pengaduan.
Laporan selanjutnya akan diproses dan ditindaklanjuti dengan melakukan identifikasi
terhadap korban kekerasan seksual oleh petugas yang ditunjuk dengan menggunakan blanko
formulir detail khusus. Kemudian, korban akan diberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
korban antara lain:
a. Menyediakan konselling secara psikis, agama, dan sosial pada korban kekerasan seksual
agar bisa sembuh dari trauma yang menyerang jiwanya;
b. Memberikan bantuan hukum dan pendampingan hukum agar perkara dapat diselesaikan
secara legal dalam ranah hukum melalui peran LBH, Advokat, ataupun paralegal.
Pendampingan hukum ini dapat dilakukan dengan cara pendampingan pelaporan dan
pembuatan Berita Acara Pemeriksaan di Kantor Kepolisian, koordinasi dengan pihak
Kejaksaan sampai pendampingan korban di pengadilan hingga penjatuhan putusan
hukum oleh hakim kepada pelaku kekerasan seksual.

Pada tahun-tahun sebelumnya, Undang-Undang yang mengatur mengenai kekerasan


seksual adalah KUHP. Namun, KUHP hanya memberikan dua jenis kekerasan seksual
sehingga perlindungan hak-hak korban dipandang belum terjamin. Prosedur dalam
melindungi hak-hak korban pada saat melakukan penanganan terhadap kasus-kasus
kekerasan seksual pun belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana
(KUHAP). Sedangkan, pada RUU PKS yang mendasarkan kepada pendekatan hukum yang
berperspektif perempuan (Feminist Jurisprudence ) lebih memperluas jenis-jenis kekerasan
seksual dan memberikan masing-masing pengertian dari tiap jenis kekerasan dengan lebih
mendetail. Selain itu, pemberlakuan RUU PKS tidak hanya akan mengatur tentang tindak
pidana kekerasan seksual saja, namun juga mengatur Hukum Acara dalam penanganan
perkara kekerasan seksual, bahkan perlindungan saksi maupun korban. Hal ini dapat mengisi
kekosongan ketentuan mengenai pemberlakuan Hukum Acara yang tidak bias gender dan
tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan Dengan Hukum. Selain itu, terkait dengan perlindungan saksi dan
korban, RUU PKS dapat mengisi kekosongan ketentuan hukum yang tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Kemudian, pada akhirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (12/4/2022), menjadi momentum bagi negara untuk
hadir bagi para korban kekerasan seksual. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (UU TPKS) yang memuat politik hukum yang penting dan strategis serta merupakan
terobosan dalam pembaruan hukum. Regulasi itu diharapkan menjawab berbagai persoalan
kekerasan seksual yang terus terjadi dalam berbagai modus.
Untuk mengoptimalkan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, UU TPKS
yang disahkan DPR mengatur sembilan TPKS, yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan
seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan,
penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis
elektronik. Selain itu, RUU TPKS mengatur sepuluh tindak pidana lain sebagai TPKS yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, seperti pemerkosaan dan perbuatan cabul,
serta pemaksaan pelacuran.
Meskipun dinilai masih belum sempurna, UU TPKS dianggap memiliki beberapa capaian
karena berpihak pada korban. Undang-undang itu mengizinkan lembaga penyedia layanan
berbasis masyarakat ikut berperan dalam proses pendampingan dan perlindungan korban
kekerasan seksual.
Selain itu, ada juga ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual mendekati korban
dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. "Ketentuan ini
menjadi ujung tombak keselamatan korban kekerasan seksual agar korban aman dan tidak
harus melarikan diri dari pelaku," tulis JMS dan FPL dalam keterangan persnya.
Terakhir, undang-undang ini juga mengatur ketentuan tentang hak korban, keluarga
korban, saksi, ahli dan pendamping untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam
mendapatkan keadilan, pemulihan, dan perlindungan.

D. Penutup
Kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang
dipaksakan dan mengakibatkan terjadinya kekerasan oleh pelaku dan tidak diinginkan oleh dan
bersifat ofensif bagi korban. Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan tindakan yang
dapat merenggut hak asasi manusia seseorang. Korban kekerasan seksual seperti pemerkosaan
akan mengalami trauma dan menanggung malu sepanjang hidupnya. Dalam kehidupan
masyarakat, semua warga Negara harus berpatisipasi penuh atas terjadinya kejahatan sebab
masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem kepercayaan yang melembaga. Bagi korban
kekerasan seksual dengan terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya tentu akan menghancurkan
sistem kepercayaan tersebut. Oleh karena itu korban kekerasan seksual layak mendapatkan
perlindungan yang setimpal. Kemudian dengan disahkannya UU PKS memang mendasarkan
kepada perspektif perempuan, tetapi tidak dibentuk untuk menjatuhkan martabat seorang laki-
laki, sebaliknya UU PKS dibentuk untuk menyetarakan gender di Indoesia.

E. Daftar Pustaka

References
Anindyajati, G. (2018, Agustus 8). More Support Needed For Rape Victims. Retrieved from
https://www.thejakartapost.com/life/2018/08/08/more-support-needed-for-rape-victims.html.

Lestari, S. (2015, November 26). Jangan Salahkan Perempuan Korban Kekerasan Seksual. Retrieved from
bbc.com:
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151126_indonesia_kekerasan_seks
ual.

Mulyana, K. E. (2022, Maret 8). Terdapat 1.411 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Sepanjang
Januari hingga Februari 2022. Retrieved from https://www.kompas.tv/article/268388/terdapat-
1-411-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-sepanjang-januari-hingga-februari-
2022#:~:text=JAKARTA%2C%20KOMPAS.TV%20%E2%80%93%20Jumlah,(SIMFONI%20PPPA)
%20Kementerian%20PPPA.

Ni Putu Rai Yuliartini, G. D. (2021). Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban
Kekerasan Seksual di Bali. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang.

Ridhoi, M. A. (2020, September 22). katadata.co.id:


https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/5f69619121b54/kekerasan-terhadap-
perempuan-di-masa-covid-19. Retrieved from Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Covid
19.

Sanjaya, A. (n.d.). Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia.

Sihombing, R. F. (2019, Juli 17). news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-4627690/survei-


pelecehan-seksual-pakaian-terbuka-bukan-sebab-perempuan-jadi-korban. Retrieved from Survei
Pelecahan Seksual : Pakaian Terbuka Bukan Sebab Perempuan Jadi Korban.

SINOMBOR, S. H. (2022, April 13). UU TPKS Disahkan, Tonggak Awal Penghapusan Kekerasan Seksual.
Retrieved from https://www.kompas.id/baca/dikbud/2022/04/12/uu-tpks-disahkan-
perjuangan-untuk-korban-masih-panjang.
https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-
dan-poin-kunci-5-maret-2021

http://digilib.uinsgd.ac.id/32910/1/summary%20K%20SEKSUAL.pdf
http://repository.unpas.ac.id/11629/3/BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai