Anda di halaman 1dari 12

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH SOSIOLOGI GENDER

TUGAS REVIEW JURNAL

KETIDAKADILAN GENDER: KEKERASAN PEREMPUAN DALAM


RUMAH TANGGA

Oleh:

Ananda Agung Wicaksono

F1A018064

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

2021
PENDAHULUAN

Latar belakang

Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang pada


saat ini menjadi keprihatinan berbagai pihak. Fenomena tersebut semakin
memprihatinkan karena seringkali pelaku kekerasan adalah orang-orang yang
dipercaya, dihormati, dan dicintai, serta terjadi di wilayah yang seharusnya
menjamin keamanan setiap penghuninya, yaitu keluarga. Ironisnya, kekerasan
terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan intimnya justru menduduki
peringkat tertinggi diantara berbagai macam bentuk kekerasan terhadap
perempuan (Department of Public Information dalam Nurhayati, 2005).
Kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan pelanggaran HAM yang
paling kejam yang dialami perempuan (Nuristifania dalam Susanty dan
Julqurniaty, 2019).

Dewasa ini kita menyaksikan dengan jelas munculnya berbagai tindak


kriminalitas, kerusuhan, kerusakan moral, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan
seksual, dan lain-lain yang keseluruhannya adalah wadah budaya kekerasan.
Menurut Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan (KtP) adalah segala
tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau
kecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual,
maupun psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak
perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun
secara sengaja membatasi kebebasan perempuan. Tindakan kekerasan ini dapat
terjadi dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat (Harnoko, 2010).
Kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan intimnya tersebut
dikenal dengan istilah “kekerasan dalam rumah tangga” (Johnson & Sacco, dalam
Nurhayati, 2005).

Kekerasan terhadap perempuan sendiri menurut Komnas Perempuan


terbagi dalam tiga ranah yaitu ranah personal/ KDRT, ranah komunitas/publik dan
ranah negara. Ranah personal/KDRT artinya pelaku adalah orang yang memiliki
hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan
(suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban; ranah komunitas/publik
artinya pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun
perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja,
tokoh masyarakat,ataupun orang yang tidak dikenal; dan ranah negara artinya
pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas. Termasuk di
dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara
berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk menghentikan atau justru
membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut (Susanty dan Julqurniaty, 2019).
Pada tiga ranah tersebut, ranah personal/KDRT memiliki jumlah kasus paling
besar yaitu sebanyak 1.404 kasus (65%)%, disusul ranah komunitas/publik
sebanayak 706 kasus (33%) dan ranah negara sebesar 1% atau sebanyak 24 kasus
(Komnas Perempuan, 2021).

Siapapun sebetulnya berpotensi untuk menjadi pelaku maupun korban dari


kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku maupun korban kekerasan dalam rumah
tangga pun tidak mengenal status sosial, status ekonomi, tingkat pendidikan, usia,
jenis kelamin, suku maupun agama (Puspitasari, 2010). Namun demikian,
berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2021, selain menggambarkan adanya
peningkatan jumlah pengaduan kasus kekerasan dalam rumah tangga dari tahun
ke tahun juga menunjukkan bahwa diantara korban tersebut terbanyak adalah istri,
hal ini ditunjukan dengan kasus yang paling menonjol adalah di Ranah Personal
(RP) atau disebut KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sebanyak 79%
(6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati
peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309
kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan
terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan
oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Data tersebut menunjukkan pada kita bahwa mayoritas korban kekerasan dalam
rumah tangga ternyata perempuan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perempuan
tergolong pihak yang dianggap rentan terhadap kekerasan, khususnya kekerasan
dalam rumah tangga.

Tragis memang, kondisi kaum perempuan yang masih sangat rentan


terhadap berbagai bentuk tindak kekerasan baik di ranah publik maupun domestik
menjadi tanda tanya besar mengapa hal tersebut terjadi. Perempuan sebagai
makhluk yang seharusnya disayangi dan dilindungi, justeru menjadi objek dari
kekerasan yang dilakukan oleh para laki-laki yang berada sangat dekat dengan
mereka. Menurut kacamata feminis, kekerasan terhadap perempuan sama dengan
kekerasan berbasis gender. Persamaan tersebut bukan tanpa sebab, karena selama
ini kekerasan yang dialamai oleh kaum perempuan terjadi karena perbedaan relasi
gender yang timpang. Kekerasan berbasis gender ini merupakan hasil bentukan
interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat patriarki (sistem yang didominasi
dan dikuasai oleh laki-laki) (Harnoko, 2010).

Berangkat dari keprihatinan akan hal tersebut, maka sejak beberapa


dekade ini banyak pihak melakukan upaya penyadaran tentang kesetaraan gender,
baik melalui publikasi maupun aksi-aksi. Informasi tentang kesetaraan gender
diharapkan dapat mengubah pandangan dan keyakinan yang sudah melekat
tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Selain itu informasi tentang
kesetaraan gender juga diharapkan mampu mengubah pandangan masyarakat
tentang ketidakadilan gender. Dukungan informasi tentang kesetaraan gender
tersebut membantu perempuan yang mengalami kekerasan untuk menentukan
sikapnya terhadap ketidakadilan gender serta menilai masalahnya secara lebih
jernih dan realistis (Purwaningsih, 2008).

Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk dan dampak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah


tangga?

2. Apa akar penyebab dari kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga?

3. Bagaimana upaya untuk menghilangkan akar masalah dari kekerasan terhadap


perempuan dalam rumah tangga?
PEMBAHASAN

Bentuk dan Dampak Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dipandang lagi sebagai


masalah antar individu, tetapi merupakan masalah sosial dalam masyarakat yang
berkaitan dengan segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman, pelecehan dan
pengabaian terhadap martabat manusia. Kekerasan terhadap perempuan
merupakan refleksi dari kekuasaan laki-laki dan merupakan perwujudan
kerentanan perempuan di hadapan laki-laki, bahkan merupakan gambaran dari
ketidakadilan (Purwaningsih, 2008).
Berdasarkan dari pemaparan di atas, ruang lingkup kekerasan terhadap
perempuan atau kekerasan berbasis gender dapat dikategorikan menjadi 2 (dua)
yaitu: Kekerasan di ranah publik (publik violence), yaitu kekerasan yang dialami
perempuan di luar rumah atau di masyarakat pada umumnya. Sedangkan
kekerasan dalam ranah domestik (domestik Violence) yaitu kekerasan yang terjadi
dalam lingkup rumah tangga (Harnoko, 2010).
Menurut Wahab (2010) bentuk-bentuk KDRT dapat dijelaskan secara
detil. Pertama, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat. Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan
perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam,
mencekik, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata,
dan membunuh. Perilaku ini sungguh membuat anak-anak menjadi trauma dalam
hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman.
Kedua, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Adapun tindakan
kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan
menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang
berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci
maki, dan penghinaan secara terus menerus.
Ketiga, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual. pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dari/atau
tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi: (a) Pemaksaan
hubungan seksual yang dllakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
Keempat, penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korbarn berada di bawah kendali
orang tersebut.
Dampak kasus kekerasan dalam rumah tangga bagi anak dan perempuan
menurut Umar (dalam Setyaningrum dan Arifin, 2019) tindak kekerasan dalam
rumah tangga berupa kekerasan fisik dapat mengakibatkan korban kekerasan
mengalami rasa sakit baik luka di bagian dalam maupun luka di bagian luar.
Kedua, kekerasan psikis bagi korban sebagai akibat dari perilaku atau perbuatan
yang menyebabkan korban tidak berdaya, rasa takut yang berlebihan, hilangnya
rasa percaya diri, dan beban mental karena kegelisahan dan permasalahan yang
selalu muncul baik dalam hati maupun pikirannya. Ketiga, kekerasan seksual
merupakan tindak kekerasan yang menimbulkan korbannya mengalami depresi,
rasa takut karena perbuatan yang tidak disukai oleh korban disertai adanya sikap
pemaksaan maupun penganiayaan. Keempat, penelantaran dalam rumah tangga
yang dapat menimbulkan korbannya merasa tidak dilindungi, tidak mendapat
perhatian, bahkan tidak memperoleh hak sebagaimana mestinya.

Akar Penyebab dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Isu kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh kaum perempuan
seringkali dianggap sebagai persoalan individu. Kekerasan dalam rumah tangga
yang selama ini banyak terjadi dapat dikatakan sebagai suatu fenomena gunung
es. Artinya bahwa persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini
muncul ke permukaan (publik) hanyalah puncaknya saja. Persoalan kekerasan
dalam rumah tangga yang muncul dalam sebuah keluarga lebih banyak dianggap
sebagai sebuah permasalahan yang sifatnya pribadi dan harus diselesaikan dalam
lingkup rumah tangga (bersifat tertutup dan cenderung sengaja ditutup-tutupi)
(Puspitasari, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Triana Sofiani (2013)


dikemukakan bahwa, akar masalah terjadinya kekerasan terhadap perempuan
KDRT antara lain:

Pertama, pemahaman tafsir teks-teks agama yang rata-rata masih bias laki-laki;

Kedua, budaya patriakhal. Yaitu menempatkan laki-laki pada kedudukan yang


lebih tinggi dari perempuan dan mengakui superioritas laki-laki di atas
perempuan. Sebagai kepala keluarga, laki-laki mempunyai otoritas yang besar
dalam pengambilan keputusan dalam keluarga (domestik) serta berperan dalam
kehidupan sosial (publik). Sehingga dibenarkan apabila laki-laki (suami)
mengontrol perempuan (istri), dengan alasan mendidik atau bahkan melakukan
tindakan represif seperti pemukulan;

Ketiga, mitos KDRT. Mitos ini diyakini sebagai sebuah kebenaran. Misalnya:
KDRT jarang dan tidak mungkin terjadi; rumah tangga adalah urusan pribadi,
sehingga yang ada didalamnya bukan urusan orang lain dan; tindakkan kekerasan
adalah bukti cinta dan kasih sayang, setelah terjadi kekerasan si dia akan lebih
mesra;

Keempat, KDRT terjadi sebagai tindakan yang paling efektif dan ampuh untuk
mengakhiri konflik antar pasangan. Atau secara psikologis, sebagai bentuk
komunikasi dengan cara pemberian sugesti untuk melemahkan mental pasangan;
Kelima, role model. Sifat meniru dari anak laki-laki yang tumbuh dalam
lingkungan keluarga yang bapaknya suka memukul/kasar kepada ibunya,
cenderung meniru pola tersebut kepada pasangannya. Atau kebiasaan-kebiasaan
yang dipelajari dan diperoleh anak melalui orang tua akan membentuk perilaku
anak setelah dewasa.

Keenam, idiologi harmoni. Idiologi ini menekankan konsep keluarga harmonis


adalah dambaan setiap orang, oleh karena itu istri yang baik adalah yang manut
pada suami, nrimo, sabar dan bisa menutupi keburukan-suaminya walau si suami
berprilaku kasar. Ibaratnya “swargo manut neroko katut”. Sehingga konflik dalam
rumah tangga diyakini hanya bersifat sementara, hal yang biasa dan kalau terjadi
konflik antara suami istri pasti akan kembali harmonis lagi.

Dari berbagai penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan


sebagaimana pemaparan di atas, sebenarnya secara umum hal yang utama menjadi
akar masalah adalah adanya ketimpangan relasi gender yang dibentuk oleh budaya
patriarkhi sehingga dalam berbagai sisi kehidupan perempuan dianggab sebagai
makhluk nomor dua. Sedangkan sebab yang lain terjadi karena sebab utama
tersebut telah menguasai seluruh sisi kehidupan dan masuk ke berbagai ranan baik
politik, ekonomi bahkan agama (Harnoko, 2010).

Upaya untuk Menghilangkan atau Membongkar Akar Masalah dari KDRT


Untuk menghilangkan akar masalah KDRT, yaitu ketimpangan relasi
gender yang dibentuk oleh budaya hegemoni yang patriarkis, dibutuhkan peran
serta berbagai pihak, yaitu : pemerintah; LSM; dan tokoh masyarakat (Hanifah,
2017).
1. Peran Pemeritah. Pemerintah telah menunjukkan proaktifnya untuk mendukung
atau memperjuangkan kesetaraan gender, seperti telah dibentuknya Meteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU
PKDRT). Disamping itu perlu juga dibentuk pengadilan khusus perempuan
korban tindak kekerasan.
2. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat. Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat
yang peduli perempuan, seperti Perlindungan dan Pemberdayaan Hak-hak
Perempuan (P2H2P), LBH-APIK, PIRAC, dan lain-lain, perlu menyusun dan
melaksanakan program sosialisasi UU PKDRT, baik sosialisasi melalui media
massa, media cetak, media elektronik, maupun sosialisasi langsung ke
masyarakat.
3. Peran Tokoh Masyarakat: Memberi ceramah-ceramah keagamaan yang
berasaskan “prophetic religion”, yaitu agama yang peduli kepada nasib manusia
dan berusaha membebaskannya dari penderitaan hidup dengan menghilangkan
semua penyebabnya berupa penindasan, ketidakadilan, diskriminasi, dan lain-lain.
Sedangkan tokoh adat dapat membuat seperangkat aturan yang disepakati bersama
dan diberlakukan untuk mendukung penghapusan tindak kekerasan dalam rumah
tangga. Tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat perlu berperan aktif dalam
hal pencegahan, penanganan, dan penyelesaian kekerasan terhadap perempuan
dalam rumah tangga.

Kesimpulan

Kekerasan terhadap perempuan merupakan setiap perbuatan yang


berkaitan atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan bagi perempuan,
baik secara fisik, seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan
perampasan kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun di
lingkungan rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam tindak
kejahatan yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi korban. Dampak negatif
yang dirasakan oleh korban kekerasan yakni dampak baik secara fisik, mental
maupun psikis. Umumnya korban yang mengalami tindak kekerasan akan
merasakan gangguan psikis karena tindak kekerasan yang pernah di alaminya.
Kekerasan tersebut tidak hanya terlihat secara fisik, akan tetapi menyebabkan
penderitaan yang mendalam secara mental untuk jangka panjang. Pada intinya
akar masalah terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga dilatarbelakangi oleh ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan
perempuan. Selain itu, beberapa faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan
adalah pemahaman tafsir teks-teks agama yang rata-rata masih bias laki-laki,
budaya patriakhal, mitos KDRT, pemahaman yang keliru mengenai KDRT, role
model, faktor ekonomi dan idiologi harmoni. Untuk menghilangkan atau
membongkar akar masalah terjadinya KDRT diperlukan peran serta dari berbagai
pihak, yaitu pemerintah, LSM, dan tokoh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Hanifah, Abu. 2007. Permasalahan kekerasan dalam rumah tangga dan alternatif
pemecahannya. Sosio Konsepsia: Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 03, 2007 : 45-56. diakses melalui:
https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/SosioKonsepsia/article/view/640 pada
tanggal 17 April 2021. DOI: https://doi.org/10.33007/ska.v12i3.640

Harnoko, B. R. (2010). Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan.


MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender, Vol. 2, No. 1, 181–188. Diakses
melalui:http://ejournal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/vi ew/16
Pada tanggal 17 April 2021.

Nurhayati, Siti Rohmah. 2005. "Atribusi kekerasan dalam rumah tangga, kesadara
n terhadap kesetaraan gender, dan strategi menghadapi masalah pada perempuan k
orban kekerasan dalam rumah tangga." Jurnal Psikologi UGM 32.1: 8-12. Diakses
pada tanggal 17 April 2021 melalui:
http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/26715

Purwaningsih, E. (2008). Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap p


erempuan dalam rumah tangga (studi di Polres Mataram). Universitas Brawijaya.
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/110039 Diakses pada tanggal 17 April 2021.

Puspitasari, Chandra Dewi. 2010. "Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tan
gga." Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses pada tanggal 18 April
2021.http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/perempuan&kdrtmakalah %20p
pm%20kdrt_0.pdf

Setyaningrum, Ayu, and Ridwan Arifin. 2019. "Analisis Upaya Perlindungan dan
Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Khususny
a Anak-Anak dan Perempuan." Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial, Po
litik dan Hummanioramaniora 3.1: 9-19. Diakses tanggal 17 April 2021
melalui: http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/muqoddimah/article/view/677

Sofiani, Triana. 2013. “Agama dan Kekerasan Berbasis Gender”, dalam Jurnal
Penelitian vol. 5 No. 2. doi: https://doi.org/10.28918/jupe.v5i2.246.
Diakses pada tanggal 17 April 2021 melalui http://ejournal.iainpekalongan.
ac.id/index.php/Penelitian/article/view/246

Susanty, Dewi Indah, and Nur Julqurniati. 2019. "Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Di Kota Larantuka Kabupaten Flores Timu
r)." Sosio Konsepsia 8.2: 139-156. Diakses pada tanggal 17 April 2021
https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/SosioKonsepsia/article/view/1661. DOI:
https://doi.org/10.33007/ska.v8i2.1661

Wahab, Rochmat. (2010). Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis


dan Edukatif. Unisia, (61), 247-256. Diakses tanggal 17 April 2021 melalui:
https://journal.uii.ac.id/Unisia/article/view/5488.
DOI:10.20885/unisia.vol29.iss61.art1

Anda mungkin juga menyukai