Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku kasar dalam hubungan apa pun yang
digunakan oleh satu pasangan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dan
kendali atas pasangannya. Seorang pelaku kekerasan selalu berusaha untuk mendapatkan
rasa kontrol dan kekuasaan dari orang lain, dan bentuk-bentuk kekerasan dapat mencakup
fisik, seksual, emosional, ekonomi, atau bahkan psikologis. Meskipun mayoritas dari mereka
yang terkena adalah perempuan, hal itu dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang ras,
usia, orientasi seksual, jenis kelamin, atau agama.
Ketika pelecehan kekerasan datang dari seseorang yang telah berjanji untuk mencintai
dan melindungi kita hal itu dapat menjadi kejutan yang menakutkan. Untuk beberapa
korban, perilaku yang awalnya tidak terduga ini diabaikan begitu saja. Begitu mulai menjadi
masalah yang berulang, sayangnya, terkadang alasan masih dibuat atau mereka yang
terpengaruh sepenuhnya menyadari masalah tersebut, tetapi merasa seolah-olah mereka
tidak punya tempat lain untuk pergi. Bagi seseorang yang belum pernah mengalami
kekerasan dalam rumah tangga atau melihat hal itu terjadi pada orang yang dekat
dengannya, mungkin mudah untuk mempertanyakan mengapa orang tersebut tidak pergi
begitu saja. Pada kenyataannya, hambatan terbesar untuk mengakhiri kekerasan bukanlah
masalah apakah korban memilih untuk pergi, tetapi apakah korban dapat melarikan diri
dengan aman.
Analisis data prevalensi tahun 2018 dari tahun 2000-2018 di 161 negara dan wilayah,
yang dilakukan oleh WHO atas nama kelompok kerja Antarlembaga PBB untuk kekerasan
terhadap perempuan, menemukan bahwa di seluruh dunia, hampir 1 dari 3, atau 30%, wanita
telah menjadi sasaran terhadap kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan. Lebih dari
seperempat wanita berusia 15-49 tahun yang telah menjalin hubungan telah mengalami
kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan intim mereka setidaknya sekali dalam
seumur hidup mereka (sejak usia 15 tahun). Perkiraan prevalensi kekerasan pasangan intim
seumur hidup berkisar 33% di wilayah Asia Tenggara. Berdasarkan CATAHU tahun 2020
dari sejumlah 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan,
jenis kekerasan terhadap perempuan tercatat: Kasus yang paling menonjol adalah di Ranah
Personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal)
sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI)
menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309
kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak
perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan
suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Kekerasan di ranah pribadi ini
mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, bentuk kekerasan yang paling
menonjol adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) menempati peringkat pertama disusul
kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus
(10%). Tindakan KDRT terbesar terdapat di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan masing-
masing sebesar 1.459 dan 1.455 kasus.
Kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya masalah individu atau bahkan keluarga,
tetapi masalah yang memiliki kapasitas untuk memiliki konsekuensi negatif pada
masyarakat. Dampak perkembangan negatif pada anak-anak yang terpapar trauma
berdampak pada pekerjaan sekolah dan kesehatan mental mereka. Orang-orang yang selamat
dari kekerasan dalam rumah tangga dapat menderita konsekuensi dari kehilangan
penghasilan dan kehilangan dukungan keuangan dari pasangan yang kasar. Kekerasan dalam
rumah tangga dan keluarga merupakan masalah sosial yang signifikan yang menjadi fokus
peningkatan kepedulian masyarakat. Apakah anak-anak mengalami kekerasan sendiri atau
menyaksikan perilaku ini, kekerasan dapat memiliki dampak jangka panjang pada
kesejahteraan dan perkembangan anak.
Keseriusan dan prevalensi kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga berarti bahwa
praktisi membutuhkan cara untuk meminimalkan risikokepada anak-anak dan
korban/penyintas dewasa dan untuk mendukung keselamatan dan kesejahteraan mereka.
Dengan demikian, tanggung jawab pemerintah lebih dari sekadar mengkriminalisasi
kekerasan dalam rumah tangga dan menuntut pelaku (walaupun ini penting). Dalam pasal 5
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
menyebutkan, ‘Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasa seksual, atau penelataran rumah tangga’. Peran pemerintah dalam menegakkan
keadilan publik mengharuskan pemerintah untuk menangani kekerasan dalam rumah tangga
secara holistik dan preventif sedapat mungkin dengan membentuk kemitraan dengan
penyedia layanan terbaik, untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga sejak awal dan
juga untuk mengembalikan korban ke fisik, spiritual, dan keutuhan finansial.
Berdasarkan latar belakang di atas maka Kelompok 7 ingin membahas tentang
pemberdayaan perempuan dan masalah sosial kekerasan dalam rumah tangga.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Bagaimanakah pemberdayaan perempuan dan masalah sosial kekerasan dalam rumah
tangga?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan tentang pemberdayaan perempuan dan masalah sosial kekerasan dalam
rumah tangga
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan tentang definisi KDRT
b. Menjelaskan tentang faktor resiko KDRT
c. Permasalahan sosial KDRT
d. Respon dan pencegahan KDRT
e. Upaya penanganan KDRT
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


Ashley Fisher (2018) mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai, “Pola
perilaku kasar dalam hubungan apa pun yang digunakan oleh satu pasangan untuk
mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dan kendali atas pasangan intim lainnya.”
Seorang pelaku kekerasan selalu berusaha untuk mendapatkan rasa kontrol dan kekuasaan
dari orang lain, dan bentuk-bentuk kekerasan dapat mencakup fisik, seksual, emosional,
ekonomi, atau bahkan psikologis. Meskipun mayoritas dari mereka yang terkena adalah
perempuan, hal itu dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang ras, usia, orientasi seksual,
jenis kelamin, atau agama.
Kekerasan dalam rumah tangga, konsep sosial dan hukum yang, dalam arti luas, mengacu
pada setiap pelecehan termasuk fisik, emosional, seksual, atau finansial antara pasangan
intim, sering kali tinggal di rumah yang sama. Istilah ini sering digunakan secara khusus
untuk menunjuk penyerangan fisik terhadap perempuan oleh pasangan laki-laki mereka,
tetapi, meskipun lebih jarang, korbannya mungkin laki-laki yang dilecehkan oleh pasangan
perempuannya, dan istilah ini juga dapat digunakan untuk pelecehan terhadap perempuan dan
laki-laki oleh orang yang sama. (Nolen 2021).
Kekerasan dalam rumah tangga dapat dipahami sebagai “semua tindakan fisik, seksual,
kekerasan psikologis atau ekonomi yang terjadi di dalam keluarga atau unit rumah tangga
atau antara mantan atau pasangan atau pasangan saat ini, baik pelaku berbagi atau telah
berbagi tempat tinggal yang sama dengan korban. (ILO, 2019).

2.2 FAKTOR RESIKO KEKERASAN RUMAH TANGGA


1. Pendidikan
2. Pengalaman kekerasan
3. Riwayat paparan penganiyaan anak
4. Gangguan kepribadian anti sosial
5. Penggunaan alkohol dan narkotika
6. Norma masyarakat yang mengistimewakan status yang lebih tinggi bagi laki-laki
daripada perempuan
7. Tingkat kesetaraan gender yang rendah
Faktor-faktor yang secara khusus terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga meliputi:
1. Riwayat paparan kekerasan di masa lalu
2. Perselisihan dan ketidakpuasan perkawinan
3. Kesulitan dalam berkomunikasi antara pasangan
4. Laki-laki mengendalikan perilaku terhadap pasangannya
2.3 PERMASALAHAN SOSIAL KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Kekerasan rumah tangga (fisik, seksual dan psikologis) menyebabkan masalah kesehatan
fisik, mental, seksual dan reproduksi jangka pendek dan jangka panjang yang serius bagi
perempuan. Mereka juga mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak-anak mereka.
Kekerasan ini menyebabkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi bagi perempuan, keluarga
mereka dan masyarakat. Permasalahan kesehatan dapat meliputi
1. Pembunuhan atau bunuh diri.
2. Menyebabkan cedera
3. Infeksi Menular Seksual
4. Keguguran dan persalinan premature
5. Depresi, stress pasca trauma, dan gangguan kecemasan lainnya
6. Sakit kepala, sindrom nyeri (sakit punggung, sakit perut, nyeri panggul kronis), gangguan
pencernaan, mobilitas terbatas dan kesehatan yang buruk secara keseluruhan.

Dampak pada anak-anak


Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga di mana ada kekerasan dapat menderita berbagai
gangguan perilaku dan emosional. Ini juga dapat dikaitkan dengan melakukan atau
mengalami kekerasan di kemudian hari. Kekerasan rumah tangga juga telah dikaitkan dengan
tingkat kematian dan kesakitan bayi dan anak yang lebih tinggi (melalui, misalnya penyakit
diare atau malnutrisi dan tingkat imunisasi yang lebih rendah).

Dampak sosial ekonomi


Biaya sosial dan ekonomi dari kekerasan rumah tangga sangat besar dan memiliki efek riak
di seluruh masyarakat. Perempuan mungkin menderita isolasi, ketidakmampuan untuk
bekerja, kehilangan penghasilan, kurangnya partisipasi dalam kegiatan rutin dan kemampuan
terbatas untuk merawat diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.

2.4 RESPON DAN PENCEGAHAN


Seringkali tidak ada solusi yang bisa diterapkan untuk perempuan korban kekerasan
dalam rumah tangga. Bagi beberapa korban, siklus kekerasan yang tak henti-hentinya
menghasilkan harga diri yang berkurang, ketidakberdayaan, depresi, dan perasaan dipenjara
yang berlebihan, bahkan keyakinan bahwa mereka pantas dianiaya. Lebih banyak hambatan
material menghalangi sebagian besar korban. Banyak yang secara finansial bergantung pada
pelaku kekerasan mereka, dan, karena banyak korban pelecehan adalah ibu, mereka terutama
takut tidak dapat menghidupi anak-anak mereka jika mereka meninggalkan pasangan yang
melakukan kekerasan. Banyak yang takut melaporkan kejahatan tersebut karena polisi tidak
dapat memberikan perlindungan yang dapat diandalkan terhadap pembalasan. Salah satu
masalah terburuk adalah bahwa pelaku kekerasan biasa sering menjadi paling kejam dan
pendendam justru ketika perempuan mencoba untuk pergi; sejumlah wanita telah dibunuh
oleh pasangan pria ketika mereka mencoba mengajukan tuntutan atau memenangkan perintah
perlindungan.
Pada tahun 2019, WHO dan UN Women dengan dukungan dari 12 badan PBB dan
bilateral lainnya menerbitkan RESPECT women – sebuah kerangka kerja untuk mencegah
kekerasan terhadap perempuan yang ditujukan kepada para pembuat kebijakan. Setiap huruf
RESPECT mewakili salah satu dari tujuh strategi:
1. Penguatan keterampilan hubungan (Relationship skills strengthening)
2. Pemberdayaan perempuan (Empowerment of women)
3. Kepastian pelayanan (Services ensured)
4. Penurunan Kemiskinan (Poverty reduced)
5. Lingkungan yang mendukung (Enabling environments) seperti sekolah, tempat kerja,
ruang publik)
6. Pencegahan pelecehan anak dan remaja (Child and adolescent abuse prevented)
7. Perubahan sikap, keyakinan, dan norma (Transformed attitudes, beliefs and norms).

Contoh intervensi termasuk dukungan psikososial dan intervensi psikologis untuk korban
kekerasan rumah tangga; gabungan program pemberdayaan ekonomi dan sosial; transfer
tunai; bekerja dengan pasangan untuk meningkatkan keterampilan komunikasi dan
hubungan; intervensi mobilisasi masyarakat untuk mengubah norma gender yang tidak
setara; program sekolah yang meningkatkan keamanan di sekolah dan
mengurangi/menghilangkan hukuman keras dan memasukkan kurikulum yang menantang
stereotip gender dan mempromosikan hubungan berdasarkan kesetaraan dan persetujuan; dan
pendidikan partisipatif berbasis kelompok dengan perempuan dan laki-laki untuk
menghasilkan refleksi kritis tentang hubungan kekuasaan gender yang tidak setara.
Untuk mencapai perubahan yang langgeng, penting untuk memberlakukan dan
menegakkan undang-undang serta mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang
mempromosikan kesetaraan gender; mengalokasikan sumber daya untuk pencegahan dan
penanggulangan; dan berinvestasi dalam organisasi hak-hak perempuan.
Pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan memerlukan pendekatan
multi-sektor, peranan penting di sektor kesehatan antara lain:
1. Advokasi untuk membuat kekerasan terhadap perempuan tidak dapat diterima dan agar
kekerasan tersebut ditangani sebagai masalah kesehatan masyarakat.
2. Memberikan layanan yang komprehensif, menyadarkan dan melatih penyedia layanan
kesehatan dalam menanggapi kebutuhan para penyintas secara holistik dan empatik.
3. Mencegah terulangnya kekerasan melalui identifikasi dini terhadap perempuan dan anak
yang mengalami kekerasan dan memberikan rujukan dan dukungan yang tepat
4. Mempromosikan norma-norma gender egaliter sebagai bagian dari keterampilan hidup
dan kurikulum pendidikan seksualitas komprehensif yang diajarkan kepada kaum muda.
5. Menghasilkan bukti tentang apa yang berhasil dan besarnya masalah dengan melakukan
survei berbasis populasi, atau memasukkan kekerasan terhadap perempuan dalam survei
demografi dan kesehatan berbasis populasi, serta dalam sistem surveilans dan informasi
kesehatan.
2.5 UPAYA PENANGANAN KDRT
Meskipun ada undangundang yang melindungi perempuan dari tindak KDRT, namun
implementasinya masih mengalami kendala. Menurut Bonaparte (2012), ada beberapa
hambatan:
(1) Korban mencabut pengaduan dengan berbagai alasan, seperti: demi keutuhan
keluarga atau kondisi psikologis anak; korban tidak memiliki pekerjaan (secara
ekonomi tergantung pada pelaku); korban takut ancaman dari pelaku/ suami; dan
adanya campur tangan pihak keluarga atau alasan budaya/ adat/norma agama;
(2) Kurangnya bukti, yang disebabkan beberapa hal: menghindari anak sebagai saksi,
mengingat kondisi psikologis anak dan dampaknya; menjaga netralitas saksi dalam
lingkungan rumah tangga; korban tidak langsung melapor setelah kejadian sehingga
terjadi kesulitan ketika melakukan visum; penelantaran ekonomi karena pelaku tidak
mempunyai pekerjaan/ penghasilan.

Salah satu upaya Kementerian PPPA bersama dengan United Nations Fund for
Population Activities (UNFPA) adalah membuat protokol penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan yang dapat digunakan dalam penanganan kekerasan terhadap
perempuan, sehingga perempuan yang menjadi korban tetap terlayani dan lembaga lembaga
penyedia layanan tetap bisa memberikan penanganan kasus dengan merujuk pada protokol
yang ada. Protokol ini diadopsi dari Panduan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender yang
disusun oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI
Jakarta, Yayasan Pulih, dan Lembaga Penyedia Layanan Bersama Kementerian PPPA dan
UNFPA pada tahun 2020. Protokol yang tersedia mulai dari
1. Protokol pengaduan; pemberian layanan pendampingan;
2. Rujukan ke layanan kesehatan; rujukan ke rumah aman atau shelter;
3. Layanan psikososial;
4. Layanan konsultasi hukum; hingga pendampingan proses hukum.

Protokol ini dapat diterapkan dalam penanganan kasus KDRT, karena KDRT merupakan
salah satu bentuk dari kekerasan terhadap perempuan. Dengan protokol ini, diharapkan
korban KDRT yang selama ini memilih untuk diam atau hanya menceritakan kasus yang
dialaminya kepada orang-orang terdekat bersedia untuk melaporkan kasusnya. Selain itu,
berbagai program pemerintah seperti Program Sembako (Bantuan Pangan non-Tunai);
Program Bantuan Sosial Tunai; Program BLT Dana Desa; Program Listrik Gratis untuk
pelanggan 450 VA, dan 900 VA; Program Kartu Pra-Kerja berupa insentif untuk pelatihan
kerja sebesar Rp1 juta/bulan; dan Program Subsidi Gaji Karyawan dengan gaji di bawah Rp5
juta diharapkan juga dapat meringankan beban ekonomi rumah tangga, sehingga dapat
meminimalisasi terjadinya konflik dalam keluarga, termasuk di dalamnya mencegah
terjadinya KDRT.

Anda mungkin juga menyukai