Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH MANAJEMEN BENCANA

DAMPAK BENCANA TERHADAP KELOMPOK ANAK-ANAK DAN


CARA PENANGANNYA

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Tugas Manajemen Bencana


Oleh Dosen Pengampu: Lale Wisnu Andrayani, M.Kep.

OLEH

1. BAIQ ISABELA (P07120418002)


2. HATMA AMELIA (P07120418007)
3. NI MADE WINI PUTRI FEBRINA SARI (P07120418011)
4. PANJI YUDANA RANGKUTI (P07120418012)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI SARJANA TERAPAN PROGRAM PROFESI NERS
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala kelimpahan rahmat dan karunia-Nya yang telah membuka pintu ilmu bagi
kita semua, sehingga kami dapat menyelsaikan makalah “Dampak Bencana
Terhadap Kelompok Anak-anak dan Cara Penangannya” ini tepat pada waktunya.
Kami ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini. Kami mengharapkan makalah ini dapat
bermanfaat bukan hanya untuk penulis tetapi juga bagi pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
kelemahan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
untuk perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua

Rabu, 24 Februari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR MASALAH
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konsep Bencana
B. Konsep Kelompok Anak-anak
C. Dampak Bencana Terhadap Kelompok Anak-anak
D. Penanganan Bencana Terhadap Kelompok Anak-anak
BAB III PEMBAHASAN
A. Kesenjangan Antara Teori dan Kenyataan
B. Kasus Dampak Bencana Terhadap Kelompok Anak-anak
C. Penanganan Seharusnya Pada Bencana Terhadap Kelompok Anak-anak …
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berlokasi di Cincin Api Pasifik (wilayah dengan banyak aktivitas
tektonik), Indonesia harus terus menghadapi resiko letusan gunung berapi,
gempa bumi, banjir dan tsunami. Pada beberapa peristiwa selama 20 tahun
terakhir, Indonesia menjadi headline di media dunia karena bencana-bencana
alam yang mengerikan dan menyebabkan kematian ratusan ribu manusia dan
hewan, serta menghancurkan wilayah daratannya (termasuk banyak
infrastruktur sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi). (Investemen
Indonesia, 2018)
Data UNISDR menyebutkan, dalam paparan terhadap penduduk atau
jumlah manusia yang ada di daerah yang mungkin kehilangan nyawa karena
bencana, resiko bencana yang dihadapi Indonesia sangatlah tinggi. “Sutopo
menerangkan, untuk potensi bencana tsunami, Indonesia menempati peringkat
pertama dari 265 negara di dunia yang di survei badan PBB itu, resiko
ancaman tsunami di Indonesia bahkan lebih tinggi dibandingkan Jepang.
Dalam itung-itungan UNISDR, kata Sutopo, ada 5.401.239 orang yang
berpotensi terkena dampaknya.”
Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim
yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah
angina yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan
kondisi topografi permukaan dan batuan yang relative beragam, baik secara
fisik maupun kimiawi menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya,
kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti
terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran
hutan dan kekeringan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan
meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung
semakin parah dan memicu meningkatkan jumlah kejadia dan intensitas benca
hidrometerologi yang terjadi silih berganti di banyak daerah di Indonesia.

1
Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses
masyarakat terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya
kebijakan penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang
berakibat fatal seperti kecelakaan transportasi, industry dan terjadinya wabah
penyakit akibat mobilisasi manusia yang semakin tinggi. Potensi bencana lain
yang tidak kalah seriusnya adalah faktor keragaman demografi di Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270,70 juta jiwa yang terdiri dari
beragam etnis, kelompok, agama dan adat istiadat. Keragaman tersebut
merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain.
Namun karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan
kebijakan dan pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang merata
dan memadai, terjadi kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang muncul
kecemburuan sosial. Kondisi ini berpotensi menyebabkan terjadinya konlik
dalam masyarakat yang dapat berkembang menjadi bencana nasional. (Potensi
Ancaman Bencana, BNPB)
Dalam setiap musibah, baik itu bencana alam maupun bencana sosial,
anak-anak kerap kai menjadi kelompok masyarakat yang paling banyak
terkena imbasnya. Kelompok ini jika tidak menjadi korban bencana alam, bisa
menjadi kelompok yang paling parah dalam menerima dampak musibah.
Anak-anak adalah anggota masyarakat yang masih labil. Oleh karena itu
setiap mengalami musibah psikologi anak-anak akan mengalami down.
Anak-anak sangat rentang menjadi korban bencana karena kemampuan
dan pengetahuannya terkait mitigasi bencana sangat minim terutama anak-
anak yang berada di desa. Kurangnya informasi menjadi salah satu faktor
minimnya pengetahuan anak-anak di desa terkait mitigasi bencana seperti apa
itu mitigasi bencana dan manfaat mitigasi bencana.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kesenjangan antara teori dan kenyataan terkait dampak
bencana terhadap kelompok anak-anak?
2. Bagaimana contoh kasus terkait dampak bencana terhadap kelompok
anak-anak?
3. Bagaimana penanganan bencana terhadap kelompok anak-anak?

2
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana kesenjangan antara teori dan
kenyataan terkait dampak bencana terhadap kelompok anak-anak?
2. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana contoh kasus terkait dampak
bencana terhadap kelompok anak-anak?
3. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana penanganan bencana terhadap
kelompok anak-anak?

3
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Bencana
Menurut UU No. 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau non
alam maupun faktor manusia sehingga menimbulkan atau mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis.
Sedangkan menurut WHO dalam Zailani dkk (2009) bencana adalah
suatu fenomena secara tiba-tiba yang membawa dampak yang sangat parah
pada lingkungan, tempat tinggal dan memerlukan bantuan dari luar komunitas
lokasi kejadin. Bencana juga bisa diartikan sebagai kehancuran berat pada
fungsi masyarakat yang menimbulkan jatuhnya korban, kerugian materi dan
lingkungan dalam ruang lingkup yang luas dan melebihi kemampuan
merespon hanya dengan memanfaatkan sumber yang dimiliki oleh masyarakat
yang dilanda kerusakan (Hogan 2002 dalam Zailani dkk, 2009).
Kesimpulannya bencana itu adalah kondisi dimana fenomena alam yang
tidak normal dan peristiwa akibat ulah manusia menjadi penyebab munculnya
kerugian dan membawa dampak yang besar terhadap nyawa atau kesehatan
dan kehidupan orang banyal, bahkan jiwa seseorang.
B. Konsep Kelompok Anak-anak
Menurut Undang-undang RI No. 4 tahun 1979 anak adalah seseorang
yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah menikah. Batas 21
tahun ditentukan karena berdasarkan pertimbangan usaha kesejahteraan sosial,
kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia
tersebut. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan
manusia yang oleh karena kondisinya belum mencapai taraf pertumbuhan dan
perkembangan yang matang, maka segala sesuatunya berbeda dengan orang
dewasa pada umunya.

4
Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum
digolongkan menjadi kebutuhan fisik-biomedis (Asuh) yang meliputi, pangan
atau gizi, perawatan kesehatan dasar, tempat tinggal yang layak, sanitasi,
sandang, kesegaran jasmani atau rekreasi. Kebutuhan emosi atau kasih saying
(Asih), pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra
selaras antara ibu atau ibu pengganti dengan anak merupakan syarat yang
mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental
maupun psikosial. Kebutuhan akan stimulasi mental (Asah), stimulasi mental
merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada
anak. Stimulasi mental ini mengembangkan perkembangan mental psikosial
diantaranya kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama,
kepribadian dan sebagainya.
C. Dampak Bencana Terhadap Kelompok Anak-anak
Dampak trauma mental yang dialami anak-anak lebih besar
dibandingkan dengan dampak secara fisik. Anak-anak tidak saja kehilangan
orang tua, tetapi juga kehilangan pendidikan, teman, saudara, kehilangan
keceriaan anak-anak, kehilangan lingkungan dan komunitas, dan yang paling
mencemaskan adalah kehilangan masa depan.
Ada beberapa dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap anak-
anak, yaitu:
1. Trauma
Trauma merupakan hal yang muncul dan dirasakan pada saat setelah
terjadi suatu peristiwa yang mengguncang jiwa dan mental seseorang.
Trauma bisa dirasakan dan dialami siapa saja baik orang dewasa, remaja
maupun anak-anak.
2. Rasa takut/ kecemasan
Ketaukan memang biasa terjadi dalam diri seseorang terlebih
ketakutan tersebut akibat dari suatu peristiwa yang luar biasa, ini akan
berlangsung dengan waktu yang cukup lama dan dapat merusak
kepercayaan diri seseorang apalagi dialami oleh seorang anak yang masih
dalam tahap pertumbuhan, ketakutan yang berlebihan oleh pengalaman
dan persepsi seorang anak terhadap kejadian yang dialaminya dapat

5
membawa ia masuk kedalam pengaruh imaginasi negative yang
merugikan, sehingga dapat dipastikan ia akan mengalami gangguan mental
jika tidak segera diatasi.
Ada tiga macam ketakutan atau kecemasan yang dikemukakan
Freud, yaitu:
a. Ketakutan Realistis, yaitu ketakutan akan bahaya-bahaya di dunia luar.
Dari ketiga ketakutan/ kecemasan yang ada, ketakutan realistis adalah
yang paling pokok dan merupakan patokan dari kedua ketakutan yang
lain.
b. Ketakutan Neurotis, adalah ketakutan yang berasal dari instink yang
sulit untuk dikendalikan dan menyebabkan orang berbuat sesuatu yang
dapat dihukum. Ketakutan ini sebenarnya mempunyai dasar didalam
realitas, karena dunia sebagaimana diwakili oleh orang tua dan lain-
lain orang yang memegang kekuasaan itu menghukum anak yang
melakukan tindakan impulsive.
c. Ketakutan Moral/ Kecemasan Kata Hati, ketakutan moral ini
mempunyai dasar dalam realitas.
3. Perkembangan fisik dan psikis
Akibat guncangan jiwa yang dialami oleh seorang anak, setidaknya
menghambat perkembangan dari proses pemikiran dan kreativitasnya. Ada
beberapa perkembangan anak yang dapat terhambat akibat bencana yang
dialaminya, antara lain:
a. Perkembangan sifat sosial anak, dalam kondisi bencana dapat
memungkinkan sifat sosial anak ini akan terhambat akibat dari
kurangnya obyek bergaul yang ada di dalam lingkungannya.
b. Perkembangan perasaan anak dalam kondisi bencana tidak mengalami
perubahan dan cenderung monoton, ini dikarenakan kurangnya
pengalaman dan semakin sempitnya pergaulan anak sehingga dalam
proses pembelajarannya ia mengalami kesulitasn.
c. Perkembangan motoric, ini dapat memungkinkan anak melakukan
sesuatu yang terkadnung dalam jiwanya dengan sewajarnya. Dengan
perkembangan ini anak semakin kaya dalam bertingkah laku.

6
d. Perkembangan berfikir, anak yang sedang mengalami guncangan jiwa
cenderung tidak rasional dalam berfikir, akibatnya sangat tidak baik
bagi tingkah laku didalam pergaulannya dengan lingkungan.
e. Perkembangan fantasi, ada beberapa cara dalam mengembangkan
fantasi anak salah satunya dengan baca-bacaan berupa buku-buku atau
cerita-cerita ringan yang dapat membawa anak kedunia lain dari
kehidupan sehari-harinya. Hal seperti ini yang seharusnya didapati
anak-anak korban bencana agar perkembangan fantasinya tetap ada
dan berjalan terus-menerus.
f. Perkembangan kesusilaan dan agama, dalam kasus bencana anak-anak
para korban bencana, perkembangan kesusilaan dan keagamaannya
merupakan suatu kesatuan yang penting, karena disinilah perasaan dan
tingkah laku anak ditata.
4. Kepribadian
Freud berpendapat, bahwa kepribadian pada dasarnya telat terbentuk
pada tahun kelima dalam masa kanak-kanak, dan perkembangan
selanjutnya sebagian besar hanya merupakan penghalusan struktur dasar
itu. Jadi apabila kepribadian pada masa kanak-kanak terbentuk dari hal
yang negative maka akan dipastikan kepribadiannya akan cenderung
negative pula.
Dari beberapa gambaran mengenai dampak bencana bagi psikologis
anak ini, memberikan penjelasan bahwa dalam hal ini para anak-anak menjadi
korban yang paling menderita dan terabaikan. Anak menjadi tulang punggung
bangsa untuk masa yang akan datang tetapi apa jadinya jika anak-anak kita
memiliki ketahanan mental dan fisik yang kurang baik, maka seharusnya kita
memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah ini.
D. Penanganan Bencana Terhadap Kelompok Anak-anak
Berbicara tentang penanganan anak berbasis hak dalam tangap darurat
bencana alam, perlu dipahami terlebih dahulu tentang konsep hak dan anak.
Hak sering didefinisikan sebagai kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap
manusia dan ketika kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi akan berdampak
buruk bagi kelangsungan hidup dan keberfungsian sosial manusia tersebut.

7
Contohnya: hak atas makanan yang bergizi adalah hak dasar setiap orang/anak
yang kalau tidak terpenuhi akan berakibat pada buruknya kesehatan bahkan
meninggalnya seseorang. Sedangkan konsep anak dengan mengacu pada
definisi Undang-Undang perlindungan anak dan konvensi hak anak, anak
didefinisikan sebagai setiap individu yang berada di bawah usia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan (UUPA pasal 1 ayat 1).
Berdasarkan definisi ini yang menjadi batasan adalah umur bukan menikah
seperti dalam KUHP (kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan Undang-
Undang no 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Menurut UUPA, seseorang
yang berumur dibawah 18 tahun yang telah menikah, tetap dikelompokkan
sebagai anak. Sedangkan dalam KUHP, anak didefinisikan sebagai setiap
individu yang belum berusia 16 tahun (pasal 45). Sedangkan Undang-Undang
no 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak membatasi anak dengan umur 8
sampai 18 tahun dan belum menikah.
Hak anak dalam masa tanggap darurat, secara umum ada lima kluster
pengelompokkan hak anak yang harus dipenuhi dalam konteks tahap tanggap
darurat mengacu kepada Konvensi Hak Anak dan undang-undang
perlindungan anak.
1. Hak Sipil dan Kemerdekaan. Ada dua hak dasar anak yang harus
diperhatikan terkait dengan hak sipil dan kemerdekaan dalam tanggap
darurat yaitu:
a. Hak atas pencatatan kelahiran dan identitas (KHA pasal 7, UUPA
pasal 5) Dalam situasi pasca bencana, kehancuran infrastruktur dan
kelumpuhan sistem administrasi negara sampai di tingkat RT/ RW,
membuat anak-anak yang lahir pasca gempa tidak tercatat. Hal ini
menempatkan anak-anak dalam situasi kehilangan hak akibat tidak
tercatat dalam mekanisme pencatatan kelahiran ataupun pencatatan
darurat menyangkut bantuan darurat.
b. Hak atas Kebebasan Beragama (KHA pasal 27). Dalam situasi pasca
bencana, bantuan kemanuasiaan baik fisik maupun bersifat dukungan
psikologis harus ditujukan kepada semua anak/orang dewasa tanpa
memandang keyakinan dan agama. Situasi pasca bencana, sangat

8
mudah dijumpai pemberian bantuan dan dukungan kemanusiaan yang
lain dimanfaatkan baik secara langsung maupun terselubung untuk
memaksakan keyakinan agama pada korban, termasuk anak-anak.
Oleh karena itu, setiap program yang dilaksanakan haruslah
menghormati keyakinan dan agama yang dianut oleh penerima
manfaat program sehingga program yang dilaksanakan tidak dijadikan
media untuk mengubah keyakinan anak.
2. Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative
a. Hak atas bimbingan orang tua (KHA pasal 5). Dalam situasi pasca
bencana, kehidupan yang serba darurat sering membuat orangtua
kehilangan kontrol atas pengasuhan dan bimbingan terhadap anak-
anak mereka. Keadaan ini dapat mengancam perkembangan mental,
moral dan sosial anak, sekaligus menempatkan anak dalam posisi
rentan terhadap kemungkinan tindak eksploitasi, penculikan, kekerasan
dan perdagangan. Perhatian dari orang tua mengambil peran penting
dalam membantu anak melewati masa-masa krisis setelah bencana.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk setiap stakeholder melibatkan
peran orang tua dalam melakukan pendampingan terhadap anak-anak
mereka sesuai dengan kapasitas yang yang bisa diperankan oleh
mereka. Peran paling sederhana yang bisa diperankan oleh orang tua
adalah bersikap tenang karena anakanak secara psikologis melihat
tanda dari apa yang diperlihatkan oleh orang tua mereka. Mereka akan
menjadi semakin panik dan stress ketika orang tua mereka
menunjukkan kepanikan dan stress. Oleh karena itu orang tua dan
pemangku kepentingan yang lain harus mendampingi anak dan
meyakinkan mereka bahwa keluarga dan masyarakat akan
memperhatikan mereka dan keadaan akan kembali normal. Disamping
itu, orang tua adalah teman anak yang dapat mendorong anak untuk
mengungkapkan perasaan dan perhatian mereka terkait dengan
bencana. Kemampuan mendengarkan dan berempati dari orang tua
menjadi kekuatan yang luar bisaa dalam membantu anak melewati
masa-masa krisis akibat bencana (Lazarus, et.al, 2002: 3).

9
b. Hak untuk tidak dipisahkan dan penyatuan kembali dengan orang tua
(KHA pasal 9 dan 10, UUPA pasal 7). Dalam situasi pasca bencana,
anak-anak dapat terpisahkan dari orangtua mereka. Kemungkinan
situasi keterpisahan bersifat permanen (orangtua meninggal atau tidak
pernah ditemukan) atau temporer hingga orangtua kelak ditemukan.
3. Kesehatan dan kesejahteraan dasar
a. Hak khusus anak difabel/orang dengan kecacatan (KHA pasal 23).
Pada saat dan pasca bencana, anak-anak difabel berada dalam
kerentanan khusus karena situasi kecacatan mereka. Saat terjadi
bencana mereka mengalami kesulitan untuk menyelamatkan diri.
b. Hak atas layanan kesehatan (KHA pasal 6 dan 24, UUPA pasal 8).
Pada saat dan pasca bencana, anak-anak dihadapkan pada situasi yang
dapat mengancam tingkat kesehatan mereka. Hancur dan rusaknya
fasilitas sanitasi, luka-luka akibat bencana alam ataupun lingkungan
buruk pasca bencana alam menyebabkan dapat menurunkan tingkat
kesehatan anak.
c. Hak atas standar penghidupan yang layak (KHA pasal 27). Dalam
situasi pasca bencana, standar kehidupan yang layak bagi
perkembangan jasmani, mental, spiritual, moral and sosial anak yang
dalam situasi normal disediakan oleh orangtua/wali tidak terpenuhi
akibat kerusakan sarana prasarana. Stakeholder khususnya Negara
wajib memberikan bantuan material serta program dukungan,
khususnya menyangkut nutrisi, pakaian dan penampungan sementara.
Menyangkut bantuan tersebut, anakanak memilki kebutuhan sangat
khusus terutama berkaitan dengan tingkat usia mereka. Pemenuhan
hak dasar inilah dalam konteks tangap darurat melului bantuan logistic
mendominasi model dan bentuk bantuan kemanusian yang diberikan
oleh hampir semua stakeholder.
4. Pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya
a. Hak atas pendidikan termasuk pelatihan dan bimbingan keterampilan
(KHA pasal 28, UUPA pasal 9). Dalam situasi pasca bencana,
kerusakan sarana dan prasarana pendidikan termasuk prasarana

10
perhubungan serta situasi-situasi seperti kehidupan keluarga anak dan
keluarga guru yang tidak normal dapat menyebabkan proses belajar-
mengajar reguler terhenti. Terganggunya perekonomian akibat
bencana juga menempatkan anak-anak dalam posisi rawan putus
sekolah. Berdasarkan kondisi ini, program-program pendidikan
alternatif yang diberikan para pemangku kepentingan akan sangat
membantu para korban anak.
b. Hak atas waktu luang, rekreasi dan kegiatan budaya (KHA pasal 31).
Dalam situasi darurat pasca bencana, aktifitas sosialbudaya menjadi
terganggu. Ruang fisik dan ruang sosial untuk bermain dan
bersosialisasi secara normal menjadi hilang. Keadaan ini dapat
berlangsung lama hingga masa rekonstruksi dan rehabilitasi. Begitu
pula, kehidupan perekonomian yang belum pulih membuat anak-anak
rawan untuk kehilangan waktu beristirahat dan mendapatkan waktu
luang yang cukup. Untuk menjawab kebutuhan dan hak anak akan
waktu luang, rekreasi dan budaya, banyak program yang bisa
ditawarkan seperti program bermain, rekreasi, pelatihan seni seperti
menari, menyanyi dll.
5. Perlindungan Khusus
a. Hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi (KHA pasal 32).
Kerusakan sarana & prasarana ekonomi serta situasi tidak normal yang
dialami oleh keluarga-keluarga mengancam kelangsungan pendapatan
keluarga baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Tantangan pemenuhan kebutuhan yang dihadapi oleh keluarga-
keluarga menempatkan anak-anak dalam posisi rawan mengalami
eksploitasi ekonomi, baik oleh orangtua/keluarga sendiri maupun oleh
orang/pihak lainnya. Dalam kondisi tersebut, tidak jarang anak bekerja
dalam bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak seperti menjadi
pekerja rumah tangga dll.
b. Hak untuk dilindngi dari Eksploitasi dan kekerasan seksual (KHA pasl
34). Pada situasi pasca bencana, terutama dalam situasi pemukiman
kolektif di barak-barak pengungsian, tidak memberi ruang privasi dan

11
pemenuhan kebutuhan seksual orang dewasa sehingga menempatkan
anak-anak dalam posisi rawan mengalami kekerasan atau eksploitasi
seksual.
c. Hak untuk mendapat perlindungan dari penculikan dan perdagangan
anak (KHA pasal 35). Dalam situasi pasca bencana, keterpisahan dari
orangtua, atau orangtua yang kehilangan kontrol efektif terhadap anak-
anak mereka, orangtua yang kehilangan kemampuan finansial untuk
mengasuh anak-anak mereka, atau terdesak oleh kebutuhan finansial
yang nyata dan ketiadaan perlindungan sosial yang memadai,
menempatkan anak-anak dalam posisi rawan untuk menjadi korban
penculikan dan perdagangan. Berdasarakan kondisi inilah maka,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mensinyalir bahwa praktek
perdagangan anak meningkat pasca bencana alam di daerah.

12
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kesenjangan Antara Teori dan Kenyataan


Dalam pengaplikasian teori dalam kasus berikut ini tampak memiliki
kesenjangan dikarenakan terapi yang diberikan pada saat bencana hanya untuk
menangani stress pasca bencana itu terjadi. Lain dengan teori yang
memandang seluruh aspek kebutuhan di dalam anak itu sendiri.
B. Kasus Dampak Bencana Terhadap Kelompok Anak-anak
Hasil deteksi dini gejala kecemasan pada anak korban gempa di Wilayah
Lombok menunjukkan bahwa sebanyak 85,11% anak-anak mengalami
kecemasan dalam batas normal, sedangkan 14,89% anak termasuk dalam
kategori kecemasan klinis.
Meskipun banyak korban bencana pada usia kelompok anak-anak
memperlihatkan beberapa jenis reaksi psikologis paska bencana, penelitian
klinis menunjukkan gejala-gejala tersbut tergantung juga pada usia. Peneletian
sebelumnya menunjukkan bahwa usia adalah faktor kunci pemahaman anak
terhadap bencana. Usia sebagai indeks keterampilan perkembangan anak
dalam merefleksikan kemampuan memahami apa sebenarnya bencana atau
kejadian yang dapat menyebabkan truma. Penelitian terkait bencana pada
kelompok usia anak sekolah secara empiris menyatakan bahwa anak usia
sekolah menunjukkan sitress psikologis yang lebih menyeluruh. (Purnamasari,
2016).
Hasil tersebut dibuktikan dari dampak psikologis pada anak akibat
bencana gempa bumi di wilayah Lombok, yang menunjukkan adanya masalah
psikologis berupa ansietas klinis dan perubahan perilaku. Adapun masalah-
masalah yang ditemukan pada responden setelah bencana alam gempa bumi di
Lombok diantaranya yaitu pertama terjadinya perubahan sikap seperti anak
menjadi lebih sensitive, mudah menangis, mudah marah, apabila mendengar
sesuatu bergemuruh langsung panic dan menangis, serta khawatir masuk
rumah, adanya gangguan pola tidur, hingga anak lebih banyak diam dan

13
menarik diri dengan ketergantungan yang tinggi terhadap orang tua. (Journal
of Holistic Nursing and Healt Science)
C. Penanganan Pada Bencana Terhadap Kelompok Anak-anak
Model penanganan bagi korban yang mengalami PTSD pada anak-anak
tentu berbeda dengan orang dewasa. Pada anak-anak model pendekatan yang
dapat digunakan adalah dengan bermain, atau yang dikenal dengan istilah
play therapy. Terapi bermain ini berguna dalam memberikan terapi pada anak
yang mengalami PTSD. Biasanya terapis memakai permainan untuk memulai
topic yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak
lebih merasakan nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.
Pada umumnya anak-anak yang mengalami kondisi trauma
menunjukkan symptom-simptom seperti ketakutan, cemas, sedih, menghindar
dan kurang responsive terhadap beragam emosi. Menurut The Association for
Play Therapy, terdapat 14 macam keuntungan yang diperoleh menggunakan
Play therapy sebagai sebuah intervensi, yaitu:
1. Mengatasi resintensi, permainan salah satu cara untuk menarik anak agar
bisa terlibat dalam kegiatan konseling.
2. Komunikasi, konselor menggunakan berbagai pilihan permainan yang
dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
3. Kompetensi, konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan
bahwa anak sedang melakukan kerja keras dan menunjukkan kemampuan.
4. Berpikir kreatif, permainan memberikan peluang yang besar bagi anak
untuk mengembangkan kemampuan berpikir kretaif atas persoalan yang
dialami.
5. Chatarsis. Melalui permainan anak dapat menyampaikan tekanan emosi
yang dialaminya dengann lebih bebas, hingga anak bisa tumbuh dan
berkembang secara optimal tanpa beban mental.
6. Abreaction. Dalam bermain anak mendapat kesempatan memproses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan
ekspresi emosi yang lebih tepat.
7. Role playing. Anak dapat mempraktekan berbagai tingkah laku baru yang
baru dan mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.

14
8. Fantacy. Anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah
hidup secara perlahan.
9. Metaphoric Teaching. Anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam
atas kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang
dimunculkan dalam permainan.
10. Attachment Formation. Anak daoat mengembangkan suatu ikatan dengan
konselor serta mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi
dengan orang lain.
11. Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan hubungan terapi
yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan aktualisasi
diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya.
12. Emosi poisitf. Anak menikmati permainan, dengan suasana hati mereka
bisa tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat mereka
merasa diterima.
13. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
14. Bermain game. Game membantu anak untuk bersosialisasi dan
mengembangkan kekuatan egonya.
Mengenal langkah-langkah konseling anak. Hal pokok yang harus
disadari oleh para konselor, yaitu setting, struktur sesi atau pertemuan yang
disesuaikan dengan dunia anak-anak. Terdapat 3 fase yang perlu diperhatikan
ketika konselor akan berinteraksi dengan anak-anak, yaitu:
1. Langkah awal
Dalam tahap awal ini, kegiatan utamanya adalah bagaimana
membangun hubungan anak-konselor. Konselor harus mampu
membangun hubungan yang hangat, yang didalamnya ada kepercayaan
anak terhadap konselor.
Langkah ini bisa dilakukan oleh konselor dengan menyediakan
berbagai permainan yang digemari anak. Melalui fasilitas permainan ini
konselor bisa mengajar anak-anak bermain-main dengan tujuan agar anak
merasa aman. Ketika anak sudah merasa aman, konselor bisa menyiapkan

15
berbagai perangkat konseling dalam menggali berbagai gejala dan
informasi yang ia butuhkan, yang ditunjukkan anak melalui berbagai
aktifitas komunikasi dan interaksi termasuk didalamnya aktifitas bermain
mereka.
2. Langkah pertengahan
Langkah pertengahan dimulai ketika anak sudah asyik dengan
permainan dan perhatian mereka. Konselor dapat memfasilitasi kegiatan
ini dengan menyediakan berbagai sarana bermain agar anak dapat
mengekspresikan berbagai perasaan baik sesuatu yang pernah dialaminya
di masa lampau atau keinginan yang ia harapkan pada masa yang akan
datang. Pada kondisi ini konselor bisa melibatkan diri pada aktifitas yang
sedang dilakukan anak, misalnya anak yang sedang menggambar, konselor
bisa melakukan eksplorasi berbagai informasi yang dibutuhkan melalui
upaya terlibat langsung dengan aktifitas yang sedang dilakukan anak.
Melalui menggambar anak akan mengekspresikan suasana emosinya.
Konselor bisa juga menggunakan cerita dengan karakter pelaku cerita
orang-orang yang ada dalam kehidupan anak, dengan permasalahan yang
serupa dengan apa yang dialami anak. Melalui teknik ini, konselor dapat
membantu anak untuk mengembangkan kreatifitasnya secara lebih luas,
seperti kemampuan bahasa, seni, gerak, drama dan dapat mengembangkan
kemampuan emosi anak dalam menjalin hubungan dengan alam
sekitarnya.
3. Langkah akhir
Pada tahap ini konselor dapat mengakhiri proses konseling bila pada
diri anak telah menunjukkan kemajuan dalam berbagai bentuk perilaku
positif. Bila anak telah mampu menunjukkan kebutuhan minimalnya,
secara simbolik mampu mengekspresikan emosinya dan secara lisan
mampu mendiskusikan berbagai isu. Konseling dapat dihentikan bila anak
telah mampu menunjukkan kreatifitasnya dalam seni, mampu bermain
peran, melakukan permainan yang melibatkan kerjasama dengan teman
sebayanya, atau menampilkan perubahan perilaku yang positif lainnya.

16
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kelompok yang paling rentang ketika terjadi bencana adalah anak.
Pengalaman traumatis akibat hilangnya orang yang dicintai atau menyaksikan
kejadian yang mengerikan seperti bencana alam dapat menyebabkan stress
dan trauma yang dapat mengganggu perkembangan fisik, sosial, dan mental
anak. Rusaknya infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan, ekonomi,
sosial dan budaya menempatkan anak pada situasi yang rentang untuk menjadi
korban ekspoiltasi ekonomi, seksual dan perdagangan anak.
Sebagaimana hal yang telah diungkapkan pada awal tulisan ini, bahwa
penanganan yang diperlukan bagi korban bencana yang mengalami PTSD
baik bagi orang dewasa maupun anak-anak memiliki cara pendekatan yang
berbeda. Bagi anak-anak yang mengalami PTSD teknik yang sesuai untuk
mengatasi kondisi trauma adalah dengan menggunakan teknik Play Therapy.
Masa anak-anak adalah masa usia bermain, maka aspek ini menjadi salah satu
faktor pertimbangan bagi konselor didalam merancang teknik konseling yang
digunakan. Permainan pada situasi dan kondisi yang tepat dapat bermakna
sebagai kegiatan fisik sekaligus sebagai terapi. Selain itu, pada masa
anakanak, bermain dalam kelompok merupakan kegiatan yang diminati anak-
anak, sehingga kelompok pun dapat berfungsi untuk mengembangkan
keterampilan sosial pada anak-anak.
Setelah anak-anak korban bencana mengikuti sesi konseling, tentu saja
diharapkan anak yang mengalami trauma menunjukkan perubahan yang ke
arah positif setelah mengikuti konseling. Ketika anak telah menunjukkan
perubahan perilaku ke arah yang positif, konselor dapat mengakhiri permainan
dan apabila diperlukan konselor dapat membuat janji untuk mengikuti sesi
konseling berikutnya. Orang tua atau pengasuh dapat tetap dilibatkan pada
upaya penanganan permasalahan anak, dengan selalu memberikan permainan
yang serupa kepada anak, selain itu agar orang tua atau pengasuh dapat terus

17
mendampingi ketika anak sedang bermain dengan cara memberikan berbagai
stimulasi yang sudah diberikan contohnya oleh konselor.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di
atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa
untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di
jelaskan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP)


Konvensi Hak Anak (KHA)
Purnomo Hadi, dkk, Manajemen Bencana: Respond an Tindakan Terhadap
Bencana, Jakarta: Niaga Swadaya, 2010.
https://www.indonesia-investements.com/id/bisnis/risiko/bencana-alam/item243
https://bnpb.go.id/ (diakses pada 24 Februari 2021)
https://www.scribd.com/doc/253407936/konsep-bencana
https://www.slideshare.net/abcdproject/konsep-bencana-72688078
https://www.scribd.com/document/366325016/konsep-anak (diakses pada 25
Februari 2021)
https://carapedia.com/pengertian_definisi_anak_info2003.html
https://namakuaso.wordpress.com/2008/07/22/dampak-bencana-gempa-terhadap-
psikologis-anak/

19

Anda mungkin juga menyukai