Anda di halaman 1dari 9

Penyaluran dana gempa 2009 di Kota Padang masih menyisakan beberapa permasalahan.

Sedikitnya, 25 kepala keluarga di Kampungjua, Kecamatan Lubukbegalung menjadi korban,


mengeluhkan besarnya upeti yang harus dibayarkan supaya bisa menerima dana gempa
tersebut, yakni berkisar Rp 1 juta Rp 2 juta.
Dana itu dipungut Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) Melati, Mulyani, 31, yang juga
Ketua RT04/RW01. Modus yang dilakukan Ketua Pokmas Melati itu, dengan cara menakutnakuti korban gempa, kalau tidak membayar warga tidak akan menerima. Selain itu, warga
yang tidak membayar harus mengurus sendiri. Karena buta dengan prosedur, warga terpaksa
menyerahkan uang itu ke ketua Pokmas.
Uang itu kami bayarkan dua kali. Pertama kami membayar Rp 1 juta pada Januari (tahap I),
setelah itu Maret (tahap II) kami juga diharuskan membayar ke ketua Pokmas Rp 1 juta lagi.
Menurut Mulyani, dana itu akan diserahkan kepada fasilitator dan kepada preman di wilayah
itu, ujar salah seorang korban gempa di RT04/ RW 01 yang minta namanya tidak
disebutkan. Korban rumah rusak sedang itu, mengaku dipaksa memberikan uang, setelah
menerima dana gempa tahap I sebesar Rp 5 juta dan tahap II Rp 5 juta. Ketua Pokmas
tersebut memberikan dana gempa itu malam hari. Saat itu, ia langsung meminta jatahnya Rp
1 juta. Karena dipaksa dan tidak ingin menimbulkan masalah, uang tersebut saya berikan
malam itu juga, sehingga saya hanya menerima Rp 8 juta, jelasnya.
Kebijakan itu dilakukan sepihak. Sebelum memotong uang itu, ketua Pokmas pernah
melakukan rapat, namun rapat itu tidak dihadiri oleh fasilitator, Tim Pendamping Masyarakat
(TPM), bahkan Lurah setempat.
Di tempat terpisah, warga lainnya dari RT05/ RW02, yang juga tidak mau disebutkan
namanya mengatakan, ia dikenai upeti sebesar Rp 2 juta. Tapi, ia hanya memberikan uang
tersebut Rp 1 juta ke ketua pokmas. Sementara untuk kedua kalinya, ia tak mau
membayarkan lagi, setelah ditanyakan kepada fasilitator, Sutomo, yang tidak mengakui dana
itu untuk dirinya.
Saya dan keluarga ditakut-takuti ketua Pokmas. Kalau tidak membayar, akan didatangi
preman, karena sebagian uang itu akan diberikan ke mereka. Namun gertakan tersebut tidak
pernah terbukti selama ini, dan saya hanya menerima uang Rp 9 juta, ujarnya.
Menurutnya, uang Rp 2 juta disetorkan oleh 20 KK yang menjadi korban gempa. Sementara
yang hanya membayarkan uang Rp 1 juta hanya berjumlah lima orang. Setelah dilakukan
pengecekan dengan cara menanyai kepada korban gempa lain yang berada di kelompok
Melati beberapa waktu lalu.
Ketua Pokmas Melati Mulyani saat ditemui wartawan kemarin (28/3) mengatakan, dirinya
tak pernah melakukan pemotongan dana gempa ke warga. Namun ia mengakui, menerima
uang pamrih yang diberikan 25 warga korban gempa Rp 50 ribu-Rp 100 ribu. Tidak benar
saya melakukan pemotongan dana gempa itu. Namun saat memberikan uang kepada warga,
warga memberikan saya uang pamrih atau uang jasa, karena telah membantu warga
mendapatkan dana tersebut, jelasnya.
Dilanjutkannya, ia tidak pernah mengatakan kepada warga seputar pemotongan dana untuk
preman. Ia juga membantah menyerahkan dana gempa tersebut pada siang hari, bukan malam

hari sesuai penuturan warga. Adanya indikasi pemotongan dana gempa di tengah warga
Kampungjua Rp 1 juta sampai Rp 2 juta tersebut, menurut Dekan Fakultas Hukum
Universitas Eka Sakti, Adhi Wibowo, merupakan tindak pidana intimidasi dan pengancaman
pada warga sesuai Pasal 368 KUHPidana.
Dalam pasal itu telah disebutkan, orang yang melanggar pasal tersebut diancam hukuman
maksimal sembilan tahun penjara. Namun, kalau ketua Pokmas tersebut mengambil uang
sebelum menyerahkannya kepada warga, maka ia akan diganjar dengan UU No 20/ 2002,
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ujarnya, yang dihubungi melalui telepon.
Menyikapi indikasi itu, hari ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Padang menurunkan tim menelusuri informasi tersebut. Kami akan langsung melakukan
pengecekan terkait kasus tersebut. Kalau nantinya terbukti, masyarakat setempat bersama
BPBD akan melaporkan kasus tersebut ke polisi. Ini perlu sebagai efek jera terhadap orangorang yang berniat mengambil keuntungan terhadap korban gempa, jelas Kepala BPBD
Padang, Dedi Henidal. (kd)
Sumber: jpnn, Selasa, 29 Maret 2011
Sumber Foto: tempointeraktif.com
Analisa :
Menurut saya kasus ini merupakan suatu hal yang sangat memalukan.Ketika warga
sedang kesusahan skibat adanya bencana gempa ketua Pokmas tersebut malah melakukan
tindakan yang tidak sepantasnya,walaupun ia tidak mengakuinya.sebagai ketua Pokmas ia
harusnya memperjuangkan nasib masyarakat,bukannya malah mengambil keuntungan untuk
diri sendiri.hal ini membuat masyarakat makin terbebani dari segi ekonomi,mental mereka
pun juga tertekan. Warga-warga sangat membutuhkan tempat untuk tinggak akibat rumahnya
hancur karena gempa.keadaan ini sungguh sangat memprihatinkan.padahal masyarakat hanya
mendapatkan bantuan sebesar Rp.5 juta dan itupun dilakukan 2 tahap.tetapi untuk
mendapatkan bantuan tersebut masyarakat malah dipungut biaya,padahal itu adalah hak
mereka yang harusnya mereka terima tanpa syarat apapun. Dengan dana bantuan yang tidak
terlalu besar tersebut,masyarakat bisa memulai hidup yang lebih baik.Harusnya umpeti tidak
lagi diterapkan kepada masyarakat masyarakat kecil.
Dalam kasus ini harusnya badan penanggulangan bencana mengawasi kegiatan
kegiatan yang dilaksanakan dilapangan agar tidak terjadi ketimpangan ketimpangan seperti
yang terjadi pada kasus diatas.Badan badan pengawas harus menjalankan tugasnya dengan
rasa penuh tanggung jawab agar tidak ada miss communication antar instansi instansi
Dan hal yang paling penting adalah seharusnya warga Kampungjua, melaporkan hal
itu ke polisi. Di ranah hukum, polisi pun harus segera menindaklanjuti laporan warga supaya,
kasus tersebut jelas.Apalagi hal ini menyangkut hak hidup orang banyak. Ini masalah antara
hak dan tanggung jawab antara lembaga lembaga.
Kasus 2
Mantan Ketua MUI Sumatra Barat Dituntut 4,5 Tahun

Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Prof


Dr Nasroen Haroen/ Antarafoto
Jakarta - Sidang perkara dugaan korupsi dana pembinaan Dai Kepulauan Mentawai dan
pembinaan MUI Sumbar tahun 2004 sebesar Rp 500 juta, sudah masuk tahap tuntutan. Jaksa
Penuntut Umum (JPU) menuntut mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar,
Prof Dr Nasroen Haroen, selama 4 tahun 6 bulan penjara.
Selain itu, terdakwa juga dituntut denda Rp 200 juta, subsider 3 bulan kurungan, serta
membayar uang pengganti sebesar Rp 131 juta dengan subsider kurungan 2 tahun 3 bulan.
Jika terdakwa tidak sanggup membayar uang pengganti dalam kurun waktu 1 bulan, maka
harta benda terdakwa akan disita. Jika dalam penyitaan itu, terdakwa masih tetap tidak bisa
melunasi uang pengganti, maka dapat ditambah dengan pidana penjara, ungkap anggota JPU
Daminar, dalam persidangan kemarin.
Tuntutan dibacakan secara bergantian oleh JPU Daminar, Mulyana Safitri, Ernawati, dan
Maryanti di depan Majelis Hakim yang diketuai Hakim Asmuddin, Hakim Anggota I
Saptadiharja dan Hakim anggota II Fahmiron. Kasus yang menyeret mantan Ketua MUI
Sumbar tersebut, merupakan dana hibah tahun anggaran 2004 yang digunakan untuk bantuan
Dai Mentawai sebesar Rp250 juta dan dana operasional MUI sebesar Rp 250 juta. Kasus itu
mencuat karena tidak ada laporan pertanggungjawaban atas penggunaan dana tersebut.
JPU menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyankinkan melanggar Pasal 2 Ayat
1 jo Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dalam UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dibeberkan JPU, dari total Rp500 juta anggaran yang dikucurkan kepada MUI Sumbar yang
saat itu dipimpin oleh terdakwa, yang mampu dipertanggungjawabkan hanya sebesar Rp 29
juta meliputi rincian biaya perjalanan dinas masing-masing sebesar Rp 3 juta dan Rp 2,4 juta,
serta biaya belanja modal berupa pembelian AC sebesar Rp 23 juta. Terdakwa terbukti telah
menyalahgunakan anggaran dan tidak sesuai dengan kegiatan yang telah ditetapkan
sebelumnya, tegas JPU.

Menurut JPU, terdakwa juga terbukti telah melakukan tindakan memperkaya diri, dengan
cara memalsukan surat daftar transport panitia, serta daftar pembayaran gaji sekretariat MUI
Sumbar. Dari total anggaran sebesar Rp 477 juta terdiri dari Rp 227 juta untuk Dai Mentawai
dan Rp 250 juta untuk MUI Sumbar yang diserahkan kepada terdakwa, tidak digunakan
sesuai ketentuan, bahkan ada kegiatan yang semestinya diadakan tahun 2004 malah
dilaksanakan tahun 2005. Akibat perbuatannya negara telah dirugikan sekitar Rp 240 juta.
Daminar menjelaskan, tuntutan yang dijatuhi JPU tersebut diberikan atas beberapa
pertimbangan. Pertama pertimbangan yang memberatkan, selain perbuatan terdakwa
mengakibatkan ketidak percayaan masyarakat terhadap MUI Sumbar, sedikitpun terdakwa
tidak menunjukkan rasa penyesalannya. Kemudian perbuatan terdakwa juga bertentangan
dengan program pemerintah tentang pemberantasan korupsi. Sementara yang meringankan
terdakwa, karena terdakwa belum pernah dihukum, tandas Daminar. Majelis Hakim
akhirnya menunda sidang dan melanjutkan sidang Rabu (10/8) depan dengan agenda
pembelaan (pledoi) dari terdakwa.
Pada sidang Rabu (20/7) lalu, terdakwa mengaku berada di bawah ancaman jaksa terkait
pengembalian dana sebesar Rp110 juta yang ia lakukan tersebut. Keputusan menyerahkan
uang itu ia lakukan setelah diberikan pilihan menyerahkan uang atau ditahan. (bis/sam)
Sumber: jpnn, Kamis, 4 Agustus 2011
Analisa :
Harusnya kasus seperti ini tidak perlu terjadi,apalagi dilakukan oleh seseorang yang
terhormat.sebagai mantan ketua MUI sumatera barat hal ini merupakan sebuah aib bagi
mejeis ulama indonesia.apalagi dana yang di korupsi merupakan dana yang menyangkut
kepentingan umum dan masyarakat banyak. Seperti yang kita tahu,harusnya sebagai mantan
ketua MUI ia harus tahu,korupsi itu harus diberantas dan merupakan sebuah dosa besar. Dana
yang diselundupkan pun sangat banyak dan merugikan Negara sebanyak Rp.240
juta.harusnya dana sebesar itu memberikan manfaat bagi orang banyak,tapi,hanya
dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri.
Kurangnya pengawasan terhadap penggunaan dana mengakibatkan semakin
terbukanya kesempatan bagi para koruptor,contohnya saja ia bias memberikan laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana yang telah dimanipulasi.Padahal dana tersebut
digunakan untuk memperkaya dirinya sendiri.Kurangnya moral para pemimpin Indonesia
merupakan masalah utama di negeri ini.
Hal ini juga mencerminkan betapa korupsi sudah merajalela keberbagai
kalangan,termasuk pemimpin Majelis Ulama Indonesia sumatera barat.yang harusnya
menjadi teladan bagi umat islam di Sumatera Barat.

Kasus 3
Wakil Bupati Agam Divonis 17 Bulan

Padek - Wakil Bupati Agam, Umar, terdakwa kasus dugaan korupsi anggaran pada Dinas
Pekerjaan Umum Agam tahun 2008, divonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Padang, 1 tahun 5 bulan pidana
penjara.Selain menghukum terdakwa 17 bulan penjara dipotong masa tahanan, majelis hakim
diketuai Imam Syafei, didampingi dua anggota, Kamijon dan Perry Desmarera, juga
mewajibkan terdakwa membayar denda Rp 50 juta, atau 2 bulan penjara. Vonis ini lebih
ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) selama 2 tahun penjara.
Mendengar putusan ini, Umar menyatakan pikir-pikir. Begitu juga JPU. Terdakwa atau JPU
diberi waktu tujuh hari sejak putusan dibacakan untuk mengajukan banding. Kami pelajari
dulu putusan dan membicarakannya dengan kuasa hukum, kata Umar yang mengenakan
batik, dan kopiah usai persidangan.Meski telah divonis, Umar tetap bersikukuh tidak
bersalah. Mantan kepala Dinas PU Agam itu mengklaim telah melakukan pekerjaan sesuai
peraturan. Berdasarkan fakta di persidangan, keterangan saksi, dan barang bukti, menurut
majelis hakim, terdakwa telah menggunakan uang pemeliharaan jalan sebesar Rp 347 juta
dari Rp 2,8 miliar yang dianggarkan di APBD Agam.
Meskipun sudah mengembalikan uang tersebut, majelis hakim tetap menyimpulkan terdakwa
terbukti melakukan penyelewengan sebagaimana diatur UU No 31/1999 sebagaimana diubah
dan ditambah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan JPU, yakni Pasal 3
jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b (2), (3) UU No 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah

dengan UU No 20/2001. Di antaranya, unsur setiap orang, unsur menguntungkan diri sendiri
dan orang lain, unsur menyalahgunakan kewenangannya selaku kepala Dinas PU Kabupaten
Agam, dan unsur merugikan keuangan negara, tutur Imam Syafei saat membacakan vonis.
Di antara fakta persidangan sesuai keterangan saksi-saksi, uang dana pemeliharaan dicairkan
5 kali. Setiap pencairan, terdakwa meminta uang kepada Bendahara Umum Dinas Pekerjaan
Umum (DPU) Agam, Hendri dan Marjan untuk kepentingan pribadi. Hendri dan Marjan
terpaksa memberikan uang tersebut kepada atasannya di Dinas PU Agam. Terdakwa juga
merangkap sebagai pengguna anggaran (PA) pada proyek pemeliharaan jalan. Proyek tersebut
dikerjakan secara swakelola. Kasus ini mencuat ketika pemeriksaan Inspektorat.
Terdakwa lalu mengembalikan uang tersebut sebanyak tiga kali. Yakni, pertama ke Bank
Nagari 15 Februari 2010 sebesar Rp 100 juta, 9 April 2010 Rp 150 juta, dan 12 April 2010
Rp97 juta. Total keseluruhannya Rp347 juta. (Red/Redaksi_ILS)
Sumber: padangekspres, Kamis, 6 Oktober 2011

Analisa :
Tindakan yang dilakukan oleh wakil bupati agam ini sangat disesalkan. Harusnya
Bupati Agam berperan penting dalam kasus ini. Sebagai bawahannya ia harus bisa
mengawasinya dan mengontrol tindakan tindakan yang dilakukan bawahannya. Kasus
korupsi ini telah banyak merugikan banyak pihak,apalagi masyarakat umum. Dana
pemeliharaan jalan tersebut dicairkan untuk kepentingan bersama.dengan jabatan sebagai
pengguna anggaran pada proyek pemeliharaan anggaran membuat langkahnya untuk
menggelapkan dana tersebut semakin mudah. Harusnya instansi atau lembaga yang
berhubungan dengan kepentingan masyarakat umum harus melakukan pengawasan yang
ketat terhadap dana-dana yang dicairkan agar tujuan dari pencairan dana tersebut jelas dan
dapat tercapai.
Kasus ini juga telah merusak nama baik Dinas PU Agam,dan hal ini membuat
berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada Dinas PU Agam tersebut dan hal ini sangat
merugikan instansi tersebut. Dana yang dikorupsi adalah sebesar Rp.347juta dari 2,8miliar
dana APBD Agam ini akan menggangu keseimbangan ekonomi di Kabupaten Agam. Dana
tersebut sudah diperhitungkan secara matang oleh Badan-badan perencanaan. Namun dengan

adanya tindakan ini membuat tujuan utama dari kabupaten Agam yang madani sulit untuk
dicapai.
Meskipun ia telah mengembalikan uang tersebut dan mendapatkan hukuman yang
sepantasnya,namun hal ini patutnya menjadi pelajaran bagi Dinas PU dan instansi instansi
lainnya. Masyarakat harus teliti dan cermat memilih pemimpinnya,masyarakat harus
mengenal karakter pemimpin yang akan dipilihnya agar kasus seperti ini tidak terulag lagi.

Kasus 4
Kasus korupsi Sudjino Timan
Sudjino Timan (lahir di Jakarta, 9 Mei 1959; umur 52 tahun) adalah seorang pengusaha asal
Indonesia. Dari tahun 1995 hingga 1997 ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana
Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia saat ini merupakan seorang buronan karena
melarikan diri dari hukuman pengadilan. Oleh pengadilan, Timan telah diputuskan bersalah
karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara
memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS, Penta
Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS, dan dana pinjaman
Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar 120
juta dolar AS dan Rp 98,7 dolar singapura
Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan dibebaskan
dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi vonis
bebas itu, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi dan meminta Majelis Kasasi
menjatuhkan pidana sebagaimana tuntutan terhadap terdakwa yaitu pidana delapan tahun
penjara, denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti
Rp1 triliun.
Pada Jumat, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh
Ketua MA Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara,
denda Rp50 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.
Namun, saat Kejaksaan hendak mengeksekusi Sudjiono Timan pada Selasa, 7 Desember
2004, yang bersangkutan sudah tidak ditemukan pada dua alamat yang dituju rumah di Jalan
Prapanca No. 3/P.1, Jakarta Selatan maupun rumah di Jalan Diponegoro No. 46, Jakarta Pusat
dan dinyatakan buron dengan status telah dicekal ke luar negeri oleh Departemen Hukum dan
HAM.
Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menyebarkan foto dan
datanya ke masyarakat melalui televisi dan media massa sebagai salah satu 14 koruptor buron
yang sedang dicari.

Analisa :
Tindakan yang dilakukan oleh Sudjino Timan tersebut telah merugikan perusahaan
yang dikelolanya,keputusan yang dikeluarkannya mengenai pinjaman dana kesejumlah
lembaga telah merugikan PT. BPUI. Ia juga telah membuat laporan palsu mengenai pinjaman
dana tersebut. kerugian yang diderita Negara cukup besar.
PT. BPUI adalah merupakan sebuah perusahaan Negara yang besar,dan kasus ini akan
berdampak kepada perusahaan-perusahaan lainnya. Lagi-lagi hal ini telah mencerminkan
betapa buruknya jiwa seorang pemimpin di Indonesia.Seharusnya pemimpin memberikan
contoh yang baik kepada bawahannya.Pemimpin perusahaan besar saja bias melakukan
tindakan korupsi,apalagi perusahaan kecil. Sebaiknya para calon pemimpin di Indonesia
harus memperbaiki moralnya,kalau tidak akan lebih baik tanpa pemimpin.
Harusnya koruptor di Indonesia jangan dimanja,artinya para koruptor tersebut harus
diberikan hukuman yang setimpal. Untuk itu lembaga hukum di Indonesia juga harus bersih
dari yang namanya korupsi agar bisa menegakkan keadilan di Negara ini. Namun itu sangat
susah untuk dicapai mengingat di Negara kita tercinta Indonesia ini hal yang pasti adalah
ketidakpastian. Sangat sulit untuk menegakkan keadilan di Negara ini, adanya perbedaan
perbedaan kasta menyebabkan kaum kalangan atas dimanja oleh hokum,sementara
masyarakat kalangan bawah di tindas.

Kasus 5
Kasus Dugaan Korupsi Soeharto
Kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan
yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan
Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan
Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995.
Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya
untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an
halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun
1999
Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998.
Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam
berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara

Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan


dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang
Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan
lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa
dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.
Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara,
diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris
Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan,
Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba
milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.
Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah
memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di
Citeureup, Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton
berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.
Analisa :
Kasus korupsi ini masih menjadi hal yang krusial.mengingat banyaknya kasus kasus
yang menimpa soeharto,apalagi dengan banyaknya perusahaan atau yayasan yang
dikelolanya.Sampai sekarang pun kasus korupsi yang menyangkut soeharto masih belum
selesai-selesai. Hal ini harusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah dan lembaga-lembaga
hokum di Indonesia.betapa kasus korupsi ini menjadi masalah terbesar di negeri ini.ini
mungkin merupakan kasus korupsi terbesar yang di hadapi indonesia.
Banyak kerugian yang ditanggung Negara akibat kasus ini,hal ini jugalah yang
menyebabkan soeharto lengser dari jabatan presiden yang sudah dikuasainya selama 32
tahun. Memang,pada masa soeharto rakyat mengalami kemakmuran,namun kegiatan soeharto
yang memperkaya dirinya merupakan suatu hal yang sangat disayangkan. Dan dilakukannya
selama bertahun tahun selama ia menjabat sebagai presiden. Pada awalnya rakyat
mengagumi sosok soeharto,jasa-jasanya terhadap bangsa Indonesia yang banyak selama
perjuangan
meraih
kemerdekaan
maupun
dalam
rangka
mempertahankan
kemerdekaan.Banyak kalangan berpendapat bahwa kasu kasus soeharo ini dihapuskan saja
mengingat jasa jasanya yang besar bagi Indonesia.Selain itu ia juga disebut Bapak
Pembangunan karena telah membangun bangsa ini selama ia menjabat,ia telah banyak
melakukan perubahan perubahan selama menjabat.
Hal ini berdampak pada perekonomian di Indonesia. Dimana pada tahun1998
indonesia mengalami resesi besar-besaran,perekonomian Indonesia mengalami kekacauan.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang minus,tingkat inflasi yang tinggi dan masalah keamanan
menjadi hal yang terpengaruhi.keprecayaan masyarakat mulai hilang akibat adanya kasus
kasus ini.

Anda mungkin juga menyukai