Anda di halaman 1dari 26

KUHP saat ini memasukan gelandangan sebagai delik pelanggaran.

Namun dalam RUU KUHP,


gelandangan tidak lagi dipenjara, tapi cukup dijatuhi denda maksimal Rp 1 juta.

KUHP saat ini mengancam gelandangan dihukum kurungan 3 bulan. Pasal 505 KUHP berbunyi:

(1) Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan
dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

(2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas
tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.
Baca juga: Pakar Hukum: RUU KUHP Tidak Pidanakan LGBT

Dalam RUU KUHP hal itu berubah. Pada Bagian Kedelapan tentang Penggelandangan disebutkan
gelandangan cukup dikenai hukuman denda.

"Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban
umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (denda maksimal Rp 1 juta-red),"
demikian bunyi Pasal 432 RUU KUHP sebagaimana dikutip detikcom, Jumat (30/8/2019).

Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, KUHP Belanda yang melarang gelandangan sebagai


implementasi semangat masyarakat Eropa kala itu. Ia menceritakan sejarah terbentuknya KUHP
yaitu dibentuk pada 1830 oleh pemerintah Belanda. Lalu dibawa penjajah ke Indonesia pada 1872.
Hingga diberlakukan secara nasional pada 1918 oleh pemerintah kolonial di seluruh Nusantara.

"Pertimbangan pergelandangan dilarang dan bisa dipidana karena orang Eropa tidak suka. Mereka
berpikir manusia harus bekerja keras dan hidup hemat. Sehingga apabila ada yang miskin dan
menggelandang itu salahnya sendiri," ujar Soetandyo saat berbincang dengan detikcom pada 2012
lalu.

Filosofi pikir orang Eropa tidak bisa diterima di Indonesia. Sebab dalam kacamata agama yang dianut
masyarakat Indonesia, seperti Islam, orang miskin harus diberi sedekah dan disantuni.

"Kalau itu kan sudah tafsir moral. Tapi kan kita punya pijakan UUD 1945 yang harus dipatuhi seluruh
rakyat Indonesia," ujar Soetandyo yang wafat pada September 2013.

Baca juga: Anak Punk Dianggap Gelandangan, Langkah Gugat KUHP Tepat!

Dia sangat berharap MK punya kearifan untuk menghapus pasal gelandangan tersebut. Sebab
meskipun tidak dibatalkan di MK, semua hakim tidak boleh menggunakan pasal tersebut karena
tidak relevan.

"Hakikat orang dipidana kan karena melanggar hukum. Tapi hukumnya siapa? Apa iya karena
melanggar hukum kolonial Belanda?" tanya balik Soetandyo.
RUU KUHP bikinan karya anak bangsa ditolak sejumlah masyarakat dengan berbagai alasan. Bila
benar-benar DPR tidak mengesahkan, maka KUHP Belanda yang mulai berlaku sejak 1915 tetap sah
dipakai. Lalu apa isinya KUHP Belanda itu?

Menurut pakar hukum pidana Prof Muladi, revisi ini lebih merupakan rekodifikasi yang sangat besar
atas produk kolonial. "Atau kita memang lebih suka menggunakan KUHP penjajah yang sudah
seratusan tahun itu?" ujar Muladi.

Berikut sejumlah Pasal yang ada dalam KUHP tersebut sebagaimana dirangkum detikcom, Senin
(23/9/2019):

1. Gelandangan Dipenjara 3 Bulan


Gelandangan dipenjara maksimal 3 bulan. Tidak ada alasan apakah gelandangan itu mengganggu
ketertiban umum atau tidak.

Pasal 505
1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan
dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas
tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.

Baca juga: Bila Ditunda, 13 Periode DPR Lagi-lagi Gagal Sahkan RUU KUHP

Dalam RUU KUHP, hukumanya diperingan menjadi denda Rp 1 juta dengan syarat gelandangan itu
mengganggu ketertibn umum.

2. LGBT Tidak Dipidana


Lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) tidak dipidana. Perbuatan LGBT baru bisa dipidana
bila korban adalah anak-anak. Hal itu sesuai Pasal 292:

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.

Dalam RUU KUHP, direvisi yaitu semua perbuatan cabul di muka umum bisa dikenai pidana.

"Yang dimaksud dengan 'perbuatan cabul' adalah segala perbuatan yang melanggar norma
kesusilaan, kesopanan, atau perbuatan lain yang tidak senonoh, dan selalu berkaitan dengan nafsu
birahi atau seksualitas," demikian penjelasan Pasal 421 RUU KUHP.
Jakarta, CNN Indonesia -- Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
mengancam hukuman denda bagi gelandangan. Aturan ini dimuat pada Pasal 432
tentang penggelandangan pada draf RKUHP 28 Agustus 2019.

"Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban
umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I," demikian bunyi pasal 432 RKUHP
Buku II.

Lihat juga:

RKUHP: Dukun Santet Bisa Dipidana 3 Tahun Penjara

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyoroti aturan tersebut berpotensi menjadi masalah
kriminalisasi yang berlebihan.

"Isu yang paling menggelikan [dalam RKUHP] adalah masalah penggelandangan yang diancam
dengan pidana denda hingga Rp1 juta," tulis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI
melalui keterangan di laman resmi.

Secara historis, pasal penggelandangan ini menurut YLBHI bermula dari wacana meniadakan jasa
pekerja seks di jalanan. Namun pada praktiknya justru membuka celah penangkapan terhadap
pengamen atau tunawisma--yang otomatis tak mampu membayar denda.
Lihat juga:

Penghinaan Presiden dalam RKUHP dan Langkah Mundur Reformasi

Alhasil, pilihan yang memungkinkan adalah mengirim pelaku pelanggaran ke penjara. Keadaan ini
yang diperkirakan bakal memperburuk kondisi lapas yang sudah kelebihan muatan.

Hal serupa disampaikan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Pasal penggelandangan dianggap
tak jelas sehingga membuka celah untuk diinterpretasikan secara luas.

"Dan berpotensi kriminalisasi terhadap perempuan yang bekerja dan pulang malam, pengamen,
tukang parkir dan orang dengan disabilitas psikososial yang telantar," tulis ICJR yang juga bagian dari
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, melalui laman resmi.

Lihat juga:

RKUHP: Orang yang Tawarkan Kondom ke Anak Bisa Dipidana

Padahal menurut ICJR, penggelandangan sendiri merupakan bentuk kegagalan negara memenuhi
kesejahteraan warga. Dan karena itu keberadaan pasal tersebut justru bertentangan dengan Pasal
34 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh
negara.

"Kriminalisasi semestinya ditujukan ke mereka yang mengorganisasi penggelandangan, bukan


individu yang melakukan penggelandangan."
Beberapa hari terakhir ini kita menyaksikan bersama demostrasi dari berbagai elemen
masyarakat, terkhusus mahasiswa. Tujuannya DPR RI dan yang di daerah DPRD Provinsi
dan Kabupaten/Kota. Isunya fokus pada beberapa RUU yang oleh Pemerintah dan DPR
sepakat untuk diketok palu alias disahkan. Setelah revisi RUU KPK tetap disahkan, beberapa
RUU oleh Presiden ditunda. Diantaranya ada RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan.
Tulisan ini akan konsen pada RUU KUHP ditengah pro kontra yang muncul, dan menjadi
perhatian publik. Sejak dipublis akan disahkan, muncul berbagai respon positif maupun
negatif. Beberapa pasal yang dinilai bermasalah kemudian viral bahkan memunculkan
beragam meme, video kocak, termasuk hastag seperti #tolakruukuhp dan #semuabisakena
plus komentar miring, serta nyinyiran yang tak terbilang jumlahnya didunia maya. Respon
menerima atau menolak pada prinsipnya sah-sah saja ditengah semua berhak berpendapat,
dan realitas hukumnya tidak semua rasionalitas pembuat undang-undang itu dapat diamini
oleh 260an juta penduduk Indonesia.

KUHP TIGA ABAD

Bicara RUU KUHP tentu harus memahami pula historinya kenapa RUU KUHP itu harus
lahir. Salahsatunya karena KUHP yang saat ini masih kita gunakan usianya sudah menginjak
3 abad. KUHP ini merupakan Code Penal Perancis yang lahir 1791, kemudian ditiru oleh
Belanda dalam bentuk WvS (Wetboek van Strafrecht) tahun 1881. Resmi berlaku di Hindia
Belanda 1918 dan setelah memasuki era kemerdekaan, berdasarkan UU No 1 tahun 1946
KUHP ini berlaku di Indonesia sampai dengan detik ini. Sebagai produk kolonial, bahkan
lahir dari rahim Code Penal Perancis diabad 17 silam maka tentu isinya menyesuaikan
dengan zamannya, kebutuhan lokal, termasuk nilai dan asas didalamnya. Betul ada
penyesuaian dengan Indonesia tetapi sifatnya parsial alias tambal sulam.

Reorientasi dan Reformasi

Spirit dari RUU KUHP sesungguhnya adalah melakukan penal reform atau pembaharuan
hukum pidana yang pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio politik, sosio
filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan
criminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

Jadi upaya yang dilakukan oleh tim perumus RUU KUHP yang sudah diinisiasi sejak tahun
1963 era orde lama adalah melakukan pembaharuan KUHP yang sifatnya total dan bukan
parsial sebagaimana selama ini dilakukan. Misalnya hanya mengganti istilah gulden menjadi
rupiah, lalu memperluas asas territorial termasuk kapal dan pesawat udara dan lain
sebagainya. Sementara asas-asas dan nilai-nilai didalamnya masih berprinsip kolonial yang
liberal dan individual. Berbeda jauh dengan nilai-nilai Pancasila kita yang menjadi sumber
dari segala sumber hukum. Oleh karenanya RUU KUHP yang ingin dibangun adalah sebuah
mahakarya nasional anak bangsa yang selaras dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik
dan sosio kultural masyarakat Indonesia.

Menurut Muladi, sebagai Tim Penyusun RUU KUHP, sejak dicetuskan 1963, sudah 17
anggota tim penyusun yang wafat. Sudah melewati 13 Menteri Kehakiman. Artinya ini RUU
bukan barang karbitan yang dibuat kemarin sore, dan bukan pula didesain oleh orang yang
bukan ahlinya. Namun bukan pula menyebut ini karya sempurna karena tak ada gading yang
tak retak. Namun menolak RUU KUHP yang seolah salah semuanya, terlebih karena belum
membacanya secara konfrehensif juga terlihat tidak arief. Penundaan pengesahan RUU
KUHP ini diambil sisi positifnya guna menuju arah penyempurnaan. Disisi lain juga bentuk
sosialisasi dan edukasi secara tidak langsung sekaligus membuka mata publik perihal
peraturan yang nanti akan diberlakukan kepadanya. Namun kiranya proses ini tidak memakan
waktu yang lama lagi. Sehingga kita memiliki KUHP Nasional dan tentunya jalur
konstitusional melalui MK tetap terbuka untuk menggugat.

Pasal Kontroversial

Meskipun tulisan singkat ini tidak dapat membedah lengkap, namun sekilas dapat penulis
sampaikan beberapa point penting beberapa pasal yang viral dan dikritik publik. Sebelum
lebih jauh, penulis sampaikan dulu bahwa RUU KUHP terdiri atas dua buku, yakni buku satu
tentang ketentuan umum ada 187 Pasal dan buku dua tentang tindak pidana ada 627 Pasal.
Jadi ada 814 pasal dalam RUU KUHP. Pertama soal penghinaan Presiden/Wapres. Pasal ini
dipandang akan membuat penguasa anti kritik dan menjadi alat guna mengkriminalisasi.
Namun perlu dipahami bahwa RUU merumuskan bahwa ini adalah delik aduan dan bukan
tindak pidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau membela diri. Kedua, soal
perzinahan. Sebenarnya pasal ini adalah perluasan dari KUHP lama, dimana dihilangkan
kalimat “yang sudah kawin”. Selama ini dikatakan zina jika salahsatunya terikat tali
perkawinan. Padahal norma agama dan kesusilaan kita menormakan zina itu termasuk
didalamnya yang sesama jomblo alias tidak terikat perkawinan. Jadi pasal ini justru sejalan
dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat kita. Ketiga, soal pasal aborsi. Harus dipahami
bahwa ada prinsip lex specialis, yakni UU Kesehatan. Artinya korban perkosaan atau darurat
medis dikecualikan untuk pemidanaan atas praktik aborsi.

Keempat, perihal peragaan alat kontrasepsi. Sebenarnya di KUHP yang lama sudah ada,
namun perumus kemudian mengatur larangan didepan anak, dan pengecualian untuk petugas
KB, pencegahan penyakit menular, untuk pendidikan dan penyuluhan. Kelima, tentang
kumpul kebo. Penulis menilai sudah sejalan dengan norma social kita dan menjadi pendorong
bagi pemerintah untuk kelompok marjinal dan rentan dalam akses akta nikah. Kemudian ini
menjadi delik aduan yang hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, anak, orang tua dan kepala
desa sepanjang tidak ada hubungan kekerabatan.Kelima, soal pemerkosaan dalam ikatan
pernikahan. Kepentingan yang dilindungi adalah dari perbuatan kekerasan. Betul hubungan
suami istri adalah soal privat. Namun saat terjadi kekerasan dan paksaan maka negara harus
mengintervensi dengan mengkriminalisasi perbuatan tersebut. Keenam, soal delik santet.
Sesungguhnya jika membaca utuh pasalnya, yang diatur adalah delik penawaran untuk
melakukan santet. Jadi seperti larangan menjual jimat seperti dalam KUHP sekarang. Artinya
pembuktinnya bukan soal gaibnya, tetapi soal penawarannya atau menjadikannya sebagai
mata mencarian. Inilah yang dipidana. Terakhir, ketujuh soal ungags yang berkeliaran.
Sebenarnya ini bersumber dari Pasal 548 KUHP lama, dan tetap dipertahannya dengan
modifikasi dan perubahan sanksinya, karena dalam praktiknya perbuatan seperti ini terjadi
dan merugikan orang lain.

Demikian sedikit berbagi pengetahuan perihal RUU KUHP dan tentunya pro kontra adalah
sesuatu yang wajar, terlebih pada sebuah produk hukum yang didalamnya berusaha
mengakomodir berbagai kepentingan yang begitu heterogen di negeri kita tercinta.
Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas lebih lanjut revisi
Undang-Undang (UU) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) memantik protes keras dari
berbagai elemen masyarakat.

Meskipun parlemen sudah memutuskan untuk menunda pengesahan payung hukum tersebut, aksi
demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia tetap tidak terhindarkan.

Mereka turun ke jalan, karena menganggap bahwa ada sejumlah perubahan dalam pasal RUU KUHP
yang dianggap cukup kontradiktif dengan situasi yang terjadi. Setidaknya, ada 8 pasal kontroversial
yang memicu aksi demonstrasi terjadi.
Berikut rinciannya :

1. Pasal Penghinaan Presiden


Pasal 218 ayat 1 berbunyi: 
 Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau
harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal tersebut dinilai
mencederai demokrasi akibat pembatasan menyampaikan aspirasi berupa kritik yang
ditujukan untuk presiden.

2. Pasal Aborsi
Pasal aborsi yang dianggap meresahkan adalah pada pasal 470 dan 471 karena dinilai
diskriminatif terhadap korban perkosaan dan perempuan lainnya. Selain itu pasal ini juga
bertentangan dengan UU Kesehatan yang telah dulu ada.

3. Pasal Pidana untuk Seluruh Persetubuhan di Luar Nikah


RUU KUHP meluaskan makna zina. Pasal 417 ayat 1 berbunyi:
 Setiap Orang yang
melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena
perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.

4. Pasal Pencabulan Sesama Jenis


Pasal Pencabulan diluaskan maknanya. Dalam draf itu bisa dikenakan kepada pencabulan
sesama jenis, sepanjang dilakukan di depan umum. 
 
 Berikut bunyi lengkap Pasal 421:


1. Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama
jenis kelaminnya:

 a. di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam)
bulan atau pidana denda paling banyak Kategori III.

 b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

c. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun.


2. Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk
melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) tahun.

Baca:

Revolusi Industri 4.0, Banyak Pekerjaan Manusia akan Punah?

5. Pasal Kecerobohan Memelihara Hewan


Pasal 340 RKUHP:
 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Kategori II (denda maksimal Rp 10 juta-red), setiap orang yang
tidak mencegah hewan yang ada dalam penjagaannya yang menyerang orang atau hewan. 

Selain hal di atas, pemilik hewan juga akan dikenai 6 bulan penjara, apabila:

1. menghasut hewan sehingga membahayakan orang;

2. menghasut hewan yang sedang ditunggangi atau hewan yang sedang menarik kereta atau
gerobak atau yang dibebani barang;

 3. tidak menjaga secara patut hewan buas yang ada dalam penjagaannya; atau
 4.
memelihara hewan buas yang berbahaya tidak melaporkan kepada Pejabat yang berwenang.

6. Pasal Pidana Perilaku Kumpul Kebo


Pelaku kumpul kebo dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak Kategori II (maksimal Rp 10 juta).

Foto: Demo Mahasiswa di Gedung DPR (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

7. Pasal Hukum Adat


Untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, RUU KUHP
mengakui adanya hukum adat. Sebab dalam kenyataannya di beberapa daerah di tanah air,
masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di
daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut
dipidana.

8. Pasal Pengenaan Denda untuk Gelandangan


RUU KUHP mengancam penggelandangan didenda maksimal Rp 1 juta. Selidik punya
selidik, ancaman itu juga sudah berlaku di berbagai daerah, Jakarta salah satunya. Di ibu
kota, penggelandangan maksimal didenda Rp 20 juta. Adapun di Pekanbaru, maksimal
didenda Rp 50 juta.

Kedelapan pasal tersebut memang dinilai kontroversial. Banyak yang menilai bahwa pasal-
pasal tersebut tidak sesuai dengan urgensi saat ini, terlalu membatasi hak-hak warga negara
hingga dinilai cacat logika.
Jakarta - Pasal-pasal kontroversial di RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
memicu mahasiswa bergerak serentak mulai Senin hingga Selasa siang ini. Meski Presiden
Joko Widodo (Jokowi) memastikan akan menunda pengesahan RUU KUHP, para mahasiswa
dari segenap penjuru negeri tetap menggelar aksi unjuk rasa.

Berikut 11 daftar pasal kontroversial RUU KUHP yang dirangkum detikcom:

1. Hukum Adat

Hukum adat menjadi salah satu pasal RUU KUHP yang kontroversi karena pelanggaran
hukum adat di masayarakat bisa dipidana. Hal ini masuk dalam pasal nomor 2.

2. Kebebasan Pers dan Berpendapat

Dalam pasal kontroversial RUU KUHP nomor 218 ayat 1 tertulis bahwa setiap orang yang
menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dapat
dipidana. Bahkan hukumannya paling lama 3 tahun, 6 bulan.

3. Aborsi

Tindakan aborsi diatur dalam pasal kontroversial RUU KUHP nomor 251, 470, 471, dan 472.
Prinsipnya, semua bentuk aborsi adalah bentuk pidaha dan pelaku yang terlibat bisa dipenjara
kecuali bagi korban pemerkosaan, termasuk tenaga medisnya tidak dipidana.

4. Kumpul Kebo

Pasal RUU KUHP tentang kumpul kebo diatur dalam pasal 417 ayat 1. Dalam pasal tersebut,
tertulis bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami
atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan penjara paling alam 1 tahun atau denda
kategori II.

Baca juga: Demo di DPRD Kota Malang, Mahasiswa: Kami Punya Mosi Tidak Percaya

5. Memelihara Hewan

Seseorang yang memelihara hewan tanpa pengawasan sehingga bisa membahayakan orang
atau hewan lainnya dapat dipidana paling lama 6 bulan. Hal itu tertuang dalam pasal RUU
KUHP nomor 340 RUU KUHP.

6. Gelandang Didenda Rp 1 Juta

Pasal Kontroversial RUU KUHP lainnya, mengenai denda yang diberikan pada gelandangan
sebesar Rp 1 juta, Aturan ini terdapat dalam Pasal nomor 432.

7. Alat Kontrasepsi

Dalam Pasal Kontroversial RUU KHUP nomor 414 menyebutkan, setiap orang yang secara
terang-terangan, mempertunjukan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan alat
kontrasepsi kepada anak diancam pidana atau denda. Tercatat, perbuatan tersebut dapat
dipidana paling lama enam bulan.

8. Korupsi

Bagi pelaku korupsi dalam pasal kontroversial RUU KUHP hanya dipidana selama dua
tahun. Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dalam KUHP yang lama, yakni hukuman
paling sedikit enam tahun penjara.

Baca juga: Petani Demo di Istana: Robek 'Sertifikat' dan Teriak Cukup Dibohongi Jokowi!

9. Penistaan Agama

Dalam Pasal RUU KUHP 313 tentang penodaan agama seseorang bisa dipidana selama 5
tahun lamanya. Hal itu berlaku bagi orang yang menyiarkan, menunjukan, menempelkan
tulisan, gambar, atau rekaman, serta menyebarluaskannya melalui kanal elektronik

10. Santet

Tindakan santet bagi orang yang menawarkan jasa praktik ilmu hitam bisa diancam pidana.
Hal itu tertuang dalam Pasal Kontroversial RUU KUHP 252.

11. Pencabulan Sesama Jenis

Pasal kontroversial RUU KUHP yang terakhir, adalah pencabulan yang terdapat pada Pasal
421. Dalam draft aturan tersebut, makna pencabulan diluaskan kepada sesama jenis.
Jakarta - 'Pasal Unggas Jalan-jalan' di RUU KUHP menjadi viral karena dinilai terlalu
mengada-ada. Pasal itu juga sudah ada dalam KUHP yang berlaku saat ini. Apakah pasal ini
ada kasusnya?

Dalam KUHP yang berlaku saat ini, 'Pasal Unggas Jalan-jalan' tertuang dalam Pasal 548,
549, 550. Dalam RUU KUHP, menjadi Pasal 278, Pasal 279 dan Pasal 280. Berikut
bunyinya:

Pasal 278
Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang
telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling
banyak Kategori II (maksimal Rp 10 juta).

Pasal 279
1. Setiap Orang yang membiarkan Ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah
yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau
ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II.
2. Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas untuk negara.

Pasal 280
Dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang:
a. berjalan atau berkendaraan di atas tanah pembenihan, penanaman, atau yang disiapkan
untuk itu yang merupakan milik orang lain; atau
b. tanpa hak berjalan atau berkendaraan di atas tanah yang oleh pemiliknya dilarang Masuk
atau sudah diberi larangan Masuk dengan jelas.
Dalam berkas putusan Mahkamah Agung (MA) yang ditelusuri detikcom, Kamis
(26/9/2019), ternyata kasus tersebut kerap terjadi. Salah atunya di Kabupaten Asahan,
Sumatera Utara,

Dalam kasus ini segerombolan lembu milik Toro Irwandi memasuki lokasi areal perkebunan
milik suatu perusahaan pada 15 November 2014. Lembu itu memakan daun serta batang bibit
tanaman karet yang baru ditanam.

Baca juga: Kokok Ayam Jantan Picu Ketegangan di Prancis, Pengadilan Bersikap

Akibat lembu makan bibit tanaman itu, perusahaan merugi. Tentu perusahaan tidak terima
dengan hal tersebut dan melaporkan Toro ke Polsek Prapat Janji.

Toro selaku pemilik kena Pasal 549 ayat 1 KUHP. Pasal ini berbunyi:

Barangsiapa tanpa wewenang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, di padang rumput,


atau di ladang rumput atau di padang rumput kering, baik di tanah yang telah ditaburi,
ditugali atau ditanami ataupun yang sudah siap untuk ditaburi, ditugali atau ditanami atau
yang hasilnya belum diambil, ataupun di tanah kepunyaan orang lain, yang oleh yang berhak
dilarang dimasuki dan sudah diberi tanda larangan yang jelas bagi pelanggar, diancam
dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah (dikonfersi dengan
kurs hari ini Rp 375 ribu).
Setelah dibuktikan di pengadilan, hakim menyatakan Toro bersalah karena membiarkan
hewannya berjalan di kebun, oleh orang yang berhak melarang dimasuki dengan sudah diberi
tanda larangan yang nyata bagi si pelanggar.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sejumlah Rp 300
ribu, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar oleh terdakwa diganti dengan pidana
kurungan selama 3 hari," ujar hakim tunggal Lusiana Amping pada 28 November 2014.

Dalam pertimbangannya hakim mengatakan bahwa perbuatan Terdakwa yang tidak


mengawasi penggembalaan lembu miliknya itu menyebabkan kerugian bagi saksi korban.
Oleh sebab itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kaget dengan viralnya pasal itu. Sebab saat
ini sudah ada dan tidak pernah dipermasalahkan. Namun saat menjadi RUU KUHP, baru
dipersoalkan.

"Seolah olah nanti akan menjadi apa ya ? Ini sudah ada di KUHP yang sekarang pasal 548, enggak
diprotes. Jadi setiap orang yang membiarkan unggas atau ternaknya berjalan di kebun justru akan
ancaman hukumannya menjadi kategori dua yang menjadi lebih ringan dari pada KUHP," kata
Yasonna.

Yasonna meminta masyarakat untuk membuka cakrawala berpikirnya seluas-luasnya. KUHP akan
mengatur seluruh rakyat Indonesia yang beragam. Tidak hanya masyarakat kota, juga masyarakat
pedesaan. Di mana masyarakat desa masih sangat memandang penting arti peternakan dan
bertetangga.

"Mengapa ini masih diatur ? Kita ini masih banyak desa, masyarakat kita masih banyak yang agraris
yang petani, masyarakat yang membuatkan sawah dll, ada yang usil, dia enggak pidana badan, dia
hanya denda dan itu ada KUHP dan di KUHP itu lebih berat sanksinya, kita buat lebih rendah, jadi
jangan dikatakan mengkriminalisasi," cetus Yasonna.

Lalu, apa jadinya bila tidak ada 'Pasal Unggas Jalan-jalan', baik dalam KUHP ataupun RUU KUHP?
Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun
2019, menuai pro dan kontra.

Kontroversi mewarnai sejumlah pasal aneh dalam RUU KUHP 2019 tersebut. Untuk itu perlu
ada pengkajian yang lebih mendalam sebelum diberlakukan.

Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mensiyalir pemerintah ‘mengalah’ atas tekanan
publik, akhirnya meminta pemerintah menunda usulan pengesahan Rancangan Undang
Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dari pemerintah ke DPR,
yang dijadwalkan Selasa, 24 September 2019 mendatang.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melihat ada sekitar 14 pasal di dalam revisi Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), yang perlu ditinjau kembali dengan seksama.

"Saya lihat materi yang ada, substansi yang ada kurang lebih 14 pasal (perlu ditinjau
kembali)," ungkap Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (20/9/2019).

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah dan
DPR menunda pengesahan RUU KUHP karena masih ada pasal-pasal bermasalah.

Memang sejak dirancang pemerintah tahun 2010 lalu, — atau di era pemerintahan awal
kedua Presiden SBY-Boediono — RUU ini sudah banyak berubah. Namun, kontroversinya
baru merebak di awal periode kedua presiden Joko Widodo.

Jumlah pasal dalam RUU KUHP baru dari regulasi peninggalan Kolonial Belanda ini,
membengkak dari 569 pasal menjadi 742 pasal.

Salah satu pasal paling aneh dan akan merusak hubungan kekerabatan dan sosial warga
Indonesia adalah pasal soal hewan ternak.

“Hukum memang harus detail, tapi kalau hukum justru merusak tatatan sosial, ini bisa
merusak peradaban bangsa dalam jangka panjang,” kata dosen hukum tata negara UIN
Alauddin Makassar Dr Syamsuddin Radjab SHi, MHi, saat dimintai komentar oleh Tribun,
Jumat (20/9/2019).

Di Pasal 278 RUU KUHP itu misalnya menyebutkan: Setiap orang yang membiarkan unggas
yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi atau tanaman milik orang
lain.

Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul 7 Pasal Aneh RUU KUHP 2019:
Ayam Ganggu Tetangga, Warga Bisa Didenda 10 Juta,
https://bangka.tribunnews.com/2019/09/21/7-pasal-aneh-ruu-kuhp-2019-ayam-ganggu-
tetangga-warga-bisa-didenda-10-juta.
Penulis: tidakada006
Editor: nurhayati

Jika tetangga keberatan atas pasal itu, dan pengadilan bisa membuktikannya, tetangga
terlapor bisa dihukum Denda maksimal Rp 10 juta.
Dari Naskah Kedua RUU KUHP edisi 15 September 2019; Diolah oleh Litbang Kompas,
awal pekan ini, juga terungkap hukuman penjara 6 bulan, bisa mendera Pemilik Hewan yang
Ceroboh.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang meminta ucapan setuju
atas statementnya sebelum mengomentari tentang revisi Undang Undang (RUU) No. 32/2002
KPK. (Capture Indonesia Lawyers Club)

Di Pasal 340 RKUHP mengatur pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Kategori II (Rp10 juta) bagi setiap orang yang:

a. Menghasut hewan sehingga membahayakan orang.

b. Menghasut hewan yang sedang ditunggangi atau hewan yang sedang menarik kereta atau
gerobak atau yang dibebani barang.

c. Tidak mencegah hewan yang ada dalam penjagaannya yang menyerang orang atau hewan.

d. Tidak menjaga secara patut hewan buas yang ada dalam penjagaannya.

e. Memelihara hewan buas yang berbahaya tidak melaporkan kepada Pejabat yang
berwenang.

Bahkan di pasal 341 mengatur warga yang memperkosa hewan ternak atau berhubungan
seksual dengan hewan juga bisa dipidana.

Ayat 1:
Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul 7 Pasal Aneh RUU KUHP 2019:
Ayam Ganggu Tetangga, Warga Bisa Didenda 10 Juta,
https://bangka.tribunnews.com/2019/09/21/7-pasal-aneh-ruu-kuhp-2019-ayam-ganggu-
tetangga-warga-bisa-didenda-10-juta?page=2.
Penulis: tidakada006
Editor: nurhayati

Dipidana karena melakukan penganiayaan hewan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, setiap orang yang:

a. Menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan melampaui batas atau
tanpa tujuan yang patut.

b. Melakukan hubungan seksual dengan hewan.

Ayat 2

Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hewan sakit lebih dari 1
(satu) minggu, cacat, Luka Berat, atau mati dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori III (Rp50 juta).

Ayat 3

Dalam hal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) milik pelaku tindak pidana, hewan
tersebut dapat dirampas dan ditempatkan ke tempat yang layak bagi hewan.

1. Enam Pasal Kontroversi Lain; Hukuman Pezina

Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul 7 Pasal Aneh RUU KUHP 2019:
Ayam Ganggu Tetangga, Warga Bisa Didenda 10 Juta,
https://bangka.tribunnews.com/2019/09/21/7-pasal-aneh-ruu-kuhp-2019-ayam-ganggu-
tetangga-warga-bisa-didenda-10-juta?page=3.
Penulis: tidakada006
Editor: nurhayati

osen Teknik Informatika Ibu Sestri Novia Rizki, S.Kom., M.Kom bersama dengan Dosen Ilmu
Hukum Ibu Lenny Husna, S.H.,M.H, dan beberapa orang mahasiswa dari Program Studi
Ilmu Hukum Rudiono, mengadakan Pembinaan Mengenai Pemanfaatan Media Sosial Dan
Akibat Hukum Penyebaran Informasi Elektronik Pada Media Sosial Dalam Perspektif
Hukum Pidana.

Dalam keterangan pihak pemerintah, menerapkan 6 prinsip dasar dalam pembahasan RUU
KUHP ini.

Keenamnya antara lain;


1. Penerapan asas legalitas pasif. Berdasarkan asas tersebut hukum positif yang tertulis
maupun tidak tertulis dapat diterapkan di Indonesia supaya tidak bertentangan dengan
Pancasila dan undang-undang dasar 1945 serta asas-asas hukum lainnya.

2 Perluasan pertanggungjawaban pidana. Korporasi kini bisa menjadi subjek hukum pidana
sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.

3. Penerapan doktrin ultimum remedium, yakni sistem pemidanaan diatur dengan tujuan tidak
menderitakan tapi memasyarakatkan dan pembinaan.

4. Pidana mati kini merupakan pidana yang sifatnya khusus yang selalu diancam secara
alternatif. Artinya harus diancamkan dengan pidana seumur hidup atau penjara paling lama
20 tahun. Selain itu harus diatur dengan syarat-syarat atau kriteria khusus dalam penjatuhan
pidana mati.

5. RUU KUHP merupakan bagian dari rekodifikasi dan pengaturan-pengaturan terhadap


berbagai jenis tindak pidana yang telah ada di KUHP dan undang-undang terkait lainnya.
RUU KUHP telah menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat modern.

6. Pengaturan tindak pidana khusus dalam RUU KUHP diatur dengan kriteria-kriteria yang
jelas dan pasti. Dikategorikan sebagai tindak pidana khusus, untuk merespon perkembangan
teknologi dan komunikasi yang telah mempengaruhi kejahatan yang lebih luas, lintas batas,
dan terorganisir.

Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul 7 Pasal Aneh RUU KUHP 2019:
Ayam Ganggu Tetangga, Warga Bisa Didenda 10 Juta,
https://bangka.tribunnews.com/2019/09/21/7-pasal-aneh-ruu-kuhp-2019-ayam-ganggu-
tetangga-warga-bisa-didenda-10-juta?page=4.
Penulis: tidakada006
Editor: nurhayati

Tulisan sebelumnya (bagian 1) bisa dibaca di sini

Sebenarnya ada cukup banyak pasal jika dibedah, bisa memunculkan beragam tanggapan.
Namun, beberapa pasal dari total 628 ketentuan RKUHP itu, beberapa kesamaan yang
dianggap bermasalah itu dapat diuraikan sebagai berikut.

Sekadar catatan, pengurutan ini berdasarkan susunan pasal, bukan pada materi prioritas pasal
yang jadi kontroversial. Pasal-pasal lain bisa dibandingkan di infografis di atas misalnya.
Atau jika menemukan ulasan lain yang berbeda, bisa juga menjadi informasi tambahan yang
berguna.

1. Hukum Adat (Pasal 2)

Pasal 2 ayat (1) terdapat aturan sanksi pidana yang antara lain berbunyi, " ...hukum yang
hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini."
Frasa yang mengatur "hukum yang hidup dalam masyarakat" (Pasal 2 ayat 1 RKHUP)
berpotensi mengandung penyimpangan asas legalitas dan kriminalisasi yang tidak jelas..
Pasal ini mengandung multitafsir dan dapat menimbukan kesewenangan aparat/penguasa.

2. Hukuman Mati (Pasal 67, 99-101)

Pemidanaan yang memuat "hukuman mati" dianggap tidak sesuai perkembangan zaman.
Sudah lebih dari 2/3 negara di dunia telah menghapuskan pemidanaan ini. Pidana makar
dalam RUU KUHP diatur melalui pasal 167, 191, 192 dan 193.

Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam hukuman mati, seumur hidup atau
penjara 20 tahun. Makar terhadap pemerintah yang sah, juga diancam penjara 12 dan 15
tahun.

3. Makar (Pasal 167, 191, 192 dan 193)

Pidana makar dalam RUU KUHP diatur melalui pasal 167, 191, 192 dan 193.

Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam hukuman mati, seumur hidup atau
penjara 20 tahun. Makar terhadap pemerintah yang sah, juga diancam penjara 12 dan 15
tahun.

Pasal 167 menyebut: "Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah
diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut." Definisi ini dianggap
tak sesuai dengan akar katanya pada bahasa Belanda, yakni 'aanslag' yang berarti
penyerangan. Masalah definisi ini dinilai berpotensi membikin pasal makar bersifat karet dan
memberangus kebebasan berekspresi masyarakat sipil.

4. Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218-220; 354-355)

Pasal 218 mengancam pelaku yang dianggap "menyerang kehormatan" presiden dan wakil
presiden dengan penjara maksimal 3,5 tahun atau denda maksimal Rp 150 juta.

Di pasal 219, pelaku penyiaran hinaan (menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan


tulisan atau gambar di depan publik) itu bisa diancam 4,5 tahun penjara atau denda maksimal
Rp 200 juta.

Di pasal 220 RUU KUHP, dijelaskan bahwa perbuatan ini menjadi delik apabila diadukan
oleh presiden atau wakil presiden.

Selain itu, pasal 353-354 mengatur hukuman bagi pelaku penghinaan terhadap kekuasaan
umum dan lembaga negara. Pelakunya terancam 1,5 tahun penjara. Bila penghinaan itu
memicu kerusuhan, pelakunya bisa dihukum 3 tahun penjara. Dan jika hal itu disiarkan,
pelaku terancam 2 tahun penjara.

Ketentuan ini sebelumnya sudah ada di KUHP lama dan dinilai merupakan warisan kolonial.
Pasal ini bisa bersifat 'karet' dan menjadi alat mengkriminalisasi warga. Selain itu, juga
dianggap mengekang kebebasan pers.
5. Penghinaan Bendera (Pasal 234-235)

Di pasal 235, diatur pidana denda maksimal Rp 10 juta bagi mereka yang: (a) memakai
bendera negara untuk reklame/iklan komersial; (b) mengibarkan bendera negara yang rusak,
robek, luntur, kusut, atau kusam; (c) mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar
atau tanda lain, atau memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara; dan (d)
memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, tutup barang, yang
menurunkan kehormatannya.

Ketentuan tersebut dinilai sebagai ancaman kriminalisasi perbuatan formil (tanpa


memandang niat yang harusnya berupa penodaan bendera). Ancaman penjara di pasal 234
pun dinilai terlalu tinggi, yakni selama 5 tahun.

6. Aborsi (Pasal 251, 415, 469 dan 470-472)

Pemidanaan terkait aborsi diatur pasal 251, 415, 469 dan 470. Ketentuan ini antara lain
mengatur hukuman bagi perempuan yang menggugurkan kandungannya. Berdasarkan
ketentuan pasal 469, ia diancam hukuman maksimal 4 tahun penjara. Orang yang
menggugurkan kandungan perempuan dengan persetujuannya juga bisa dipenjara maksimal 5
tahun, sesuai isi pasal 470 RUU KUHP.

Adanya pasal ini, dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang hamil dan
memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Selain itu, petugas medis yang membantu
aborsi juga terancam dipidana.

Isi pasal-pasal itu pun ternyata juga tidak sesuai dengan UU Kesehatan pasal 75 ayat 2 yang
mengecualikan tindakan aborsi jika dalam keadaan darurat medis atau mengalami kehamilan
sebab perkosaan. Pasal ini juga dinilai mengabaikan fakta tingginya angka kematian ibu
akibat aborsi tidak aman.

7. Santet (Pasal 252)

Pasal ini menjadi kontroversi karena faktor pembuktian perbuatan yang sulit untuk dilakukan.
Sebab siapa saja dapat diancam pidana terkait santet. Hanya dengan pernyataan diri saja,
seseorang dapat terkena pidana ini.

Namun, dalam penjelasan dalam pasal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi keresahan
masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum
menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk
mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga
masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).

8. Pembiaran Unggas dan Hewan Ternak (Pasal 278-279, dan 340)

Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 548-549 KUHP dan dimasukkan kembali dalam
RKUHP Pasal 278-279. Bedanya, istilah hewan ternak pada KUHP diubah menjadi unggas
pada RKUHP.
Pasal 278 RUU KUHP secara khusus mengatur: orang yang membiarkan unggas miliknya
berjalan di kebun atau tanah telah ditaburi benih/tanaman milik orang lain, terancam denda
sampai Rp 10 juta.

Lalu, pasal 279 juga mengancam setiap orang yang membiarkan hewan ternaknya berjalan di
kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi
benih atau ditanami, dengan pidana denda maksimal Rp 10 juta (kategori II). Bahkan pasal
279 ayat 2 menyatakan, hewan ternak yang dilibatkan dalam pelanggaran ini dapat dirampas
oleh negara.

Pasal yang dikutip dari KUHP lama ini dinilai lebih tepat menjadi pelanggaran administratif
yang diatur Perda, jika memang dibutuhkan. Dikhawatirkan, adanya Pasal tersebut dapat
menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

Sementara, pada Pasal 340 RKUHP menegaskan pemidanaan penjara paling lama 6 (enam)
bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II (denda maksimal Rp 10 juta-red), setiap
orang yang tidak mencegah hewan yang ada dalam penjagaannya yang dapat menyerang
orang atau hewan lain.

9. Contempt of Court (Pasal 281)

Pasal penghinaan terhadap badan peradilan atau contempt of court sebagaimana tertuang
pada pasal 281 huruf b mengatur pidana denda Rp 10 juta bagi mereka yang: "Bersikap tak
hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang
pengadilan."

Bunyi pasal ini, unsur "bersikap tidak homat" di Pasal 281 huruf b tidak dijabarkan secara
terang pada bagian penjelasan. Selain itu, menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur,
semestinya sah sebagai bagian dari kritik.

10. Tindak Pidana terhadap Agama (Pasal 304-309)

Ketentuan yang terkait tindak pidana terhadap agama sebagaimana diatur pasal 304-309
dinilai: (a) isinya jauh dari standar pasal 20 ICCPR soal konteks pelarangan propaganda
kebencian; (b) hanya melindungi agama yang "dianut" di Indonesia; (c) serta belum memuat
unsur penting, yakni perbuatan "dengan sengaja" terkait tindak pidana terhadap agama.

11. Alat Kontrasepsi (Pasal 414-416)

Pasal kontroversial lainnya di RUU KUHP ialah soal pemidanaan promosi kontrasepsi. Pasal
414 mengatur: orang yang mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan,
menunjukkan untuk bisa memperoleh alat pencegah kehamilan [kontrasepsi] kepada Anak
dipidana denda maksimal Rp 1 juta (kategori I)."

Adanya aturan ini dinilai menghambat penyebaran info soal alat kontrasepsi dan kesehatan
reproduksi. Pasal ini pun bertentangan dengan program KB pemerintah. Apalagi, pasal ini
bisa menjerat pengusaha retail yang memajang alat kontrasepsi di toko. Jurnalis yang menulis
konten soal alat kontrasepsi pun bisa terkena pidana. Sekalipun pasal 416 mengecualikan
'pejabat berwenang' dan aktivitas pendidikan, pidana ini dinilai tidak sesuai era keterbukaan
informasi.
Di sisi lain, di Indonesia terdapat 6 peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS yang
memuat aturan "kampanye penggunaan kondom" yang isinya mengizinkan penyebaran luas
info soal alat kontrasepsi. Jaksa Agung (tahun 1978) dan BPHN (1995) juga telah
mendekriminalisasi perbuatan ini mengingat kondom menjadi salah satu alat efektif untuk
mencegah penyebaran HIV.

12. Zina dan Kohabitasi (Pasal 417-419)

Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi (hidup bersama sebagai suami-
istri di luar ikatan perkawinan). Pasal 417 mengatur hukuman bagi mereka yang berzina
maksimal bui 1 tahun atau denda Rp 10 juta. Pidana ini diatur sebagai delik aduan dari suami,
istri, orang tua dan anak. Sementara pasal 418 mengancam pelaku kohabitasi dengan penjara
6 bulan dan denda Rp10 juta. Pidana ini delik aduan. Kepala desa termasuk yang bisa
mengadukan tindak kohabitasi ke polisi.

Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi (yang dilakukan orang dewasa secara konsensual dan
tanpa paksaan) dinilai mengancam privasi warga (terlalu masuk ranah privat) serta dianggap
tidak berpihak pada perempuan.

Delik aduan terkait kohabitasi yang memasukkan kepala desa sebagai pihak pelapor bisa
memicu kesewenang-wenangan dan praktik kriminalisasi berlebihan. Dua pasal itu juga
dianggap mengabaikan fakta jutaan masyarakat adat dan warga miskin yang masih kesulitan
mengakses dokumen perkawinan resmi.

13. Pencabulan (Pasal 420-421)

Pasal 420 dianggap menjadi bermasalah karena mengatur pemidanaan pencabulan dengan
memberikan tekanan kata: "terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya."

Penyebutan kata "sama jenis" dianggap tidak perlu. Bahwa penyebutan spesifik "sama jenis
kelaminnya" malah menjadi bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual. Pasal
ini dikhawatirkan membuat kelompok orientasi seksual yang berbeda rentan dikriminalisasi
dan semakin distigma negatif. Apalagi, kekerasan ke komunitas LGBT selama ini sudah
sering terjadi.

Ketentuan pencabulan yang dipidana jika dilakukan di muka umum (pasal 420 huruf a) dapat
menimbulkan kontroversi. Sebab jika kejadiannya bukan di muka umum maka pemidanaan
tidak dapat dilakukan.

14. Gelandangan (Pasal 431)

Pasal 431 mengancam gelandangan dengan denda maksimal Rp 1 juta. Pasal 432 RKUHP
tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum
yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I
atau denda Rp 1 juta.

Pasal ini merupakan warisan kolonial. Pemidanaan bukan solusi atas masalah gelandangan,
sekaligus aneh. Hal ini dianggap berseberangan dengan UUD 1945 yang menyatakan fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Di samping itu, pasal tersebut dinilai
multitafsir dan rawan bisa untuk menghakimi warga yang berada di jalanan.

Anda mungkin juga menyukai