Anda di halaman 1dari 8

PERBANDINGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN E-COMMERCE ANTARA

INDONESIA DENGAN NEGARA ANGGOTA ASEAN


Latar Belakang Masalah
Perjudian adalah salah satu penyakit masyarakat yang manunggal dengan kejahatan,
yang dari generasi ke generasi tidak mudah untuk diberantas. Perjudian adalah pertaruhan
dengan sengaja yaitu mempertaruhkan suatu nilai atau suatu yang dianggap bernilai dengan
menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa permainan,
pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya. Pertaruhan
dalam perjudian tersebut sifatnya murni spekulatif untung-untungan.Konsepsi untung-
untungan itu sedikit atau banyak selalu mengandung unsur kepercayaan mistik terhadap
kemungkinan beruntung. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perjudian diatur pada
Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman sanksi 4 tahun dan denda
antara sepuluh juta sampai dengan 15 Juta Rupiah.1

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tafsiran otentik terhadap istilah


permainan judi tidak dimasukkan dalam buku pertama Bab kesembulan tentang "arti
beberapa istilah yang dipergunakan dalam kitab undang-undang", melainkan ditempatkan
dalam Pasal 303 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada Pasal 303 ayat (3)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diberikan definisi bahwa, Yang disebut permainan
judi adalah tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung lebih
terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan
atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau
bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. Kemudian, kalimat pertama dari Pasal 303
ayat (1) KUHPidana, dikatakan bahwa, "Diancam dengan pidana ... , barangsiapa tanpa
izin: ..." Sehingga dapat ditafsirkan bahwa yang dapat dipidana adalah mereka yang
menjalankan usaha permainan judi secara tanpa izin. Dengan demikian syarat untuk dapat
dipidana berkenaan dengan permainan judi adalah bahwa permainan judi itu dilaksanakan
tanpa izin. Konsekuensi logisnya, apabila untuk suatu permainan judi ada izin, maka
penyelenggara usaha itu tidak dapat dituntut berdasarkan pasal ini. Demikian pula mereka
yang bermain judi di tempat itu juga tidak dapat dituntut pidana.2

1
Tim Visi Yustisia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Jakarta : Visimedia, 2016. hlm. 45
2
Kartini Kartono,. Patologi Sosial,. Jilid I, Jakarta : Raja Wali Pers, 2009, hlm. 62
Sejatinya, selain diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terkait dengan
judi, pemerintah secara resmi mengeluarkan larangan bermain judi sejak tahun 1965.
Larangan tersebut secara spesifik dapat dilihat dalam Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun
1965, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian, segala praktek
perjudian di Indonesia dihapus karena hal itu bertentangan dengan agama, dan moral
Pancasila. Larangan ini dipertegas dengan ketentuan pada Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 yang menentukan pemberian izin penyelenggaraan segala
bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di
tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain.3

Namun pengaturan judi ini seakan-akan bersifat dualisme, disatu sisi dilarang, namun
di sisi lain, terdapat pengaturan hukum izinnya sebagaimana diatur dalam KBLI Nomor 9200,
dan 92000, dimana pada kode KBLI 9200 dan 92000 pada tanggal 6 Februari 2019 terdapat
pengaturan izin usaha dalam bentuk aktivitas Perjudian dan Pertaruhan adalah seperti kasino,
arena bingo, Mesin bola tangkas, slot mesin, mesin tembak Ikan dan mesin Keno, serta arena
game online atau penyelenggaraan taruhan dan kegiatan taruhan lainnya dalam bentuk off
track betting.

Sehingga dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa pengaturan hukum judi online seakan
terdapat dualisme, disatu sisi dilarang, namun disatu sisi terdapat pengaturan hukum izin
usahanya, hal ini berbeda dengan pengaturan hukum judi online di luar negeri, dimana di
beberapa negara timur tengah, memang secara tegas mengatur larangan judi, baik judi online
maupun judi konvensional, dan pengaturan berbeda terdapat di eropa maupun di Amerika
Serikat yang mengatur judi maupun judi online tergantung di negara bagian mana hal tersebut
diatur, sehingga menarik untuk membahas pengaturan hukum judi online antara Indonesia,
dengan Amerika Serikat untuk melihat persamaan dan perbedaannya.

Pembahasan
Pada penjelasan sebelumnya diketahui bahwa judi pada dasarnya merupakan hal yang
dilarang dalam hukum positif di Indonesia, berdasarkan Pasal 303 dan Pasal 303bis Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dimana ketentuan Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang menyatakan,

3
Tessani Justishine Tarore, Jurnal Lex Et Sociatis, Penerbitan Izin Perjudian Di Indonesia, Jakarta :
Deeppublshing, 2016. hlm. 6,
a. Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling
banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin:

1. Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi


dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam
suatu perusahaan untuk itu;

2. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum


untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu,
dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu
syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara;

3. Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencarian :

b. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam mejalakan pencariannya,


maka dapat dicabut hak nya untuk menjalankan pencarian itu.

c. Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya
kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena
pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang
keputusan perlombaan atau permainanlain-lainnya yang tidak diadakan antara
mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Sedangkan dalam Pasal 303 bis Kitab Undang-Undang Hukum pidana, menyatakan,

a. Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sepuluh juta rupiah:

1. Barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan


melanggar ketentuan Pasal 303;

2. Barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau
di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa
yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu.

b. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan
yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana
penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta
rupiah.
Kemudian pada Pasal 27 Ayat 2 Jo Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan, “(Pasal 27 Ayat 2) Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
perjudian.4 (Pasal 45 Ayat 1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).5”

Berdasarkan uraian pada ketentuan Pasal 303, Pasal 303 bis Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, dan Pasal 27 ayat 2 jo. Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, pada dasarnya terdapat celah hukum yang dapat
dipergunakan dalam mengajukan izin usaha dibidang judi maupun judi dengan
memanfaatkan media daring atau online, dimana dalam ketentuan Pasal 303, Pasal 303 bis
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terdapat frase “tanpa mendapat izin” pada ketentuan
Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kemudian terdapat frase “kecuali kalau ada
izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian
itu” pada ketentuan Pasal 303bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan terdapat juga
frase “tanpa hak” pada Pasal 27 ayat 2 jo. Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.

Adanya frase “tanpa mendapat izin” pada ketentuan Pasal 303 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana memiliki makna bahwa judi dapat dikategorikan perbuatan pidana apabila
seseorang tidak mendapat izin dari pemerintah. Begitu pula pada frase “kecuali kalau ada izin
dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu”
pada ketentuan Pasal 303bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang memiliki makna
bahwa terdapat pengecualian dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
judi yang diatur pada Pasal 303bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimana
pengecualian tersebut berlaku terhadap pihak yang memiliki izin dari penguasa yang
berwenang, dimana dalam hal ini adalah pemerintah.

4
Tim Penerbit Gradien Mediatama, Undang-Undang Internet dan Transaksi Eelektronik, Op. Cit., hlm. 8
5
Ibid., hlm. 11
Kemudian, frase yang terdapat pada Pasal 27 ayat 2 jo. Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang memiliki frase “tanpa hak”, memiliki
makna ambiguitas dapat diterjemahkan secara cukup luas, karena makna frase tanpa hak
memiliki arti bahwa untuk setiap orang atau badan hukum yang tidak memiliki hak untuk
melakukan sesuatu, memiliki sesuatu, dan menjalankan sesuatu, sehingga apabila seseorang
atau suatu badan hukum melakukan, memiliki, atau menjalankan sesuatu tanpa hak subjektif
yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan, maka dapat dikenakan pidana terhadap
orang atau badan hukum tersebut. Sebaliknya, apabila seseorang memiliki hak untuk
menjalankan, memiliki, atau melakukan sesuatu tersebut, dengan alas hak berupa izin atau
persetujuan yang diberikan oleh pihak yang berwenang, maka tidak dapat dikenakan pidana
terhadap orang atau badan hukum tersebut.

Dalam perkembangannya sendiri, khusus terhadap ketentuan Pasal 303, dan Pasal 303
bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam Keputusan Presiden Nomor 113 Tahun
1965, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian, seluruh bentuk
praktek perjudian di Indonesia dilarang, baik yang memiliki izin maupun tanpa adanya izin,
karena hal itu bertentangan dengan agama, dan moral Pancasila. Larangan ini dipertegas
dengan ketentuan pada Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 yang
menentukan pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik
perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang
dikaitkan dengan alasan-alasan lain. Namun, ketentuan Keputusan Presiden Nomor 113
Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian, hanya
berlaku terhadap ketentuan Pasal 303, dan Pasal 303 bis Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, dan tidak berlaku terhadap Pasal 27 ayat 2 jo. Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, karena terhadap ketentuan tersebut belum
terdapat ketentuan pelaksana yang menghapus ketentuan frase “tanpa hak”, yang terdapat
pada ketentuan Pasal 27 ayat 2 jo. Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik tersebut.
Adanya frase-frase tersebut pada dasarnya dapat menjadi celah hukum bagi pihak-pihak
yang memiliki keinginan untuk memanfaatkan celah tersebut, sehingga adanya frase
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 303, Pasal 303 bis Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, dan Pasal 27 ayat 2 jo. Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang
telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, perlu dilakukan pengkajian khusus oleh pemerintah maupun badan
legislatif, untuk mendapatkan perbaikan, agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggungjawab atas adanya celah hukum tersebut.

Dan pada praktiknya ternyata celah dari frase tersebut, kemudian muncul saat
dibuatnya pengaturan hukum terkait OSS/perizinan satu pintu yang diatur dalam PP nomor
24 Tahun 2018, dimana selain sistem OSS pemerintah juga membentuk Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha, untuk menentukan jenis izin usaha apa saja yang dilegalkan di Indonesia,
dan perjudian online ternyata termasuk jenis izin usaha yang di legalkan di Indonesia
berdasarkan KBLI nomor 9200 (tahun 2019) dan KBLI nomor 92000 (tahun 2021).

Di Amerika Serikat perjudian baik online maupun konvensional dibatasi secara hukum. Pada
tahun 2008, aktivitas perjudian menghasilkan pendapatan bruto (perbedaan antara jumlah total
yang dipertaruhkan dikurangi dana atau "kemenangan" yang dikembalikan kepada para pemain)
sebesar $ 92,27 miliar di Amerika Serikat.

American Gaming Association, sebuah kelompok perdagangan industri, menyatakan bahwa


permainan di AS adalah industri senilai $ 240 miliar, yang mempekerjakan 1,7 juta orang di 40
negara. Pada tahun 2016, pajak perjudian menyumbang $ 8,85 miliar pada pendapatan pajak negara
bagian dan lokal. Kritik judi Berpendapat itu mengarah pada peningkatan korupsi politik, perjudian
kompulsif, dan tingkat kejahatan yang lebih tinggi. Yang lain berpendapat [siapa?] Bahwa perjudian
adalah jenis pajak regresif pada individu di ekonomi lokal di mana tempat perjudian berada.

Perjudian adalah legal di bawah hukum federal A.S., meskipun ada batasan signifikan terkait
perjudian antarnegara dan daring. Setiap negara bebas mengatur atau melarang praktik di dalam
perbatasannya. Undang-undang Perlindungan Olahraga Profesional dan Amatir tahun 1992 secara
efektif melarang taruhan olahraga nasional, tidak termasuk beberapa negara bagian. Namun, pada
tanggal 14 Mei 2018 Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan seluruh undang-undang
tersebut tidak konstitusional. Jika lotere yang dikelola negara termasuk, hampir setiap negara dapat
dikatakan mengizinkan beberapa bentuk perjudian. Hanya dua negara yang sepenuhnya melarang
segala bentuk perjudian, Hawaii dan Utah. Namun, perjudian bergaya kasino jauh kurang tersebar
luas. Undang-undang Federal memberikan kelonggaran bagi Native American Trust Land untuk
digunakan untuk permainan kesempatan jika kesepakatan dibuat antara Negara dan Pemerintah
Tribal (mis. 'Persetujuan' atau 'Perjanjian') di bawah Undang-Undang Pengaturan Permainan India
tahun 1988.

Nevada dan Louisiana adalah satu-satunya dua negara bagian di mana perjudian bergaya
kasino adalah legal di seluruh negara bagian. Baik pemerintah negara bagian dan lokal
memberlakukan pembatasan lisensi dan zonasi. Semua negara bagian lain yang mengizinkan
perjudian bergaya kasino membatasi wilayah geografis yang kecil (mis., Kota Atlantik, New Jersey
atau Tunica, Mississippi), atau reservasi Indian Amerika, beberapa di antaranya berlokasi di atau
dekat kota-kota besar. Sebagai negara yang tergantung pada domestik, suku Indian Amerika telah
menggunakan perlindungan hukum untuk membuka kasino, yang telah menjadi masalah politik yang
kontroversial di California dan negara bagian lainnya. Di beberapa negara bagian, kasino terbatas
pada "perahu sungai", tongkang besar bertingkat banyak yang, lebih sering daripada tidak,
ditambatkan secara permanen di badan air.

Perjudian online telah diatur lebih ketat. Federal Wire Act 1961 melarang taruhan antar
negara bagian pada olahraga, tetapi tidak membahas bentuk perjudian lainnya. Ini telah menjadi
subyek kasus pengadilan. Undang-Undang Penegakan Perjudian Internet yang Melanggar Hukum
tahun 2006 (UIGEA) tidak secara spesifik melarang perjudian online; sebaliknya, itu melarang
transaksi keuangan yang melibatkan penyedia layanan judi online. Beberapa penyedia perjudian
lepas pantai bereaksi dengan mematikan layanan mereka untuk pelanggan AS. Namun, operator lain
terus menghindari UIGEA dan terus melayani pelanggan AS. Untuk alasan ini, UIGEA telah menerima
kritik dari tokoh-tokoh terkemuka dalam industri perjudian.

Penutup
Perjudian online di Amerika Serikat diatur secara tegas pada beberapa negara bagian, dimana
Amerika menerapkan pengaturan hukum terkait judi maupun judi online berdasarkan wilayah,
dimana hampir setiap negara judi dan judi online di batasi peredarannya, namun di dua negara
bagian secara khusus judi dilegalkan dan dilarang secara menyeluruh, dimana di dua negara bagian
seperti Hawaii dan Utah melarang secara keseluruhan berbagai bentuk perjudian, namun di dua
negara bagian yaitu nevada dan lousiana seluruh bentuk perjudian termasuk judi online di legalkan
di negara tersebut. Pengaturan tersebut sangat berbeda di Indonesia, dimana pengaturan judi ini
seakan-akan bersifat dualisme, disatu sisi dilarang, namun di sisi lain, terdapat pengaturan
hukum izinnya sebagaimana diatur dalam KBLI Nomor 9200, dan 92000, dimana pada kode
KBLI 9200 dan 92000 pada tanggal 6 Februari 2019 terdapat pengaturan izin usaha dalam
bentuk aktivitas Perjudian dan Pertaruhan adalah seperti kasino, arena bingo, Mesin bola
tangkas, slot mesin, mesin tembak Ikan dan mesin Keno, serta arena game online atau
penyelenggaraan taruhan dan kegiatan taruhan lainnya dalam bentuk off track betting.

Anda mungkin juga menyukai