Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Rasyid Alfarisi

NIM : 220106104

PRODI : Ilmu Hukum

MATKUL : Studi Syari’at Islam di Aceh

DOSEN : Musfira, M.A.

APAKAH SYARIAT ISLAM DI ACEH SUDAH BERJALAN DENGAN


SEMESTINYA ?

Contoh : Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian)

PENDAHULUAN

Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang seperti Undang-undang


Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
yang kemudian menjadi Provinsi NAD, selain memberikan kewenangan menjalankan syariat
juga memberikan landasan hukum bagi peradilan syariah di Provinsi NAD.

Undang-undang ini juga memuat penegasan bahwa kewenangan menjalankan syariat


Islam ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari otonomi khusus yang diberikan oleh
pemerintah pusat sesuai dengan kebutuhan khusus daerah dan masyarakat di wilayah provinsi
ini. Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang di
dalamnya termasuk kewenangan penuh menegakkan syariat Islam, merupakan harapan
masyarakat Aceh sejak lama.

Masyarakat Aceh telah sejak lama dikenal sebagai bumi “serambi Mekah”, sebuah
penyebutan yang merefleksikan penghayatan dan pengamalan syariat Islam mewarnai setiap
sendi kehidupan masyarakat. Khusus untuk kepentingan penegakan hukum pidana Islam
(Jinayah), hingga tahun 2013 telah dibentuk lima qanun sebagai sumber hukum materiil.
Kelima qanun dimaksud adalah, (1) Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat
Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam; (2) Qanun Nomor 12 tahun 2003 tentang khamar
(minuman keras) dan sejenisnya; (3) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (judi); (4)
Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum); dan (5) Qanun Nomor 7 Tahun 2004
tentang Pengelolaan Zakat.

Terkait dengan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (judi) karena jika kita
melihat konten yang menjadi larangannya sangat menarik karena di daerah manapun yang
berkaitan dengan judi diseluruh daerha di Indonesia pasti dilarang, oleh karena itu penulis ingin
melihat sejauh mana pengaruh Implementasi Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir
(judi) tehadap perjudian di Aceh.

Adapun tujuan dari Qanun ini adalah untuk memelihara dan melindungi harta
benda/kekayaan, mencegah anggota mayarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada
maisir, melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan dan/atau
perbuatan maisir, meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan perbuatan maisir.

Maisir (Perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan dalam bentuk permainan yang
bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.
Bahwa pada hakikatnya maisir (perjudian) adalah bertentangan dengan agama, kesusilaan dan
moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara (Qanun No.13 Tentang maisir (perjudian).

PEMBAHASAN

Qanun Maisir di Aceh adalah sebuah peraturan daerah yang mengatur tentang larangan
perjudian dan segala bentuk kegiatan yang mengarah kepada taruhan dan dapat merusak
kehidupan sosial masyarakat Aceh. Qanun ini diberlakukan di Aceh sejak tahun 2003.

Pelaku jarimah Maisir (Perjudian) di Aceh diancam dengan hukuman cambuk dan atau
denda, pada kasus tertentu, pelaku jarimah Maisir dapat dikenai hukuman cambuk sebanyak
40 kali.

Maisir merupakan istilah yang berasal dari bahasa arab atau istilah yang merujuk
penguraiannya kepada hukum Islam. Istilah Maisir dalam peraturan perundangundangan dapat
ditemukan dalam Pasal 1 angka 22 Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat,
yang berbunyi: “Maisir adalah perbuatan yang mengandung unsur taruhan dan/atau unsur
untung-untungan yang dilakukan antara 2 (dua) pihak atau lebih, disertai kesepakatan bahwa
pihak yang menang akan mendapat bayaran/keuntungan tertentu dari pihak yang kalah baik
secara langsung atau tidak langsung”.

Sebelum Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat mengatur tentang
tindak pidana maisir, sebelumnya dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003 juga telah diatur
mengenai tindak pidana maisir ini yakni menyatakan, setiap anggota masyarakat memiliki
peran serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan maisir; Apabila
masyarakat mengetahui adanya perbuatan maisir, maka masyarakat mempunyai keharusan
untuk melaporkan perbuatan tersebut kepada pejabat yang berwenang, baik secara lisan
maupun tulisan, dan pelapor wajib mendapatkan perlindungan dari pihak yang berwenang.

Adapun dalam proses perumusan tata kelola kebijakan Qanun nomor 13 tahun 2003
tentang Maisir (perjudian) tujuan kebijakan tersebut adalah untuk untuk memelihara dan
melindungi harta benda/kekayaan, mencegah anggota mayarakat melakukan perbuatan yang
mengarah kepada maisir, melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat
kegiatan dan/atau perbuatan maisir, meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan perbuatan maisir.

Jika dilihat keterlibatan Masyarakat, dalam Tata Kelola Kebijakan Qanun Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dirasa masih kurang, hal tersebut terbukti masih
banyaknya masyarakat yang belum mengetahui keberadaan Qanun tersebut. perumusan Tata
Kelola Kebijakan Qanun Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) tersebut masihlah
kurang, terutama pernyataan dari Kepala Dinas Syariat Islam H.Awaluddin,M.S.Ag, bahwa
yang menjadi prioritas keterlibatan masyarakat baru hanya sebatas Imam desa yang mana
jumlah Imam desa per desanya hanya satu. Hal tersebut menunjukan bahwa proses perumusan
masih pada tataran hubungan eksekutif dan legislatif belum melibatkan masyarakat secara
keseluruhan.

Namun melihat kenyataan dewasa ini, perjudian dengan segala macam bentuknya
masih banyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuan dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian masih memungkinkan legalisasi perjudian
oleh pemerintah dengan alasan tertentu dan di tempat tertentu dan tentunya dapat
menjerumuskan orang Islam dalam perjudian tersebut.
CONTOH KASUS

Di kutip dari MAHKAMAH AGUNG RI, yang di publikasikan oleh ysf pada 20 maret
2020, “Pelaksanaan uqubat cambuk terhadap 3 orang terpidana Kasus Maisir di Aceh Jaya,
berikut pembahasannya :

Kamis, 19 Maret 2020, Kejaksaan Negeri Aceh Jaya melaksanakan uqubat (eksekusi)
cambuk tehadap terpidana pelanggaran Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat
terhadap 3 (tiga) orang terpidana kasus maisir (perjudian). Pelaksanaan eksekusi cambuk ini
dilaksanakan di Halaman Kantor Kejaksaan Negeri Aceh Jaya, pukul 15.00 WIB, berdasarkan
Putusan Mahkamah Syar’iyah Calang tanggal 27 Februari 2020 dengan perkara Nomor
1/JN/2020/MS.Cag, 2/JN/2020/MS.Cag dan 3/JN/2020/MS.Cag.

Pelaksanaan eksekusi cambuk ini diadakan oleh Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh
Jaya, yang dalam hal ini dihadiri oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah Calang M. Afif, S.H.I. yang
sekaligus bertindak sebagai Hakim Pengawas Pelaksanaan eksekusi cambuk, Ketua Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU), Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Jaya, Kapolres Aceh Jaya,
Lembaga Pemasyarakatan Aceh Jaya, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Jaya, Dinas Kesehatan
Aceh Jaya, Wilayatul Hisbah (WH) dan Satpol PP Aceh Jaya.

Hukuman cambuk yang diterima terpidana sebanyak 8 kali cambukan dipotong masa
tahanan. Pelaksanaan eksekusi ini berjalan sukses, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,
dan berlangsung dengan dikawal oleh anggota Polres Aceh Jaya, Wilayatul Hisbah (WH) dan
Satpol PP.

Berdasarkan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 pada pasal 2 huruf (f) salah satu asas
penyelenggaraan hukum jinayat adalah pembelajaran kepada masyarakat (tadabbur), yang
berarti eksekusi ini dilaksanakan di hadapan masyarakat banyak, akan tetapi untuk saat ini tidak
memungkinkan untuk diterapkan mengingat kewaspadaan terhadap bahaya virus corona
(covid-19) yang dapat menyebar melalui keramaian dan perkumpulan massa.
Berikut contoh foto tentang Qanun Maisir ( Perjudian ), yang ada di Aceh :
PENUTUP
Tata Kelola Kebijakan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir ( Perjudian) di
Aceh belum berjalan dengan baik, karena dalam proses pelaksanaan kebijakan Qanun tersebut
dilapangan belum adanya interaksi yang melibatkan masyarakat secara utuh, begitu juga halnya
belum adanya hubungan atau interaksi sama sekali yang dibangun dari Instansi Pelaksana
Syariat Islam khususnya Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir (Perjudian).

Sebagai mahasiswa yang sedang menimba Ilmu Hukum pada mata kuliah Studi Syari’at
Islam di Aceh, kami mengajak kawan-kawan semua untuk merubah pola pikir kita masing-
masing. Mulailah dari diri sendiri dan hal terkecil, seperti mencari lingkungan yang positif dan
mendukung kita untuk jauh dari perbuatan menyimpang seperti maisir (perjudian) dan lain
sebagainya. Jika diri sendiri saja belum bisa dipagari dari perbutan tersebut, bagaimana bisa
kita mengajak orang lain untuk jauh dari pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Anda mungkin juga menyukai