TENTANG
1
Dengan persetujuan
Dan
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pengertian
Pasal 1
Prostitusi adalah adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu
transaksi perdagangan;
Pasal 2
Tindakan Prostitusi adalah raktek pelacuran dengan menggunakan jaringan internet atau
media sosial sebagai sarana penghubung atau sarana komunikasi bagi para mucikari, pekerja
seks dengan para penggunanya;
Pasal 3
Mucikari adalah eorang laki-laki atau wanita yang hidupnya seolah-olah dibiayai oleh pelacur,
yang dalam pelacuran menolong mencarikan langganan-langganan dari hasil mana ia
mendapatkan bagiannya dan menarik keuntungan dari pekerjaan yang dilakukan oleh pelacur;
Pasal 4
Tindakan Prostitusi adalah sebuah tindakan yang dilakukan baik pria maupun wanita yang
didasari rasa suka atau menginginkan bayaran atas jasanya;
2
Pasal 5
Perkerja seks komersial adalah seseorang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan
seks untuk tujuan ekonomi. penjual jasa seksual. Pelacuran profesi menjual jasa untuk
memuaskan kebutuhan seksual pelanggan, biasanya pelayanan ini dalam bentuk penyerahan
tubuhnya;
Pasal 6
Pekerja seks komersial yang menyuruh dan atau melakukan pemaksaan kepada penyewa
jasanya akan dinyatakan sebagai tindak pidana pencabulan;
Pasal 7
Tindak pidana pencabulan yang dimaksud dalam pasal 6 adalah keinginan atau perbuatan yang
tidak senonoh menjurus ke arah perbuatan seksual yang dilakukan untuk meraih kepuasan diri
di luar ikatan perkawinan;
Pasal 8
Tindak pidana bagi pelaku pencabulan akan dipidana sesuai peraturan perundang – undangan
yang berlaku;
Pasal 9
Seseorang yang menyewa jasa Pekerja Seks Komersial dan tidak membayar sesuai dengan
kesepakatan akan dinyatakan dalam Perbuatan Melawan Hukum;
Pasal 10
Perbuatan Melawan Hukum sesuai pasal 9 adalah adalah segala perbuatan yang menimbulkan
kerugian yang membuat korbannya dapat melakukan tuntutan terhadap orang yang
melakukan perbuatan tersebut;
Pasal 11
Perbuatan melawan hukum sesuai dalam pasal 10 akan dikenakan denda sesuai peraturan
perundang – undangan yang berlaku;
Pasal 12
Pengajuan kasus Prostitusi diajukan sesuai dengan Locus dan Tempus delicti ;
3
Pasal 13
Persidangan kasus Prostitusi dinyatakan tertutup dan tidak terbuka untuk umum;
Pasal 14
Sidang Kasus Prostitusi merupakan tindakan pidana ringan kecuali adanya hal yang
memberatkan hakim;
4
Disahkan di Jakarta
Ttd
Diundangkan di Jakarta
REPUBLIK INDONESIA
Ttd
PRATIKNO
REPUBLIK INDONESIA
5
NASKAH AKADEMIK
TENTANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Prostitusi telah menjadi sorotan beberapa waktu lalu, karena merupakan masalah moral,
sosial dan agama. Prostitusi sering dibicarakan, mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan
masalah yang berskala nasional ini. Prostitusi memiliki dimensi yang sangat kompleks sebab
berkaitan erat dengan masalah penyimpangan tatanan nilai dan norma agama, budaya
masyarakat serta terkait erat dengan masalah ekonomi, ketertiban dan kesehatan. Jika ditinjau
dari faktor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana penyediaan tempat hiburan
sebagai sarana prostitusi , maka sebagian besar masalahnya terletak pada faktor ekonomi dan
faktor social. Faktor ekonomi di pengaruhi oleh penghasilan atau kebutuhan seseorang,
sedangkan faktor sosial dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, suasana lingkungan maupun
pendidikan seseorang.
Jadi prostitusi terjadi akibat kurangnya kesejahteraan lahir dan batin. “Kesejahteraan
lahir batin” tidak terlepas dari aspek kehidupan atau manusia termasuk rasa aman dan 2
tenteram yang dapat dicapai jika kesadaran masyarakat terhadap kewajiban penghargaan hak
orang lain telah dipahami dan dihayati sehingga penegakan hukum dan keadilan berdasarkan
kebenaran yang telah merupakan kebutuhan sesama, kebutuhan seluruh anggota masyarakat.
Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bagi segelintir wanita yang tidak memiliki keterampilan
(Skill), melakukan perbuatan jalan pintas dengan menjajahkan dirinya di tempat-tempat
tertentu (di luar lokalisasi WTS), tampaknya menimbulkan pemandangan yang tidak berkenan
di hati.
6
Prostitusi di Indonesia tidak bisa lepas dari gaya hidup masyarakat di Indonesia yang
cenderung mengikuti gaya hidup masyarakat luar yang bebas. Hal ini juga mengakibatkan
banyaknya tempat-tempat hiburan berkembang pesat di Indonesia khususnya dikota-kota besar.
Di Yogyakarta, misalnya di indikasikan terdapat banyak lokasi/tempat prostitusi. Seiring
berjalannya waktu tidak dipungkiri motif-motif baru bermunculan untuk menutup wajah
tempat prostitusi yang dibungkus dengan tempat hiburan yang tidak jarang digunakan sebagai
sarana untuk melancarkan bisnis prostitusi agar terhindar dari pengawasan polisi dan
pemerintah daerah.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
7
BAB II
KAJIAN TEORITIS
Berdasarkan aturan yang berlaku di Indonesia, maka prostitusi bukan merupakan suatu
tindak pidana. 1
yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) yang
berlaku di Indonesia, karena yang dibahas didalam KUHP adalah perbuatan yang
memudahkan terjadinya prostitusi dengan memberikan tempat/sarana untuk melakukan
prostitusi. Adapun ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 295 ayat (1), 296, dan 506 KUHP.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) WTS adalah orang celaka atau
perihal menjual diri (persundalan) atau orang sundal. Prostitusi juga dapat diartikan sebagai
suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk
melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan imbalan sesuai dengan apa
yang diperjanjikan sebelumnya. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut WTS, yang
kini kerap disebut dengan istilah Pekerja Seks Komersial (PSK). 2
Prostitusi (pelacuran) secara umum adalah praktik hubungan seksual sesaat, yang
kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur utama
dalam praktik pelacuran adalah: pembayaran, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional. 3
Para wanita yang melakukan pelacuran sekarang ini dikenal dengan istilah PSK (Pekerja
Seks Komersial ) yang diartikan sebagai wanita yang melakukan hubungan seksual dengan
lawan jenisnya secara berulangulang, diluar perkawinan yang sah dan mendapatkan uang,
materi atau jasa.4
Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa paling tidak terdapat empat
elemen utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan yaitu, (1) bayaran, (2)
perselingkuhan, (3) ketidakacuhan emosional, dan (4) mata pencaharian. Dari keempat
elemen utama tersebut, pembayaran uang sebagai sumber pendapatan dianggap sebagai
1
Moeljatno, 1984, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 3.
2
Drs. H. Kondar Siregar, MA, 2015, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis
Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra Handalan, Hal 1-3
3
Bagong Suyanto, 2010, Masalah Sosial Anak, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Hlm. 159-160, dalam
skripsinya Muhammad Hidayat, 2014, Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Kegiatan Prostitusi di Kota Makassar,
Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar, Hlm. 8.
4
Simanjuntak. B, 1982, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Bandung: Tarsito, Hlm. 25, dalam skripsinya
R. Christyna Pardede, 2008, Upaya Kepolisian dan Peran Serta Masyarakat dalam Menanggulangi Kejahatan
Prostitusi (Studi: Wilayah Hukum Polsek Balige), Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, Hlm. 15.
8
faktor yang paling umum dalam dunia pelacuran. 5 Apabila dilihat dari norma-norma sosial
sudah jelas melarang atau mengharamkan prostitusi dan sudah ada pengaturan tentang
larangan bisnis prostitusi terletak dalam Pasal 296 KUHP menentukan bahwapemidanaan
hanya dapat dikenakan bagi orang yang dengan sengaja menyebabkan sebagai pencarian
atau kebiasaan. Melihat dari rumusan pasal-pasal tersebut maka pemidanaan hanya dapat
dilakukan kepada mucikari atau germo (pimp) sedangkan terhadap pelacur (Prostitute) dan
pelanggannya (client) sendiri tidak dapat dikenakan pidana. Dengan demikian penegak
hukum baik dalam konteks transnasional dan nasional yang dimaksudkan adalah terhadap
mucikari (pimp).
Mucikari merupakan profesi dalam masyarakat yang diatur di dalam KUHP dan sangat
bertentangan dengan kesusilaan, disebutkan istilah mucikari yang tergolong sebagai
kejahatan kesusilaan yang diatur dalam BAB XIV Buku ke-II KUHP. Namun istilah
pengertian tersebut perlu diartikan secara jelas dan dapat diterima mengapa istilah mucikari
termasuk kejahatan kesusilaan. Pengertian mucikari adalah seorang lakilaki atau wanita
yang hidupnya seolah-olah dibiayai oleh pelacur, yang dalam pelacuran menolong
mencarikan langganan-langganan dari hasil mana ia mendapatkan bagiannya dan menarik
keuntungan dari pekerjaan yang dilakukan oleh pelacur. Yang dimaksud dengan orang yang
menarik keuntungan di sini adalah mucikari tersebut.6
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu sendiri, prostitusi diatur
pada Pasal 296 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya
sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.” Bagian inti delik
(delicts bestanddelen).7
5
Kartono Kartini, 2005, Patologi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Press, Hlm. 214.
6
Caswanto, 2016, Tindak Pidana Prostitusi yang Diusahakan dan Disediakan oleh Hotel di Indramayu dalam
Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Pasundan, Hlm. 47-48.
7
Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, 2009, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delictien) di dalam KUHP, Jakarta: Sinar
Grafika, Hlm. 172-173.