BAB I
PENDAHULUAN
pelacuran adalah penawaran hubungan seksual dengan imbalan uang atau keuntungan lainnya, dan
mencakup tujuan seperti uang, barang, hadiah, serta kepuasan keinginan seksual. Definisi pelacuran
menurut Dirjodjosisworo adalah penyerahan diri seorang wanita secara fisik untuk memuaskan pria mana
pun yang menginginkannya dengan imbalan pembayaran. Dalam pandangan Dirdjosisworo, terdapat tiga
unsur dalam pengertian pelacuran, yaitu penyerahan diri seorang wanita kepada banyak pria untuk
memuaskan keinginan seksual mereka dengan pembayaran sebagai ganti upah bagi wanita tersebut.
Pelacuran telah ada sejak lama dalam sejarah dunia, termasuk di Indonesia. Seperti halnya
perkembangan pemerintahan di dunia, pelacuran di Indonesia dimulai sejak zaman kerajaan di Jawa yang
menggunakan wanita sebagai komoditas dalam sistem feodal. Kegiatan pelacuran telah menyebar luas di
masyarakat di seluruh dunia, terlepas dari apakah pemerintah menyadari hal ini atau tidak, meskipun
kegiatan ini dianggap tidak etis. Pelacuran merupakan fenomena sosial yang menyebar secara luas di
masyarakat, namun kegiatan ini dianggap bertentangan dengan martabat dan nilai-nilai pribadi manusia
serta dapat membahayakan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat, seperti yang diakui dalam
Konvensi PBB tahun 1949 mengenai perdagangan manusia.
Masalah kontroversial mengenai pelacuran perlu menjadi perhatian pemerintah untuk diselesaikan
dengan melakukan pembaharuan hukum. Indonesia adalah negara yang melarang kegiatan pelacuran karena
dianggap tidak hanya tidak etis, tetapi juga sebagai kejahatan. Pemerintah perlu memberikan kepastian
hukum untuk melarang penyebaran kegiatan ini di masyarakat. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan
ideologi Pancasila, pelacuran sangat menciderai jati diri bangsa dan nilai-nilai norma yang dijunjung tinggi.
Oleh karena itu, pelacuran dapat menjadi gangguan, hambatan, bahkan ancaman terhadap ketahanan bangsa
baik pada bidang ideologi maupun sosial budaya.
Kegiatan pelacuran termasuk dalam bentuk penyimpangan seksual yang melanggar nilai-nilai sosial,
agama, kesopanan, dan moral bangsa Indonesia. Hal ini juga merusak nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Misalnya, kegiatan pelacuran bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, karena pelacuran dilarang dalam ajaran agama dan dikecam sebagai perbuatan zina. Selain itu,
terkait dengan Sila Kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, manusia sebagai makhluk
yang mulia seharusnya menghormati martabat manusia dan tidak menjadikan manusia lain sebagai objek
perdagangan seksual. Banyak pelacur yang diperlakukan secara tidak manusiawi oleh mucikari atau germo
yang dengan sengaja menjual jasa seksual.
Dalam rangka mempertahankan nilai-nilai Pancasila dan melindungi martabat manusia, perlu adanya
upaya serius dari pemerintah untuk menangani masalah pelacuran ini. Pembaharuan hukum yang melarang
kegiatan pelacuran menjadi salah satu langkah yang perlu dilakukan. Selain itu, pendekatan yang
komprehensif melalui pendidikan, kesadaran sosial, rehabilitasi, dan pemberdayaan perlu dilakukan untuk
mengatasi akar permasalahan yang mendorong adanya pelacuran di masyarakat. Dalam perbandingan antara
3
KUHP lama dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP baru), terdapat beberapa perubahan terkait pasal-pasal yang terkait dengan kegiatan pelacuran. Pasal
296 dalam KUHP lama mengatur bahwa seseorang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan,
akan diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp15
juta.
Di KUHP baru, terdapat perubahan pasal-pasal yang relevan. Pasal 420 mengatur bahwa setiap orang
yang menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul, akan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun. Sementara itu, Pasal 506 menyatakan bahwa seseorang yang menarik
keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, akan diancam
dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun. Selanjutnya, Pasal 421 dalam KUHP baru menjelaskan bahwa
jika tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 419 atau Pasal 420 dilakukan sebagai kebiasaan
atau untuk menarik keuntungan sebagai mata pencaharian, pidana yang dijatuhkan dapat ditambahkan
sebanyak 1/3 dari hukuman yang seharusnya. Hukum pidana positif Indonesia belum mengatur secara tegas
tentang perbuatan pelacuran dan hubungan antara tiga komponennya, yaitu mucikari atau germo, pekerja
seks komersial, dan pengguna pekerja seks komersial. Baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) maupun undang-undang di luar KUHP, pengaturan mengenai delik-delik kesusilaan seperti pasal
281 hingga pasal 303, terutama pasal 296 dan pasal 506, hanya menjerat pemilik rumah bordil, mucikari,
dan makelar atau calo dalam perbuatan pelacuran.
Pembedaan penerapan sanksi pidana yang hanya ditujukan kepada mucikari menjadi polemik,
mengingat ada dua komponen utama lainnya yang terlibat, yaitu pekerja seks komersial dan pengguna jasa
pekerja seks komersial. Hal ini menimbulkan argumen di masyarakat bahwa pekerja seks komersial juga
bisa dianggap sebagai korban, tetapi dalam kenyataannya banyak pekerja seks komersial yang menjalankan
pekerjaannya secara profesional berdasarkan perjanjian kerja dengan mucikari, germo, atau pemilik tempat
di mana mereka melakukan pelacuran. Oleh karena itu, aparat penegak hukum tidak dapat menjerat
pengguna jasa pekerja seks komersial maupun pekerja seks komersial itu sendiri, karena Pasal 296 KUHP
menyatakan bahwa seseorang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh
orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah. Pasal
506 KUHP menyatakan bahwa seseorang yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita
dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
Dalam KUHP lama, Pasal 296 dan 506 menjelaskan bahwa perbuatan pekerja seks komersial maupun
pengguna tidak dijerat, tetapi hanya menjerat penyedia, mucikari, dan makelar atau calo dalam perbuatan
pelacuran. Hal ini tidak berubah dalam KUHP baru tahun 2023 dengan Pasal 420 yang memiliki makna
4
mirip dengan Pasal 296 KUHP lama dan Pasal 421 yang menekankan makna yang sama dengan Pasal 506
KUHP lama. Pemidanaan yang hanya ditujukan kepada mucikari saja tidak mencerminkan rasa keadilan,
mengingat dalam perbuatan pelacuran terdapat subyek-subyek yang terkait, yaitu mucikari, pengguna, dan
pekerja seks komersial. Kegiatan pelacuran, sebagai bagian dari perbuatan zina, dikategorikan sebagai
"crime without victim" (kejahatan tanpa korban) di mana pekerja seks komersial dan pengguna jasanya
termasuk korban tetapi juga pelaku dalam perbuatan tersebut. Oleh karena itu, hukum pidana positif
Indonesia saat ini. Semua upaya untuk mencegah dan memerangi kejahatan ini termasuk dalam ruang
lingkup kebijakan pidana, yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana. Oleh karena itu, ini adalah
bagian dari kebijakan pidana. (Arief, 2003).
Kebijakan pidana didefinisikan sebagai kehendak nasional untuk menciptakan hukum nasional yang
selaras dengan aspirasi dan nilai-nilai yang diturunkan dari bangsa Indonesia, dengan tujuan mencapai
negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, sangat penting untuk memiliki
reformasi hukum (UU Kebijakan) dalam proses pembuatan kebijakan legislatif sebagai bagian dari
pembangunan nasional yang komprehensif dan terintegrasi, baik yang mencakup hukum formal maupun
material. Melalui kebijakan pidana, kebijakan legislatif dapat mengkriminalisasi prostitusi sebagai tindak
pidana yang jelas, tidak hanya menjatuhkan sanksi pidana kepada mucikari tetapi juga pada komponen
utama lainnya, seperti menjatuhkan hukuman pidana kepada pekerja seks dan pengguna layanan seks.
Dalam rangka mengatasi masalah pengaturan mengenai sanksi pidana bagi pengguna jasa pekerja
seks komersil dan pekerja seks komersil dalam konteks kegiatan pelacuran, perlu dilakukan pembaharuan
hukum (law reform) sebagai bagian dari pembangunan nasional. Pembaharuan hukum nasional harus
mencakup secara menyeluruh dan terpadu bidang hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi,
baik dalam aspek formil maupun materiilnya. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana
tidak hanya menyangkut substansi hukum pidana, tetapi juga berkaitan dengan nilai-nilai yang ada.
Pembaharuan hukum pidana bertujuan untuk mengorientasikan dan mereformasi hukum pidana sesuai
dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang menjadi dasar
kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Satjipto Rahardjo, seperti dikutip oleh Nyoman Serikat Puetra Jaya, menyatakan bahwa proses
penegakan hukum juga melibatkan tahap perumusan hukum/undang-undang. Pikiran-pikiran para pembuat
undang-undang yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan akan mempengaruhi bagaimana
penegakan hukum dilaksanakan. Kebijakan hukum pidana pada dasarnya melibatkan upaya negara dalam
mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kekuasaan masyarakat umum untuk bertindak dan berperilaku,
maupun kekuasaan atau wewenang aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas mereka untuk
memastikan bahwa masyarakat patuh terhadap aturan yang telah ditetapkan. Kebijakan hukum pidana
melibatkan serangkaian proses yang meliputi tiga tahap, yaitu: tahap kebijakan legislatif/formulatif
5
(menetapkan atau merumuskan perbuatan yang dapat dipidana), tahap kebijakan yudikatif/aplikatif
(menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan), dan tahap kebijakan
eksekutif/administratif (melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekutor pidana).
Berdasarkan tiga tahapan kebijakan hukum pidana tersebut, penanggulangan kejahatan selalu
diarahkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan
penanggulangan kejahatan pada dasarnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan sosial dan
pencapaian kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dalam penanggulangan masalah kegiatan pelacuran,
diperlukan pendekatan yang berfokus pada kebijakan kriminalisasi sebagai bagian dari kebijakan kriminal
yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana. Melalui kebijakan kriminalisasi.
b. Manfaat Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan bagi
praktisi/pembuat kebijakan hukum dalam hukum pidana, agar dapt dipergunakan di
dalam praktik. Sehingga adanya kesesuaian di dalam pembuatan undang-undang,
khususnya peraturan perundang-undangan pidana dengan penerapannya.
haknya, dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dan kekayaan
bersama.(Safa’at 2012) Keadilan dapat dimaknai sebagai legalitas adalah adil jika suatu
aturan diterapkan pada semua kasus di mana menurut isinya memang aturan tersebut
harus diaplikasikan, adapun tidak adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi
tidak pada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas
yang tidak berhubungan dengan isi tataran aturan positif, tetapi dengan pelaksanaannya.
Legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adil atau tidak adil berarti legal atau
illegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid untuk
menilai sebagai bagian dari tata hukum positif.
Konteks keadilan merupakan suatu yang "maha" luas meliputi hukum, sosial,
agama, dan sebagainya. Namun demikian terlepas dari itu, sesuatu hal yang pasti adil
adalah bahwa prinsip keadilan menghendaki tujuan hukum bagi setiap Negara hukum.
Prinsip keadilan menghendaki agar setiap tindakan institusi atau pejabat pemerintahan
Negara (daerah) senantiasa memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran.(Thamrin
2013) Para penganut positivisme dengan keras menuntut supaya hukum yang dibentuk
besifat adil.(Huijbers 1999) Hal keadilan juga nampak dalam konsep pemikiran
utilitarianisme bahwa tujuan hukum memberikan kescjahtraan bagi masyarakat, konsep
ini melekat dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 "adil dan
makmur.(Wignjosoebroto 2013) Teori ini dapat diberlakukan untuk rumusan masalah
pertama mengenai urgensi.
B. Teori Perundang-undangan
Secara teoritis, tata urutan perundang-undangan dapat dikaitkan dengan ajaran
Hans Kelsen mengenai Stufenbau des Rerht atau The hierarchy of law yang berintikan
bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap kaidah hukum
yang lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi. Memahami teori Stufenbau
des Recht, harus dihubungkan dengan ajaran Kelsen yang lain yaitu Reine Rechtslehre
atau The pure theory of law (teori murni tentang hukum) dan bahwa hukum itu tidak
lain “command of the sovereign” kehendak berkuasa.(Manan 2004b)
Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di
puncak piramid dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar
teratas adalah abstrak dan makin ke bawah semakin konkret. Daram proses itu, apa yang
9
semula berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat”
dilakukan.
Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum termasuk dalam sistem norma yang
dinamik (nomodynamics) karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-
lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuknya sehingga dalam hal ini
tidak dilihat dari segi norma tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau
pembentukannya.(H. Kelsen 1946) Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh
lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang
lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk
oleh norma yang lebih tinggi (superior) dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-
lapis membentuk suatu hierarki.
Lebih jauh Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma
hukum (stufentheorie), bahwa norma-norrna hukum itu berjanjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dinama suatu norma yang lebih rendah
berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norrna yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis
dari fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundrorm).
Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum
dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara grundnorm yang ada pada tata
hukum A tidak mesti sama dengan grundnorm pada tata hukum B. Grundrorm ibarat
bahan bakar yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundrorm memiliki fungsi
sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan
hukum. Norma Dasar Grurdnorm atau disebut juga Ursprungsnorm atau umorm
sebagaimana yang disebut bersifat pesupposed dan tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
dasar berlakunya sehingga diperlukan menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat
diperdebatkan lagi, sesuatu yang fiktif, suatu aksioma.
Menurut sistern hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan (hukum
tertulis) di susun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan perundang-
undangan. Terlihat di dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 yang diperbaharui dengan
Undang-undsang Nomor 12 Tahun 2011 (selanjutnya dibaca Undang-undang Nomor
10
Hukum pidana mempunyai kekuatan berlaku karena dibuat oleh badan legisiatif,
sedangkan badan legislatif mempunyai wewenang untuk itu atas dasar ketentuan
undang-undang dasar (Konstitusi). Konstitusi menurut Hans Kelsen kekuatan
hukumnya berasal dari luar hukum, yaitu dari hypothese atau grundnorm. Ilmu
pengetahuan hukum menganggap benar adanya hypothese atau grundnorm yang
pertama kali, maka kalau grundnrorm itu tekah diterima oleh masyarakat harus ditaati.
Jadi ilmu pengetahuan hukum itu menurut Kelsen menyelidiki tingkatan norma-norma,
kekuatan berlaku dari tiap norma yang tergantung dari hubungannya yang logis dengan
norma yang lebih tinggi sampai akhirnya pada suatu hypothese yang pertama.
Hypothese pertama bersikap abstrak, tetapi bila ditelusuri menuruni tangga urutan
norma-norma itu maka makin lama norma tersebut menjadi lebih korrkrit, sehingga
pada akhirnyo sampai pada norma yang memaksakan kewajiban kepada individu
tertentu yang mungkin berupa suatu putusan pengadilan ataii perintah pejabat atau
perikatan itu hanyalah pelaksanaan dari suatu norma yang lebih tinggi. Pandangan Hans
Kelsen tentang tata huknm sebagai suatu bangunan norma-norma yang tersusun secara
heirakis disebut Stufenbau Theori.
11
dipahami bahwa sebagai suatu sistem maka hukum Indonesia merupakan suatu tatanan,
merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur
yang saling berkaitan erat satu sama lain untuk mencapai tujuan. Masing-masing unsur
harus dilihat dalam kaitannya dengan unsur lainnya dan dengan keseluruhannya.
Beberapa alasan lain yang dikemukakan oleh Satjipto Raharjo untuk
mempertanggungjawabkan bahwa hukum itu merupakan satu sistem adalah sebagai
berikut: suatu sistem hukum itu dapat disebut demikian karena ia bukan sekedar
merupakan kumpulan peraturan-peraturan belaka. Kaitan yang mempersatukannya,
sehingga tercipta pola kesatuan yang demikian adalah: masalah keabsahan.(Rahardjo
2009) Peraturan-peraturan itu diterima sebagai sah apabila dikeluarkan dari sumber
atau sumber-sumber yang sama, seperti peraturan hukum, yurisprudensi dan kebiasaan.
Sumber-sumber yang demikian itu dengan sendirinya melibatkan kelembagaan seperti
pengadilan dan pembuat undang-undang.
Setiap sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam
pembentukannya dan dapat dikatakan bahwa suatu sistem adalah tidak terlepas dari
asas-asas yang mendukungnya dengan demikian sifat sistem itu menyeluruh dan
berstruktur yang keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam hubungan
fungsional. Kalau dikatakan bahwa hukum itu sebagai suatu sistem, artinya suatu
susunan atau tataan teratur dati aturan-aturan hidup. Misalnya dalam hukum perdata
sebagai sistem hukum Positif.
Menurut Satjipto Raharjo secara sosiologis fungsi hukum adalah :
a. Social control (kontrol sosial)
Social control yaitu mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku
sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum termasuk nilai-
nilai yang hidup di masyarakat. Yang termasuk lingkup kontrol sosial adalah :
1) Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan peruntukan maupun
yang menentukan hubungan antara orang dengan orang.
2) Menyelesaikan sengketa dengan masyarakat.
3) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi
perubahan-perubahan sosial.
daya yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas sebuah kebijakan. Selain
itu, kalangan swasta dan masyarakat sipil juga dapat mengambil sebuah kebijakan
karena ketidakmampuan negara.
Kebijakan berawal dari istlah “Policy” (dalam bahasa inggris) ataupun
“politiek” (dalam bahasa Belanda). Peristilahan tersebut dapat dimaknakan sebagai
asas-asas umum yang fungsinya memberikan arahan pada pemerintah mapun aparat
penegak hukum di dalam mengurus, mengatur ataupun menuntaskan, menyelesaiakan
masalah-masalah public. Persoalan-persoalan masyarakat ataupun aspek-aspek
penyususnan peraturan hukum serta menentukan banyaknya hukum ataupun peraturan
di dalam satu tujuan umum yang menyasar pada langkah demi terwujudnya
kemakmuran serta kesejahtraan rakyat.
Kebijakan hukum atau kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik
dalam menanggulangi masalah kejahatan tidak dapat lepas dari perubahan wacana
dalam proses kebijakan ini. Selama ini kebijakan kriminal dipahami sebagai ranah
Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan reprentasi dari negara. Selain itu,
kebijakan kriminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan hukum saja. Dengan
semakin meningkat, rumit dan variatifnya dalam kejahatan, SPP tidak lagi dapat
dijadikan satu-satunya stakeholder dalam kebijakan kriminal. Khususnya dalam upaya
pencegahan kejahatan. Lembaga-lembaga negara yang difungsikan untuk melakukan
pencegahan kejahatan harus melakukan kolaborasi yang terlembagakan dengan sipil
dan kalangan swasta.
Istilah “Kebijakan” di dalam penelitian ini diambil dari istilah “policy” (Inggris)
atau “politiek” (Belanda). Berdasarkan dari istilah asing tersebut, maka istilah
“Kebijakan Hukum Pidana” bisa juga dikatakan dengan “politik hukum pidana”. Dalam
refrensi asing istilah tentang poltik hukum pidana acap kali dikenal dengan beragam
istilah, yakni “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolititiek”. Menurut
Soedarto, politik hukum adalah :
a) Upaya demi melahirkan peraturan hukum yang baik serta peraturan-peraturan
yang baik serta serasi dengan kondisi serta situasi pada satu saat.
b) Kebijakan dari Negara dengan badan-badan yang memiliki kekuasaan demi
menentukan peraturan yang diinginkan yang diprediksi dapat dipakai untuk
17
Indonesia 2010) Hukum dalam hakekat moralnya sebagai ekspresi solidaritas sosial tak
akan mungkin ditopang oleh kekuatan-kekuatan sanksi yang bersifat menindak (yang
tujuan utamanya adalah untuk melampiaskan dendam pembalasan).
Menurut teori Theodorb Geiger, hukum itu gejala sosial, Geiger cenderung
menyangkal peran moral dalam hukum. Hidup bersama dalam masyarakat modern,
menurut Geiger, makin kurang dilandasi pertimbangan-pertimbangan moral. Bahkan
konsensus dalam bidang moral, sudah jarang ditemukan lagi. Oleh karena itu,
peraturan-peraturan hidup bersama, tidak dapat dibebani pertimbangan-pertimbangan
moral. Dengan kata lain, nilai-nilai tidak lagi memainkan peran dalam hukum.
Pengandaian dasar teori diskursus hukum dan moralitas yang dirumuskan Habermas
adalah bahwa dalam masyarakat modern yang plural, norma-norma sosial yang
diberlakukan hanya dapat meraih validitasnya dari akal budi manusia. Hanya norma-
norma yang didasarkan pada akal budi manusialah yang dapat mengikat interaksi
diskursif antara kelompok dan individu yang berbeda-beda dalam masyarakat
plural.(Wattimena 2007)
Individu-individu terperangkap dalam genggaman hukum sejak hari yang
paling awal dalam kehidupan mereka dan pandangan-pandangan awal mereka tentang
moral terbentuk oleh pengaruh tersebut. Olivecrona mengemukakan bahwa sebenarnya
tidak pernah ada suatu penyebab tunggal untuk suatu hal yang rumitnya seperti ide-ide
moral. Perintah ditanamkan secara langsung oleh para orang tua, guru dan lain-lain.
Dengan demikian Olivercrona berkesimpulan bahwa penggunaan paksaan (yang dapat
dipandang sebagai sesuatu yang menjadi dasar bagi hukum) merupakan salah satu
faktor prinsipil dalam pembentukan standar-standar dan bukan sebaliknya.(A. Ali and
Heryani 2012)
Dalam konteks krisis hukum dewasa ini, maka Satjipto Rahardjo memberikan
penilaian yang khas sebagai akar penyebabnya. Dikatakan bahwa “selama ini ilmu
hukum bagaikan tertidur mengamini pikiran hukum dominan yang dimonopoli oleh
para profesional hukum. Tertib hukum, kepastian hukum, logika hukum, dan lain-lain
merupakan instrumen profesional yang ampuh untuk memperlancar bisnis lawyering
sesungguhnya krisis sekarang ini seharusnya menggugah para ilmuwan hukum untuk
menyumbangkan pendekatan dan metodologi lain di luar yang dominan tersebut”.
23
Alasan untuk itu sederhana saja, yaitu karena pikiran atau aliran dominan telah gagal
membantu kita meyelesaikan krisis hukum dewasa ini. Pada penjelasan teori moral
diatas bahwa mennjukkan terkait dengan urgensi dari penelitian tersebut maka dari itu
teori ini dapat digunakan untuk menganalisis pada rumusan masalah yang pertama.
1.6.2 Penjelasan Konsep
a. Pelacuran
Secara etimologi, kata "pelacuran" berasal dari bahasa Latin "prostituere" yang
berarti membiarkan diri terlibat dalam perbuatan zina, persundalan, pencabulan, dan
pergendakan. Istilah "prostitute" merujuk pada istilah yang mengacu pada WTS atau
sundal yang juga dikenal sebagai Wanita Tuna Susila (WTS). Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), WTS adalah orang yang menjual diri (persundalan) atau
orang sundal. Pelacuran juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang melibatkan
penyerahan diri atau penjualan jasa kepada publik untuk melakukan aktivitas seksual
dengan imbalan sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Orang yang menjual jasa seksual
disebut sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).
Definisi serupa juga terdapat dalam Black Law Dictionary yang menyatakan
bahwa pelacuran adalah tindakan terlibat dalam aktivitas seksual untuk uang atau setara
dengan uang, yang dikomersialkan.
Secara umum, pelacuran adalah praktik hubungan seksual sesaat dengan siapa
saja, dengan imbalan uang. Tiga unsur utama dalam pelacuran adalah pembayaran,
promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional. Wanita yang terlibat dalam pelacuran
sekarang dikenal sebagai PSK, yang berarti wanita yang secara berulang kali terlibat
dalam hubungan seksual di luar pernikahan yang sah dan menerima uang, barang, atau
jasa.
Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul "Patologi Sosial" memberikan
definisi pelacuran sebagai berikut: (1) pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual
dengan pola impuls atau dorongan seksual yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, yang
diekspresikan melalui pelampiasan nafsu seksual tanpa kendali dengan banyak orang,
disertai dengan eksploitasi dan komersialisasi seks yang tanpa afeksi; (2) pelacuran juga
merupakan penjualan diri dengan menjual tubuh, kehormatan, dan identitas kepada
banyak orang untuk memuaskan nafsu seksual dengan imbalan pembayaran; (3)
24
pelacuran terjadi karena tindakan perempuan atau laki-laki yang menjual tubuhnya
untuk kegiatan cabul dengan imbalan.
W.A Bonger menyatakan bahwa pelacuran merupakan salah satu unsur pidana
kesusilaan. Pelacuran adalah fenomena sosial di mana wanita menjual diri dan terlibat
dalam aktivitas seksual sebagai mata pencaharian. Sarjana P.J. de Bruine van Amstel
menyatakan bahwa pelacuran adalah penyerahan diri wanita kepada banyak pria dengan
imbalan uang. Paul Moedikdo Moeliono juga berpendapat bahwa pelacuran adalah
penyerahan tubuh wanita dengan menerima pembayaran, untuk memuaskan nafsu
seksual orang-orang tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
terdapat empat elemen utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan, yaitu (1)
pembayaran, (2) perselingkuhan, (3) ketidakacuhan emosional.
Pasal 296 KUHP Lama mengatur bahwa seseorang dapat dijerat hukum jika
mereka menyediakan rumah atau kamar kepada pria dan wanita untuk melakukan
pelacuran (hubungan seksual atau melepaskan nafsu seksual). Biasanya, tempat tidur
juga disediakan untuk tujuan ini. Dalam hal ini, pemilik rumah yang memanfaatkan
rumahnya sebagai tempat pelacuran dan menjadikannya sebagai mata pencaharian
dapat dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 296 KUHP Lama. Namun, perlu dicatat bahwa
pelacuran adalah pemanfaatan seseorang dalam aktivitas seksual dengan imbalan, dan
bukan sekadar pelanggaran moral tetapi merupakan kegiatan perdagangan. Sejumlah
konvensi internasional telah dibuat untuk melindungi perempuan dan anak perempuan
dari praktik ini yang merugikan.
Perdagangan perempuan dan anak perempuan adalah konsep yang relatif baru
dalam masyarakat. Meskipun konsep ini telah ada sekitar 20 tahun, masyarakat umum
mengenalnya sebagai pelacuran. Di beberapa negara, istilah pelacuran dianggap
memiliki konotasi negatif. Di Indonesia, mereka yang terlibat dalam pelacuran disebut
sebagai Wanita Tuna Susila (WTS), yang menunjukkan bahwa mereka dianggap tidak
bermoral karena melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang
berlaku dalam masyarakat.
Pandangan seperti ini memberikan stigma negatif kepada pekerja seks sebagai
orang yang kotor, hina, dan tidak berharga, sementara pihak yang mempekerjakan
mereka dan memperoleh keuntungan besar dari kegiatan ini tidak mendapatkan stigma
25
serupa. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, kita dapat menyadari
bahwa pekerja seks sebenarnya terlibat dalam kegiatan perdagangan yang melibatkan
tidak hanya perempuan yang memberikan layanan seksual dengan imbalan uang. Ini
adalah kegiatan perdagangan yang melibatkan berbagai pihak. Jaringan perdagangan
ini juga meluas ke wilayah yang lebih luas, terkadang melibatkan tidak hanya satu
negara tetapi beberapa negara sekaligus.
Banyak studi yang telah dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban
mengenai faktor yang mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Koentjoro
menemukan adanya tiga motif utama yang menyebabkan perempuan memasuki dunia
pelacuran, yaitu :
a. Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak
sebagaimana konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang
tua dan sosial.
b. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi
ini yang dimaksud adalah uang.
c. Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang
tua, penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan orang
tua. Weisberg juga meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti
pengalaman seksual diri dan peristiwa traumatik sebagai bagian dari motivasi
situasional. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa perempuan menjadi pelacur
karena telah kehilangan keperawanan sebelum menikah atau hamil di luar
nikah.
Berbeda dengan pendapat di atas, Koentjoro mengemukakan bahwa:
“Faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi pelacur adalah faktor
kepribadian. Ketidakbahagiaan akibat pola hidup, pemenuhan kebutuhan untuk
membuktikan tubuh yang menarik melalui kontak seksual dengan bermacam-
macam pria, dan sejarah perkembangan cenderung mempengaruhi perempuan
menjadi pelacur.”
Kemudian secara rinci Kartini Kartono menjelaskan motif-motif yang
melatarbelakangi pelacuran pada wanita adalah sebagai berikut:(Kartono 2005).
a. Terdapat kecenderungan bagi banyak wanita untuk terlibat dalam pelacuran
sebagai jalan keluar dari kesulitan hidup dan untuk mendapatkan kesenangan
dengan cara instan. Kurangnya pemahaman, pendidikan yang minim, dan buta
huruf menjadi faktor yang menghalalkan praktik pelacuran.
26
b. Terdapat dorongan seksual yang tidak normal dan tidak terintegrasi dengan
kepribadian, serta hasrat seksual yang berlebihan. Hal ini menyebabkan
ketidakpuasan dalam menjalin hubungan seksual dengan satu pria atau suami.
c. Tekanan ekonomi, kemiskinan, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomi
menjadi faktor yang mendorong wanita untuk terlibat dalam pelacuran guna
mempertahankan kelangsungan hidup mereka, terutama dalam upaya untuk
mencapai status sosial yang lebih baik.
d. Keinginan yang tinggi terhadap materi dan kesenangan yang berlebihan terhadap
pakaian dan perhiasan mewah. Wanita ingin hidup dalam kemewahan tanpa
harus bekerja keras.
e. Kompensasi terhadap perasaan inferioritas. Terjadi penyesuaian yang negatif,
terutama pada masa pubertas dan remaja. Terdapat keinginan untuk melampaui
orang tua, saudara perempuan, teman sebaya perempuan, bibi, atau wanita
lainnya.
f. Rasa ingin tahu anak perempuan yang masih kecil dan remaja terhadap masalah
seksual, yang kemudian terjerumus ke dalam dunia pelacuran karena rayuan
penjahat seksual.
g. Anak perempuan memberontak terhadap otoritas orang tua yang menerapkan
larangan dan aturan-aturan seksual yang banyak. Mereka juga memberontak
terhadap masyarakat dan norma-norma moral yang dianggap terlalu membatasi
remaja, sehingga lebih cenderung menyukai pola seks bebas. Pada masa kanak-
kanak, mereka mungkin telah melakukan hubungan seksual atau memiliki
kecenderungan untuk menjalin hubungan seks sebelum menikah (hubungan seks
pranikah) sebagai tindakan iseng atau untuk menikmati "masa indah" di saat
muda.
h. Anak perempuan yang berasal dari daerah kumuh (kampung miskin dan
lingkungan yang tidak bermoral) yang sejak kecil sering melihat hubungan
seksual orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga mental mereka
terkondisikan dengan tindakan asusila. Mereka kemudian menggunakan
mekanisme promiskuitas atau pelacuran untuk bertahan hidup.
i. Rayuan dari pria atau makelar, terutama yang menjanjikan pekerjaan terhormat
dengan gaji tinggi.
j. Stimulasi seksual yang berlebihan melalui film porno, gambar cabul, bahan
bacaan yang tidak pantas, kelompok-kelompok remaja yang terlibat dalam
praktik seksual, dan lain sebagainya.
k. Para pelayan toko dan pembantu rumah tangga yang tunduk dan patuh dalam
memenuhi kebutuhan seksual majikan mereka agar tetap mempertahankan
pekerjaan.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang melatarbelakangi seseorang memasuki dunia pelacuran dapat dibagi menjadi dua,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar
moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor eksternal
berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban kekerasan seksual dan keinginan
untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi.
27
b. Kriminalisasi
Kriminalisasi adalah objek studi dalam hukum pidana yang mencakup penentuan
suatu tindakan sebagai perbuatan pidana yang diancam dengan sanksi atau hukuman
yang ditetapkan oleh aparat hukum yang berwenang. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kriminalisasi adalah proses di mana perilaku yang sebelumnya tidak
dianggap sebagai tindak pidana, kemudian dianggap sebagai tindak pidana oleh
masyarakat. Secara etimologis, istilah ini berasal dari bahasa Inggris "Criminalization"
yang memiliki padanan dalam bahasa Belanda "Criminalisate". Kriminalisasi adalah
proses penetapan suatu perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana atau tidak diatur
dalam hukum pidana, namun kemudian menjadi tindak pidana karena perkembangan
masyarakat.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa kriminalisasi adalah tindakan atau
penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat
dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana, sehingga perbuatan tersebut menjadi
perbuatan pidana yang dapat dihukum oleh pemerintah atas nama rakyat. Dr. H. Moh.
Hatta, S.H. menjelaskan bahwa kriminalisasi adalah kebijakan kriminal atau kebijakan
kriminal yang bertujuan untuk mencegah dan menangani kejahatan. Kebijakan
kriminal ini tidak terlepas dari kebijakan sosial yang bertujuan untuk menciptakan
kesejahteraan sosial dan melindungi masyarakat. Dengan demikian, kriminalisasi
melibatkan penetapan atau kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa atau pemerintah
yang sedang berkuasa, dan penetapan ini dibuat oleh badan legislatif sebagai wakil
rakyat yang bertugas merancang dan membuat peraturan perundang-undangan.
Penetapan apakah suatu perbuatan layak atau tidak untuk dijadikan tindak pidana
berasal dari pandangan masyarakat.
Secara keseluruhan, kriminalisasi merupakan kebijakan kriminal yang bertujuan
untuk mencegah dan menangani kejahatan serta menciptakan kesejahteraan sosial
dalam masyarakat. Kriminalisasi, menurut Soetandyo Wignjosoebroto, adalah
pernyataan bahwa suatu perbuatan harus dianggap sebagai tindak pidana yang hasilnya
adalah keputusan berdasarkan penimbangan normatif. Dalam konteks nilai,
kriminalisasi dapat diartikan sebagai perubahan nilai yang menyebabkan beberapa
28
perbuatan yang sebelumnya tidak dianggap buruk dan tidak dituntut pidana, berubah
menjadi perbuatan yang dianggap buruk dan perlu dihukum.
Pengertian kriminalisasi ini menyiratkan bahwa cakupan kriminalisasi terbatas
pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi
pidana. Namun, menurut Paul Cornill, pengertian kriminalisasi tidak terbatas pada
penetapan perbuatan sebagai tindak pidana, melainkan juga mencakup penambahan
atau peningkatan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada. Dalam
perspektif nilai, kriminalisasi dapat dipahami sebagai perubahan nilai yang
menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya tidak dianggap buruk dan tidak
dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang dianggap buruk dan perlu dihukum.
Dalam perspektif labeling, kriminalisasi adalah keputusan badan pembentuk undang-
undang pidana untuk memberi label terhadap perilaku manusia sebagai kejahatan atau
tindak pidana.
Pembenaran untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana
lebih banyak didasarkan pada faktor di luar hukum pidana, seperti nilai-nilai, ilmu
pengetahuan, dan kebijakan. Nilai-nilai atau norma-norma sosial yang menjadi sumber
pembentukan norma hukum pidana meliputi nilai-nilai agama dan norma-norma yang
hidup dalam kesadaran masyarakat.
29
Latar Belakang :
Filosofi : Pelacuran itu bentuk kegiatan penistaan terhadap amalan ide-ide Pancasila yang mana
dilihat dari sila pertama penistaan terhadap norma agama , sila kedua yang mana merendahkan
derajat dan harkat martabat manusia ( Wanita / perempuan ), sila lima yang mana mayoritas para
pekerja seks komersial terjerumus dikarenakan ekonomi sehingga, ini masih jelas belum adanya
perwujudan dari sila kelima ( kemakmuran dan kesejahteraan ).
Sosiologi : Perbuatan pelacuran selama ini hanya memberikan saksi kepada mucikari saja padahal
stakeiholder adanya pelacur, mucikari dan penikmat jasanya.
Yuridis : Dasar hukum terkait pengaturan pelacuran sebagai tindak pidana hanya memberikan
sanksi kepada mucikari ( Pasal 296 KUHP ) dan penyedia fasilitas ( pemilik penginapan / hotel )
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 506 KUHP.
Theory
Pendekatan UU
Yuridis Normatif Studi Dokumen
Pendekatan
Perbandingan
Kerangka Konseptual :
Hasil dan Pembahasan 1. Pelacuran
2. Kriminalisasi
BAB II
URGENSI KRIMINIALISASI PADA PERBUATAN PELACURAN DALAM HUKUM
PIDANA DI INDONESIA
Berdasarkan pendapat dari W.A. Bonger dan Sarjana PJ. De Bruine Van Amstel,
pelacuran dapat didefinisikan sebagai penyerahan diri seorang wanita kepada banyak laki-
laki dengan pembayaran tertentu. Dalam sejarahnya, pelacuran diartikan sebagai penyerahan
diri seorang wanita kepada banyak laki-laki dalam hubungan seksual dengan imbalan
tertentu.
Pelacuran melibatkan penjualan diri sebagai profesi atau mata pencaharian sehari-hari
dengan melakukan hubungan seksual dengan imbalan. Untuk dikategorikan sebagai pelacur,
seseorang harus memenuhi unsur-unsur berikut:a. Penyerahan diri seorang wanita.; b.
Terhadap banyak laki-laki secara umum, tanpa seleksi.; c. Laki-laki yang terlibat membayar
sejumlah uang atau barang.
Beberapa faktor sosial yang menyebabkan munculnya pelacuran, menurut Kartini
Kartono, antara lain: Pelacuran dapat ditemukan dalam berbagai bentuk di masyarakat,
termasuk pelacuran jalanan atau kelas rendah dan pelacuran kelas tinggi yang melayani
panggilan ke hotel atau tempat sejenisnya. Pelacuran sudah ada di Indonesia sejak zaman
kerajaan. Setelah Indonesia merdeka, pelacuran merajalela di berbagai wilayah akibat
dampak perang yang panjang, demoralisasi yang ditinggalkan penjajah, dan ketidakpastian
ekonomi. Terdapat kompleks pelacuran besar yang dapat menampung ratusan bahkan ribuan
pelacur, baik yang diatur oleh pemerintah daerah, setengah resmi, maupun yang liar di
beberapa kota di Indonesia.
Departemen Sosial Republik Indonesia memberikan perumusan tentang pelacuran dan
menilai pelacur dalam kaitannya dengan Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Departemen
Sosial RI, pelacuran adalah setiap hubungan seksual di luar perkawinan yang sah antara pria
dan wanita yang dilakukan oleh salah satu pihak dengan maksud mendapatkan keuntungan
bagi dirinya sendiri atau orang lain. Pelacuran dianggap sebagai mata pencaharian yang tidak
halal, bertentangan dengan UUD 45, agama, dan kepribadian bangsa Indonesia.
Simone de Beauvoir, seorang filsuf wanita, membandingkan peran istri dan pelacur.
Simone membedakan bahwa istri terikat untuk memberikan layanan seks selama waktu yang
tidak terbatas, dan karena menjadi milik seseorang, ia dilindungi. Di sisi lain, pelacur tidak
memiliki pemilik, sehingga ia dianggap sebagai "barang" yang tidak berharga, dan layanan
seksualnya hanya bersifat sementara. Simone tidak menekankan unsur uang atau keuntungan
32
materi sebagai penentu seseorang menjadi pelacur, tetapi ia menetapkan kriteria pelacur
berdasarkan hubungan seks tanpa diskriminasi antara seorang wanita dengan pria siapa pun.
Dalam konteks ini, pelacuran dapat didefinisikan sebagai tindakan seorang wanita yang
menyediakan dirinya kepada banyak pria (lebih dari satu) dengan imbalan pembayaran untuk
kepuasan seksual dan sebagai objek pemenuhan nafsu seksual bagi para pria pembayar,
dilakukan di luar ikatan pernikahan. Pelacur adalah istilah yang digunakan untuk merujuk
pada wanita yang menjual diri kepada siapa saja atau banyak pria yang membutuhkan
kepuasan seksual di luar pernikahan, dan si wanita menerima imbalan uang dari pria yang
melakukan hubungan seksual dengannya.
Beberapa pendapat berpendapat bahwa pria juga dapat menjadi pelacur, atau ada juga
pendapat yang menyatakan bahwa hubungan seks yang tidak wajar (homoseksual dan
lesbian) termasuk dalam kategori pelacuran. Dengan demikian, pelacuran dapat dilakukan
oleh baik wanita yang sering disebut sundal, balon, lonte, maupun oleh pria yang sering
disebut gigolo. Dalam hal ini, terdapat kesamaan predikat pelacur antara pria dan wanita yang
melakukan hubungan seks di luar pernikahan, baik dengan sesama perempuan (lesbian)
maupun sesama pria (hubungan homoseksual), jika dilakukan dengan pertukaran atau
pembayaran uang, hadiah, atau barang berharga lainnya.
Dalam penulisan ini, penulis membatasi diri pada masalah pelacuran yang dilakukan
oleh wanita sebagai pelaku utama dan hubungan seksual antara individu berbeda jenis
kelamin. Penulis mengutip pengertian pelacur yang dikemukakan oleh Kartini Kartono, yaitu
sebagai berikut:
a) Pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual dalam bentuk promiskuitas, yaitu
pelampiasan nafsu seksual tanpa kendali dengan banyak orang, yang juga melibatkan
eksploitasi dan komersialisasi seks.
b) Pelacuran adalah tindakan menjual diri (persundalan) dengan cara memperdagangkan
tubuh, martabat, dan identitas seseorang kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu
seksual dengan imbalan pembayaran.
c) Pelacuran adalah tindakan seorang wanita atau pria yang menyerahkan tubuhnya untuk
tindakan cabul secara seksual dengan imbalan upah.
d) Wanita pelacur menjual diri mereka secara langsung kepada pria atau melalui perantara
pihak ketiga. Dalam praktiknya, wanita pelacur yang menjual diri secara langsung
biasanya beroperasi di jalanan. Wanita pelacur yang menjual diri melalui perantara
pihak ketiga biasanya beroperasi di lokalisasi pelacuran, di mana germo berperan
sebagai perantara. Dalam hal ini, hotel menjadi tempat operasional, dan pemilik hotel
33
sendiri atau orang tertentu yang dikenal oleh pemilik hotel berperan sebagai perantara
tidak langsung.
Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah para pekerja yang bertugas melayani aktivitas
seksual dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau uang dari yang telah memakai jasa
mereka tersebut. Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa pengertian PSK adalah wanita
yang pekerjaannya menjual diri kepada banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu
seksual, dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang sebagai imbalan, serta dilakukan diluar
pernikahan.(Koentjoro 2004)
Pengertian pekerja seks komersil sangat erat hubungannya dengan pengertian
pelacuran, pekerja seks komersil menunjuk pada “orang” nya, sedangkan pelacuran
menunjukkan “perbuatan”. Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan diatas,dapat
ditegaskan bahwa batasan pekerja seks komersil yang dimaksut pada penelitian ini adalah;
seseorang perempuan yang menyerahkan dirinya “tubuhnya” untuk berhubungan seksual
dengan jenis kelamin yang bukan suaminya (tanpa ikatan perkawinan) dengan mengharapkan
imbalan, baik berupa uang ataupun bentuk materi lainnya.(A. Siregar 2005)
Pengguna Jasa Pekerja Seks Komersil, Dari semua pihak yang telah disebutkan, pihak
pengguna inilah yang menjadi titik bagaimana bisa transaksi pelacuran ini bisa terjadi.
Walaupun tentu pihak lain itu juga memberikan dorongan hingga terjadinya praktek
pelacuran ini. Pengguna jasa merupakan gabungan dari dua kata yaitu pengguna dan jasa.
Pengguna adalah orang yang menggunakan sesuatu, sedangkan jasa atau layanan adalah
aktivitas ekonomi yang melibatkan sejumlah interaksi dengan konsumen atau dengan barang-
barang milik, tetapi tidak menghasilkan transfer kepemilikan. Para ahli memiliki pandangan
tersendiri terhadap pengertian jasa.
mengedepankan kemanusiaan yang adil dan beradab tidak dapat terwujud sepenuhnya
selama pelacuran masih ada di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pelacuran
merupakan bentuk perbudakan tradisional yang melibatkan manusia sebagai komoditas
jasa seksual yang dapat diperjualbelikan.
Kriminalisasi terhadap pengguna bertujuan untuk mengendalikan naluri seksual
individu dan melarang pemenuhan kebutuhan seksual melalui perzinaan komersial.
Sementara itu, kriminalisasi terhadap pekerja seks komersial (PSK) bertujuan untuk
mencegah dan melarang seseorang menjual atau mengeksploitasi organ seksualnya
demi mendapatkan keuntungan dari tindakan yang melanggar hukum. Tujuan lainnya
adalah untuk menghormati dan memberikan perlakuan yang setara kepada setiap
manusia, sebagai bentuk pemenuhan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini
menegaskan bahwa manusia bukanlah komoditas yang dapat diperjualbelikan, dan
setiap manusia perlu dihargai dan diperlakukan dengan sama.
2. Pendekatan dari perspektif kehidupan beragama di Indonesia
Pendekatan kriminalisasi terhadap praktik pelacuran, jika dilihat dari perspektif
kehidupan beragama di Indonesia, melibatkan aspek-aspek yang berkaitan dengan
norma-norma moral dan nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat. Praktik
pelacuran dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama dan
dianggap merusak tatanan sosial yang diharapkan oleh masyarakat yang beragama.
Oleh karena itu, melalui upaya kriminalisasi, pemerintah berupaya menjaga moralitas
dan menjaga keutuhan sosial dengan melarang dan menghukum praktik pelacuran
sebagai tindakan yang melanggar nilai-nilai agama dan norma sosial yang berlaku di
masyarakat Indonesia. Dalam kerangka ini, pendekatan hukum mengambil peran
penting dalam mempertahankan dan mempromosikan keberlangsungan kehidupan
beragama yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia.
3. Pendekatan dari perspektif kesehatan
Pendekatan mengkriminalisasi pelacuran dari perspektif kesehatan mengacu
pada pendekatan yang berfokus pada perlindungan dan kesejahteraan individu yang
terlibat dalam industri seks. Pendekatan ini mengakui bahwa pelacuran merupakan
fenomena sosial yang kompleks dan bahwa tindakan kriminalisasi yang berdampak
negatif pada kesehatan dan keamanan pekerja seks.
37
Masalah utama yang dihadapi seorang wanita yang terlibat dalam pelacuran
berkaitan dengan kesehatannya adalah kelelahan, penyakit virus, penyakit menular
seksual, infeksi vagina, sulit tidur, depresi, sakit kepala, sakit perut, dan gangguan
makan. Kanker serviks adalah penyakit umum yang akan diderita pekerja seks
komersil. Dua faktor utama resiko untuk kanker serviks dikarenakan aktivitas seksual
pertama di usia muda dan gonta-ganti pasangan seksual dengan jumlah banyak, selain
itu yang akan dialami adalah hepatitis kronis.(Farley 2004)
Pengguna jasa yang pernah melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks
komersil akan menderita penyakit kelamin, apabila menikah maka akan dapat
menularkan penyakit kepada pasangan maupun keturunannya, khusus keturunan akan
mengalami kecacatan ketika dilahirkan dan menderita penyakit HIV/AIDS Orang tua
memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk melindungi anak dari penyakit, orang
tua baik salah satu atau keduanya wajib menjaga tali perkawinan dan tidak
berhubungan dengan PSK agar melindungi keturunan (anak), dengan orang tua
melakukan hubungan seksual dengan PSK kemudian melakukan hubungan seksual
dengan pasangannya maka berpotensi mengidap penyakit kelamin.(Pasal 46 Undang-
Undang Perlindungan Anak n.d.)
4. Pendekatan dari perspektif Hak Asasi Manusia
Legalisasi pelacuran merupakan lembaga yang menghina manusia, khususnya
wanita dalam masyarakat yang mempertahankan citra mereka sebagai obyek atau
komoditas seksual. Legalisasi pelacuran merupakan warisan dari masyarakat patriarkhi
dimana menempatkan wanita sebagai properti laki-laki.(Begum 2013) Pelacuran dapat
dikategorikan sebagai sarana seseorang untuk membeli pelecehan seksual terhadap
perempuan sehingga pelacuran merupakan pemerkosaan yang dibayar (paid rape).
Pelacuran dapat membuat seseorang yang melakukan pembelian seks dapat melakukan
tindakan pemaksaan terhadap pekerja seks komersial. Hal ini terjadi karena pembeli
seks akan mempunyai dan menikmati kekuasaan atas pekerja seks komersial karena
dia telah membayar dan dapat melakukan apa yang diinginkan dengan pekerja seks
komersial yang dibeli.(Schulze 2014)
sudah seharusnya mentaati dan melaksanakan pasal 6 yang mewajibkan setiap negara
untuk melakukan segala langkah dan tindakan yang diperlukan dalam pembuatan
perundang-undangan untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan
ekploitasi pelacuran perempuan. Menurut Jean Paul Satre dan Simon de Beauvoir
dalam pemikiran feminis eksistensialis, mengadposi bahasa ontologis dan bahasa etis
eksistensialisme bahwa laki-laki merupakan “Sang Diri” dan perempuan merupakan
“Sang Liyan”. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman
bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi
perempuan terhadap dirinya.
BAB III
KONSEP KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN PELACURAN DALAM
KONTEKS PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
atau tidak sengaja oleh seorang pelaku, dan penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
diperlukan untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum.
Definisi tindak pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum menyatakan
bahwa tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lainnya dan diancam dengan hukuman. Tindak pidana
merupakan dasar utama dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku yang bertanggung jawab
atas perbuatannya. Namun, untuk dapat menjatuhkan pidana, harus ada regulasi yang
mengatur perbuatan tersebut berdasarkan asas legalitas.
3.2 Perbandingan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Perbuatan Pelacuran Di
Negara Swedia dan Republik Rakyat China
Pada hal yang dipergunakan dalam menentukan usaha dalam mengkriminalisasi
perbuatan pelacuran sebagai suatu instrumen penanggulangan perbuatan pelacuran dalam
pembaharuan hukum pidana Indonesia, dimana regulasi yang tepat dalam sistem hukum
nasional ini maka diperlukan peneliti untuk melakukan perbandingan hukum dan/atau
regulasi sistem hukum pidana indonesia dengan negara-negara lain untuk mengetahui
perkembangan yang ada di beberapa negara itu dalam menyikapi larangan-larangan
perbuatan pelacuran dan penanggulangannya seperti dalam bentuk regulasi-regulasi dan/atau
peraturan perundang-undangan. Adapun studi perbandingan yang dilakukan dengan Negara
Swedia, dan Negara Republik Rakyat China
3.2.1 Negara Swedia
Swedia merupakan salah satu negara di Eropa Utara yang berbatasan dengan
Norwegia dan Finlandia, serta terhubung dengan Denmark melalui sebuah jembatan.
Sistem hukum Swedia didasarkan pada tradisi hukum kontinental dengan
ketergantungan pada hukum perundang-undangan. Pada abad ke-18, Swedia memiliki
komunikasi erat dengan ulama dari benua Eropa, yang menyebabkan pengaruh kuat
dari tradisi hukum Jerman-Romawi pada sistem hukum Swedia. Kode Swedia yang
komprehensif diberlakukan pada tahun 1734, yang dikenal sebagai Kode 1734
Skandinavia-Jerman civil law.
Dasar historis hukum Swedia, seperti negara-negara Nordik lainnya, berasal dari
hukum Jerman kuno. Swedia menjadi salah satu negara yang melakukan kodifikasi
hukum pada abad ke-18, sebelum kebanyakan negara Eropa lainnya. Namun, Swedia
42
dan negara-negara Nordik lainnya tidak mengadopsi jenis kode civil seperti Code Civil
atau BGB. Swedia memberikan perhatian khusus untuk memerangi pelacuran dan
perdagangan manusia dengan tujuan seksual sebagai bagian dari upaya mencapai
kesetaraan gender di tingkat nasional dan internasional.
Kesetaraan gender di Swedia dianggap tidak akan tercapai selama para lelaki
masih dapat membeli, menjual, dan mengeksploitasi perempuan dan anak-anak.
Pelacuran dianggap sebagai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, yang
berbahaya bukan hanya bagi individu yang dilacurkan, tetapi juga bagi masyarakat
secara keseluruhan. Pada tahun 1999, Swedia mengeluarkan Undang-Undang yang
mengkriminalisasi pembeli jasa seks, yang dikenal sebagai Sex Purchases Act.
Undang-Undang ini mengatur bahwa pembeli layanan seksual dapat dikenakan denda
atau hukuman penjara maksimum enam bulan.
Pemerintah Swedia menganggap perempuan penjual jasa seks sebagai korban
yang membutuhkan bantuan akibat eksploitasi dan kekerasan yang dilakukan oleh
pembeli jasa. Oleh karena itu, fokus kriminalisasi ditujukan kepada para pembeli atau
pengguna jasa, sementara perempuan yang dilacurkan didorong untuk keluar dari
industri tersebut tanpa rasa takut atau risiko hukuman. Selain kebijakan hukum, Swedia
juga melaksanakan kebijakan sosial dengan memberikan bantuan kepada pekerja seks
komersial yang ingin berhenti dari pekerjaan mereka.
3.2.2 Republik Rakyat China (RRC)
Negara Republik Rakyat China (RRC) adalah negara yang dalam sejarahnya
pernah berbentuk negara komunis pada abad ke-20. Meskipun saat ini sejumlah
ilmuwan politik tidak lagi mendefinisikannya sebagai negara komunis, secara resmi
RRC masih diakui sebagai negara komunis. Struktur pemerintahannya tidak dikenal
secara pasti, dan ini disebabkan oleh sejarahnya yang mencakup periode kekaisaran
selama 2000 tahun dengan pemerintahan pusat yang kuat dan pengaruh Konfusianisme.
Setelah berakhirnya era monarki pada tahun 1911, Tiongkok diperintah secara
otokratis oleh Partai Nasionalis Kuomintang dan beberapa panglima perang. Kemudian,
setelah tahun 1949, Partai Komunis Tiongkok mengambil alih pemerintahan.
Pemerintahan RRC sering digambarkan sebagai otokratis, komunis, dan sosialis.
43
Beberapa anggota komunis yang lebih kiri cenderung menyebutnya sebagai negara
kapitalis. Secara nyata, Tiongkok semakin menuju sistem ekonomi yang lebih bebas.
Dalam dokumen resmi terbaru, pemerintah menyatakan bahwa administrasi
negara adalah demokratis, meskipun keadaan sebenarnya di RRC tidak sepenuhnya
demokratis. Awalnya, Partai Komunis Tiongkok melihat pelacuran sebagai ekspresi
dari posisi yang dieksploitasi dan direndahkan perempuan dalam masyarakat feodal-
kapitalis. Namun, pelacuran di RRC telah mengalami perubahan signifikan dari
pandangan tersebut.
Pada awal periode reformasi pada tahun 1978, pelacuran dianggap sebagai "non-
isu" dan muncul kembali dengan pergeseran ke ekonomi berbasis pasar. Undang-
undang pidana tahun 1979 mengatur bahwa memaksa perempuan menjadi pelacur akan
dikenai hukuman penjara, sementara orang yang memikat perempuan untuk pelacuran
akan dikenai hukuman penjara atau kontrol administratif. Namun, undang-undang
tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan partisipasi sukarela pihak pertama dalam
transaksi pelacuran.
Penegakan hukum terhadap pelacuran di RRC lebih banyak dilakukan melalui
sistem sanksi administratif daripada hukum pidana. Selama masa Maois (1949-1976),
sistem hukum formal menjadi lemah dan digantikan oleh sistem sanksi administratif
dan disiplin Partai. Sejak itu, pengawasan terhadap pelacuran dilakukan oleh kepolisian
setempat dan keputusan provinsi. Pada tahun 1987, dikeluarkan peraturan tentang
hukuman administratif untuk keamanan publik yang memberikan dasar hukum bagi
tindakan keras polisi terhadap pelacuran.
Fenomena lain yang menarik belakangan ini adalah bentuk prostitusi yang tidak
mengharapkan imbalan materi. Dalam kondisi ini para pekerja seks komersil bersedia
melakukan pelayanan seksual dikarenakan faktor suka sama suka. Pada kehidupan
kosmopolitan yang mernuja kebebasan, fenomena ini semakin banyak dijumpai. Materi
dalam hal ini uang bukan lagi merupakan motivator utama. Kebebasan dan bersenang-senang
adalah alasan yang selalu menjadi jawaban dalam situasi semacam ini. Selama ini dalam
KUHP dan Undang-undang diluar KUHP hanya dapat menjerat penyedia tempat dan atau
mucikarinya saja sedangkan untuk pengguna dan untuk pekerjanya tidak dapat itu ada perda
yang mengatur tentang larangan praktek pelacuran, tapi tidak semua daerah memiliki perda
44
ini. Dan harus dipertanyakan juga kefektifan dari perda ini, karena selama ini memang belum
memberikan efek apa-apa terhadap praktek pelacuran.
Pemidanaan hanya terhadap mucikari saja tidak mencerminkan rasa keadilan, karena
dalam perbuatan pelacuran terdapat subyek-subyek yang berkaitan yakni mucikari, pengguna
jasa pelacuran dan pekerja seks komersil. Perbuatan pelacuran bagian dari perbuatan zina
dikategorikan sebagai (crime without victim) bahwa pekerja seks komersil dan pengguna
termasuk korban tetapi juga sebagai pelaku dalam perbuatannya sehingga hukum pidana
positif Indonesia saat ini masih belum memberikan kepastian hukum yang adil serta pelakuan
yang sama dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28D.
Prinsip nullum delictum noela poena lege praevia yakni tiada pidana dapat dijatuhkan
tanpa didahului adanya peraturan yang memuat sanksi pidana terlebih dahulu menjamin
perlindungan hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan penguasa. Akan tetapi, seorang
PSK yang melacurkan diri dengan atau tanpa mucikari bukan termasuk kejahatan karena
tidak dilarang dalam hukum pidana Indonesia meskipun melanggar dari sudut pandang
agama, adat istiadat, dan kesusilaan dalam masyarakat.
Hal yang sama berlaku dalam pengguna jasa, meskipun sebagai perbuatan zina yang
termuat dalam Pasal 284 KUHP, pasal ini merupakan delik absolut yang artinya tidak dapat
dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami dan istri yang dirugikan (yang
dipermalukan). Pasal ini juga hanya dapat berlaku pada salah satu pengguna jasa pelacuran
atau pekerja seks komersil telah terikat perkawinan, sedangkan apabila pengguna dan pekerja
seks komersil belum terikat perkawinan maka tidak dapat diterapkan pasal tersebut.
Hukum pidana Indonesia yang mengatur delik kesusilaan dalam KUHP yang berlaku
saat ini masih mempunyai kelemahan secara moral mengingat bahwa pembentukan delik
kesusilaan tidak menggunakan nilai dasar atau "the living law" masyarakat Indonesia. Untuk
membentuk konsep kebijakan kriminalisasi pada perbuatan pelacuran di Indonesia dalam
konteks pembaharuan sistem hukum pidana haruslah memperhatikan Pancasila atau nilai-
nilai falsafah bangsa Indonesia. Pancasila yang juga terkandung jiwa atau semangat
masyarakat Indonesia pada sila ke 2 (kedua) telah memberikan amanat bahwa setiap warga
negara menjunjung nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk
tidak perbudak yang merupakan hak asasi manusia tanpa dikurang sedikitpun.
45
Berdasarkan hal-hal diatas maka diperlukan aturan hukum yang dapat menjerat semua
pihak yang terlibat dalam pelacuran, salah satunya adalah pekerja. Dibutuhkan pembaharuan
sistem hukum pidana untuk mengatasi permasalahan pelacuran. Pembaharuan sistem hukum
pidana dapat meliputi ruang lingkup yang sangat luas, yaitu mencakup;
a. Pembaharuan “substansi hukum pidana”, yang meliputi pembaharuan hukum
pidana materiel (KUHP dan UU diluar KUHP), hukum pidana formal (KUHAP)
dan hukum pelaksanaan pidana;
b. Pembaharuan “struktur hukum pidana”, yang meliputi antara lain pembaharuan
atau penaataan institusi/lembaga, sistem manajemen/tatalaksana dan
mekanismenya serta sarana/prasaran pendukung dari sistem penegakkan hukum
pidana (sistem peradilan pidana);
c. Pembaharuan “budaya hukum pidana”, yang meliputi antara lain masalah
kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan hukum dan ilmu hukum pidana.
Dalam hal ini penulis lebih fokus terhadap pembaharuan substasi, yaitu pembaharuan
hukum pidana materiel mengenai pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam
pelacuran. Kriminalisasi terhadap pekerja seks komersil dan pengguna jasa pekerja seks
komersil bertujuan untuk mencegah dan melarang seseorang dan/atau kelompok untuk
menjual atau mengeksploitasi organ seksualnya demi mendapatkan keuntungan dari
perbuatan yang melawan hukum.
Karl O. Christiansen kesalahan moral sebagai salah satu syarat untuk pemidanaan.
Lebih lanjut Herbert L. Packer menegaskan bahwa hanya perbuatan yang secara umum
didasari sebagai immoral yang harus dinyatakan sebagai kejahatan. Teori Ordeningstrafrecht
yang dikemukakan Roling dan Jeseeren d'olivesier-prakken, bahwa hukum pidana adalah alat
atau instrument kebijakan pemerintah. Kriminalisasi terhadap pelacuran harus ditetapkan
sebagai kejahatan atau perbuatan yang dilarang dengan hukum pidana melalui ketentuan
peraturan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, mengikat dan diancam pidana.
Paradigma berfikir lama mengenai bentuk delik pelacuran dapat dikaji ulang, melalui
proses dekontruksi hukum, sebagaimana Satjipto Rahardjo, Hukum itu untuk manusia, bukan
sebaliknya. Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
46
Kebijakan kriminalisasi pada perumusan norma terhadap pelacuran pada KUHP Baru
Tahun 2023 nantinya harus konsep pidana bersyarat dalam artian pidana ini berlaku apabila
kondisi keadaan terpaksa dimana pekerja seks komersial di bawah tekanan hanya dengan
penerapan sanksi sosial sebagaimana perbandingan regulasi hukum terkait pelacuran di
swedia dan RRC .Sehingga adapun rumusan norma yang ditawarkan oleh penulis adalah:
Perumusan Norma Terhadap Pekerja Seks Komersil
Pasal ……………..
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan hubungan seksual tanpa ikatan
perkawinan atau perbuatan cabul dengan atau atas persetujuannya untuk
mendapatkan atau menerima pembayaran atau remunerasi diancam dengan pidana
denda sebesar .......... dan pidana penjara selama ...........
2) Setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dan
menawarkan diri, mengajak orang lain baik secara langsung dan/atau tidak langsung
dengan menggunakan media informasi dengan tujuan melacurkan diri, dipidana
dengan pidana denda sebesar ……… dan pidana penjara selama …………….
3) Setiap orang yang melakukan hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan atau
perbuatan cabul dengan ajakan, suruhan dan/atau tipu muslihat oranglain baik secara
langsung dan/atau menggunakan media elektronik dengan tujuan melacurkan diri,
dipidana dengan denda sebesar ……. dan pidana kerja sosial selama ……………….
Pemidanaan terhadap pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil
dalam pelacuran bukan hanya sebagai dasar pembenaran dari pidana yakni pembalasan atas
perbuatan yang merugikan dan melanggar norma saja, tetapi harus memperhatikan apa yang
ingin dicapai dengan pemidanaan tersebut. Menurut Pellegrino Rossi tujuan dari pidana
adalah memperbaiki tata tertib masyarakat. Pemidanaan terhadap pengguna jasa pekerja seks
komersil dan pekerja seks komersil harus memberikan manfaat tata tertib terhadap
masyarakat, pidana ini menjadikan suatu teguran terhadap masyarakat agar memiliki rasa
47
takut untuk melakukan pelacuran. Pidana diberikan bukan karena orang membuat kejahatan
melainkan supaya orang jangan membuat kejahatan.
Hal ini sesuai dengan teori tujuan pemidanaan relatif Karl O. Christiansen bahwa
pidana bertujuan untuk pencegahan, akan tetapi pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya
sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat
sehingga diterapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan. Pidana akan
menimbulkan sebuah kesadaran dan kepuasan moral dalam batin pengguna jasa pekerja seks
komersil dan pekerja seks komersil bahwa pembelian dan penjualan seks berbayar adalah
perbuatan bersifat melawan hukum yang dilarang oleh norma tertulis dan bertentangan
dengan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan dalam masyarakat, sehingga jika dia tetap
melakukan maka akan ada pidana yang diterima.
Penanggulangan perbuatan pelacuran pendekatan kebijakan dalam arti ada keterpaduan
(integrasi) antara politik kriminal dan politik sosial serta ada keterpaduan antara upaya
penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal dan di dalam setiap kebijakan
(policy). Sedangkan pendekatan nilai dalam arti bahwa pembaharuan dan penanggulangan
kejahatan harus berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Upaya penanggulangan pelacuran
harus dilaksanakan secara intergrasi dan terstruktur, sehingga menciptakan keseimbangan
dalam upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya kesejahteraan masyarakat
(social welfare).
Pemidanaan terhadap pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil
terjadi apabila apabila kebijakan non penal (pencegahan, himbauan, dan kebijakan sosial)
tidak dapat menyelesaikan atau menanggulangi pelacuran, hal ini merupakan sifat hukum
pidana sebagai ultimum remidium. Kriminalisasi pelacuran sebagai bagian dari kebijakan
penal tidak akan efektif apabila tidak terjadi intergrasi dengan upaya rehabilitasi sosial
sebagai bagian dari kebijakan non penal. Dengan kata lain kriminalisasi pelacuran hanya
sebatas sebagai upaya balas dendam atau pembalasan saja. Sama halnya ketika kebijakan non
penal tidak akan berlaku efektif apabila perbuatan pelacuran tidak ditetapkan sebagai
perbuatan pidana.
48
Namun bukan berarti semua yang menjadi pekerja seks komersil harus di pidana
penjara, melainkan diberikan kerja sosial atau rehabilitasi dan atau pemulihan keadaan agar
mengembalikan kondisi psikologis dan mentalnya seperti semula sebelum menjadi pekerja
seks komersil, karena mengenginkan pekerjaan ini bisa saja kadang karena bujuk rayu
seseorang, berhutang dengan mucikari atau germo, bahkan dijebak atau ditipu sehingga
mereka tidak ada pilihan lain. Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana baru di Indonesia
dan bertujuan untuk membina dan memberi efek jera bagi pelaku dengan pola- pola dan
konsep yang manusiawi dan bermanfaat bagi pelaku serta masyarakat dalam rangka
mencapai tujuan pemidanaan di Indonesia.
Supiadi, rehabilitasi sosial adalah segenap upaya yang ditunjukan untuk
mengintegrasikan kembali seseorang kedalam kehidupan masyarakat dengan cara
membantunya menyesuaikan diri dengan tuntutan keluarga, komunitas dan pekerjaan sejalan
dengan pengurangan setiap beban sosial dan ekonomi yang dapat merintangi proses
rehabilitasi.(Ramadhani, Sulastri, and Nurhaqim 2017) Selain itu Pekerja seks komersil juga
diberikan pembinaan berupa kerja sosial bahwa apa yang mereka lakukan merupakan
kesalahan baik dari segi hukum, moral dan agama yang tidak boleh diulangi lagi. Dalam
pembinaan itu juga pekerja seks komersil diberikan masukan-masukan apa yang harus
mereka lakukan setelah ini, misalnya pelatihan soft skill dibidang yang mereka sukai.
Barulah setelah itu diberikan lapangan pekerjaan untuk mereka, agar mereka tidak
kembali menjadi pekerja seks komersil. Karna apabila kita hanya memberikan pembinaan
dalam bentuk rehabilitasi dan kerja sosial saja, maka mereka akan kembali lagi menjadi
pekerja seks komersil. Hal ini dikarenakan mereka bingung bagaimana mereka memenuhi
kebutuhan ekonomi jika mereka tidak menjajakan diri, maka dari itu dibutuhkan solusi yang
tepat dalam menanggulangi permasalahan ini. pekerja seks komersil tidak dapat dibenarkan
perbuatannya, namun tidak juga dapat dihakimi secara sepihak. Mereka harus dikembalikan
lagi kedalam keadaan yang membuat mereka baik yaitu dengan cara-cara diatas.
Rehabilitasi, kerja sosial atau pelatihan kerja dan pemberian modal dilakukan secara
berkepanjangan sehingga dapat dilihat perubahannya. Setidaknya dengan cara ini dapat
mengurangi banyaknya pelacuran diIndonesia. Mereka juga merupakan korban dari keadaan
ekonomi, atau bahkan korban dari para mucikari dan pelanggan yang memanfaatkan tubuh
mereka. Ide dari penulis terdapat pada perumusan norma terhadap pekerja seks komersil pada
49
point ketiga yaitu pekerja seks diberikan pembinaan dalam bentuk kerja sosial sebagai upaya
untuk mencegah kembali lagi menjadi pekerja seks komersial. Sedangkan untuk pengguna
juga harus dijerat dengan pidana sehingga merasa jera dan tidak mengulanginya lagi.
Kebijakan kriminalisasi terhadap pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks
komersil dalam konteks perumusan norma hukum sebagai pembaharuan hukum pidana
merupakan perwujudan atas pemenuhan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang
menyatakan bahwa manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan
sehingga perlu diberikan perhargaan dan perlakuan yang sama terhadap setiap manusia.
50
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian serta analisa yang merupakan jawaban dari rumusan
masalah dalam penelitian tentang Konsep Kriminalisasi Perbuatan Pelacuran Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berlandaskan Keadilan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Urgensi kriminialisasi pada perbuatan pelacuran dalam hukum pidana Indonesia saat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan sanksi pidana dalam menanggulangi perbuatan
pelacuran, beban kinerja aparatur hukum, proses hukum yang panjang, serta dampak
negatif sanksi pidana yang tidak dapat dihindarkan, membawa kepada pandangan bahwa
perlunya segera adanya kebijakan kriminalisasi pada perbuatan pelacuran sebagai alternatif
solusi. Adapun kriminalisasi pada perbuatan pelacuran dalam hukum pidana ditujukan pada
kriminalisasi terhadap pengguna bertujuan agar melarang penyaluran kebutuhan
seksualnya dalam bentuk perzinaan secara komersil. Sedangkan kriminalisasi terhadap
PSK bertujuan untuk mencegah dan melarang seseorang menjual atau mengeksploitasi
organ seksualnya demi mendapatkan keuntunngan dari perbuatan yang melawan hukum.
Tujuan lainnya adalah kriminalisasi terhadap Pengguna dan PSK bahwa manusia bukanlah
sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan sehingga perlu diberikan perhargaan dan
perlakuan yang sama terhadap setiap manusia.
2. Konsep kriminalisasi terhadap perbuatan pelacuran dalam rangka pembaharuan hukum
pidana Indonesia nantinya harus dengan konsep pidana bersyarat dalam artian pidana ini
berlaku apabila kondisi keadaan terpaksa dimana PSK di bawah tekanan melakukan
perbuatan pelacuran hanya dikenakan hukuman kerja sosial sebagaimana perbandingan
regulasi hukum terkait pelacuran di negara Swedia dan RRC. Maksud dari keadaan terpaksa
bagi Pekerja Seks Komersil (PSK) adalah perbuatan cabul dengan ajakan, suruhan dan/atau
tipu muslihat orang lain baik secara langsung dan/atau menggunakan media elektronik.
Sedangkan bagi pengguna jasa seks komersial dan mucikari/germo yang menjadikan
perbuatan pelacuran sebagai pekerjaan pokoknya dapat dipidana dengan pidana denda dan
51
pidana penjara. Terhadap PSK yang menjadikan perbuatan pelacuran sebagai pekerjaan
pokoknya dapat dipidana apabila sengaja melakukan hubungan seksual tanpa ikatan
perkawinan atau perbuatan cabul dengan atau atas persetujuannya untuk mendapatkan atau
menerima pembayaran atau remunerasi dan/atau bergelandangan dan berkeliaran di jalan
atau di tempat umum dan menawarkan diri, mengajak orang lain baik secara langsung
dan/atau tidak langsung dengan menggunakan media informasi dengan tujuan melacurkan
diri. Sedangkan bagi pengguna jasa seks komersial dapat dipidana apabila dengan sengaja
melakukan membayar atau membeli, memanggil, mengajak, memesan atau menyewa
seseorang dengan tujuan dan/atau maksud untuk melakukan perbuatan cabul atau
persetubuhan tanpa ikatan perkawinan secara berbayar dan/atau bersifat komersil.
4.2 Saran
1. Kepada Pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
RI) sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang (legislatif), dengan memperhatikan dan
mempertimbangan pembaharuan hukum pidana serta perbandingan regulasi peraturan dari
negara-negara lain yang mana menjadikan mensyaratkan PSK yang bekerja dalam keadaan
terpaksa seperti diatur dalam regulasi negara Swedia dan RRC tidak diberlakukan hukuman
pidana namun kerja sosial. Sedangkan bagi pekerja seks komersil dan pengguna jasa seks
komersial yang menjadikan pelacuran sebagai pekerjaan atau kebutuhan transaksional
dapat dijadikan sebagai pelaku tindak pidana pelacuran tanpa mengesampingkan asas
keadilan dan asas kemanfaatan. Kondisi untuk menyusun ketentuan pidana terkait pekerja
seks komersil dan pengguna jasa seks komersial dapat diundangkan pada peraturan
perundang-undangan diluar KUHPidana sehingga perbuatan pelacuran dapat dijadikan
tindak pidana khusus seperti tindak pidana narkotika.
2. Kepada masyarakat untuk dapat memahami mengenai kejahatan pelacuran ini sebagai
bentuk pidana apabila dilakukan sebagai mata pencaharian, begitu pula bagi pengguna jasa
seks komersial juga dapat dipidana. Hal ini penting untuk menekan tindak kejahatan
pelacuran yang bisa merusak kesehatan dan moral masyarakat.