Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH ILMU HUKUM

SUDUT PANDANG IDEOLOGI PANCASILA TENTANG TINDAK


PIDANA PROSTITUSI

DISUSUN OLEH :

Anggita Putri Haryani (2233000013)

Nur mailinda (2233000012)

Agnesa Maharani (2233000020)

Yunita Sari (2233000001)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

2023
KATA PENGANTAR

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...............................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................................... 6

BAB II HASIL PENELITIAN


A. Sudut pandang ideologi pancasila tentang tindak pidana prostitusi...........7
B. Upaya pemerintah dalam mengantisipasi tindak pidana prostitusi.............14

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan..................................................................................................24
B. Saran.............................................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan staats
fundamental norm atau dasar falsafah negara yang digunakan untuk
pembentukan hukum, penerapan hukum, dan pelaksanaannya yang tidak
dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. Dalam sila pertama Pancasila,
ketuhanan menggambarkan norma agama dalam kehidupan bernegara.
Agama sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa menjadikan
kehidupan bermasyarakat lebih beretika dan bermoral, sesuai dengan nilai-
nilai yang dilahirkan oleh agama dan dianut secara universal dalam
peraturan perundang-undangan. Demi mewujudkan dan memajukan
kehidupan yang bermoral, makmur dan sejahtera yang menjadi hak setiap
warga negara, sehingga dalam pelaksanaanya, setiap orang tanpa
memandang lapisan sosial masyarakat harus patuh dan taat pada peraturan
yang telah ditetapkan sebagai suatu norma hukum.
Negara dalam menjalankan fungsinya memiliki peran yang penting
dalam kesejahteraan masyarakatnya, hal ini dapat dilihat pada pasal 27
ayat (2) UUD yang mengamanatkan bahwa
“setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusian.”
Hak atas pekerjaan bagi setiap orang terkandung dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (HAM) diakui sebagai hak yang utama
dalam hukum HAM Internasional dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya sebagai hak atas pekerjaan menekankan pengembangan ekonomi,
sosial dan budaya.
Pelacuran adalah sebuah aktivitas yang terdapat ketentuan yang dapat
diidentifikasi yakni pertukaran antara uang dengan seks. Pelacuran
bertentangan dengan definisi sosiologi dari kejahatan (Sociological
Definition of Crimse), karena dikategorikan sebagai perbuatan jahat yang
2

bertentangan dan melanggar norma-norma dalam kehidupan


bermasyarakat karena tidak hanya dilarang oleh norma hukum dan norma
agama saja, tetapi juga bertentangan dengan (norma) kesusilaan dalam
setiap hati nurani manusia.
Sutherland berpendapat bahwa (Perbuatan kriminal adalah
perbuatan pelanggaran terhadap hukum pidana tidak mempermasalahkan
derajat kesusilaan, kecelaan atau ketidakserononohan dari segala
perbuatan bukan kejahatan yang dilarang oleh hukum pidana).
Menurut Muhammad secara kriminologi, kejahatan merupakan
suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat dan suatu pola
tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat. Kejahatan
disebabkan oleh beberapa faktor seperti ekonomi, pergaulan, kesempatan
yang ada dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut yang terjadi di Indonesia
telah menunjukkan efek yang negatif. Banyaknya kalangan masyarakat
yang melakukan perbuatan yang salah semata-mata bertujuan ingin
memenuhi kebutuhan hidup.
Mengenai definisi kejahatan, pendapat R. Soesilo memisahkan
pengertian kejahatan secara hukum dan pengertian kejahatan secara
sosiologis. Dari sudut pandang hukum, konsep kejahatan merupakan
kegiatan ilegal. Dari sudut pandang sosiologis, kejahatan berkaitan dengan
tindakan atau perilaku yang merugikan subjek dan juga sangat merugikan
masyarakat dalam hal kehilangan keseimbangan, ketenteraman dan
ketertiban.
Menurut Kartini Kartono menjabarkankan definisi dari pelacuran adalah
sebagai berikut :
a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola
organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak
terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa
kendali dengan banyak orang (prosmiskuitas), disertai eksploitasi
dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
3

b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan)


dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan
kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu
seks dengan imbalan pembayaran.
c. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang
menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan
mendapatkan upah.

Masalah prostitusi, baik yang tersembunyi maupun yang terbuka


terus terang, ini masalah klasik yang dihadapi negara-negara di dunia,
termasuk Indonesia. Prostitusi juga merupakan profesi di Indonesia yang
tumbuh dan menjadi trendi di masyarakat. Tidak perlu modal banyak,
cukup cantik wajah, cantik tubuh, tersedia 24/7 dan siap melayani siapa
saja, tanpa memandang usia, maka anda dapat melakukan pekerjaan ini
untuk memasukkan uang ke pundi-pundi, khususnya wanita muda yang
rata-rata menjadi incaran para pria.

Pemerintah sudah mencoba mengatasi persoalan ini. Namun


faktanya, prostitusi bukannya berkurang tetapi malah menjalar baik di
tempat hiburan, karaoke, panti pijat, salon terselubung dan lokasi-lokasi
lainnya. Yang tidak kalah penting, muncul fenomena prostitusi online
yang sempat menghebohkan masyarakat akhir-akhir ini, baik yang
dilakukan masyarakat biasa hingga kalangan artis papan atas. Prostitusi,
apapun, dimanapun dan siapapun pelakunya, ia dianggap sebagai
kejahatan terhadap moral dan kesusilaan yang bersifat ilegal serta
melawan hukum, dan hak asasi manusia, untuk itu harus dihentikan.

Pelacuran tidak hanya identik dengan nilai moral dari pelakunya,


tetapi dari segi medis juga menimbulkan penyakit kulit dan kelamin salah
satunya adalah HIV/AIDS yang dapat menular kepada bayi dalam
kandungan. Data Kementerian Kesehatan mencatat kasus HIV/AIDS di
dunia dari tahun ke tahun meningkat. Data WHO tahun 2017 menyatakan
bahwa hingga akhir tahun 2017 terdapat 36,9 juta orang hidup dengan
4

HIV, dengan 1,8 juta infeksi baru di tahun yang sama. Berdasarkan
Laporan Perkembangan HIV/AIDS dan Infeksi Seksual Menular.

Hukum pidana positif Indonesia belum mengatur tentang perbuatan


pelacuran baik dalam KUHP maupun Undang-Undang diluar KUHP.
Pengaturan dalam KUHP tentang delik-delik kesusilaan seperti pada pasal
281 sampai pasal 303, khususnya pasal 296 dan pasal 506 tidak menjerat
perbuatan PSK maupun pengguna, melainkan hanya menjerat kepada
pemilik rumah bordil, mucikari dan makelar atau calo dari perbuatan
pelacuran. Sedangkan Undang-Undang di luar KUHP, yakni
UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (yang selanjutnya disingkat UU PTPPO) hanya
dapat mempidana seseorang yang mendapatkan keuntungan dari
perdagangan orang (mucikari). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak hanya mempidana pengguna dari eksploitasi seksual
anak.

Pengaturan tentang pelacuran diatur dalam peraturan daerah (yang


selanjutnya disebut sebagai Perda) setempat, akan tetapi tidak setiap
daerah memiliki peraturan daerah tentang pelacuran. Penegakan hukum
terhadap pelacuran melalui peraturan daerah hanya bersifat teritorial
karena pengaturannya berada pada peraturan daerah masing-masing
sehingga menimbulkan diskriminasi, ketidakadilan dan ketidakpastian
hukum karena setiap daerah memiliki budaya hukum yang berbeda-beda
baik dalam pengertian pelacuran, pertanggungjawaban pidana pelacuran
dan pemidanaan pelaku pelacuran.

Pemidanaan hanya terhadap mucikari saja tidak mencerminkan


rasa keadilan, karena dalam perbuatan pelacuran terdapat subyek-subyek
yang berkaitan yakni mucikari, pengguna dan PSK. Perbuatan pelacuran
bagian dari perbuatan zina dikategorikan sebagai (crime without victim)
bahwa PSK dan pengguna termasuk korban tetapi juga sebagai pelaku
5

dalam perbuatannya sehingga hukum Pidana positif Indonesia saat ini


masih belum memberikan kepastian hukum yang adil serta pelakuan yang
sama dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal
28D.

Melihat fenomena ini, ternyata prostitusi begitu mudah berlindung


di tempat yang privasi. Seperti apartemen, hotel, kamar kos dan kontrakan.
Fakta ini membuat masyarakat miris, karena dari praktek prostitusi yang
ditemukan ternyata pelakunya rata-rata adalah para wanita muda atau
remaja putri berusia dibawah umur yang dalam pandangan agama dan
hukum negara tidak semestinya melakukan pekerjaan tersebut.

Pelacuran atau prostitusi merupakan masalah sosial yang bersifat


sementara dari segi sebab akibat yang tidak dapat ditentukan asal-usulnya,
namun hingga saat ini prostitusi masih sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari dan ada hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Berangkat dari permasalahan yang menjadi latar belakang pada


penulisan ini, maka membuat penulis tertarik untuk membahas terkait
dengan sanksi pidana bagi prostitusi dalam perkembangan hukum
Indonesia. Sehingga muncul gagasan penulis dengan judul “Sudut
pandang ideologi pancasila tentang tindak pidana prostitusi”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis dapat
menyusun rumusan masalah yang nantinya akan dikaji secara lebih
mendalam dalam bab pembahasan. Adapun rumusan masalah dalam
penulisan hukum ini adalah:
1. Bagaimana sudut pandang ideologi pancasila tentang tindak pidana
prostitusi ?
2. Bagaimana upaya pemerintah dalam mengantisipasi tindak pidana
prostitusi ?
6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sudut pandang ideologi pancasila tentang tindak
pidana prostitusi.
2. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam mengantisipasi tindak
pidana prostitusi.

Adapun manfaat penelitian ini antara lain:

Penelitian ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan kepada


masyarakat dan penulis terhadap peranan hukum dalam pemberian sanksi
pidana kepada pelaku prostitusi
BAB II

HASIL PENELITIAN

A. Sudut pandang ideologi pancasila tentang tindak pidana prostitusi


Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk Republik. Hal
ini tercantum pada pasal I Ayat (1) Undang-Undang Negara Republik
Indonesia (UUD 1945). Berdirinya sebuah negara tentu harus memiliki
sebuah ideologi.
Ideologi merupakan Ideologi merupakan sebuah istilah yang sangat
kental dengan kehidupan bernegara, berbangsa sehingga warna dari suatu
bangsa sangat ditentukan oleh ideologi yang dianutnya. Ideologi dalam arti
sempit dapat dipahami sebagai seperangkat gagasan yang memuat
penjelasan terhadap realistis, cita-cita, nilai yang ingin dicapai, dan cara
mencapai cita-cita tersebut yang menjadi pedoman bagi suatu komunitas
untuk bertindak, yang diakui dan dinyatakan secara tersurat oleh
komunitas tersebut. Ideologi dalam arti luas mengandung pengertian sama,
hanya tidak dinyatakan secara tersurat sebagai “ideologi” (sastrapradetdja,
2001:45).
Istilah ideologi terdiri-dari dua akar kata diambil dari bahasa
Yunani yakni logos dan idea. Logos adalah buah pemikiran. Adapun idea
adalah sebuah konsep atau ide. Dengan demikian, ideologi adalah konsep
buah pemikiran. Jika ditambahkan dengan Pancasila berarti konsep buah
pemikiran yang berlandaskan pada nilai Pancasila.
Secara bahasa Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yaitu panca
yang artinya lima. Sedangkan sila artinya dasar. Jadi Pancasila adalah lima
dasar yang memiliki makna dari segi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan sosial.
Dalam penerapan pancasila dikehidupan sehari-hari, prostitusi
adalah salah satu penyakit masyarakat yang sulit untuk diatasi. Prostitusi
adalah Kartini Kartono mengemukakan definisi pelacuran sebagai berikut:
8

1. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola


organisasi impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak
terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa
kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi
dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
2. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan)
dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan
kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu- nafsu
seks dengan imbalan pembayaran.
3. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang
menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan
mendapatkan upah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa paling tidak terdapat
empat elemen utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan
yaitu, (1) bayaran, (2) perselingkuhan, (3) ketidakacuhan emosional, dan
(4) mata pencaharian. Dari keempat elemen utama tersebut, pembayaran
uang sebagai sumber pendapatan dianggap sebagai faktor yang paling
umum dalam dunia pelacuran.

Faktor penyebab lainnya menurut Kartini Kartono ialah :


1. Faktor keluarga
Keluarga adalah lembaga pertama dan utama dalam melaksanakan
proses sosialisasi dan sivilisasi pribadi anak. Ditengah keluarga
anak belajar mengenal makna cinta-kasih, simpati, loyalitas,
idiologi, bimbingan dan pendidikan.
a. Rumah tangga berantakan
Bila rumah tangga dimulai adanya konflik dan itu terjadi terus
menerus, maka akan mengalami perceraian, dan anak akan
mengalami kebingungan dan kesulitan komunikasi terhadap
anggota keluarganya, Kemudian banyak konflik batin dan
kegalauan jiwa. Anak tidak bisa belajar dengan tenang, tidak
9

betah tinggal dirumah. Untuk melupakan semua derita batin ini


anak lalu melampiaskan kemarahan keluar. Mereka menjadi
urakan, sulit dikendalikan, bertingak semaunya sendiri.
b. Perlindungan lebih dari orang tua
Anak akan mudah rapuh dan tidak bisa mandiri selalu
menggantungkan bantuan orang tua itu disebabkan karena
orang tua yang selalu memanjakan anak-anaknya dan tidak
pernah menghindarkan dari kesulitan-kesulitan dalam
menghadapi hidupnya.
c. Penolakan orang tua
Orang tua yang tidak bisa memikul tanggungjawab sebagai
ayah dan ibu karena mereka ingin melanjutkan kebiasaan
sebelum menikah hal ini disebut maladjustment yakni tidak bisa
menyesuaikan diri terhadap kondisi hidup baru. Mereka
menganggap anak sebagai beban untuk kelanjutan kariernya,
sehingga kondisi seperti ini menjadi faktor timbulnya
kebingungan jiwa anak, mengalami tekanan batin dan terjadi
konflik dalam keluarga tersebut.
d. Pengaruh buruk dari orang tua
Sikap dan perilaku orang tua akan selalu akan di contoh oleh
anak-anaknya. Kebiasaan perilaku sombong, munafik akan
sangat mudah ditiru anak-anaknya. Suasana rumah yang kacau
yang mementingkan egoisnya sendiri-sendiri, tidak ada sifat
yang saling menyayangi, menghormati, secara otomatis
kebiasaan dan tingkah laku yang buruk dari orang tua itu akan
dilakukan oleh anak-anak ketika mereka bergaul dengan teman-
temannya.
2. Faktor Pergaulan
Lingkungan sangat erat kaitannya dengan pola perubahan
perilaku anak, karena anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu
di luar rumah daripada didalam rumah dengan kedua orang tuanya.
10

Sedangkan lingkungan mereka tinggal tidak selamanya baik dan


bahkan lebih cenderung memiliki dampak negative karena beragam
masyarakat yang ada.

Dahulu, para PSK adalah masyarakat kelas bawah yang terdesak


kebutuhan ekonomi, mereka menghalalkan cara ini untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Seiring bertambahnya waktu, pelaku PSK sekarang
tidak lagi masyarakat menengah ke bawah akan tetapi sudah menyasar
kalangan atas yang berpendidikan dengan tarif yang mahal. Siapapun
orangnya bisa beranggapan bahwa menjadi PSK mampu memenuhi
kebutuhan prestise atau gengsi yang membuatnya justru bangga ketimbang
memanggul aib.

Dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab munculnya Pekerja Seks


Komersial (PSK) dapat disebabkan dari dua faktor yaitu faktor internal
dan eksternal. Faktor internal adalah yang datang dari individu itu sendiri
seperti yang berkaitan dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri dan
sebagainya. Sedangkan faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan
secara langsung dari individu itu sendiri melainkan karena ada faktor luar
yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian seperti
desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan
keluarga, kegagalan percintaan dan sebagainya.

Berkaitan dengan praktek prostitusi, sebenarnya ada beberapa pihak yang


menjadi subyek dalam tindak pidana prostitusi ini yakni:

1. Mucikari
Mucikari atau dalam kamus besar bahasa Indonesia merujuk
kepada kata Muncikari adalah induk semang bagi perempuan lacur
atau germo. Namun pemahaman masyarakat secara luas adalah
orang yang berperan sebagai pengasuh, perantara, dan "pemilik"
pekerja seks komersial (PSK). Dalam kebanyakan bisnis seks,
11

khususnya yang bersifat massal, pekerja seks biasanya tidak


berhubungan langsung dengan pengguna jasa. Mucikari berperan
sebagai penghubung kedua pihak ini dan akan mendapat komisi
dari penerimaan PSK yang persentasenya dibagi berdasarkan
perjanjian. Mucikari biasanya amat dominan dalam mengatur
hubungan ini, karena banyak PSK yang "berhutang budi"
kepadanya. Banyak PSK yang diangkat dari kemiskinan oleh
mucikari, walaupun dapat terjadi eksploitasi oleh mucikari kepada
"anak asuh"nya. Seperti ini pula mucikari dalam dunia prostitusi,
mereka hanya sebagai penghubung antara pekerja seks komersial
dengan mereka lelaki hidung belang.
2. Pekerja Seks Komersial (PSK)
Pekerja seks komersial (PSK) adalah seseorang yang menjual
jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang atau
disebut pelacur. Pekerja seks komersial sebutan yang diperhalus
dari sebutan pelacur selain itu ada pula sebutan wanita tuna susila
yang juga mengacu kepada layanan seks komersial. Praktek
prostitusi dimanapun pekerja seks komersial inilah yang menjadi
obyek eksploitasi utama dari mata rantai praktek prostitusi.

PSK dan pelanggan disediakan tempat untuk melakukan hubungan


seks di dalam kamar-kamar yang disediakan oleh mucikari. Mucikari akan
memperoleh bagian dari harga yang dibayarkan oleh pelanggan kepada
PSK karena telah memfasilitasi kegiatan prostitusi tersebut. Perbuatan
menawarkan diri sebagai PSK sangat tidak mencerminkan nilai Pancasila
yaitu sila Ketuhanan yang Maha Esa. Hal ini dikarenakan dalam beberapa
agama yang diakui di Indonesia tidak ada yang memperbolehkan untuk
melakukan suatu hal yang melanggar kesusilaan.

Beberapa agama memiliki ayat yang menyebutkan larangan zina,


misalnya dalam agama islam tercantum pada surat Al Isra ayat 32,
disampaikan bahwa zina merupakan perbuatan keji dan jalan yang
12

buruk. Menurut agama kristen, Simon Petrus pun turut ambil bagian
dalam perkara ini, dalam Petrus 2 : 14 berkata “ Mata mereka penuh
nafsu zina dan mereka tidak pernah jemu berbuat dosa. Mereka
memikat orang-orang yang lemah. Hati mereka telah terlatih dalam
keserakahan. Mereka adalah orang-orang yang terkutuk!”.

Jika dalam agama budha, dalam kitab Dhammapada juga


menyebut: “Orang yang lengah dan berzina akan menerima empat
ganjaran, iaitu : pertama, ia akan menerima akibat buruk; kedua, ia
tidak dapat tidur dengan tenang; ketiga, namanya tercela; dan
keempat, ia akan masuk ke alam neraka.” (Dhammapada: Niraya
Vagga: 309)

Sedangkan menurut agama hindu, di dalam kitab


Dharmasastra (versi Hindu Bali) juga menyebut: “Aku telah
menguraikan tentang upacara penebusan dosa bagi keempat
golongan; seorang lelaki setelah menggauli seorang wanita yang
dilarang untuknya, harus melakukan penebusan dosa candrayanam.”
(Kitab Parasara Dharmasastra bab 10: 1)

Dengan adanya larangan zina dalam beberapa agama sudah


menggambarkan bahwa kegiatan sex di luar hubungan pernikahan
merupakan salah satu perbuatan dosa. Jadi, bagi setiap orang yang
melakukan kegiatan sex di luar hubungan pernikahan berarti sudah
melanggar makna dari ketuhanan dalam pancasila.

Dalam sila ke dua pancasila bermakna bahwa dalam konteks


negara pancasila kemanusiaan berarti melindungi dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodratnya yang
mempunyai akal, pikiran, perasaan dan keyakinan. Prostitusi
dianggap penyelewengan dari segi kemanusiaan karena dampaknya
dapat merugikan kesehatan dan merugikan psikis individu, baik
pengguna maupun pekerja seks komersial untuk kedepannya nanti.
13

Meskipun dalam sila ke dua pancasila menganggap prostitusi


sebagai penyelewengan, akan tetapi memperlakukan mereka pun
harus sesuai dengan kaidah harkat dan martabat manusia. Cara-cara
penyelesaian yang tidak manusiawi seperti menaikan para pelaku ke
atas mobil truk polisi dapat dianalogikan seperti segerombolan sapi
yang hendak disembelih di hari raya, hal tersebut harus dihindari
karena dianggap merendahkan martabat manusia.

Prostitusi merupakan kegiatan yang tidak beradab. Pelacuran


disebut melanggar norma kesusilaan sebab perbuatan melacurkan diri
dari para pelacur kepada banyak laki –laki, yakni mengelilingi kota
sepanjang malam sambil mencari laki –laki untuk melampiaskan
nafsu birahi (seksual) sambil mengharapkan imbalan uang atau jasa
lainnya dan atau mengadakan relasi seks yang tidak beradab
(menjual diri / kehormatannya) demi untuk memperoleh uang yang
banyak.

Nilai keadaban harus sejalan lurus dengan moralitas yang baik


dan norma agama. Para pelaku prostitusi tidak menerapkan dan
menjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi pancasila.

Di dalam pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara
berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan. Pekerjaan dan penghidupan yang layak
merupakan hak semua warga negara tanpa terkecuali agar
terwujudnya kehidupan yang makmur, sejahtera dan adil.

Jika para pelaku prostitusi beranggapan bahwa menjadi PSK


merupakan pekerjaan yang layak maka hal tersebut adalah sesuatu
yang keliru. Pancasila memandang ketidaklayakannya karena jauh
dari nilai-nilai keadilan. Tidak sedikit para pelanggan merupakan
anak di bawah umur.
14

Hal ini tentu merusak generasi penerus bangsa. Orang tua di


rumah dan guru di sekolah mengarahkan dan membimbing anak
tersebut untuk belajar dan menjadi manusia yang berakhlak tetapi
para pelaku prostitusi ini malah menjerumuskan pada sesuatu yang
merugikan masa depannya. Kebanyakan para pelaku prostitusi adalah
wanita, sehingga menimbulkan dampak kerugian yang lebih banyak
dari pada pria. Hal ini jauh dari rasa keadilan karena adanya
diskriminasi dari segi gender.

Perlakuan diskriminasi antara laki-laki dan wanita pelaku


prostitusi sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pasal 28D ayat 1
menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum.

Perlakuan diskriminasi merupakan suatu pelanggaran HAM


dan bertentangan dengan konsep HAM tentang persamaan dan
keadilan yang dijunjung oleh HAM yang berhak dinikmati oleh
setiap orang. Oleh karenanya, Diskriminasi merupakan perbuatan
yang dilarang berdasarkan aturan hukum dan dimana ada tindakan
diskriminasi maka terdapat pelanggaran hak asasi manusia disana.
Oleh karenanya merupakan hak PSK untuk mendapat perlakuan yang
sama tanpa diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara serta dilindungi oleh hukum.

B. Upaya pemerintah dalam mengantisipasi tindak pidana prostitusi


Indonesia merupakan negara hukum tertuang dalam Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah
negara hukum”, dimana Indonesia menggabungkan beberapa sistem
hukum di dalam konstitusinya. Pasal 1 ayat 3 ini mempunyai makna
15

bahwasannya Indonesia adalah negara hukum yang pelaksanaan


ketatanegaraanya dilaksanakan berdasarkan peraturan dan ketentuan yang
berlaku.
Negara hukum sendiri berdiri di atas hukum yang menjamin
keadilan bagi seluruh warga negara. Untuk Indonesia, negara hukum
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang merupakan pandangan hidup
bangsa dan sumber dari segala sumber hukum, yang dimaksud adalah
Hukum di Indonesia harus dilandasi dengan semangat menegakkan nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sebagaimana
yang terkandung dalam Pancasila. Adapun produk turunan undang-undang
dapat berupa Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Instruksi Presiden,
Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dan berbagai peraturan lainnya.
Pilus M.H Jon mengatakan bahwa Indonesia itu berkaitan erat dengan
hukum pancasila, yaitu :
1. Adanya keserasian antara pemerintah dengan rakya berdasarkan
asas kerukunan
2. Hubungan fungsional yang professional antara kekuasaan Negara
3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sasaran terakhir
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban

Negara hukum atau biasa yang disebut dengan istilah rechtsstaat


atau the rule of law merupakan negara yang dalam menjalankan suatu
tindakan, semua berdasarkan pada aturan atau sesuai dengan hukum yang
berlaku. Jika ada seseorang yang melakukan tindakan melanggar aturan,
maka ia berhak untuk mendapatkan suatu hukuman karena dianggap
melanggar hukum. Ciri-ciri negara hukum, yaitu :

1. Adanya sistem ketatanegaraan yang sistematis


Di setiap lembaga yang ada memiliki fungsi dan tugasnya masing-
masing dalam menjalankan pemerintahan negara tersebut agar
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Di Indonesia dapat
16

dilihat bahwa Indonesia memiliki kelembagaan seperti Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), Komisi Yudisial (KY), Makhkamah Agung (MA), Komisi
Yudisial (KY) dan lembaga di daerah lainnya.
2. Hukum sebagai patokan segala bidang atau Supremasi Hukum
Supremasi hukum adalah negara tersebut menggunakan hukum
sebagai patokan atau aturan dalam segala bidang.
3. Adanya perlindungan dan pengakuan hak asasi manusia (HAM)
Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
bagi seluruh rakyatnya. Hak asasi manusia adalah hak yang paling
mendasar dan fundamental. Bagi para pelanggar HAM bisa dijatuhi
hukum secara tegas.
4. Sistem peradilan yang tidak memihak dan memiliki persamaan
kedudukan di hadapan hokum
5. Sistem peradilan ini meliputi para hakim dan jaksa serta para
anggota administrasi pengadilan yang telah ditentukan berdasarkan
hukum yang berlaku. Tak hanya peradilan pusat, sistem peradilan
yang bebas dan tidak memihak juga berlaku di peradilan- peradilan
daerah. Peradilan harus berjalan sesuai dengan hukum dan
menerapkan hukum yang sama sehingga tidak adanya berat sebelah
antara rakyat dan para petinggi negara.
6. Adanya pembagian kekuasaan yang jelas
Pembagian kekuasaan ini menjunjung tinggi nilai demokrasi.
Setiap lembaga memiliki tugas dan fungsinya masing-masing
sehingga tidak adanya tumpang tindih.
7. Adanya peradilan pidana dan perdata
Peradilan pidana adalah peradilan yang mengurusi tentang
pelanggaran hukum yang menyangkut banyak orang, sedangkan
perdata yang mengurusi pelanggaran hukum yang hanya
melibatkan perseorangan saja.
17

Prostitusi bukan hanya perkara jual-beli jasa seks, tetapi juga


perdagangan wanita yang dijadikan budak seks. Dengan disahkannya
Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Terhadap
Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), diharapkan penanganan
terhadap terjadinya perdagangan orang akan semakin membaik.
Pemerintah telah berusaha dengan berbagai cara untuk menangani dampak
dari masalah yang ditimbulkan oleh bisnis pelacuran tersebut khususnya
perdagangan orang (trafficking), baik melalui kegiatan- kegiatan
penyuluhan, seminar, pelatihan-pelatihan kerja dan yang terakhir adalah
dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
‟Pemberantasan Perdagangan Orang”.

Bisnis pelacuran semakin modern, bahkan jual-beli jasa seks kini


juga hadir dalam dunia maya, yang mana pelakunya sangat sulit untuk
diselidiki keberadaannya mengingat permainan yang dijalankan sangat
rapi. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, namun UU
ITE ini tidak bisa menghalau bisnis seks melalui internet, namun
setidaknya kita telah punya aturan yang melarang hal tersebut, walaupun
dalam pelaksanaannya memang tidak seperti yang diharapkan.

Selain daripada itu terdapat sanksi yang tujuan utamanya adalah


pemulihan keadaan seperti keadaan sebelum terjadinya pelanggaran
terhadap kaedah-kaedah yang mungkin menyebabkan kegoncangan dalam
masyarakat. Kaedah dengan sanksi semacam itu merupakan kaedah hukum
restitutif dengan pengurangan unsur pidana yang terdapat di dalamnya.
Kaedah hukum tersebut kemudian dikaitkan dengna bentuk solidaritas
yang menjadi ciri masyarakat tertentu, oleh karena itu jenis kaedah hukum
merupakan akibat dari bentuk solidaritas tertentu, antara lain:

1. Solidaritas mekanis yang terutama terdapat pada masyarakat


sederhana yang relatif masih homogin struktur sosial dan
kebudayaannya. Dalam bentuk ini warga masyarakat tergantung
18

pada kelompoknya dan keutuhan masyarakatnya terjamin oleh


hubungan antar manusia karena adanya tujuan bersama.
2. Solidaritas organik yang ditandai antara lain adanya pembagian
kerja dalam masyarakat yang biasanya dijumpai pada masyarkat
yang komleks dan heterogin struktur sosial dan kebudayaannya.
Dalam hal ini pengembalian kedudukan seseorang yang dirugikan
merupakan hal yang diprioritaskan. Dalam hal ini tujuan utama dari
sosiologi hukum adalah untuk menyajikan sebanyak mungkin
kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara efisien.

Dan Apabila ditinjau dari ketentuan pidana berdasarkan Kitab Undang


Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam dua pasal, yaitu pasal 296 dan
pasal 506. Pasal 296 menyatakan 'barang siapa dengan sengaja
menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan
menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling
banyak lima belas ribu rupiah'.

Sedangkan pasal 506 menyatakan 'barang siapa menarik


keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya
sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
Dalam pasal tersebut dapat kita lihat bahwa hukum pidana kita hanya
mengkategorikan prostitusi sebagai suatu delik terhadap pihak
perantaranya atau pihak ketiga. Dengan realitas seperti itu aparat penegak
hukum, dalam hal ini Kepolisian hanya mempunyai ruang gerak untuk
melakukan tindakan hukum terhadap perantara dalam hal ini
germo/mucikari saja dan bagi orang yang melakukan tindakan prostitusi
tersebut yaitu pria hidung belang (konsumen) serta wanita penghibur
(korban/pelaku) tidak ada peraturan yang mengatur kedua pihak tersebut
untuk dikenai sanksi pidana.

Dengan demikian pemerintah menerapkan berbagai sanksi


pemidanaan yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana
19

prostusi tersebut agar menimbulkan efek jera terhadap nya. Tindak pidana
prostitusi adalah pemanfaatan seseorang dalam aktifitas seks untuk suatu
imbalan. Dari sini kita bisa lihat dua kemungkinan, yakni apakah orang
yang melakukan pelacuran tersebut melakukannya tanpa paksaan atau
tidak dengan paksaan. Apabila kegiatan melacur tersebut dilakukan tanpa
paksaan, maka pelakunya dikenakan sanksi sesuai dengan perda daerah
setempat.

Namun, apabila kegiatan pelacuran tersebut dilakukan dengan


ancaman kekerasan atau paksaan terhadap seseorang untuk mau dijadikan
pekerja seks komersial, maka tindakan tersebut dikenakan pidana
berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (“UU No. 21/2007”). Tindakan
tersebut dapat dikategorikan sebagai eksploitasi orang, yakni tindakan
dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas
pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik
serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual,
organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga
atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan
keuntungan baik materiil maupun immateriil (Pasal 1 angka 7 UU No.
21/2007).

Sanksi bagi orang yang melakukan eksploitasi seperti dalam cerita


Anda berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU 21/2007 adalah dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus
dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah).

Indonesia merupakan negara hukum tertuang dalam Pasal 1 ayat 3


Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah
negara hukum”, dimana Indonesia menggabungkan beberapa sistem
20

hukum di dalam konstitusinya. Pasal 1 ayat 3 ini mempunyai makna


bahwasannya Indonesia adalah negara hukum yang pelaksanaan
ketatanegaraanya dilaksanakan berdasarkan peraturan dan ketentuan yang
berlaku.

Selanjutnya upaya pemberantasan dan penanggulanagan prostitusi


yang dikatakan sebagai masalah sosial yang sejak dulu sampai sekarang
belum juga dapat dihapuskan. Usaha menanggulangi pelacuran ini sangat
sulit dan membutuhkan waktu yang relatif lama serta membutuhkan
pembiayaan yang besar. Beberapa alternatif solusi untuk mengatasi
masalah sosial ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengurangi pelacuran bahkan menghapusnya, maka


kemiskinan harus dihapuskan terlebih dahulu. Penyebab utama
seseorang melacurkan diri adalah masalah kurangnya ekonomi.
Karena kemiskinan tersebut mereka tidak bisa mendapatkan
pendidikan yang memadai, sehingga untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan mereka memutuskan untuk melacurkan diri.
2. Penutupan lokalisasi tetap perlu dilakukan. Kecenderungan untuk
selalu bernegosiasi dengan para germo dan alasan perut, tidak akan
pernah menyelesaikan, karena selalu berujung sia-sia.
3. Hukum para pria yang menggunakan jasa pelacur, karena selama
ini hanya pihak wanita yang selalu terkena hukuman.
4. Melakukan bimbingan bahwa perilaku hubungan seks yang
berganti-ganti pasangan bisa menyebabkan penularan penyakit
seks seperti HIV/AIDS, raja singa, dan lainnya.
5. Melakukan pemberdayaan pada PSK, yaitu membuka kursus
keterampilan singkat bagi para penghuni lokalisasi.
6. Pengadaan acara bimbingan rohani untuk memperbaiki keimanan
dan keyakinan mereka.
21

Sementara, Kartini Kartono dalam bukunya Patologi Sosial


mengemukakan berbagai usaha untuk mengatasi masalah pelacuran ini.
Beliau membaginya dalam 2 bagian yaitu:

1. Usaha preventif yaitu suatu usaha yang diwujudkan dalam


kegiatan-kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran, usaha ini
antara lain berupa :
a. Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau
pengaturan penyelenggaraan pelacuran;
b. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian
untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan
norma kesusilaan;
c. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan
rekreasi bagi anak-anak puber dan adolesens untuk
menyalurkan kelebihan energinya;
d. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan
dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya;
e. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai
perkawinan dalam kehidupan keluarga;
f. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha
penanggulangan pelacuran yang dilakukan oleh beberapa
instansi sekaligus mengikutsertakan potensi masyarakat lokal
untuk membantu melaksanakan kegiatan pencegahan atau
penyebaran pelacuran;
g. Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul,
gambar-gambar porno, film-film biru dan sarana-sarana lain
yang merangsang nafsu seks;
h. Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.

2. Usaha reprensif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk


menekan (menghapus, menindas) dan usaha untuk menyembuhkan
22

para wanita dari ketunasusilaannya untuk kemudian membawa


mereka ke jalan yang benar. Usaha-usaha tersebut antara lain:
a. Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi,
orang melakukan pengawasan/control yang ketat demi
menjamin kesehatan dan keamanan para prostitute serta
lingkungannya.
b. Untuk mengurangi pelacuran, diusahan melalui aktivitas
rehabilatasi dan resosialisasi agar mereka bisa dikembalikan
sebagai warga masyarakat yang bersusila. Rehabilitasi dan
resosialisasi ini dilakukan melalui pendidikan moral dan
agama, latihan-latihan kerja dan pendidikan keterampilan agar
mereka bersifat kreatif.
c. Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita
tunasusila terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan
bakat dan minat masing-masing.
d. Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap
untuk menjamin kesehatan para prostitute dan lingkungannya.
e. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia
meninggalkan profesi pelacuran dan mau untuk memulai hidup
susila.
f. Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur
dan masyarakat asal mereka agar mereka mau menerima
kemabali bekas-bekas wanita tunasusila itu mengawali hidup
baru.
g. Mencarikan pasangan hidup yang permanen/suami bagi para
wanita tunasusila untuk membawa mereka ke jalan yang benar.
h. Mengikutsertakan eks-WTS dalam usaha transmigrasi, dalam
rangka pemerataan penduduk di tanah air dan perluasan
kesempatan kerja bagi kaum wanita.
23

Satpol PP dan Kepolisian merupakan lembaga yang aktif dalam


menanggulangi masalah prostitusi. Kebijakan Kepolisian untuk
menanggulangi prostitusi adalah sebagai berikut :

1. Digiatkan operasi cipta kamtibmas dengan sandi “Operasi Pekat”


atau penyakit masyarakat termasuk di dalamnya miras, judi,
pelacuran dan premanisme.
2. Khusus prostitusi, pihak kepolisian sering mengadakan razia
kepolisian ke tempat-tempat yang disinyalir sebagai tempat praktek
prostitusi, seperti Hotel, Salon, Tempat Karaoke, Panti Pijat dsb.
3. Melakukan penyuluhan dengan dinas sosial.
4. Menindak para pelaku penyedia jasa layanan PSK (Mucikari) dan
tempat–tempat penyedia sarana prasarana prostitusi.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Prostitusi merupakan aktivitas relasi seksual dengan pasangan di
luar ikatan perkawinan dalam motif transaksi berupa uang atau materi
lainnya dan pelampiasan nafsu seksual. Bisnis prostitusi yang berakar
dalam kehidupan manusia, menjadikan tubuh dan seksualitas manusia
sebagai komoditas atau barang yang dapat ditawar dan diperdagangkan
oleh pihak-pihak tertentu.
Prostitusi telah merenggut tubuh dan seksualitas sebagai anugerah
atau pemberian yang istimewa dari Tuhan Yang Maha Esa bagi manusia,
demi mencapai tujuan yang diinginkan oleh pihak-pihak tertentu.
Perempuan dalam bisnis prostitusi mengorbankan kesucian tubuh dan
seksualitasnya untuk dinikmati oleh orang-orang yang ingin melampiaskan
nafsu seksualnya. Perihal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
imbalan berupa uang atau materi lainnya. Uang dan materi lainnya telah
menjadikan perempuan dalam prostitusi tidak menghargai martabat
kewanitaannya sebagai subjek yang melahirkan generasi manusia di dunia.
Di satu sisi, keterlibatan kaum laki-laki dalam dunia prostitusi hanya
sebatas pelampiasan nafsu seksual yang tidak terkontrol secara baik. Laki-
laki yang melakukan relasi seksual dalam dunia prostitusi, telah
menjadikan tubuh perempuan sebagai objek yang dapat ditawar dan
dipakai untuk melampiaskan nafsu seksualnya.
Keberadaan laki-laki dalam dunia prostitusi telah meruntuhkan
martabatnya sebagai subjek yang seharusnya mencintai, menjaga dan
melindungi kaum perempuan, sebab kaum perempuan adalah manusia
yang tercipta dari rusuk laki-laki. Keduanya (laki-laki dan perempuan)
saling mengobjekkan dalam aktivitas relasi seksual sebab memiliki tujuan
25

yang berbeda-beda. Laki-laki dengan tujuan pelampiasan nafsu


seksualnya, sedangkan perempuan dengan tujuan mendapatkan uang atau
materi lainnya. Tujuan dari masing-masing pribadi inilah yang membuat
tubuh dan seksualitas sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa
menjadi ternoda dan kehilangan eksistensinya.
Upaya pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana prostitusi
ini adalah dengan adanya ketentuan pidana berdasarkan Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam dua pasal, yaitu pasal 296 dan
pasal 506. Dalam pasal tersebut dapat kita lihat bahwa hukum pidana
hanya mengkategorikan prostitusi sebagai suatu delik terhadap pihak
perantaranya atau pihak ketiga. Dengan realitas seperti itu aparat penegak
hukum, dalam hal ini Kepolisian hanya mempunyai ruang gerak untuk
melakukan tindakan hukum terhadap perantara dalam hal ini
germo/mucikari saja dan bagi orang yang melakukan tindakan prostitusi
tersebut yaitu pria hidung belang (konsumen) serta wanita penghibur
(korban/pelaku) tidak ada peraturan yang mengatur kedua pihak tersebut
untuk dikenai sanksi pidana.
Selain adanya pasal KUHP yang memberikan sanksi pidana,
pemerintah juga berupaya untuk menutup tempat-tempat prostitusi dan
menerapkan peraturan dengan sanksi yang tegas dalam mengatur kegiatan
masyarakat. Tujuan utama penerapan sanksi ini adalah pemulihan keadaan
seperti keadaan sebelum terjadinya pelanggaran terhadap kaedah-kaedah
yang mungkin menyebabkan kegoncangan dalam masyarakat. Kaedah
dengan sanksi semacam itu merupakan kaedah hukum restitutif dengan
pengurangan unsur pidana yang terdapat di dalamnya.

B. Saran
1. Peraturan perundang-undangan yang ada harus lebih ditegakkan, agar
tidak terjadi tindak kejahatan di masyarakat.
2. Pihak kepolisian harus lebih tegas agar tidak banyak korban dari
Prostitusi ini.
26

3. Pihak kepolisian harus lebih sering melakukan kegiatan dengan


memberikan penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat tentang
pencegahan kejahatan prostitusi ini, agar masyarakat bisa mencegah
agar tidak terjadinya tindak kejahatan prostitusi agar keluarganya tidak
menjadi korban dalam prostitusi ini.

Anda mungkin juga menyukai