Anda di halaman 1dari 265

1

BAB I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana yang

dimuat dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang – Undang Dasar Tahun 1945

menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum”,

sebagai negara yang berdasarkan atas hukum di dalam menjalankan suatu

pemerintahan negara haruslah berdasarkan hukum termasuk dalam

memberikan perlindungan atas hak asasi warga negara pun haruslah

berdasarkan hukum. Demi mewujudkan dan memajukan kehidupan yang adil,

makmur dan sejahtera yang menjadi hak setiap warga negara itu, maka setiap

warga negara dilindungi haknya berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945

untuk berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan. Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai dasar yang

kuat dalam melindungi hak asasi manusia pada bidang penghargaan atas

kesejahteraan manusia dengan mengakui kelayakan dalam memperoleh

pekerjaan dan penghidupan yang layak atau sesuai dengan martabat manusia.

Keadaaan ini menyebabkan peraturan perundang-undangan memegang

peranan yang sangat stategis sebagai landasan dan strategi negara untuk

mencapai tujuan sebagaimana tujuannya ialah mensejahterakan warga

negaranya.(Rahardjo 2011) Namun, terjadinya krisis ekonomi, termasuk oleh

ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi menjadi persoalan utama


2

terhadap semakin meningkatnya kejahatan di Indonesia. Plato (427-347 SM)

mengatakan bahwa emas merupakan sumber dari banyak kejahatan, semakin

tinggi kekayaan (dalam pandangan manusia) makin merosot penghargaan

terhadap kesusilaan.(A. Prakoso 2013) Menentukan suatu perbuatan yang

tergolong dalam kejahatan atau tindak pidana dalam suatu perarturan

perundang-undangan sangat diperlukan mempergunakan kebijakan hukum

pidana, dimana kebijakan hukum pidana itu bagaimana hukum pidana yang

dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat

perundang-undangan (kebijakan legislatif), kebijakan aplikatif (kebijakan

yudikatif) dan pelaksanaan terhadap hukum pidana (kebijakan eksekutif)

dalam hal proses kriminalisasi.

Kebijakan legislatif ialah merupakan tahapan yang sangat

menentukan bagi tahapan-tahapan berikutnya, dikarenakan pada saat

perumusan perundangan-undangan pidana hendak dibuat maka sudah

ditentukan arah yang hendak dituju dengan dibuatnya undang-undang

tersebut atau perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk

menjadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.

(Arief 1996) Salah satu contoh perbuatan yang dilarang oleh peraturan

perundang-undangan adalah perbuatan yang tergolong melanggar norma

kesusilaan, yang mana permasalahaan pelanggaran terhadap norma kesusilaan

ini sebagaimana yang dikenal sebagai pelacuran atau di masa sekarang lebih

disebut dengan pelacuran ini tetap menjadi permasalahan yang serius bagi

rakyat bangsa Indonesia sedari dahulu sebelum kriris ekonomi di alami oleh

Indonesia bahkan sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia.


3

Pelacuran adalah kegiatan perdagangan jasa seksual, seperti seks oral

atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut

pelacur, yang mana sekarang lebih dikenal dengan istilah pekerja seks

komersial.(Wikipedia 2021) Menurut James Inciardi dalam buku Topo

Santoso bahwa yang dikatakan sebagai pelacuran merupakan penawaran

hubungan seksual untuk memperoleh uang atau keuntungan lainya (The

offering of sexual relations for monetary or other gain) sehingga yang

dimaksud dengan pelacuran ialah kegiatan hubungan seksual untuk

pencaharian, terkandung beberapa tujuan yang ingin diperoleh, seperti uang,

barang atau hadiah dan juga pemuasan hasrat batiniah jadi termasuk dalamnya

bukan hanya persetubuhan saja tetapi ada yang ingin dicapai atau dimiliki.

Pelacuran, menurut Dirjodjosisworo adalah penyerahan diri secara

badaniah seorang wanita untuk pemuasan laki-laki siapapun yang

mengginginkan dia dengan pembayaran. Jika dilihat dari pengertian pelacuran

yang dikatakan oleh Dirdjosisworo terdapat tiga unsur yakni penyerahaan diri

seorang wanita, kepada banyak pria yang menginginkan jasanya untuk

pelampiasan hasrat batianiah pria-pria tersebut dengan bayaran tentunya dalam

hal ini sebagai pengganti upah si wanita dalam bekerja.(Soedjono 1977)

Pelacuran merupakan salah satu bentuk fenomena yang sudah ada

sejak lama sepanjang sejarah di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sama

halnya dengan perkembangan pemerintahaan di dunia, pelacuran di Indonesia

bermula sejak zaman kerajaan-kerajaan besar di tanah jawa yang

menggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem feodal. Kegiatan

pelacuran telah menyebar luas di masyarakat di seluruh dunia, terlepas


4

pemerintah menyadarinya atau tidak padahal kegiatan ini dianggap tidak etis.

Pelacuran adalah fenomena sosial yang menyebar secara luas di masyarakat

bahkan di seluruh dunia padahal kegiatan ini dianggap tidak etis. Merujuk

pada Konvensi PBB 1949 tentang perdagangan manusia, pelacuran dan atau

perdagangan seks dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan

martabat dan nilai pribadi manusia dan membahayakan kesejahteraan

individu, keluarga dan masyarakat.

Masalah kontroversial ini yang perlu menjadi perhatian pemerintah

untuk diselesaikan. Perlu suatu pembaharuan hukum, baik untuk

mengizinkan, melegalkannya atau menolaknya. Namun, Indonesia

merupakan contoh negara yang tidak mengizinkan adanya kegiatan

pelacuran, karena bukan hanya menyangkut persoalan tidak etis, tetapi juga

dianggap sebagai suatu kejahatan. Masalah inilah yang perlu menjadi

perhatian pemerintah untuk diselesaikan dan tentu diperlukan kepastian

hukum untuk melarang kegiatan ini terus menyebar di kalangan masyarakat.

Indonesia sebagai Negara yang berideologikan Pancasila, kegiatan pelacuran

telah sangat menciderai jati diri bangsa yang tersohor luhur dan menjunjung

tinggi nilai norma. Sehingga dapat dikatakan, pelacuran dapat menjadi

gangguan atau hambatan bahkan ancaman bagi ketahanan bangsa baik pada

bidang ideologi bangsa maupun dibidang sosial budaya.

Kegiatan pelacuran merupakan termasuk dalam bentuk penyimpangan

seksual, yang menyimpang dari nilai sosial, agama, kesopanan dan moral

bangsa Indonesia. Dengan kata lain, juga mencederai atau melecehkan nilai-

nilai yang terkandung dalam Pancasila, adapun keterkaitan Sila-Sila dalam


5

Pancasila yang dinilai telah dicederai oleh kegiatan pelacuran sebagaimana

pada sila pertama yakni Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana kegiatan

pelacuran merupakan suatu perbuatan yang sangat dilarang oleh Aturan atau

Ajaran Ketuhanan atau dimaksudkan dengan segala bentuk perbuatan

perzinahaan sangatlah dibenci oleh Tuhan, hal ini juga terkait dengan Sila

Kedua Pancasila yakni Sila Kemanusiaan Yang Adil Beradab, manusia

sebagai mahkluk paling dimuliakan dari segala ciptaan Tuhan Yang Maha

Esa sehendaknya memanusiakan manusia bukannya memperbudak manusia

lain menjadi seorang pelacur karena banyak pelacur yang melacurkan diri

diperlakukan tidak manusiawi oleh mucikari atau germo atau orang yang

dengan sengaja memperjualbelikan seks.

Selanjutnya pada Sila Kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Indonesia”, kegiatan pelacuran ialah suatu masalah yang menyangkut

berbagai aspek kehidupan, yaitu agama, politik, sosial, psikologi, dan

ekonomi. Mayoritas para pekerja seks komersil yang terjerumus dalam dunia

pelacuran karena tekanan ekonomi. Ini menandakan bahwa belum semua

rakyat Indonesia merasakan kemakmuran dan kesejahteraan.

Kegiatan pelacuran, perbuatan yang melanggar norma kesusilaan dan

norma hukum sejak adanya peradaban kehidupan manusia. Kegiatan

pelacuran adalah suatu bentuk hal yang menyimpang terhadap eksploitasi

seksual yang dipergunakan untuk menghasilkan kebutuhan materi maupun

kebutuhan rohani atau dengan nama lain adanya suatu bentuk penawaran

hubungan seksual pasangan suami istri guna memperoleh uang ataupun

keuntungan lainnya. Pelacuran bertentangan dengan definisi sosiologi dari


6

kejahatan (Sociological Definition of Crimse), karena dikategorikan sebagai

perbuatan jahat yang bertentangan dan melanggar norma-norma dalam

kehidupan bermasyarakat karena tidak hanya dilarang oleh norma agama saja,

tetapi juga bertentangan dengan (norma) kesusilaan dalam setiap hati nurani

manusia. Sutherland berpendapat bahwa;

”Criminal behavior is behavior in violation of the criminal law no


matter what the degree of immorality, reprehensibility or indecency of
an act it is not a crime unless it is prohibited by the criminal law”(A
Syamsu Alam and Ilyas 2010) (terjemahan bebas : Perbuatan kriminal
adalah perbuatan pelanggaran terhadap hukum pidana tidak
mempermasalahkan derajat kesusilaan, kecelaan atau
ketidakserononohan dari segala perbuatan bukan kejahatan yang
dilarang oleh hukum pidana) .

Ada tiga komponen subjek penting yang terkait dengan kegiatan

pelacuran ini, yakni pelacur (prostitute), mucikari atau germo (pimp), dan

pengguna/penikmat (client).(Bunga and Widiatedja 2012) Permasalahaan pada

kegiatan pelacuran ini selain dapat mengganggu ketertiban umum dan

merusak generasi muda, jika tetap dibiarkan akan menimbulkan pro dan

kontra di masyarakat. Bagi yang berpendapat pro akan mengaitkan hak

ekonomi bagi para pelaku bisnis pelacuran (pelacur dan mucikari/germo) dan

memenuhi hasrat seksual (penikmat/pengguna), sedangkan yang kontra akan

berpendapat adanya suatu bentuk kemunduran terhadap moralitas pada norma

agama, kesusilaan maupun kesopanan apabila kegiatan pelacuran tetap

dibiarkan contohnya saja pada penutupan lokalisasi protitusi terbesar di kota

Surabaya beberapa tahun belakang itu menimbulkan perdebatan pro dan

kontra.
7

Kegiatan pelacuran tidak hanya identik dengan pelanggaran nilai moral

dari pelakunya, tetapi dari segi medis juga menimbulkan penyakit kulit dan

kelamin salah satunya adalah HIV- AIDS yang dapat menular kepada bayi

dalam kandungan. Data Kementerian Kesehatan tahun 2019, jumlah warga

negara Indonesia yang terjangkit HIV-AIDS pada tahun 2016-2019 terjadi

129.906 kasus, 79.671 akibat dari hubungan seksual baik lain maupun sesama

jenis yang berjumlah kematian sebanyak 2037 kasus.(Pratiwi, Wanufika, and

Sukamara 2019)

Pada jaman globalisasi seperti dimana jaman teknologi kegiatan

pelacuran tidak lagi hanya menempatkan orang dewasa sebagai salah satu

subjek komponen pelacur/PSK, ada suatu trend yang tabu terjadi dimana hal

yang sebelumnya hanya dilakukan oleh orang dewasa merambah melibatkan

anak-anak dibawah umur sebagai komponen pelacur/PSK. Kegiatan pelacuran

yang melibatkan anak-anak ini bermula dari adanya model kejahatan

perdagangan manusia (human trafficking) yang makin terus berkembang

diseluruh dunia. Masalah perdagangan manusia ini merupakan ancaman

keamanan multinasional yang sangat merugikan perempuan dan anak-anak,

karena dianggap sebagai obyek yang lemah sehingga dapat di eksploitasi.

Eksploitasi terhadap kaum perempuaan dan anak-anak ini dengan modus

operandi penipuan dalam hal ini ada kalanya kaum perempuan dan anak-anak

yang awalnya enggan menjadi pelacur karena diancam dan dipaksa akhirnya

bersedia melacurkan diri atau sebagai komponen pelacur/PSK. Kaum

perempuan dan anak-anak yang dijadikan obyek komoditas (perdagangan)

atau pemuas hasrat nafsu sex dari seseorang atau kelompok tertentu yang
8

menjalankan bisnis seksual guna meraih keuntungan yang berlimpah.(Wahid,

Irfan, and Hasan 2001)

Soerjono Soekanto berpendapat, penyebab adanya kegiatan pelacuran

haruslah dapat ditelaah dari dua sisi, yakni faktor endogen dan eksogen.

Diantara endogen (dalam) dapat disebutkan hasrat sex yang besar, sifat malas

dan keinginan yang besar untuk hidup mewah, sedangkan faktor eksogen

(luar) yang utama adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang sulit

menyebabkan orang-orang berani melakukan apapun untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya, beberapa diantaranya hanya ini menghasilkan uang yang

banyak tanpa harus bekerja keras. Namun, ada lagi faktor penyebab kegiatan

pelacuran yakni faktor kurangnya kasih sayang dari orangtua atau pengaruh

lingkungan yang buruk misalnya dari perilaku sex bebas sehingga

menyebabkan terjerumus dalam dunia pelacuran.(Brillyana 2021)

Penikmat/Pengguna jasa dari pekerja seks komersial/PSK merupakan

salah satu subyek kompenen utama dalam kegiatan pelacuran tersebut.

Kegiatan pembelian atas jasa seks (Pengguna) di negara Kamboja

menunjukkan lebih dari 80% dari penduduk laki-laki telah melakukan

kegiatan pembelian atas jasa seks, sedangkan negara Itali mencapai 45%,

negara Spanyol 39% membeli seks, negara Jepang 37%, Cina 20% dari

populasi, Belanda sebanyak 21,6% dan Amerika Sekitar mecapai sekitar 15-

20% laki- laki membayar untuk jasa seks. Sedangkan Data Kementerian

Kesehatan jumlah warga negara Indonesia yang membeli seks berbayar pada

tahun 2017 berjumlah sekitar 8 juta.(Kompas.com 2017)


9

R. Soesilo menjelaskan bahwa Pasal 296 KUHP gunanya untuk

memberantas orang-orang yang mengadakan bordil atau tempat-tempat

pelacuran. Supaya dapat dihukum harus dibuktikan bahwa perbuatan itu

menjadi pencahariannya atau kebiasaannya. Jika dibandingkan antara KUHP

dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, sebagai berikut :

KUHP LAMA UU Nomor 1 Tahun 2023


(KUHP BARU)
Pasal 296 Pasal 420

Barang siapa dengan sengaja Setiap orang yang menghubungkan


menyebabkan atau memudahkan atau memudahkan orang lain
perbuatan cabul oleh orang lain melakukan perbuatan cabul, dipidana
dengan orang lain, dan dengan pidana penjara paling lama 2
menjadikannya sebagai pencarian tahun.
atau kebiasaan, diancam dengan
pidana penjara paling lama 1 tahun 4
bulan atau pidana denda paling
banyak Rp15 juta.

Pasal 506 Pasal 421

Barang siapa menarik keuntungan Jika tindak pidana sebagaimana


dari perbuatan cabul seorang wanita dimaksud dalam Pasal 419 atau Pasal
dan menjadikannya sebagai 420 dilakukan sebagai kebiasaan atau
pencarian, diancam dengan pidana untuk menarik keuntungan sebagai
kurungan paling lama 1 tahun. mata pencaharian pidananya dapat
ditambah 1/3.

Hukum pidana positif Indonesia belum mengatur tentang perbuatan

pelacuran dalam hal ini keterkaitan ketiga komponen yakni mucikari atau

germo, pekerja seks komersil dan pengguna pekerja seks komersil baik dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) maupun

Undang-Undang diluar KUHP. Pengaturan dalam KUHP tentang delik-delik

kesusilaan seperti pada pasal 281 sampai pasal 303, khususnya pasal 296 dan
10

pasal 506 tidak menjerat perbuatan pekerja seks komersial maupun pengguna,

melainkan hanya menjerat kepada pemilik rumah bordil, mucikari dan

makelar atau calo dari perbuatan pelacuran.

Adanya pembedaan terhadap penerapan sanksi pidana yang hanya

diberatkan kepada mucikari, padahal dalam hal ini ada dua komponen

utama lainnya yang terkait yakni pekerja seks komersil dan termasuk di

dalamnya adalah pemakai/pengguna jasa pekerja seks komersil hal inilah

menjadi polemik sebab pekerja seks komersil dan pengguna pekerja seks

komersil tidak dikenakan hukuman. Sehingga bermunculan argumentasi yang

berkembang dimasyrakat jika dapat diasumsikan pula pekerja seks komersil itu

sebagai korban, namun pada kenyataan dilapangan justru dijumpai banyak pekerja

seks komersil yang menjalankan pekerjaannya melacurkan diri secara

profesional berdasarkan perjanjian kerja yang disepakati dengan mucikari

atau germo atau pemilik tempat dimana pekerja seks komersil tersebut

melakukan pekerjaan melacurkan diri.

Oleh karenanya, aparat penegak hukum tidak dapat menjerat

pengguna jasa pekerja seks komersil maupun pekerja seks komersil itu

sendiri, karena berdasarkan ketentuan dalam Pasal 296 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, dinyatakan bahwa: “Barang siapa dengan sengaja

menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan

orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam

dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda

paling banyak lima belas ribu rupiah”.


11

Lebih lanjut, Pasal 506 KUHP menentukan bahwa:


“Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita
dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan
paling lama satu tahun”.

Di KUHP Lama dijelaskan dalam Pasal 296 dan 506 bahwa perbuatan PSK

maupun pengguna tidak dijerat, melainkan hanya menjerat kepada penyedia,

mucikari dan makelar atau calo dari perbuatan pelacuran, tidak diterapkan

pada wanita hidung belang dan lelaki yang berkunjung. Berlanjutan pada

KUHP Baru Tahun 2023 pada pasal 420 mirip maknanya dengan isi pada

pasal 296 KUHP Lama dan pasal 421 penekanan yang sama dengan makna

pasal 506 KUHP lama.

Pemidanaan hanya terhadap mucikari saja tidak mencerminkan rasa

keadilan, karena dalam perbuatan pelacuran terdapat subyek-subyek yang

berkaitan yakni mucikari, pengguna dan pekerja seks komersil. Kegiatan

pelacuran bagian dari perbuatan zina dikategorikan sebagai (crime without

victim) bahwa pekerja seks komersil dan pengguna jasanya termasuk korban

tetapi juga sebagai pelaku dalam perbuatannya sehingga hukum Pidana positif

Indonesia saat ini masih belum memberikan kepastian hukum yang adil serta

pelakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam

UUD 1945 Pasal 28D.

Prinsip nullum delictum noela poena lege praevia yakni tiada pidana

dapat dijatuhkan tanpa didahului adanya peraturan yang memuat sanksi

pidana terlebih dahulu menjamin perlindungan hak asasi manusia dari

kesewenang-wenangan penguasa. Akan tetapi, seorang pekerja seks komesil

yang melacurkan diri dengan atau tanpa mucikari bukan termasuk kejahatan
12

karena tidak dilarang dalam hukum pidana Indonesia meskipun melanggar

dari sudut pandang agama, adat istiadat, dan kesusilaan dalam masyarakat.

Hal yang sama berlaku dalam pengguna jasa, Pasal 284 KUHP mengatur

ketentuan lain untuk menjerat pengguna jasa pekerja seks komersil. Pasal ini

berisi uraian ketentuan pidana tentang Perzinahan (perselingkuhan).

Namun melihat ketentuan ayat (2) dalam pasal tersebut dinyatakan

bahwa delik Pasal 284 KUHP ini merupakan delik aduan sepanjang tunduk

pada Pasal 27 BW yang menjelaskan bahwa dalam satu waktu, seorang pria

diizinkan memiliki satu orang perempuan sebagai istrinya dan seorang

perempuan diizinkan memiliki satu pria sebagai suaminya. Jika tidak, maka

pasal ini tidak dapat digunakan untuk menjerat pengguna jasa pekerja seks

komersil dikarenakan hanya dapat berlaku pada salah satu pengguna jasa

atau pekerja seks komersil telah terikat perkawinan, sedangkan apabila

pengguna jasa dan pekerja seks komersilnya belum terikat perkawinan maka

tidak dapat diterapkan pasal tersebut.

Pengaturan terhadap kegiatan pelacuran sebagai perbuatan yang

melanggar norma, tetapi pengaturan terhadap kegiatan pelacuran pada KUHP

dan peraturan perundang-undangan lainya seperti yang disampaikan diatas

hanya mengatur tentang mucikari atau germo saja, hal inilah yang

menimbulkan kesenjangan yang signifikan pada pengaturan terhadap kegiatan

pelacuran sebagai suatu perbuatan yang melanggar norma antara KUHP yang

sekarang dengan peraturan-peraturan lainnya termasuk dengan peraturan

daerah yang tergolong peraturan perundang-undangan pada tingkatan paling

bawah malah mengatur mengenai pelacuran sebagai suatu perbuatan yang


13

melanggar norma, dimana pengaturan dalam KUHP dan pada beberapa

peraturan perundang-undang yang lain hanya dijatuhkan kepada mucikari atau

germo saja sedangkan ada beberapa daerah di Indonesia yang mengeluarkan

peraturan daerahnya mengatur ketiga komponen utama (Mucikari, Pekerja

Seks Komersil, Dan Pengguna Jasa Pekerja Seks Komersil) dalam kegiatan

pelacuran untuk dapat dijatuhkan sanksi administrasi bukan sanksi pidana

dikarenakan dinilai telah melanggar norma agama, kesopanan dan kesusilaan.

Hal ini menjadi pengamatan yang menarik, karena dalam konteks peraturan

perundang-undangan peraturan hukum di di bawah tidak boleh bertentangan

dengan peraturan hukum di atasnya. Namun sepanjang tidak diatur dilarang

dalam undang-undang maka dalam aturan hukum di tingkat daerah dapat saja

memuat pelarangan sepanjang bentuknya ialah pelanggaran.

Segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak

pidana/kejahatan ini termasuk dalam wilayah kebijakan kriminal (criminal

policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu

termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).(Arief 2003)

Politik hukum pidana dimaknai sebagai kehendak nasional untuk menciptakan

hukum nasional yang sesuai dengan aspirasi dan tata nilai yang bersumber dari

bangsa Indonesia yang bertujuan untuk mewujudkan kehendak negara adil dan

makmur berdasarkan pancasila. Maka sangat diperlukan adanya suatu bentuk

pembaharuan hukum (Law Policy) pada kebijakaan pembuat undang-undang

(Kebijakan Legislatif) sebagai bagian dari rangkaian pembangunan nasional

yang dilakukan secara menyeluruh dan terpadu meliputi hukum formil

maupun materiilnya sehingga kekosongan norma pada penekanan sanksi


14

terhadap komponen-komponen yang terkait dengan kegiatan pelacuran

selanjutnya nantinya melalui kebijakan hukum pidana dapat

mengkriminalisaikan kegiatan pelacuran menjadi tindak pidana yang jelas

tidak hanya akan menjatuhkan sanksi pidana kepada germo/mucikari saja

tetapi juga dapat memberikan sanksi pidana terhadap komponen-komponen

utama lainnya yakni penjatuhan sanksi pidana kepada pekerja seks

komersil/PSK serta penikmat/pengguna dari jasa PSK tersebut.

Terkait dengan masalah pengaturan mengenai sanksi pidana bagi

pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil termasuk

mengatur terkait kegiatan pelacuran sebagai suatu bentuk perbuatan kejahatan

masih diatur secara nasional dalam suatu peraturan perundang-undangan,

maka harus dilakukan pembaharuan hukum (law reform) yang merupakan

bagian dari pembangunan nasional. Pembaharuan hukum nasional sebagai

bagian dari rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh

dan terpadu baik hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi,

dan meliputi hukum formil maupun hukum materiilnya. Menurut Barda

Nawawi arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah

substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang ada.

Untuk itu dalam pandangannya beliau menyatakan bahwa pembaharuan

hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk

melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-

nilai sosio politik, sosio filosofik, dan sosio cultural masyarakat Indonesia

yang melandasi kebijakan social, kebijakan criminal, dan kebijakan penegakan

hukum di Indonesia.(Kenedi 2017)


15

Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutif oleh Nyoman Serikat Puetra

Jaya, mengatakan bahwa proses penegakan hukum itu menyangkut pula

sampai pata tahap pembuatan hukum/Undang-undang. Perumusan pikiran

pembuat undang-undang yang dituangkan dalam peraturan perundang-

undangan akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu nanti

dijalankan.(Jaya 2005) Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya

mengandung kebijkan Negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan,

baik kewenangan masyarakat pada umumnya untuk bertindak dan bertingkah

laku maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa/penegak hukum dalam

menjalankan tugasnya memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada

aturan yang telah ditetapkan. Kebijakan hukum pidana merupakan

serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahapan, yaitu :

1. Tahap kebijakan legeslatif / formulatif yakni kekuasaan dalam hal


menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana
yang berorientasi pada permaslahan pokok dalam hukum pidana
meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan
/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan
oleh pembuat undang-undang;
2. Tahap kebijakan yudikatif / aplikatif yakni kekuasaan dalam hal
menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau
pengadilan;
3. Tahap kebijakan eksekutif/administrative yakni kekuasaan dalam hal
melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.
(Mulyadi 2008)

Berdasarkan tiga tahapan kebijakan hukum pidana (penal policy)

tersebut diatas, penanggulangan kejahatan selalu diorientasikan pada upaya

mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagaiamana dinyatakan oleh Barda

Nawawi Arief, bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan


16

(criminal policy) pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya

perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahtraan

masyarakat (social welfare).(Arief 2015a)

Berdasarkan kenyataan dalam rangka penanggulangan masalah

kegiatan pelacuran, maka diperlukan suatu pendekatan yang berorientasi pada

kebijakan kriminalisasi yang merupakan bagian dari kebijakan criminal

dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu

termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy). Dengan

adanya kebijakan kriminalisasi yang merupakan suatu kebijakan dalam

menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu

tindak pidana, dapat mengarah kepada suatu pembaharuan hukum pidana

(penal law reform) untuk menanggulangi masalah pelacuran pada masa

mendatang.

Kriminalisasi, menurut Sudarto, dapat diartikan sebagai proses

penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana.

Proses itu diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, dimana perbuatan itu

diancam dengan sanksi berupa pidana.(Sudarto 1983) Perbuatan pidana hanya

menunjuk kepada sifatnya perbuatan yang dilarang oleh hukum, dan

pertanggunganjawaban pidana (kesalahan) menunjuk kepada orang yang

melanggar dapat dijatuhi pidana sebagairnana diancamkan. Rumusan di dalam

suatu pasal sedapat mungkin disesuaikan atau konsisten dengan pemikiran

bahwa yang dilarang oleh aturan hukum adalah perbuatannya, dan yang

diancam dengan pidana adalah orangnya yang melanggar larangan tersebut.

(Poernomo 2007) Berdasarkan uraian tersebut diatas, ketertarikan peneliti


17

untuk mengadakan penelitian ini akan dituangkan dalam suatu karya tulis

ilmiah dengan judul:

”Konsep Kriminalisasi Perbuatan Pelacuran Dalam Pembaharuan Hukum

Pidana Indonesia ”

1.2. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan penomena seperti tersebut di atas perlu

diadakan penelitian yang mendalam berkaitan dengan variabel tentang;

Konsep Kriminalisasi Pelacuran Dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Indonesia Yang berlandaskan Keadilan, dapat dirumuskan pokok

permasalahan sebagai berikut:

1. Urgensi Kriminialisasi Pada Perbuatan Pelacuran Dalam Hukum

Pidana Indonesia Saat Ini

2. Konsep Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Pelacuran Dalam Rangka

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini, yaitu :

1) Menganalisis dan menemukan Urgensi Kriminialisasi Pada

Perbuatan Pelacuran Dalam Hukum Pidana Indonesia Saat Ini;

2) Menganalisis dan menemukan Konsep kriminalisasi terhadap

perbuatan pelacuran dalam rangka pembaharuan hukum pidana

nasional yang berlandaskan keadilan di Indonesia


18

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini dapat dibagi dua, yaitu :

a. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara

teoritis untuk pengembangan studi hukum pidana khususnya dan

pembangunan ilmu hukum secara interdisiplin pada umumnya,

sehingga studi hukum tidak hanya dipahami dari sudut legalitas formal

tetapi perlu dikaitkan dengan sub sistem kemasyarakatan

yang lain.

b. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan

bagi praktisi/pembuat kebijakan hukum dalam hukum pidana, agar

dapt dipergunakan di dalam praktik. Sehingga adanya kesesuaian di

dalam pembuatan undang-undang, khususnya peraturan perundang-

undangan pidana dengan penerapannya.

1.5. Orisinalitas Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul: ” Konsep

Kriminalisasi Perbuatan Pelacuran Dalam Rangka Pembaharuan Hukum

Pidana Indonesia”, belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti

sebelumnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945

maupun Fakultas Hukum lainnya di Indonesia. Akan tetapi, permasalahan

dan pembahasan yang berkaitan dengan judul di atas telah diteliti oleh

beberapa orang, adapun desertasi-desertasi yang membahas yaitu :


19

1.5.1 Penelitian Terdahulu

Bentuk,
Tahun Dan Judul
No Rumusan Masalah Hasil Penelitian
Nama Penelitian
Peneliti
1 Disertasi, Bobot 1. Faktor gangguan Menelusuri bobot
Abd. Wahab Pengaruh kepribadian sangat pengaruh antara Faktor
Talib Faktor memberikan Kepribadian dan
(Program Kepribadian pengaruh terhadap Lingkungan sosial
Doktor UIN dan Lingkung perilaku Pelacuran, terhadap perilaku
Sunan Sosial terhadap Diperoleh hasil Pelacuran Pekerja Seks
Kalijaga Perilaku statistik bahwa Komersial, sebagai bahan
Yogyakarta), Pelacuran faktor kepribadian masukan dan solusi kritis
2007 (Study Tentang memberi pengaruh pada lembaga yang konsen
Pekerja Seks pada munculnya terhadap penanggulangan
Komersial di PSK antara lain, masalah PSK
Kota stresor kehidupan
Gorontalo yang berlangsung
suatu cepat, mendadak dan
Pendekatan sangat menonjol dan
Psikologi sering tidak bisa
Islam) dikendalikan, tidak
bisa diramalkan dan
tidak bida diinginkan
oleh individu
memaksa seorang
utnuk mencari jalan
pintas untuk keluar
dari masalah, serta
adanya stress dalam
perkawianan 2.
20

Faktor lingkungan
sosial yang
berpengaruh pada
munculnya PSK
antara lain faktor
pendidikan, status
pekerjaan stresor,
alasan, stres
perkawinan, masalah
keluarga
2 Disertasi, Penguatan 1. kebijakan (1) hal-hal yang menjadi
2016 Kebijakan kriminal yang penyebab kebijakan
Hervina Kriminal diterapkan belum kriminal yang diterapkan
Puspitosari Dalam Upaya mampu belum mampu
Penanggulanga menanggulangi menanggulangi cyber
n Cyber cyber prostitution prostitution belum ada
Prostitution 2. penguatan undang-undang yang
kebijakan melarang kerja seks.
kriminal yang Multitafsirnya makna
ideal dalam upaya “kesusilaan” dalam
menanggulangi ketentuan Undang-undang
cyber prostitution Nomor 11 Tahun 2008
di Indonesia tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
mengakibatkan lemahnya
implementasi peraturan.
Hambatan dari struktur
hukum antara lain masih
lemahnya sumber daya
manusia khususnya
penyidik yang memiliki
21

kemampuan dan skill,


masih kurangnya sarana
dan prasarana alat untuk
pengungkapan serta alat
pendukung digital
Forensik belum merata di
setiap wilayah.
(2) kebijakan kriminal
yang ideal dalam upaya
menanggulangi cyber
prostitutiondi Indonesia,
dari kajian substansi
hukum Undang-Undang
Informasi dan Transaksi
Elektronik hendaknya
tidak mencampuradukkan
ketentuan pidana dan
ketentuan perdata.
Sehingga perlu adanya
upaya law reform cyber
law yang di dalamnya
mengatur substansi terkait
dengan cyber prostitution.
Peraturan terkait
penanganan situs
bermuatan negatif
sebaiknya tertuang dalam
aturan berupa undang-
undang untuk menjamin
adanya partisipasi publik
dalam pembahasannya,
22

yang diwakili oleh DPR,


serta memastikan adanya
transparansi dan
akuntabilitas dalam
tindakan pembatasannya.

3 Susanne Nordic 1.Membandingkan Reformasi Kebijakan


Dodillet Prostitution proses kebijakan model Pelacuran Nordik:
University Policy Reform: Swedia dan Jerman Dia berhasil
of Susanne 1970-2000 mendokumentasikan
Gothenburg Dodillet’s “Är sehubungan dengan dampak dari
2009 sex arbete?” pelacuran dengan diberlakukannya UU
(Is Sex Work? menganalisa pembelian seks di Swedia
dokumen parlemen (The Swedish Sex
dan debat di media Purchase Act), yang
surat kabar selama melegalkan penjualan
empat dekake seksualitas
2. Memperdebatkan
hak untuk pekerja
seks, termasuk hak
pensiun yang banyak
mengundang
kontroversi
23

1.5.2 Kajian Penelitian Terdahulu

Berdasarkan beberapa disertasi tersebut diatas, Nampak adanya

persamaan dan perbedaan yang jelas baik secara substansi maupun pokok

penelitiannya dengan penelitian yang dibuat penulis, adapun perbedaannya

antara lain :

1. Disertasi dengan judul: “Bobot Pengaruh Faktor Kepribadian dan

Lingkung Sosial terhadap Perilaku Pelacuran (Study Tentang Pekerja

Seks Komersial di Kota Gorontalo suatu Pendekatan Psikologi

Islam)”. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan

dianalisa penulis adalah obyek kajian terkait penanggulangan

permasalahan perbuatan pelacuran, sedangkan perbedaan penelitian

ini peneliti mengfokuskan terkait perilaku psikologis terhadap

pekerja seks komersial yang dikaji pada pendekatan Psikologi Islam.

2. Disertasi dengan judul: “Penguatan Kebijakan Kriminal Dalam

Upaya Penanggulangan Cyber Prostitution”. Persamaan dengan

penelitian yang akan dilakukan penulis adalah objek kajian dalam

kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan pelacuran atau pelacuran,

sedangkan Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan

penulis adalah penelitian sebelumnya ini lebih menekankan

formulasi penanggulangan kegiatan pelacuran yang dilakukan

melalui internet pada Undang-Undang Informasi dan Teknologi

dikaitkan dengan hukum pidana Indonesia saat ini .

3. Disertasi dengan judul: “Nordic Prostitution Policy Reform: Susanne

Dodillet’s “Är sex arbete?” (Is Sex Work?)”. Persamaan penelitian


24

ini dengan penelitian yang akan penulis angkat adalah objek

kajiannya pada reformulasi kebijakan formulasi hukum perbuatan

pelacuran, sedangkan Perbedaannya dengan peneliti letaknya

dimana penelitian sebelumnya mengkritisasi formulasi yang

melegalkan pelacuran di Negara Swiss, namun peneliti hanya

memfokuskan terhadap dampak yang terjadi pada Negara Swiss

setelah Legalisasi pelacuran tanpa mengkriminaliasi pelacur ataupun

pengguna jasa nya bukan mengkaji untuk mengkriminalisasi

pelacuran sebagai suatu tindak pidana.

1.6. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep

Landasan teoritis adalah langkah buat meneliti atau menelaah teori

hukum umum atau teori khusus, konsep hukum, atas dasar hukum, peraturan

hukum, norma-norma serta hal lain yang akan digunakan sebagai dasar

untuk menganalisis masalah penelitian.(Program Doktor Ilmu Hukum 2015)

Mark van Hoeke mengatakan: “theory building aims at combining specific

interpretations, principles, rules and concepts in a (newly) systematized

whole”.(Van Hoecke 2011) Dalam konteks ini hanya fokus pada masalah

kebijakan kriminalisasi pelacuran dalam pembaharuan hukum pidana.

Pembahasan di dalam penelitian ini juga didukung dengan sejumlah

teori yang bisa dipakai sebagai landasan teoritis dengan mengkaji serta

menganalisis permasalahan tersebut. Pemakaian teori hukum adalah bagian

penting di dalam suatu riset, karena manfaat teori hukum dalam penelitian

hukum sebagai pisau analisis terhadap pembahasan mengenai pristiwa

maupun fakta hukum yang dikemukakan di dalam permaslahan penelitian.


25

(Fajar and Achmad 2010) Suatu Undang-undang dapat ditelaah dari sudut

pandang normative, secara garis besar ilmu hukum bisa ditelaah dengan

studi law in books.(Asikin 2006) Merujuk pada penjabaran tersebut, dengan

demikian jelas agar dapat menelaah suatu masalah hukum secara mendalam

dibutuhkan teori yakni berupa rangkaian asumsi, konsep, definisi serta

proposisi agar dapat menerangkan suatu gejala social secara sistimatis

melalui cara merumuskan atau memformulasikan hubungan antar konsep.

(Burhan 2004)

Landasan teoritis yang digunakan sebagai pisau analisa dalam terdiri

dari; teori keadilan, teori perundang-undangan, teori kebijakan hukum

pidana dan teori pemidanaan. menggunakan teori-teori dari para sarjana dan

ahli hukum yang relevan untuk mengkaji permasalahan hukum yang

diangkat pada penelitian ini. Kemudian untuk memperdalam pada

pembahasan permasalahan hukum yang diangkat dalam penelitian ini

digunakan juga konsep-konsep hukum diantaranya; konsep pelacuran,

konsep kriminalisasi dan konsep pembaharuan hukum pidana.

1.6.1 Teori -Teori Hukum

A. Teori Keadilan

Pada sub bab ini akan dibahas teori keadilan yang sekiranya

akan dijadikan sebagai pisau analisis pada kedua rumusan masalah

pada penelitian ini. Keadilan kata dasarnya “Adil” berasal dari bahasa

Arab yang berarti berada di tengah-tengah, jujur, lurus, dan tulus.

Dalam adil terminologis berarti sikap yang bebas dari diskriminasi,

ketidak jujuran. jadi orang yang adil adalah orang sesuai dengan
26

standar hukum baik hukum agama, hukum positif (hukum negara),

serta hukum sosial (hukum adat) berlaku.

Keadilan adalah perlakuan yang seimbang antara hak dan

kewajiban, keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan

menajalankan kewajiban atau dengan kata lain keadilan adalah

keadaan bila setiap orang mempcroleh apa yang menjadi haknya, dan

setiap orang memperoleh bagian yang sama dan kekayaan bersama.

(Safa’at 2012) Keadilan dapat dimaknai sebagai legalitas adalah adil

jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus di mana menurut isinya

memang aturan tersebut harus diaplikasikan, adapun tidak adil jika

suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain

yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang

tidak berhubungan dengan isi tataran aturan positif, tetapi dengan

pelaksanaannya. Legalitas, pernyataan bahwa tindakan individu adil

atau tidak adil berarti legal atau illegal, yaitu tindakan tersebut sesuai

atau tidak dengan norma hukum yang valid untuk menilai sebagai

bagian dari tata hukum positif.

Konteks keadilan merupakan suatu yang "maha" luas meliputi

hukum, sosial, agama, dan sebagainya. Namun demikian terlepas dari

itu, sesuatu hal yang pasti adil adalah bahwa prinsip keadilan

menghendaki tujuan hukum bagi setiap Negara hukum. Prinsip

keadilan menghendaki agar setiap tindakan institusi atau pejabat

pemerintahan Negara (daerah) senantiasa memperhatikan aspek

keadilan dan kewajaran.(Thamrin 2013) Para penganut positivisme


27

dengan keras menuntut supaya hukum yang dibentuk besifat adil.

(Huijbers 1999) Hal keadilan juga nampak dalam konsep pemikiran

utilitarianisme bahwa tujuan hukum memberikan kescjahtraan bagi

masyarakat, konsep ini melekat dalam alinea kedua Pembukaan UUD

1945 "adil dan makmur.(Wignjosoebroto 2013)

John Rawls menyatakan bahwa keadilan pada dasarnya

merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk

konsepsi jumlah dari kesejahteraan seluruh kelompok dalam

masyarakat. Untuk mencapai keadilan tersebut, maka rasional jika

seseorang memaksakan pemenuhan keinginannya sesuai dengan

prinsip kegunaan, karena dilakukan untuk memperbesar keuntungan

bersih dari kepuasan yang akan diperoleh oleh anggota masyarakatnya.

Berkaitan dengan konsep keadilan tersebut, maka dalam hukum udara

dikenal beberapa sistem tanggung jawab keperdataan, yaitu tanggung

jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan atau tanggung jawab

berdasarkan perbuatan melawan hukum (based on fault liability),

tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability), dan

tanggung jawab mutlak (strict liability). Keadilan menurut Rawls pada

dasarnya merupakan sebuah fairness, atau yang ia sebut sebagai pure

procedural justice. Dari gagasan itu, teori keadilan Rawls

mengaksentuasikan pentingnya suatu prosedural yang adil dan tidak

berpihak yang memungkinkan keputusan-keputusan politik yang lahir

dari prosedur itu mampu menjamin kepentingan semua orang. Lebih

jauh, fairness menurut Rawls berbicara mengenai dua hal pokok,


28

pertama, bagaimana masing-masing dari kita dapat dikenai kewajiban,

yakni dengan melakukan segala hal secara sukarela persis karena

kewajiban itu dilihat sebagai perpanjangan tangan dari kewajiban

natural (concept of natural law) untuk bertindak adil, kedua, mengenai

kondisi untuk apakah institusi (dalam hal ini negara) yang ada harus

bersifat adil. Itu berarti kewajiban yang dituntut pada institusi hanya

muncul apabila kondisi yang mendasarinya (konstitusi, hukum,

peraturan-peraturan di bawahnya) terpenuhi.

Teori ini dapat diberlakukan untuk rumusan masalah pertama

mengenai urgensi.

B. Teori Perundang-undangan

Secara teoritis, tata urutan perundang-undangan dapat dikaitkan

dengan ajaran Hans Kelsen mengenai Stufenbau des Rerht atau The

hierarchy of law yang berintikan bahwa kaidah hukum merupakan

suatu susunan berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah

bersumber dari kaidah yang lebih tinggi. Memahami teori Stufenbau

des Recht, harus dihubungkan dengan ajaran Kelsen yang lain yaitu

Reine Rechtslehre atau The pure theory of law (teori murni tentang

hukum) dan bahwa hukum itu tidak lain “command of the sovereign”

kehendak berkuasa.(Manan 2004b)

Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar

yang berada di puncak piramid dan semakin ke bawah semakin

beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin

ke bawah semakin konkret. Daram proses itu, apa yang semula berupa
29

sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat”

dilakukan.

Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum termasuk dalam sistem

norma yang dinamik (nomodynamics) karena hukum itu selalu

dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas

yang berwenang membentuknya sehingga dalam hal ini tidak dilihat

dari segi norma tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau

pembentukannya.(H. Kelsen 1946) Hukum itu adalah sah (valid)

apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang

membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi, sehingga

dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh

norma yang lebih tinggi (superior) dan hukum itu berjenjang-jenjang

dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarki.

Lebih jauh Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai

jenjang norma hukum (stufentheorie), bahwa norma-norrna hukum itu

berjanjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata

susunan, dinama suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber,

dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norrna yang lebih tinggi

berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi

demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat

ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dari fiktif, yaitu Norma

Dasar (Grundrorm).

Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-

peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi


30

antara grundnorm yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama

dengan grundnorm pada tata hukum B. Grundrorm ibarat bahan bakar

yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundrorm memiliki

fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan

mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum. Norma Dasar

Grurdnorm atau disebut juga Ursprungsnorm atau umorm

sebagaimana yang disebut bersifat pesupposed dan tidak dapat

ditelusuri lebih lanjut dasar berlakunya sehingga diperlukan

menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat diperdebatkan lagi,

sesuatu yang fiktif, suatu aksioma.

Menurut sistern hukum Indonesia, peraturan perundang-

undangan (hukum tertulis) di susun dalam suatu tingkatan yang disebut

hierarki peraturan perundang-undangan. Terlihat di dalam UU Nomor

10 Tahun 2004 yang diperbaharui dengan Undang-undsang Nomor 12

Tahun 2011 (selanjutnya dibaca Undang-undang Nomor 12 Tahun

2011) tentang Pernbentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan

perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis tersebut

mengandung konsekuensi bahwa suatu peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh hertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan

demikian mengandung beberapa prinsip:


31

1. Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih rendah harus


bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi;
2. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.

Hukum pidana mempunyai kekuatan berlaku karena dibuat oleh

badan legisiatif, sedangkan badan legislatif mempunyai wewenang

untuk itu atas dasar ketentuan undang-undang dasar (Konstitusi).

Konstitusi menurut Hans Kelsen kekuatan hukumnya berasal dari luar

hukum, yaitu dari hypothese atau grundnorm. Ilmu pengetahuan

hukum menganggap benar adanya hypothese atau grundnorm yang

pertama kali, maka kalau grundnrorm itu tekah diterima oleh

masyarakat harus ditaati. Jadi ilmu pengetahuan hukum itu menurut

Kelsen menyelidiki tingkatan norma-norma, kekuatan berlaku dari tiap

norma yang tergantung dari hubungannya yang logis dengan norma

yang lebih tinggi sampai akhirnya pada suatu hypothese yang pertama.

Hypothese pertama bersikap abstrak, tetapi bila ditelusuri menuruni

tangga urutan norma-norma itu maka makin lama norma tersebut

menjadi lebih korrkrit, sehingga pada akhirnyo sampai pada norma

yang memaksakan kewajiban kepada individu tertentu yang mungkin

berupa suatu putusan pengadilan ataii perintah pejabat atau perikatan

itu hanyalah pelaksanaan dari suatu norma yang lebih tinggi.


32

Pandangan Hans Kelsen tentang tata huknm sebagai suatu bangunan

norma-norma yang tersusun secara heirakis disebut Stufenbau Theori.

Perubahan hukum yang mengungkapkan karakter dinamis dari

sistem normatif dan fungsi norma dasar, juga mengungkapkan suatu

kekhasan lebih lanjut dari hukum; hukum mengatur pembentukannya

sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat

suatu norma hukum lainnya, dan juga sampai derajat tertentu,

menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya tersebut.

Karena suatu norma hukum itu valid lantaran dibuat menurut caara

yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum

lainnya ini adalah landasan validitas norma hukum yang disebut

pertama.

Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta, bahwa

pembentukan norma yang satu yakni norma yang labih rendah

ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya

ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regresys

ini (rangkaian proses pembentukan hukum) diakhiri oleh suatu norma

dasar tertinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas

keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum.

Dalam teori perundang-undangan juga harus tunduk pada asas-

asas tertentu, yaitu : Asas yang bersumber pada politik konstitusi dan

ketentuan UUD (asas konstitusional dalam penerapan hukum);

1. Asas tidak berlaku surut (nonretroaktif);


2. Asas peralihan hukum;
33

3. Asas pertingkatan peraturan perundang-undangan (lex superior


derogate legi inferiori);
4. Asas aturan hukum yang khusus dan mengesampingkan aturan
hukum yang umum (lex specialis derogate legi generalis);
5. Asas aturan hukum yang baru mengesampingkan aturan hukum
yang lama (lex posterior derogate legi priori);
6. Asas mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis dari
hukum tidak tertulis;
7. Asas kepatuhan, keadilan, kepentingan umum dan ketertiban
umum.(Manan 2004a)

Teori ini dipilih menjadi Grand Teory yang digunakan sebagai

pisau Analisa untuk menemukan permasalahan didalam Disertasi ini.

Teori ini akan menyelesaikan rumusan masalah nomor 2.

C. Teori Sistem Hukum

Hukum Indonesia merupakan suatu sistem. Artinya hukum

Indonesia bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan-

peraturan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri, melainkan

makna keberadaan dari suatu peraturan hukum ialah karena

hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum yang

lain. Perlu dipahami bahwa sebagai suatu sistem maka hukum

Indonesia merupakan suatu tatanan, merupakan suatu kesatuan yang

utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling

berkaitan erat satu sama lain untuk mencapai tujuan. Masing-masing

unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan unsur lainnya dan dengan

keseluruhannya.

Beberapa alasan lain yang dikemukakan oleh Satjipto Raharjo

untuk mempertanggungjawabkan bahwa hukum itu merupakan satu


34

sistem adalah sebagai berikut: suatu sistem hukum itu dapat disebut

demikian karena ia bukan sekedar merupakan kumpulan peraturan-

peraturan belaka. Kaitan yang mempersatukannya, sehingga tercipta

pola kesatuan yang demikian adalah: masalah keabsahan.(Rahardjo

2009) Peraturan-peraturan itu diterima sebagai sah apabila

dikeluarkan dari sumber atau sumber-sumber yang sama, seperti

peraturan hukum, yurisprudensi dan kebiasaan. Sumber-sumber yang

demikian itu dengan sendirinya melibatkan kelembagaan seperti

pengadilan dan pembuat undang-undang.

Setiap sistem mengandung beberapa asas yang menjadi

pedoman dalam pembentukannya dan dapat dikatakan bahwa suatu

sistem adalah tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya

dengan demikian sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang

keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam hubungan

fungsional. Kalau dikatakan bahwa hukum itu sebagai suatu sistem,

artinya suatu susunan atau tataan teratur dati aturan-aturan hidup.

Misalnya dalam hukum perdata sebagai sistem hukum Positif.

Menurut Satjipto Raharjo secara sosiologis fungsi hukum adalah

a. Social control (kontrol sosial)

Social control yaitu mempengaruhi warga masyarakat agar

bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai

aturan hukum termasuk nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Yang

termasuk lingkup kontrol sosial adalah :


35

1) Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan


peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang
dengan orang.
2) Menyelesaikan sengketa dengan masyarakat.
3) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam
hal terjadi perubahan-perubahan sosial.

b. Social engeneering (rekayasa sosial)

1) Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib


atau keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh
pembuat hukum.
2) Fungsi ini lebih mengarah pada pembahasan sikap dan
perilaku masyarakat dirasa mendatang sesuai dengan
keinginan pembuat undang-undang.

Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil

pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang

baru di masyarakat.

Inilah yang merupakan salah satu batas didalam penggunaan

hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perilaku, ini semua

termasuk apa yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran dari unsur-

unsur kebudayaan tertentu didalam masyarakat yang bersangkutan.

Proses diffusi tersebut antara lain dapat dipengaruhi oleh :

a. Pengakuan bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di


dalam hal ini adalah hukum), mempunyai kegunaan.
b. Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya,
yang mungkin merupakan pengaruh negatif ataupun positif.
c. Sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan
ditolak oleh masyarakat, karena berlawanan dengan fungsi unsur
yang lama.
36

Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan

hukum, mempengaruhi efektifitas hukum di dalam merubah serta

mengatur perilaku warga masyarakat.(Rahardjo 2007) Tiga unsur

yang perlu diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu :

1. Kepastian hukum
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel
terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharap adanya
kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
2. Kemanfaatan
Hukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak
hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat, jangan sampai timbul keresahan di dalam
masyarakat karena pelaksanaan atau penegak hukum.
3. Keadilan
Hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat
umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan
tidak menyamaratakan.
37

Berikut model bagan bekerjanya hukum dalam masyarakat:

Bagan 1.
Reorientasi bekerjanya Hukum dalam Masyarakat

KAIDAH AGAMA KAIDAH SOSIAL

Interaksi Kehidupan Manusia


Social Control Dalam Masyarakat

Sanksi Sosial
STRUKTUR
KAIDAH SISTEM
HUKUM
NORMATIF HUKUM

TIMBUL
MODERNISAS
PERUBAHAN
KESENJANGAN I
TERJADI
EVOLUSI
PERUBAHAN
KESADARAN

HUKUM
FUNGSI HUKUM SEBAGAI SARANA
PENGENDALIAN SOSIAL DAN SARANA
KONTROL SOSIAL

DIBUTUHKAN HUKUM

FORMAL

IMPLEMENTASI
PENGARUH PENAFSIRAN
PENGATURAN
FAKTOR
METODE

PENAFSIRAN
38

Mengenai efektivitas hukum, Lawrence M. Friedman

mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan

hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum

(struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya

hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak

hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan

budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut

dalam suatu masyarakat.

Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan:

“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system
consist of elements of this kind: the number and size of courts;
their jurisdiction …Strukture also means how the legislature is
organized …what procedures the police department follow, and so
on. Strukture, in way, is a kind of crosss section of the legal system…
a kind ofustill photograph, with freezes the action.” (Lawrence M
Friedman, 2019)
(Sistem hukum pada awalnya memiliki struktur sistem hukum yang
terdiri dari unsur-unsur seperti: jumlah dan ukuran pengadilan;
yurisdiksi mereka …Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif
diatur …prosedur apa yang diikuti oleh departemen kepolisian, dan
seterusnya. Struktur, dengan cara, adalah semacam penampang
sistem hukum ... semacam foto diam, dengan membekukan
tindakan).

Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini,

jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinnya (termasuk jenis kasus

yang berwenang mereka periksa), dan tata cara naik banding dari

pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana

badan legislativ ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh

presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya.


39

Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana

hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur

ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan

serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. (Marzuki, 2019)

Substansi hukum menurut Friedman adalah: “Another

aspect ofuthe legal system is its substance. By this is meant the

actual rules, norm, and behavioral patterns ofupeople inside the

system …the stress here is on living law, not just rules in law

books.”(Lawrence M. Friedman, 2019) (Aspek lain dari sistem hukum

adalah substansinya. Yang dimaksud dengan aturan, norma, dan pola

perilaku aktual orang-orang di dalam sistem yang ditekankan di sini

adalah hukum yang hidup, bukan hanya aturan dalam buku hukum).

Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang

dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola

perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi

hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku

yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi

aparat penegak hukum.

Sedangkan mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat:

“The third component of legal system, of legal culture. By this we

mean people’s attitudes toward law and legal system their beliefu…in

other word, is the climinate of social thought andusocial force wicch

determines how law is used, avoided, or abused.”(Komponen ketiga

dari sistem hukum, budaya hukum. Yang kami maksud dengan ini
40

adalah sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum

kepercayaan mereka … dengan kata lain, adalah iklim pemikiran

sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum

digunakan, dihindari, atau disalahgunakan).

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan

sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya)

terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan

struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan

sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung

budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan

masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara

efektif.

Bagan 2. Teori Sistem Hukum - Lawrence M. Friedman

Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti pabrik,

dimana “struktur hukum” adalah mesin, “substansi hukum” adalah apa

yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu dan “kultur hukum”

adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk


41

menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan

bagaimana mesin itu digunakan.

Bagan 3. Interaksi Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum

PERUBAHAN SOSIAL PERUBAHAN

HUKUM
MENGHASIL DUA

PARADIGMA

Hukum melayani kebutuhan Hukum dapat menciptakan perubahan sosial


dalam masyarakat atau setidak-tidaknya
masyarakat, agar hukum tidak dapat memacu perubahan-perubahan yang
berlangsung dalam masyarakat
akan menjadi ketinggalan oleh

 Perubahan cenderung  Law as a tool of social


diikuti oleh sistem lain engineering
karena dalam kondisi  Law as a tool of direct
ketergantungan social
 Ketertinggalan hukum  Berorientasi ke masa
di belakang perubahan depan (forward look-
sosial ing)
 Penyesuaian yang cepat  Ius Constituendum
dari hukum kepada  Hukum berperan aktif
keadaan baru.  Tidak hanya sekedar
 Hukum sebagai fungsi menciptakan ketertiban
pengabdian tetapi menciptakan dan
 Hukum berkembang mendorong terjadinya
mengkuti kejadian perubahan dan
berarti ditempatnya

 Per UU-an
 Pengkajian
Hukum
 Pendidikan
Hukum
42

Bagian yang lebih besar dari hukum adalah berkaitan dengan

pelanggaran seksual, penciptaan perundang-undangan yang sangat sulit

untuk dipastikan hubungan logisnya, antara konsep pelanggaran legal

dan ide-ide moral yang sebagian besar kita pegang. Fungsi hukum

kriminal adalah adalah menjaga ketertiban dan kesusilaan publik,

melindungi warga dari apa yang bisa menyerang atau melukai mereka,

dan menyediakan garis pengaman yang cukup untuk melawan

eksploitasi. Fungsi hukum untuk mengintervensi kehidupan privat

warga , atau berusaha memperkuat pola tingkah laku tertentu, lebih dari

yang dibutuhkan guna mencapai tujuan-tujuan.(R.M. Dworkin 2013)

D. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Salah satu wacana yang mengemukan dan mempengaruhi

jalannya reformasi politik dan ekonomi di Indonesia adalah good

govenance. Wacana ini menekankan pentingnya suatu kepemerintahan

kolaboratif yang mengikutsertakan stakeholder di luar negara dalam

proses pengambilan kebijakan. Kolaborasi antara negara dengan aktor

lain di luarnya ini menjadi sarat bagi efektifitas sebuah kebijakan.

Negara tidak akan dapat memahami permasalahan masyarakat dengan

tepat tanpa adanya peran aktor lain yang dekat dengan masyarakat

sekaligus memahami permasalahannya. Negara dalam kebijakan

publik sering dijadikan stakeholder tunggal.

Namun dalam wacana good governance, proses kebijakan

kebijakan diharapkan selalu melibatkan stakeholder besar, yaitu negara

(pemerintahan), kalangan swasta, dan masyarakat sipil. Dalam wacana


43

good governance, kebijakan tidak lagi menjadi domain negara karena

kalangan swasta dan masyarakat sipil pada dasarnya memiliki sumber

daya yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas sebuah

kebijakan. Selain itu, kalangan swasta dan masyarakat sipil juga dapat

mengambil sebuah kebijakan karena ketidakmampuan negara.

Kebijakan berawal dari istlah “Policy” (dalam bahasa inggris)

ataupun “politiek” (dalam bahasa Belanda). Peristilahan tersebut dapat

dimaknakan sebagai asas-asas umum yang fungsinya memberikan

arahan pada pemerintah mapun aparat penegak hukum di dalam

mengurus, mengatur ataupun menuntaskan, menyelesaiakan masalah-

masalah public. Persoalan-persoalan masyarakat ataupun aspek-aspek

penyususnan peraturan hukum serta menentukan banyaknya hukum

ataupun peraturan di dalam satu tujuan umum yang menyasar pada

langkah demi terwujudnya kemakmuran serta kesejahtraan rakyat.

Kebijakan hukum atau kebijakan kriminal sebagai bentuk

kebijakan publik dalam menanggulangi masalah kejahatan tidak dapat

lepas dari perubahan wacana dalam proses kebijakan ini. Selama ini

kebijakan kriminal dipahami sebagai ranah Sistem Peradilan Pidana

(SPP) yang merupakan reprentasi dari negara. Selain itu, kebijakan

kriminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan hukum saja.

Dengan semakin meningkat, rumit dan variatifnya dalam kejahatan,

SPP tidak lagi dapat dijadikan satu-satunya stakeholder dalam

kebijakan kriminal. Khususnya dalam upaya pencegahan kejahatan.

Lembaga-lembaga negara yang difungsikan untuk melakukan


44

pencegahan kejahatan harus melakukan kolaborasi yang

terlembagakan dengan sipil dan kalangan swasta.

Istilah “Kebijakan” di dalam penelitian ini diambil dari istilah

“policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Berdasarkan dari istilah

asing tersebut, maka istilah “Kebijakan Hukum Pidana” bisa juga

dikatakan dengan “politik hukum pidana”. Dalam refrensi asing istilah

tentang poltik hukum pidana acap kali dikenal dengan beragam istilah,

yakni “penal policy”, “criminal law policy” atau

“strafrechtspolititiek”. Menurut Soedarto, politik hukum adalah :

a) Upaya demi melahirkan peraturan hukum yang baik serta


peraturan-peraturan yang baik serta serasi dengan kondisi
serta situasi pada satu saat.
b) Kebijakan dari Negara dengan badan-badan yang memiliki
kekuasaan demi menentukan peraturan yang diinginkan yang
diprediksi dapat dipakai untuk mengungkapkan apa yang
terdapat di dalam masyarakat serta demi meraih sesuatu yang
di cita-citakan.(Soedarto 2006)

Marc Ancel, mengemukakan pendapatnya bahwa penal policy,

ialah suatu pengetahuan sekaligus keterampilan yang memilik tujuan

praktis demi dimungkinkannya peraturan yang berlaku saat ini

diformulasikan lebih baik lagi serta demi membagikan panduan kepada

legislator serta aparat penegak hukum lainnya yang menerapkan aturan

hukum. Kebijakan hukum pidana ialah bagian elemen/unsure model

criminal science selain criminal law dan criminology.


45

Menurut Marc Ancel, mengatakan, bahwa “Criminology”

terdiri dari tiga unsure, yakni “criminology”, “criminal law”, serta

“penal policy”. Selanjutnya “criminal policy” dapat diberikan

pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by

society. Kemudian dikemukakan, bahwa “penal policy” adalah suatu

pengetahuan sekaligus ketrampilan yang memiliki tujuan praktis demi

dimungkinkannya peraturan yang berlaku saat ini diformulasikan lebih

baik lagi serta demi membagikan panduan kepada legislator serta

aparat penegak hukum lainnya yang menerapkan aturan hukum,

selanjutnya dikatakan olehnya :

Between the study of criminological factor on the hand, and the


legal technique on the other, there is room for a science which
observes legislative phenomenon and for a rational art within
which scholar and pragtitioner, criminologist and lawyers can
come together, not as antagonist or fratricidal strife, but as
fellow-workers engaged in a common taks, which is first and
foremost to bring into effect a realistic, humane, and healthily
progressive penal policy.
(terjemahan bebas: diantara riset tentang penyebab-penyebab

kriminologis di salah satu pihak serta riset tentang teknik perundang-

undangan di pihak lainnya, terdapat ruang untuk suatu ilmu

pengetahuan yang melihat serta menganalisis fenomena legeslatif

serta untuk suatu ketrampilan yang logis, yang mana para pakar serta

praktisi, para pakar kriminologi serta pakar hukum bisa bekerja sama

dan bukan sebagai pihak yang berselisih, namun sebagai team yang
46

terikat dalam pekerjaan bersama, yakni utamanya demi menghasilkan

suatu kebijakan pidana yang realistis, humanis, serta berfikiran maju).

Upaya tersebut melingkupi pembuatan peraturan hukum serta

kegiatan aparat penegak hukum sebagaimana tugas serta fungsinya

sendiri bahwa kebijakan pidana tiada dapat bergerak sendiri, karena

bartalian dengan penegak hukum baik hukum pidana, hukum privat,

ataupun hukum administrasi.(Suartha 2015b) Ruang lingkup penal

policy melewati tingkat-tingkat fungsionalisasi hukum pidana yang

antara lain :

a) Tingkat perumusan/formulasi, yakni tingkat penegakan hukum


in abstracto oleh legislator, tingkat ini dikatan sebagai tingkat
kebijakan legeslatif;
b) Tingkat penerapan/aplikasi, yakni tingkat implementasi
hukum pidana in contreto oleh aparat penegak hukum dimulai
pada tingkat penyeledikan di Kepolisian sampai pada tingkat
Pengadilan. Tingkat ini dikatakan sebagai tingkat yudikatif;
c) Tingkat eksekusi, yaitu tingkat penerapan hukum pidana
secara nyata oleh aparat pelaksana hukum pidana, tingkat ini
dikatakan sebagai tingkat administrative.

Tingkat perumusan/formulasi ialah tingkat yang sangat

penting di dalam seluruh proses kebijakan demi dapat

mengimplementasikan serta mengoprasionalkan pemidanaan serta

sanksi pidananya. Tingkatan ini dilalui dengan memformulasikan

peraturan-peraturan tentang perbuatan yang dilarang serta diwajibkan

oleh hukum, akibatnya menjadi panduan di dalam memutuskan garis

kebijakan untuk tingkatan selanjutnya yakni tingkatan implementasi


47

pidana oleh badan peradilan, serta tingkatan implementasi pidana,

kesalahan ataupun kelemahan kebijakan legeslatif ialah kesalahan

strategis sebagai kendala usaha pencegahan serta penanggulangan

kejahatan di tingkat penerapan maupun eksekusi. Tahap pelaksanaan

pidana, kesalahan atau kelemahan kebijakan legeslatif merupakan

kesalahan strategis yang menjadi hambatan upaya pencegahan serta

penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi maupun eksekusi.

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan

menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) sering dikenal

dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”.

Marc Ancel, berpendapat bahwa kebijakan hukum pidana (penal

policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya

mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum

positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman

tidak hanya kepada pembuat undang-undang, melainkan juga kepada

pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para

pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy)

tersebut merupakan salah satu Komponen dari model criminal science

disamping criminology dan criminal law.

Sudarto berpendapat bahwa melaksanakan “politik hukum

pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil

perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat

keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain dikemukakan pula,

bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” mempunyai arti sebagai


48

usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa

yang akan datang.

Mengingat pentingnya tahap formulasi dalam fungsionalisasi

atau operasionalisasi keibijakan hukum pidana (penal policy), maka

kebijakan penggunaan sanksi pidana dalam Perda sebagai bagian dari

kebijakan hukum pidana (penal policy) sudah seharusnya

memperhatikan ukuran atau kriteria iersebut di atas. Dasar

Pertirnbangan adanya kebijakan penggunaan sanksi pidana dalam

Perda melalui pencantuman ketentuan (ancaman) pidana seharusnya

tidak boleh melepaskan dari ukuran atau kriteria dalam kebijakan

kriminalisasi. Pembentuk peraturan tidak hanya menetapkan tentang

perbuatan-perbuatan yang dapat dikenai hukum pidana, tetapi juga

menunjuk macam-macam sanksi yang dapat diterapkan; begitu pula

maksimum ukuran pidana.

Penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau

dikenakan kepada si pelanggar mempunyai hubungan yang erat dengan

sistern pidana dan pemidanaan. Sistem pidana dan pemidanaan

tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang cukup luas. Hal tersebut

sebagaimana dikemukakan oleh L.H.C. Hulsman, bahwa “the

sentencing sistem is the statutory rules relating to penal sanctions and

punishment” (Terjemahaan: sistem pemidanaan adalah aturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan

pemidanaan). Sistem pidana dan pemidanaan tersebut dapat mencakup


49

beberapa sub-sistem pidana dan pemidanaan. Sub-sistem pidana dan

pemidanaana tersebut yaitu dapat dilihat dari masalah jenis sanksi

pidana, masalah perumusan sanksi pidana dan masalah jumlah atau

lamanya ancaman pidananya.(Hulsman 1978)

Berdasarkan pengertian diatas, kebijakan hukum pidana pada

hakekatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-

undangan pidana yang baik agar sesuai dengan keadaan pada waktu

tertentu (ius costitutum) dan masa mendatang (ius constituendum).

Dua masalah sentral dalam kebijakan hukum pidana dengan

menggunakan sarana sentral (hukum pidana), ialah masalah penentuan:

a) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;


b) Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada di pelanggar.

Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat

dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan criminal dengan

kebijakan social. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana termasuk

pula kebijakan dalam menangani dua maslah sentral diatas harus pula

dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy

oriented approach). Bertolak dari pendekatan kebijakan tersebut dalam

menghadapi masalah sentral yang pertama diatas sering disebut dengan

“kebijakan kriminalisasi”.

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam

menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak

dipidana) menjadi suatu pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Pada


50

hakekatnya kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan criminal

(criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal),

dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana”

(penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.(Arief 2005)

Teori diatas merupakan pisau analisis yang digunakan untuk

dapat menjawab rumusan masalah yang pertama mengenai urgensi.

Bahwa bagaimana kebijakan dalam pidana tersebut mengatur

perubahan perubahan hukum pidana.

E. Teori Pemidanaan

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pada

umumnya. Hukum pidana ada untuk memberikan sanksi bagi siapa

saja yang melakukan kejahatan. Berbicara mengenai hukum pidana

tidak terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan pemidanaan. Arti

kata pidana pada umumnya adalah hukum sedangkan pemidanaan

diartikan sebagai penghukuman.

Moeljatno membedakan istilah pidana dan hukuman. Beliau

tidak setuju terhadap istilah-istilah konvensional yang menentukan

bahwa istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah dihukum

berasal dari perkataan word gestraft. Beliau menggunakan istilah yang

inkonvensional, yaitu pidana untuk kata straf dan diancam dengan

pidana untuk kata word gestraft. Hal ini disebabkan apabila kata straf

diartikan hukuman, maka kata straf recht berarti hukum-hukuman.

(Moeljanto 1985) Menurut Moeljatno, dihukum berarti diterapi

hukum, baik hukum perdata maupun hukum pidana. Hukuman adalah


51

hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang mempunyai arti lebih

luas, sebab dalam hal ini tercakup juga keputusan hakim dalam

lapangan hukum perdata.

Pemidanaan merupakan bagian penting dalam hukum pidana

hal tersebut dikatakan demikian karena pemidanaan merupakan puncak

dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah

bersalah melakukan tindak pidana. Hukum pidana tanpa pemidanaan

berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti

terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang

kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan

pidana dan proses pelalsanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai

“dapat dicela”, maka di sini pemidanaan merupakan “perwujudan dari

celaan” tersebut.(Chairul Huda 2015)

Jadi pada umumnya teori pemidanaan itu dibagi ke dalam tiga

kelompok teori, yaitu :

1. Teori Absolut atau Teori pembalasan (Vergeldings Theorien)

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena

orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini

diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan

pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis,

seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan

mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi

menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah

pembalasan (revegen).(Farid 2007)


52

Sebagaimana juga pendapat dari Prof. Muladi bahwa “Teori

absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan

atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada

perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori

ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana

dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu

kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai

suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan

sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.”

Dari teori di atas, nampak jelas bahwa pidana merupakan

suatu tuntutan etika, dimana seseorang yang melakukan

kejahatan akan dihukum dan hukuman itu merupakan suatu

keharusan yang sifatnya untuk membentuk sifat dan merubah

etika dari yang jahat menjadi lebih baik.

2. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)

Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pada dasar bahwa

pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam

masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar

pemikirannya adalah penjatuhan pidana mempunyai tujuan untuk

memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku pidana tidak

berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental.

Menurut Muladi tentang teori ini bahwa “Pemidanaan bukan

sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana

mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat


53

menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada

tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan

kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas

keadilan.”

Teori ini menunjukkan tujuan pemidanaan sebagai sarana

pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie) yang

ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general

preventie) yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif ini berasas

pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu prevention, detterence,

dan reformation. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi

masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari

masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan

rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar

tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai

langkah panjang.Sedangkan tujuan perubahan (reformation)

untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya

pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali

melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia

yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

3. Teori Gabungan/Modern (Vereningings Theorien)

Teori gabungan atau teori modern menyatakan bahwa

tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan

antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan)

sebagai satu kesatuan. Teori ini mengandung karakter


54

pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik

moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan

karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral

tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana

di kemudian hari.

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel,

Van List dengan pandangan sebagai berikut:(D. Prakoso and

Dakwaan 2011)

a. Tujuan terpenting pidana adalah memberantas


kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.
b. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana
harus memperhatikan hasil studi antropologi dan
sosiologis.
c. Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat
digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan.
Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu
pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi
harus digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya
sosialnya.
Pandangan diatas menunjukkan bahwa teori ini

mensyaratkan agar pemidanaan itu memberikan penderitaan

jasmani juga psikologi dan yang terpenting adalah memberikan

pemidanaan dan pendidikan. Dari uraian tersebut dapat

disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu

dikehendakinya suatu perbaikan dalam diri manusia atau yang

melakukan kejahatan terutama dalam delik ringan. Sedangkan


55

untuk delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak

kehidupan sosial dan masyarakat, dan dipandang bahwa

penjahat-penjahat tersebut sudah tidak bisa lagi diperbaiki,

maka sifat penjeraan atau pembalasan dari suatu pemidanaan

tidak dapat dihindari.

Seiring dengan perkembangan zaman seperti sekarang,

teori pemidanaan pun ikut juga berkembang disamping ketiga

teori pemidanaan tradisional yang telah penulis jabarkan sebagai

bentuk reaksi dari perkembangan model kejahatan yang juga

berkembang mewarnai kehidupan masyarakat di masa zaman

sekarang ini, Dalam keilmuan hukum pidana modern sekarang

ada beberapa teori pemidanaan model baru yaitu ;

1. Teori Retributif

Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan sebagai

suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan

(vergelding) terhadap orang-orang yang telah melakukan

perbuatan jahat. Teori ini ada dua corak, yaitu corak subjektif

(subjectif vergelding) yaitu pembalasan langsung ditujukan

kepada kesalahan si pembuat; kedua adalah corak objektif,

yaitu pembalasan ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang

telah dilakukan oleh orang yang bersangkutan.(Mulyadi

2012)

2. Teori Deterrence (Teori Pencegahan)

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat


56

dibagi menjadi penjeraan umum (general deterrence) dan

penjeraan khusus (individual or special deterrence),

sebagaimana yang dikemukan oleh Bentham bahwa:

“Determent is equally applicable to the situation of the


already-punished delinquent and that of other persons at
large, distinguishes particular prevention which applies to
the delinquent himself; and general prevention which is
applicable to all members of the comunity without
exception.” (Terjemahan : "Pencegahan sama-sama berlaku
untuk situasi kenakalan yang sudah dihukum dan orang lain
pada umumnya, membedakan pencegahan khusus yang
berlaku untuk kenakalan itu sendiri; dan pencegahan umum
yang berlaku untuk semua anggota masyarakat tanpa
terkecuali.”)

Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan

memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak

melakukan kejahatan, sedangkan untuk prevensi khusus

dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan

memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga

tidak mengulangi perbuatannya kembali.

3. Teori Treatment (Teori Pembinaan/Perawatan)

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan

oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan

sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada

perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh

aliran ini untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan

perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai

pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini


57

dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah

orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan

(treatment) dan perbaikan (rehabilitation).(Marlina 2011)

4. Teori Social Defence (Teori Perlindungan Masyarakat)

Teori ini berkambang dari teori “bio-sosiologis” oleh

Ferri. Pandangan ini juga diterima dan digunakan oleh

Union-Internationale de Droit Penal atau Internationale

Kriminalistische Vereinigung (IKU) atau Internationale

Association For Criminology (berdiri 1 Januai 1889) yang

didirkan dan dipimpin oleh Adolphe Prins, Geradus Antonius

van Hamel, dan Franz van Liszt. Tokoh tersebut menerima

dan mengakui kebenaran dan keabsahan temuan-temuan hasil

tudi antropologi dan sosiologis terhadap fenomena kejahatan.

Mereka juga mengakui bahwa pidana adalah salah satu alat

yang paling ampuh untuk memerangi kejahatan. Namun

sanksi pidana bukanlah satu-satunya alat untuk melawan

kejahatan, pidana harus dipadukan dengan kebijakan sosial,

khususnya dengan tindakan-tindakan preventif.

Teori diatas merupakan katagori dari middle teori

unakan sebagai pisau analisis untuk rumusan masalah

pertama.

E. Teori Moral (Moral Sense Theory)

Moral adalah keseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan

ihwal “baik’ atau perbuatan baik manusia.(Sidharta 2011) Moralitas


58

adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa

perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup

baik buruknya perbuatan manusia.(Puspoprodjo 1999) Konsep Emile

Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakekatnya adalah

ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat.

(Rahardjo, Progresif, and Indonesia 2010) Hukum dalam hakekat

moralnya sebagai ekspresi solidaritas sosial tak akan mungkin

ditopang oleh kekuatan-kekuatan sanksi yang bersifat menindak (yang

tujuan utamanya adalah untuk melampiaskan dendam pembalasan).

Menurut teori Theodorb Geiger, hukum itu gejala sosial,

Geiger cenderung menyangkal peran moral dalam hukum. Hidup

bersama dalam masyarakat modern, menurut Geiger, makin kurang

dilandasi pertimbangan-pertimbangan moral. Bahkan konsensus

dalam bidang moral, sudah jarang ditemukan lagi. Oleh karena itu,

peraturan-peraturan hidup bersama, tidak dapat dibebani

pertimbangan-pertimbangan moral. Dengan kata lain, nilai-nilai tidak

lagi memainkan peran dalam hukum. Pengandaian dasar teori

diskursus hukum dan moralitas yang dirumuskan Habermas adalah

bahwa dalam masyarakat modern yang plural, norma-norma sosial

yang diberlakukan hanya dapat meraih validitasnya dari akal budi

manusia. Hanya norma-norma yang didasarkan pada akal budi

manusialah yang dapat mengikat interaksi diskursif antara kelompok

dan individu yang berbeda-beda dalam masyarakat plural.(Wattimena

2007)
59

Individu-individu terperangkap dalam genggaman hukum

sejak hari yang paling awal dalam kehidupan mereka dan pandangan-

pandangan awal mereka tentang moral terbentuk oleh pengaruh

tersebut. Olivecrona mengemukakan bahwa sebenarnya tidak pernah

ada suatu penyebab tunggal untuk suatu hal yang rumitnya seperti ide-

ide moral. Perintah ditanamkan secara langsung oleh para orang tua,

guru dan lain-lain. Dengan demikian Olivercrona berkesimpulan

bahwa penggunaan paksaan (yang dapat dipandang sebagai sesuatu

yang menjadi dasar bagi hukum) merupakan salah satu faktor prinsipil

dalam pembentukan standar-standar dan bukan sebaliknya.(A. Ali and

Heryani 2012)

Dalam konteks krisis hukum dewasa ini, maka Satjipto

Rahardjo memberikan penilaian yang khas sebagai akar penyebabnya.

Dikatakan bahwa “selama ini ilmu hukum bagaikan tertidur

mengamini pikiran hukum dominan yang dimonopoli oleh para

profesional hukum. Tertib hukum, kepastian hukum, logika hukum,

dan lain-lain merupakan instrumen profesional yang ampuh untuk

memperlancar bisnis lawyering sesungguhnya krisis sekarang ini

seharusnya menggugah para ilmuwan hukum untuk menyumbangkan

pendekatan dan metodologi lain di luar yang dominan tersebut”.

Alasan untuk itu sederhana saja, yaitu karena pikiran atau aliran

dominan telah gagal membantu kita meyelesaikan krisis hukum

dewasa ini.
60

Pada penjelasan teori moral diatas bahwa mennjukkan terkait

dengan urgensi dari penelitian tersebut maka dari itu teori ini dapat

digunakan untuk menganalisis pada rumusan masalah yang pertama.

1.7.1 Penjelasan Konsep

1) Pelacuran

Secara etimonologi kata pelacuran berasal dari bahasa latin

yaitu “pro-stituere” artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan

persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedangkan kata

‘prostitute’ merujuk pada kata keterangan yang berarti WTS atau

sundal dikenal pula dengan istilah Wanita Tuna Susila (WTS).

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) WTS adalah

orang celaka atau perihal menjual diri (persundalan) atau orang

sundal. Pelacuran juga dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang

bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk

melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan imbalan

sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Seseorang yang

menjual jasa seksual disebut WTS, yang kini kerap disebut dengan

istilah Pekerja Seks Komersial (PSK).(K. Siregar 2015)

Definis serupa juga termuat dalam Black Law Dictionary

yang menyatakan bahwa;

 “prostitution is the act of practice of engaging in sexual activity


for money or its equivalent, commercialized sex.” (Terjemahaan:
pelacuran adalah tindakan praktik terlibat dalam aktivitas seksual
untuk uang atau seks yang sama dan dikomersialkan).
61

Pelacuran secara umum adalah praktik hubungan seksual

sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan

berupa uang. Tiga unsur utama dalam praktik pelacuran adalah:

pembayaran, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional.(Suyanto

2010) Para wanita yang melakukan pelacuran sekarang ini dikenal

dengan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial) yang diartikan sebagai

wanita yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya

secara berulang-ulang, diluar perkawinan yang sah dan mendapatkan

uang, materi atau jasa.

Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul ‘Patologi

Sosial’ mengemukakan definisi Pelacuran sebagai berikut :

1. Pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual dengan pola-

pola organisasi impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan

tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks

tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas) disertai

eksploitas dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa

afeksi sifatnya.

2. Pelacuran juga merupakan peristiwa penjualan diri

(persundalan) dengan jalan menjual belikan badan,

kehormatan, dan kepribadian, kepada banyak orang untuk

memuaskan nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

3. Pelacuran terjadi sebagai akibat perbuatan perempuan atau laki-

laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul dengan

mendapatkan upah.(Kartini 2009)


62

W.A Bonger mengatakan bahwa Pelacuran merupakan salah

satu unsur dari pidana kesusilaan. Pelacuran adalah gejala

kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-

perbuatan seksual sebagai mata pencarian. Sarjana P.J. de Bruine van

Amstel menyatakan pelacuran adalah penyerahan diri dari wanita

kepada banyak laki-laki dengan pembayaran. Paul Moedikdo

Moeliono juga berpendapat “pelacuran adalah penyerahan badan

wanita dengan menerima bayaran, guna pemuasan nafsu seksual

orang-orang itu.”(Moedikdo 1960)

Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa paling

tidak terdapat empat elemen utama dalam definisi pelacuran yang

dapat ditegakkan yaitu,

(1) bayaran,
(2) perselingkuhan,
(3) ketidak acuhan emosional, dan
(4) mata pencaharian.

Dari keempat elemen utama tersebut, pembayaran uang sebagai

sumber pendapatan dianggap sebagai faktor yang paling umum

dalam dunia pelacuran.

Apabila dilihat dari norma-norma sosial sudah jelas melarang

atau mengharamkan pelacuran dan sudah ada pengaturan tentang

larangan bisnis pelacuran terletak dalam Pasal 296 KUHP

menentukan bahwa pemidanaan hanya dapat dikenakan bagi orang

yang dengan sengaja menyebabkan sebagai pencarian atau


63

kebiasaan. Melihat dari rumusan pasal-pasal tersebut maka

pemidanaan hanya dapat dilakukan kepada mucikari atau germo

(pimp) sedangkan terhadap pelacur (Prostitute) dan pelanggannya

(client) sendiri tidak dapat dikenakan pidana. Dengan demikian

penegak hukum baik dalam konteks transnasional dan nasional yang

dimaksudkan adalah terhadap mucikari (pimp).

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu

sendiri, pelacuran diatur pada Pasal 296 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan

perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan

menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan

pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda

paling banyak lima belas ribu rupiah.” Bagian inti delik (delicts

bestanddelen):(Hamzah 2015) (1) Sengaja ; (2) menyebabkan atau

memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain ; (3) dan

menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan.

Lebih lanjut dikatakan bahwa yang dapat dikenakan Pasal

296 KUHP misalnya orang yang menyediakan rumah atau kamarnya

kepada perempuan dan laki-laki untuk melacur (bersetubuh atau

melepaskan nafsu kelaminnya). Biasanya untuk itu disediakan pula

tempat tidur. Maka sanksi bagi pemilik rumah yang menjadikan

rumahnya sebagai tempat pelacuran untuk perbuatan pelacuran

dengan membuatnya sebagai pencaharian, maka pemiliknya dapat

dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 296 KUHP. Namun demikian,


64

ada yang perlu dicermati di sini adalah bahwa arti pelacuran adalah

pemanfaatan seseorang dalam aktifitas seks untuk suatu imbalan.

Pelacuran bukanlah gejala pelanggaran moral tetapi merupakan suatu

kegiatan perdagangan. Sejumlah konvensi internasional dibuat untuk

melindungi kaum perempuan dan anak perempuan dari kegiatan

yang buruk ini.

Perdagangan perempuan dan perdagangan anak perempuan

merupakan konsep yang baru dikenal oleh masyarakat. Walaupun

konsep ini sudah berkembang sekitar 20 tahun lalu. Tetapi secara

sederhana masyarakat mengenal gejala ini sebagai pelacuran atau

pelacuran. Di beberapa negara istilah pelacuran dianggap

mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia, para pelakunya

diberi sebutan Wanita Tuna Susila (WTS). Ini artinya bahwa para

perempuan itu adalah orang yang tidak bermoral karena melakukan

suatu pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang

berlaku dalam masyarakat.

Pandangan semacam ini, para pekerja seks mendapatkan cap

buruk (stigma) sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat,

tetapi orang-orang yang mempekerjakan mereka dan mendapatkan

keuntungan besar dari kegiatan ini tidak mendapatkan cap demikian.

Jika dilihat dari pandangan yang lebih luas, kita akan mengetahui

bahwa sesungguhnya yang dilakukan pekerja seks adalah suatu

kegiatan yang melibatkan tidak hanya si perempuan yang

memberikan pelayanan seksual dengan menerima imbalan berupa


65

uang. Tetapi ini adalah suatu kegiatan perdagangan yang melibatkan

banyak pihak. Jaringan perdangan ini juga membentang dalam

wilayah yang luas, yang kadang-kadang tidak hanya di dalam satu

negara tetapi beberapa negara.

Banyak studi yang telah dilakukan oleh para ahli untuk

mendapatkan jawaban mengenai faktor yang mempengaruhi

perempuan menjadi pelacur. Koentjoro menemukan adanya tiga

motif utama yang menyebabkan perempuan memasuki dunia

pelacuran, yaitu :

a. Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran,

seperti bertindak sebagaimana konflik Oedipus dan kebutuhan

untuk menentang standar orang tua dan sosial.

b. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi.

Motif ekonomi ini yang dimaksud adalah uang.

c. Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan

kekuasaan orang tua, penyalahgunaan fisik, merendahkan dan

buruknya hubungan dengan orang tua. Weisberg juga

meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti

pengalaman seksual diri dan peristiwa traumatik sebagai

bagian dari motivasi situasional. Dalam banyak kasus

ditemukan bahwa perempuan menjadi pelacur karena telah

kehilangan keperawanan sebelum menikah atau hamil di luar

nikah.
66

Berbeda dengan pendapat di atas, Koentjoro mengemukakan

bahwa:

“Faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi pelacur


adalah faktor kepribadian. Ketidakbahagiaan akibat pola hidup,
pemenuhan kebutuhan untuk membuktikan tubuh yang menarik
melalui kontak seksual dengan bermacam-macam pria, dan sejarah
perkembangan cenderung mempengaruhi perempuan menjadi
pelacur.”

Kemudian secara rinci Kartini Kartono menjelaskan motif-

motif yang melatarbelakangi pelacuran pada wanita adalah sebagai

berikut:(Kartono 2005)

a) Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita


untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan
mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang
pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga
menghalalkan pelacuran.
b) Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam
kepribadian, dan keroyalan seks. Hysteris dan hyperseks,
sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu
pria/suami.
c) Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, danpertimbangan-
pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial
yang lebih baik.
d) Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan
ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan
mewah. Ingin hidup bermewah-mewah, namun malas bekerja.
e) Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada
adjustment yang negatif, terutama sekali terjadi pada masa puber
67

dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri,


teman putri, tante-tante atau wanita-wanita lainnya.
f) Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada
masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran
oleh bujukan bandit-bandit seks.
g) Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang
menekankan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak
terhadap masyarakat dan normanorma susila yang dianggap
terlalu mengekang diri anak-anak remaja, mereka lebih
menyukai pola seks bebas. Pada masa kanak-kanak pernah
malakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks
sebelum perkawinan (ada premarital sexrelation) untuk sekedar
iseng atau untuk menikmati “masa indah” di kala muda.
h) Gadis-gadis dari daerah slum (perkampungan-perkampungan
melarat dan kotor dengan lingkungan yang immoral yang sejak
kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa
secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya
dengan tindak-tindak asusila). Lalu 20 menggunakan
mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk mempertahankan
hidupnya.
i) Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang
menjanjikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi.
j) Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru,
gambar-gambar porno, bacaan cabul, geng-geng anak muda
yang mempraktikkan seks dan lain-lain.
k) Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk
dan patuh melayani kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya
untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.
l) Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis,
disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan
68

standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada


kawin.
m) Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken
home, ayah dan ibu lari, kawin lagi atau hidup bersama dengan
partner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat sengsara
batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri
terjun dalam dunia pelacuran.
n) Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak
sempat membawa keluarganya.
o) Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk
mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan jalan yang mudah
tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau ketrampilan khusus.
p) Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam
bermacam-macam permainan cinta, baik sebagai iseng belaka
maupun sebagai tujuan-tujuan dagang.
q) Pekerjaan sebagai lacur tidak membutuhkan keterampilan, tidak
memerlukan inteligensi tinggi,
Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang memasuki

dunia pelacuran dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan

nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor

eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban

kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial

yang lebih tinggi.


69

2) Kriminalisasi

Kriminalisasi merupakan objek studi hukum pidana

materil yang membahas penentuan suatu perbuatan sebagai tindak

pidana yang diancam dengan sanksi atau hukuman tertentu yang

dijatuhkan atau yang diberikan oleh aparat hukum yang berwenang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pengertian Kriminalisasi

adalah suatu roses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak

dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan

sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.

Secara etmologis berasal dari bahasa Inggris, yaitu

“Criminalization” yang mempunyai padanan dalam bahasa Belanda

“Criminalisate”. Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu

perbuatan yang semula bukan tindak pidana atau tidak diatur dalam

hukum pidana, karena perkembangan masyarakat, kemudian menjadi

tindak pidana.(Prasetyo 2011b)

Soerjono Soekanto, Kriminalisasi merupakan tindakan

atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu

yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggsap

sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana

atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan criminal dan

karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas

namanya.(S. Soekanto, Liklikuwata, and Kusumah 1981)

Pengertian yang dijelaskan oleh Soerjono Soekanto ini

menitikberatkan bahwasanya kriminalisasi adalah merupakan suatu


70

penetapan atau kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa atau

pemerintah yang sedang menjabat, dan penetapan tersebut didalam

pemerintahan dibuat oleh badan legislatif selaku wakil rakyat yang

mempunyai tugas untuk merancang, membuat, peraturan perundang-

undangan, perbuatan yang digolongkan pantas atau tidaknya menjadi

perbuatan pidana itu berasal dari pandangan masyarakat.

Adapun pengertian tentang Kriminalisasi menutut Dr. H.

Moh. Hatta, S. H. menjelaskan sebagai berikut; "Kriminalisasi

merupakan kebijakan kriminal atau Criminal Policy, yang berupaya

untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan,

kebijakan criminal ini tidak lepas dari kebijakan sosial yang

merupakan suatu upaya untuk menciptakan kesejahteraan sosial dan

perlindungan masyarakat.”(Hatta 2010) Kriminalisasi yang

dijelaskan oleh Dr. H. Moh. Hatta, S. H. adalah merupakan

kebijakan criminal yang mempunyai tujuan untuk melakukan upaya

preventif atau upaya pencegahan dan penanggulangan suatu tindak

pidana, serta terwujudnya kesejahteraan sosial dalam kehidupan di

masyarakat.

Kriminalisasi menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam

bukunya menjelaskan, Kriminalisasi adalah suatu pernyataan bahwa

perbuatan tertentu harusdinilai sebagai perbuatan pidana yang

merupakan hasil dari suatupenimbangan-penimbangan normatif

(judgments) yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan

(decisions).” Kriminalisasi menurut ahli lain yang menjelaskan


71

kriminalisasi apabila dilihat dari perspektif nilai, menurut Rusli

Effendi dkk;

“Pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai.


Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah
perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah perbuatan yang
sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak tercela dan tidak
dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela
dan perlu dipidana.”(Effendi 1986)

Pengertian kriminalisasi tersebut menjelaskan bahwa

ruang lingkup kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu perbuatan

sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana, namun

menurut Paul Cornill pengertian kriminalisasi tidak terbatas pada

penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dan dapat dipidana,

tetapi juga termasuk penambahan atau peningkatan sanksi pidana

terhadap tindak pidana yang sudah ada.

Disamping itu, pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat

dari perspektif nilai. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan

kriminalisasi adalah perubahan nilai yang menyebabkan sejumlah

perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang dan tidak

dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela

dan perlu dipidana. Dalam perspektif labeling, kriminalisasi adalah

keputusan badan pembentuk Undang-undang pidana memberi label

terhadap tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau tindak pidana.

(Kauzlarich and Barlow 2009)

Dasar pembenar untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan

sebagai tindak pidana lebih banyak terletak di luar bidang hukum


72

pidana artinya dasar pembenar tersebut berkaitan dengan factor-

faktor yang termasuk sebagai dasar pembenar adalah factor nilai,

ilmu pengetahuan, dan factor kebijakan. Nilai-nilai atau kaidah-

kaidah social yang menjadi sumber pembentukan kaidah hukum

pidana meliputi nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama, serta norma-

norma yang hidup dalam kesadaran masyarakat.

Kriminalisasi tersebut menurut Sudarto harus memiliki

kriteria diantaranya :

a) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan

pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil

makmur yang merata matereiil dan spiritual berdasrkan

Pancasila, sehubungan dengan ini maka (pengunaan) hukum

pidana bertujuan untuk menangulangi kejahatan dan

mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan

itu sendiri, demi kesejahtraan dan pengayoman masyarakat;

b) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi

dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak

dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian

(materiil dan atau sepiritual) atas warga masyarakat;

c) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan

prinsip “biaya dan hasil”;

d) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas

dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,

yaitu jangan sampai ada keampauan beban tugas.(Arief 2015b)


73

Kriminalisasi muncul ketika suatu perbuatan yang

merugikan merugikan orang lain atau masyarakat baik itu langsung

atau tidak langsung dimana hukumnya belum ada atau tidak diatur

dalam peraturan perundang-undangan pidana. Demikian pula

persoalan kriminalisasi timbul karena terdapat perbuatan yang

berdemensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya

untuk perbuatan tersebut. Kesan yang selanjutnya adalah terjadinya

kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap

perbuatan tersebut.

Dalam hubungannya dengan masalah kriminalisasi,

Muladi mengingatkan mengenai beberapa ukuran yang secara

doctrinal harus diperhatikan sebagai pedoman, yaitu sebagai berikut;

1. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan


“overkriminalisasi” yang masuk kategori the misuse of
criminal sanction;
2. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc;
3. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing)
baik actual maupun potensial;
4. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil
dan prinsip ultimatum remedium;
5. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang
enforceable;
6. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik;
7. Kriminalisasi harus mengandung unsur “subsosialitet”
(mengakibtkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil
sekali);
74

8. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap


peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan
memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum
untuk mengekang kebebasan itu.(Muladi 2017)
Terbentuknya suatu pemahaman bahwa suatu perbuatan

yang tadinya bukan suatu tindak pidana menjadi tindak pidana

dipengaruhi oleh perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat

yang merubah sendi-sendi kehidupan bersama dan perubahan nilai-

nilai budaya yang pada akhirnya mempengaruhi pikiran masyarakat

tersebut, perubahan sosial tidak hanya berarti perubahan struktur dan

fungsi masyarakat melainkan didalamnya terkandung juga

perubahan nilai, sikap, dan pola tingkah laku masyarakat.

Perubahan nilai pada dasarnya adalah perubahan pedoman

kelakuan dalam kehidupan masyarakat, menurut Koentjaraningrat

jenis perubahan nilai dapat dibedakan dalam 2 (dua) hal, yaitu ;

(Koentjaraningrat n.d.)

1. Perubahan nilai-nilai budaya primordial yang ditentukan


oleh kelompok kekerabatan, komunikasi desa, ke suatu
sistem budaya nasional;
2. Perubahan sistem nilai tradisional kepada sistem nilai
budaya modern.

Dalam perubahan sosial diatas juga, menimbulkan

pemahaman baru ataupun kesepakatan baru seperti perbuatan-

perbuatan tertentu yang dulu dikualifikasikan sebagai perbuatan

tercela atau merugikan masyarakat, sekarang dianggap sebagai


75

perbuatan yang wajar dan tidak tercela, contohnya di Indonesia

yakni tindakan mempertunjukan alat-alat KB (Keluarga Berencana)

di depan umum, alat kontrasepsi dijual dengan bebas di sebagian

besar minimarket, sebaliknya ada beberapa perbuatan yang dahulu

dianggap wajar dan sekarang dianggap suatu tindakan pidana yang

merugikan masyarakat seperti pencemaran lingkungan, praktik

monopoli dalam ekonomi, pencucian uang, merugikan konsumen

dan juga ada upaya pembelaan diri yang dijadikan pelaku/tersangka

dalam kejahatan.

Dalam konteks kriminalisasi, asas dapat diartikan sebagai

konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis, dan prinsip-prinsip

hukum yang menuntun pembentukan norma-norma hukum pidana

melalui sutu pembentukan peraturan perundang-undangan pidana,

dengan kata lain asas hukum adalah konsepsi dasar, norma etis, dan

prinsip-prinsip dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana

penanggulangan tindak pidana atau kejahatan.

Ada 3 (tiga) asas kriminalisasi yang perlu diperhatikan

dalam pembentukan maupun merevisikan peraturan perundang-

undangan dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana

beserta ancaman sanksi pidananya, yakni sebagai berikut :

a. Asas legalitas

Asas Legalitas yaitu, asas yang maknanya terdapat dalam

ungkapan latin nullum delictum noella poena sine praevia lege

poenali yang disebutkan oleh von Feurbach. Ungkapan itu


76

bermakna pengertian bahwa “tidak ada suatu perbuatan yang

dapat dipidana kecuali atas perundang-undangan pidana yang

sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Asas legalitas

adalah asas yang paling penting dalam hukum pidana,

khususnya asas pokok dalam penetapan kriminalisasi. Menurut

Schafmeister dan J. E Sahetapy asas legalitas mengandung 7

(tujuh) makna yaitu:

1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana


menurut undang-undang;
2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan
analogi;
3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan;
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat
lex certa)
5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan oleh undang-
undang;
7. Penuntutan pidana lain kecuali yang ditentukan undang-
undang.

Keberadaan hukum pidana harus ada yang membatasi,

karena hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling

bisa dikatakan kejam dengan sanksi yang sangat berat, terutama

sanksi pidana mati. Hukum pidana dipergunakan untuk

melindungi kepentingan bersama dalam kehidupan

bermasyarakat yang sangat vital, perbuatan-perbuatan yang

perlu di kriminalisasi adalah perbuatan-perbuatan yang secara

langsung mengganggu ketertiban dalam kehidupan masyarakat.


77

b. Asas Subsidaritas

Asas Subsidaritas memiliki arti dimana hukum pidana

harus ditempatkan sebagai ultimum remedium (senjata

pamungkas/terakhir) dalam penanggulangan kejahatan yang

menggunakan instrument penal, bukan sebagai primum

remedium (senjata utama) untuk mengatasi masalah kejahatan

atau criminal, penerapan asas subsidaritas ini dalam mengatasi

tindak pidana mengharuskan adanya penyelidikan tentang

keefektifan penggunaan aturan atau hukum pidana yang berlaku,

tujuan penyelidikan ini adalah untuk mengetahui apakah pantas

pasal tersebut diancamkan kepada tindak pidana tersebut, selain

itu proses penyelidikan ini juga berfungsi untuk meminimalisir

keputusan atau kebijakan yang bisa merugikan masyarakat.

Perlunya penggunaan asas subsidaritas dalam penentuan

perbuatan terlarang atau tindak pidana didorong oleh 2 (dua)

faktor, yakni sebagai berikut: (Peters 1986)

a. Penggunaan asas subsidaritas akan mendorong lahirnya


hukum pidana yang adil;
b. Praktek perundang-undangan menimbulkan dampak negatif
terhadap sistem hukum pidana akibat adanya
overcriminalisation dan overpenalisation sehingga hukum
pidana menjadi kehilangan pengaruhnya dalam masyarakat

Disamping itu, overcriminalisation dan overpenalisation

semakin memperberat beban kerja aparat penegak hukum dalam

proses peradilan pidana. Akibat selanjutnya, hukum pidana tidak


78

dapat berfungsi dengan baik dan karenanya pula kehilangan

wibawa.

Pentingnya penerapan asas subsidaritas dalam penentuan

suatu perbuatan terlarang atau suatu tindak pidana adalah untuk

menciptakan lahirnya suatu hukum pidana yang bersifat adil.

c. Asas Persamaan dan/atau Kesamaan

Asas Persamaan atau kesamaan juga memiliki peran

penting dalam proses kriminalisasi, asas ini berarti

kesederhanaan dan kejelasan yang akan menimbulkan suatu

ketertiban, menurut Sevan dan Letrossne: “Asas

Persamaan/Kesamaan bukanlah pernyataan dari aspirasi tentang

hukum pidana yang lebih adil. Asas Persamaan/Kesamaan lebih

merupakan suatu keinginan diadakannya sistem hukum pidana

yang lebih jelas dan sederhana”.

Sedangkan penjelasan lain tentang asas

persamaan/kesamaan yang dijelaskan oleh Lacretelle sebagai

yakni; “Asas Persamaan/Kesamaan tidaklah hanya suatu

dorongan bagi hukum pidana yang bersifat adil, tetapi juga

untuk hukuman pidana yang tepat”

Asas persamaan yang dimana asas ini menitikberatkan

pada persamaan di mata hukum atau equality before the law

yakni semua warga harus mendapatkan perlindungan yang sama

dalam hukum yang berlaku.


79

Melisik dari sudut pandang kriteria kriminalisasi

haruslah didasarkan oleh beberapa faktor-faktor kebijakan atau

keputusan tertentu yang mempertimbangkanya sebagai berikut;

(Saleh 2008)

a. Kriminalisasi seharusnya tidak ditetapkan semata-mata atas


keinginan untuk melaksanakan suatu sikap moral tertentu
terhadap suatu bentuk perilaku tertentu;
b. Alasan utama untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana seharusnya tidak pernah didirikan suatu kerangka untuk
perlindungan atau perlakuan terhadap seorang pelaku kejahatan
potensial dalam kepentingannya sendiri;
c. Kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi kemampuan
perlengkapan peradilan pidana;
d. Kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai
suatu tabir sekedar pemecahan yang nyata terhadap suatu
masalah.

Dalam proses penetapan suatu perbuatan menjadi perbuatan

kriminal atau proses kriminalisasi harus adanya tolak ukur yang

menjadi dasar penilaian atau penetapan tersebut, pada intinya

penetapan tersebut harus memenuhi tujuan hukum, kriteria yang harus

diperhatikan diantaranya yakni proses kriminalisasi akibatnya tidak

boleh berlebihan, yang dimaksud berlebihan disini adalah tidak boleh

melebihi kemampuan perlengkapan peradilan pidana yang berlaku.

3) Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dalam KUHP, dikenal dengan istilah

strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering

mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang

merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa


80

pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.(Hamzah 1994)

Menurut Moeljatno, dimaksud perbuatan pidana adalah : perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang

melanggar larangantersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan

pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan

diancam pidana. Asal saja dari pada itu diingat bahwa larangan itu

ditujukan kepada perbuatan (yaitu keadaan atau kejadian yang

ditimbulkan oleh kelakuan orang) sedangkan ancaman pidananya

ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

Selanjutnya tindak pidana merupakan suatu istilah yang

mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai

istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri

tertentu pada peristiwa hukum pidana.Tindak pidana mempunyai

pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam

lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan

arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat

memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam

kehidupan masyarakat.

Hukum Pidana Belanda menggunakan istilah strafbaarfeit.

Hukum Pidana negara Anglo Saxon memakai istilah Offense atau

acriminal act untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP

Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun

sama yaitu strafbaarfeit. Istilah Strafbaarfeit terdiri dari tiga unsur


81

yakni straf, baar, dan feit. Straf berarti hukuman (pidana), baar

berarti dapat (boleh), serta feit yang berarti peristiwa

(perbuatan).Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya

dapat dikenai hukuman pidana.(Wirjono 2009)

Tindak pidana merupakan salah satu istilah untuk

menggambarkan suatu perbuatan yang dapat dipidana, dalam bahasa

belanda disebut sebagai straftbaarfeit. Istilah lain yang pernah

digunakan untuk menggambarkan perbuatan yang dapat dipidana

adalah:

a. Peristiwa pidana
b. Perbuatan pidana
c. Pelanggaran pidana
d. Perbuatan yang dapat dihukum.(Masruchin 2001)

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum

pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain

halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang

melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan

yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa

melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan

dan kewajiban- kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap

warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun

peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun

daerah.
82

Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit,

terdiri atas tiga kata yaitu: straf, baar dan feit. Yang masing-masing

memiliki arti:

a. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum,


b. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh,
c. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelnggaran dan
perbuatan.

Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang

berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman

disebut delict, dan dalam bahasa Belanda disebut delict. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia menggunakan istilah delik yaitu

perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap tindak pidana.

Adapun istilah yang digunakan oleh para ahli yaitu; Vos

menggunakan istilah strafbaarfeit yaitu suatu kelakuan manusia yang

diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan

yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.

Menurut Simons, strafbaarfeit atau tindak pidana adalah

kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan

hukum yang berhubungan dengan kesalahan orang yang mampu

bertanggung jawab.(Irfan 2011) Selanjutnya menurut Bambang

Poernomo, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu

aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi siapa

yang melanggar larangan tersebut.


83

Pompe membedakan pengertian strafbaarfeit yaitu:

a. Definisi menurut teori, memberikan pengertian

strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran terhadap norma,

yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam

dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan

menyelamatkan kesejahteraan umum;

b. Definisi hukum positif, merumuskan pengertian

strafbaarfeit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh

peraturan undang- undang dirumuskan sebagai perbuatan

yang dapat dihukum.

S.R. Sianturi, pengertian tindak pidana adalah suatu

tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang

atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan, dilakukan oleh

seseorang yang mampu bertanggung jawab. Maka selanjutnya

unsur- unsur tindak pidananya adalah terdiri dari : subjek,

kesalahan, bersifat melawan hukum, tindakan yang dilarang dan

diancam dengan pidana oleh undang-undang serta waktu dan tempat

serta keadaan tertentu.(Sianturi 1986)

Utrecht menggunakan istilah “peristiwa pidana” beliau

menerjemahkan istilah feit secara harfiah menjadi “peristiwa”.

Namun Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana karena

katanya peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya

menunjuk Kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya


84

matinya orang. Hukum Pidana tidak melarang matinya orang,

tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain.

Van Hamel menyatakan bahwa strafbaarfeit adalah

kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat

melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

(M. Ali 2011) Sedangkan Simons berpendapat mengenai delik

dalam arti strafbaarfeit adalah suatu tindakan melanggar hukum

yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh

seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan

dan oleh undang- undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan

yang dapat dihukum.

Jonkers dan Utrecht memandang rumusan Simons

merupakan rumusan yang lengkap, yang meliputi:

a. Diancam dengan pidana oleh hukum


b. Bertentangan dengan hukum
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah
d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas
perbuatannya.

Rumusan para ahli hukum tersebut merumuskan delik

(straafbaarfeit) itu secara bulat, tidak memisahkan antara

perbuatan dan akibatnya disatu pihak dan pertanggungjawabannya

di lain pihak, A.Z. Abidin menyebut cara perumusan delik seperti

ini sebagai aliran monistis tentang delik. Ahli hukum yang lain,

memisahkan antara perbuatan dan akibatnya di satu pihak dan


85

pertanggungjawaban di lain pihak sebagai aliran dualistis.

Memang di Inggris dipisahkan antara perbuatan yang dilarang oleh

Undang-Undang dan diancam pidana (actus reus) di satu pihak

dan pertanggungjawaban (mens rea) dilain pihak.

Berdasakan rumusan yang ada maka delik (strafbaarfeit)

memuat beberapa unsur yakni :

a. Suatu perbuatan manusia,

b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman

oleh undang- undang,

c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggung jawaban.

Tindak pidana merupakan istilah yang mengandung suatu

pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk

dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa

hukum pidana, tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak

dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum

pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang

bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat

memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam

kehidupan masyarakat.

Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar yang

pokok dalam menjatuhkan pidana orang yang telah melakukan

perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban sesorang atas

perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai


86

dilarang dan diancamannya suatu perbuatan yaitu mengenai

perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas

(principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada

perbuatan yang dapat dilarang dan diancam dengan pidana jika

tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan

yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu

kejahatan.

Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana/delik

Comissionis, delik Ommissionem dan delik Comissionis per

Ommissionem Commissa antara lain;(Sjahdeini 2006)

a. Delik Commissionis adalah delik yang berupa pelanggaran


terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang
misalnya melakukan pencurian, penipuan, pembunuhan dan
sebagainya.
b. Delik Omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran
terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang
diperintah misalnya tidak menghadap sebagai saksi dimuka
persidangan Pengadilan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 522 KUHP.
c. Delik Comissionis per Ommissionem Commissa,
Pengertian dari delik ini tersebut adalah delik yang berupa
pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dapat dilakukan
dengan cara tidak berbuat, misalnya: seorang ibu yang
membunuh bayinya dengan tidak menyusui (Pasal 338 dan
340 KUHP).
87

Dalam membahas hukum pidana, nantinya akan ditemukan

beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam KUHP telah mengklasifikasikan tindak pidana atau delik ke

dalam dua kelompok besar yaitu, dalam Buku Kedua dan Ketiga yang

masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran. Tindak

pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut:

(Saleh 1983)

1. Kejahatan (Misdrift) dan Pelanggaran (Overtreding)

Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran

adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal

ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran

tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi

berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih

didominasi dengan ancaman pidana penjara. Dalam Wetboek

van Srafrecht (W.v.S) Belanda, terdapat pembagian tindak

pidana antara kejahatan dan pelanggaran.

Untuk yang pertama biasa disebut dengan

rechtdelicten dan untuk yang kedua disebut dengan

wetsdelicten. Disebut dengan rechtdelicten atau tindak pidana

hukum yang artinya yaitu sifat tercelanya itu tidak semata-

mata pada dimuatnya dalam undang-undang melainkan

dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum memuatnya

dalam rumusan tindak pidana dalam undang-undang.

Walaupun sebelum dimuat dalam undang-undang ada


88

kejahatan mengandung sifat tercela (melawan hukum), yakni

pada masyarakat, jadi melawan hukum materiil, sebaliknya

wetsdelicten sifat tercelanya itu suatu perbuatan itu terletak

pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam undang-

undang. Sumber tercelanya wetsdelicten adalah undang-

undang.

2. Delik Formil dan Delik Materiil

Pada umumnya rumusan delik didalam KUHP

merupakan rumusan yang selesai, yaitu perbuatan yang

dilakukan oleh pelakunya. Delik formil adalah tindak pidana

yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti

bahwa inti larangan yang dirumuskan adalah melakukan suatu

perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak

membutuhkan dan memperhatikan timbulnya suatu akibat

tertentu dari perbuatan yang sebagai syarat penyelesaian

tindak pidana, melainkan semata-mata pada

perbuatannya.Misalnya pada pencurian (Pasal 362 KUHP)

untuk selesainya pencurian bergantung pada selesainya

perbuatan.

Sebaliknya, tindak pidana materiil inti larangan adalah

pada timbulnya akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa

yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang di

pertanggung jawabkan dan dipidana.

3. Delik Kesengajaan (Dolus) dan Delik Kelalaian (Culpa)


89

Tindak pidana Kesengajaan adalah tindak pidana yang

dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau

mengandung unsur kesengajaan. Di samping tindak pidana

yang tegas unsur kesengajaan itu dicantumkan dalam Pasal,

misalnya Pasal 362 KUHP (maksud), Pasal 338 KUHP

(sengaja), Pasal 480 KUHP (yang diketahui). Sedangkan

tindak pidana kelalaian adalah tindak pidana yang dalam

rumusannya mengandung unsur culpa (lalai), kurang hati-hati

dan bukan karena kesengajaan. Tindak pidana yang

mengandung unsur culpa ini, misalnya; Pasal 114, Pasal 359,

Pasal 360 KUHP.

4. Tindak Pidana Aktif (delik commisionis) dan Tindak Pidana

Pasif

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang

perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif

adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan

adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.

5. Tindak Pidana Terjadi Seketika (Aflopende Delicten) dan

Tindak Pidana Berlangsung Terus (Voortdurende Delicten)

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa

sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu

seketika atau waktu singkat saja disebut juga aflopende

delicten. Misalnya jika perbuatan itu selesai tindak pidana itu

menjadi selesai secara sempurna. Sebaliknya tindak pidana


90

yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya tindak

pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan itu

dilakukan, tindak pidana itu berlangsung terus yang disebut

juga dengan voordurende delicten.

6. Tindak Pidana Khusus dan Tindak Pidana Umum

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang

dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana

materiil (Buku II dan III KUHP). Sementara tindak pidana

khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar

kodifikasi tersebut.

7. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya

/peringannya (Envoudige dan Gequalificeerde /

Geprevisilierde Delicten).

Delik yang ada pemberatannya, misalnya:

penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya

orang (Pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu

malam hari tersebut (Pasal 363KUHP). Ada delik yang

ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam

keadaan tertentu, misalnya : pembunuhan terhadap anak (Pasal

341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik

sederhana; misal : penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pencurian

(Pasal 362 KUHP).

8. Delik Biasa dan Delik Aduan

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah


91

tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana

terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan

bagi yang berhak. Sebagian besar tindak pidana adalah tindak

pidana biasa yang dimaksudkan ini.

Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk

dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk

terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan

pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata

(Pasal72) atau keluarga tertentu dalam hal tertentu (Pasal 73)

atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh

yang berhak.

Dalam menjabarkan suatu rumusan delik kedalam unsur-

unsurnya, maka akan dijumpai suatu perbuatan atau tindakan

manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan suatu

tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana

yang terdapat di dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke

dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur

objektif

R. Abdoel Djamali berpendapat, peristiwa pidana yang juga

disebut tindak pidana atau delict ialah suatu perbuatan atau

rangkaian perbuatanyang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu

peristiwa peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa

pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur

tindak pidana tesebut terdiri dari:(Djamali 2010)


92

a) Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang

bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang

oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang

dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah

tindakannya.

b) Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak

dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini

mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa

orang

Senada dengan pendapat dari R. Abdoel Djamali, menurut

A. Fuad Usfa dalam bukunya “Pengantar Hukum Pidana”

mengemukakan bahwa ;

a. Unsur-unsur Subjektif dari tindak pidana meliputi:


1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa)
2. Maksud pada suatu percobaan (pasal 53 ayat (1) KUHP)
3. Macam-macam maksud atau oogrmerk (pasal 362)
4. merencanakan terdahulu (pasal 340)

b. Unsur Objektif
Unsur Objektif merupakan unsur dari luar diri

pelaku yang terdiri atas ;

1. Perbuatan manusia, berupa;


 Act, yakni perbuatan aktif atau positif;
 Omissions, yakni perbuatan pasif atau perbuatan
negatif yang dimaksudkan suatu perbuatan yang
mendiamkan atau memberiarkan

2. Akibat ( result ) perbuatan manusia


Akibat tersebut membahayakan atau merusak,
bahkan menghilang kepentingan-kepentingan yang
diperintahkan oleh hukum, misalnya nyawa, badan,
93

kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan


sebagiannya.

3. Keadaan – keadaan ( circumstances )


Pada umumnya, keadaan-keadaan yang dimaksud ini
dibedakan antara lain:
 Keadaan pada saat perbuatan itu dilakukan;
 Keadaan setelah perbuatan dilakukan;
 Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum,
maksudnya sifat dihukum berkenaan dengan
alasan – alasan yang membebaskan perilaku dari
hukum.

4) Pembaharuan Hukum Pidana

KUHP yang saat ini berlaku di Indonesia bersumber dari

hukum kolonial Belanda (wetboek van Strafrecht) yang dalam

praktiknya sudah tidak sesuai dengan kondisi keadaan masyarakat

Indonesia sekarang.Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi

terpimpin maupun ordebaru, KUHP warisan Belanda ini masih tetap

berlaku termasuk pasal-pasal penyebar kebencian (pulahatzaai

artikelen) terhadap pemimpin politik, pejabat atau golongan etnis.

(Arief 2009)

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa kondisi perubahan

hukumyang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari

nilai-nilai yangada dalam masyarakat kemudiam secara tegas

dijelaskan dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (RUU KUHP) yang menyatakan bahwa materi

hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum,

keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara


94

bangsa Indonesia. Selanjutnya tujuan penyusunan hukum pidana

dinyatakan sebagai perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional

Negara Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945, serta untuk menghormati dan menjungjung

tinggi hak asasi manusia.

Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana

(penal reform) di Indonesia sejalan dengan hasil dari Kongres PBB

tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada

pelaku kejahatan. isi dari kongres tersebut menyebutkan bahwa

hukum pidana yang selama ini diberbagai negara berasal dari hukum

asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak

adil (obsolete and unjustice) serta tidaksesuai dengan zaman dan

tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded adnunreal) karena tidak

berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi

dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan

sosial masa kini.

Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung

makna, suatu upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian

kembali sesuaidengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi

dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan

sosial, kebijakan kriminaldan kebijakan penegakan hukum di

Indonesia.
95

Untuk selanjutnya para ahli memberikan pengertian tentang

pembaharuan hukum yaitu :

a. Sudarto, Politik hukum adalah kebijaksanaan dari Negara

dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendak, yang

diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang

terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang di

cita-citakan. Politik hukum pidana berarti usaha untuk

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi waktu dan masa-masa yang akan

datang (ius constituendum).

b. Padmo wahjono menyatakan bahwa politik hukum adalah

kebijakan dasar menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum

yang akan dibentuk.(Wahjono 2015)

c. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa “legal policy atau garis

(kebijakan) remi tentang hukum yang akan di berlakukan

baikdengan pembuatan hukum baru maupun dengan

penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan

negara. “Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan

tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan

tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak

diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai

tujuan negara seperti yang tercantum didalam pembukaan UUD

1945.(MD 2014)
96

d. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana

harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang

pada hakikatnya ia hanya merupakan langkah kebijakan “policy”

(yaitu bagian dari politik hukum atau penegakan hukum, politik

hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Didalam

setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai.

Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula

berorientasi pada pendekatan nilai.

Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari

kebijakan/politik hukum pidana. Makna dan hakikat pembaharuan

hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi

diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Pada

hakikatnya pembaharuan hukum pidana merupakan suatu upaya

untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang

sesuai dengan nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio

kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,

kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah :

a) Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan :

- Sebagai bagian dari sosial, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi

masalah–masalah social, dalam rangka mencapai/menunjang

tujuan nasional (kesejahtraan masyarakat dan sebagainya);


97

- Sebagaian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan

kejahatan);

- Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,

pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan

bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal

substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan

hukum.

b) Dilihat dari sudut pendekatan nilai :

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan

upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-

nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang

melandasi dan member isi terhadap muatan normative dan

substantive hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah

pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi

nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya;

KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum

pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).

(Suartha 2015a)
98

5) Pertanggungjawaban Hukum

Dalam sebuah perbuatan atau hubungan hukum yang

dilakukan subyek hukum pasti akan menimbulkan tanggung jawab

hukum, maka dengan adanya tanggung jawab hukum akan

menimbulkan hak dan kewajiban bagi subyek hukum. Oleh karena

tanggung jawab hukum merupakan suatu prinsip yang ditimbulkan

adanya hubungan hukum yang harus dilaksanakan.

Berdasarkan prespektif hukum, dalam kehidupan sehari-hari

dikenal istilah pergaulan hukum (rechtsverkeer), yang didalamnya

mengisyaratkan adanya tindakan hukum (rechtshandeling) dan

hubungan hukum (rechtbetrekking) antar subjek hukum. Pergaulan,

tindakan, dan hubungan hukum adalah kondisi atau keadaan yang

diatur oleh hukum dan/atau memiliki relevansi hukum. Dalam hal itu

terjadi interaksi hak dan kewajiban antardua subjek hukum atau

lebih, yang masing-masing diikat hak dan kewajiban (rechten en

plichten). (Rahardjo 2010)

Hukum diciptakan untuk mengatur pergaulan hukum agar

masing-masing subjek hukum menjalankan kewajibannya secara

benar dan memperoleh haknya secara wajar. Di samping itu, hukum

juga difungsikan sebagai instrumen perlindungan (bescherming) bagi

subjek hukum. Dengan kata lain, hukum diciptakan agar keadilan

terimplementasi dalam pergaulan hukum. Ketika ada subjek hukum

yang melalaikan kewajiban hukum yang seharusnya dijalankan atau

melanggar hak itu dibebani tanggung jawab dan dituntut


99

memulihkan atau mengembalikan hak yang sudah dilanggar tersebut.

Beban tanggung jawab dan tuntutan ganti rugi atau hak itu

ditunjukan kepada setiap subjek hukum yang mellanggar hukum,

tidak peduli apakah subjek hukum itu seseorang, badan hukum,

ataupun pemerintah.

Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi

apa-apa boleh di tuntut, dipersalahkan, dan diperkarakan.(Bahasa)

Ridwan Halim mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai

sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksaan peranan, baik peranan itu

merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum

tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk

melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu tidak

menyimpang dari peraturan yang ada. (Surinda n.d.)

Purbacaraka berpendapat bahwa tanggung jawab hukum

bersumber atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan

kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak atau/dan

melaksanakan kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan, setiap

pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik yang

dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara

memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggung

jawaban, demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan.(Mustamu

2014)
100

Sugeng Istanto mengemukakan pertanggungjawaban berarti

kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas

semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan

atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.(Istanto 2014)

Selanjutnya Titik Triwulan menegaskan pertanggungjawaban hukum

harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak

hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal

yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi

pertanggungjawabannya.(Tutik and Febriana 2010)

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban,

yaitu: liability (the state of being liable) dan responsibility (the state

or fact being responsible);

1. Liability merupakan istilah hukum yang luas (a board legal

term), yang di dalamnya antara lain mengandung makna

bahwa liability menunjuk pada makna yang paling

komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko atau

tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang

mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua

karakter hak dan kewajiban. Disamping itu, liability juga

merupakan; kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual

atau potensial; kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal

yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman,

kejahatan, biaya, atau beban; kondisi yang menciptakan tugas


101

untuk melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada

masa yang akan datang.

2. Responsibility berarti (hal dapat dipertanggungjawabkan atas

suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan,

kemampuan, dan kecakapan). Responsibility juga berarti,

kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang

dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti

rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkannya).

Selain itu ada pendapat lain tentang prinsip tanggung

jawab dalam hukum, yang dibagi menjadi tiga yakni accountability,

responsibility, liability. Pengertian Tanggung Jawab Hukum, ada

tiga macam tanggung jawab hukum yaitu tanggung jawab hukum

dalam arti accountability, responsibility, dan liability. Tanggung

jawab dalam arti accountability adalah tanggung jawab hukum

dalam kaitan dengan keuangan, misalnya akuntan harus bertanggung

jawab atas hasil pembukuan, sedangkan responsibility adalah

tanggung jawab dalam memikul beban. Tanggung jawab dalam arti

liability adalah kewajiban menanggung atas kerugian yang diderita.

(Zainal and Suhartana 2016)

Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab

hukum menyatakan bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara

hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul

tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung

jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.(H.


102

sebagaimana diterjemahkan oleh S. Kelsen 2007) Lebih lanjut Hans

Kelsen menyatakan bahwa; “Kegagalan untuk melakukan kehati-

hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (negligence);

dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari

kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi

karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud

jahat, akibat yang membahayakan.”

Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggungjawab

terdiri dari:(Mutaqien 2006)

1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu

bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya

sendiri;

2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh

orang lain;

3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti

bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran

yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan

tujuan menimbulkan kerugian;

4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang

individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang

dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Tanggung jawab dalam kamus hukum dapat diistilahkan

sebagai liability dan responsibility, istilah liability menunjuk pada


103

pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan

yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan istilah responsibility

menunjuk pada pertanggungjawaban politik.(Ridwan 2006) Apabila

ditelisik sebagai suatu teori tanggungjawab lebih menekankan pada

makna tanggung jawab yang lahir dari ketentuan Peraturan

Perundang-Undangan sehingga teori tanggungjawab dimaknai dalam

arti liabilty, sedangkan jika dilihat sebagai suatu konsep yang terkait

dengan kewajiban hukum seseorang yang bertanggung jawab secara

hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu

sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan dengan hukum.

Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad teori

tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability)

berdasarkan buku hukum perusahaan Indonesia dibagi menjadi

beberapa teori, yaitu :(Abdulkadir 2010)

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat

harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga

merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang

dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability),

didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang

berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur

baur (interminglend).
104

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum

tanpa mempersoalkan kesalahan (strick liability), didasarkan

pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Selanjutnya, menurut Hans Kelsen suatu konsep terkait

dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab

hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum

bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia

dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang

berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap

pelaku adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang

tersebut harus bertanggungjawab. Secara umum

pertanggungjawaban hukum dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu:

1. Pertanggungjawaban Hukum Pidana

Pertanggungjawaban hukum pidana di artikan pound sebagai

suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di

terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan, menurutnya

juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak

hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi

menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan

yang ada dalam suatu masyarakat. Pertanggungjawaban hukum

pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toereken-baarheid,”

“criminal reponsibilty,” “criminal liability,”

pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk

menentukan apakah seseorang tersebut dapat


105

dipertanggungjawabkan secara pidana atau tidak terhadap

tindakan yang dilakukannya itu. (Lubis 2010)

Terkait pertanggungjawaban hukum pidana terdapat sebuah

prinsip yang sangat penting dari Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya akan disebut dengan

KUHPidana) yang menyatakan “suatu perbuatan hanya

merupakan tindak pidana, jika ini ditentukan lebih dulu dalam

suatu ketentuan perundangundangan”. Oleh karena itu,

seseorang hanya bisa dituntut untuk melaksanakan

pertanggungjawaban hukum pidana, apabila perbuatan orang

tersebut merupakan suatu tindakan pidana yang telah diatur oleh

hukum dan dapat dikenai hukuman pidana. Tindakan pidana

tersebut harus ada suatu akibat tertentu dari perbuatan pelaku

berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan

keharusan ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku

dan kerugian atas kepentingan tertentu.

Terkait pertanggungjawaban hukum pidana maka terlebih

dahulu perlu kita pelajari tentang hukum pidana. Hukum pidana

dalam arti yang luas terdiri atas hukum pidana (substantif atau

materiil) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal).

Apabila hukum dibagi atas hukum publik dan hukum privat,

maka hukum acara pidana termasuk hukum publik. Terdapat dua

unsur pokok dalam pertanggungjawaban hukum pidana.

Pertama, adanya suatu norma, yaitu suatu larangan atau suruhan


106

(kaidah). Kedua adanya sanksi (sanctie) atas pelanggaran norma

itu berupa ancaman dengan hukuman pidana.

Di Indonesia akibat dari pertanggungjawaban pidana yang

diterapkan adalah sistem hukuman pidana yang tergambar dalam

titel II Buku I KUHP yang berjudul Hukuman (straffen), yaitu

sebagai berikut:

1) Hukuman Mati

Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati

selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka,

dengan ancaman hukuman mati akan takut melakukan

perbuatan yang kejam yang akan mengakibatkan mereka

dihukum mati. Menurut Mr.J.E. Jonkers dalam bukunya Het

Nederlandsch-Indie Strafstelsel halaman 11,

mengemukakan bahwa menurut surat penjelasan atas

rancangan KUHP Indonesia, terdapat empat golongan

kejahatan yang oleh KUHP diancam dengan hukuman mati,

yaitu:

a. Kejahatan berat terhadap keamanan negara (Pasal 104,


105, 111 ayat 2, 124 ayat 3, 129)
b. Pembunuhan berencana (Pasal 130 ayat 3, 140 ayat 3,
340)
c. Pencurian dan pemerasan dalam keadaan memberatkan
(Pasal 365 ayat 4 dan Pasal 368 ayat 2)
d. Bajak laut, perampokan di pantai, perampokan di tepi
laut dalam air surut, dan perampokan di sungai,
dilakukan dalam keadaan tersebut dalam Pasal 444
KUHP)
107

2) Hukuman Penjara dan Kurungan

Perbedaan pokok antara hukuman penjara dengan

hukuman kurungan terletak pada sifat lebih berat pada

hukuman penjara. Maka, hukuman kurungan hanya

diancamkan pada tindak-tindak pidana yang bersifat ringan.

Perbedaan-perbedaan pokok adalah sebagai berikut:

a. Menurut Pasal 12 ayat 2 KUHP, lamanya hukuman


penjara adalah sekurang-kurangnya satu hari dan
selama-lamanya lima belas tahun, maksimun lima belas
tahun dilampaui dalam hal gabungan tindak-tindak
pidana, recidive, atau dalam hal berlakunya pasal 52
KUHP (ayat 3 dari Pasal 12). Menurut Pasal 18 ayat 1
KUHP, lamanya hukuman adalah sekurang-kurangnya
satu hari dan selama-lamanya satu tahun, dengan
kemungkinan maksimun ini dinaikkan menjadi satu
tahun empat bulan dengan aturan-aturan yang sama
(Pasal 18 ayat 2).
b. Menurut Pasal 19 ayat 2 KUHP, kepada seorang
hukuman kurungan diberi pekerjaan lebih ringan.
c. Menurut Pasal 21 KUHP, hukuman kurungan harus
dijalani dalam daerah provinsi (gewest) tempat si
terhukum berdiam.
d. Menurut Pasal 23 KUHP, orang hukuman kurungan
boleh memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri
menurut peraturan yang akan ditetapkan dalam undang-
undang. Peraturan ini termuat dalam Peraturan tentang
Rumah-Rumah Penjara (Gestichten-Reglement) Pasal
93 yang antara lain memperbolehkan orang hukuman
kurungan menerima makanan dan tempat tidur dari
rumah.

3) Penghukuman Bersyarat

Menurut Pasal 14a dan seterusnya KUHP, apabila

seorang dihukum penjara selama-lamanya satu tahun atau


108

kurungan, maka hakim dapat menentukan bahwa hukuman

itu tidak dijalankan, kecuali kemudian ditentukan oleh

hakim, apabila si terhukum dalam tenggang waktu

percobaan melakukan tindak pidana lagi atau apabila si

terhukum tidak memenuhi syarat tertentu, misalnya tidak

membayar ganti kerugian kepada si korban dalam waktu

tertentu.

4) Denda

Menurut pasal 30 ayat 1 KUHP, jumlah denda

sekurangkurangnya dua puluh lima sen. Kini, tidak

diadakan maksimun umum, maka tiap-tiap pasal yang

mengancam dengan hukuman denda, tidak terbatas dalam

menentukan maksimun denda untuk tindak pidana tertentu.

Apabila denda tidak dibayar, maka ayat 2 menentukan

bahwa denda itu diganti dengan kurungan yang menurut

ayat 3 adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-

lamanya enam bulan. Maksimun enam bulan dapat

dilampaui sampai delapn bulan karena ada gabungan tindak

pidana, recidive, atau berlakunya Pasal 52 KUHP.


109

5) Hukuman Tambahan

Sebagaimana yang termuat dalam KUHPidana terdapat

dua bentuk hukuman tambahan, yaitu sebagai berikut :

a. Hukuman Tambahan Pencabutan Hak- Hak Tertentu,


Menurut Pasal 35 KUHP hak si bersalah yang boleh
dicabut dalam putusan hakim adalah:
1. Menjabat segala jabatan atau jabatan
tertentu
2. Menjadi prajurit
3. Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan
berdasar undang-undang
4. Menjadi penasihat atau wali atau wali pengawas
atau penampu pengawas atas orang lain daripada
anaknya sendiri
5. Kekuasaan bapak, perwalian dan pengampuan
atas anaknya sendiri
6. Melakukan pekerjaan tertentu

Terdapat kemungkinan untuk diperluas pencabutan

hak sebagaimana dimaksud di atas, apabila mereka

melakukan kejahatan besama-sama dengan orang yang

ada di bawah kekuasaannya atau apabila mereka

melakukan salah satu kejahatan kesusilaan.

b. Hukum tambahan kedua, menurut Pasal 39 berupa

perampasan barang-barang milik terhukum, yaitu yang

diperoleh dengan kejahatan atau yang dipergunakan

untuk melakukan kejahatan dengan sengaja. Menurut

Pasal 42, biaya dari hukuman penjaran dan kurungan


110

dipikul oleh negara, sedangkan hasil dari denda dan

barang-barang rampasan masuk kas negara.

Terlepas dari pertanggungjawaban hukum pidana

yang merupakan sanksi terakhir atas suatu tindakan

pelanggaran hukum (ultimatum remedium), perlu

diingat bahwa Geen Straf Zonder Schuld yang artinya

tiada hukuman tanpa kesalahan baik tindakan itu

merupakan kesengajaan ataupun kelalaian (culpa).

Adanya pertanggungjawaban hukum pidana,

tidak lepas dari tujuan adanya hukum pidana itu sendiri.

Di antara para sarjana diutarakan bahwa tujuan dari

hukum pidana adalah sebagai berikut:

1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai


melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti
orang banyak (generale preventive) maupun
secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah
menjalankan kejahatan agar di kemudian hari
tidak melakukan kejahatan lagi (speciale
preventive).
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang
yang sudah menandakan suka melakukan
kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya
sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

2. Pertanggungjawaban Hukum Perdata

Pertanggungjawaban hukum perdata dapat berupa

pertanggungjawabanhukum berdasarkan wanprestasi dan


111

perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

Pertanggungjawaban hukum perdata berdasarkan wanprestasi

baru dapat ditegakkan dengan terlebih dahulu harus adanya

perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban.

Perjanjian diawali dengan adanya persetujuan para

pihak. Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (yang selanjutnya akan disebut dengan KUHPerdata)

definisi persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih. Dalam hubungan hukum para pihak yang

berlandaskan perikatan, pihak yang dibebankan suatu

kewajiban, kemudian tidak melaksanakan atau melanggar

kewajiban yang dibebankan kepadanya maka ia dapat

dinyatakan lalai dan atas dasar kelalaian itu ia dapat dituntut

pertanggungjawaban hukum perdata berdasarkan wanprestasi.

Ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata yang berbunyi

Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat

sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Maka, kewajiban

dalam suatu perjanjian dapat dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Prestasi untuk memberikan sesuatu


b. Prestasi untuk berbuat sesuatu
c. Prestasi untuk tidak berbuat sesuatu
112

Sedangkan wanprestasi menurut Prof. R. Subekti dapat

berupa suatu keadaan dimana pihak yang memiliki kewajiban

untuk melaksanakan prestasi: (Sanjaya 2017)

a. Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan;


b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, namun tidak
tepat seperti apa yang dijanjikan
c. Melaksanakan apa yang dijanjikan tapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan
Ada tiga kemungkinan bentuk gugatan untuk menutut

pertanggungjawaban hukum perdata yang dapat diajukan oleh

pihak yang merasa dirugikan akibat dari wanprestasi, yaitu:

a. Secara parate executie, Dimana kreditur melakukan

tuntutan sendiri secara langsung kepada debitur tanpa

melalui pengadilan. Dalam hal ini pihak yang

bersangkutan bertindak secara eigenrichting (menjadi

hakim sendiri secara bersama-sama). Pada prakteknya,

parate executie berlaku pada perikatan yang ringan dan

nilai ekonomisnya kecil.

b. Secara arbitrage (arbitrase) atau perwasitan, Karena

kreditur merasakan dirugikan akibat wanprestasi pihak

debitur, maka antara kreditur dan debitur bersepakat untuk

menyelesaikan persengketaan masalah mereka itu kepada

wasit (arbiter). Apabila arbiter telah memutuskan sengketa

itu, maka pihak kreditur atau debitur harus mentaati setiap


113

putusan, walaupun putusan itu menguntungkan atau

emrugikan salah satu pihak.

c. Secara rieele executie, Yaitu cara penyelesaian sengketa

antara kreditur dan debitur melalui hakim di pengadilan.

Biasanya dalam sengketa masalah besar dan nilai

ekonomisnya tinggi atau antara pihak kreditur dan debitur

tidak ada konsensus penyelesaian sengketa dengan cara

parate executie, maka penyelesaian perkara ditempuh

dengan rileele executie di depan hakim di pengadilan.

Sedangkan pertanggungjawaban hukum perdata

berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)

didasarkan pada adanya hubungan hukum, hak dan kewajiban.

Konsepsi perbuatan melawan hukum di Indonesia didasarkan

pada Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi Tiap perbuatan

yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang

lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena

kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut, sehingga

suatu perbuatan dikatakan merupakan suatu perbuatan

melawan hukum dan dapat dimintakan pertanggungjawaban

untuk membayar ganti rugi apabila memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut:

a. Perbuatan Unsur, perbuatan sebagai unsur yang pertama

dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu perbuatan yang

merupakan kesengajaan (dilakukan secara aktif) dan


114

perbuatan yang merupakan kelalaian (pasif/tidak berniat

melakukannya).

b. Melawan Hukum, Sejak tahun 1919 di Belanda telah

menganut pemahaman meluas terkait perbuatan melawan

hukum setelah putusan Lindenbaum vs. Cohen. Perbuatan

melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya

perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu

perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si

pelaku dan melanggar kaidah hak subyektif orang lain,

tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak

tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan,

ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki

seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau

terhadap harta benda warga masyarakat.

c. Adanya Kerugian, Pasal 1365 KUHPerdata menentukan

kewajiban pelaku perbuatan melawan hukum untuk

membayar ganti rugi. Namun tidak ada pengaturan lebih

lanjut mengenai ganti kerugian tersebut. Pasal 1371 ayat

(2) KUHPerdata memberikan sedikit pedoman untuk itu

dengan menyebutkan penggantian kerugian dinilai

menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak

dan menurut keadaan. Selanjutnya dapat ditemukan

pedoman pada Pasal 1372 ayat (2) KUHPerdata yang

menyatakan dalam menilai satu dan lain, hakim harus


115

memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula

pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak,

dan pada keadaan.

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan

kerugian, dalam perbuatan melawan hukum adalah unsur

kausalitas sangat penting, dimana harus dapat dibuktikan

bahwa kesalahan dari seseorang menyebabkan kerugian

kepada orang lain atau kerugian dari orang lain benar-

benar disebabkan oleh kesalahan orang yang digugat.

Sehingga kesalahan dan kerugian memiliki hubungan yang

erat dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan.

Pertanggungjawaban hukum perdata dengan dasar

perbuatan melawan hukum dan wanprestasi adalah ganti rugi.

Namun terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu tujuan

atau akibat akhir dari perbuatan melawan hukum adalah ganti

rugi sebagai upaya pemulihan sebagaimana keadaan semula

sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut.

Sedangkan tujuan atau akibat akhir dari ganti rugi dalam

wanprestasi adalah ganti rugi merupakan pelaksanaan

kewajiban dari pihak debitur. Dapat pula diartikan bahwa ganti

rugi dalam wanprestasi dimaksudkan agar para pihak

melakukan pembayaran tepat pada waktunya.


116

Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 1365

KUHPerdata yang berbunyi tiap perbuatan yang melanggar

hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan

orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya

untuk menggantikan kerugian tersebut, sehingga dapat

dimaknai kerugian akibat perbuatan melawan hukum sebagai

rugi (scade) saja, sedangkan kerugian akibat wanprestasi

berdasarkan ketentuan Pasal 1246 KUHPerdata yang berbunyi

biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur,

terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan

yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa mengurangi

pengecualian dan perubahan yang disebut di bawah ini, dapat

disimpulkan berupa biaya, kerugian dan bunga (Kosten, scaden

en interessen).

Dalam proses peradilan untuk menuntut

pertanggungjawaban perdata, terdapat satu hal yang berbeda

dengan pertanggungjawaban pidana dimana dalam proses

peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan

hakim hanya berupa kebenaran formil (formeel waarheid).

Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan

menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran

materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil

putusan berdasarkan kebenaran formil.


117

1.7. Desain Penelitian (Bagan II1)


Judul : Konsep Kriminalitas Perbuatan Pelacuran Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Latar Belakang :
Filosofi : Pelacuran itu bentuk kegiatan penistaan terhadap amalan ide-ide Pancasila yang mana dilihat
dari sila pertama penistaan terhadap norma agama , sila kedua yang mana merendahkan derajat dan harkat
martabat manusia ( Wanita / perempuan ), sila lima yang mana mayoritas para pekerja seks komersial
terjerumus dikarenakan ekonomi sehingga, ini masih jelas belum adanya perwujudan dari sila kelima
( kemakmuran dan kesejahteraan ).
Sosiologi : Perbuatan pelacuran selama ini hanya memberikan saksi kepada mucikari saja padahal
stakeiholder adanya pelacur, mucikari dan penikmat jasanya.
Yuridis : Dasar hukum terkait pengaturan pelacuran sebagai tindak pidana hanya memberikan sanksi
kepada mucikari ( Pasal 296 KUHP ) dan penyedia fasilitas ( pemilik penginapan / hotel ) sebagaimana
yang tertuang dalam Pasal 506 KUHP.

RM. 1 : Apakah Urgeresi Kebijakan Rumusan Masalah 2 : Bagaimana Konsep Kebijakan

Kriminalisasi Pada Perbuatan Pelacuran Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Pelacuran Dalam


Dalam Hukum Pidana Indonesia Saat ini ?
Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia?

Theory

Teori keadilan, teori sistem Sistem Perundang- undangan,


hukum, kebijakan hukum Teori kebijakan hukum pidana,
pidana

Metode Penelitian
Pendekatan UU
Kesimpulan dan Rekomendasi
Yuridis Normatif Studi Dokumen
Pendekatan

Perbandingan
Kerangka Konseptual :

Hasil dan Pembahasan 1. Pelacuran


2. Kriminalisasi
3. Tindak Pidana dan Pelaku Pidana
4. Pembaharuan Hukum Pidana
5. Pertanggungjawaban Hukum
118

1.8. Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara

menemukan, dan mengemukan suatu kebenaran dengan melakukan

analisa. Menurut Morris L. Cohen dan Kent C. Olson adalah: Legal

research is an essential component of legal practice. It is the process of

finding the law that governs an activity and materials that explain or

analyze that law.(Olson 2018) (terjemahan: penelitian hukum merupakan

komponen penting dari praktek hukum. Ini adalah proses menemukan

hukum yang mengatur kegiatan dan materi yang menjelaskan atau

menganalisis atas hukum tersebut).

Jenis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah penelitian

hukum yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan (apporoach)

penentuan bahan hukum (legal material) dan analisa kritis (critical

analysis) terhadap bahan-bahan hukum yang bersifat penelusuran

(explorative) dengan kajian mendalam (inquiry) serta penafsiran

(interpretation).(Hockce 2000)

Johnny Ibrahim mengemukkan penelitian hukum normatif

merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran

berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi pengajian normanya. Logika

keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun

berdasarkan disiplin ilmiah dan cara kerja ilmu hukum yang menjadi
119

obyek kajian sendiri (norma hukum).(Ibrahim 2007) Dalam mencari bahan

pembahasan dilakukan secara heuristic, karena permasalahan yang diteliti

ini sangatlah sulit, walaupun telah banyak yang melakukan penelitian

mengenai hal ini namun masih sering menjadi bahan perdebatan. Menurut

Terry Hutchinson, untuk permasalahan pada penelitian yang sangat sulit

pada suatu penelitian dapat digunakan dengan cara-cara heuristic.

(Hutchinson 2006)

1.8.2 Pendekatan Masalah

Berkenaan dengan karakteristik serta sifat penelitiannya, yaitu

penelitian hukum normatif mengenal beberapa pendekatan untuk

memproleh informasi berkaitan dengan permasalahan pemenelitian.

Dalam hal ini penulis hanya akan menggunakan pendekatan perundang-

undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual

approach), dan pendekatan kompraratif (cooperative approach), yaitu :

1. Pendekatan undang-undang (the statute approach), adalah

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan

praktis, pendekatan undang- undang ini akan membuka

kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi

dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-

undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang

Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah

terscbut merupakan suatu argument untuk memecahkan isu yang


120

dihadapi. Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu

mencari ratio legis (tujuan hukum) dan dasar ontologis lahirnya

undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratiolegis dan

dasar ontologis suatu undang-undang, peneliti sebenarnya

mampu menangkap kandungan filosoti yang ada di belakang

undang-undang itu, peneliti tersebut akan menyimpulkan

mengenai ada atau tidaknya benturan filosofis antara undang-

undang dengan isu hukum yang dihadapi.

2. Pendekatan konseptual (the analytical conceptual approach)

adalah Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak

beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena

memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang

dihadapi. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu

hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide

yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep dihadapi.

Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

tersebut ran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi

konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu

yang hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.(Marzuki

2011)

3. Pendekatan perbandingan (Comperartive approach) adalah

mengamati/menganalisis sejumlah system hukum di Negara


121

Barat untuk kemudian dilakukan perbandingan hukum sesuai

dengan peruntukan dalam permasalahan yang ada di dalam

penelitian ini.

4. Pendekatan filosofi (filosofie Approach) adalah Secara umum

filosifi merupakan metode/cara berfikir dengan dengan kritis,

sampai akar dan menyeluruh. Pendekatan filosofis akan

membantu memberikan cara pandang terhadap permasalahan

yang akan dibahas dengan memperhatikan segala aspek

(menyeluruh), mendasar (sampai ke akar) serta kritis melihat

berbagai aspek yang dapat berpengaruh terhadap simpulan yang

ingin diperoleh. Tentunya pendekatan filosofis beranjak dari

hakikat/filsafat Ilmu Hukum yang merupakan bagian bagian dari

filsafat Ilmu (mengakar). Pendekatan filosofis yang

dipergunakan, dapat pula ditengahi permasalahan yang sedang

dibahas dari sudut pandang cabang ilmu yang lain sehingga hasil

(simpulan) yang diperoleh menjadi sebuah gagasan yang mampu

memenuhi keadilan serta kepastian hukum bagi semua pihak.

1.8.3 Sumber Bahan Penelitian

Sesuai jenis penelitian yaitu penelitian hukum nomatif, maka

bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu

berupa perundang-undangan, yang memiliki otorotas tertinggi adalah

Undang-Undang Dasar karena semua peraturan dibawahnya baik isi

maupun jiwanya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang


122

Dasar tersebut. Selanjutnya adalah Undang- Undang. Dimana Undang-

Undang dan/atau Peraturan Perundang-undangan merupakan suatu

bentuk buah dari kesepakatan antara pemerintah dan rakyat sehingga

mempunyai kekuatan mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan

bernegara. Sejalan dengan Undang-Undang untuk tingkat dacrah yang

dimakud dengan Peraturan Daerah yang juga mempunyai daya otoritas

yang tinggi untuk tingkat daerahnya karena dibuat oleh pemerintah

daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bahan hukum primer

yang otoritasnya di bawah Undang-Undang adalah Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan suatu Badan atau

Lembaga Negara.

Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena

buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan

pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi

tinggi. Disamping buku teks, bahan hukum sekunder dapat berupa

tulisan-tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal-

jurnal. Disamping bahan hukum primer dan sekunder juga digunakan

bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk imaupun

penjelasan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan

sebagainya. Adapun bahan hukum dalam penelitian ini sesuai dengan

fokus permasalahan penelitiannya sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

dan terdiri atas :


123

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Peraturan
Hukum Acara Pidana
c. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan,
d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
e. Beberapa Peraturan Daerah Di Indonesia yang terkait dengan
Pelacuran
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu rancangan undang-undang, hasil-

hasil penelitian, yurisprudensi, buku-buku dan hasil karya dari

kalangan pakar hukum, yang berhubungan dengan penelitian ini;

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

atau petunjuk mengenai bahan hukum primer dan sekunder, seperti

kamus dan ensikiopedia.

1.8.4 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam

penelitian hukum normative adalah dilakukan dengan melalui kegiatan

studi pusataka, studi dokumen, dan studi catatan hukum. Pustaka yang

dimaksud terdiri dari perundang-undangan, putusan pengadilan

(jurisprudensi), dan buku karya tulis bidang hukum. Ketiga jenis

pustaka ini biasanya dikoleksi di perpustakaan umum dan perpustakaan

khusus bidang hukum.(Abdulkadir 2004)

Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui kegiatan studi

kepustakaan dan studi dokumen. Pengolahan datanya akan disusun

secara teratur, berurutan, logis sehingga mudah untuk dipahami dan

dimengerti, kemudian menempatkan data menurut kerangka sistematika


124

atau mengelompokkan data sesuai variable atau objek penelitian yaitu

apa yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini.

1.8.5 Analisis Bahan Hukum

Untuk menjabarkan bahan hukum yang telah dikumpulkan di

dalam penelitian memakai sejumlah teknik antara lain :

a. Teknik deskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat


dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti penggambaran/ uraian
apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisi dari proposisi-
proposisi hukum atau non hukum;
b. Teknik interpretasi adalah teknik penafsiran yang menggunakan
jenis-jenis interpretasi antara lain: interpretasi gramatika, histori,
sistematik, teleologis, kontekstual dan lain sebagainya;
c. Teknik evaluasi adalah penelitian mengenai sesuai atau tidak
sesuai, setuju ataupun tidak, salah ataupun benar pada suatu
gagasan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan yang
tercantum dalam bahan primer dan sekunder;
d. Teknik argumentasi adalah satu penilaian harus berdasarkan alasan
yang bersifat pemikiran hukum. Dalam pembicaraan isu hukum
semakin banyak argument makin memperlihatkan pemikiran
hukum.
1.9 Pertanggungjawaban Sistematika

Sesuai dengan kelaziman, laporan penelitian diawali dengan bab I

atau bab Pendahuluan. Didalam bab penulisan hukum ini terdiri dari empat

bab, dimana masing- masing bab pendahuluan ini diuraikan berturut-turut

tentang latar belakang permasalahan, bab I Pendahuluan diuraian mengenai

Latar Belakang Masalah yang menjadi alasan penting penelitian ini

dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan issue-issue hukum


125

sebagai titik tolak penelitian ini.Agar penelitian ini mencapai sasaran yang

diinginkan, maka ditetapkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian,

juga diuraikan manfaat dari hasil penelitian.Untuk memasuki pembahasan

terlebih dahulu dikemukakan kajian pustaka yang berkaitan denganjudul

Disertasi.Selanjutnya diuraikan metode yang digunakan dalam penelitian

beserta langkah-langkahnya. Dengan langkah-langkah tersebut, penelitian

ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, sehingga orang lain dapat

menelusuri langkah-langkah penelitian yang dilakukan. Bagian akhir dari

bab ini adalah sistematika penulisan.

Dalam bab II sesuai dengan rumusan masalah pertama, bab ini

menjelaskan mengenai Urgensi Kriminialisasi Pada Perbuatan Pelacuran

Dalam Hukum Pidana Indonesia. Menguraikan analisis menggunakan Teori

keadilan, teori sistem hukum dan teori kebijakan hukum pidana, materi-

materi yang berhubungan dengan landasan kebijakan kriminalisasi terhadap

perbuatan pelacuran sehingga nantinya teori-teori tersebut dapat menjadi

pisau analisa pada pokok-pokok permasalahan yang akan dikaji pada

rumusan permasalahan pertama pada penelitian yang akan dikaji oleh

penulis.

Dalam Bab III sesuai dengan rumusan masalah kedua, bab ini

menguraikan mengenai Konsep Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Pelacuran

Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Analisis

menggunakan teori Perundang- undangan, teori pemidanaan serta teori rasa

moral (moral sense theory) sehingga nanti dapat menjadi pisau analisa yang

diselaraskan dengan konsep-konsep hukum (konsep pelacuran, konsep


126

kriminalisasi dan konsep pembaharuan hukum pidana serta konsep

pertanggungjawaban hukum) dalam menjawab konsep kriminalisasi yang

ideal perbuatan pelacuran sebagai formulasi dalam regulasi pembaharuan

pada hukum pidana Indonesia yang berlandaskan Pancasila.

Dalam Bab IV Merupakan bab penutup yang didalamnya berisikan

kesimpulan dan saran tindak lanjut yang akan menguraikan kesimpulan dari

analisis hasil penelitian. Selanjutnya dalam penulisan hukum ini

dicantumkan juga daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang mendukung

penjabaran penulisan hukum yang didapat dari hasil penelitian penulis.


127

BAB II

URGENSI KRIMINIALISASI PADA PERBUATAN PELACURAN

DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

2.1 Esensi Dari Perbuatan Pelacuran

Pelacuran termasuk penyakit masyarakat dan merupakan masalah

sosial. Pelacuran itu sendiri merupakan tindakan dan atau perbuatan

penyimpangan terhadap norma-norma masyarakat. Pelacuran yang identik

dengan kata asing pelacuran; berasal dari bahasa latin “prostituo”, yang kira-

kira diartikan sebagai perilaku yang terang-terangan menyerahkan diri pada

“perzinahan”.(Soedjono 2010)

Perzinahan oleh hukum diartikan dengan perbuatan percintaan sampai

kesebadanan antara seorang yang telah berkeluarga (bisa suami, bisa isteri),

dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya, atau dengan kata lain

perzinahan sebagai perbuatan yang bisa dilakukan baik oleh wanita maupun

laki-laki seolah–olah dapat dibenarkan sementara orang yang mengatakan

bahwa dalam pentas pelacuran, seorang pelacur bisa seorang wanita bisa pula

laki-laki sekalipun yang berpendapat demikian mungkin relatif kecil.

W.A Bonger, pelacuran ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita

menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata

pencaharian” selanjutnya Sedangkan Kartini Kartono merumuskannya sebagai

berikut: “Pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola

organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam

bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang


128

(promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersional

tanpa afeksi sifatnya”.(Kartono 2009)

Demikian menariknya mengamati masalah pelacuran ini karena secara

nasional, dia tergolong sebagai kejahatan secara sosiologis pelacur sebagai

korban sekaligus sebagai pelaku atau dapat dikatakan sebagai kejahatan tanpa

korban, sehingga para ahli/sarjana Indonesia ikut melakukan penelitian dan

mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

1. Paulus Moedikdo Moelyono, Pelacuran adalah penyerahan badan


wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna
pemuasan nafsu orang itu.
2. Budisoesetyo, Pelacuran adalah pekerjaan yang bersifat menyerahkan
diri kepada umum untuk perbuatan kelamin dengan mendapat upah.
3. Warouw (medicus), pelacuran adalah mempergunakan badan sendiri
sebagai alat pemuas seksuil untuk orang lain dengan mencapai
keuntungan.

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat perbuatan

orang melacurkan diri atau perbuatan pelacuran , sebagai berikut :

a. Unsur ekonomis yang berupa pembayaran sebagai tegen


prestasi.
b. Unsur "umum" yang berupa partner yang tidak bersifat selektif ,
Dengan kata lain siapa saja diterima asal diberi uang.
c. Unsur kontinu yang dilakukan beberapa kali.

Seperti dikatakan W. A. Bonger dalam Kartini Kartono, Pelacuran ialah :

“Gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-

perbuatan seksual sebagai mata pencaharian”, sedangkan menurut Sarjana PJ.


129

De Bruine Van Amstel dalam Kartini Kartono, Pelacuran adalah : “Penyerahan

diri wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran”.

Berdasarkan pendapat di atas pelacuran merupakan penjualan diri

sebagai profesi atau mata pencaharian sehari-hari dengan cara melakukan

relasi-relasi seksual dengan pembayaran. Sejalan dengan hal tersebut di dalam

sejarahnya pengertian Pelacuran sejak dahulu adalah penyerahan diri seorang

wanita kepada banyak laki-laki dalam hubungan seksual dengan pembayaran

tertentu.

Pelacuran adalah penyerahan diri secara badaniah seorang wanita untuk

pemuas laki-laki siapapun yang menginginkannya dengan pembayaran, maka

seseorang disebut pelacur harus memenuhi unsur-unsurnya sebagai berikut :

a. Penyerahan diri seorang wanita.


b. Kepada banyak laki-laki siapapun tanpa pilih bulu, jadi secara umum.
c. Laki-laki yang berhubungan dengan wanita yang menyerahkan diri
membayar sejumlah uang atau barang (umumnya dengan uang).
Beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran menurut Kartini

Kartono antara lain :

1. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran yang


2. dilarang dan diancam hukuman ialah praktek germo (Pasal 296
KUHP), dan mucikari (Pasal 506 KUHP).
3. Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan
kebutuhan seks. Khususnya di luar ikatan perkawinan.
4. Komersialisasi dari seks baik dipihak wanita maupun germo-germo,
dan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks.
5. Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan
setempat khususnya di perkotaan.
130

Sesungguhnya banyak pendapat para ahli tentang pengertian tentang

pelacuran tetapi esensi hampir sama, namun berbeda dengan George Ryley

Scott : dia mengatakan;

"A prostitute is an individual, male or female, who for some kind or


reward, monetary or otherwise, or for some form or forsonal satisfaction,
and as part or whole time profession, engages in normal or abnormal
sexual intercourse with various persons, who may be of the same sex as,
or the opposite sex to the prostitute.
(terjemahaannya; Pelacur adalah seorang perempuan atau laki-laki yang
karena semacam upah, baik berupa uang atau lainnya atau karena
sebentuk kesenangan pribadi dan sebagai bagian atau seluruh
pekerjaannya, mengadakan perhubungan kelamin yang normal atau tidak
normal dengan berbagai-bagai orang, yang sejenis dengan atau yang
berlawanan jenis dengan pelacur itu.)

Memang selain pelacur wanita ada juga pelacur laki-laki yang disebut

gigolo, namun pelacur laki-laki tidak dibahas dalam tulisan ini, sependapat

dengan George Ryley Scott, G. May dalam bukunya Encyclopedia Of Social

Science memberikan pengertian tentang pelacur Prostitution defined as sexual

intercourse characterized by barther, promiscuity and emotional indifference.

Pengertian ini hampir sama dengan definisi yang dinyatakan oleh T.S.G Mulia

dan kawan-kawan dalam Ensiklopedia Indonesia yang maknanya predikat

Pelacur dapat terjadi pada seorang wanita maupun pria berhubungan kelamin,

melakukan perbuatan cabul atau melakukan perbuatan-perbuatan seksual di

luar nikah. Namun apapun namanya pelacur dibenci tetapi disenangi bagi yang

membutuhkan jasahnya oleh sebab itu dalam melakukan kegiatannya pelacur

menyebar dan mempunyai kelas.

Kegiatan pelacuran, menyebar di dalam masyarakat, ada pelacuran

yang menjajakan dirinya di pinggiran jalan (street pelacuranon) atau kelas


131

rendahan (low class) ada pula pelacuran kelas tinggi (the highest class) yang

hanya melayani panggilan ke hotel-hotel atau yang sejenisnya, dalam hal ini

ada yang beroperasi sendiri maupun yang berada di dalam kekuasaan germo

dan ada pula yang dilokalisir. Pelacuran di Indonesia telah ada di tengah-

tengah masyarakat sejak wilayah Indonesia masih berbentuk kerajaan. Sesudah

Indonesia merdeka sebagai akibat peperangan yang berlangsung lama dan juga

demoralisasi yang dibawa penjajah ditambah lagi dengan keadaan ekonomi

yang tidak menentu maka pelacuran merajalela di hampir semua Propinsi

bahkan di beberapa kecamatan.

Beberapa komplek pelacuran yang besar yang dapat menampung

ratusan bahkan ribuan pelacur baik yang diatur oleh Pemerintah daerah

maupun yang setengah resmi dan liar yang banyak di jumpai di beberapa kota

di Indonesia. Untuk sampai pada pemahaman pengertian pelacuran atau

pelacuran, setelah mendapatkan suatu gambaran tentang fungsi pelacuran pada

masa dahulukala maka di bawah ini akan diberikan beberapa perumusan

tentang pelacuran.

Departemen Sosial Republika Indonesia di samping memberikan suatu

perumusan tentang pelacuran, juga menilai pelacur dalam hubungan dengan

UUD 1945. Menurut Departemen Sosial RI, pelacuran adalah Setiap hubungan

kelamin di luar perkawinan yang syah (sic) antara laki-laki dan wanita yang

oleh satu pihak pelakunya dijalankan dengan maksud mendapat suatu

keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Pelacuran merupakan sistem

pencaharian nafkah yang tidak halal, bertentangan dengan UUD 45, agama dan

kepribadian bangsa Indonesia.(Sahetapy 2006)


132

Simone de Beauvoir seorang filosof wanita, membandingkan wanita

yang berfungsi sebagai istri dan wanita yang berfungsi atau bertugas sebagai

pelacur. Simone membedakan bahwa istri terikat untuk memberikan sex

service selama jangka waktu yang tidak terbatas, dan karena "dimiliki" secara

pribadi dia dilindungi. Sebaliknya pelacur karena tidak ada yang

mengklaimsiapa pemiliknya, maka dia di anggap "barang" tidak berharga dan

dimana sex service hanya bersifat temporer. Dalam hal ini Simone tidak

memberikan unsur uang atau keuntungan apapun perolehan materi yang

menetapkan seorang jadi pelacur, tetapi Simone menetapkan kriteria pelacur

dari hubungan seks tanpa diskriminasi dari seorang wanita dengan pria siapa

saja.

Dari beberapa perumusan pengertian pelacuran di atas, ada tiga faktor

yang memberikan karekteristik secara khas bentuk pelacuran atau, yaitu :

1. Adanya unsur pembayaran jasa, apakah itu dalam bentuk uang, barang
atau keuntungan materi lainnya, semua itu bergantung pada struktur dan
sistem ekonomi.
2. Unsur diskriminasi atau pilihan lazimnya hubungan promiskuitas itu
tidak harus selamanya merupakan hubungan antara dua jenis seks yang
berlawanan.
3. Ada unsur eros ataupun unsur emosi yang melukiskan tingkat intimitas,
namun pada umumnya terdapat sikap emosi tanpa pilih kasih.

Dengan demikian pelacuran merupakan peristiwa penyerahan diri/tubuh

oleh wanita kepada banyak laki-laki (lebih dari satu) dengan imbalan

pembayaran guna disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar,

dilakukan di luar pernikahan. Pelacur adalah wanita yang pekerjaannya

menjual diri kepada siapa saja atau banyak laki-laki yang membutuhkan
133

pemuas seksual dengan banyak laki-laki di luar pernikahan, dan si wanita

memperoleh imbalan uang dari laki-laki yang menyetubuhinya.

Ada yang berpendapat bahwa laki-laki dapat pula menjadi pelacur, atau

juga pendapat yang mengatakan hubungan seks yang tidak sewajarnya (homo

seks dan lesbian) merupakan bagian dari pelacuran. Jelasnya pelacuran itu

dapat saja dilakukan baik oleh kaum perempuan yang sering disebut sundal,

balon, lonte maupun oleh kaum laki-laki yang sering disebut gigolo, jadi ada

persamaan predikat lacur antara laki-laki dengan perempuan yang bersama-

sama melakukan perbuatan hubungan kelamin diluar perkawinan baik

dilakukan sesama perempuan (lesbian) maupun sesama laki-laki (homo seks)

bila dilakukan dengan barter atau menukarkan seks dengan bayaran uang,

hadiah atau barang berharga lainnya dapat dikategorikan sebagai pelacur.

Dalam penulisan ini masalah-masalah tersebut tidak dibahas, penulis

membatasi diri pada masalah pelacuran yang pelaku utamanya wanita dan

hubungan seks yang dilakukan oleh orang yang berlainan jenis. Selanjutnya

penulis mengutip pengertian pelacur yang dikemukakan Kartini Kartono,

sebagai berikut :

1. Pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual dalam bentuk

pelampiasan nafsu-nafsu tanpa kendali dengan banyak orang

(Promiskuitas) yang disertai eksploitasi dan komersialisasi seks.

2. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan

jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, kepribadian kepada

banyak orang untuk memuaskan nafsu seks dengan imbalan

pembayaran.
134

3. Pelacuran adalah perbuatan perempuan atau laki-laki yang

menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan

mendapatkan upah.

Wanita pelacur menjual dirinya kepada laki-laki secara langsung atau

dengan perantara orang lain. Dalam prakteknya wanita pelacur yang secara

langsung menjual dirinya biasanya beroperasi di jalan-jalan. Wanita pelacur

yang menjual dirinya dengan perantaraan pihak ketiga biasanya beroprasi di

bordil-bordil dilokalisir dalam hal ini perantaranya germo, yang beroperasi di

hotel perantaranya secara tidak langsung adalah pemilik hotel sendiri atau

orang tertentu yang dikenal pemilik hotel.

Wanita pelacur yang menunggu pangilan yang lebih dikenal dengan

sebutan Call girl yang beroperasi sesuai dengan perjanjian, ada juga yang

beroperasi di tempat mandi uap, panti pijat, cafe / karaoke dan tempat hiburan /

wisata lainnya setelah sepakat baru mencari kamar hotel. Cara mendapatkan

dan tempat meladeni tamu seperti diuraikan di atas menimbulkan berbagai

macam tipe pelacuran, yaitu pelacuran terbuka dan profesional dan ada pula

yang tertutup serta tarif yang dibayar kepada pelacur memberikan gambaran

tingkatan klasifikasi pelacur, apakah kelas tinggi atau pelacur kelas rendahan.

Meskipun disadari bahwa amat sukar untuk memberi batasan yang

tegas mengenai penggolongan pelacur, namun menurut AS. Alam ada beberapa

tipe pelacuran yang dikenal masyarakat :

1. Pelacuran jalanan (Street Prostitution). Terdapat di ibukota propinsi di

Indonesia, para pelacur type ini termasuk kelas rendahan dan biasanya
135

sering di lihat berdiri menanti peminat yang menginginkan di pingir-

pingir jalan tertentu terutama pada malam hari.

2. Pelacuran panggilan (Call girl Prostitution). Di Indonesia pelacur

panggilan umumnya dilakukan melalui perantara. Perantaraanya dapat

berfungsi sebagai mucikari, germo ataupun pelindung si pelacur.

Hubungan kelamin diadakan di hotel-hotel ataupun di villa atau rumah

peristirahatan di pegununggan, type ini termasuk kelas menengah/tinggi

karena prostituannya biasanya dari kalangan elit.

3. Pelacuran rumah bordil (Brothel Prostitution). Tipe pelacuran ini di

kenal luas oleh masyarakat di Indonesia. Pelacuran rumah bordil

dikategorikan dalam tiga golongan, yaitu bordil yang berpencar dan

biasanya bercampur dengan perumahan penduduk. Golongan kedua

adalah rumah bordil yang terpusat di suatu tempat dan biasanya

merupakan komplek. Di dalam komplek ini terdapat juga satu dua

perumahan penduduk biasa. Golongan ketiga, rumah bordil yang

terdapat di daerah khusus, yang letaknya jauh dari perumahan penduduk

dan penempatannya berdasarkan S.K. Pemerintah Daerah setempat.

4. Pelacuran terselubung (Clanddestine Prostitution). Di Indonesia telah

menjadi rahasia umum, pelacuran seperti ini ada di tempat-tempat

seperti night club, panti pijat, bar, penginapan bahkan ada salon

kecantikan dipergunakan sebagai tempat pelacuran.

5. Pelacuran amatir. Tipe pelacuran ini bersifat rahasia karena biasanya

perempuannya sudah mempunyai profesi yang terhormat dan dkenal

dikalangan masyarakat serta mempunyai kedudukan ekonomi yang


136

cukup kuat tetapi karena ada keinginan untuk menambah harta sehingga

melacurkan diri. Pengguna jasa pun tidak sembarang yaitu orang yang

berkantong tebal dan kadangkala dia tidak membayar sendiri tetapi

dibayar oleh cukong karena ada kepentingan cukong.(A S Alam 1984)

Kegiatan pelacuran menyebar dalam masyarakat, ada pelacur yang

menjajakan dirinya di pinggir jalan serta liar, ada pelacur kelas tinggi yang

hanya melayani panggilan ke hotel-hotel dan losmen serta sejenisnya yang

dalam hal ini ada yang beroperasi sendiri maupun yang berada dalam

kekuasaan germo, dan ada pelacur yang dilokalisir. Memang kegiatan

melacurkan diri ini akarnya berpangkal pada seks itu sendiri. Dorongan seksual

yang berbeda-beda menyebabkan temperamen orang berbeda-beda pula. Tetapi

untuk melacurkan diri, orang memang mempunyai alasan masing-masing.

Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya dan sering

dikatakan setua umur kehidupan itu sendiri. Pelacuran ini selalu ada pada

semua negara berbudaya sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa

menjadi masalah sosial, menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Dan seiring

perkembangan zaman dan kebudayaan manusia maka turut berkembang pula

praktek pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Sesungguhnya

banyak faktor penyebab atau yang memotifasi orang melacurkan diri, secara

umum dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang memungkinkan timbulanya

pelacuran sebagaimana telah diterangkan sebelumnya terletak pada sifat alami

manusia terutama faktor biologis yaitu kebutuhan seks.

M.A.W Brower, mengatakan bahwa jabatan pelacur sudah sangat tua,

sejak pernikahan menjadi suatu lembaga sudah mulai terjadi pelacuran, alasan
137

utamanya adalah alasan biologis. Namun banyak pula faktor lain yang

mendorong berkembangnya dunia pelacuran di Indonesia, karena

berlangsungnya perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat dan

perkembangan yang tidak selalu seragam dalam kebudayaan, selain itu tekanan

ekonomi dan mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk

menyesuaikan diri serta menimbulkan ketidakharmonisan, konflik-konflik baik

eksternal maupun internal.

Peristiwa-peristiwa tersebut memudahkan individu menggunakan pola-

pola reaksi yang menyimpang dari pola umum yang berlaku. Dalam hal ini

terdapat pola pelacuran untuk mempertahankan hidup di tengah-tengah hiruk

pikuk alam pembangunan, khususnya di Indonesia. Beberapa peristiwa tersebut

antara lain :(Husein n.d.)

a. Adanya keinginan dan kemauan manusia untuk menyalurkan


kebutuhan seks khususnya diluar ikatan perkawinan.
b. Merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat orang
mengenyam kesejahteraan hidup.
c. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini, khususnya
mengeksploitir kaum lemah/wanita untuk tujuan-tujuan komersil.
Kegiatan melacurkan diri ini akarnya berpangkal pada seks itu sendiri.

Dorongan seksual yang berbeda-beda menyebabkan temperamen orang

berbeda-beda pula. Tetapi untuk melacurkan diri, orang memang mempunyai

alasan masing-masing. Misalnya : Faktor Psykhologis, berdasarkan pendapat

para sarjana bahwa orang melacurkan diri disebabkan debilitas yang

merupakan iklim yang baik untuk terjadinya moraliter yang rendah, orang yang

moraliternya rendah gampang dipengaruhi oleh keadaan yang bersifat materiil.


138

Faktor Ekonomis ialah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

atau kebutuhan hidup, yang seharusnya dilakukan dengan cara terhomat lalu

dilakukan dengan cara tercela.

Faktor Sosial, dimana seorang pelacur adalah mahluk sosial maka

sudah barang tentu peranan sosial sangat penting bagi tingkah lakunya. Para

sarjana phsycologis mengatakan bahwa interaksi sosial adalah hubungan antara

dua indevidu atau lebih dimana kelakuan indevidu yang satu mempengaruhi

kelakuan individu yang lain. Dari teori ini dapat dikatakan bahwa pelacur

sebagian besar berasal dari pergaulan yang kurang baik. Faktor-Faktor Lain.

Disamping faktor-faktor tersebut diatas tentu masih ada faktor lain, seperti :

faktor pendidikan dan faktor biologis.

Senada dengan pendapat diatas, peristiwa sosial yang menjadi penyebab

timbulnya pelacuran menurut Kartini Kartono, antara lain :

a. Tidak adanya regulasi yang secara spesifik melarang perbuatan


pelacuran dan diancam hukuman namun hanya praktek germo (Pasal
296 KUHP), dan mucikari (Pasal 506 KUHP).
b. Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan
kebutuhan seks. Khususnya di luar ikatan perkawinan.
c. Komersialisasi dari seks baik dipihak wanita maupun germo_germo,
dan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks.
d. Adanya bentuk pergeseran moralitas dan etika yang disebabkan
pengaruh macam-macam kebudayaan asing khususnya di perkotaan.

2.1.1 Mucikari Atau Germo

Wikipedia Bahasa Indonesia Mucikari, atau germo adalah orang

yang berperan sebagai pengasuh, perantara, dan/atau pemilik pekerja

seks komersial. PSK bisa saja tidak tinggal bersama dengan muncikari

(umpamanya di dalam suatu bordil), namun selalu berhubungan


139

dengannya. Mucikari dapat pula berperan dalam memberi perlindungan

kepada pekerja seks komersial dari pengguna jasa yang berbuat kurang

ajar atau merugikan pekerja seks komersial. Dalam kebanyakan

pelacuran, khususnya yang bersifat massal, pekerja seks biasanya tidak

berhubungan langsung dengan pengguna jasa. Mucikari berperan sebagai

penghubung kedua pihak ini dan akan mendapat komisi dari penerimaan

pekerja seks komersial yang persentasenya dibagi berdasarkan perjanjian.

Mucikari biasanya amat dominan dalam mengatur hubungan ini,

karena banyak pekerja seks komersial yang "berhutang budi" kepadanya.

Banyak pekerja seks komersial yang diangkat dari kemiskinan oleh

mucikari, walaupun dapat terjadi eksploitasi oleh mucikari kepada

pelacur asuhannya. Di kebanyakan negara praktik muncikari adalah

ilegal karena potensi penyalahgunaan yang tinggi.(Indonesia n.d.)

Nurviyati, adapun yang dimaksud dengan germo adalah orang

yang mata pencahariannya baik sambilan maupun sepenuhnya

menyediakan, mengadakan atau turut serta mengadakan, membiayai,

menyewakan, membuka dan memimpin serta mengatur tempat untuk

bersetubuh.(Permatasari and Pinasti 2017) Dalam hal germo atau

mucikari di dalam pelacuran ini KUHP mengaturnya dalam dua pasal,

yaitu Pasal 296 dan Pasal 506.

Pasal 296 menyatakan “Barang siapa dengan sengaja

menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan

orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan,


140

diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau

pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.

Pasal 506 menyatakan “Barang siapa menarik keuntungan dari

perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian,

diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.” Dari situlah

dapat mengetahui bahwa hukum pidana hanya mengategorikan perbuatan

pelacuran merupakan suatu tindak pidana terhadap pihak perantara nya.

Namun, dalam hal ini aparat penegak hukum selama ini hanya

mempunyai ruang gerak untuk melakukan tindakan hukum terhadap

perantara (germo atau mucikari).(Amalia 2018)

2.1.2 Pekerja Seks Komersil

Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah para pekerja yang bertugas

melayani aktivitas seksual dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau

uang dari yang telah memakai jasa mereka tersebut. Dalam literatur lain

juga disebutkan bahwa pengertian PSK adalah wanita yang pekerjaannya

menjual diri kepada banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu

seksual, dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang sebagai imbalan,

serta dilakukan diluar pernikahan.(Koentjoro 2004)

Pengertian pekerja seks komersil sangat erat hubungannya dengan

pengertian pelacuran, pekerja seks komersil menunjuk pada “orang” nya,

sedangkan pelacuran menunjukkan “perbuatan”. Dari beberapa pendapat

yang telah dikemukakan diatas,dapat ditegaskan bahwa batasan pekerja

seks komersil yang dimaksut pada penelitian ini adalah; seseorang

perempuan yang menyerahkan dirinya “tubuhnya” untuk berhubungan


141

seksual dengan jenis kelamin yang bukan suaminya (tanpa ikatan

perkawinan) dengan mengharapkan imbalan, baik berupa uang ataupun

bentuk materi lainnya.(A. Siregar 2005)

Pekerja seks komersial merupakan profesi yang sangat tua

usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Pelacuran selalu ada

sejak zaman purba sampai sekarang. Pada masa lalu pelacuran selalu

dihubungkan dengan penyembahan dewa-dewa dan upacara-upacara

keagamaan tertentu. Ada praktek-praktek keagamaan yang menjurus

pada perbuatan dosa dan tingkah laku cabul yang tidak ada bedanya

dengan kegiatan pelacuran. Pada zaman kerajaan Mesir kuno, Phunisia,

Assiria, Chalddea, Ganaan dan di Persia, penghormatan terhadap dewa-

dewa Isis, Moloch, Baal, Astrate, Mylitta, Bacchus dan dewa-dewa lain

disertai orgie-orgie (orgia) adalah pesta korban untuk para dewa,

khususnya pada dewa Bacchus yang terdiri atas upacara kebaktian penuh

rahasia dan bersifat sangat misterius disertai pesta-pesta makan dengan

rakus dan mabuk secara berlebihan. Orang-orang tersebut juga

menggunakan obat-obat pembangkit dan perangsang nafsu seks untuk

melampiaskan hasrat berhubungan seksual secara terbuka. Sehubungan

dengan itu kuil-kuil pada umumnya dijadikan pusat perbuatan cabul.

Di Indonesia pelacuran telah terjadi sejak zaman kerajaan

Majapahit. Salah satu bukti yang menunjukkan hal ini adalah penuturan

kisah-kisah perselingkuhan dalam kitab Mahabarata. Semasa zaman

penjajahan Jepang tahun 1941-1945, jumlah dan kasus pelacuran

semakin berkembang. Banyak remaja dan anak sekolah ditipu dan


142

dipaksa menjadi pelacur untuk melayani tentaraJepang. Pelacuran juga

berkembang di luar Jawa dan Sumatera. Hal ini bisa dilihat dari

pernyataan dua bekas tentara Jepang yang melaporkan bahwa pada tahun

1942 di Sulawesi Selatan terdapat setidaknya 29 rumah bordil yang

dihuni oleh lebih dari 280 orang pelacur (111 orang dari Toraja, 67 orang

dari Jawa dan 7 orang dari Madura).

Faktor Penyebab Perempuan Menjadi Pekerja Seks Komersial.

Beberapa hal yang termasuk ke dalam faktor sosio-kultural yang

menyebabkan perempuan menjadi Pelacur Seks Komersil ;

a) Orang setempat yang menjadi pekeja seks komersil sukses, bahwa

ketika seorang yang kembali ke desanya, yang memamerkan

kemewahan dari hasil penghasilan sebagai pekerja seks komersil.

b) Sikap permisif dari lingkungannya, bahwa ada desa tertentu yang

bangga dengan reputasi bisa mengirimkan banyak pelacur ke kota.

Banyak keluarga pelacur yang mengetahui dan bahkan mendukung

kegiatan anak atau istri mereka karena mereka dapat menerima

uang secara teratur. Para pelacur sangat sering membagikan

makanan dan materi yang dimilikinya kepada para tetangganya.

Wajar jika kemudian banyak pelacur dikenal sebagai orang yang

dermawan di desa mereka. Keadaan tersebut berangsur-angsur

menimbulkan sikap toleran terhadap keberadaan pelacur.

c) Adanya peran instigator (penghasut), Instigator sering diartikan

sebagai pihak-pihak tertentu yang memberikan pengaruh buruk.

Dalam hal ini adalah orang yang mendorong sesorang menjadi


143

pelacur. Diantaranya adalah orang tua, suami, pelacur, bekas

pelacur atau mucikari (mereka adalah suami yang menjual istri atau

orang tua yang menjual anak-anaknya untuk mendapatkan barang-

barang mewah.

d) Ketidakefektifan pendidikan dalam meningkatkan status sosial

ekonomi, Sebagian besar orang memandang pendidikan sebagai

alat untuk meningkatkan status sosial ekonomi dan kualitas

kehidupan. Oleh karena itu orang tua rela mengeluarkan uang

banyak untuk menyekolahkan anaknya. Tetapi karena keterbatasan

lapangan pekerjaan, setelah lulus pendidikan belasan tahun pun

banyak anak yang tidak mendapatkan pekerjaan. Di lain pihak,

perempuan muda yang menjadi pelacur ketika lulus dari SD, dua

atau tiga tahun berikutnya dapat membangun sebuah rumah dan

menikmati gaya hidup mewah. Dalam beberapa kasus, dapat

dimengerti bahwa pilihan melacur pada komunitas tertentu

dianggap sebagai pilihan rasional.

Jika dilihat dari sisi psikologis, beberapa faktor psikologis yang

merupakan penyebab perempuan menjadi PSK adalah sebagai berikut:

(Waraouw 2014)

1) Kehidupan seksual yang abnormal, misalnya: hiper seksual dan


sadis.
2) Kepribadian yang lemah, misalnya cepat meniru.
3) Moralitas rendah dan kurang berkembang, misalnya, kurang
dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan
tidak boleh dan hal-hal lainnya.
4) Mudah terpengaruh (suggestible).
144

5) Memiliki motif kemewahan, yaitu menjadikan kemewahan


sebagai tujuan utamanya.

Masalah ekonomi memang bukan hal baru yang di pandang

sebagai salah satu faktor penyebab seseorang perempuan menjadi

pelacur. Justru faktor ekonomilah yang selalu disebutkan sebagai faktor

utama penyebab seorang perempuan melacurkan diri. Hal ini tidak lepas

di karenakan adanya hirarki dalam kehidupan ekonomi masyarakat

Indonesia. Adanya penumpukan kekayaan pada kalangan atas dan terjadi

kemiskinan pada golongan bawah memudahkan pada Lokalisasi mencari

wanita-wanita pekerja seks komersil dari kelas bawah.

2.1.3 Pengguna Jasa Pekerja Seks Komersil

Dari semua pihak yang telah disebutkan, pihak pengguna inilah

yang menjadi titik bagaimana bisa transaksi pelacuran ini bisa terjadi.

Walaupun tentu pihak lain itu juga memberikan dorongan hingga

terjadinya praktek pelacuran ini. Pengguna jasa merupakan gabungan

dari dua kata yaitu pengguna dan jasa. Pengguna adalah orang yang

menggunakan sesuatu, sedangkan jasa atau layanan adalah aktivitas

ekonomi yang melibatkan sejumlah interaksi dengan konsumen atau

dengan barang-barang milik, tetapi tidak menghasilkan transfer

kepemilikan. Para ahli memiliki pandangan tersendiri terhadap

pengertian jasa, yaitu:

a) Philip Kotler, jasa ialah setiap tindakan atau unjuk kerja yang

ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain yang secara

prinsip intangibel dan tidak menyebabkan perpindahan


145

kepemilikan apapun. Produksinya bisa terkait dan bisa juga

tidak terkait dengan suatu produk fisik.(Tjiptono 2008)

b) Rangkuti berpendapat, jasa merupakan pemberian kinerja atau

tindakan kasat mata dari suatu pihak ke pihak lain.(F 2015)

c) Jasa menurut Christian Gronross adalah suatu proses yang

terdiri atas serangkaian aktifitas intangible yang biasanya

(namun tidak harus selalu) terjadi pada interaksi antara

pekanggan dan pelaku jasa dan/atau sumber daya fisik atau

barang dan/atau sistem penyedia jasa yang disediakan sebagai

solusi atas masalah pelanggan.

d) Adrian Payne, Jasa adalah aktivitas ekonomi yang mempunyai

sejumlah elemen (nilai atau manfaat) intangibel yang berkaitan

dengannya, yang melibatkan sejumlah interaksi dengan

konsumen atau dengan barang-barang milik, tetapi tidak

menghasilkan transfer kepemilikan. Perubahan daiam kondisi

bisa saja muncul dan produksi suatu jasa bisa memiliki atau bisa

juga tidak mempunyai kaitan dengan produk fisik.

Dari pengertian diatas, bahwa pengguna jasa merupakan

seseorang yang menggunakan layanan seksualitas dari seorang yang

menyediakan jasa seksualitas yang ditukar dengan uang/benda yang

didalamnya tidak terdapat perpindahan kepemilikan.Sebagaimana kita

ketahui bahwa di dalam perbuatan pelacuran, pengguna jasa PSK dapat

juga dikatakan sebagai subyek utama dalam kasus pelacuran, yang

dimana dalam interaksi tersebut perempuan (PSK) diibaratkan sebagai


146

pihak yang disewa sedangkan laki-laki (Pengguna Jasa) adalah pihak

yang menyewa.

2.2 Perbuatan Pelacuran Sebagai Problematika Sosial

Menciptakan suatu kedamaian dalam kehidupan pribadi dengan

kehidupan bermasyarakat adalah merupakan suatu tujuan dari kaedah hukum.

(P. P. dan S. Soekanto 2010) Di dalam kebanyakan kaedah hukum, khususnya

kaedah hukum pidana tercantum larangan untuk melakukan perbuatan tertentu.

Kaedah tersebut menjadi pedoman atau patokan bagi prilaku atau sikap tindak

yang dianggap pantas atau seharusnya. Prilaku atau sikap tindak tersebut

bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.(S.

Soekanto 2015)

Ada tingkah laku manusia yang bertentangan dengan kaedah hukum di

atas, sehingga cenderung tingkah laku tersebut bertentangan dengan tujuan

kaedah hukum itu sendiri yang berakibat banyak pihak dalam masyarakat

(isteri, anak dan lingkungan) menjadi gelisah dan resah. Masalah sosial di

masyarakat sering diawali oleh kemiskinan yang menyebabkan timbul

kejahatan, pelacuran, alkoholisme, kecanduan, perjudian dan tingkah laku yang

bertentangan dengan norma-norma yang hidup di masyarakat, berkaitan

dengan semua peristiwa tersebut dinyatakan sebagai suatu gejala patologi

(penyakit) sosial yang harus diberantas dari muka bumi, pada abad ke-19 dan

awal abad ke-20 para sosiolog mendefinisikan patologi sosial sebagai: “Semua

tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola

kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun


147

bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal”. Dan yang di maksud

dengan masalah sosial ialah ;

a. Semua tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat-istiadat


masyarakat (dan adat-istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin
kesejahteraan hidup bersama).
b. Situasi sosial yang dianggap oleh sebagian warga masyarakat sebagai
mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang banyak.
Masalah-masalah sosial tersebut berbeda dengan problema-problema lainnya di

dalam masyarakat, karena masalah tersebut berhubungan erat dengan nilai-nilai

sosial dan lembaga-lembaga kemasyarakat. Masalah tersebut bersifat sosial

karena bersangkutpaut dengan hubungan antar manusia dan di dalam kerangka

bagian-bagian kebudayaan yang normatif.

Masalah-masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan menyangkut

pula segi moral, karena untuk dapat mengklasifikasikan suatu persoalan

sebagai masalah sosial harus digunakan penilaian sebagai pengukurannya.

Apabila suatu masyarakat menganggap sakit jiwa, bunuh diri, perceraian,

pelacuran, penyalahgunaan obat-obat (narcotics addiction) sebagai masalah

sosial, maka masyarakat tersebut tidak semata-mata menunjuk pada tata

kelakuan yang menyimpang, akan tetapi sekaligus mencerminkan ukuran-

ukuran umum mengenai segi moral.

Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok

antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi

sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya

masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki

kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial,


148

musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya. Namun yang memutuskan

bahwa sesuatu itu merupakan masalah sosial atau bukan, adalah masyarakat

yang kemudian disosialisasikan melalui suatu entitas. Dan tingkat keparahan

masalah sosial yang terjadi dapat diukur dengan membandingkan antara

sesuatu yang ideal dengan realitas yang terjadi.(Adang 2015)

Pelacuran merupakan salah satu bagian dari masalah sosial yang ada di

masyarakat baik itu diperkotaan maupun di pedesaan sekalipun. Banyak

sekalikerugian yang diakibatkan dari pelacuran tersebut seperti, menimbulkan

dan menyebarluaskan penyakit kelamin juga kulit, merusak sendi-sendi

keluarga, merusak sendi-sendi moral dan sebagainya. Namun tetap saja

pelacuran masih tetap ada dan diperdagangkan di tengah-tengah kehidupan

masyarakat.

Norma kesusilaan pada dalilnya melarang pelacuran. Akan tetapi, setiap

daerah itu tidak sama peraturannya dan kebanyakan norma tersebut tidak

tertulis. Pelarangan pelacuran itu berdasarkan alasan sebagai berikut: tidak

menghargai diri wanita, diri sendiri, penghinaan terhadap istri dan pria-pria

yang melacurkan diri, tidak menghormati kesucian perkelaminan (sakralitas

seks), menyebabkan penyebaran penyakit kotor, dan mengganggu keserasian

perkawinan.

Norma agama pada umumnya juga melarang pelacuran. sebagaimana

yang dikutip oleh kartono kartini pada Surat Al-Isra ayat 32, menyebutkan:

“Dan janganlah kamu sekali-kali melakukan perzinahan, sesungguhnya


perzinahan itu merupakan suatu perbuatan yang keji, tidak sopan, dan jalan
yang buruk.
149

Sebab perzinaan adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar

perkawinan yang melanggar kesopanan, merusak keturunan, menyebabkan

penyakit kotor, menimbulkan persengketaan, ketidakrukunan dalam keluarga,

dan malapetaka lainnya.

Pelacuran merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus

dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan

perbaikan. Pelacuran berasal dari bahasa Latin “pro-stauree” yang berarti

membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan

pergendakan. Sedang prostitue adalah pelacur atau sundal. Dikenal pula

dengan istilah WTS atau wanita tunasusila. Tunasusila atau tidak susila itu

diartikan sebagai kurang beradab karena keroyalan relasi seksualnya dalam

bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki untuk pemuasan seksual dan

mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya.

Tunasusila itu juga bisa diartikan sebagai salah satu tingkah, tidak

susila atau gagal menyesuaikan diri terhadap norma-norma susila. Maka

pelacur itu adalah wanita yang tidak pantas kelakuannya dan bisa

mendatangkan mala/celaka dan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul

dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri. Pelacuran merupakan kegiatan

masa sangat tua usianya yang dijadikan suatu pekerjaan dimana pelacuran

sendiri telah ada setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Yaitu berupa

tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan

nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan.

Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman purba

sampai sekarang. Dan senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek
150

urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi,

industri, dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula pelacuran dalam

pelbagai bentuk dan tingkatannya.

Perkembangan pelcuran di Indonesia, pelacuran bermula sejak zaman

kerajaan Jawa yang menggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem

feodal. Hingga saat ini, pelacuran merupakan masalah yang belum

terselesaikan. Pada zaman kerajaan, praktik pelacuran dilakukan atas nama

tradisi dan kekuasaan raja. Kekuasaan raja sangat besar dan salah satunya dapat

dilihat dari banyaknya selir yang dimilikinya. Perempuan yang dikirim menjadi

selir raja berasal dari berbagai daerah yang hingga sekarang dikenal sebagai

pemasok pelacur untuk berbagai kota di Indonesia. Meskipun sistem feodal

dengan selir-selirnya bukan merupakan praktik komersialisasi seksual seperti

yang dikenal masyarakat modern, pelacuran yang terjadi pada masa itu, secara

langsung ataupun tidak, membentuk landasan bagi perkembangan industri

pelacuran hingga saat ini.(Jamaludin 2016)

Soerjono Soekanto dalam menganggap pelacuran itu sebagai suatu

pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan

perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah. Dalam rumusan ini

Soerjono memang tidak mempersoalkan apakah pelacuran itu merupakan

masalah sosial atau bukan. Ia memandang hal itu adalah suatu pekerjaan yang

mendapatkan imbalan, artinya keterlibatan seseorang dalam hubungan

pekerjaan ini mempunyai keteraturan dan secara lahiriah tidak memperlihatkan

adanya unsur paksaan atau pemerkosaan.(Abdulsyani 2017)


151

Mendengar persepsi ini seolah-olah menetapkan sebagai pelacuran

bukan suatu masalah sosial, akan tetapi secara sosiologis justru yang menjadi

persoalan adalah karena adanya keteraturan dengan dukungan keamanan itu

yang akan membuat profesinya menjadi berkembang dan melembaga. Sebutan

germo kemudian diperhalus menjadi bapak/ibu asuh, sementara yang diasuh

sebagai anak asuh, sepertinya bersaing dengan pondok pesantren atau ikut-ikut

seperti mahasiswa indekos saja. Akibatnya, semakin merajalela pertumbuhan

pelacuran itu sendiri dengan tanpa rahasia atau sembunyi-sembunyi; bahkan

banyak penginapan-penginapan tertentu ikut serta menjadi fasilitas, dipinggir

jalan cukup ditutup dengan selembar triplek, di warung-warung kopi, panti

pijat, dan lain-lain ikut pula menjadi keranjingan. Itu semua secara moral dapat

dinilai sebagai perbuatan yang tak bersusila, lebih-lebih jika perilaku itu tidak

lagi dianggap sebagai perbuatan rahasia, sehingga siapa saja boleh tahu,

bahkan sampai anak-anak di bawah umur pun banyak yang menjadi matang

sebelum waktunya. Untuk itu apapun alasan, pelacuran tetap banyak membawa

akibat buruk, apalagi sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan nilai-nilai

budaya dan moral; sehingga dengan demikian tanpa perasaan ragu saya

mengatakan bahwa pelacuran itu adalah masalah sosial.

Jika Berbicara mengenai motif, tentu terdapat sejumlah faktor yang

menyebabkan pelacuran sebagai suatu masalah sosial. Faktor-faktor tersebut

dapat digolongkan menjadi faktor internal atau faktor yang berasal dari dalam

diri seseorang dan faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar diri

seseorang.(A. S. Alam 2015) Faktor internal yang mendorong seseorang untuk


152

melakukan perbuatan melacur antara lain sifat malas, kurangnya pendidikan,

cacat, dan hypersexual.

Faktor sifat malas tidak terlepa adanya keingingan untuk mendapat

uang serta menjadi orang kaya tanpa harus bekerja keras. Faktor kurangnya

pendidikan tidak terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar pelaku

pelacuran (notebenenya PSK) lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang

miskin. Mereka pun juga kebanyakan berasal dari orang tua yang berwatak

lemah dan kurang terdidik sehingga standard moral keluarga-keluarga mereka

pada umum rendah dan cara orang tua mereka memberikan pembentukan

displin tidak bijaksana serta tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, selain faktor internal,

terdapat pula faktor eksternal yang mendorong seseorang untuk melacur.

Faktor eksternal tersebut meliputi ekonomi yang lemah, keluarga yang tidak

harmonis, adat-istiadat setempat, dan adanya perdagangan seks. Suatu

penyebab pasti menghasilkan akibat, begitu pula dengan faktor-faktor

penyebab pelacuran. Akibat daripada pelacuran dapat terjadi pada diri si pelaku

maupun masyarakat yang tinggal di sekitar tempat dimana masalah terjadi.

Akibat dari pelacuran bagi diri si pelaku (bukan hanya PSK saja tetapi juga si

tamu) pada umumnya berupa akibat biologis atau akibat terhadap tubuh para

pelaku. (Ikram n.d.)

Akibat biologis terebut antara lain penyakit kelamin dan kulit terutama

syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah) yang disebabkan oleh penularan virus

maupun bakteri saat berhubungan seksual sampai virus HIV yang

menyebabkan AIDS atau pelemahan sistem imun tubuh, serta disfungsi seksual
153

(tidak berfungsinya organ seksual) misalnya impotensi, anorgasme,

nymfomania, satyriasis, dan ejakulasi premature. Berbeda dengan akibat

pelacuran bagi diri si pelaku sendiri yang memiliki dampak biologis, akibat

pelacuran bagi masyarkat yang tinggal di sekitar masalah sosial tersebut

cenderung bersifat sosiologis, yakni rusaknya rumah tangga, demoralisasi

masyarakat hingga munculnya korelasi dengan kriminalitas dan narkotika.

Berbeda dengan akibat pelacuran bagi diri si pelaku sendiri yang

memiliki dampak biologis, akibat pelacuran bagi masyarkat yang tinggal di

sekitar masalah sosial tersebut cenderung bersifat sosiologis, yakni rusaknya

rumah tangga, demoralisasi masyarakat hingga munculnya korelasi dengan

kriminalitas dan narkotika. Rusaknya rumah tangga terjadi akibat ketiadaan

sikap setia antara seorang suami dan istri dalam menjalankan rumah tangga

sekaligus membina keluarganya. Adanya kegiatan pelacuran seakan menggoda

suami maupun istri untuk memenuhi atau memuaskan keinginan seksual

mereka tanpa memperhatikan keberadaan pasangan mereka serta anak-anak

mereka. Rasa curiga dan saling tidak percaya pun muncul dalam rumah tangga

yang telah dibina.

Selain rusaknya rumah tangga, terdapat pula akibat sosiologis lainnya

yakni demoralisasi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI),

demoralisasi adalah kemerosotan akhlak atau kemerosotan moral, khususnya di

kalangan remaja. Disadari atau tidak, sikap tidak acuh dan cenderung

membenarkan seperti yang terjadi pada masyarakat terhadap masalah sosial

yang ada di sekitarnya, terlebih lagi masalah pelacuran yang melanggar kaidah

kesusilaan merupakan bentuk dari demoralisasi. Demoralisasi dalam masalah


154

pelacuran terjadi manakala masyarakat mengesampingkan batas-batas moral

yang diterapkannya sendiri (termasuk kesusilaan) dan lebih memprioritaskan

kepada keuntungan pribadi.(Hawari 1986)

Akibat sosiologis terakhir dari pelacuran adalah akibat dalam bentuk

kriminalitas dan narkotika, dimana keduanya memiliki korelasi dengan

masalah pelacuran. Dr. A.S. Alam, dalam bukunya yang berjudul “Pelacuran

dan Pemerasan: Studi Sosiologis tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia”,

mengatakan bahwa tindak pemerasan merupakan bentuk kriminalitas yang

paling dekat dan sering terjadi di dalam masalah pelacuran. Pemerasan yang

terjadi di dalam pelacuran dapat dilakukan oleh PSK sendiri, mucikari dan

“penguasa” setempat. Pemerasan yang dilakukan oleh PSK berupa kerja sama

antara PSK dengan orang yang disebut oleh A.S. Alam sebagai “bandit”. Di

dalam melakukan kegiatannya, bandit tersebut akan selalu bekerja sama

dengan seorang atau lebih PSK. Setelah tamu seorang PSK membuka

pakaiannya, tiba-tiba bandit itu akan muncul dan mengaku bahwa PSK yang

ada dalam kamar tersebut adalah istrinya (bisa pula suaminya jika PSK yang

bersangkutan adalah pria).

Biasanya tamu yang menghadapi hal demikian tidak mempunya pilihan

lain kecuali menyerahkan sejumlah uang yang diminta oleh bandit tersebut.

Selain dari pihak PSK, pemerasan juga kerap dilakukan oleh mucikari terhadap

pekerjanya terutama berkaitan dengan kewajiban untuk menyerahkan uang

hasil pekerjaannya dalam jumlah tertentu. Tak hanya PSK dan tamunya saja

yang dapat menjadi korban pemerasan, mucikari juga dapat menjadi korban

pemerasan dari pihak-pihak yang mengatas-namakan dirinya sebagai


155

“penguasa” setempat baik itu secara resmi (aparatur atau pejabat pemerintahan)

maupun yang tidak resmi (preman, pelaku pungutan liar, dsb). Pemerasan yang

dilakukan oleh penguasa setempat membuat mucikari harus menyetorkan

sejumlah uang kepada mereka apabila tidak mau bisnis pelacuran yang mereka

kelola ditutup.

Akibat negatif yang ditumbulkan dari pelacuran baik secara biologis

yang dialami oleh para pelaku maupun akibat sosiologis yang dirasakan oleh

masyarakat menuntut diciptakannya solusi-solusi yang ampuh untuk

mengurangi dan kalau bisa menghilangkan pelacuran itu sendiri. Solusi atas

masalah pelacuran merupakan bagian dari pengendalian sosial yang dilakukan

baik oleh masyarakat maupun pemerintah sehingga dalam mengkaji

pengendalian sosial atas masalah pelacuran perlu dilihat dari sudut pandangan

sosiologis maupun yuridis.

2.3 Sejarah Terhadap Perkembangan Pelacuran

Pelacuran telah lama dikenal dalam sejarah umat manusia, di Yunani

dan Romawi kuno, di kerajaan Tiongkok lama dan banyak lagi ditempat lain

dimuka bumi ini, pelacuran telah berada ditengah-tengah masyarakat sejak

berabad-abad silam. Sepanjang pantai gading (Ivory coast) dan beberapa suku

Indian Amerika, telah menjadi kebiasaan mereka untuk melacurkan isteri dan

puterinya guna mendapatkan keuntungan tertentu.

Pada zaman tersebut terjadi juga pelacuran keagamaan (religious

prostitution) karena pemujaan terhadap para dewa, diantaranya suku Ewe, Tshi

di Afrika Barat dimana pendeta perempuan menganggap dirinya sebagai isteri

dewa yang mereka sembah untuk itu mereka melakukan hubungan kelamin
156

dengan laki-laki yang bukan suaminya sebagai bentuk pengabdian kepada

dewa. Demikian pula hal di India pada abad ke 8 dan 9 penyanyi di biara sering

melakukan hubungan kelamin sebagai bentuk pemujaan yang dikenal dengan

istilah devayecya atau temple prostitute, begitu juga ditempat-tempat lain

didunia seperti di Eropa daratan Jerman, Prancis, Inggris dan sebagainya juga

terjadi demikian tetapi perbuatan seperti itu tidak dianggap sebagai suatu

perbuatan tercela.

Secara sosiologis dalam perkembangan sejarah pelacuran, terdapat dua

mazhab, yaitu ;(Simandjuntak 1981)

1. Mazhab yang tak memperhatikan sebab-sebab terjadinya pelacuran

yang didukung oleh kaum moralis dan puritanis. Mereka menentang

pendirian distrik khusus untuk tempat pelacuran. Mereka berkampanye

menentang distrik khusus.

2. Mazhab yang mengatakan bahwa kejahatan tidak bisa hilang apabila

sebab-sebabnya tidak dihilangkan dahulu. Golongan ini menyadari

bahwa pelacuran tidak dapat dihilangkan dengan segera, akan tetapi

dengan lambat laun tahap demi tahap dengan bimbingan serta

pengawasan. Inilah sebabnya golongan ini mendirikan kaum utopis.

Mereka berkeyakinan bahwa gejala ini dapat dibasmi asal pemimpin

masyarakat konsekwen serta mengidentifikasikan dirinya dengan norma

agama.

Pelacuran merupakan penyakit masyarakat (pekat) yang sangat tua

sejak bumi mulai ramai dihuni manusia, di Indonesia pelacuran sudah ada

sebelum penjajahan masuk ke Indonesia namun berkembang pesat sejak


157

Belanda dan Jepang menjajah Indonesia terutama untuk keperluan seks para

serdadu penjajah. Setelah merdeka dampak peperangan yang cukup lama,

demoralisasi, ekonomi serta peraturan yang tidak menentu menyebabkan

pelacuran merajalela hampir disemua ibukota propinsi bahkan terdapat pula

dibeberapa kecamatan.

Pelacuran di Indonesia sudah ada sejak Indonesia masih berbentuk

kerajaan, Rukmini dalam thesisnya berjudul “proses terjadinya pelacuran di

masyarakat” menyatakan; bahwa pelacuran berakar dari adanya kelas dalam

masyarakat, seperti kelas tuan tanah dan kelas petani miskin. Dimana golongan

pertama mempunyai kedudukan ekonomi yang kuat sehingga mereka mampu

memelihara beberapa orang isteri dan selir, selir ini banyak diambil dari

keluarga dan rakyat kecil maka keadaan seperti inilah yang menyebabkan

pergundikan dan pelacuran.

Di zaman kemajuan teknologi sekarang ini hampir tidak ada kota-kota

di Indonesia yang bebas dari praktek pelacuran bahkan sampai ke pedesaan

baik yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir, yang terorganisir juga

terbagi dua resmi dan tidak resmi yang terorganisir resmi seperti komplek

pelacuran. Ada beberapa komplek pelacuran yang cukup terkenal dan besar

serta mampu menampung ratusan bahkan ribuan pelacur, seperti; Keramat

Tunggak Jakarta Utara, Sunan Kuning Semarang, Dolly Surabaya, Saritem

Bandung, Kampung Baru atau Teratai Putih Palembang, komplek Pulau Baai

Bengkulu dan masih banyak lagi lainnya. Sementara yang terorganisir

terselubung/tidak resmi seperti rumah bordil yang berkedok restauran, cafe,

night club, salon, mandi uap, panti pijat rumah kost-kostan dan sebagainya.
158

Kemudian yang tidak kalah banyaknya pelacur yang bersifat individu dan

berkeliaran di tempat hiburan atau dipanggil apabila ada yang membutuhkanya,

memang sulit untuk membedakannya dengan masyarakat biasa karena sifatnya

sangat terselubung mereka berada dipusat keramaian seperti mall, pasar,

perkantoran bahkan sudah merambah ke lembaga pendidikan seperti sekolah

dan universitas.

Di samping pelacur atau pekerja seks komersil seperti yang diterangkan

diatas ada lagi yang disebut dengan “Perek” (perempuan eksperimen) atau

Loose girl, yaitu rata-rata perempuan muda dan kebanyakan anak sekolah serta

sedikit yang putus sekolah sebagai dampak dari berita media apakah cetak atau

elektronik termasuk internet serta film-film Pornografi, mereka secara diam-

diam melakukan hubungan seks dengan laki-laki yang mereka senangi dan

umumnya teman sesama pergaulannya atau teman sekolah, masalah bayar atau

tidak bukan persoalan yang penting tujuan mereka adalah ingin coba-coba dan

bersenang-senang. Penulis menganggap dan memberi istilah perempuan iseng

bukan sebagai pelacur. Dua kelompok pelacuran yang bersifat individu /

parsial dan perempuan iseng ini juga sangat dominan menggunakan jasa hotel

sama dengan jenis pelacuran lainnya.

2.4 Perbuatan Pelacuran Merupakan Suatu Kejahatan

Masalah kejahatan merupakan masalah yang abadi. Kejahatan masih

ada selama manusia mendiami bumi yang fana ini. Lalu apa yang dimaksud

dengan kejahatan? Di pandang dari sudut hukum pidana, kejahatan adalah

suatu perbuatan yang oleh masyarakat diberi pidana. Ditinjau lebih dalam

sampai intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan yang


159

bertentangan dengan kesusilaan. Jadi kejahatan adalah perbuatan yang anti

sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian

penderitaan (hukuman atau tindakan).

Kriminologi, kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila

dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam

suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencegahnya

dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan

sengaja diberikan karena kelakukan tersebut. Ketentuan pidana dalam Undang-

Undang tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum

ketentuan pidana dalam Undang-Undang itu diadakan (asas legalitas). Artinya,

Undang-Undang tidak boleh berlaku surut (asas non retro aktif).

Hal ini dikenal dengan asas nullum delictum sine praevia lega poenali

(peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang

tidak mengatur terlebih dahulu). Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP

Pasal 1 ayat (1) KUHP menyebutkan: (Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana n.d.)

“Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas ketentuan


pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari perbuatan itu”.

Adanya kejahatan yang menurut kriminologi merupakan suatu kejahatan tetapi

tidak merupakan kejahatan dalam pandangan KUHP. Kejahatan yang menurut

kriminologi tetapi tidak termasuk dipidana, seperti melacur. Dikarenakan

melacur merupakan suatu kejahatan menurut kriminologi tetapi tidak ada

rumusannya di dalam KUHP.(Susanto 2011)


160

Pelacuran bila kita lihat dalam kitab undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) maka tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus, sehingga

secara kriminologis sulit untuk mengatakan bahwa pelacuran itu seebagai suatu

kejahatan, sebab tidak menimbulkan korban. Begitupula apabila dilhat delik-

delik kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 281

sampai Pasal 303 ) khususnya Pasal 296 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) tidak ditunjukan pada pekerja seks komersil maupun

pengguna (penikmat) jasa dari pekerja seks komersil melainkan ditujukan

kepada pemilik lokasisasi yaitu para germo/mucikari dan para calo. Para germo

atau mucikari dan calo dapat dihukum pidana bila karena perbuatan mereka

sudah memenuhi unsur-unsur Pasal 296 yang berbunyi ;(Pasal 296 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana n.d.)

“Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan


cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”

Ini berarti bahwa pelacuran apakah dia laki-laki atau perempuan bukan seorang

penjahat dalam kualifikasi yuridis. akan tetapi hal ini bertentangan dengan

sosiologi dari kejahatan (Sociological Difinition of crime) yakni, apa yang

disebut dengan perbuatan jahat menurut norma-norma sosial yang masih hidup

dalam masyarakat, maka yang tidak dicantumkannya perbuatan melacur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pihak pekerja seks komersil

maupun pihak pengguna atau penikmat jasa dari pekerja seks komersil.(Prof.

DR. H. Romli Atmasasmita, S.H 2007)


161

Menerapkan Pasal 296 KUHP saat ini tidak tepat, karena Pasal 296

hanya ditujukan kepada para germo atau mucikari saja, dengan tujuan untuk

memberantas rumah-rumah bordil atau tempat-tempat pelacuran. dalam

kenyataa di masa sekarang ini bahwa para pekerja seks komersil bukan lagi

pemilik lokalisasi. Melihat Pasal 296, 297, 506 yang dapat dijumpai dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berhubungan dengan

pelacuran. ternyata mengenai si pekerja seks komersil itu tidak tegas

dinyatakan dalam hukum pidana. Sedangkan sebagaimana halnya dengan

pekerja seks komersil, maupun tamu (pengguna jasa) yang mendatangi pekerja

seks komersil belum juga diatur secara tegas dalam KUHP. Menelisik lagi pada

unsur – unsur delik kesusilaan yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini,

yakni Pasal 281 sampai Pasal 303, amat sulit diterapkan pada pekerja seks

komersil dan tamu (pengguna jasa ) yang datang mengunjunginya pekerja seks

komersil itu. bila hal tersebut akan dikenakan pada mereka, tentunya dalam

kasus yang sangat khusus.

2.5 Urgensi Mengkriminalisasi Perbuatan Pelacuran Dalam Persfektif

Hukum Pidana Indonesia

2.5.1 Keterbatasan Hukum Pidana

Keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi

masalah-masalah kejahatan merupakan faktor yang mendorong lahirnya

konsep kriminaliminalisasi. Masalah kejahatan yang kompleks baik

menyangkut motivasi dilakukannya perbuatan, tujuan, modus operandi

yang selalu berubah-ubah menyebabkan kejahatan sulit dikendalikan.


162

Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan rasional agar kejahatan tetap

berada dalam batas-batas toleransi.

Semenjak kelahirannya, hukum pidana merupakan salah satu

sarana dalam menanggulangi masalah-masalah sosial. Hal ini berarti

bahwa bidang-bidang hukum lain seperti hukum perdata maupun hukum

administrasi negara tidak dapat dikesampingkan fungsinya untuk

bersama-sama menanggulangi masalah kejahatan. Saat sekarang ada

kekeliruan pandangan bahwa hukum pidana sebagai sarana yang ampuh

(obat mujarab) yang dapat digunakan oleh negara untuk mengikis habis

fenomena kejahatan.

Kejahatan merupakan fenomena yang kompleks dan terlalu

sederhana apabila diserahkan kepada hukum pidana untuk

menanggulanginya. Kesalahpahaman yang demikian itu tampak dalam

berbagai kebijakan perundang-undangan yang mencantumkan “ketentuan

pidana” untuk menunjang efektivitas dilaksanakan peraturan perundang-

undangan dimaksud. Apabila fenomena legislatif itu tidak dikendalikan

secara rasional, akan menimbulkan krisis kelebihan hukum pidana

(overcriminalization) dan pelampauan kewenangan dalam penegakan

hukum.

Setiap peraturan perundang-undangan yang mencantumkan

“ketentuan pidana” selalu membawa konsekuensi lahirnya lembaga-

lembaga baru dan beban anggaran. Di samping itu lembaga-lembaga

yang sudah ada sering meminta “tambahan” kewenangan yang juga

berdampak secara finansial berupa cost of crime yang tidak


163

diperhitungkan dengan cermat.(M. Z. Ali 2016) Maraknya korupsi,

terorisme, maupun narkotika selain telah menciptakan pengaturan-

pengaturan baru juga telah melahirkan sistem kelembagaan yang baru

pula. Lahirnya KPK dan PPATK untuk menanggulangi korupsi, serta

BNPT dan BNN untuk tindak pidana terorisme dan narkoba merupakan

konsekuensi logis kelahiran undang-undang yang membutuhkan

perangkat kelembagaan guna menegakkannya.

Kebutuhan kelembagaan akibat dinamika masyarakat tidak dapat

menghindarkan kelahiran lembaga-lembaga baru tetapi pembentukan

lembaga yang demikian itu berpotensi terjadinya duplikasi atau

overlapping antarlembaga yang sudah ada. Timbulnya kejahatan yang

berdimensi baru tidak serta merta harus dijawab dengan membentuk

lembaga baru dengan mengangkat personil yang baru pula.

Pembentukan lembaga ad hoc, merupakan kebutuhan sesaat yang

harus segera dievaluasi apabila keadaan dimaksud sudah berlalu.

Sebaliknya apabila keadaan yang dihadapi tidak kunjung tuntas, maka

perlu dievaluasi apakah kebijakan perundang-undangan, kebijakan

peradilan, dan penghukuman sudah tepat. Akibatnya telah kita rasakan

saat ini, ketika RUU KUHP (akan) dibahas di DPR telah muncul

lembaga-lembaga ad hoc yang tidak mudah diakomodasi dalam RUU

KUHP. Bahkan eksistensi lembaga baru yang bersifat ad hoc berpotensi

menggagalkan usaha nasional untuk merealisasikan kitab undang-undang

yang menjadi cita-cita hukum nasional guna menggantikan perundang-

undangan warisan kolonial.


164

Keberadaan lembaga-lembaga baru untuk menegakkan ketentuan

undang- undang memang tidak dapat dielakkan. Akan tetapi apabila

eksistensi lembaga ad hoc justru menghalang-halangi pengesahan RUU

KUHP, perlu diberi jalan keluar yang bijaksana agar tidak menimbulkan

permasalahan atau kegaduduhan baru. Eksistensi kelembagaan berikut

kewenangannya dapat ditampung dalam pembahasan KUHAP yang akan

datang. Di samping itu peraturan perundang-undangan yang mengatur

kelembagaan negara perlu diselaraskan dengan dua ketentuan induk di

bidang hukum pidana. Meskipun harus dipahami bahwa eksistensi

lembaga negara beserta dengan kewenangannya tidak ada kaitan dengan

KUHP sebagai hukum materiil yang berkaitan dengan perbuatan yang

dilarang (strafbaar feit) serta sanksi yang diancamkan atas larangan

dalam undang-undang jika dilanggar.

KUHP hendaklah dipandang sebagai kodifikasi (atau setidak-

tidaknya sebagai kodifikasi terbuka). Oleh karena itu semua tindak

pidana yang ada dalam perundang-undangan lain, harus dikembalikan

kepada induknya. Merupakan langkah yang tidak bijaksana apabila

pembahasan dan pengesahan KUHP dilakukan namun tetap membiarkan

ketentuan undang-undang pidana khusus berada di luar jangkauan lege

generali. Untuk menampung eksistensi kelembagaan berikut

kewenangannya perlu dilakukan harmonisasi dalam ketentuan KUHAP

maupun perundang-undangan yang mengatur badan itu, karena dari

sanalah mengalir berbagai kewenangan lembaga dalam rangka

penegakan hukum pidana.


165

Urgensi kebijakan kriminal dalam usaha menanggulangi

kejahatan bertolak dari berbagai faktor di antaranya adalah sebab atau

kausa kejahatan, faktor hukum, batas-batas kemampuan sanksi pidana,

faktor stigmatisasi, dan prisonisasi yang akan diuraikan di bawah.

a. Sebab atau Kausa Kejahatan

Pada bab-bab pendahuluan buku ini telah disebutkan bahwa

kejahatan disebabkan oleh beberapa faktor yang tidak sederhana untuk

mengungkapkannya, karena menyangkut motivasi dilakukannya tindak

pidana. Secara konvensional, kejahatan terjadi karena niat dan

kesempatan. Niat berkaitan dengan motif dilakukannya perbuatan,

termasuk juga cara melakukan (modus operandi), intensitas kejahatan,

dan kemungkinan terjadinya kejahatan. Pada umumnya orang melakukan

kejahatan didorong oleh kehendak batinnya sendiri dengan berbagai

alasan.

Kejahatan terhadap harta benda seperti pencurian dan penipuan

dilatarbelakangi keinginan untuk memiliki barang secara melawan

hukum. Keadaan menjadi lain apabila berkaitan dengan delik

pembunuhan yang tidak selalu dilatarbelakangi oleh motif memiliki

harta. Luapan rasa dendam, harga diri yang diinjak-injak merupakan

beberapa motif dilakukannya kejahatan itu. Motivasi akan menjadi lebih

kompleks lagi jika dikaitkan dengan kejahatan yang terjadi di bidang

ekonomi seperti perbankan, illegal logging korupsi, dan penyalahgunaan

kekuasaan lainnya.
166

Motivasi ekonomi bukan faktor tunggal terjadinya beberapa

tindak pidana dimaksud. Korupsi tidak hanya disebabkan keserakahan

atau ketamakan tetapi juga dilatarbelakangi oleh motivasi politik untuk

meraih jabatan, meskipun juga sering diidentikkan dengan kekuasaan di

bidang ekonomi. Korupsi disebabkan oleh lemahnya mentalitas pejabat

publik, budaya yang salah pasang, lemahnya pengawasan dan sistem

hukum, bahkan sikap permisif warga masyarakat turut mendorong laju

korupsi semakin tinggi. Orang tidak lagi mempedulikan seberapa jauh

seseorang menjalankan profesi dengan menjunjung tinggi kode etik yang

berlaku di dalam komunitas itu tetapi diukur seberapa besar materi yang

dimiliki oleh yang bersangkutan.

Agama yang seharusnya menjadi tuntutan hidup hanya dianggap

petuah kosong yang dapat diabaikan begitu saja apabila keadaan

menghendakinya. Wabah korupsi laksana penyakit endemik yang sukar

dicarikan terapinya. Perangkat hukum hampir-hampir kewalahan, bahkan

alih-alih bekerja sama memberantasnya, justru terperosok pada

perseteruan antar institusi. Perseteruan diakui atau tidak telah semakin

melemahkan gerakan untuk memberantas korupsi yang semakin

menyebar hingga ke pelosok daerah, yang semakin jauh dari jangkauan

hukum. Korupsi tidak semakin berkurang tetapi telah muncul modus

operandi baru di berbagai sektor. Fenomena suap merupakan cara

konvensional, karena saat ini “perdagangan pengaruh” dalam

memuluskan sebuah kebijakan publik merupakan lahan yang subur

terjadinya korupsi.
167

Persekongkolan terjadi antara birokrasi dengan pengusaha dalam

proyek tertentu yang menimbulkan fenomena yang disebut kleptokrasi.

Istilah kleptokrasi merupakan peningkatan dari istilah kleptomani

(kebiasaan mencuri), yang merupakan bentuk gangguan psikologis dan

dilakukan secara sistemik, melibatkan berbagai aktor dalam skala yang

meluas, melibatkan birokrasi negara, pengusaha, dan korporat.

Persekongkolan di antara mereka dilakukan dengan cara memperoleh

keuntungan keuangan dengan cara-cara yang merugikan negara.(Mustofa

2010)

Motivasi dilakukan kejahatan selain untuk mendapat keuntungan

materiil, juga dengan memanfaatkan kelemahan birokrasi guna meraih

jabatan politik dan mendapatkan fasilitas tertentu dalam sebuah

kebijakan yang akan diambil oleh institusi negara, juga diwarnai oleh

motivasi lain yang semakin kompleks dan tersamar. Pada awalnya sebab-

sebab kejahatan lebih dipandang dari sudut ekonomi. Teori yang

dikemukakan C. Lombroso dan Enrico Ferry yang lebih menekankan

pada faktor ekonomi individual dan pengaruh lingkungan semakin

diperkaya dengan kajian yang dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland

yang memperkenalkan konsep white-collar crime, yakni suatu kejahatan

yang dilakukan oleh mereka memiliki kedudukan terhormat dalam

pekerjaan atau jabatannya.

Motivasi dilakukan kejahatan bukan saja urusan “perut” tetapi

telah membentuk spiral kekuasaan dalam konteks “kuasa-menguasai”

Orang yang memiliki kuasa politik akan memiliki kuasa ekonomi guna
168

menguasai sumber daya yang ada baik manusia maupun kekayaan alam.

Puncaknya kehancuran sistem ekonomi dan politik suatu bangsa menjadi

taruhannya. Kejahatan perbankan yang semakin hari menunjukkan

intensitas yang semakin tinggi, seperti penipuan atau pemalsuan kartu

kredit tidak saja merugikan kepercayaan masyarakat tetapi juga secara

sistemik menghancurkan sistem perekonomian suatu negara. Tindak

pidana perbankan telah berdampak luas, sistemik, menimbulkan dampak

rantai, merusak sendi-sendi perekonomian, merusak kepercayaan, dan

sebagainya.(Kristian 2013)

Kejahatan tersebut semakin kompleks apabila dilakukan dengan

menggunakan sarana digital (computer crime). Modus operandi

dilakukan mulai dari cybersquatting, phising atau identity theft, carding,

cyberstalking, bahkan cyberterorism. Dilakukan dengan tujuan meraih

keuntungan finansial seperti pembobolan dana nasabah sampai kepada

perjudian, bahkan dilakukan dens tujuan pornografi maupun untuk

menyerang kehormatan orang lain. Meskipun sulit untuk mendefinisikan

computer crime yang dikenal dengan pelbagai penamaan tetapi Susan W.

Brenner menyatakan bahwa;

“Cybercrime is one of the term used to denote to the use of computer


technology in unlawful activity (terjemahaan bebas ; kejahatan siber
adalah salah satu istilah yang digunakan untuk menunjukkan
penggunaan teknologi digitaldalam aktivitas yang melanggar hukum.)
(Sjahdeini 2009)
169

Begitu juga Black Law Dictionary memberikan batasan kejahatan digital

sebagai;

“(a) crime requiring knowledge of computer technology, such as


sabotaging or stealing computer data or using a computer to commit
some other crime” (terjemahan bebas ; kejahatan yang membutuhkan
pengetahuan tentang teknologi komputer, seperti menyabotase atau
mencuri data digital atau menggunakan digital untuk melakukan
beberapa kejahatan lainnya).
Pornografi dapat didefinisikan sebagai penggambaran tubuh

manusia atau perilaku seksual manusia secara terbuka dengan tujuan

membangkitkan birahi (gairah seksual). Pornografi dapat menggunakan

berbagai media, seperti teks tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran,

gambar bergerak (animasi), dan suara. Film atau video porno

menggabungkan semua itu, seperti gambar yang bergerak, teks erotis

yang diucapkan, dan suara-suara erotis lainnya. Sementara majalah

sering kali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita

pendek menyajikan teks tertulis dan terkadang dengan ilustrasi. (Dedik

Kurniawan & Java Creativity, 2017)

Sedangkan kata “cyber” diambil dari bahasa Inggris adalah


cyberspace artinya Dunia Maya. (Dedik Kurniawan & Java Creativity,
2017) Kerby Anderson menyebutkan ada 6 (enam) tipe pornografi, yaitu
“Pornography is adult magazines, Pornography is video cassettes,
Pornography is motion picture, Pornography is television, Pornography
is cyberporn and Pornography is audioporn.(Kerby Anderson, 2017)

Menurut Wirjono Prodjodikoro, Pornografi adalah tulisan,

gambar atau patung atau barang pada umumnya yang berisi atau
170

menggambarkan hal sesuatu yang menyinggung rasa susila dari orang

yang membaca atau melihatnya. (Wirjono Prodjodikoro, 1980) Ada juga

pornografi menurut H.B. Jassin, berpendapat bahwa pornografi adalah

setiap hasil tulisan atau gambar yang ditulis atau digambar dengan

maksud sengaja untuk merangsang seksual.(Tjipta Lesmana, 1995)

Adapun karakteristik tindakan cyberporn, dimana pelakunya

adalah orang perorangan atau korporasi (industri pornografi) yang

menggunakan sarana penggunaan teknologi informasi (internet) sebagai

media penyebaran pornografi yang dimana sasarannya adalah semua

orang tidak terkecuali anak.

Secara khusus, Sutan Remi Syadeini membedakan antara

kejahatan digital yang didefinisikannya sebagai perilaku jahat yang

dilakukan oleh pelakunya dengan menggunakan program digitalsebagai

sarana untuk melakukan perbuatan tersebut atau sistem digitalsebagai

sarananya dan belum dikriminalisasi oleh undang-undang pidana sebagai

tindak pidana. Sementara itu tindak pidana digitaladalah perilaku yang

dilakukan oleh pelakunya dengan menggunakan program digitalsebagai

sarana untuk melakukan perbuatan dimaksud atau yang dilakukan oleh

pelakunya terhadap sistem digitalsebagai sasarannya dan telah

dikriminalisasikan oleh undang-undang pidana sebagai tindak pidana.

Motivasi dilakukannya kejahatan yang beragam seperti faktor

psikologis atau biologis, lingkungan maupun politis sebagaimana

dikemukakan sebelumnya, di samping modus operandi yang beragam,

menuntut diterapkannya kebijakan kriminal yang tepat sehingga dapat


171

diperoleh upaya penanggulangan yang efektif. Hukum pidana dengan

sendirinya tidak menjangkau jauh ke dalam faktor-faktor yang

melatarbelakangi dilakukannya suatu perbuatan. Hukum pidana hanya

berkaitan dengan perbuatan yang dilarang dan sanksi yang diancamkan

atas larangan itu. Saat sekarang tengah marak kejahatan jalanan seperti

pembegalan terhadap pengendara sepeda motor, penjualan bayi, di

samping tawuran antar kelompok atau pelajar yang menuntut

penggunaan hukum pidana secara proporsional. Kejahatan yang terjadi

hanya tampak di permukaan tetapi motivasi di balik itu semua dapat

berupa ketimpangan sosial akibat tidak tepatnya kebijakan pembangunan

yang sering mengabaikan kelompok marginal.

Potensi sumber daya lebih banyak dikuasai oleh kelompok

dominan yang dengan menggunakan kebijakan publik berusaha untuk

mengamankan kepentingannya melalui penyusunan dan penerapan aturan

hukum yang menguntungkannya. Perencanaan pembangunan yang

timpang merupakan faktor kriminogen yang berkelindan dengan

kemiskinan, kebodohan, dan ketidakberdayaan.

Faktor-faktor penyebab kejahatan yang begitu kompleks

merupakan salah satu kesulitan dalam upaya pemberantasan kejahatan.

Konsekuensinya, penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi

masalah kriminalitas memiliki keterbatasan-keterbatasan yang harus

dilengkapi dengan pendekatan lainnya, seperti pemerataan kesempatan

kerja dan berusaha yang secara adil diberikan kepada semua warga

negara. Dengan kata lain, penanggulangan kejahatan juga harus


172

dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekonomi, sosial, politik, dan

bahkan budaya. Tanpa mengetahui faktor-faktor kriminogen, penggunaan

hukum pidana hanya bersifat kurieren am symptom atau pengobatan

terhadap gejala, yang segera akan kambuh kembali apabila faktor

pemicunya timbul. Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan

tanggung jawab bangsa secara keseluruhan dengan melibatkan semua

potensi yang ada demi mewujudkan kesejahteraan.

b. Faktor Hukum

Faktor hukum dimaksudkan semua faktor mulai hukum atau

undang-undang disusun sampai ditegakkan. Bukan merupakan rahasia

lagi, bahwa hukum memiliki keterbatasan dalam menyampaikan ide-

idenya melalui bahasa. Ide untuk melindungi korban, ide untuk

memberikan keadilan kepada pelaku tindak pidana, maupun

perlindungan kepada masyarakat (social defence) harus disampaikan

oleh hukum melalui bantuan bahasa. Bahasa diakui memiliki

keterbatasan untuk menyampaikan ide-ide hukum menjadi kenyataan.

Bahasa dimaksud adalah bahasa Indonesia yang secara teknis

digunakan di bidang hukum. Oleh karena itu hukum memberikan

batasan-batasan melalui bahasa tentang kepentingan apa yang

dilindunginya.

Pemahaman tentang faktor hukum semakin diperkaya apabila

disoroti proses pembuatan hukum yang sarat dengan prosedur politik di

lembaga legislasi. Siapa-siapa dan tingkah laku yang bagaimana yang

akan dikenai peraturan perundang-undangan, apakah batasan-batasannya,


173

seberapa luas dampak dan intensitas yang akan ditimbulkannya, dan

seterusnya, serta sanksi apakah yang akan diancamkan, merupakan

pertanyaan politik yang sukar untuk dijawab tetapi memengaruhi

substansi undang-undang yang akan disusun.

Daftar pertanyaan ini akan semakin panjang apabila dikaitkan

dengan lembaga-lembaga apa yang akan diserahi tugas menegakkannya,

bagaimana wewenang hukumnya, bagaimana hubungan antarlembaga-

lembaga hukum dan masih banyak lagi. Keadaan akan semakin rumit

apabila dikaitkan dengan usaha penegakan hukumnya. Ketentuan hukum

acara memberikan batasan-batasan yang ketat berhubungan dengan

pengumpulan alat bukti, penyelesaian perkara, terbatasnya masa

penahanan, serta terdapat ketentuan yang berkaitan dengan daluwarsa,

jangka waktu untuk mengajukan upaya hukum, dan seterusnya.

Di bidang hukum pidana materiil terdapat ketentuan yang berupa

perumusan sanksi pidana yang menggunakan sistem tunggal, alternatif,

atau kumulatif yang tidak diikuti pedoman pemidanaan yang jelas dan

seragam sehingga penerapannya seperti tidak berpola yang dalam tingkat

tertentu dapat menimbulkan disparitas pidana dan dapat menjadi faktor

kriminogen pula.

Penggunaan hukum pidana dengan sanksi negatif hendaklah

dipandang sebagai upaya terakhir atau subsider, yakni dengan

mengedepankan jenis sanksi di bidang hukum lain. Apabila hukum

pidana hendak dilibatkan, hendaknya dipergunakan sanksi yang lebih

ringan di antara sekian banyak alternatif sanksi yang diancamkan.


174

Semenjak awal kelahirannya, hukum pidana dan sanksinya merupakan

sarana terakhir (ultimum remidium), di mana sampai saat ini prinsip itu

belum berubah, dengan demikian penggunaannya harus serasional

mungkin.

Sanksi pidana yang semula dimaksudkan sebagai imbalan atas

perbuatan maupun akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana, ternyata

sering digunakan sebagai alat pembalasan dan memiliki dampak-dampak

negatif yang tidak diperhitungkan. Narapidana yang sejatinya dibina di

lembaga pemasyarakatan, disebabkan keterbatasan sarana dan prasarana,

terkadang justru menjadi penjahat kambuhan (residivis) yang sulit untuk

disembuhkan. Tujuan mulia sistem pemasyarakatan sering tidak sesuai

antara gagasan dengan realitas, telah menyebabkan viktimasi sekunder

kepada (mantan) narapidana berupa stigmatisasi dan prisonisasi.

Di samping itu, penerapan sanksi pidana membutuhkan perangkat

hukum untuk menjamin efektivitas pelaksanaannya. Upaya untuk

memberantas korupsi maupun narkotika tidak berakhir dengan

diciptakannya undang-undang tetapi membutuhkan sarana kelembagaan

untuk menegakkannya. KPK, BNN, maupun BNPT merupakan salah satu

institusi yang harus dibangun untuk menjalankan undang-undang dan

guna menegakkan hukum berupa penjatuhan pidana terhadap pelaku

maupun perlindungan terhadap korban kejahatan. Sarana pendukung

hukum pidana semakin bertambah. Hal itu berarti bahwa cost of crime

akan semakin meningkat. Pada titik itu, perlu dilakukan evaluasi tentang

keseimbangan antara hasil-hasil yang dicapai dengan biaya-biaya yang


175

telah dikeluarkan sehingga kejahatan dapat diminimalisasi. Pertimbangan

atas cost and benefit principles dalam rangka menanggulangi kejahatan

dimaksudkan agar kebijakan kriminal yang ditempuh menjadi efisien.

c. Stigmatisasi dan Prisonisasi

Kedua faktor tersebut merupakan dampak negatif pemidanaan

yang sering tidak diperhitungkan. Narapidana yang dijatuhi hukuman

perampasan kemerdekaan dalam jangka pendek sekalipun akan

mengalami viktimasi sekunder berupa stigmatisasi yang diberikan oleh

masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan viktimasi atau viktimisasi

sekunder adalah korban yang ditimbulkan oleh proses peradilan pidana.

Peradilan pidana yang sejatinya adalah sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan, berubah menjadi lembaga yang memproduksi

kejahatan baru yang berpotensi menyebabkan seseorang mengulangi

tindak pidana disebabkan sistem sosial yang terbangun tidak

memungkinkan narapidana hidup secara normal kembali.(J.E. Sahetapy,

SH., MA. 1995)

Viktimisasi itu sudah mulai terjadi ketika narapidana memasuki

gerbang lembaga pemasyarakatan, di mana nilai-nilai sosial tertentu

berlaku di dalam penjara memaksa narapidana untuk beradaptasi dengan

kehidupan yang berbeda dengan dunia luar. Narapidana harus mengikuti

ketentuan serta kebiasaan yang berlaku di rumah-rumah penjara yang

tidak pernah dialami sebelumnya. Budaya penjara berlangsung dalam

sistem yang tertutup. Narapidana dianggap mempunyai kehidupan sosial

sendiri, begitu pula dengan petugas. Penjara hanya menjadi gudang


176

degradasi sederetan manusia yang berbuat kesalahan dan menjadi

kumpulan pelaku kriminal, dijaga petugas untuk membuat mereka

bertobat dan menjadi jera.(Simon and Josias 2012)

Gresham M. Sykes menyatakan bahwa budaya penjara sebagai

society of captives yang ditandai oleh empat ciri penderitaan penjara,

yaitu:

a) Kehilangan kebebasan ( loss of liberty )


b) Kehilangan barang dan jasa ( deprivation of goods amd service )
c) Kehilangan hubungan heteroseksual (deprivation of
heterosexual relationship )
d) Kehilangan otonomi ( deprivation of otonomy )

Beberapa kehilangan yang disebut di atas ternyata harus juga

diikuti oleh berbagai kehilangan setelah yang bersangkutan selesai

menjalani pidana penjara seperti kehilangan pekerjaan, pergaulan,

bahkan keutuhan rumah tangga. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk

menghindarkan hukuman perampasan kemerdekaan khususnya pidana

penjara di bawah 1 tahun untuk tidak dilaksanakan di lembaga

pemasyarakatan, karena akan mengurangi kapasitas penjara dan dampak-

dampak sampingan negatif yang ditimbulkannya.

Penjara tidak hanya dilihat sebagai dinding-dinding gelap dan

pengap tetapi sebagai sebuah komunitas sosial yang lain dibandingkan

dengan masyarakat pada umumnya. Kondisi seperti itulah yang

menyebabkan prisonisasi dan stigmatisasi. Sistem sosial yang demikian

diciptakan oleh terpidana atau bahkan serta merta tercipta untuk

meningkatkan status terpidana dan bahkan untuk mengurangi penderitaan


177

mereka. Di antara karakteristik prisonisasi itu adalah bahasa-bahasa yang

diciptakan, stratifikasi sosial, primary groups, dan lain-lain. Sistem sosial

demikian apabila tidak ditangani secara bijaksana dapat menjadi faktor

kriminogen yang berpotensi menjadikan (mantan) narapidana

mengulangi perbuatannya.

2.5.2 Prinsip-Prinsip Pembatas Pada Hukum Pidana

Keterbatasan hukum pidana disebabkan sanksi negatif dan

dampak-dampak yang ditimbulkan, membutuhkan pembatasan-

pembatasan penggunaan hukum pidana. Saat sekarang timbul suatu

anggapan bahwa hukum pidana merupakan jawaban satu-satunya atas

berbagai fenomena kriminalitas yang terjadi di dalam masyarakat.

Pemahaman yang demikian itu tampak dari kebijakan legislasi maupun

penegakan hukum yang cepat-cepat berpaling kepada ketentuan hukum

pidana jika menghadapi masalah kriminalitas.

Berdasarkan pemahaman terhadap faktor penyebab dan dampak

negatif yang ditimbulkan, perlu ditetapkan prinsip-prinsip pembatas

penggunaan hukum pidana, yakni sebagai berikut ;

1. Jangan menggunakan hukum pidana dengan cara emosional untuk


melakukan pembalasan semata-mata.
2. Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana
perbuatan yang tidak jelas korban dan kerugiannya.
3. Hukum pidana jangan dipakai guna mencapai suatu tujuan yang
pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya
dengan penderitaan atau kerugian yang lebih sedikit.
178

4. Jangan memakai hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan


oleh pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian yang
diakibatkan oleh tindak pidana yang akan dirumuskan.
5. Hukum pidana jangan digunakan apabila hasil sampingan (by
product) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan
perbuatan yang akan dikriminalisasikan.
6. Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak dibanding (sic)
oleh masyarakat secara kuat.
7. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila penggunaannya
diperkirakan tidak dapat efektif (unenforceable).
8. Hukum pidana harus uniform, univerying, and universalistic.
9. Hukum pidana harus rasional.
10. Hukum pidana harus menjaga keserasian antara order,
legitimation, and competence.
11. Hukum pidana harus menjaga keselarasan antara social defence,
procedural fairness, and substantive justice.
12. Hukum pidana harus menjaga antara moralitas komunal, moralitas
kelembagaan, dan moralitas sipil.
13. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan korban kejahatan.
14. Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan
secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan.
15. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus
didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang
bersifat non penal (prevention without punishment)

Sejalan dengan pandangan Muladi tersebut, Barda Nawawi Arief

juga menyatakan bahwa keterbatasan hukum pidana dalam

menanggulangi kejahatan dapat diidentifikasi sebagai berikut ;

1. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar


jangkauan hukum pidana.
179

2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari


sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah
kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan
yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-
politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural, dan sebagainya).
3. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan
hanya merupakan kurieren am symptom. Oleh karena itu hukum
pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan
“pengobatan kausatif’
4. Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung
sifat kontradiktif atau paradoksal dan mengandung unsur serta
efek sampingan yang negatif.
5. Sistem pemidanaan bersifat pragmentair dan individual atau
personal serta tidak bersifat struktural dan fungsional.
6. Keterbatasan jenis-jenis sanksi pidana dan sistem perumusan
sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif.
7. Bekerja atau berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana
pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya
tinggi”.
Kelima belas prinsip yang dikemukakan oleh Muladi atau tujuh

prinsip yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, pada hakikatnya

ditujukan kepada semua pelaksana hukum pidana mulai lembaga legislasi

yang diberi kewenangan untuk menyusun peraturan perundang-undangan

pidana, penegak hukum (penyidik, penuntut umum, sampai hakim),

bahkan petugas lembaga pemasyarakatan (LP) harus mengindahkan

prinsip di atas.

Niegel Walker, oleh disebut dengan prinsip-prinsip pembatas

(limiting principles), di mana hukum pidana tidak boleh digunakan untuk


180

mencapai tujuan-tujuan tertentu atau dalam keadaan tertentu.(Walker

1972) Seperti tujuan pembalasan atau reaksi terhadap kejahatan

sebenarnya dapat dicapai dengan cara-cara yang lebih kedil risikonya,

dibandingkan apabila menggunakan hukum pidana. Kesemua prinsip

pembatas dimaksud oleh Nigel Walker telah dirinci lebih lanjut oleh dua

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro di atas. Oleh karena

itu prinsip-prinsip pembatas tidak diulangi lagi dalam buku ini. Akan

tetapi sebagai sebuah kebijakan kriminal, penggunaan hukum pidana

dengan sanksinya bersifat ultimum remidium.

Sampai saat ini prinsip itu belum bergeser, meskipun dalam

kenyataannya, penerapan hukum pidana sering tidak mengindahkan

prinsip-prinsip pembatas tersebut. Akibat yang ditimbulkannya adalah

overcriminalization di bidang perundang-undangan maupun kriminalisasi

dalam penerapan hukum terhadap perbuatan yang semestinya

mengindahkan prinsip cost and benefit yang menjadi prinsip umum

hukum pidana agar tidak menimbulkan prisonisasi dan stigmatisasi

sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.

Apabila penggunaan hukum pidana tidak mengindahkan prinsip-

prinsip pembatas tersebut, akan menimbuikan apa yang disebut oleh

Jeremy Bentham, dengan groundless yakni apabila tidak memiliki dasar

pembenaran yang rasional, inefficacius yakni tidak tepat karena tidak

mampu mencegah terjadinya kejahatan, unprofitable artinya lebih besar

ongkos yang dikeluarkan daripada hasil yang hendak dicapai dan


181

needless, sepanjang masih ada cara lain, penggunaan hukum pidana

bersifat subsider.(Bentham 1972)

2.5.3 Pentingnya Ketentuan Sanksi Dalam Hukum Pidana

Meskipun penerapan hukum pidana telah menimbulkan dampak

yang tidak dikehendaki, akan tetapi penggunaan hukum pidana tidak

dapat dihindarkan (conditio sine qua non). Oleh karena itu kebijakan

kriminal dalam penggunaan sanksi pidana (baik dalam tataran legislasi)

maupun penerapan hukum hendaknya dilakukan dengan mengindahkan

prinsip proporsionalitas.

Ketentuan hukum pidana jika tidak dipergunakan secara

proporsional akan menimbulkan kondisi yang memprihatinkan. Herbert

L. Packer menyatakan bahwa sampai saat ini kita tidak mungkin

mengabaikan eksistensi hukum pidana. Sanksi pidana merupakan sarana

yang tidak mungkin dielakkan oleh karena itu kita tidak mungkin hidup

sekarang maupun menghadapi berbagai kemungkinan kriminalitas yang

akan terjadi di masa mendatang tanpa kehadiran hukum pidana.(Packer

1968)

Kejahatan dipandang sebagai kenyataan sosial-politik bukan

sebagai fenomena alamiah biasa. Oleh karena itu seberapa jauh

pemahaman kita tentang kejahatan ditentukan oleh keputusan atas

berbagai pilihan dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai kejahatan.

Akibatnya, dalam rangka penerapan hukum pidana akan terdapat dua

wajah ekstrem, yakni pada satu sisi sebagai penjamin utama (prime

guarantor) atas kebebasan manusia jika dipergunakan secara tepat dan


182

humanis, hukum pidana merupakan penjamin utama tetapi apabila

digunakan secara sewenang-wenang dan diskriminatif hukum pidana

merupakan pengancam yang utama (prime threatener).

2.5.4 Esensi pentingnya mengkriminalisasi suatu perbuatan

Keterbatasan kemampuan sanksi pidana dalam menanggulangi

masalah kejahatan, beban kinerja aparatur hukum, proses hukum yang

panjang, serta dampak negatif sanksi pidana yang tidak dapat

dihindarkan, membawa kepada pandangan bahwa kebijakan kriminal

dapat digunakan sebagai alternatif solusi beberapa permasalahan di atas.

Sebagai langkah pendahuluan yang strategis maka kebijakan formulatif

atau kebijakan pembaruan hukum pidana (kebijakan perundang-

undangan) hendaknya mengacu pada pendekatan nilai maupun

pendekatan kebijakan agar supaya hukum yang diciptakan memiliki

kemampuan yang efektif digunakan menanggulangi kejahatan. Di sini

dapat dikemukakan bahwa Pancasila merupakan acuan konstitutif atau

substantif maupun regulatif bagi aturan hukum di bidang hukum pidana.

Peraturan perundang-undangan yang baik (dalam perumusan, sistem

sanksi, serta harmonisasi vertikal dan horizontal) merupakan prasyarat

yang menentukan langkah penegakan hukum selanjutnya, yakni

bekerjanya sistem peradilan pidana.

Pada tahap penegakan hukum, baik hukum pidana materiil,

hukum pidana formil, juga hukum pelaksanaan pidana semestinya

menampakkan harmonisasi baik di antara ketiga peraturan perundangan

maupun dengan undang-undang lain. Dalam konteks ini, sistem ancaman


183

pidana dalam undang-undang harus ditetapkan seelastis mungkin

sehingga memberi kelonggaran kepada hakim (maupun aparatur hukum

lain) untuk menyelaraskan kebutuhan objektif penanggulangan kejahatan

dan secara subjektif untuk pembinaan terhadap narapidana.

Undang-undang kelembagaan penegakan hukum digunakan untuk

menunjang ketiga undang-undang primer di atas. Di samping sistem

kelembagaan yang perlu dibenahi, penggarapan budaya hukum di dalam

setiap komponen SPP harus dilakukan secara berkesinambungan

diarahkan untuk menegakkan tata hukum pidana yang bersendikan

kepada keadilan dan kejujuran. Meskipun setiap kelembagaan hukum

memiliki karakteristik kultur yang berbeda tetapi perbedaan karakteristik

tidak boleh menjadi penghalang untuk mewujudkan tugas utama SPP,

yakni pencegahan dan perlakuan terhadap pelanggar hukum (prevention

of crime and treatment of offenders).

Sistem penitensier mulai aparat eksekusi, lembaga

pemasyarakatan, maupun proses yang mengolah masukan berupa

narapidana atau warga binaan pemasyarakatan, sarana prasarana, dan

sumber daya manusia diarahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan

yakni manusia yang baik dan berguna. (Mantan) narapidana yang pernah

tersesat harus diayomi agar memiliki ketahanan mental agar kelak ketika

telah kembali ke dalam masyarakat tidak tergoda melakukan kejahatan

kembali. Untuk itu, petugas lembaga pemasyarakatan tidak cukup jika

mengetahui aturan hukum positif yang berlaku berkaitan dengan tugas

pokok dan fungsinya (tupoksi) masing-masing tetapi memahami ilmu-


184

ilmu humaniora yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian

manusia agar menjadi lebih baik dan dapat digunakan sebagai bagian dari

potensi bangsa yang dari mereka kepatuhan terhadap hukum diharapkan.

Potensi masyarakat sebagai basis sosial kebijakan kriminal dapat

digunakan sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang efektif, karena

dengan dukungan masyarakat kejahatan dapat dicegah dan ditanggulangi

secara rasional dan efektif. Apabila pelibatan segenap potensi masyarakat

diabaikan, penanggulangan kejahatan hanya merupakan kegiatan rutinitas

belaka, tanpa ada hasil positif berkaitan dengan efektivitas penerapannya.

Sebagai bagian dari ilmu hukum pidana modern (modern criminal

science) kebijakan kriminal dapat digunakan sebagai bahan evaluasi

terhadap hukum pidana khususnya berkaitan dengan penerapan hukum

(law in action) di samping untuk menyelaraskan kebutuhan peraturan

perundang-undangan pada satu saat (law in book, ius constituendum).

Apabila keduanya terdapat kesenjangan, maka perlu dihadirkan

penegakan hukum aktual (ius operatum atau ius in operandum) agar

diperoleh penegakan hukum yang berkeadilan.

Tugas demikian itu, dapat diletakkan dalam bingkai kebijakan

kriminal, sehingga dapat diwujudkan sistem penegakan hukum aktual

yang menjunjung tinggi nilai-nilai fundamental hukum guna

mewujudkan kesejahteraan (solus populi suprema lex). Kesejahteraan

rakyat (sosial) merupakan hukum tertinggi yang merupakan cita-cita

seluruh bangsa Indonesia sebagaimana disusun dalam konstitusi.

Kebijakan kriminal akan tetap relevan sepanjang langkah penegakan


185

hukum baik in abstacto maupun faktual (in concreto) dilaksanakan untuk

mewujudkan substantive justice yang merupakan tujuan akhir penegakan

hukum.

Kebijakan kriminal akan tetap relevan sepanjang usaha untuk

mewujudkan ide-ide hukum agar menjadi kenyataan. Ketentuan pidana

yang secara normatif dalam undang-undang harus dikonkretisasikan

melalui langkah penegakan hukum. Ketika itu berbagai faktor akan turut

memengaruhi demi terwujudnya actual enforcement namun tetap dalam

rangka mencapai tujuan akhir, yakni terwujudnya kebenaran materiil dan

guna memberikan perlindungan yang menyeluruh terhadap hak asasi

manusia (HAM). Perwujudan kebenaran materiil tidak boleh dilepaskan

dari Pancasila sebagai bingkai hukum Indonesia. Keadilan sosial

merupakan tujuan akhir kebijakan kriminal di samping sebagai sarana

resosialisasi dan social defence. Ketiganya harus dipandang sebagai suatu

kesatuan yang terintegrasi, guna mewujudkan negara hukum Indonesia

yang membahagiakan rakyatnya.

2.5.5 Pendekatan-Pendekatan Pada Mengkriminalisasi Perbuatan

Pelacuran

1. Pendekatan Pelacuran Dari Nilai-Nilai Pancasila

Pancasila yang terkandung nilai-nilai falsafah masyarakat

Indonesia pada sila ke 2 telah memberikan amanat bahwa setiap warga

negara menjunjung nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi mewujudkan cita – cita

hukum yakni, kemanusiaan yang adil dan beradab maka dalam setiap
186

pembangunan manusia sebagai mahkluk yang bermartabat paling

tinggi maka perlu adanya perhargaan dan perlakuan yang sama

terhadap setiap warga negara.

Perilaku seks bebas, kekerasan seksual maupun penyimpangan

seksual yang terjadi di Indonesia yang meningkatkan menunjukkan

semakin terjadinya demoralisasi dalam masyarakat tanpa

memperdulikan nilai moral, etika, agama dan hukum yang berlaku.

Legalisasi pelacuran berdampak kepada demoralisasi pada masyarakat,

hal ini didasarkan bahwa seseorang dapat mendapatkan kepuasan

seksual melalui eksploitasi organ seksual pihak lain melalui

pembayaran bukan melalui kemuliaan, kehormatan atau kesucian

terhadap manusia.

Pelacuran sebagai salah satu bentuk seks bebas tanpa batas akan

mengarah kepada perzinaan yang melanggar etika dan norma dalam

masyarakat. Cita – cita hukum kemanusiaan yang adil dan beradab

tidak akan tercapai sepenuhnya selama adanya pelacuran di Indonesia,

hal ini terjadi karena pelacuran adalah salah satu bentuk perbudakan

tradisional terhadap manusia sejak dulu. Manusia yang terlibat dalam

pelacuran menjadi komoditas jasa seksual yang dapat diperjual belikan.

Kriminalisasi terhadap Pengguna bertujuan untuk manusia agar

mengendalikan naluri seksnya dan melarang penyaluran kebutuhan

seksualnya dalam bentuk perzinaan secara komersil. Sedangkan

kriminalisasi terhadap PSK bertujuan untuk mencegah dan melarang

seseorang menjual atau mengeksploitasi organ seksualnya demi


187

mendapatkan keuntunngan dari perbuatan yang melawan hukum.

Tujuan lainnya adalah kriminalisasi terhadap Pengguna dan PSK

merupakan perwujudan atas pemenuhan nilai kemanusiaan yang adil

dan beradab yang menyatakan bahwa manusia bukanlah sebuah

komoditas yang dapat diperjual belikan sehingga perlu diberikan

perhargaan dan perlakuan yang sama terhadap setiap manusia.

2. Pendekatan Pelacuran dari Sudut Pandang Agama

Nilai-nilai Pancasila dalam kaitannya dengan agama terdapat dalam

sila pertama yang mengatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa

menunjukkan bahwa hukum harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan

Tuhan yang tercermin melalui setiap ajaran-ajaran agama. Hukum

agama khususnya hukum islam termasuk dalam hukum postif di

Indonesia. Karena masyarakat Indonesia yang mayoritas merupakan

pemeluk agama islam. Dalam tindak pidana Pelacuran, hukum islam

tidak mengakui segala bentuk perzinaan termasuk dengan adanya

kegiatan pelacuran. Sebab dengan adanya pelacuran akan merusak

moral dan membiarkan kekejian meruntuhkan keutuhan masyarakat.

Dengan adanya pelacuran menyebabkan hilangnya iman dalam diri

manusia.

Selanjutnya dalam agama nasrani menganggap bahwa adanya

pelacuran merupakan suatu hal yang tidak patut, karena dapat merusak

keutuhan rumah tangga. Dalam agama hindu menganggap prostitusi

sebagai suatu hal yang dilarang, karena dalam ajaran agama hindu

tubuh wanita ibarat sebagai ibu kehidupan bagi generasi selanjutnya.


188

Jika pelacuran tetap dilakukan maka dianggap sebagai pebuatan yang

melecehkan harkat dan derajat seorang ibu maka akibatnya akan

menjadi kutukan bagi kehidupan manusia.

3. Pendekatan Pelacuran dari Perspektif Kesehatan

Masalah utama yang dihadapi seorang wanita yang terlibat

dalam pelacuran berkaitan dengan kesehatannya adalah kelelahan,

penyakit virus, penyakit menular seksual, infeksi vagina, sulit tidur,

depresi, sakit kepala, sakit perut, dan gangguan makan. Kanker serviks

adalah penyakit umum yang akan diderita pekerja seks komersil. Dua

faktor utama resiko untuk kanker serviks dikarenakan aktivitas seksual

pertama di usia muda dan gonta-ganti pasangan seksual dengan jumlah

banyak, selain itu yang akan dialami adalah hepatitis kronis.(Farley

2004)

Pengguna jasa yang pernah melakukan hubungan seksual

dengan pekerja seks komersil akan menderita penyakit kelamin,

apabila menikah maka akan dapat menularkan penyakit kepada

pasangan maupun keturunannya, khusus keturunan akan mengalami

kecacatan ketika dilahirkan dan menderita penyakit HIV/AIDS Orang

tua memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk melindungi anak

dari penyakit, orang tua baik salah satu atau keduanya wajib menjaga

tali perkawinan dan tidak berhubungan dengan PSK agar melindungi

keturunan (anak), dengan orang tua melakukan hubungan seksual

dengan PSK kemudian melakukan hubungan seksual dengan


189

pasangannya maka berpotensi mengidap penyakit kelamin.(Pasal 46

Undang-Undang Perlindungan Anak n.d.)

3. Pendekatan Pelacuran dari Sudut Pandang Hak Asasi Manusia

Legalisasi pelacuran merupakan lembaga yang menghina

manusia, khususnya wanita dalam masyarakat yang mempertahankan

citra mereka sebagai obyek atau komoditas seksual. Legalisasi

pelacuran merupakan warisan dari masyarakat patriarkhi dimana

menempatkan wanita sebagai properti laki-laki.(Begum 2013)

Pelacuran dapat dikategorikan sebagai sarana seseorang untuk

membeli pelecehan seksual terhadap perempuan sehingga pelacuran

merupakan pemerkosaan yang dibayar (paid rape). Pelacuran dapat

membuat seseorang yang melakukan pembelian seks dapat melakukan

tindakan pemaksaan terhadap pekerja seks komersial. Hal ini terjadi

karena pembeli seks akan mempunyai dan menikmati kekuasaan atas

pekerja seks komersial karena dia telah membayar dan dapat

melakukan apa yang diinginkan dengan pekerja seks komersial yang

dibeli.(Schulze 2014)

Indonesia sebagai salah satu anggota yang telah meratifikasi

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan (CEDAW) tahun 1981 sudah seharusnya mentaati dan

melaksanakan pasal 6 yang mewajibkan setiap negara untuk

melakukan segala langkah dan tindakan yang diperlukan dalam

pembuatan perundang-undangan untuk memberantas segala bentuk

perdagangan perempuan dan ekploitasi pelacuran perempuan.


190

Menurut Jean Paul Satre dan Simon de Beauvoir dalam

pemikiran feminis eksistensialis, mengadposi bahasa ontologis dan

bahasa etis eksistensialisme bahwa laki-laki merupakan “Sang Diri”

dan perempuan merupakan “Sang Liyan”. Jika Liyan adalah ancaman

bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu,

jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan

terhadap dirinya.

Meskipun semua perempuan terlibat dalam permainan peran

feminin, menurut Beauvoir dalam Tong ada tiga jenis perempuan yang

memainkan peran “perempuan” sampai ke puncaknya. Mereka adalah

pelacur, narsis, dan perempuan mistis. Untuk pelacur sendiri memiliki

hal yang sangat komplek. Di satu sisi, pelacur merupakan paradigma

perempuan sebagai Liyan, sebagai obyek dan sebagai yang

dieksploitasi. Di sisi lain pelacur adalah laki-laki yang membeli

pelayanannya adalah Diri, suatu subyek, seseorang yang

mengeksploitasi. Dia melacurkan dirinya menurut Beauvoir bukan

hanya semata-mata untuk uang, tetapi juga penghargaan yang

didapatkan dari laki-laki sebagai bayaran bagi “ke-Liyanan”-nya.

Pelacur mendapatkan imbalan karena menjadikan tubuhnya sebagai

alat pemenuhan mimpi laki-laki yakni kemakmuran dan ketenaran.

(Rosemarie Putnam Tong, 2004)

Kekuatan dari Teori Beauvoir tentang Eksistensialis adalah ia

memberi penguatan dari penyadaran terhadap perempuan lain akan

tubuh dan posisi mereka yang dipaksa untuk menerima keadaan


191

dirinya sama halnya ketika lingkungan sekitar membuatnya untuk

mereka. Beauvoir melihat lebih jauh bahwa situasi akan politik,

hukum, ekonomi, sosial, dan kebudayaan adalah faktor-faktor yang

mampu menghambat perempuan. Oleh karena itu, saran yang dapat

diberikan oleh Beauvoir adalah perempuan dapat mengambil

keputusan yang tegas untuk menentukan nasib mereka sendiri

walaupun disadari ada kemungkinan tidak ada pilihan positif dan

perempuan diharuskan bertanggung jawab pada keputusan yang

diambil.

Perspektif lain mengenai eksploitasi tubuh, dapat dilihat melalu

perspektif Pancasila sila ke 2 yang telah memberikan amanat bahwa

setiap warga negara menjunjung nilai kemanusiaan yang adil dan

beradab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasal 28I

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk tidak perbudak

yang merupakan hak asasi manusia tanpa dikurang sedikitpun.

Adapun juga Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan orang pun

menjadi ketentuan pidana bahwa setiap manusia bukanlah sebuah

komoditas yang dapat diperdagangkan.


192

BAB III

KONSEP KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN PELACURAN

DALAM KONTEKS PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

3.1. Korelasi Perbuatan Pelacuran Pada Hukum Pidana

Definisi pidana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

ialah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan

sebagainya). Istilah hukuman adalah istilah yang bersifat umum, memiliki

pengertian yang luas dan bisa digunakan dalam bidang yang luas juga,tidak

hanya digunakan di dalam bidang hukum saja, tetapi juga bisadigunakan di

luar bidang hukum. Sedangkan pidana merupakan istilahyang sempit yang

hanya digunakan di dalam bidang hukum.

Adami Chawazi mendefinisikan bahwa;(Chawazi 2005)

“Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang


sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara kepada seseorang atau
beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas
perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara
khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana
(strafbaarfeit)”.

Abidin berpendapat pengertian pidana yaitu:(A. Z. Abidin 2010)

“Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana


yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya,
yaitu straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam
sanksi baik perdata, administratif, disiplin, dan pidana. Sedangkan pidana
diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana”.

Pidana dikatakan sebagai ultimum remedium dikarenakan pidana

bersifat memaksa dan objektif, yaitu tanpa melihat siapa atau apa jabatan
193

yang melekat pada pelaku. Mencantumkan pidana pada setiap larangan

dalam hukum pidana, di samping bertujuan untuk kepastian hukum dan

dalam rangka membatasi kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah

bagi setiap orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana. Muladi

menjelaskan pidana tidak selalu suatu penderitaan, tetapi:

“Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya

adalah suatu penderitaan atau nestapa”.

Hakekat pidana, menurut Hulsman yaitu menyerukan untuk tertib

dimana pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk

mempengaruhi tingkah laku dan penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik

ini dapat terdiri perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan

baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan manusia.

Berbicara mengenai pidana sudah barang tentu akan membahas

mengenai tindak pidana, tindak pidana dalam Bahasa Belanda disebut

strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku kata yaitu, straf yang diartikan sebagai

pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feit yang

diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Berbicara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

tindak pidana juga merupakan terjemahan dari starbaarfeit tetapi tidak

terdapat penjelasannya. Tindak pidana biasanya disinonimkan dengan delik,

yang berasal dari bahasa latin yaitu kata delictum. Dalam kepustakaan

tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat

undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah

peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindakan pidana. Rumusan


194

mengenai definisi tindak pidana menurut para ahli hukum. Tindak Pidana

menurut Jan Remelink, yaitu:(Lamintang, Indonesia, and Cetakan III 1997)

“Perilaku yang ada pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya
dianggap tidak dapat di tolerir dan harus diperbaiki dengan
mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum”.

Pompe, perkataan “tindak pidana” secara teoritis dapat dirumuskan sebagai

berikut:

“Suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang


dengan sengaja atau tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku yang penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum”.

Teguh Prasetyo merumuskan juga bahwa;(Prasetyo 2011a)

“Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang


dan diancam dengan pidana. Pengertian perbuatan di sini selain
perbuatan yang bersifat aktif dan perbuatan yang berifat pasif".

Definisi tindak pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum

diatas, dapat diasusmsikan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana

adalah perbuatan manusia yang dilarang oleh undang-undang ataupun

peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku dimana perbuatan

tersebut diancam dengan hukuman dan atas perbuatan tersebut dapat

dipertanggungjawabkan oleh pelaku.

Tindak Pidana dapat diartikan juga sebagai dasar yang pokok dalam

menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas

dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah

dilakukannya. Akan tetapi, sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya

suatu perbuatan mengenai perbuatannya sendiri berdasarkan asas legalitas


195

yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu perundang-undangan.

Menelisik dari pemahaman mengenai tindak pidana di atas

bahwasanya penjatuhan terhadap pidana pada seseorsang apabila perbuatan

itu telah ada regulasi yang mengaturnya barulah bias dijatuhkan sanksi

pidana sebagaimana asas legalitas, namun selama ini penekanan terhadap

perbuatan pelacuran sebagai tindak pidana pada regulasi tidak

mengkhususkan kepada perbuatannya atau Unsur Objektifnya hanya

menekankan kepada Unsur Subjektif dimana dalam hal ini hanya

menekankan tindak pidana terhadap mucikari dan/atau germo, dan pihak-

pihak yang terkait lainnya.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang ada dan berlaku dalam

mengatur delik susila masih sangat terbatas pada masalah pemerkosaan serta

pada masalah perzinaan. Adapun istilah perzinaan yang digunakan dalam

KUHP hanya terbatas pada skandal seksual yang dilakukan oleh orang-

orang yang telah berkeluarga atau terkait dengan tali pernikahan, yang

dilakukan dengan orang lain yang bukan suami atau istrinya. skandal seks

yang dapat dikategorikan perzinaan menurut KUHP, adalah apabila:(Ghafar

2016)

a. Dilakukan oleh orang-orang laki-laki beristri dengan perempuan lain


yang bukan istrinya sendiri.
b. Dilakukan oleh seorang perempuan bersuami dengan laki-laki lain
yang bukan suaminya.
c. Dilakukan oleh seorang perjaka atau duda dengan istri orang lain.
d. Dilakukan oleh seorang gadis atau janda dengan suami orang lain
196

Jelaslah bahwa persetubuhan/pelacuran yang dilakukan oleh

orangorang yang bebas dari tali pernikahan tidak termasuk delik perzinahan.

Seorang gadis/janda tidak disebut berzina bila ia melakukan senggama

dengan seorang perjaka atau duda, dan sebaliknya. Meskipun demikian

hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-peraturan dalam

industri seks di Indonesia. Karena larangan memberikan pelayanan seksual

khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum

Negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada

peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik pada tingkat

Propinsi, Kabupaten, dan Kecamatan, dengan mempertimbangkan reaksi,

aksi dan tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung

dan menentang pelacuran tersebut.

Sebenarnya pelacuran dilihat dari segi hukum, norma maupun agama

merupakan sebuah bentuk penyimpangan seks yang normal. Dalam Islam

secara tegas melarangnya bahkan mulai dari langkah pendekatannya sampai

pelaksanaan pelacuran (perzinaan) itu sendiri, mengingat kejinya perbuatan

tersebut melebihi dari perbuatan hewan. Namun hukum di Indonesia KUHP

(yang berasal dari WVS Belanda itu) tidak dengan tegas melarang adanya

perbuatan pelacuran. Juridiksi ini hanya mengancam pidana bagi para

mucikarinya saja. Sedangkan pelacur dan pelanggannya tidak diancam.

Namun hanya terkena ancaman menyangkut ketertiban ditempat umum dan

jalan raya. Sikap ini menunjukkan tidak adanya kekuatan hukum yang kuat

yang bisa menjerat dan memberantas praktek pelacuran (pelacuran).


197

3.2 Perbandingan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Perbuatan

Pelacuran Di Berbagai Negara

Pada hal yang dipergunakan dalam menentukan usaha dalam

mengkriminalisasi perbuatan pelacuran sebagai suatu instrumen

penanggulangan perbuatan pelacuran dalam pembaharuan hukum pidana

Indonesia, dimana regulasi yang tepat dalam sistem hukum nasional ini

maka diperlukan peneliti untuk melakukan perbandingan hukum dan/atau

regulasi sistem hukum pidana indonesia dengan negara-negara lain untuk

mengetahui perkembangan yang ada di beberapa negara itu dalam

menyikapi larangan-larangan perbuatan pelacuran dan penanggulangannya

seperti dalam bentuk regulasi-regulasi dan/atau peraturan perundang-

undangan. Adapun studi perbandingan yang dilakukan dengan Negara

Swedia, Negara Republik Rakyat China, Negara Belanda, Negara Malaysia,

Dan Negara Singapura.

3.2.1 Negara Swedia

Swedia adalah salah satu negara Skandinavia di Eropa Utara yang

berbatasan dengan Norwegia dan Finlandia dan juga terhubung dengan

Denmark lewat sebuah jembatan. Sistem hukum Swedia berakar pada

tradisi hukum kontinental dengan ketergantungan pada hukum

perundang-undangan. Ada komunikasi yang erat antara ulama dari

Swedia dan benua Eropa pada abad kedelapan belas. Hal ini

menyebabkan pengaruh kuat dari tradisi Jerman-Romawi dari negara-

negara benua Eropa pada sistem hukum Swedia.(www.wikipedia.com

2021) Kode Swedia komprehensif diberlakukan pada 1734. Kode ini,


198

dikenal sebagai Kode 1734 Skandinavia-Jerman civil law. Seperti semua

sistem hukum Skandinavia, itu dibedakan oleh karakter tradisional dan

kenyataan bahwa tidak mengadopsi unsur-unsur hukum Romawi. Hal ini

memang layak disebutkan bahwa unsur-unsur sangat sedikit berasimilasi

hukum asing apapun. Hal ini juga menarik bahwa Kode Napoleon tidak

memiliki pengaruh dalam kodifikasi hukum di Skandinavia.

Dasar historis hukum Swedia, sama seperti untuk semua negara-

negara Nordik, adalah Old hukum Jerman. Kodifikasi hukum dimulai di

Swedia selama abad ke-18, mendahului codifications di kebanyakan

negara Eropa lainnya. Namun, baik Swedia, maupun negara Nordik lain

yang dibuat code civil jenis code civil atau BGB. Pemerintah Swedia

memberikan perhatian yang lebih untuk memerangi pelacuran dan

perdagangan manusia dengan tujuan seksual. Hal ini merupakan bagian

penting bagi Swedia untuk mencapai kesetaraan antara perempuan dan

laki-laki, di tingkat nasional maupun internasional.

Kesetaraan gender akan tetap tidak tercapai selama kaum laki-laki

masih dapat membeli, menjual, dan mengeksploitasi para perempuan dan

anak-anak. Pelacuran dianggap sebagai kekerasan terhadap perempuan

dan anak-anak, yang secara intrinsik tidak hanya berbahaya bagi individu

perempuan atau anak-anak yang dilacurkan, tetapi juga bagi masyarakat

luas. Hal ini merupakan penghalang yang signifikan terhadap tujuan

Swedia. yaitu kesetaraan gender secara penuh. Pada tahun 1999, Swedia

mengeluarkan Undang-Undang yang dapat mengkriminalisasi pengguna

jasa seks yaitu dikenal dengan Sex Purchases Act. Menurut Undang-
199

Undang ini, pelacuran merupakan suatu tindakan yang melanggar

hukum. Aturan ini kemudian pada tahun 2005, diatur dalam KUHP

Swedia Bab 6 Pasal 11 yang menentukan sebagai berikut:(G. S. Ekberg

and Wahlberg n.d.)

“A person who, in other cases than previously stated in this chapter,


obtains a casual sexual relation in exchange for payment shall be
sentenced for the purchase of a sexual service to a fine or
imprisonment for at most six months.That which is stated in the first
section also applies if the payment has been promised or made by
someone else.”
(terjemahan bebas;Seseorang yang selain dari yang disebutkan
sebelumnya dalam bab ini, melakukan hubungan seksual biasa
dengan imbalan pembayaran, akan dihukum karena pembelian
layanan seksual dengan denda atau hukuman penjara paling lama
satu tahun).
Ketentuan tersebut mengatur bahwa ketika seseorang melakukan

pembayaran untuk mendapatkan layanan seksualitas, maka akan

dikenakan sanksi pidana berupa denda atau penjara maksimum 6 bulan.

Perbuatan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia di

Swedia, sedangkan wanita penjual jasa atau PSK diposisikan sebagai

korban yang butuh pertolongan sebagai akibat eksploitasi dan kekerasan

oleh pengguna jasa, sehingga pihak yang menjadi pengguna atau pembeli

jasa dapat dikenakan pidana. Melihat aturan tersebut, pemerintah Swedia

seakan berusaha untuk memangkas berbagai penawaran pelacuran yang

kerap dilakukan oleh para pria hidung belang. Jika melihat praktik

pelacuran sebagai aktivitas ekonomi, maka akan ada konsep supply dan
200

demand. Selama masih ada permintaan dalam masyarakat terhadap

pelacuran, maka kegiatan tersebut akan tetap ada sekalipun praktik

tersebut dilarang atau dianggap illegal.(G. Ekberg 2004)

Salah satu landasan kebijakan Swedia terhadap pelacuran adalah

pengakuan bahwa keberadaan kegiatan pelacuran tidak mungkin terjadi

tanpa adanya permintaan atas perempuan dewasa bahkan perempuan

yang masih dibawah umur yang rentan terhadap eksploitasi seksual.

Penelitian menunjukkan bahwa sisi permintaan harus mengambil bagian

dari tanggung jawab untuk mempertahankan keberadaan perempuan

dalam pelacuran.

Bagian mendasar dari strategi Swedia yang komprehensif untuk

memerangi pelacuran adalah mengakui bahwa para pengguna PSK-lah

yang harus dikriminalisasi. Karena itu pemerintah Swedia percaya

bahwa, tidak masuk akal untuk menghukum seseorang yang menjual

layanan seksual (PSK). Dalam sebagian besar kasus, setidaknya pihak ini

adalah pihak yang lebih lemah yang dieksploitasi oleh mereka yang

hanya ingin memuaskan hasrat seksual mereka. Selanjutnya, Pemerintah

Swedia percaya bahwa penting untuk memotivasi perempuan yang

dilacurkan untuk keluar dari industri tanpa rasa takut atau risiko

hukuman.

Selain kebijakan hukum, terkait kebijakan sosial juga dilakukan

oleh Pemerintah Swedia, yaitu dengan memberikan bantuan sosial

terhadap para pekerja seks komersil yang ingin berhenti dari

pekerjaannya. Hal ini diimplementasikan dari inisiatif dan strategi


201

pemberdayaan yang bertujuan untuk mendukung perempuan yang

bersangkutan dan memberi mereka peluang dan alternatif untuk keluar

dari industri prostitisi tersebut.

Lebih jauh lagi, untuk memperkuat semua elemen hukum,

Pemerintah Swedia menyediakan dana tambahan untuk mendidik

masyarakat guna memberikan kesadaran yang lebih besar dan memahami

praktik yang berbahaya ini. Akibatnya di Swedia saat ini, lebih dari 80%

populasi mendukung hukum dan prinsip-prinsip dibalik

perkembangannya. Berbeda dengan negara-negara yang berupaya untuk

mengatur atau melegalkan pelacuran, Swedia telah mahir mengelola

masalah yang kompleks dan kontroversial ini, serta telah berhasil

membuahkan hasil. Dalam 6 (enam) tahun sejak Undang-Undang

tersebut diberlakukan, secara dramatis telah mengurangi jumlah

pelacuran. Sex Purchase Act dianggap dapat menghalangi praktik

pembelian dan sekaligus perdagangan manusia. Hal ini didasarkan pada

jumlah perempuan asing yang diperdagangkan ke Swedia untuk

pekerjaan seks kini hampir tidak ada lagi.

Lebih lanjut, kebijakan Pemerintah Swedia ini memberikan efek

positif yang sangat signifikan terhadap perempuan yang terlibat dalam

pelacuran karena sebanyak 60 (enam puluh) persen pelacur di Swedia

memanfaatkan program-program yang didanai dengan baik oleh

Pemerintah Swedia dan akhirnya mereka berhasil keluar dari praktik

pelacuran. Dari setiap strategi pelacuran tersebut, secara komprehensif,


202

Pemerintah Swedia dapat mencapai tujuan yaitu untuk mengurangi

pelacuran dan pada akhirnya memberantasnya.

Pemerintah Swedia menganggap bahwa tidak ilegal apabila

seorang perempuan menjadi pelacur. Tetapi akan menjadi ilegal apabila

seseorang melakukan pembayaran untuk mengeksploitasi mereka.

Sehingga kriminalisasi dihadapkan kepada para pelanggan/pemakai.

Tetapi pendekatan ini bukan hanya tentang menghukum adanya

permintaan, tetapi merupakan bagian dari program meningkatkan

kesadaran di masyarakat dan meningkatkan kesetaraan gender. Oleh

karena itu Hukum Swedia, akan mengirimkan pesan yang jelas kepada

para laki-laki bahwa penggunaan jasa pelacuran tidak dapat diterima.

Selain itu, melalui adanya peningkatan kesadaran, aturan tersebut

mencoba mengubah pola pikir masyarakat yang serakah dan lebih

mementingkan diri sendiri daripada perempuan yang dipandang sebagai

korban kejahatan. Ini tidak hanya mengubah status hukum mereka, tetapi

bagaimana mereka dilihat dan diperlakukan oleh orang lain dan

mendorong penciptaan langkah-langkah holistik untuk membantu

mereka. Ini merupakan strategi komprehensif yang dapat mengatasi akar

penyebab dan memberikan strategi keluar yang realistis terhadap praktik

pelacuran, dan sebaliknya kemudian mereka (wanita dalam pelacuran)

memiliki hak untuk mendapatkan bantuan agar dapat melarikan diri dari

pelacuran.

Semenjak pemberlakuan regulasi ini, praktik pelacuran di swedia

telah banyak berkurang ketimbang sebelum pemberlakuan regulasi ini


203

dianggap sebagai bentuk langsung dari akibat penerapan kebijakan

kriminalisasi terhadap perbuatan pelacuran. Menurut Hart, Negara harus

bersifat tegas dan berani dalam melarang suatu perbuatan yang jahat

dengan maksud dan harapan bahwa masyarakat juga pun menolak

kejahatan tersebut.

Peran aktif masyarakat di dalam menolak suatu kejahatan menjadi

sumber kekuatan utama suatu Negara untuk menolak kejahatan tersebut.

Karena suara rakyat merupakan suara tuhan. Dengan demikian, apa yang

menjadi keinginan rakyat adalah tugas dan kewajiban Negara untuk

mewujudkannya termasuk di dalamnya adalah mendapatkan

perlindungan dan keadilan serta kemanfaatan terhadap adanya suatu

hukum yang diberlakukan di suatu Negara. Dengan kata lain, dalam

menentukan tindak pidana, faktor moral bukan merupakan keharusan,

tetapi bahwa hal itu mempengaruhi, tidak dinafikan. Stabilitas suatu

sistem hukum sangat tergantung pada keterkaitan hal itu dengan nilai-

nilai moral.

Socrates mengemukakan pendapat bahwa, tugas utama negara

adalah mendidik warga negaranya agar berpengetahuan dalam

keutamaan. Keutamaan yang dimaksud adalah agar setiap orang taat pada

hukum negara, baik yang tertulis maupun norma-norma yang

berkembang dalam masyarakat. Namun demikian, pengetahuan dan

keutamaan itu tidaklah buta, tetapi didasari dengan institusi tentang yang

baik dan benar, yang merupakan pengetahuan sejati sampai pada


204

pengertian transcendental dan norma-norma hidup yang berlaku dalam

masyarakat.(Santoso 2012)

Interelasi hukum dan moral harus saling berkaitan agar hukum

praksis memberikan perlindungan terhadap masyarakat, demikian pula

hukum harus bermoral baik dari segi teori maupun praksis. Hukum tidak

akan berarti apabila tidak dilandasi oleh moral, tanpa adanya moral

hukum akan lumpuh. Maka hukum tanpa adanya moral akan terjadi

kelumpuhan. Demikian juga dengan adanya suatu Negara dan hukum.

Hukum tanpa Negara maka yang akan terjadi adalah hanya angan-angan

saja. Sementara Negara tanpa adanya hukum akan terjadi kezoliman,

artinya kejahatan akan terjadi dimana-mana.(Subiharta 2015) Oleh

karena itu, harus adanya konsep tentang Negara hukum. Salah satu ciri

negara hukum adalah adanya perlindungan dan penegakan hak asasi

manusia. Antara negara hukum dan negara demokrasi selalu berkaitan

dengan penegakan hak asasi manusia.

Dalam kaitannya dengan external law, Indonesia dan Swedia

merupakan negara yang sama-sama mengatur ketentuan terkait kegiatan

pelacuran di dalam sebuah KUHP. Indonesia menjadi negara yang tidak

melegalkan perbuatan pelacuran, karena hal ini dianggap melanggar

budaya, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat

apabila kemudian dilegalkan. Hal ini berbeda dengan Swedia. Swedia

terlihat “melegalkan” kegiatan pelacuran. Namun ketentuan kedua negara

ini membuat dampak yang cukup berbeda secara signifikan.


205

Dalam KUHP yang berlaku di Indonesia, aturan/ketentuan hukum

yang berlaku hanya bisa menjerat penjual jasa PSK atau bisa disebut

sebagai mucikari. Aturan atau ketentuan hukum diluar KUHP juga tidak

dapat para pelaku yang terlibat kegiatan pelacuran. Berbeda dengan Code

Penal Swedish (KUHP Swedia), regulasi yang berlaku adalah

kriminalisasi bagi pengguna jasa PSK dan Mucikarinya dan/atau pelaku

layanan seksualitas berbayar. Secara tidak langsung, Pemerintah Swedia

sebenarnya juga mengkriminalisasi pekerja seks komersial, tetapi bentuk

kriminalisasi tersebut tidak dimaksudkan untuk pemberian sanksi pidana,

melainkan pemberian dana bantuan/sosial agar mereka (pekerja seks

komersil) itu dapat keluar dari kegiatan pelacuran tersebut.

Kaitannya dengan internal law, Pemerintah Swedia memberikan

perhatian yang lebih untuk memerangi pelacuran dan perdagangan

manusia dengan tujuan seksual. Hal ini merupakan bagian penting bagi

Swedia untuk mencapai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, di

tingkat nasional maupun internasional. Kesetaraan gender akan tetap

tidak tercapai selama kaum laki-laki masih dapat membeli, menjual, dan

mengeksploitasi para perempuan dan anak-anak. Pelacuran dianggap

sebagai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, yang secara

intrinsik tidak hanya berbahaya bagi individu perempuan atau anak-anak

yang dilacurkan, tetapi juga bagi masyarakat luas. Hal ini merupakan

penghalang yang signifikan terhadap tujuan Swedia. yaitu kesetaraan

gender secara penuh.


206

3.2.2 Republik Rakyat China (RRC)

Negara Republik Rakyat China, merupakan merupakan suatu

negara komunis karena ia memang merupakan negara komunis pada abad

ke-20 yang lalu. Secara resmi ia masih dikenal sebagai negara komunis,

meskipun sejumlah ilmuwan politik kini tidak mendefinisikannya lagi

sebagai negara komunis. Tiada definisi yang tepat yang dapat diberikan

kepada jenis pemerintahan yang diamalkan negara ini, karena strukturnya

tidak dikenal pasti. Salah satu sebab masalah ini ada adalah karena

sejarahnya, Negara Tiongkok merupakan negara yang diperintah oleh

para kaisar selama 2000 tahun dengan sebuah pemerintahan pusat yang

kuat dengan pengaruh Konfusianisme. Setelah era monarki berakhir pada

tahun 1911, Tiongkok diperintah secara otokratis oleh Partai Nasionalis

Kuomintang dan beberapa panglima perang. Kemudian setelah 1949

pemerintahan dilanjutkan oleh Partai Komunis Tiongkok.

Pemerintah RRC sering dikatakan sebagai otokratis, komunis dan

sosialis. Ia juga dilihat sebagai kerajaan komunis, Anggota komunis yang

bersayap lebih ke kiri menjulukinya negara kapitalis. Memang, negara

Tiongkok semakin lama semakin menuju ke arah sistem ekonomi bebas.

Dalam suatu dokumen resmi yang dikeluarkan baru-baru ini, pemerintah

menggariskan administrasi negara yang demokratis, meskipun keadaan

sebenarnya di sana tidak begitu. Pelacuran merupakan objek regulasi

hukum yang relatif baru di RRC, meskipun Partai Komunis Tiongkok

(PKT) terkenal karena kecamannya yang sudah berlangsung lama

terhadap industri pelacuran. Sesuai dengan teori Marxis.(Jeffreys 2004)


207

PKT awal memandang lembaga pelacuran sebagai ekspresi dari posisi

yang dieksploitasi dan direndahkan perempuan di bawah patriarki feodal-

kapitalis dan karena itu tidak sesuai dengan tujuan yang diinginkan untuk

membangun sosialisme dan membangun sosial-seksual yang lebih adil

hubungan. Setelah mengambil alih kekuasaan politik nasional pada tahun

1949, PKT memulai serangkaian kampanye yang konon memberantas

pelacuran dari daratan pada akhir 1950-an. Sifat luar biasa dari prestasi

ini, terlepas dari validitas yang sebenarnya, berarti bahwa pemberantasan

pelacuran telah (dan) dibanggakan sebagai salah satu pencapaian utama

rezim baru. Memang, RRC baru-baru ini buku putih pemerintah masih

menggambarkannya sebagai “perubahan bersejarah yang mengguncang

bumi dalam status sosial dan kondisi perempuan”.(Tiongkok 2019)

Sifat luar biasa dari konon ini Pernyataan tersebut juga berarti

bahwa pelacuran secara efektif “menghilang” sebagai objek dari

perhatian pemerintah di “Cina Baru” hingga muncul kembali bersamaan

dengan pasca 1978 pergeseran dari ekonomi terencana ke ekonomi

berbasis pasar. Persepsi pada awal masa reformasi bahwa pelacuran

adalah sebagai "non-isu" disorot oleh perhatian terbatas yang diberikan

padanya di pertama RRC, Hukum Pidana 1979.(Hukum Pidana Republik

Rakyat Tiongkok , diadopsi pada Sidang Kedua Kongres Rakyat

Nasional Kelima pada tanggal 1 Juli 1979, diundangkan dengan

Keputusan Nomor 5 Tahun Ketua Panitia Tetap Kongres Rakyat

Nasional pada tanggal 6 Juli 1979, dan efektif sejak n.d.) Hanya dua

Pasal dalam Peraturan Perundang-Undang itu yang langsung mengatur


208

tentang subjek pelacuran. Pasal 140 mengatur bahwa barang siapa

memaksa perempuan pelacuran harus dihukum tidak kurang dari tiga

tahun dan tidak lebih dari 10 tahun penjara tetap.

Pasal 169 menyatakan bahwa barang siapa yang memikat

perempuan untuk pelacuran atau melindungi mereka dalam pelacuran

dengan tujuan mengambil keuntungan dari ini harus dihukum tidak lebih

dari lima tahun penjara, penahanan pidana atau kontrol administratif,

dengan ketentuan tambahan untuk pelanggaran yang lebih serius. Oleh

karena itu, KUHP pertama RRC melarang semua upaya pihak ketiga

untuk mengambil untung dari pelacuran orang lain, tetapi tidak membuat

referensi eksplisit untuk kegiatan pihak pertama peserta dalam transaksi

pelacuran antara pekerja seks dan pengguna jasa mereka. KUHP 1979

merupakan tanggapan terhadap pelacuran dengan demikian adalah

abolisionis tetapi bukan pelarangan.

Penegak Hukum RRC menangani kebangkitan pelacuran yang

terlihat di tengah 1980-an terutama di bawah sistem sanksi administratif

daripada Kode kriminal. Selama periode Maois (1949–76), sistem hukum

formal jatuh menjadi jelek, sebagai alat penindasan berbasis kelas, dan

digantikan oleh sistem sanksi administratif dan disiplin Partai. Sistem ini

digunakan untuk mengawasi kegiatan mereka yang dianggap telah

melakukan pelanggaran sosial atau politik “kesalahan”, tetapi

pertanggungjawaban pidananya dianggap tidak cukup untuk membawa

mereka sebelum pengadilan. Dengan demikian, kontrol hukum terhadap


209

“wanita yang menjual seks” ( maiyin funü ) dan “pria yang membeli jasa

pelacur gelap” ( piaosu anchang ) didasarkan pada keputusan provinsi

dan kepolisian setempat inisiatif, sampai pengenalan pada Januari 1987

dari "Peraturan Republik Rakyat Tiongkok tentang Hukuman

Administratif untuk Keamanan Publik” ( Zhonghua Renmin Gongheguo

zhi'an guanli chufa tiaoli, akhirat 1986 Peraturan).(Starr 2001)

Pasal 30 menyatakan bahwa dilarang untuk menjual seks dan

melakukan hubungan gelap dengan pelacur, untuk memperkenalkan

orang lain ke dalam pelacuran, dan menyediakan akomodasi untuk tujuan

seks pelacuran. Tersangka pelanggar dapat ditahan selama 15 hari

sementara petugas investigasi menentukan rincian kasus tersebut, dan

kemudian dapat diberi peringatan dan diperintahkan untuk membuat

pernyataan taubat atau, sesuai dengan dengan peraturan administratif

lainnya, mereka dapat ditahan untuk rehabilitasi pendidikan dan/atau

reformasi melalui tenaga kerja untuk jangka waktu antara enam bulan

sampai dua bulan tahun, dan didenda hingga 5.000 yuan. Ini berarti

bahwa sebagian besar pelacuran-kasus terkait proses penyelidikan,

penentuan kesalahan, dan menghukum aktivitas penjual dan pembeli seks

yang ditangani oleh Polisi Tiongkok, dengan hanya kasus-kasus serius,

seperti yang berkaitan dengan terorganisir dan pelacuran paksa, yang

dikelola melalui pengadilan dan sistem peradilan pidana.

Meskipun undang-undang baru diperkenalkan pada 1990-an,

hingga 1 Maret 2006 otoritas kepolisian mempertahankan kekuatan untuk

mendenda dan menahan peserta pihak pertama dalam transaksi pada


210

pelacuran berdasarkan Peraturan Umum 1986. Pelacuran menjadi objek

klasifikasi hukum yang berbeda pada bulan September 1991 dengan

pengumuman “Keputusan Larangan Tegas Jual Beli Seks” (quanguo

renmin daibiao dagong changwu weiyuanhui guanyu yanjin maiyin

piaochang de jueding, selanjutnya Keputusan 1991), yang dikeluarkan

bersamaan dengan "Keputusan tentang"

Menghukum Para Penjahat yang Menculik dan

Memperdagangkan atau Menculik Wanita dan Anak-anak” ( guanyu

yancheng guaimai, bangjia funü, ertong de fanzui fenzi de jueding )

Keputusan 1991 bertujuan untuk memberikan dasar hukum untuk

tindakan keras yang dipimpin polisi terhadap penyebaran pelacuran yang

cepat di seluruh industri perhotelan dan layanan China yang sedang

berkembang, terutama oleh melengkapi referensi terbatas tentang

pelacuran dalam KUHP. 1991 Putusan tersebut memperluas ketentuan

yang terdapat dalam KUHP 1979 dengan memperkenalkan sistem sanksi

terhadap setiap orang yang mengambil keuntungan dari pekerjaan

mereka berbasis lokasi di industri perhotelan dan jasa untuk mengatur,

memaksa, memfasilitasi, atau membujuk orang lain untuk terlibat dalam

pelacuran. Namun, itu tetap pelacuran transaksi di bawah lingkup sistem

administrasi dan disiplin Partai sanksi dengan menetapkan bahwa penjual

dan pembeli seks harus ditangani sesuai dengan Pasal 30 Peraturan 1986.

Ketentuan yang tertuang dalam Putusan 1991 itu akhirnya

dikodifikasikan dalam Revisi Hukum Pidana RRT tahun 1997 dan

“Peraturan Tentang Hukum” 1999 Pengelolaan Tempat Hiburan Umum”


211

( yule changsuo guanli tiaoli) , akhirat Peraturan Entertainment). Seperti

halnya tahun 1991 Putusan, Pasal 361 KUHP yang direvisi bertujuan

untuk membatasi kondisi yang berkontribusi pada pembentukan industri

pelacuran dengan memperkenalkan sistem kontrol atas perusahaan

rekreasi dan orang-orang yang memiliki, mengelola, atau bekerja dalam

diri mereka.

Pasal 362 memperluas keprihatinan ini dengan menyatakan

bahwa keramahan dan pelayanan personel industri yang membocorkan

informasi tentang penyelidikan polisi yang prospektifadanya kegiatan

pelacuran di unit kerjanya akan dipidana karena menghalangi jalannya

keadilan. Sekali lagi, KUHP yang direvisi tidak mengkriminalisasi

perilaku peserta pihak pertama dalam pelacuran sukarela transaksi,

dengan pengecualian klausul yang berkaitan dengan seks dengan anak di

bawah umur dan penyebaran infeksi menular seksual yang direncanakan.

Dalam kaitannya dengan external law, Indonesia dan China

merupakan negara yang sama-sama mengatur ketentuan terkait kegiatan

pelacuran di dalam sebuah KUHP. Indonesia menjadi negara yang tidak

melegalkan perbuatan pelacuran, karena hal ini dianggap melanggar

budaya, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat

apabila kemudian dilegalkan. Hal ini berbeda dengan china, china juga

tidak melegalkan kegiatan pelacuran namun apabila perbuatan pelacuran

itu dilakukan secara sukarela atau tanpa adanya mucikari dan/atau germo

serta yang “memanfaatkan” perbuatan pelacuran untuk kesejahteraannya

maupun kelompoknya sebagaimana pada KUHP china pasal 361 dan


212

Pasal 362 maka tidaklah akan dikenakan sanksi pidana. Dengan kata lain,

Indonesia dan China memiliki kesamaan dalam menghukum mucikari

saja bukan mengkriminalisasikan pekerja seks komersil ataupun

pengguna jasa dari pekerja seks itu.

Kaitannya dengan internal law, PKT sebagai kelembagaan

pemerintah di RRC memberikan perhatian yang lebih untuk memerangi

pelacuran dan perdagangan manusia dengan tujuan seksual. Hal ini

merupakan bagian penting bagi China untuk mencapai kesetaraan antara

perempuan dan laki-laki, di tingkat nasional maupun internasional.

Kesetaraan gender akan tetap tidak tercapai selama kaum laki-laki masih

dapat membeli, menjual, dan mengeksploitasi para perempuan dan anak-

anak. pelacuran dianggap sebagai kekerasan terhadap perempuan dan

anak-anak, yang secara intrinsik tidak hanya berbahaya bagi individu

perempuan atau anak-anak yang dilacurkan, tetapi juga bagi masyarakat

luas. Hal ini merupakan penghalang yang signifikan terhadap tujuan

China. yaitu kesetaraan gender secara penuh.

3.2.3 Negara Belanda

Belanda telah menjadi monarki konstitusional sejak tahun 1815,

dan demokrasi parlementer sejak tahun 1848. Belanda digambarkan

sebagai negara konsosiasional. Politik, dan pemerintahan Belanda

disifatkan oleh suatu usaha untuk mencapai kemufakatan yang luas

mengenai urusan-urusan yang penting, dalam komunitas politik maupun

masyarakat secara keseluruhan. Pada tahun 2010, The Economist

menempatkan Belanda sebagai negara paling demokratis ke-10 di dunia.


213

Di Belanda, pelacuran legal terjadi di klub seks dan distrik lampu

merah. Sementara banyak pemerintah daerah melarang pelacuran tingkat

jalan, yang lain telah menetapkan zona untuk pelacuran tersebut, dengan

tempat parkir untuk pekerja seks dan klien untuk bertemu, dan ruang

tunggu untuk pekerja seks untuk bersosialisasi, mendapatkan informasi

kesehatan dan keselamatan, dan jarum dan kondom baru. Pasal 273 f

(sebelumnya 250a) KUHP Belanda dirancang untuk membedakan antara

pelacuran sukarela dan tidak sukarela. Mereka yang memilih pekerjaan

seks sebagai pekerjaan harus diberikan hak yang sama dengan pekerja

lain, sementara orang-orang yang memaksa atau mengeksploitasi pelacur

harus dihukum berat (hukuman penjara hingga 18 tahun dalam keadaan

buruk).(Hubbard, Matthews, and Scoular 2008)

Departemen Kehakiman Belanda, diharapkan bahwa undang-

undang yang baru akan dapat untuk melindungi pelacur dari eksploitasi

komersial; memerangi pelacuran dan perdagangan gelap secara paksa;

memerangi pelecehan seksual remaja; memajukan posisi individu yang

bekerja sebagai pelacur; menghilangkan keterlibatan kriminal dalam

industri pelacuran ; dan batasi jumlah penduduk non-Uni Eropa yang

bekerja sebagai pelacur di Belanda. Sementara KUHPnya tetap

menghukum mereka yang memaksa atau membujuk seseorang masuk ke

dunia pelacuran, pemerintah kota terutama bertanggung jawab untuk

mengatur pekerjaan seks di dalam batas-batas mereka.

Hukuman berkisar dari peringatan, hingga denda, untuk

pencabutan sementara atau permanen lisensi. Dalam kasus yang


214

melibatkan pelacuran tidak disengaja, pemilik dan /atau operator dapat

dikenai biaya berdasarkan KUHP. Tanggung jawab administratif terletak

pada otoritas lokal. Nederlandse Gemeentelijke Overheid (otoritas

pemerintah belanda) adalah perancang kebijakan pelacuran yang paling

pentingyang ditujukan untuk kontrol dan regulasi dari sektor pelacuran.

Masih banyak kotamadya yang membatasi tujuan peningkatanposisi

pekerja seks untuk mempromosikan kesehatan masyarakat.

Otoritas Pemerintah Kotamadya (Nederlandse Gemeentelijke

Overheid), telah menyusun manual yang kota-kota ini menggunakan izin

model. Ini menyatakan: 'Dalam hal ini, promosi minat ini akan terutama -

tetapi tidak secara eksklusif - terfokus' berada di (posisi pelacur), dan

khususnya menghasilkan kebijakan yang ditujukan untuk mencegah PMS

(penyakit menular seksual), termasuk AIDS.' Dalam hal ini adalah

terutama tugas kotamadya untuk mengatur kondisi kerja, seperti adanya

kondom. Sebagai akibat dari izin model ini, kotamadya karena itu tidak

berkewajiban untuk memberikan untuk menyusun kebijakan pelacuran,

karena mereka hanya dapat menggunakan lisensi model ini untuk

mengambil alih. Pasal 149 dan 151a dari Municipality Act memberikan

hukum kepada pemerintah kotamadya Belanda kerangka kerja untuk

mengatur bentuk-bentuk hukum eksploitasi pelacuran.

Selain pemerintah kotamadya juga menggunakan rencana zonasi

untuk mencegah pendirian perusahaan seks mengatur. Sebagian besar

kotamadya menetapkan jumlah maksimum lokal tempat usaha seks yang

diperbolehkan di kelurahan. Sistem perizinan hanya terkait dengan tetap


215

lokal tempat-tempat seks dan oleh karena itu tidak ada untuk pelacuran

rumahan atau pendamping. Pada tahun 2002 tercatat bahwa perusahaan

baru hampir tidak memiliki kesempatan untuk ditetapkan oleh kebijakan

status quo. Dengan cara ini, industri pelacuran tidak bisa memperbarui.

Pada tahun 2006, studi evaluasi menyimpulkan bahwa ada ruang terbatas

tersedia untuk tempat-tempat seks baru di Belanda.

Sebagian besar dari pemerintah kota memiliki izin selama satu

tahun, setelah itu dapat diperpanjang lagi. Pelacur di sektor berlisensi

menganggap anonimitas sebagai aspek terpenting dari pekerjaan mereka.

Di tempat kedua dan ketiga tidak ada dokumen administrasi dan

membayar pajak. Aspek administrasi tentu saja terkait dengan bekerja

secara mandiri. Namun demikian, sebagian besar mereka tidak

menyimpan catatan meskipun mereka bekerja secara mandiri. Pelacur

menyebutkan bahwa kerugian bekerja sebagai wiraswasta terutama harus

berurusan dengan kesulitan mendapatkan hipotek karena kurangnya

pendapatan tetap, kurangnya hak-hak social ketentuan, masalah yang

berkaitan dengan pensiun mereka, dll. Namun, ini tidak menguntungkan

konsekuensi biasanya dikaitkan oleh pelacur untuk profesi mereka dan

bukan untuk mereka situasi hukum ketenagakerjaan. Sejak pencabutan

larangan rumah bordil, oleh karena itu operator memiliki kewajiban

untuk mematuhi peraturan yang berkaitan dengan kondisi dan

keselamatan kerja dari para pekerja seks. Kota sekarang juga dapat

menetapkan persyaratan tambahan untuk perizinan.


216

Mobilitas adalah fitur penting dalam sektor pelacuran, yang

berkontribusi pada kompleksitasnya dari sektor ini. Ini juga memiliki

pengaruh pada metode kerja di dalam sektor danperaturan terkait.

Karakteristik ini juga sering digunakan sebagai indikator untuk

perdagangan manusia, karena beberapa pelacur dipaksa oleh germo

mereka untuk mengubah tempat kerja. Namun tidak ada ambiguitas di

sini dan sulit untuk menentukan apakah pemindahan tersebut bersifat

sukarela atau tidak. Kegiatan praktek pelacuran melaporkan bahwa

kurangnya fasilitas dalam sektor ini menyebabkan ditinggalkannya

pelacuran adalah rumit. Hal ini tentu saja karena operator tidak mau

mengakui adanya hubungan majikan pekerja antara mereka dan pekerja

seks melalui mana mereka tidak menerima kewajiban majikan. Karena

para pekerja seks tidak dipekerjakan, oleh karena itu mereka tidak berhak

atas pembayaran upah yang berkelanjutan dalam hal sakit, tunjangan

pengangguran atau cacat dan manfaat bantuan sosial.

Pada tahun 2009 sebuah undang-undang diperkenalkan di

Belanda untuk mengatur dan memerangi pelacuran pelanggaran dalam

industri seks, kewajiban lisensi untuk perusahaan seks, kewajiban

pendaftaran untuk pelacur dan penggunaan pelacuran ilegal dapat

dihukum. Berbagai badan yang telah bertanggung jawab atas posisi

pelacur memiliki beberapa keberatan tentang RUU KUHP Belanda ini:

Pendaftaran tidak berarti bahwa tidak ada eksploitasi dan korban

perdagangan manusia, kekerasan atau menjadi lebih kompulsif.


217

Berkenaan dengan perdagangan manusia, pendaftaran akan menjamin

perlindungan dan tindak lanjut dari tidak menyelesaikan korban.

Badan yang harus menegakkan dan memantau kewajiban

pendaftaran menginginkan sistem birokrasi yang kewajiban pendaftaran

menciptakan hambatan bagi pelacur legal, karena mereka tidak ingin

kehilangan anonimitas dan takut stigmatisasi. Oleh karena itu, ini dapat

menghasilkan yang lebih besar sirkuit pelacuran hitam. Pelanggan masih

tetap menjadi sumber penting penyalahgunaan sinyal di sektor pelacuran.

Penegakan peraturan daerah berada di tangan otoritas administratif lokal

di satu pihak tangan dan polisi dan layanan penuntutan publik di sisilain.

Investigasi kejahatan seperti perdagangan manusia tetap

menjaditanggung jawab otoritas investigasi rities, terlepas dari apakah

operator memegang lisensi. Otoritas administratif secara teratur

memeriksa bisnis pelacuran untuk memastikan bahwa pemilik bisnis

mematuhi semua aturandan peraturan yang berlaku, serta dengan

ketentuan umum dan khususyang ditetapkan dalam izin individu.

Pelanggaran administratif dapat menyebabkan hukuman finansial,

penutupan tempat atau bisnis untuk jangka waktu tertentu, dan

pencabutan izin. Jika pemeriksaan mengungkapkan tindak pidana,

misalnya adanya pelacur yang menjadi korban perdagangan manusia,

pemerintah kota dapat menambahkan mentransfer informasi ini ke

layanan penuntutan umum, yang kemudian dapat memulai kejahatan

penyelidikan. Hal sebaliknya juga berlaku informasi tentang kegiatan


218

kriminal yang dikumpulkan selama penyelidikan polisi dapat

memungkinkan otoritas administratif untuk mencabut izin.

Selain itu Bagian baru 250a KUHP Belanda menghukum segala

bentuk eksploitasi di sektor pelacuran. Pada bulan Oktober 2002 selama

tinjauan parsial undang-undang dekadensi, sejumlah relevansi bagian

dari undang-undang diubah, terutama dengan maksud untuk lebih

perlindungan yang efektif terhadap anak di bawah umur. Bagian 250a

diperketat, diperpanjang dan dinomori ulang dan ini menghasilkan

Bagian 273f. Dalam hal peraturan perundang-undangan tentang

pelacuran, selama periode penelitian ini adalah melakukan situasi yang

sebagian besar diterapkan sebagai akibat dari pencabutan larangan rumah

bordil per 1 Oktober 2000. Artinya operasi pelacuran bisnis adalah legal,

kecuali dilarang oleh peraturan kota melalui Anggaran rumah tangga

(Algemeen Plaatselijke Verordening).

Pada saat yang sama, yang baru Pasal 250a legislatif (yang

disebut pasal perdagangan manusia) mulai berlaku pada KUHP, yang

membuat segala bentuk eksploitasi dalam pelacuran dapat dihukum.

Selain itu, revisi sebagian dari undang-undang kesusilaan mulai berlaku

untuk meningkatkan perlindungan anak di bawah umur. Sejak tahun

2000, beberapa amandemen telah dibuat untuk artikel perdagangan

manusia Misalnya, kata-kata asli "dengan pihak ketiga" adalah diganti

dengan “dengan atau untuk pihak ketiga” untuk juga melakukan

eksploitasi seksual (komersial) dihukum yang tidak melibatkan

keterlibatan langsung dalam tindakan seksual yang dilakukan.


219

Pada tahun 2005 pasal perdagangan manusia diperluas dengan

bentuk perdagangan manusia, sehingga eksploitasi di sektor tenaga kerja

dan jasa lainnya, dan kegiatan tertentu yang ditujukan untuk pengambilan

organ tubuh manusia. Lebih jauh amandemen pasal perdagangan manusia

telah dibuat baru-baru ini, yang dapat sekarang ditemukan sebagai Pasal

273f KUHP Belanda. Melalui Pasal 151a Undang-Undang Pemerintahan

Daerah Belanda (Nederlandse Gemeentelijke Verordeningen), Otoritas

pemerintah daerah atau kotamadya Belanda adalah mampu mengadopsi

peraturan yang mengatur kriteria untuk pengaturan komersial kesempatan

untuk melakukan tindakan seksual dengan atau untuk orang ketiga

terhadap pembayaran, dan dengan demikian dapat mengejar kebijakan

perizinan lokal sehubungan dengan jenis kelamin bisnis.

Sehubungan dengan pelacuran anak di bawah umur, sejumlah

pasal hukum cukup signifikan di samping Pasal 273f KUHP Belanda.

Pasal 248b KUHP Belanda memberikan perlindungan kepada anak-anak

yang berusia 16 dan 17 tahun. Pasal ini menetapkan bahwa barang siapa

melakukan tindakan seksual dengan seseorang yang membuat dirinya

siap untuk melakukan tindakan seksual dengan pihak ketiga terhadap

pembayaran dan yang telah mencapai usia 16 tetapi belum berusia 18

tahun, dapat dihukum. Pelakunya diancam dengan pidana penjara

hukuman paling lama empat tahun, atau denda keuangan kategori

keempat. Pasal lain yang memberikan perlindungan bagi pelacur anak

adalah Pasal 244, 245 dan 247 Sr (seks dengan remaja di bawah 16

tahun).
220

3.2.4 Negara Malaysia

Negara Malaysia merupakan negara yang menganut sistem hukum

Anglo Saxon yang lebih merujuk pada hukum kebiasaan dan

yurisprudensi menjadi sendi utama dalam sistem hukumnya. Berbeda

dengan Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law yang lebih

merujuk kepada peraturan perundang_undangan sebagai sendi utama

dalam sistem hukumnya. Akan tetapi dalam perumusan peraturan, baik

Malaysia maupun Indonesia tetap tidak mengesampingkan hukum yang

berlaku di masyarakat seperti hukum adat dan hukum islam. Meskipun

demikian pemisahan antar kedua system hukum tersebut tidak begitu

ekstrim karena efek dari adanya globalisasi yang begitu pesat

menyebabkan hukum terus bergerak.

Dalam segi sosial masyarakat Malaysia yang mayoritas merupakan

pemeluk agama islam. Bahkan dalam pengaturan mengenai tindak pidana

pelacuran, negara Malaysia menggunakan hukum islam yang dimuat

dalam Syariah Criminal Offences (Federal Territories) Act 1997 yang

merupakan suatu undang-undang yang mengatur segala bentuk

pelanggaran pidana syariah di negara Malaysia. Namun peraturan

tersebut hanya terbatas pada wilayah teritorial Kuala Lumpur dan

Labuan. Dan peraturan tersebut hanya berlaku bagi pemeluk agama islam

saja.

Berdasarkan Syariah Criminal Offences (Federal Territories) Act

1997, tindak pidana pelacuran dikategorikan sebagai suatu pelanggaran

pidana syariah yang termuat dalam Pasal 21, 22, dan 23 ayat (1). Dalam
221

pasal tersebut mengatur setiap pihak yang terlibat dalam tindak pidana

prostitusi, baik para pelaku atau subyek prostitusi seperti PSK dan

pengguna jasa maupun mucikarinya itu sendiri.

Peraturan perundang-undangan terkait pelacuran diatur dalam Pasal

21 Syariah Criminal Offences (Federal Territories) Act 1997 yang

menyebutkan bahwa :(Yearbook of Islamic and Middle Eastern Law n.d.)

(1) Setiap wanita yang melacurkan dirinya sendiri akan dinyatakan


bersalah karena melakukan pelanggaran dan akan dihukum denda
yang tidak melebihi lima ribu ringgit atau dipenjara selama jangka
waktu tidak lebih dari tiga tahun atau hukuman cambuk yang tidak
melebihi enam pukulan atau kombinasi apa pun daripadanya.
(2) Siapa saja yang ----
a. melacurkan istri atau anak perempuan di bawah
asuhannya;
b. menyebabkan atau mengizinkan istri atau anak perempuan
di bawah pelacur careto sendiri,
Akan dinyatakan bersalah karena melakukan pelanggaran dan akan

dihukum dapat dikenakan denda tidak melebihi lima ribu ringgit atau

hukuman penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari tiga tahun atau

hukuman cambuk tidak melebihi enam pukulan atau kombinasi apa pun

daripadanya.

Pasal 22 Syariah Criminal Offences (Federal Territories) Act 1997

mengatur mengenai mucikari yang terlibat dalam praktik pelacuran. Pasal

ini menyebutkan bahwa;Editors Yearbook of Islamic and Middle Eastern

Law, “Pasal 22, Malaysia: Syariah Criminal Offences (Federal


222

Territories) Act (Laws of Malaysia Act 559, 1997),” Yearbook of Islamic

and Middle Eastern Law Online, n.d.

"Setiap orang yang bertindak sebagai muncikari akan dinyatakan


bersalah karena melakukan pelanggaran dan akan dihukum denda yang
tidak melebihi lima ribu ringgit atau dipenjara dengan jangka waktu tidak
melebihi tiga tahun atau hukuman cambuk yang tidak melebihi enam
pukulan atau kombinasi apa pun daripadanya."

Selanjutnya dalam pasal 23 ayat (1) lebih mengatur terhadap pihak

yang terlibat dalam hubungan seks diluar pernikahan yang sah. Hal ini

sejalan dengan unsur-unsur pelacuran yang lebih cenderung melakukan

hubungan seks diluar pernikahan yang sah. Pasal 23 ayat (1)

menyebutkan bahwa:(Law n.d.)

a) Setiap pria yang melakukan hubungan seksual dengan seorang


wanita yang bukan istrinya yang sah akan bersalah atas
pelanggaran dan dakwaan wajib akan dikenakan denda tidak
melebihi lima ribu ringgit atau hukuman penjara untuk jangka
waktu tidak lebih dari tiga tahun atau dicambuk tidak melebihi
enam pukulan atau kombinasi apa pun darinya.
b) Setiap wanita yang melakukan hubungan seksual dengan
seorang pria yang bukan suaminya yang sah akan bersalah atas
pelanggaran dan harus dihukum karena denda tidak melebihi
lima ribu ringgit atau dipenjara untuk jangka waktu tidak
melebihi tiga tahun atau cambuk tidak melebihi enam tahun
stroke atau kombinasi apa pun darinya.

Selanjutnya dalam kanun jinayah syariah di wilayah negeri

Kelantan. Dalam peraturan ini tidak terdapat pasal yang mengatur tindak

pidana pelacuran secara khusus, hanya mengatur mengenai perzinaan.


223

Namun pada dasarmya tindak pidana pelacuran tergolong dalam

perbuatan zina. Pada kanun jinayah syariah, perbuatan zina terdapat

dalam pasal 12 yang melarang ; (Kelantan 2015)

“setiap orang baik laki-laki maupun perempuan melakukan


hubungan seksual diluar ikatan perkawinan yang sah.”

Berdasarkan aturan yang telah dibuat oleh negara Malaysia, dapat

dilihat bahwa negara Malaysia lebih serius dalam menangani tindak

pidana pelacuran. Pemidanaan terhadap setiap orang yang terlibat dalam

pelacuran baik pekerja seks komersil, pengguna dan/atau penikmat jasa

maupun mucikari dan/atau germo telah mencerminkan bahwa negara

Malaysia telah melakukan upaya represif terhadap tindak pidana

pelacuran. Inilah pembeda dengan KUHP Indonesia dimana regulasi

terhadap perbuatan pelacuran hanya memidanakan mucikari dan/atau

germo saja padahal kompenen utama lainya ada pekerja seks komersil

serta pengguna jasanya.

3.2.5 Negara Singapura

Singapura adalah sebuah negara maju yang terletak di Asia

Tenggara. Negara pulau yang hanya memiliki luas wilayah 697 km² ini

memegang peranan penting dalam perdagangan dan keuangan

internasional. Negara yang sebelumnya merupakan koloni Inggris ini

pernah bergabung ke Federasi Malaysia pada tahun 1963 setelah

memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Namun dua tahun kemudian yaitu

tahun 1965, Singapura berpisah dengan Federasi Malaysia dan resmi


224

menjadi negara yang berdaulat. Tanggal 9 Agustus 1965 yaitu tanggal

berpisahnya Singapura dengan Federasi Malaysia ini diperingati sebagai

Hari Kemerdekaan Singapura.

Sistem Pemerintahan yang dianut oleh Singapura adalah sistem

pemerintahan Republik Parlementer yang kepala negaranya adalah

seorang Presiden, Singapura telah mewarisi tradisi common law Inggris

dan karenanya telah menikmati manfaat-manfaat kestabilan, kepastian

dan internasionalisasi yang inheren dalam sistem Inggris (khususnya

dalam bidang komersial/perdagangan). Singapura memiliki akar common

law Inggris yang sama dengan yang dimiliki negara-negara tetangganya

(seperti India, Malaysia, Brunei dan Myanmar), walaupun detil

penerapan dan pelaksanaan dari masing-masing negara berbeda sesuai

dengan kebutuhan dan kebijakan setiap negara.

Praktek pelacuran di Singapura bukanlah perbuatan ilegal, tetapi

beragam aktivitas yang berkaitan dengan prostitusi merupakan kegiatan

kriminial. Hal ini termasuk menjajakan diri di tempat umum, hidup dari

pendapatan sebagai pekerja seks dan menjalankan rumah bordil. Namun,

dalam praktiknya, pihak kepolisian secara tidak resmi mengawasi

sejumlah rumah bordil. Pekerja seks yang bekerja di tempat-tempat

seperti itu diharuskan menjalani pemeriksakaan kesehatan berkala dan

membawa kartu kesehatan.(Moe 2018) Pertumbuhan ekonomi yang cepat

dari Singapura di abad ke-19 dikombinasikan dengan ketidakseimbangan

gender di Singapura (populasi pria lebih banyak dari wanita)


225

menyebabkan pelacuran dan rumah bordil menjadi bisnis yang

menjanjikan dan berkembang.

Pekerja seks komersil biasanya berasal dari Tiongkok dan Jepang,

datang ke Singapura sebagai Karayuki-san. Diperkirakan 80% dari

wanita dan perempuan yang datang dari Tiongkok dan Singapura pada

akhir 1870-an dijual ke bisnis pelacuran. Berkembangnnya kantong-

kantong penduduk Jepang di Jalan Tengah, Singapura berhubungan

dengan berdirinya rumah bordil di timur Sungai Singapura, yaitu Hylam,

Malabar, Malay and Bugis Streets pada akhir 1890-an. Pada 1905

terdapat 109 rumah bordil Jepang di Singapura.

Praktek pelacuran dilihat oleh otoritas kolonial sebagai kejahatan

yang diperlukan tetapi beberapa langkah diambil untuk membatasi

pelacuran di kota. Pendaftaran pekerja seks dan rumah bordil dijadikan

kewajiban sebagai upaya untuk mencegah pemaksaan pelacuran, dan

Office to Protect Virtue didirikan untuk menolong orang-orang yang

tidak mau terlibat di dunia pelacuran. Tidak lama setelah pecahnya

Perang Dunia I, otoritas kolonial melarang pelacuran oleh wanita kulit

putih sebagai akibatnya rumah bordil wanita kulit putih di Singapura

(berjumlah lebih dari 21 rumah bordil) tutup pada 1916.

Negara Singapura, menyatakan bahwa terhadap bentuk kegiatan

seks komersial bukanlah suatu tindak pidana tetapi apabila seseorang

menjadi mucikari dan/atau germo dapat dikenakan sanksi pidana

sebagaimana yang dimaksud pada pasal 372 Penal Code Singapore (Act

24) bahwa;
226

“Whoever sells, lets to hire, or otherwise disposes of any person under


the age of 21 years with intent that such person shall at any age be
employed or used for the purpose of prostitution or illicit intercourse
with any person or for any unlawful and immoral purpose, or knowing
it to be likely that such person will at any age be employed or used for
any such purpose, shall be punished with imprisonment for a term
which may extend to 10 years, and shall also be liable to fine.”
(terjemahan bebas; Siapa pun yang menjual, mengizinkan untuk
mempekerjakan, atau membuang siapa pun di bawah usia 21 tahun
dengan maksud bahwa orang tersebut pada usia berapa pun akan
dipekerjakan atau digunakan untuk tujuan prostitusi atau hubungan
seksual terlarang dengan siapa pun atau untuk tujuan yang melanggar
hukum dan tidak bermoral, atau mengetahui kemungkinan orang
tersebut pada usia berapa pun akan dipekerjakan atau digunakan untuk
tujuan tersebut, akan dihukum dengan pidana penjara untuk jangka
waktu yang dapat diperpanjang hingga 10 tahun, dan juga akan
dikenakan denda.)

Penjelasan pada pasal 372, ini menerangkan bahwasanya Setiap

orang yang memperoleh layanan seks dari seseorang dibawah umur 18

tahun (dengan kata lain, melakukan transaksi seks dengan orang tersebut)

melanggar hukum dan dapat dihukum dengan hukuman penjara sampai

dengan tujuh tahun atau denda atau keduanya, juga merupakan sebuah

pelanggaran jika seseorang berkomunikasi dengan orang lain dengan

tujuan untuk mendapatkan jasa layanan seks dari orang berusia dibawah

18 tahun termasuk penerapan hukum apabila ini terjadi di luar negara

singapura (bentuk perdagangan atau penyelundupan manusia dan

permasalahan eksploitasi terhadap anak sebagai pekerja seks komersil

yang akan di kirimkan ke singapura). Penekanan peraturan terhadap

perlindungan pada anak yang terbiasa sebagai korban kejahatan seksual,


227

terdapat pada pasal Pasal 376 A jo 376 B jo 376 C jo 377 D KUHP

Singapura

Pengaturan pada KUHP Singapura ini, jika negara singapura

memang melegalkan praktek pelacuran tetapi dalam bentuk pengawasan

yang ketat dan tegas sehingga kegiatan praktek pelacuran yang terjadi di

Singapura tidak menyebabkan model kejahatan lain yang terkait seperti

perdagangan manusia ( human trafficking ) serta eksploitasi anak.

Ketegasan ini juga ditandai dengan adanya “Piagam Wanita” yang dibuat

pada tahun 1997 dan telah direvisi pada tahun 2019.

Menelisik pada external law, Indonesia dan singapura merupakan

negara yang sama-sama mengatur ketentuan terkait kegiatan pelacuran di

dalam sebuah KUHP. Indonesia menjadi negara yang tidak melegalkan

perbuatan pelacuran, karena hal ini dianggap melanggar budaya, dan

tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat apabila

kemudian dilegalkan. Hal ini berbeda dengan Singapura. Singapura

terlihat “melegalkan” kegiatan pelacuran, namun pada prakteknya

penegak hukumnya melakukan “tidak resmi” melakukan pengawasan

terhadap kegiatan pelacuran itu.

KUHP yang berlaku di Indonesia, regulasi atau ketentuan hukum

yang berlaku hanya bisa menjerat penjual jasa PSK atau bisa disebut

sebagai mucikari. Aturan atau ketentuan hukum diluar KUHP juga tidak

dapat para pelaku yang terlibat kegiatan pelacuran. KUHP Singapura

juga melarang perbuatan pelacuran terhadap mucikarinya tetapi

perbedaanya kegiatan praktek pelacuran itu dapat dilakukan apabila


228

pekerja seks komersil itu melakukan perbuatanya sendiri (pelacuran

sukarela) tanpa adanya mucikari sehingga inilah pembeda dengan

regulasi yang terkait pelacuran di Indonesia sedangkan persamaannya

dengan regulasi Indonesia, tindak pidana hanya dikenakan pada mucikari

atau orang yang dengan sengaja memanfaatkan oranglain untuk

keuntungannya (diperjualbelikan) terlibat pada kegiatan pelacuran.

Perbandingan ketentuan hukum berbagai Negara di Dunia ( Negara

Swedia, Republik Rakyat China, Belanda, Malaysia dan Singapura)

dengan Indonesia mengenai perbuatan pelacuran, dapat disampaikan

sebagai berikut;

Tabel 1

No Negara Dasar Hukum Persamaan Perbedaan

1 Swedia Code Penal tidak melegalkan sanksi pidana tidak


Swedish (KUHP perbuatan hanya kepada
Swedia) dan Sex pelacuran mucikari namun
juga pada pekerja
Purchase Act
seks komersial
(Undang-Undang (PSK) dan
Pelacuran) pengguna jasa PSK
tetapi sanksi kepada
PSK bersifat sanksi
sosial (pelayanan
publik)
2 Republik KUHP RRC Melarang perbuatan Sanksi pidana
Rakyat tahun 1979 pelacuran dalam diberikan kepada
China (RRC) bentuk eksploitasi seluruh subjek
manusia hukum dalam
perbuatan pelacuran
(mucikari, PSK, dan
pengguna jasa PSK)
tetapi jika PSK itu
melakukan praktek
pelacuran tanpa
mucikari maka tidak
ada sanksi pidana
229

termasuk pengguna
jasa tidak di
kenakan sanksi
hukum kecuali PSK
dibawah umur
3 Belanda KUHP Belanda Melarang perbuatan Sanksi pidana hanya
Tahun 2010 pelacuran dalam berlaku apabila itu
bentuk eksploitasi dilakukan oleh PSK
yang tidak
manusia
mendaftarkan diri
ke pemerintah atau
jika praktek
pelacuran itu terjadi
di lokalisasi khusus
yang dikontrol oleh
pemerintah
4 Malaysia KUHP Malaysia Tidak melegalkan Penjatuhan sanksi
dan Undang- perbuatan pidana keseluruhan
Undang Syariah pelacuran komponen subyek
hukum pelacuran
(Takzier) 2001
tanpa pengecualian
5 Singapura KUHP Singapura Melarang perbuatan Sanksi pidana hanya
pelacuran dalam berlaku apabila itu
bentuk eksploitasi dilakukan oleh PSK
manusia yang tidak
mendaftarkan diri
ke pemerintah atau
jika praktek
pelacuran itu terjadi
di lokalisasi khusus
yang dikontrol oleh
pemerintah

Bertolak dari tabel perbandingan ketentuan hukum berbagai

Negara di Dunia ( Negara Swedia, Republik Rakyat China, Belanda,

Malaysia dan Singapura) dengan Indonesia mengenai perbuatan

pelacuran ini dapat dilihat masih ada negara yang melarang atau tidak

melegalkan perbuatan pelacuran sebagai suatu kejahatan namun juga

tidak mengkriminalisasi dengan alasan faktor melihat dari alasan


230

kemanusiaan, kesehatan dan keamanan dari para komponen subyek

hukum pada perbuatan pelacuran.

Bertitik tolak dari beberapa negara tersebut, seharusnya Indonesia

yang menganut konsep hukum negara Indonesia bukanlah sistem negara

hukum common law (anglo saxon) maupun civil law (eropa continental)

tetapi negara hukum Prismatik, dimana negara yang berlandaskan pada

cita falsafah pancasila (Pancasila is the philosophy of the idea of

statehood) hukum Indonesia. Maka keberadaan dua sistem ini adalah

sebagai “penyeimbang” dan pengadopsiannya tidak bersifat mutlak,

masih ada proses penyaringan (filter) di dalamnya (mahfud MD, 2018)

dapat mengkriminalisasi perbuatan pelacuran dengan mempertimbangkan

dari aspek filosofis, aspek sosiologis dan aspek psikologi maupun aspek

HAM serta aspek etika sebagai untuk mengisi kekosongan norma pada

ketentuan hukum sekarang yang masih hanya menjatuhkan sanksi pidana

pada mucikari saja seperti halnya negara Malaysia.

3.3. Ketentuan Hukum Dalam Peraturan -Undangan Republik Indonesia

Yang Berhubungan Dengan Perbuatan Pelacuran Di Masa Sekarang

3.3.1 Ketentuan Hukum Dalam KUHP Yang Berhubungan Dengan

Perbuatan Pelacuran

Sebagaimana yang kita ketahui aturan hukum di Indonesia hingga

saat ini masih menggunakan atau mengadopsi aturan hukum turunan dari

belanda, sehingga di dalam KUHP berkaitan dengan Tindak Pidana

Prostitusi ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama hanya

mengatur mengenai germo/mucikari di dalam dua pasal, yaitu pada Pasal


231

296 dan Pasal 506. Yang mana Pasal 296 menyatakan Barang siapa

dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh

orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau

kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat

bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Selain itu pada Pasal 506 menyatakan bahwa Barang siapa menarik

keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya

sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu

tahun. Oleh karena itu aturan hukum yang ada diatas dirasa sudah tidak

sesui dengan budaya Indonesia dimana peraturan hukum yang ada di

dalam KUHP tidak memberikan jeratan hukum terhadap pelaku tindak

pidana pelacuran yang lainnya seperti Pekerja Seks Komersial (PSK) dan

Pengguna Jasa Pelacuran ini.

Baru setelah 77 tahun, disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana yang baru Nomor. 1 Tahun 2023. Ketentuan hukum pada KUHP

yang baru tahun 2023 pada pasal 420 isi pasalnya sama dengan ketentuan

pasal 296 KUHP lama yang mana menerangkan pada penjatuhan sanksi

pidana terhadap mucikari / germo demikian juga pada ketentuan pasal

421 isinya sama menegaskan pasal 420 yang isinya hamper mirip dengan

pasal 506 KUHP lama dimana penjatuhan sanksi pidana pada seseorang

yang dalam hal ini terbiasa mendapatkan keuntungan dari perbuatan

pelacuran yang dilakukan oleh pekerja seks komersil (PSK) namun

perbedaannya apabila pada pasal 506 sanksi kurungan palingan satu


232

tahun sedangkan pada pasal 421 adanya penambahan 1/3 dari sanksi di

ketentuan pasal 420 KUHP baru tahun 2023.

3.3.2 Ketentuan Hukum Luar KUHP (Perundang-Undangan) Yang

Berhubungan Dengan Perbuatan Pelacuran

Pelacuran merupakan permasalahan yang sudah ada sejak

berabad-abad lamanya. Untuk mengatasi permasalahan ini tentunya

diperlukan suatu regulasi yang dapat menjerat kepada seluruh para

pelaku praktek pelacuran. Namun pengaturannya hanya sebatas pada

pengaturan penjatuhan sanksi pidana terhadap seorang yang melakukan

terlibat dengan cara tipu muslihat atau memanfaatkan dalam memperoleh

keuntungan dalam kegiatan pelacuran dimana seorang ini melakukan

perbuatan sebagai mucikari dan/atau germo. Adapun pengaturannya

dapat dilihat pada ;

a. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan

tindak pidana perdagangan orang

Undang-undang ini di dalamnya telah menjelaskan mengenai

tindak pidana perdagangan orang sebagaimana tercantum di dalam

Pasal 1 ayat (8) memberikan pengertian mengenai eksploitasi

seksual yaitu segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau

organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan,

termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan

percabulan.

Selanjutnya di dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) dijelaskan

mengenai sanksi yang diberikan kepada setiap orang yang


233

melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,

penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,

penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan

utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh

persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain,

untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara

Republik Indonesia, maka dapat dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun

dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua

puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus

juta rupiah).

b. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 ayat (1) memberikan pengertian mengenai definisi

anak dimana anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Perlindungan terhadap anak dijelaskan pada Ayat 2 bahwa

Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.


234

Selain dari 2 Ayat diatas pada pasal 76E dijelaskan bahwa

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman

Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan

serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan

atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, yang mana akana

dikenai sanksi dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sesai yang telah tertera di

dalam Pasal 82.

Beberapa pasal yang telah dikemukakan diatas menunjukan

bahwa seorang anak yang masih berusia dibawah umur sesuai yang

tercantum di dalam undang-undang berhak dilindungi oleh negara

dari tindakan kekerasan atau serangkaian tindakan tipu muslihat

atauun kebohongan yang dapat menyebabkan timbulnya perbuatan

cabul pada seorang anak.

Selanjutnya, selain undang-undang diatas tadi ada lagi

beberapa daerah di Indonesia bahkan telah membuat regulasi tentang

prostitusi melalui peraturan Daerah atau Perda. Perda sendiri terdiri

dari beberapa macam diantaranya Perda Provinsi, Perda Kota, dan

Perda Kabupaten. Di Indonesia daerah-daerah yang memiliki Perda

mengenai prostitusi diantaranya :

1. Kabupaten Sukoharjo (Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo

Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Prostitusi dan

Perbuatan Asusila)
235

2. DKI Jakarta (Peraturan Daerah DKI Jakarta No 8 Tahun 2007

tentang Prostitusi)

3. Kabupaten Pasuruan (Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan

No.3 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Pelacuran)

4. Daerah Istimewa Yogyakarta ( Peraturan Daerah Istimewa

Yogyakarta No 18 tahun 1954 tentang Larangan Pelacuran

ditempat-tempat umum)

5. Kabupaten Bantul (Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No.5

Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul)

6. Kota Tangerang (Peraturan Daerah Kota Tangerang No.8

Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran

7. Kabupaten Indramayu (Peraturan Daerah No.7 Tahun 1999

tentang Prostitusi)

8. Kota Bandar Lampung (Peraturan Daerah Kota Bandar

Lampung No.15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan

Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar

Lampung)

9. Kota Palembang (Peraturan Daerah Kota Palembang No.2

Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran)

10. Provinsi Aceh (Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum

Jinayat)

Peraturan-peraturan daerah (PERDA) di Indonesia diatas

tentunya memiliki berbagai karakteristik yang berbeda-beda pada

setiap daerah-nya. Salah satunya Provinsi Aceh, peraturan mengenai


236

prostitusi yang ada di aceh tentunya sangatlah berbeda dengan

daerah lain pada umumnya, dibawah ini merupakan tabel

perbandingan/perbedaan sanksi atau hukuman Provinsi Aceh

beberapa daerah di Indonesia, diantaranya :

Tabel 2

Provinsi/
No Kabupaten/ Peraturan Hukuman/Sanksi
Kota
1 Kabupaten Nomor 21 Tahun 2016 Kurungan paling
Sukoharjo tentang Penanggulangan lama 3 (tiga bulan
Prostitusi dan dan denda paling
Perbuatan Asusila banyak
tentang Penanggulangan Rp.50.000.000 (lima
Prostitusi dan Perbuatan puluh juta rupiah)
Asusila
2 Kabupaten Nomor 19 Tahun 1999 Kurungan selama-
Indramayu tentang prostitusi lamanya 6 ulan dan
denda sebanyak-
banyaknya
RP.5.000.000 (lima
36 juta rupiah)
3 Provinsi Nomor 18 Tahun 1954 Kurungan selama-
Daerah tentang Larangan lamanya satu bulan
Istimewa prostitu ditempat-tempat dan denda setinggi-
Yogyakarta umum tingginya seratus
rupiah
4 Kota Bandar Nomor 15 Tahun 2002 Kurungan paling
Lampung tentang Larangan lama 6 (enam) bulan
Perbuatan Prostitusi dan atau denda
Tuna Susila dalam sebanyak-
Wilayah Kota Bandar banyaknya
Lampung Rp.5.000.000 (lima
juta rupiah)
5 Provinsi Aceh Qanun Aceh Nomor 6 Uqbat Hudud
Tahun 2014 tentang cambuk 100
Hukum Jinayat (seratus) kali, Uqbat
Ta’zir denda paling
banyak 120 (seratus
dua puluh) gram
emas murni atau
Uqubat Ta’zir
237

penjara paling
banyak 100 (seratus)
bulan.

Pada tabel diatas telah dijabarkan mengenai perbedaan

beberapa Perda dari satu daerah ke daerah lainnya,dapat kita lihat

bahwa hukuman atau sanksi pada daerah satu dengan lainnya

berbeda terutama pada provinsi Aceh. Oleh karena itu dalam hal ini

penulis juga akan mengulas mengenai Perda Kabupaten Sukoharjo

dan Perda Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam menangani prostitusi kabupaten Sukoharjo telah

memiliki perda mengenai penanggulangan prostitusi yang tertuang di

dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 21 Tahun

2016 tentang Penanggulangan Prostitusi dan Perbuatan Asusila.

Perda ini bertujuan untuk mencegah berkembangnya praktek

prostitusi dan perbuatan asusila di masyarakat dan juga mencegah

meningkatnya penyakit HIV/AIDS. Dalam perda ini telah disebutkan

dengan jelas bahwa pelaku prostitusi meliputi penjual jasa seks dan

pemakai jasa seks. Sehingga setiap orang yang melanggar ketentuan

ini. sebagaimana telah tercantum di dalam Pasal-Pasal pada perda ini

berhak dijatuhi sanksi pidana berupa kurungan penjara paling lama 3

(tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh

juta rupiah)

Sementara itu dalam melakukan penanganan terhadap

pelacuran, Daerah Istimewa Yogyakarta menerapkan Perda provinsi


238

dan Perda kabupaten. Perda provinsi sendiri yaitu Perda No.18

Tahun 1954 tentang larangan prostitusi di tempat-tempat umum

sedangkan untuk perda kabupaten sendiri untuk penanggulangan

prostitusi hanya dimiliki oleh kabupaten Bantul yakni Perda No 5

Tahun 2007 mengenai Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul.

1. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta (Perda DIY) No.18


Tahun 1954 tentang larangan prostitusi di tempat-tempat umum,
Perda ini merupakan Perda provinsi yang didalamnya ber isi 6
(enam) pasal.
Penguraian atau penjelasan dari 6 (enam) pasal diatas

adalah sebagai berikut, Pasal 1 menjelaskan mengenai

pengertian dari pelacuran yang dimana pelacuran ialah tindakan

orang-orang yang menyerahkan badannya untuk berbuat zina

dengan mendapat upah. Kemudian Pasal 2 menjelaskan

mengenai yang dimaksud dengan tempat-empat umum, yang

dimana tempat umum ialah jalan-jalan, tanah-tanah lapang,

ruangan-ruangan dan lain sebagainya yang oleh umum mudah

dilihat atau didatangi.

Selanjutnya pada pasal 3 memberikan penegasan kepada

Barang siapa yang ada ditempat umum, dilarang membujuk

orang lain, baik dengan perkataan-perkataan, perbuatan-

perbuatan, isyarat-isyarat maupun dengan cara-cara lain yang

bermaksud untuk melakukan perbuatan mesum (pelanjahan).

Pasal 4 menjelaskan mengenai Barang siapa yang karena

tingkah lakunya bagi penjabat-penjabat polisi menimbulkan


239

dugaan bahwa mereka itu tergolong orang yang akan melakukan

perbuatan mesum, sesudah mendapat peringatan untuk pergi,

maka mereka dilarang berada ditempat umum itu. Pasal 5,

Pelanggaran terhadap Pasal 3 dan Pasal 4 dikenakan hukuman

kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda setinggi-

tingginya seratus rupiah. Di dalam Pasal 6 (enam) dijelaskan

bahwa Peraturan ini mulai berlaku pada hari diumumkan.

Dapat kita simpulkan besar bahwa pasal-pasal yang ada

diatas menjelaskan mengenai aturan terkait larangan melakuan

praktek prostitusi di tempat-tempat umum. Peraturan diatas

berlaku terhadap germo, mucikari, maupun pengguna jasa yang

dengan sengaja melakukan perbuatan untuk melancarkan

kegiatan prostitusi atau pelacuran maka untuk perbuatan yang

telah dilakukan haruslah dikenai sanksi/ hukuman sebagimana

yang tertera pada pasal diatas.

2. Peraturan Daerah Kabupaten Bantul (Perda) No 5 Tahun 2007

mengenai larangan pelacuran di Kabupaten Bantul, perda ini

berisi VIII (delapan) BAB dan XI (sebelas) pasal.

Pengertian mengenai pelacuran terdapat di dalam BAB I,

Pasal 1, angka 4 yang menjelaskan bahwa Pelacuran adalah

serangkaian tindakan yang dilakukan setiap orang atau badan

hukum meliputi ajakan, membujuk, mengorganisasi,

memberikan kesempatan, melakukan tindakan, atau memikat

orang lain dengan perkataan, isyarat, tanda atau perbuatan lain


240

untuk melakukan perbuatan cabul. Kemudian angka 5

menjelaskan terkait Bangunan adalah setiap bangunan yang

dipergunakan untuk kegiatan pelacuran.

Mucikari atau yang sering kita sebut dengan germo juga

diterangkan di dalam pasal ini yaitu pada angka 6 dimana

Mucikari atau dengan sebutan lain yang sejenis adalah

seseorang yang yang menjadi induk semang yang

mengorganisasikan orang lain untuk melakukan perbuatan

cabul. Pada angka 7 dijelaskan mengenai perbuatan cabul adalah

segala perbuatan yang tidak senonoh atau perbuatan yang

melanggar kesusilaan, termasuk persetubuhan.

Mengenai hal larangan dibahas di dalam BAB III pada

Pasal 3 Ayat (1) Setiap orang dilarang melakukan pelacuran di

wilayah Daerah, Ayat (2) Setiap orang dilarang menjadi

mucikari di wilayah Daerah. Daerah yang dimaksut dalam Pasal

ini adalah Daerah Kabupaten Bantul. Pada pasal 4 dijelaskan

bahwa Setiap orang atau badan hukum dilarang menyediakan

bangunan untuk dipergunakan melakukan pelacuran Daerah.

Kegitan angusaha terbukti diikuti kegiatan pelacuran, aparat

Pemerintah Daerah berwenang untuk melakukan penutupan.

Ketentuan pidana mengenai hal ini diatur di dalam BAB

V Pasal 8, Ayat (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan atau Pasal

5, diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau


241

denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Ayat (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud Ayat (1)

pelanggaran.

Mengenai Ketentuan penyidikan diatur di dalam BAB VI

Pasal 9, dimana pada Ayat (1) dijelaskan bahwa Pejabat Pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah

diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan

penyidikan atas pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Daerah

ini sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang hukum acara

pidana yang berlaku. Penyidik Pegawai Negri sipil sebagaimana

dimaksut pada Ayat (1) memiliki kewenangan sebagaimana

dijelaskan pada Ayat (2) yakni :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang


tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat
kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa
tanda pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penyitaan benda atau surat;
e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara
h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat
petunjuk dari Penyidik Polisi Republik Indonesia,
bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana dan
selanjutnya melalui Penyidik Polisi Republik Indonesia
memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum,
tersangka atau keluarganya;
242

i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat


dipertanggungjawabkan.

Pelaksanaan dalam hal ini tertuang di dalam BAB VIII

Pasal 10, Ayat (1) dan (2) pada Ayat (1) dijelaskan bahwa

pelaksanaan penegakan hukum dalam pelaksanaan Peraturan

Daerah ini ditugaskan kepada Satuan Polisi Pamong Praja.

Kemudian pada Ayat (2) dijelaskan bahwa pelaksanaan

pembinaan masyarakat dalam pelaksanaan Peraturan daerah ini

diatur oleh Bupati.

Ketentuan hukum pada peraturan daerah inini

menjelaskan bahwa perbuatan pelacuran sudah meresahkan

masyarakat, sehingga kegiatan pelacuranseperti membujuk,

memfasilitasi, memaksa orang lain untuk menjadi pekerja seks

komersial atau yang dikenal dengan sebutan mucikari, menjadi

pekerja seks komersial, hingga pengguna jasa pelacuran yang

dilakukan kepada wanita tuna susila (WTS) atau pria tuna susila

(gigolo) sebagai penikmat jasa pekerja seks komersial yang

melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah untuk

mendapatkan imbalan baik berupa uang, materi maupun jasa

merupakan suatu tindak kejahatan. Sehingga dalam peraturan

daerah ini, pengguna jasa pelacurandapat dijerat hukum ketika

melakukan perbuatan pelacuran di daerah tersebut.

Peraturan daerah yang telah mengatur terkait

keseluruhan tentang pelacuran ini merupakan peraturan yang


243

paling tepat dalam menjerat pengguna jasa prostitusi, namun

pengaturan ini hanya mengatur secara khusus (lex spesialis)

terhadap daerah tertentu saja yang mempunyai pengaturan

tersebut, dan tidak dapat diterapkan di daerah lain. Sehingga,

masih memberikan celah kepada pengguna jasa pelacuran diluar

aturan peraturan daerah tersebut.

3.4. Politik Hukum Penanggulangan Perbuatan Pelacuran Pada Konteks

Kebijakan Kriminalisasi Terhadap Pekerja Seks Komersil dan

Pengguna Jasa Pekerja Seks Komersil

Politik hukum menurut Mahfud MD yaitu kebijakan hukum yang

akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah.(Mahfud 1998) Satjipto

Rahardjo mengatakan bahwa politik hukum itu mempunyai sebuah tujuan

sosial dan hukum, sehingga tujuan tersebut dapat bermanfaat bagi

masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa politik

hukum sebuah peraturan perundang-undangan harus memiliki manfaat bagi

masyarakat secara langsung. Ketegasan pengaturan terhadap tindak pidana

pelacuran diperlukan mengingat pola dan model praktik pelacuran semakin

berkembang, tidak hanya secara konvensional, namun sudah secara daring.

Aturan tegas diperlukan untuk menindak para pengguna dan penyedia jasa

pelacuran.

KUHP yang berlaku saat ini di Indonesia tidak mengatur tentang

pemidanaan pekerja seks komersil dan pengguna jasa pelacuran. KUHP

hanya mengatur tentang pemidanaan mucikari saja, sehingga dalam konteks

ini pekerja seks komersil dan pengguna jasa pekerja seks komersil ini tidak
244

dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan KUHP. Pasal

perzinahan dalam KUHP juga bukan merupakan undang-undang yang tepat.

Ketika praktek pelacuran dilakukan dengan menggunakan media online

(pelacuran online) seketika akan dapat digunakan Undang-Undang

Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjeratnya, Namun pengaturan

dalam hal ini pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

(UU ITE) masihlah sangat umum yakni mengancam perbuatan yang

mengandung muatan kesusilaan yang dilakukan secara online. Sebaliknya

unsur kejahatan pada perbuatan pelacuran itu sendiri yang tidak dilakukan

secara online tentu tidak bisa dijerat dengan pasal ini.

Beberapa peraturan daerah (PERDA) di Indonesia juga telah memuat

tentang pengaturan larangan pelacuran namun pengaturannya bersifat

territorial saja karena tidak semua daerah mengeluarkan atau membuat

perda ini, prakteknya unsur kejahatan perbuatan pelacuran belum juga

diatur. Selain itu, sanksi pidana yang dijerat pada pasal dalam Undang-

Undang Tindak Pidana Pemberantasan Perdagangan Orang (UU TPPO) dan

Undang-Undang Perlindungan anak hanya dapat digunakan jika pekerja

seks komersil itu dalam kasus pelacuran tersebut diperdagangkan atau jika

korban yang dijadikan pekerja seks komersil adalah anak dibawah umur.

Hal ini sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya oleh penulis yang

menunjukkan bahwa pengaturan pelacuran sebagai tindak pidana belum

tegas sehingga perlu dilakukan politik hukum pidana atau kebijakan hukum

pidana dalam mengkriminalisasi pekerja seks komersil dan pengguna jasa

pekerja seks komersil itu khususnya.


245

Kriminaliasi pekerja seks komesil dan pengguna jasa pekerja seks

komersil pelacuran sangat diperlukan karena pelaku kejahatan pada

pelacuran ini merupakan sebuah sistem. Mucikari, pekerja seks komersil,

dan pengguna jasa pelacuran adalah pelaku. Pekerja Seks Komersil dan

pengguna jasa pekerja seks komersil nya juga memiliki andil yang sama

besarnya dengan mucikari atau germo sehingga dapat terwujudnya delik

pelacuran ini. Terdapat pandangan bahwa pelacuran adalah kejahatan tanpa

korban (crime without victim). Hal ini tentu tidaklah tepat karena korban

utama adalah masyarakat. walaupun pada pelaku terkait konteks ini juga

menjadi korban, terutama pekerja seks komersil.

Pemberantasan pelacuran harus dimulai dari substansi hukumnya

dahulu, lalu selanjutnya dari struktur hukum dan budaya hukum

sebagaimana teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman.(Friedman

1975) Substansi hukum berupa peraturan perundang-undangan yang

mengatur pelacuran harus diperkuat, terutama dalam KUHP sebagai hukum

pidana nasional Indonesia dan sumber hukum utama di bidang hukum

pidana. Politik hukum, khsusnya politik hukum pidana sangat diperlukan

dalam hal ini.

Pembentukan hukum dalam hal ini dapat berupa pembentukan atau

pembuatan hukum baru dan dapat pula berupa penggantian hukum lama

(revisi). Pembentukan hukum ini pada dasarnya tetap harus berpijak,

berlandaskan, dan dilaksanakan dalam kerangka politik hukum nasional,

yang sesuai dengan pancasila dan konstitusi Negara Republik Indonesia.

Politik hukum sangat perlu diterapkan dalam pembentukan peraturan


246

perundang-undangan di berbagai bidang hukum, salah satunya yakni di

bidang hukum pidana untuk mengatasi kasus pelacuran yang hingga saat ini

masih marak terjadi di Indonesia.

Yesmil Anwar menyatakan bahwa kebijakan yang dapat dilakukan

untuk mengatasi pelacuran secara garis besar terdiri dari legalisasi yakni

penutupan praktik pelacuran, kriminalisasi yakni mengkriminalkan pelaku

pelacuran, dan abolisi yakni menghapus sampai ke akar-akarnya praktik

pelacuran, karena pelacuran dianggap sebagai perbudakan. Indonesia

termasuk negara yang menerapkan kebijakan kriminalisasi, meskipun pada

praktiknya pelacuran tidak pernah habis dan bahkan kian hari tumbuh subur.

(Anwar 2009) Hal ini menunjukkan bahwa perlu dilakukan pengaturan

untuk penegakan hukum pidana, salah satunya melakukan pembaharuan

hukum pidana.

Pembaharuan hukum terhadap produk hukum berupa perundang-

undangan yang telah usang, tidak sesuai dan tidak mencerminkan hukum

yang responsif tentu perlu diadakan perubahan sebagaimana yang menjadi

lingkup dari politik hukum, demikian halnya terhadap KUHP Indonesia.

Searah dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja yang menyebutkan

bahwa politik hukum adalah kebijakan hukum dan perundang-undangan,

dalam rangka pembaruan hukum, serta pandangan dari Bellefroid yang

menyatakan bahwa politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan yang

harus diadakan pada hukum yang ada saat ini. Pembaharuan hukum dalam

konteks ini penting dilakukan.(Latif and Ali 2011)


247

Pelacuran sangat berlawanan dengan budaya adat ketimuran yang

sangat menghormati kedudukan perempuan dan sangat menyoroti

kesusilaan dan kesopanan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam rangka

untuk mencapai ius constituendum, pembaharuan hukum pidana (KUHP)

sangat penting untuk dilakukan untuk menghasilkan hukum yang efektif dan

responsif. Saat ini KUHP dan Undang-undang diluar KUHP hanya dapat

menjerat penyedia tempat dan atau mucikarinya saja sedangkan untuk

pengguna dan untuk pekerjanya tidak dapat dipidana. Perda yang mengatur

tentang larangan praktek pelacuran juga tidak efektif, karena tidak semua

daerah memiliki perda ini. Penegakan hukum terhadap pelacuran melalui

peraturan daerah hanya bersifat teritorial karena pengaturannya berada pada

peraturan daerah masing-masing. Adapun dalam menanggulangi pelacuran,

pemerintah daerah menggunakan kebijakan pengaturan yang diwujudkan

dalam bentuk lokalisasi atau tempat pelacuran legal. Lokalisasi ini bertujuan

untuk mengumpulkan tempat kegiatan pelacuran beserta dampak negatifnya

dalam suatu tempat. (Anindia and Sularto 2019)

Kebijakan lokalisasi ini secara tidak langsung memuat pemahaman

bahwa pemerintah melegalkan praktek pelacuran yang bertentangan dengan

norma agama, perdagangan orang khususnya wanita dan juga Pasal 296

KUHP terkait tempat pelacuran. Kebijakan lokalisasi ini sama saja

memberikan seseorang kesempatan untuk melakukan perzinahan yang legal

menurut hukum, sehingga sudah seharusnya setiap subyek dalam pelacuran

yang memiliki keterkaitan dapat mempertanggungjawaban perbuatannya.

Hal ini perlu ditindak dengan merumuskan aturan pidana tentang pelarangan
248

pelacuran bagi mucikari, pekerja seks komersil dan pengguna jasa

pelacuran.

Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana (penal reform)

adalah bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy) dengan

membentuk peraturan yang baik.(Arief 2008) Pembaharuan KUHP

Indonesia harus berpijak dan dibentuk berdasarkan politik hukum yakni

politik hukum pidana. Pembaharuan KUHP Indonesia menemui berbagai

kendala yang menyebabkan hingga saat ini rancangan tersebut belum

disahkan dan diberlakukan. Rancangan KUHP ini terus diperbaharui dengan

berbagai konsep yang diharapkan mampu efektif menanggulangi kejahatan

serta memberikan keadilan dan perlindungan.

Melalui politik hukum, badan legislatif atau legislator memilih dan

menentukan pilihan terhadap berbagai tindakan keputusan dalam berbagai

alternatif-alternatif yang ada dalam proses pembentukan hukum yang sesuai

dengan konstitusi dan pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tindakan

memilih ini juga harus disertai pertimbangan untuk kepentingan rakyat,

bukan untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Sangat diharapkan

dengan pembaharuan hukum yang berdasarkan kepentingan rakyat, hukum

yang dibentuk dapat mencerminkan perasaan hukum masyarakat sehingga

pembangunan hukum nasional tercapai sesuai dengan rasa keadilan

masyarakat. Pembentukan hukum atau pembaharuan hukum dalam

kerangka politik hukum juga harus diterapkan sesuai dengan konstitusi dan

pancasila sebagai dasar negara Indonesia.


249

Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum yang menentukan

kaidah penuntun tertentu dalam pembentukan hukum. Hal ini jugasebagai

sebuah konsekuensi bahwa pancasila merupakan sumber di dalam berbagai

hukum yang ada. Mengenai kedudukannya, pancasila memiliki kedudukan

yang paling tinggi, yakni sebagai cita-cita serta pandangan hidup bangsa dan

pandangan hidup Negara Republik Indonesia. Dalam kerangka politik

hukum, pemberantasan pelacuran perlu dilakukan pembaharuan hukum

pidana dengan mensinergikan dengan Konsep rancangan KUHP yakni

dengan mengkriminalisasi atau membuat aturan atau mengatur pemberian

ancaman pidana terhadap pekerja seks komersil dan pengguna jasa pekerja

seks komersil itu (penalisasi) agar bisa dipertanggungjawabkan secara

pidana.

Dalam perkembangan hukum pidana seiring dengan perkembangan

teknologi, pembaharuan hukum pidana menjadi hal yang penting dalam

reformasi dan pembangunan hukum pidana ke arah yang lebih baik.

Pembaharuan hukum ini diperlukan sebagai suatu upaya dalam reorientasi

dan reformasi hukum pidana yang juga meliputi nilai-nilai yang ada dalam

masyarakat yang sesuai dengan volk geist (jiwa bangsa) yang mencerminkan

keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Sebagaimana yang telah kita

ketahui KUHP Indonesia yang hingga kini masih berlaku di Indonesia,

sebagai warisan zaman kolonial tentu tidak sesuai dengan kepribadian

bangsa Indonesia. pelacuran tentu sangat bertentangan dengan budaya

Indonesia.
250

Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional yang

berjalan sangat lamban mengarah pada anggapan bahwa, pembaharuan

hukum pidana Indonesia khususnya sistem hukum nasional yang

berlandaskan aspek ke Indonesiaan bukanlah hal yang mudah. Perlu

dipahami bahwa, menurut Barda Nawawi Arief, membangun atau

melakukan pembaharuan hukum (law reform, khususnya “penal reform”)

pada hakikatnya adalah “membangun/memperbaharui pokok_pokok

pemikiran/konsep/ide dasarnya”, bukan sekedar memperbaharui/mengganti

perumusan pasal (undang-undang) secara tekstual. Oleh karena itu, kajian

atau diskusi tekstual mengenai konsep RUU KUHP harus disertai dengan

diskusi konseptual.Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa, pembaharuan

hukum pidana dilakukan secara total, bukan merupakan tambal sulam

dengan hanya mengganti secara tekstual (substansi) dari Undang-Undang.

Secara total disini artinya yakni, bahwa yang diperbaharui adalah

konsepnya, ide-idenya, pokok pikirannya, gagasan, pandangan, nilai-

nilainya yang diarahkan pada karakter, kepribadian bangsa Indonesia dan

tetap mengacu pada Pancasila. Pembaharuan hukum dalam hal ini untuk

mengefektifkan penegakan hukum maka dapat dimaknai sebagai kebijakan

untuk memperbaharui substansi hukum.

Barda Nawawi Arief juga menyatakan bahwa, makna dan hakikat

reformasi atau pembaharuan KUHP. KUHP merupakan suatu sistem

hukum, khususnya merupakan sistem hukum pidana (penal sistem) atau

sistem pemidanaan (sentecing sistem). Oleh karena itu pembaharuan KUHP

pada hakikatnya adalah pembaharuan sistem hukum pidana atau sistem


251

pemidanaan. KUHP Pada hakikatnya merupakan pembaharuan nilai budaya

hukum atau ide dasar. Hal ini menunjukkan bahwa, pembaharuan hukum

tidak hanya merupakan pembaharuan secara substantif, tapi merupakan

pembaharuan sistem hukum, yang juga meliputi pembaharuan struktur

hukum dan budaya hukum. Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa

terdapat 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana,

kesalahan, dan pidana, jika dikaji ada 3 (tiga) masalah pokok inilah yang

kemudian menjadi fokus dalam Rancangan KUHP Indonesia.

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa konsep rancangan KUHP

Baru disusun dengan bertolak pada tiga materi atau substansi atau masalah

pokok dalam hukum pidana, yaitu :

a) Masalah tindak pidana;


b) Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana,
c) Masalah pidana dan pemidanaan

Pelacuran dalam fokus rancangan tersebut adalah terkait dengan

masalah tindak pidana yang perlu direkonstruksi kembali dengan

mengkriminalisasi dan penalisasi pekerja seks komersil dan pengguna jasa

pekerja seks komersil. Pembaharuan hukum pidana juga meliputi 3 sub

sistem yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum

sebagaimana dalam teori sistem hukum dari Lawrence Friedman.

Sebagaimana yang telah diraikan di dalam Bab II dapat diketahui bahwa

berdasarkan uraian dari Lawrence M. Friedman terkait sistem hukum

tersebut (substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum) dapat

diketahui bahwa sistem hukum terdiri dari sub sistem-sub sistem hukum
252

yang saling berinteraksi antara substansi hukum (legal substance), Struktur

hukum (legal structure) dan Budaya hukum (legal culture). Ketiga sub

sistem ini harus bersinergi dalam melakukan penegakan hukum terkait

pelacuran.

Kriminalisasi ini penting dilakukan dengan mengaturnya di dalam

Rancangan KUHP karena KUHP yang berlaku saat ini adalah peninggalan

Kolonial Belanda yang tentu tidak sesuai dengan adat, budaya bangsa

Indonesia. Kriminalisasi perlu dilakukan di dalam KUHP karena KUHP

adalah hukum pidana material yang menjadi sumber dari undang-undang

lainnya. KUHP juga memiliki nilai keberlakuan yang tinggi sebagai

undang-undang jika dibandingkan dengan membentuk Peraturan Daerah

Perda yang tidak efektif dan nantinya akan bertentangan dengan KUHP.

3.5. Kriminalisasi Dalam Konteks Perumusan Norma Perbuatan Pelacuran

Pada Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia

Masalah pelacuran adalah masalah struktural, permasalahan

mendasar yang terjadi dalam masyarakat adalah masih memahami masalah

pelacuran sebagai masalah moral. Tidak menyadaripersepsi moral ini akan

mengakibatkan sikap "menyalahkan korban" yang ujungnya menjadikan

korban semakin tertindas. Pelacuran merupakan salah satu bentuk

kriminalitas yang sangat sulit untuk ditangani dan jenis kriminalitas ini

banyak didukung oleh faktor ekonomi dalam kehidupan masyarakat, dimana

dalam masyarakat itu sendiri mendapat pemenuhan akan kebutuhan secara

manusiawi.(Pisani 2008)
253

Ancaman dari pihak lain juga dapat membuat seorang perempuan

terlibat dalam dunia pelacuran. Meskipun terkesan klasik, tapi kenyataan

memang ada mafia-mafia pelacuran yang mencari pekerja seks komersil

dari daerah dengan iming-iming dicarikan pekerjaan di kota. Dalam situasi

ini, pekerja seks komersil tersebut terpaksa terjun ke dunia pelacuran karena

ketidakberdayaan dalam menghadapi tekanan dari para mafia tersebut.

(Purnomo and Siregar 2010)

Fenomena lain yang menarik belakangan ini adalah bentuk prostitusi

yang tidak mengharapkan imbalan materi. Dalam kondisi ini para pekerja

seks komersil bersedia melakukan pelayanan seksual dikarenakan faktor

suka sama suka. Pada kehidupan kosmopolitan yang mernuja kebebasan,

fenomena ini semakin banyak dijumpai. Materi dalam hal ini uang bukan

lagi merupakan motivator utama. Kebebasan dan bersenang-senang adalah

alasan yang selalu menjadi jawaban dalam situasi semacam ini. Selama ini

dalam KUHP dan Undang-undang diluar KUHP hanya dapat menjerat

penyedia tempat dan atau mucikarinya saja sedangkan untuk pengguna dan

untuk pekerjanya tidak dapat itu ada perda yang mengatur tentang larangan

praktek pelacuran, tapi tidak semua daerah memiliki perda ini. Dan harus

dipertanyakan juga kefektifan dari perda ini, karena selama ini memang

belum memberikan efek apa-apa terhadap praktek pelacuran.

Pemidanaan hanya terhadap mucikari saja tidak mencerminkan rasa

keadilan, karena dalam perbuatan pelacuran terdapat subyek-subyek yang

berkaitan yakni mucikari, pengguna jasa pelacuran dan pekerja seks

komersil. Perbuatan pelacuran bagian dari perbuatan zina dikategorikan


254

sebagai (crime without victim) bahwa pekerja seks komersil dan pengguna

termasuk korban tetapi juga sebagai pelaku dalam perbuatannya sehingga

hukum pidana positif Indonesia saat ini masih belum memberikan kepastian

hukum yang adil serta pelakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana

diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28D.

Prinsip nullum delictum noela poena lege praevia yakni tiada pidana

dapat dijatuhkan tanpa didahului adanya peraturan yang memuat sanksi

pidana terlebih dahulu menjamin perlindungan hak asasi manusia dari

kesewenang-wenangan penguasa. Akan tetapi, seorang PSK yang

melacurkan diri dengan atau tanpa mucikari bukan termasuk kejahatan

karena tidak dilarang dalam hukum pidana Indonesia meskipun melanggar

dari sudut pandang agama, adat istiadat, dan kesusilaan dalam masyarakat.

Hal yang sama berlaku dalam pengguna jasa, meskipun sebagai

perbuatan zina yang termuat dalam Pasal 284 KUHP, pasal ini merupakan

delik absolut yang artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan

dari pihak suami dan istri yang dirugikan (yang dipermalukan). Pasal ini

juga hanya dapat berlaku pada salah satu pengguna jasa pelacuran atau

pekerja seks komersil telah terikat perkawinan, sedangkan apabila pengguna

dan pekerja seks komersil belum terikat perkawinan maka tidak dapat

diterapkan pasal tersebut.

Hukum pidana Indonesia yang mengatur delik kesusilaan dalam

KUHP yang berlaku saat ini masih mempunyai kelemahan secara moral

mengingat bahwa pembentukan delik kesusilaan tidak menggunakan nilai

dasar atau "the living law" masyarakat Indonesia. Untuk membentuk konsep
255

kebijakan kriminalisasi pada perbuatan pelacuran di Indonesia dalam

konteks pembaharuan sistem hukum pidana haruslah memperhatikan

Pancasila atau nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia. Pancasila yang juga

terkandung jiwa atau semangat masyarakat Indonesia pada sila ke 2 (kedua)

telah memberikan amanat bahwa setiap warga negara menjunjung nilai

kemanusiaan yang adil dan beradab dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang

berhak untuk tidak perbudak yang merupakan hak asasi manusia tanpa

dikurang sedikitpun.

Berdasarkan hal-hal diatas maka diperlukan aturan hukum yang

dapat menjerat semua pihak yang terlibat dalam pelacuran, salah satunya

adalah pekerja. Dibutuhkan pembaharuan sistem hukum pidana untuk

mengatasi permasalahan pelacuran. Pembaharuan sistem hukum pidana

dapat meliputi ruang lingkup yang sangat luas, yaitu mencakup;

a. Pembaharuan “substansi hukum pidana”, yang meliputi pembaharuan


hukum pidana materiel (KUHP dan UU diluar KUHP), hukum pidana
formal (KUHAP) dan hukum pelaksanaan pidana;
b. Pembaharuan “struktur hukum pidana”, yang meliputi antara lain
pembaharuan atau penaataan institusi/lembaga, sistem
manajemen/tatalaksana dan mekanismenya serta sarana/prasaran
pendukung dari sistem penegakkan hukum pidana (sistem peradilan
pidana);
c. Pembaharuan “budaya hukum pidana”, yang meliputi antara lain
masalah kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan hukum dan
ilmu hukum pidana.
256

Dalam hal ini penulis lebih fokus terhadap pembaharuan substasi,

yaitu pembaharuan hukum pidana materiel mengenai pertanggungjawaban

para pihak yang terlibat dalam pelacuran. Kriminalisasi terhadap pekerja

seks komersil dan pengguna jasa pekerja seks komersil bertujuan untuk

mencegah dan melarang seseorang dan/atau kelompok untuk menjual atau

mengeksploitasi organ seksualnya demi mendapatkan keuntungan dari

perbuatan yang melawan hukum.

Karl O. Christiansen kesalahan moral sebagai salah satu syarat untuk

pemidanaan. Lebih lanjut Herbert L. Packer menegaskan bahwa hanya

perbuatan yang secara umum didasari sebagai immoral yang harus

dinyatakan sebagai kejahatan. Teori Ordeningstrafrecht yang dikemukakan

Roling dan Jeseeren d'olivesier-prakken, bahwa hukum pidana adalah alat

atau instrument kebijakan pemerintah. Kriminalisasi terhadap pelacuran

harus ditetapkan sebagai kejahatan atau perbuatan yang dilarang dengan

hukum pidana melalui ketentuan peraturan perundang-undangan yang

sifatnya memaksa, mengikat dan diancam pidana.

Paradigma berfikir lama mengenai bentuk delik pelacuran dapat

dikaji ulang, melalui proses dekontruksi hukum, sebagaimana Satjipto

Rahardjo, Hukum itu untuk manusia, bukan sebaliknya. Tindak pidana atau

perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Kebijakan kriminalisasi pada perumusan norma terhadap pelacuran

pada KUHP Baru Tahun 2023 nantinya harus konsep pidana bersyarat
257

dalam artian pidana ini berlaku apabila kondisi keadaan terpaksa dimana

pekerja seks komersial di bawah tekanan hanya dengan penerapan sanksi

sosial sebagaimana perbandingan regulasi hukum terkait pelacuran di

swedia dan RRC .Sehingga adapun rumusan norma yang ditawarkan oleh

penulis adalah:

Perumusan Norma Terhadap Pekerja Seks Komersil


Pasal ……………..
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan hubungan seksual
tanpa ikatan perkawinan atau perbuatan cabul dengan atau atas
persetujuannya untuk mendapatkan atau menerima pembayaran atau
remunerasi diancam dengan pidana denda sebesar .......... dan pidana
penjara selama ...........
2) Setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di
tempat umum dan menawarkan diri, mengajak orang lain baik secara
langsung dan/atau tidak langsung dengan menggunakan media
informasi dengan tujuan melacurkan diri, dipidana dengan pidana
denda sebesar ……… dan pidana penjara selama …………….
3) Setiap orang yang melakukan hubungan seksual tanpa ikatan
perkawinan atau perbuatan cabul dengan ajakan, suruhan dan/atau
tipu muslihat oranglain baik secara langsung dan/atau menggunakan
media elektronik dengan tujuan melacurkan diri, dipidana dengan
denda sebesar ……. dan pidana kerja sosial selama ……………….

Perumusan Norma terhadap pengguna jasa Pekerja Seks komersil


Pasal ……………
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan membayar atau
membeli, memanggil, mengajak, memesan atau menyewa seseorang
258

dengan tujuan dan/atau maksud untuk melakukan perbuatan cabul


atau persetubuhan tanpa ikatan perkawinan secara berbayar dan/atau
bersifat komersil dapat diancam dengan pidana denda
sebesar .................. dan pidana penjara selama ...........
2) Perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku
apabila terjadi tindakan pembayaran telah dijanjikan atau dilakukan
melalui perantara orang lain.

Pemidanaan terhadap pengguna jasa pekerja seks komersil dan

pekerja seks komersil dalam pelacuran bukan hanya sebagai dasar

pembenaran dari pidana yakni pembalasan atas perbuatan yang merugikan

dan melanggar norma saja, tetapi harus memperhatikan apa yang ingin

dicapai dengan pemidanaan tersebut. Menurut Pellegrino Rossi tujuan dari

pidana adalah memperbaiki tata tertib masyarakat. Pemidanaan terhadap

pengguna jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil harus

memberikan manfaat tata tertib terhadap masyarakat, pidana ini menjadikan

suatu teguran terhadap masyarakat agar memiliki rasa takut untuk

melakukan pelacuran. Pidana diberikan bukan karena orang membuat

kejahatan melainkan supaya orang jangan membuat kejahatan.

Hal ini sesuai dengan teori tujuan pemidanaan relatif Karl O.

Christiansen bahwa pidana bertujuan untuk pencegahan, akan tetapi

pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai

tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat sehingga diterapkan

berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan. Pidana akan

menimbulkan sebuah kesadaran dan kepuasan moral dalam batin pengguna


259

jasa pekerja seks komersil dan pekerja seks komersil bahwa pembelian dan

penjualan seks berbayar adalah perbuatan bersifat melawan hukum yang

dilarang oleh norma tertulis dan bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan

dan kesopanan dalam masyarakat, sehingga jika dia tetap melakukan maka

akan ada pidana yang diterima.

Penanggulangan perbuatan pelacuran pendekatan kebijakan dalam

arti ada keterpaduan (integrasi) antara politik kriminal dan politik sosial

serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal

dan non-penal dan di dalam setiap kebijakan (policy). Sedangkan

pendekatan nilai dalam arti bahwa pembaharuan dan penanggulangan

kejahatan harus berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Upaya penanggulangan pelacuran harus dilaksanakan secara intergrasi dan

terstruktur, sehingga menciptakan keseimbangan dalam upaya perlindungan

masyarakat (social defence) dan upaya kesejahteraan masyarakat (social

welfare).

Pemidanaan terhadap pengguna jasa pekerja seks komersil dan

pekerja seks komersil terjadi apabila apabila kebijakan non penal

(pencegahan, himbauan, dan kebijakan sosial) tidak dapat menyelesaikan

atau menanggulangi pelacuran, hal ini merupakan sifat hukum pidana

sebagai ultimum remidium. Kriminalisasi pelacuran sebagai bagian dari

kebijakan penal tidak akan efektif apabila tidak terjadi intergrasi dengan

upaya rehabilitasi sosial sebagai bagian dari kebijakan non penal. Dengan

kata lain kriminalisasi pelacuran hanya sebatas sebagai upaya balas dendam
260

atau pembalasan saja. Sama halnya ketika kebijakan non penal tidak akan

berlaku efektif apabila perbuatan pelacuran tidak ditetapkan sebagai

perbuatan pidana.

Namun bukan berarti semua yang menjadi pekerja seks komersil

harus di pidana penjara, melainkan diberikan kerja sosial atau rehabilitasi

dan atau pemulihan keadaan agar mengembalikan kondisi psikologis dan

mentalnya seperti semula sebelum menjadi pekerja seks komersil, karena

mengenginkan pekerjaan ini bisa saja kadang karena bujuk rayu seseorang,

berhutang dengan mucikari atau germo, bahkan dijebak atau ditipu sehingga

mereka tidak ada pilihan lain. Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana

baru di Indonesia dan bertujuan untuk membina dan memberi efek jera bagi

pelaku dengan pola- pola dan konsep yang manusiawi dan bermanfaat bagi

pelaku serta masyarakat dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan di

Indonesia.

Supiadi, rehabilitasi sosial adalah segenap upaya yang ditunjukan

untuk mengintegrasikan kembali seseorang kedalam kehidupan masyarakat

dengan cara membantunya menyesuaikan diri dengan tuntutan keluarga,

komunitas dan pekerjaan sejalan dengan pengurangan setiap beban sosial

dan ekonomi yang dapat merintangi proses rehabilitasi.(Ramadhani,

Sulastri, and Nurhaqim 2017) Selain itu Pekerja seks komersil juga

diberikan pembinaan berupa kerja sosial bahwa apa yang mereka lakukan

merupakan kesalahan baik dari segi hukum, moral dan agama yang tidak

boleh diulangi lagi. Dalam pembinaan itu juga pekerja seks komersil
261

diberikan masukan-masukan apa yang harus mereka lakukan setelah ini,

misalnya pelatihan soft skill dibidang yang mereka sukai.

Barulah setelah itu diberikan lapangan pekerjaan untuk mereka, agar

mereka tidak kembali menjadi pekerja seks komersil. Karna apabila kita

hanya memberikan pembinaan dalam bentuk rehabilitasi dan kerja sosial

saja, maka mereka akan kembali lagi menjadi pekerja seks komersil. Hal ini

dikarenakan mereka bingung bagaimana mereka memenuhi kebutuhan

ekonomi jika mereka tidak menjajakan diri, maka dari itu dibutuhkan solusi

yang tepat dalam menanggulangi permasalahan ini. pekerja seks komersil

tidak dapat dibenarkan perbuatannya, namun tidak juga dapat dihakimi

secara sepihak. Mereka harus dikembalikan lagi kedalam keadaan yang

membuat mereka baik yaitu dengan cara-cara diatas.

Rehabilitasi, kerja sosial atau pelatihan kerja dan pemberian modal

dilakukan secara berkepanjangan sehingga dapat dilihat perubahannya.

Setidaknya dengan cara ini dapat mengurangi banyaknya pelacuran

diIndonesia. Mereka juga merupakan korban dari keadaan ekonomi, atau

bahkan korban dari para mucikari dan pelanggan yang memanfaatkan tubuh

mereka. Ide dari penulis terdapat pada perumusan norma terhadap pekerja

seks komersil pada point ketiga yaitu pekerja seks diberikan pembinaan

dalam bentuk kerja sosial sebagai upaya untuk mencegah kembali lagi

menjadi pekerja seks komersial. Sedangkan untuk pengguna juga harus

dijerat dengan pidana sehingga merasa jera dan tidak mengulanginya lagi.

Kebijakan kriminalisasi terhadap pengguna jasa pekerja seks

komersil dan pekerja seks komersil dalam konteks perumusan norma hukum
262

sebagai pembaharuan hukum pidana merupakan perwujudan atas

pemenuhan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang menyatakan

bahwa manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan

sehingga perlu diberikan perhargaan dan perlakuan yang sama terhadap

setiap manusia.
263

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian serta analisa yang merupakan jawaban dari

rumusan masalah dalam penelitian tentang Konsep Kriminalisasi Perbuatan

Pelacuran Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berlandaskan Keadilan,

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Urgensi kriminialisasi pada perbuatan pelacuran dalam hukum pidana

Indonesia saat ini disebabkan keterbatasan kemampuan sanksi pidana

dalam menanggulangi perbuatan pelacuran, beban kinerja aparatur hukum,

proses hukum yang panjang, serta dampak negatif sanksi pidana yang

tidak dapat dihindarkan, membawa kepada pandangan bahwa perlunya

segera adanya kebijakan kriminalisasi pada perbuatan pelacuran sebagai

alternatif solusi. Adapun kriminalisasi pada perbuatan pelacuran dalam

hukum pidana ditujukan pada kriminalisasi terhadap pengguna bertujuan

agar melarang penyaluran kebutuhan seksualnya dalam bentuk perzinaan

secara komersil. Sedangkan kriminalisasi terhadap PSK bertujuan untuk

mencegah dan melarang seseorang menjual atau mengeksploitasi organ

seksualnya demi mendapatkan keuntunngan dari perbuatan yang melawan

hukum. Tujuan lainnya adalah kriminalisasi terhadap Pengguna dan PSK

bahwa manusia bukanlah sebuah komoditas yang dapat diperjual belikan

sehingga perlu diberikan perhargaan dan perlakuan yang sama terhadap

setiap manusia.
264

2. Konsep kriminalisasi terhadap perbuatan pelacuran dalam rangka

pembaharuan hukum pidana Indonesia nantinya harus dengan konsep

pidana bersyarat dalam artian pidana ini berlaku apabila kondisi keadaan

terpaksa dimana PSK di bawah tekanan melakukan perbuatan pelacuran

hanya dikenakan hukuman kerja sosial sebagaimana perbandingan regulasi

hukum terkait pelacuran di negara Swedia dan RRC. Maksud dari keadaan

terpaksa bagi Pekerja Seks Komersil (PSK) adalah perbuatan cabul dengan

ajakan, suruhan dan/atau tipu muslihat orang lain baik secara langsung

dan/atau menggunakan media elektronik. Sedangkan bagi pengguna jasa

seks komersial dan mucikari/germo yang menjadikan perbuatan pelacuran

sebagai pekerjaan pokoknya dapat dipidana dengan pidana denda dan

pidana penjara. Terhadap PSK yang menjadikan perbuatan pelacuran

sebagai pekerjaan pokoknya dapat dipidana apabila sengaja melakukan

hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan atau perbuatan cabul dengan

atau atas persetujuannya untuk mendapatkan atau menerima pembayaran

atau remunerasi dan/atau bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di

tempat umum dan menawarkan diri, mengajak orang lain baik secara

langsung dan/atau tidak langsung dengan menggunakan media informasi

dengan tujuan melacurkan diri. Sedangkan bagi pengguna jasa seks

komersial dapat dipidana apabila dengan sengaja melakukan membayar

atau membeli, memanggil, mengajak, memesan atau menyewa seseorang

dengan tujuan dan/atau maksud untuk melakukan perbuatan cabul atau

persetubuhan tanpa ikatan perkawinan secara berbayar dan/atau bersifat

komersil.
265

4.2 Saran

1. Kepada Pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia (DPR RI) sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang

(legislatif), dengan memperhatikan dan mempertimbangan pembaharuan

hukum pidana serta perbandingan regulasi peraturan dari negara-negara

lain yang mana menjadikan mensyaratkan PSK yang bekerja dalam

keadaan terpaksa seperti diatur dalam regulasi negara Swedia dan RRC

tidak diberlakukan hukuman pidana namun kerja sosial. Sedangkan bagi

pekerja seks komersil dan pengguna jasa seks komersial yang menjadikan

pelacuran sebagai pekerjaan atau kebutuhan transaksional dapat dijadikan

sebagai pelaku tindak pidana pelacuran tanpa mengesampingkan asas

keadilan dan asas kemanfaatan. Kondisi untuk menyusun ketentuan pidana

terkait pekerja seks komersil dan pengguna jasa seks komersial dapat

diundangkan pada peraturan perundang-undangan diluar KUHPidana

sehingga perbuatan pelacuran dapat dijadikan tindak pidana khusus seperti

tindak pidana narkotika.

2. Kepada masyarakat untuk dapat memahami mengenai kejahatan pelacuran

ini sebagai bentuk pidana apabila dilakukan sebagai mata pencaharian,

begitu pula bagi pengguna jasa seks komersial juga dapat dipidana. Hal ini

penting untuk menekan tindak kejahatan pelacuran yang bisa merusak

kesehatan dan moral masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai