Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA

UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA OLEH NEGARA


TERHADAP HAK KEBEBASAN BERIBADAH DI INDONESIA

DISUSUN OLEH:
Aulivia Adjani 00000024773
Hariangbunga Shibaa Alyaa’ Sabri 00000025744
Maria Delina Wijaya 01051170121
Mega Eriana Kriselda 01051170173
Naufal Ariq Muhammad 00000026162
Qhaiszhar Ivan Queensland 00000023232

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
KARAWACI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Negara menurut KBBI adalah “​kelompok sosial yang menduduki wilayah atau
daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya”.1
Tetapi sebenarnya jika dijabarkan definisi negara itu sendiri masih agak sedikit rancu, dan
masih begitu banyak ragam pengertian. Seperti yang kita ketahui, mendefinisikan suatu
negara itu tak bisa luput dari memandang paham yang dianut negara tersebut, kondisi sosial
politik, dan sebagainya. Walaupun belum ada 1 definisi negara yang pasti, tetapi kita semua
setuju bahwa negara memiliki peran penting sebagai alat masyarakat yang memiliki
kekuasaan tertinggi untuk menjaga dan mengatur hubungan antar sesama manusia maupun
hubungan antar manusia dan gejala-gejala sosial masyarakat.

Walaupun belum ada definisi pasti dari “negara” itu sendiri, tetapi seperti yang kita
semua ketahui adalah bahwa negara Indonesia adalah merupakan negara hukum. Dimana
artinya Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum dan menempatkan hukum sebagai
hal yang tertinggi sehingga ada istilah supremasi hukum. Pernyataan bahwa Indonesia adalah
negara hukum tercantum dalam UUD 1945 hasil amandemen (1999-2002) yang diatur dalam
Pasal 1 ayat (3) yang menetapkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.2 Negara
Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila atau “Negara Hukum
Pancasila”, konsep Negara hukum Pancasila bersumber dari nilai-nilai sosial budaya
Indonesia yang dimana berdasar pada Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan norma dasar bagi pembentukan konsititusi
atau undang-undang atau yang bisa disebut juga “​Staatsfundamentalnorm​” Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

1
​https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/negara
Aloysius R. Entah, “​Indonesia: Negara Hukum yang Berdasarkan Pancasila​”, ​Seminar Nasional
2

Hukum​Vol. 2, No. 1, 2016.


Menurut ahli hukum dari Eropa Kontinental ​Friedrich Julius Stahl​, ciri-ciri
Rechtsstaat​ (negara hukum) adalah sebagai berikut:3

1. Hak Asasi Manusia (HAM)


2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM yang biasa dikenal
dengan sebutan Trias Politika.
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Hak Asasi Manusia adalah hal yang sangat dijunjung tinggi di negara hukum dan
merdeka seperti Indonesia. Seperti yang dijabarkan di dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, defisini dari HAM adalah “Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;”.4 Menurut ​John
Locke,​ pengertian HAM adalah hak-hak yang langsung diberikan Tuhan kepada manusia
sebagai hak yang kodrati. Hak-hak kodrati yang dimaksud yaitu seperti hak untuk hidup,
hak mendapatkan rasa aman, hak kebebasan beribadah, serta hak untuk mengemukakan
pendapat. Oleh karena itu, tidak ada kekuatan apapun di dunia yang bisa mencabutnya.
HAM ini sifatnya fundamental bagi kehidupan manusia dan pada hakikatnya sangat suci.5

Undang- Undang Dasar 1945 yang di dalamnya terdapat hak-hak asasi selaku
manusia baik manusia selaku makhluk pribadi maupun sebagai makhluk sosial yang di
dalam kehidupannya itu semua menjadi sesuatu yang inheren. Muatan dalam UUD 1945
berdasarkan pendapat A.A.H. Struycken telah memuat pandangan, keinginan dan

3
https://www.seputarpengetahuan.co.id/2014/09/ciri-ciri-negara-hukum-menurut-para-ahli-hukum.html
diakses pada 28 Agustus 2019, Pukul 19.33 WIB
4
Indonesia,​Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia​, UU No. 39 Tahun 1999, LN Tahun 1999,
TLN Nomor. 156, Pasal 1 angka 1.
5
​https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-ham.html​ diakses pada 27 Agustus 2019, Pukul
12.03 WIB
perkembangan kehidupan negara oleh tokoh-tokoh bangsa, yang menginginkan
terbentuknya negara hukum yang melindungi HAM.6

Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,


pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Konvensi
Perserikatan Bangsa-bangsa tentang hak-hak anak, dan berbagai instrumen internasional
lainnya yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi undang-undang ini
disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 (yang diamandemen), masalah mengenai HAM
dicantumkan secara khusus dalam Bab X Pasal 28 A sampai dengan 28 J, yang
merupakan hasil amandemen kedua pada tahun 2000.

Walaupun terdengar mudah dan umum, perwujudan HAM tidak selalu


benar-benar bisa dilaksanakan secara mutlak dan mudah. Terlebih lagi dengan banyaknya
ragam masyarakat, suku, bahasa, perbedaan kelas sosial dan perbedaan-perbedaan lainnya
maka tak dapat dipungkiri bahwa akan banyak konflik yang muncul dari perbedaan
tersebut. Karena sederhananya ketika kita memperjuangkan hak sendiri bisa saja pada
saat yang bersamaan kita sedang mengabaikan hak orang lain karena hak-hak asasi kita
selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain.

Meskipun di Indonesia sudah ada jaminan secara konstitusional maupun sudah


dibentuk lembaga untuk penegakannya, tetapi belum menjamin bahwa HAM
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Di bidang hukum masih terlihat
lembaga penegakan hukum, banyak pejabat yang melakukan pelanggaran hukum sulit
dijamah hukum, tetapi ketika pelanggaran itu dilakukan oleh rakyat kecil maka tampak
kuat cengkeramnya.7

6
Amin Putra, Muhammad, ​‘’Perkembangan Muatan HAM dalam Konstitusi di Indonesia’’​, ​Fiat
Justicia Jurnal Ilmu Hukum,​ Vol 9 Nomor 2. Hal 204.
7
Bambang Heri Supriyanto, “​Penegakan Mengenai HAM Menurut Hukum Positif Di Indonesia,”​ ​Jurnal
Al Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial,V​ ol 2. Nomor 3. hal. 22.
Maka dari itu, diperlukan pengaturan terhadap HAM agar batas-batas tersebut
menjadi jelas dan setiap orang tidak bisa seenaknya menjadikan HAM sebagai alasan
seseorang melakukan perbuatan yang belum tentu dapat diterima oleh masyarakat.
Banyak contoh-contoh bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia belum baik di Indonesia.
Contohnya seperti yang terjadi di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan pada awal 2019 lalu
dimana terjadi penolakan terhadap rencana Gereja Kristen Indonesia (GKI) Ampera yang
hendak mengalihfungsikan sebuah rumah disana menjadi sebuah gereja. Terdapat
pemasangan beberapa spanduk yang menyatakan penolakan tersebut.8 Bukan hanya
penolakan terhadap pembangunan gereja, tetapi sempat terjadi juga protes warga kota
Balikpapan pada bulan Juni lalu yang menuntut penghentian pembangunan masjid yang
sedang berlangsung pada waktu itu di Lapangan Kinabalu.9

Disinilah Negara berperan dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan


HAM yang masih buruk. Sejauh ini Indonesia sudah mewujudkan perannya dalam
mewujudkan pelaksanaan HAM yang baik dan benar demi menjaga dan menciptakan
kedamaian untuk seluruh rakyatnya. Seperti perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang didirikan
oleh Presiden Soeharto pada tanggal 7 Juni 1993 lewat Keputusan Presiden No. 50
Tahun 1993. Menurut Penjelasan Umum UU No. 39 Tahun 1999, posisi hukum UU
tersebut “adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang
HAM. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas HAM
dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.10 UU No. 39 Tahun 1999 secara rinci mengatur tentang:
hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan
nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak
memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas
kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam

8
​https://tirto.id/duduk-perkara-penolakan-gereja-gki-di-jagakarsa-jakarta-selatan-deoZ​,diakses pada 3
Oktober 2019, Pukul 17.37 WIB
9
https://kaltim.tribunnews.com/2019/06/24/lagi-warga-gelar-unjuk-rasa-tolak-pembangunan-masjid-di-
lapangan-kinibalu?page=2​ diakses pada 3 Oktober 2019, Pukul 21.07 WIB
10
I​ndonesia, ​Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia​, UU No. 39 Tahun 1999, LN Tahun 1999,
TLN Nomor. 156, Penjelasan Umum.
pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Semua hak itu
terumus dalam Bab III di bawah judul HAM dan Kebebasan Dasar Manusia (Pasal 9 -
Pasal 66).11
Sedangkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bertujuan untuk ​meningkatkan
perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan
nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya.12

“​Beberapa kejadian HAM tidak sebatas karena hak itu dipunyai oleh semua manusia, namun
juga pelayanan terhadap hak itu perlu dilakukan oleh semua manusia​”.13

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan oleh penulis, maka penulis tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hal berikut:
1. Bagaimana pengaturan terhadap HAM di Indonesia?
2. Bagaimana penanganan yang dilakukan oleh negara Indonesia atas terjadinya
penolakan-penolakan pembangunan rumah ibadah, dilarang beribadah, dsb?

1.3 Tujuan Makalah


Adapun tujuan dari penelitian ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui, mengkaji, dan memahami apa saja pengaturan-pengaturan
maupun lembaga yang bergerak dalam bidang HAM di Indonesia.
2. Untuk mengetahui, mengkaji dan memahami tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
negara guna melindungi hak-hak setiap warga negara Indonesia untuk beribadah.

11
​Anis, Ibrahim. Telaah Yuridis Perkembangan Hukum Positif tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia. Lumajang: Jurnal Hukum Argumentum. 2010. Vol. 9, No. 2. hal. 6.
12
Indonesia,​Keputusan Presiden tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia​, Kepres No. 50 Tahun
1993, Ps. 4.
13
Kurniawan Kunto Yuliarso dan Nunung Prajarto, “​Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju
Democratic Governances”​ , ​Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik V
​ ol. 8, No. 3, 2005.
1.4​ ​Manfaat Penulisan
Hasil dari penelitian ilmiah ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan
tambahan informasi, wawasan, maupun bahan pustaka bagi pembaca dalam bidang
hak asasi manusia.
2. Manfaat Praktis
Penulis mengharapkan hasil dari penelitian ini bermanfaat dan memberikan tambahan
informasi maupun wawasan bagi pembaca, masyarakat umum, maupun para praktisi
hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Negara

Negara mempunyai banyak perumusan maupun definisi “​​Lo Stato” ​yang diberikan oleh
negarawan, di antaranya sebagai berikut :

1. Prof. R. Djokosoetono, SH

“Negara ialah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia-manusia yang berada
di bawah suatu pemerintahan yang sama”

2. Prof. G. Pringgodigdo

“Negara ialah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibanwaan yang harus
memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu, yaitu harus ada pemerintahan yang
berdaulat, wilayah tertentu dan rakyat yang hidup dengan teratur sehingga merupakan
suatu ​nation​ (bangsa).”14

3. Roger H.Soltau

“Negara adalah alat ​agency a​ tau wewenang yang mengatur atau mengendalikan
persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.”

4. Max Weber

“Negara adalah sesuatu yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan


fisik secara sah dalam sesuatu wilayah”.15

14
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Christine S. T. Kansil, S.H., M.H.,”​​Hukum Tata Negara
Republik Indonesia​”(PT Rineka Cipta,2007,Jakarta) hal. 3.
15
Moh Kusnardi, SH dan Prof. Dr. Bintan Saragih R. Saragih, MA.,”​​Ilmu Negara​”,(Gaya Media
Pratama:2015),hal.56.
5. Miriam Budiardjo

“Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah
pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan
perundang-undangan melalui kekuasaan yang sah” 16

2.2 Sifat Hakekat Negara

Menurut Prof. Miriam Budiardjo, sifat hakekat negara sebagai berikut:

1. Sifat Memaksa

Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan dengan demikian penerbitan dalam


masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dapat dicegah, maka dengan memiliki sifat
memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara
legal, aturan yang dikeluarkan negara lebih kuat dari yang dikeluarkan oleh
organisasi.

2. Sifat Monopoli

Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat.


Dalam rangka ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau
aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan oleh karena dianggap
bertentangan dengan tujuan masyarakat.

3. Sifat Mencakup Semuanya

Semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.


Keadaan tersebut diperlukan karena apabila seseorang dibiarkan berada di luar ruang
lingkup aktivitas negara, maka usaha negara ke arah tercapainya masyarakat yang di
cita-citakan akan gagal.

16
Moh Kusnardi, SH dan Prof. Dr. Bintan Saragih R. Saragih, MA.,”​Ilmu Negara​”,(Gaya Media
Pratama:2015),hal.57.
Berkenaan dengan “​rule of law”​ , A.V. Dicey dalam bukunya ​The Law of the
​ engemukakan bahwa paham “​rule of law​” itu memuat tiga unsur yaitu:
Constitution m

1. Supremacy of law​;
2. Equality before the law;
3. Konstitusi yang bersandarka hak-hak asasi

Hukum ini dianggap baik karena ​supremacy of law mengandung arti kekuasaan tertinggi dari
hukum, bagi rakyat maupun yang memerintah, keduanya tunduk kepada hukum. Adapun
kekuasaan yang berdaulat ialah ​equality before the law yang bersamaan kedudukan terhadap
hukum.17

2.3 Tujuan Negara

Mengenai tujuan negara sendiri terdapat berbagai ajaran, antara lain adalah:

a. Ajaran Plato

“Negara bertujuan untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan


(individu) dan sebagai makhluk sosial.”

b. Ajaran Negara Kekuasaan

“Machiavelli mengatakan bahwa Negara bertujuan untuk memperluas kekuasaan


semata-mata dan karena itu disebut negara kekuasaan. Untuk mencapai kejayaan
negara, maka rakyat harus rela berkorban, ini berarti bahwa kepentingan
orang-perseorangan diletakkan di bawah kepentingan bangsa dan negara.”

c. Ajaran Teokratis (Kedaulatan Tuhan)

“Tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan yang aman dan
tentram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan.”

d. Negara kesejahteraan (​ welfare state = sosial service state ​)

17
​Ibid​.,hal. 14.
“Tujuan Negara ini ialah mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam hal ini negara
menjadi alat belaka yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama,
kemakmuran, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara itu.”

Tujuan negara Indonesia sendiri terletak dalam pembukaan UUD 1945 yang ditegaskan
mengenai Republik Indonesia sebagai berikut:

“Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut


melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial” untuk mewujudkan tata masyarakat yang adil dan makmur secara materiil
dan spiritual berdasarkan Pancasila.18”

Berdasarkan pernyataan di atas, menurut Prof. Moh Yamin tujuan negara ada dua macam
yaitu:

1. Tujuan Nasional sebagai tujuan negara RI


- Kebahagiaan dalam negara
- Kemajuan kesejahteraan umum
- Kecerdasan kehidupan negara.
2. Tujuan Internasional yang merupakan pelaksanaan ketertiban dunia berdasarkan:
- Kemerdekaan.
- Perdamaian.
- Keadilan Sosial.

2.4 Pengertian dan Macam Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi ini menjadi dasar hak dan
kewajiban-kewajiban yang lain.19

Hak asasi manusia dapat dibedakan menjadi :

1. Hak Asasi atas pribadi “​personal rights”​ meliputi kebebasan menyatakan pendapat,
kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya.

18
​Ibid​.,hal.20.
19
​Ibid​.,hal.223.
2. Hak asasi ekonomi “​property rights”​ , yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan
menjualnya serta memanfaatkannya.
3. Hak asasi manusia untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan atau biasa disebut “​rights of legal equality”​ .
4. Hak asasi politik “​political rights”​ , yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan,
hak pilih, hak mendirikan partai politik, dan sebagainya.
5. Hak asasi sosial dan kebudayaan atau “​social and culture rights”​ misalnya hak untuk
memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.
6. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau
“​procedural rights”​ , misalnya peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan,
peradilan, dan sebagainya.20

Menjadi kewajiban dari Pemerintah atau negara hukum untuk mengatur pelaksanaan
HAM yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur pembatasan-pembatasan demi
kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Bahkan demi penghormatan akan
perlindungan HAM, maka negara hanyalah bertugas untuk menjaga ketertiban masyarakat.
Dengan menghormati HAM, maka setiap orang akan menggunakan haknya dan dengan
sendirinya setiap orang akan berjuang untuk mencapai kemakmuran. Di dalam suatu negara
hukum yang dinamis, negara ikut aktif dalam usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Akan tetapi HAM tidak berarti bersifat mutlak tanpa batas, karena batas HAM seseorang
adalah HAM yang melekat pada orang lain. Jadi disamping hak asasi, adapula kewajiban
yang dalam hidup bermasyarakat seharusnya mendapat perhatian juga dalam pelaksanannya.
21

2.5 Sejarah Hak Asasi Manusia

Konsep hak asasi manusia yang modern dimulai sejak abad ke-17 dan ke-18, di mana
terdapat ketimpangan sosial antara kaum mayoritas sebagai lapisan atas yang memiliki hak
atas kaum minoritas sebagai lapisan bawah yang diperintah. Kemudian dibuat ​Magna Charta
pada tahun 1215 di Inggris. ​Magna Charta ​menyatakan bahwa raja yang tadinya memiliki

20
​Ibid​.,hal.224.
21
Hidayat, Eko, ​Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Indonesia, hal 81.
https://media.neliti.com/media/publications/56534-ID-none.pdf diakses pada 17 November 2019, pukul 15.26
WIB.
kekuasaan absolut menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dimintai
pertanggungjawabannya di muka hukum. Setelah ​Magna Charta ​kemudian diikuti oleh
lahirnya ​Bill of Rights p​ ada tahun 1689 di Inggris. ​Bill of Rights ​merupakan hasil perjuangan
Parlemen melawan pemerintahan raja-raja wangsa Stuart yang sewenang-wenang pada abad
ke-17.22 Dalam analisis Marxis, yang melembagakan ​Bill of Rights adalah revolusi borjuis
yang hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang di atas monarki.23 Unsur
“hak asasi” dari ​Bill of Rights tampak sedikit dan berat sebelah karena menguntungkan kelas
warga negara tertentu, namun seluruh konteks instrumen ini adalah sangat penting karena ia
mencoba menggantikan tindakan yang tidak diduga-duga.24

Pada tahun 1791, Amerika Serikat mengadopsi ​Bill of Rights yang memuat daftar
hak-hak individu yang dijaminnya. Hal ini terjadi melalui sejumlah amandemen terhadap
konstitusi. Di antara amandemen-amandemen yang terkenal adalah Amandemen Pertama
yang melindungi kebebasan beragama, kebebasan pers, kebebasan menyatakan pendapat, dan
hak berserikat; Amandemen Keempat, yang melindungi individu terhadap penggeledahan dan
penangkapan tidak beralasan; dan Amandemen Kelima, yang menetapkan memberatkan diri
sendiri dan hak atas proses hukum yang benar.25

Meskipun asal usul hukum hak asasi manusia dapat ditelusuri hingga pada
konstitusionalisme revolusioner abad ke-17 dan ke-18, barulah pada akhir Perang Dunia II,
masyarakat internasional mulai menaruh minat pada promosi dan proteksi terhadap hak-hak
semacam itu lewat hukum internasional. Pada waktu itu, hukum internasional hanya
merupakan hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara. Individu sebagai warga
negara tunduk pada kewenangan pemerintah sepenuhnya dan negara-negara lain tidak
mempunyai hak yang sah untuk mengintervensi guna melindungi mereka seandainya mereka
diperlakukan semena-mena.26

22
​Davidson, Scott. ​Hak Asasi Manusia: Sejarah Teori Dan Praktek Dalam Pergaulan Internasional​.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994, hal. 2
23
​Ibid. h​ al​. 3​
24
​Ibid. hal. 3
25
​Davidson, Scott. ​Hak Asasi Manusia​. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994,​ h​ al. 5
26
​Ibid. h​ al. 10
Kendati kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam hukum kemanusiaan dan
perlindungan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya selama abad 19 dan paruh pertama
abad ke-20, barulah setelah Perang Dunia II hukum hak asasi manusia berkembang dengan
jelas. Sejak terungkapnya kekejaman yang dilakukan oleh NAZI pada Perang Dunia II, serta
piagam PBB, sebagai kesepakatan masyarakat internasional, tidak secara rinci menyebutkan
hak-hak yang dilindungi, maka masyarakat internasional perlu adanya Deklarasi yang
menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia yang bersifat universal. Berdasarkan Pasal 68
Piagam PBB, ​Economic and Social Council (​ ECOSOC) memiliki kewajiban untuk
membentuk komisi dalam bidang ekonomi dan sosial serta mendukung masalah hak asasi
manusia.27 Maka itu dibentuklah ​United Nations Commissions on Human Rights ​(UNCHR),
pada 1947, yang dilanjutkan dengan pertemuan pertama UNCHR. Yang akhirnya pada 10
November 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal (DUHAM).

Sementara di Indonesia, HAM yang terkandung dalam UUD 1945 lahir sebagai
konsensus dari proses permufakatan yang berlangsung secara damai. Keberadaan HAM
dalam rancangan UUD terjadi semacam interaksi dialogis antara Soekarno dan Soepomo di
satu pihak dengan Yamin dan Hatta di pihak yang lain.28 Pihak pertama menolak
memasukkan HAM, terutama yang individual, ke dalam UUD karena menurut mereka
Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan, sedangkan pihak kedua menghendaki
agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.29 Menurut Soedjono
Sumobroto dan Marwoto, UUD 1945 mengangkat fenomena HAM yang hidup di kalangan
masyarakat.30 Atas dasar itu HAM yang tersirat di dalam UUD 1945 bersumber pada falsafah
dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Penegakan HAM di Indonesia sejalan
dengan implementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.31
Dengan kata lain, Pancasila merupakan nilai-nilai HAM yang hidup dalam kepribadian
bangsa.

27
Isi Pasal 68 Piagam PBB: "​shall set up commissions in economic and social fields and for the
promotion of human rights"​ .
28
​El-Muhtaj, Majda. ​Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 Sampai
Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002.​ Rawamangun, Jakarta: Kencana, 2015, Hal. 63
29
​Ibid. h​ al. 63
30
Ibid. hal. 88
31
Ibid. h​ al. 88
Meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
namun tidak berarti kondisi sosial-politik Indonesia semakin kondusif. Pasca kekalahan
Jepang tanpa syarat atas sekutu, memberikan implikasi politik bagi Indonesia. Belanda
dengan segala caranya berupaya untuk menjajah kembali politik kolonialismenya atas
Indonesia. Peperangan bersenjata muncul kembali di berbagai kota akibat Belanda secara
sepihak menduduki beberapa tempat untuk mendirikan kembali pemerintahan Belanda.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya turun tangan dan mendesak agar diselesaikan
melalui jalan damai, yakni konferensi antara Indonesia dan Belanda dengan melibatkan pihak
ketiga di Den Haag yang dikenal dengan nama Konferensi Meja Bundar.32 Akhirnya pada 27
Desember 1949 disahkannya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 oleh Ratu Belanda,
Ratu Juliana. Menariknya, Konstitusi RIS memberikan penekanan yang signifikan tentang
HAM. Penekanan dan jaminan Konstitusi RIS atas HAM secara historis, sangat dipengaruhi
oleh keberadaan ​Universal Declaration of Human Rights (UDHR/DUHAM) yang
dirumuskan oleh PBB pada 10 Desember 1948. Dalam konteks negara-bangsa, maka
diseminasi HAM versi PBB pada waktu itu mempengaruhi konstitusi negara-negara di dunia,
termasuk Konstitusi RIS 1949.33

17 Agustus 1950 adalah merupakan momentum yang menandakan sebuah era baru
bagi iklim ketatanegaraan Indonesia.34 ​Bentuk negara federal di Indonesia menciptakan
disharmoni di kalangan masyarakat. Bahkan tidak jarang era pemerintahan federal Indonesia
telah menciptakan revolusi fisik di beberapa wilayah Indonesia. Pada saat itu, Konstitusi RIS
berubah menjadi UUD Sementara (UUDS) 1950 yang menjadikan Indonesia kembali
menjadi Negara Kesatuan Indonesia. Menurut Soepomo, setidaknya terdapat tiga perbedaan
mendasar Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasannya tentang HAM,
yakni pertama hak dasar mengenai kebebasan beragama, keinsyafan batin, dan sebagainya,
kedua perihal hak berdemonstrasi dan hak mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada
Konstitusi RIS, dan ketiga dasar perekonomian sebagaimana dimuat pada UUD 1945,
diadopsi ke dalam UUDS 1950.35 Pencantuman hak-hak asasi manusia sebagai pribadi,

32
​El-Muhtaj, Majda. ​Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia.​ Rawamangun, Jakarta:
Kencana, 2015, Hal. 66
33
​Ibid. h​ al. 93
34
​Ibid.​ Hal. 69
35
​El-Muhtaj, Majda. ​Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia​. Rawamangun, Jakarta:
Kencana, 2015, Hal. 100
keluarga, warga negara, dan kewajiban asasi baik oleh pribadi, warga negara maupun negara
dalam UUDS 1950, dinilai sangat sistematis.36 Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal
perubahan atas Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan
terbaru dalam jaminan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB Tahun
1948 dan Konstitusi RIS 1949.37

Berdasarkan hasil Pemilu 1955, sebenarnya Konstituante (Sidang Pembuat


Undang-Undang Dasar) diberikan kewenangan konstitusional untuk menyusun sebuah UUD
yang tepat sebagaimana diamanatkan dalam Bab V Pasal 134 UUDS 1950.38 perdebatan di
tubuh Konstituante menimbulkan reaksi tersendiri di masyarakat dan pemerintah. Ditambah
suasana sosial-politik dan keamanan Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Maka. muncul desakan di luar Konstituante agar Majelis Konstituante menghentikan segala
pembahasan dan menyatakan kembali kepada UUD 1945. Munculnya ide tersebut mengingat
secara formal, UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan liberal, maka agar diperoleh
kembali sistem pemerintahan dalam bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, maka UUD
1945 menjadi pilihan yang terbaik.39 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang menyatakan pertama pembubaran Konstituante; kedua memberlakukan kembali
UUD 1945, dan ketiga penarikan kembali UUDS 1950 dan dalam waktu
sesingkat-singkatnya mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945.40

Materi muatan HAM dalam UUD 1945 tidak mengalami perubahan apapun. Meski
diakui materi muatan HAM dalam UUD 1945 sangat sedikit, maun kehendak Dekrit
mengakibatkan bahwa secara serta merta apa yang tertuang dalam UUD 1945 pada saat
pertama kali berlaku sejak Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi sepenuhnya berlaku kembali
sejak 5 Juli 1959.41 Sisi fleksibilitas UUD 1945 mengakibatkan fleksibel pula arah dan
penegakan HAM di Indonesia. Akibatnya muatan HAM di dalam UUD 1945, menurut
Mahfud MD, sangat tergantung dari konfigurasi politik tertentu.42 jika konfigurasi politik

36
​Ibid.​ hal. 101
37
​Ibid.​ hal. 101
38
​Ibid.​ hal. 72
39
El-Muhtaj, Majda. ​Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia.​ Rawamangun, Jakarta:
Kencana, 2015, Hal. 73
40
​Ibid.​ hal. 75
41
​Ibid. h​ al. 103
42
​Ibid.​ hal. 103
demokratis, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi yang relatif proporsional,
tetapi jika konfigurasi politik berada di bawah otoritarian, maka HAM pun akan mendapat
perlakuan yang buruk.

Pasca-kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, salah satu yang menjadi amanat reformasi
adalah Perubahan UUD 1945. UUD 1945 dipandang telah menciptakan dirinya multitafsir.
Penafsiran sepihak atas UUD 1945 dianggap memberikan iklim negatif bagi arah
pembangunan Indonesia. Kerap kali penguasa menjadikan UUD 1945 sebagai “tameng”
untuk mempertahankan kekuasaan mereka.43 perubahan UUD 1945 sepenuhnya berada dalam
kewenangan MPR sebagaimana digariskan dalam Pasal 37 UUD 1945. Pada tanggal 19
Oktober 1999, melalui Tap MPR No. IX/MPR/1999, Majelis menugaskan Panitia Ad Hoc I
Badan Pekerja MPR menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945 untuk disahkan pada
Sidang Tahunan MPR tanggal 18 Agustus 2000.44

Sidang perubahan UUD 1945 terjadi sebanyak 4 kali. Perubahan I terjadi pada 19
Oktober 1999 dalam Sidang Umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 Oktober 1999.
Perubahan II ditetapkan pada tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000. Perubahan II
ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR tanggal 1 sampai 9 November 2001, dan Perubahan
IV ditetapkan tanggal 1 sampai dengan 11 Agustus 2002.45 Salah satu poin penting dari
Perubahan Kedua UUD 1945 adalah hak-hak asasi manusia (HAM). Berbeda dengan UUD
1945, Perubahan Kedua UUD 1945 memasukkan perihal HAM menjadi satu bab tersendiri,
yakni Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia dengan 10 pasal.46 menurut Ni’matul Huda,
penambahan rumusan HAM serta jaminan penghormatan, perlindungan, pelaksanaan, dan
pemajuannya ke dalam UUD 1945 bukan semata-mata karena kehendak isu global,
melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat negara hukum. HAM, menurutnya
sering dijadikan salah satu indikator untuk mengukur tingkat peradaban, demokrasi, dan
kemajuan suatu bangsa.47 Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 jauh melebihi

43
​El-Muhtaj, Majda. ​Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia​. Rawamangun, Jakarta:
Kencana, 2015, Hal. 73
44
​Ibid.​ hal. 79
45
​Ibid.​ hal. 80-81
46
Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H,28I, dan 28J
47
​El-Muhtaj, Majda. ​Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia​. Rawamangun, Jakarta:
Kencana, 2015, Hal. 104
ketentuan yang pernah diatur dalam UUD 1945. Selain karena terdapatnya satu bab
tersendiri, hal lain adalah berisikan pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan HAM, baik
secara pribadi maupun sebagai warga negara Indonesia seperti Pasal 27 ayat (1)48, dan (2)49,
dan Pasal 2850. Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 dapat dikatakan sebagai
bentuk komitmen jaminan konstitusi atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia.51

2.6 Kasus
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatatkan
bahwa selama rentang 2014-2018 telah terjadi sedikitnya ada sekitar 488 peristiwa
pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan yang dinilai tidak sesuai dengan janji
Presiden Jokowi & Jusuf Kalla soal pemenuhan hak asasi manusia karena penegakkan HAM
termasuk dalam Nawa Cita atau 9 agenda priotias pada masa pemerintahan Jokowi – JK.52

Bukan hanya itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) se-Indonesia melaporkan. Bahwa
s​epanjang 2018 lembaga tersebut telah menangani 15 kasus terkait pelanggaran hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan.53 9 diantaranya terjadi di Provinsi Jawa Barat. Siti
Rakhma Mary Herwati selaku Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI mengatakan
jika dilihat dari bentuk pelanggaran yang terjadi paling banyak adalah berupa larangan
beribadah dan menggunakan tempat ibadah, yakni sebanyak 9 (sembilan) kasus. Pelanggaran
lainnya adalah seperti ujaran kebencian, berkumpul keagamaan, larangan ekspresi keagamaan
dan larangan pemakaman.

Dimana sebelumnya pada tahun 2017 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (Komnas HAM RI) menyampaikan hasil laporan khusus Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (KBB) dari periode Januari-Maret 2017. Hasilnya terdapat 11 kasus baru

48
​Berbunyi, “​Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
49
Berbunyi. “​Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.​”
50
​Berbunyi, “​Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, menge-luarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.​”
51
​Ibid.​ hal. 105
52
https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/5629/NAWACITA%3A+9+Program+Perubahan+Un
tuk+Indonesia/0/infografis​ diakses pada 28 Oktober 2019, Pukul 01.43 WIB
53
https://nasional.kompas.com/read/2019/01/08/18584911/ada-15-kasus-pelanggaran-hak-beragama-d
i-2018-terbanyak-di-jabar?page=all​ diakses pada 27 Oktober 2019, Pukul 18.53 WIB
terkait KBB. M. Imdadun Rahmat selaku komisioner Komnas HAM mengatakan kasus KBB
tidak mengalami penurunan dan malah meningkat. Ia mengatakan bahwa memang Jawa Barat
masih menjadi daerah paling tinggi akan tingkat pelanggaran kasus KBB.

Berikut adalah beberapa kasus pelanggaran HAM kebebasan beribadah yang terjadi:
1. Perusakan Tempat Ibadah di Temanggung pada 2011
Ada tiga gereja di Temanggung Jawa Tengah yang rusak karena menjadi sasaran
amuk massa dengan disusul kerusuhan dalam persidangan kasus penistaan agama dengan
terdakwa Antonius Richmond Bawengan. Gereja Bethel Indonesia adalah sasaran pertama
perusakan. Gereja tersebut berjarak sekitar 2 km dari Pengadilan Negeri tempat Antonius
disidang. Selain di Gereja Bethel, pembakaran juga terjadi di Gereja Pantekosta serta Gereja
Katolik Santo Petrus dan Paulus. Karena kondisi yang sangat mencekam, banyak kegiatan
kerja yang dihentikan aktivitasnya dikarenakan keadaan memang sedang kacau balau.

2. Demo Penolakan Pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi Pada Tahun 2017

Massa melakukan penolakan terhadap pembangunan Gereja Santa Clara di kota


Bekasi. Mereka menolak karena Bekasi Utara dihuni mayoritas umat Muslim dan adanya
rencana pembangunan gereja terbesar se-Asia tersebut dianggap melukai perasaan umat
Islam. Bukan hanya itu, w​arga Bekasi yang mengatasnamai Majelis Silaturahmi Umat Islam
Bekasi (MSUIB) melakukan demo karena menolak pembangunan Gereja Santa Clara karena
disebut tidak memiliki izin dalam membangun. Sebenarnya, beberapa waktu lalu dilakukan
hal yang sama, dan telah diturunkan surat untuk pemberhentian membangun karena tidak
adanya izin. Namun, pengurus gereja tersebut tetap bersikukuh untuk membangun gereja
tersebut.

3. Penyegelan Masjid JAI AL-Hidayah oleh Pemkot Depok pada Tahun 2017

Masjid Al-Hidayah adalah masjid yang dimiliki oleh Ahmadiyah dimana telah disegel
oleh Pemerintah Kota Depok dan pemerintah membatasi adanya kegiatan ibadah dalam
masjid tersebut. Tentu saja hal tersebut sangat merugikan bagi jemaah tersebut karena mereka
tidak bisa beribadah. Jemaah tersebut meminta Pemerintah Kota Depok untuk mencabut segel
terhadap rumah ibadahnya, namun Pemerintah Kota Depok tidak serta merta membuka segel
begitu saja, dikarenakan penyegelan tersebut didasari oleh aliran yang menyesatkan yang
disebarkan oleh Jemaah tersebut. Bahkan ​Ketua KOMNAS HAM Imdadun Rahmat
menegaskan bahwa pihaknya telah mengirimkan surat teguran kepada Wali Kota Depok
terkait kasus ini namun tidak ada respon dari Pemkot Depok.

4. Intimidasi yang Dialami oleh Jemaah Gereja Kristen Protestan di Maluku Tenggara
Raya pada Tahun 2017

Hal ini diawali dengan pembangunan rumah ibadah yang diintimidasi oleh aparat desa
itu sendiri dimana pembangunan tersebut tidak didukung. Jemaah gereja pun melaporkan hak
tersebut guna mendapat perlindungan. Akan tetapi oknum aparat kepolisian malah
mengabaikan pengaduan tersebut.

5. Perusakan 3 Vihara dan 8 Kelenteng di Tanjungbalai, Sumut pada Tahun 2016

Ratusan warga bergerak membakar 3 Vihara dan 5 Kelenteng di Medan. Aksi


pembakaran tersebut dilakukan warga karena tersulut emosi yang disebabkan salah seorang
warga yang bernama Meliana seorang Tionghoa meminta untuk mengecilkan volume masjid
saat adzan. Warga yang tersulut emosinya bergerak dan membakar tempat peribadatan
tersebut.

6. Kasus Penggembokan GKI Taman Yasmin

Gereja kristen indonesia atau disingkat GKI di taman yasmin telah mengurus izin
mendirikan bangunan atau IMN pada tahun 2005. Pada tahun 2008 izin mendirikan
bangkunan GKI Yasmin dibekukan, Pihak GKI Taman Yasmin membawa pembekuan IMB
ini ke ranah hukum, pada tahun 2010 telah menemukan titik terang yaitu Putusan MA telah
memberikan kembali IMB GKI taman Yasmin. Pada tanggal 12 maret 2012 GKI taman
yasmin berkoordinasi dengan pihak polisi setempat untuk mengamankan gereja dari
penggembokan yang ingin dilakukan oleh massa, polisi telah memberikan janjinya bahwa
tidak ada yang boleh untuk menggembok gereja tersebut tetapi pada dini hari tanggal 13
maret 2011 polisi sendirilah yang menggembok gereja tersebut itu menuai pertanyaan dari
jemaat gereja, pada pagi hari massa yang menolak pembangunan gereja datang untuk protes
depan gereja yang dianggap tidak mempunyai IMB maka karena adanya penggembokan dan
protes dari massa yang datang jemaat gereja melakukan ibadah di salah satu rumah dari
jemaat gereja.

7. Kasus Intimidasi Penganut Aliran Ahmadiyah Di Lombok Timur

Dari tahun 2016 telah terjadi intimidasi yang dilakukan oleh warga sekitar terhadap
penganut aliran ahmadiyah, pada tahun 2016 8 orang penganut aliran ahmadiyah ditangkap
oleh pihak kepolisian dan dipaksa untuk menandatangani surat bahwa mereka keluar dari
aliran ahmadiyah. Pada tahun 2017 bermula dari adanya pernikahan penganut aliran
ahmadiyah yang kemudian pada malam hari setelah pernikahan setiap kepala keluarga yang
menganut aliran ahmadiyah diminta datang ke kantor kepala desa greneng. Dalam pertemuan
kepala keluarga ahmadiyah dengan warga dan kepala desa, mereka meminta dan menyepakati
bahwa tidak boleh ada aliran ahmadiyah, dan aliran ahmadiyah tidak lagi boleh di sebar
luaskan. Hal ini mendapat perhatian dari bupati setempat, bupati setempat menjadi penengah
dan bupati telah memberikan janjinya untuk setiap orang dapat menganut aliran keagamaan
mereka yang dipercayai. Pada tanggal 8 februari 2018 intimidasi kembali terjadi yang
awalnya ada anggota aliran ahmadiyah meninggal dan desa melarang untuk mengumumkan
meninggalnya dengan pengeras masjid, melarang untuk disholatkan di masjid sehingga harus
dilakukan di rumah salah satu warga ahmadiyah. Pada tanggal 9 februari 2018 ada 2 motor
yang berisi 4 orang melemparkan batu kerumah warga ahmadiyah yang sedang melakukan
tahlilan, warga melaporkan kejadian tersebut kepada polisi dan meminta mengamankan
rumah warga yang dipakai tahlilan sampai upacara keagamaan berlangsung dan selesai.

Pada tanggal 19 mei 2018 terjadi penyerangan terhadap jemaat ahmadiyah yang
menimbulkan 24 korban yang terdiri dari 7 Kepala keluarga.Hal ini didasari oleh kebencian
beda paham agama yang sudah lama ada. Pada tanggal 20 mei 2018 kembali terjadi
penyerangan terhadap 1 rumah dan hancur yang dimana rumah tersebut merupakan rumah
jemaat ahmadiyah. Korban dari penyerangan tersebut akhirnya dievakuasi ke kantor polisi
meminta negara untuk melindungi kebebasan beragama mereka tanpa harus takut di
intimidasi oleh penganut agama mayoritas.
Data Pengaduan kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan Tahun 2015 (Januari –
Desember) berjumlah 87 pengaduan

Bentuk-Bentuk Pelanggaran Hak atas KBB

Tabel di atas menunjukkan bahwa bentuk tindakan yang paling banyak diadukan pada
tahun ini adalah tindakan melarang, merusak atau menghalangi pendirian rumah ibadah, baik
gereja, masjid atau rumah ibadah lainnya dan tindakan melarang, menghalangi, serta
menganggu aktivitas keagamaan.54

Pelanggaran Hak atas KBB Berdasarkan Korban

54
Komnas HAM,”​Laporan Akhir Tahun Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 2015​”, diakses dari
https://www.komnasham.go.id/files/20150908-pelapor-khusus-kebebasan-beragama-$DFNW.pdf​ pada 11
November 2019. hlm.6.
Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat lima kelompok korban yang paling banyak
mengalami tindak pelanggaran hak atas KBB, yaitu: Jemaah Ahmadiyah Indonesia (17
kasus), jemaah masjid atau mushalla (16 kasus), jemaah gereja (15 kasus), individu dan
kelompok warga masyarakat (masing-​masing 10 kasus).55

Pelanggaran Hak atas KBB Berdasarkan Pelaku

Tabel tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten/ Kota merupakan pelaku yang
paling banyak melakukan pelanggaran Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
sebanyak 36 aduan.56

Pelanggaran Hak dan KBB Berdasarkan Sebaran Wilayah Peristiwa

55
​Ibid. ​hal​. ​7
56
​Ibid. ​hal​. ​8
Tabel di atas menunjukan bahwa wilayah yang paling banyak terjadi pelanggaran Hak atas
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan adalah wilayah Jawa Barat yaitu sebanyak 20
peristiwa yang menunjukkan bahwa wilayah ini merupakan wilayah rawan dalam hal jaminan
atas hak atas KBB maupun dalam hubungan antar agama.57

Data Pengaduan kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan


Tahun 2016 (Januari – Desember) berjumlah 97 pengaduan

Dari jumlah tersebut, Jawa Barat menjadi daerah denganjumlah pengaduan tertinggi (21
pengaduan), diikuti DKI Jakarta (19 pengaduan). Posisi kedua daerah ini sama dengan
temuan pada 2015. Temuan mengejutkan adalah Sulawesi Utara menjadi daerah dengan
jumlah pengaduan tertinggi ketiga (11 pengaduan), padahal tahun 2015 hanya ada 1
pengaduan dari daerah ini. Hal ini nampaknya tidaklepas dari ada beberapa permasalahan
penolakan masjid yang belum terselesaikan di daerah ini.

Pengaduan KBB Berdasarkan Kategori Daerah

57
​Ibid. ​hal​. ​9
Dari jumlah tersebut, ditemukan bahwa permasalahan pembatasan/pelarangan dan perusakan
tempat ibadah menjadi kasus yang paling banyak diadukan pada tahun 2016 (44 pengaduan),
diikuti permasalahan pembatasan dan pelarangan ibadah atau kegiatan keagamaan (19
pengaduan). Posisi ini sama dengan temuan tahun 2015 dimana permasalahan tempat ibadah
37 pengaduan dan pelarangan kegiatan keagamaan sebanyak 24 pengaduan. Terkait isu
pendirian tempat ibadah, terjadi peningkatan pengaduan, namun pada isu pelarangan kegiatan
keagamaan terjadi penurunan.58

Pengaduan KBB Berdasarkan Kategori Isu

Permasalahan yang juga banyak diadukan pada tahun 2016 ini adalah ancaman atau
intimidasi terhadap kelompok keagamaan (12 pengaduan). Ini menandakan bahwa tindakan
ancaman atau intimidasi dengan mengatasnamakan agama kepada kelompok keagamaan pada
tahun ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 7 pengaduan. Bila diteliti dari
aspek korban tindak pelanggaran hak atas KBB, dari data pengaduan tersebut diperoleh peta
korban sebagai berikut:59

58
Komnas HAM,​”Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2016”​ ,diakses dari
https://www.komnasham.go.id/files/20170324-laporan-tahunan-kebebasan-beragama-%24IUKH.pdf​ pada 11
November 2019. Hlm 15.
59
​Ibid. ​hal​. ​16
Pelanggaran Hak atas KBB Berdasarkan Korban

Dari tabel di atas tampak bahwa korban terbanyak dari kasus-kasus yang diadukan ke
Komnas HAM pada tahun 2016 ini adalah tempat ibadah umat muslim, yakni masjiddan
mushalla yakni 24 pengaduan. Hal ini tidak lepas darimasih belum terselesaikannya
permasalahan pendirian beberapa masjid dan mushalla di Indonesia bagian Tengah dan
Timur, antara lain yang di Denpasar Bali, Bitung dan Manado (Sulawesi Utara) dan
Manokwari. Namun demikian, selain di Bagian Timur Indonesia, termasuk di dalam data ini
adalah beberapa pembatasan dan pelarangan pembangunan masjid milik warga
Muhammadiyah di Bireun Aceh dan beberapa pelarangan masjid Ahmadiyah di Jawa Barat.60

Pelanggaran Hak atas KBB Berdasarkan Pelaku

60
​Ibid. ​hal​. ​17
Aktor berikutnya yang banyak diadukan adalah Organisasi (13 pengaduan), yakni kategori
pelaku yang memiliki nama atau identitas organisasi baik berbadan hukum maupun tidak.
Masuk dalam kategori ini terdiri dari: MUI(5 pengaduan), FJI DIY (2 pengaduan), FGGJ,
GMIM, DOBRAK, LPI, AGIB dan GMAHK Jemaat Zen Li (masing- masing 1 pengaduan).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengaturan Terhadap HAM di Indonesia
Sejak Negara Indonesia diproklamirkan menjadi negara merdeka, para pendiri
Republik Indonesia sepakat bahwa negara berlandaskan pada hukum yang diartikan sebagai
konstitusi dan hukum tertulis yang mencerminkan penghormatan kepada HAM.
Undang-Undang Dasar ialah piagam tertulis yang sengaja diadakan dan memuat segala apa
yang dianggap oleh pembuatnya menjadi asas fundamental dari negara tersebut. UUD tahun
1945 menegaskan bahwa sistem pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechstaat)​, tidak berdasar atas kekuasaan belaka ​(maachstaat).61

Selama rentangan berdirinya Bangsa dan Negara Indonesia, UUD 1945 telah lebih
dulu dirumuskan dari Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB yang
muncul pada tahun 1948. Sehingga hal ini merupakan fakta pada dunia bahwa Bangsa
Indonesia sebelum tercapainya pernyataan HAM sedunia oleh PBB tahun 1948, telah
mengangkat dan melindungi hak-hak dalam kehidupan bernegara yang tertuang dalam UUD
1945. Deklarasi Bangsa Indonesia pada prinsipnya termuat dalam naskah Pembukaan UUD

61
Handayani, Yeni, ​Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dan Konstitusi
Amerika Serikat​, 2014, hal.1.
https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PENGATURAN%20HAM%20DALAM%20KONSTITUSI%20
%20%20INDONESIA%20DAN%20AS.pdf​ diakses pada 17 November 2019, pukul 15.53 WIB.
1945, dan Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber normatif bagi hukum positif Indonesia
terutama penjabaran dalam pasal-pasal UUD 1945.62

Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea kesatu dinyatakan bahwa “kemerdekaan ialah
hak segala bangsa”. Dalam pernyataan tersebut terkandung pengakuan secara yuridis hak
asasi manusia tentang kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 PBB DUHAM63.
Dasar filosofi HAM tersebut bukanlah kebebasan individualis, melainkan menempatkan
manusia dalam hubungannya dengan bangsa (makhluk sosial) sehingga HAM tidak dapat
dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia.

HAM di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila. Yang artinya HAM
mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila
dimaksudkan bahwa pelaksanaan HAM tersebut harus memperhatikan garis yang telah
ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan HAM
bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya melainkan harus memperhatikan
ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.64

Dasar negara kita Pancasila mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh
Tuhan yang Maha Esa mengandung dua aspek, yaitu aspek individualis (pribadi) dan aspek
sosialis (bermasyarakat). Oleh karena itu kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi
orang lain. Ini berarti setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak
asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun,
terutama Negara dan Pemerintah.65 Dengan demikian negara dan pemerintah bertanggung
jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak setiap warga negara dan
penduduknya tanpa diskriminasi.

62
​Ibid, hal. 2.
63
Berbunyi, ‘’Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan’’.
64
​Handayani, Yeni, ‘’​Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dan Konstitusi
Amerika Serikat’’​, 2014, hal.4.
https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PENGATURAN%20HAM%20DALAM%20KONSTITUSI%20
%20%20INDONESIA%20DAN%20AS.pdf​ diakses pada 17 November 2019, pukul 16.00 WIB.
65
​Hidayat, Eko, ​Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Indonesia,​ hal 81.
https://media.neliti.com/media/publications/56534-ID-none.pdf​ diakses pada 17 November 2019, pukul 16.18
WIB.
Hal yang diatur dalam Sila Pertama Pancasila yaitu ‘’Ketuhanan yang Maha Esa’’,
menjiwai pasal-pasal dalam batang tubuh (Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29) yang mengatur
mengenai hak atas kebebasan beragama dan beribadah, yang kemudian diatur lebih lanjut
dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa tidak berarti Indonesia merupakan negara agama sehingga mendasarkan
dirinya pada salah satu agama, tetapi agama merupakan nilai moral dan pengakuan hati
nurani rakyat akan adanya Tuhan yang Maha Esa.

Jaminan terhadap hak atas kebebasan beragama dan beribadah merupakan amanat
UUD, dan harus diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan
terhadap jaminan terhadap hak atas kebebasan beragama dan beribadah sangat penting,
terlebih lagi Indonesia merupakan negara yang mengakui beberapa agama untuk hidup dan
berkembang dalam negara RI. Banyaknya agama yang dianut oleh masyarakat menyebabkan
pemahaman dan pengaturan tentang hal tersebut merupakan keharusan, sehingga potensi
konflik dalam masyarakat dapat diminimalisir.66

3.2 Penanganan ​Negara Indonesia terhadap penolakan-penolakan terkait kebebasan


beribadah
Negara Indonesia yang terdiri dari beragam suku, ras dan agama mempunyai
keindahan tersendiri jika semuanya dapat hidup dengan rukun, tetapi permasalahan
intoleransi dalam kebebasan beribadah masih kerap terjadi di Indonesia. Beberapa kasus yang
telah dijabarkan menjadi bukti bahwa kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sikap
toleransi dalam kebebasan beribadah. Toleransi seharusnya menjadi kunci penting didalam
kehidupan bermasyarakat. Toleransi yang seharusnya ditunjukan antar umat beragama
menjadi keindahan bermasyarakat malah dihilangkan oleh beberapa pelaku yang tidak dapat
memahami perbedaan agama dalam hal kebebasan beribadah. Urusan agama memang pada
dasarnya merupakan urusan pribadi tiap individu tetapi dalam relasinya dengan kebebasan

66
Fatmawati, ​‘’Perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum
Indonesia’’, ​2011, hal. 492.
https://media.neliti.com/media/publications/109085-ID-perlindungan-hak-atas-kebebasan-beragama.pdf​ diakses
pada 17 November 2019, pukul 16.55 WIB.
beragama dan kerukunan umat beragama, negara harus berinisiatif memberikan perlindungan
hukum.67
Yusril Ihza menjelaskan bahwa berkaitan dengan Pasal 29 UUD 1945 dilihat dari
sudut teologi keagamaan, kebebasan untuk memeluk agama itu bersifat transeden (bersumber
dari Tuhan) yang memberikan kebebasan pada manusia untuk memeluk agama-agama secara
bebas tanpa paksaan dari siapa pun, selain itu Pasal 29 UUD 1945 juga mengatur dengan
tegas kebebasan memeluk agama, bukan kebebasan untuk tidak menganut agama. Konsep
hak atas kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia adalah didasarkan pada Sila
Pertama dari Pancasila “Ketuhanan YME”, yang kemudian menjiwai dan Pasal 28E ayat (1)
dan Pasal 29 UUD 1945. ​Tidak ada pemisahan antara negara dan agama karena Pancasila

merupakan dasar falsafah negara, dengan “ketuhanan YME” sebagai sila pertama​, ​yang
mengandung arti bahwa ketuhanan YME menjadi jiwa dan dasar dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara.68

Indonesia adalah Negara Hukum yang dijiwai oleh Pancasila dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga walaupun bukan merupakan negara agama
juga bukan merupakan negara sekuler, akan tetapi merupakan Negara Hukum Indonesia,
dimana terdapat hubungan yang erat antara negara dengan agama, sehingga dalam hal ajaran
agama yang memerlukan campur tangan negara, maka hal tersebut harus diatur dalam
peraturan perundang-undangan, dan ditindaklanjuti dengan berbagai kebijakan pemerintah.69
Hal lain yang harus dilakukan selain melindungi kebebasan beragama dengan perbaikan
pengaturan, adalah jika terjadi penodaan agama harus segera ditindak tegas, dan dalam hal
terjadi pelanggaran atau kejahatan, maka harus diberikan hukuman yang sesuai.70

Sehingga apa yang diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut sudah
sesuai dengan Sila Pertama “ketuhanan YME” dan Pasal 29 UUD 1945 yang melarang

67
Christianto, Hwian, ​‘’Arti Penting UU No. 1/PNPS/196 Bagi Kebebasan Beragama’’, 2013 hal. 4.
https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/viewFile/115/99 diakses pada 17 November 2019, pukul
16.51 WIB.
68
​ Fatmawati, ​‘’Perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum
Indonesia’’, ​2011, hal. 500.
https://media.neliti.com/media/publications/109085-ID-perlindungan-hak-atas-kebebasan-beragama.pdf​ diakses
pada 17 November 2019, pukul 17.12 WIB.
69
Ibid, hal 502.
70
Ibid, hal 514.
adanya penodaan dan penyalahgunaan agama di dalam negara RI., dan juga sesuai dengan
Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua UUD yang mengatur bahwa hak beragama merupakan
non-derogable right, sehingga dalam Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 yang dilarang adalah
kebebasan untuk kegiatan yang menyebabkan agama lain dinodai dan/atau menjalankan
agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama tersebut; tetapi tidak dibatasi
kebebasan untuk memeluk atau menganut agama yang diyakininya.71

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

71
Ibid, hal 508.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai