Anda di halaman 1dari 7

PRINSIP KEADILAN DALAM PENGELOLAAN SDA

Berbicara tentang konsep keadilan sumber daya alam dalam Undang-Undang Pokok
Agraria 1960 kita tidak bisa lepas dari dasar negara kita, yakni Pancasila. Di dalam
ketentuannya, Pancasila, khususnya dalam pembicaraan kita mengenai konsep keadilan
dalam pengelolaan sumber daya alam, maka yang relevan adalah apa yang tertera dalam sila
2 dan sila 5 Pancasila, dalam sila ke 2 dan sila ke 5 dinyatakan masing-masing “kemanusiaan
yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang pertama
mengandung arti mengakui kemanusiaan manusia pribadi sebagai keutuhan dan yang kedua
mengandung arti keadilan sosial, yang merupakan pencakupan dari kemasyarakatan dan
keadilan (sociale rechtvaardigheid is een samenvatting van gemeenschap en rechtvaar
digheid).

Menurut Sonny Keraf, prinsip keadilan merupakan prinsip yang memberikan akses
yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian alam serta ikut menikmati pemanfaatan
sumberdaya alam. Sedangkan prinsip demokrasi merupakan prinsip moral politik yang
menjadi garansi bagi kebijakan yang pro-lingkungasn hidup. Oleh karena itu setiap orang
yang peduli kepada lingkungan hidup adalah orang yang demoktratis.

Mengembangkan sikap adil

1. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban;

2. Menghormati hak orang lain;

3. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan ter-
hadap orang lain;

4. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dengan atau
merugikan kepentingan umum;

Prinsip keadilan merujuk pada kebijakan pengelolaan sumberdaya alam harus


direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring dan dievaluasi secara berkelanjutan. Sedangkan
prinsip demokrasi mengacu pada kebijakan pengelolaan sumberdaya alam harus
mengakomodir kewenangan pengelolaan antar pusat dan daerah, akses informasi bagi
masyarakat, partisipasi publik, transparansi dan tidak diskriminatif. Selanjutnya prinsip
keberlanjutan merupakan prinsip yang bertujuan mengembangkan keharmonisan antara
manusia dengan perilaku kemanusiaan dan alam baik pada tingkat nasional maupun
internasional. Untuk mencapai keharmonisan ini dibutuhkan sistem politik yang efektif dan
aman.

Untuk mewujudkan keadilan yang diinginkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria


1960, kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia, negara memberikan beberapa saluran hak
yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Hak-hak yang dimaksud Undang-
Undang Pokok Agraria tersebut yang terpenting adalah hak-hak di bidang hukum tanah.
Akan tetapi kemudian terjadi permasalahan, ternyata Undang-Undang Pokok Agraria tidak
hanya memberikan peluang kepada individu, dalam arti rakyat Indonesia saja untuk
menguasai dan mengelola sumber daya alam di Indonesia. Negara juga memberikan peluang
kepada badan hukum/korporasi, bahkan kepada pihak asing asalkan ia berbentuk badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan
keadilan yang utuh terhadap sumber daya alamnya, dalam arti tidak dapat mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alamnya secara langsung. Walaupun mekanisme yang ditetapkan
oleh negara ini bertujuan memberikan kebahgiaan bagi seluruh rakyat Indonesia, namun hal
ini kurang menjamin, hal ini diperparah dengan buruknya struktur hukum di Indonesia. Tidak
heran kemudian masyarakat tak henti-hentinya melakukan tuntutan agar dilakukan reformasi
agraria.

PRINSIP PERLINDUNGAN HAM DAN PENGAKUAN ATAS KEMAJEMUKAN


HUKUM

Perlindungan hak-hak asasi manusia dan pengakuan atas kemajemukan hukum


memberi jaminan bagi pengakuan dan perlindungan pemerintah atas hak-hak masyarakat
adat/lokal serta kemajemukan sistem hukum mengenai penguasaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

prinsip-prinsip HAM yang meliputi prinsip :

 Inalienable, artinya hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dari hakekat dan
keberadaan manusia. Hak asasi manusia melekat pada hakekat manusia sebagai
mahluk ciptaan Tuhan. Ia bukan hasil pemberian dari orang lain atau pemberian dari
pemerintah.
 Universal, artinya hak asasi manusia itu ada dan berlaku bagi seluruh umat manusia
di muka bumi ini.
 Kesederajatan (equal). Prinsip kesedarajatan atau kesamaan ini menggambarkan
bahwa semua manusia tanpa memandang latar belakang, status ekonomi, sosial,
politik maupun status kulturalnya, sama hak asasinya.
 Non diskriminasi, artinya tidak ada seorang pun di dunia, karena latar belakangnya
yang berbeda, dianggap memiliki hak asasi lebih atau kurang dari yang lain, dan
karena itu boleh diperlakukan secara diskriminatif.
 Indivisibel; ini berarti hak asasi yang satu tidak bisa dipisahkan dari hak asasi yang
lain. Hak atas hidup tidak bisa dipisahkan dari hak untuk memperoleh nafkah, tidak
boleh dipisahkan dengan hak atas pekerjaan yang layak, dan tidak bisa juga
dipisahkan daari hak atas kesehatan, atas pendidikan, dan seterunya. Seperangkat hak
yang melekat pada setiap orang bersifat saling tergantung satu sama lain
(interdependensi).
 Tanggung jawab negara. Kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati,
melindungi, memajukan dan memenuhi hak asasi ada pada negara, terutama
pemerintah.
 Prapositif. Hak asasi bersifat prapositif, artinya hak asasi itu telah ada dan melekat
pada setiap orang, sebelum hak asasi itu dirumuskan (dipositifkan) dalam bentuk
undang-undang, atau hukum. Itu sebabnya, di masa sebelum ada Republik Indonesia,
misalnya, orang tidak boleh dianiaya, atau dibunuh. Keberadaan hak asasi mendahului
penetapannya di dalam undang-undang atau peraturan perundangan yang lain
(Suseno, .

 Hak Asasi dan Hukum


Yang menjadi soal adalah, ketika hak asasi manusia itu dijalankan tanpa
mengindahkan kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara, maka jika hak asasi
diekspresikan tanpa batas, ia akan melahirkan anarkhi. Padahal sebagaimana kita tahu, jika
setiap orang memiliki hak asasi, maka dengan sendirinya hak asasi seseorang selalu dalam
batas-batas nisbi hak asasi orang lain. Oleh karena itu, penerapan dan ekspresi hak asasi
manusia harus selalu mempertimbangkan hak asasi orang-orang lain. Dengan kata lain, batas
ruang ekspresi hak asasi seseorang adalah ruang nisbi ekspresi hak asasi orang lain. Titik
pertemuan antara hak asasi seseorang dengan hak asasi orang-orang lain adalah kewajiban
kita. Kewajiban terhadap apa? Kewajiban terhadap nilai-nilai, norma-norma maupun
peraturan perundangan. Oleh karena itu, hukum (tertulis maupun tak tertulis) adalah tapal
batas di mana hak asasi manusia boleh dan tidak boleh diekspresikan. Tanpa ada hukum, hak
asasi hanya akan menjadi landasan bagi terjadinya khaos. Hukum (tertulis maupun tidak
tertulis) merupakan simpul pengendali pelaksanaan hak asasi manusia.

 HAM dan Multikulturalisme


Kemajemukan bangsa dan masyarakat Indonesia setidak-tidaknya meliputi hal-hal
sebagai berikut: Secara geografis, terdiri atas 13.667 pulau baik yang dihuni maupun yang
tidak. Secara etnik, Indonesia terdapat 358 suku bangsa dan 200 sub suku bangsa. Dilihat dari
pemelukan agama, terdapat beberapa agama (yang diakui pemerintah) dan dipeluk oleh
penduduk Indonesia yakni: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1%
dan yang lain 1%. Itu pun sebetulnya kurang akurat mengingat ada pula penduduk yang
menganut agama tertentu dan diyakini kebenarannya oleh penganutnya, kendatipun tidak ada
pengakuan resmi dari pemerintah, misalnya Konghucu, yang baru-baru ini saja diakui secara
“malu-malu” sebagai agama. Secara latar belakang kultural, Indonesia dibangun atas dasar
kultur Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen dan juga barat modern (Soetapa 1991:1-2,
dikutip Zubair, 2003: 113).
Dalam konteks bangsa Indonesia yang plural dan multikultural, menumbuhkembangkan
pluralisme dan multikulturalisme harus menjadi satu keniscayaan, jika bangsa ini tidak ingin
terkoyak oleh pelanggaran hak asasi manusia. Jika pluralitas adalah realitas sosioligis-politis
yang bersifat terberi (given), maka pluralisme dan multikulturalisme adalah sesuatu yang
harus dibangun.
Mengapa demikian? Karena kemajemukan atau pluralitas itu mengandung potensi konflik
yang bisa saja menimbulkan kekerasan kelompok mayoritas atas kelompok minoritas, baik
berbasis kedaerahan, berbasis suku, ras/etnis atau golongan. Masyarakat majemuk selalu
dibangun dan terbangun dari entitas-entitas sosial berupa golongan, ras/etnis, kelompok
agama, atau pun suku bangsa. Entitas-entitas ini pada dasarnya memiliki ikatan primordial
yang kuat ke asal usul mereka sendiri-sendiri. Jika di masa lalu kita mengenal Jong Ambon,
Jong Java, Jong Sumatranenbon, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, yang melalui Soempah
Pemoeda dilebur menjadi satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa: Indonesia; maka di jaman
kita sekarang ini, ikatan-ikatan primordial itu menguat kembali dalam bentuk etno-
nasionalisme (seiring dengan otonomi daerah), kelompok-kelompok berbasis wilayah (desa
atau kampung), atau berbasis etnis dan agama. Melemahnya identitas ke-Indonesiaan yang
diikuti dengan menguatnya ikatan primordial sama artinya dengan melemahnya pluralisme di
tengah kemajemukan. Hasilnya adalah masyarakat Indonesia yang rawan konflik. Realitas
kekerasan berdalih agama seperti di Cikeusik, Banten, Mataram, Bogor, maupun di
Sampang-Madura akhir-akhir ini bisa dipahami sebagai akibat dari merosotnya pluralisme di
tengah pluralitas di satu sisi, dan melemahnya peran negara untuk menjamin penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan HAM di sisi yang lain.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu menjadi tepat
untuk menggambarkan realitas ke- Indonesiaan. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu
kemauan yang kuat, baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun di kalangan
rakyat, untuk mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu. Sekalipun terdapat
unsur-unsur yang berbeda namun kemauan untuk mempersatukan bangsa sesungguhnya
mengatasi keanekaragaman itu tanpa menghapuskannya atau mengingkarinya. Keinginan
bersama untuk tetap menghargai perbedaan dan memahaminya sebagai realitas kehidupan
sesungguhnya dapat menjadi potensi kesadaran etik pluralisme dan multikulturalisme di
Indonesia (Zubair, 2003:113). Yang menarik dari slogan Bhineka Tunggal Ika adalah
kandungan nilai yang menyiratkan tekad untuk membangun persatuan Indonesia dalam
keberagaman (unity in diversity), bukan persatuan dalam keseragaman (unity in uniformity).
Sehingga benar apa yang dikatakan Zubair, meskipun kemajemukan itu berada di Indonesia
dan bahkan bercampur di beberapa wilayah, namun sifatnya tetap “mixed but not
homogenized”(op.cit. hal.114).

PRINSIP KEBERLANJUTAN FUNGSI

prinsip keberlanjutan fungsi sumber daya alam adalah kebijakan pengelolaan


sumberdaya alam harus mampu menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya
alam, baik manfaat bagi negara maupun masyarakat secara seimbang dan proporsional serta
manfaat bagi generasi sekarang dan mendatang secara berkelanjutan.

Prinsip keberlanjutan merupakan prinsip penghematan sumberdaya alam dan


singkronisasi aspek konservasi dengan aspek pemanfaatan secara arif, sehingga
pembangunan tidak berakibat pada kerugian jangka panjang. Yang bertujuan
mengembangkan keharmonisan antara manusia dengan perilaku kemanusiaan dan alam baik
pada tingkat nasional maupun internasional. Untuk mencapai keharmonisan ini dibutuhkan
sistem politik yang efektif dan aman.

Agar tercapainya keberlanjutan fungsi SDA, perlu diterapkan hal-hal berikut ini :
1) penggunaan secara efisiensi, yakni dengan eksploitasi tidak berlebihan dan
mempertimbangkan keterbatasan jumlah dan kualitas sumber daya alam serta
penggunaan sumber daya alam tidak boros,
2) menjaga kondisi ekosistem, dengan cara memperhatikan lokasi sumber daya alam dan
pengaruhnya terhadap ekosistem setempat jika dilakukan eksploitasi,
memperhitungkan dampak negative pengolahan dan pemecahan secara bijaksana serta
menggunakan teknologi yang tidak merusak ekosistem,
3) melestarikan ekosistem, dengan cara pengolahan disertai dengan pambaruan,
melakukan kegiatan pemulihan ekosistem, dan dampak negative pengolahan turut
dikelola

Berikut ini adalah beberapa upaya pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan :

1) Menggunakan air secukupnya

2) Mengurangi penggunaan deterjen

3) Mengurangi konsumsi obat-obatan

4) Mengurangi penggunaan pestisida

5) Mengurangi penggunaan bahan-bahan yang sulit terurai


SUMBER

 http://bambud_fisip-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-64127-makalah%20umum-
hak%20asasi%20manusia%20dan%20multikulturalisme.html
 M. Yazid Fathoni. 2013. Konsep Keadilan Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan
Sumber Daya Alam Menurut Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960. Mataram:
Kajian Hukum dan Keadilan IUS. Vol. I, Nomor 1, April 2013.
 Efendi. 2012. Penerapan Prinsip Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Peraturan
Perundang-undangan Bidang Sumber Daya Alam (Kajian Dari Perspektif Politik
Pembangunan Hukum). Aceh: Kanun Jurnal Ilmu Hukum. No. 58, Th. XIV
(Desember, 2012).

Anda mungkin juga menyukai