Anda di halaman 1dari 33

KONSEP DASAR

HAK ASASI MANUSIA

Penulis Resume :

Mikeu Asriningpuri

Eka Yanuarti

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


Jakarta,  2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Negara atau bahkan setiap orang tidak berhak mencabut hak yang melekat pada
manusia tersebut.

Hakikat HAM merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia


secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan
kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan umum, begitu juga upaya dalam menghormati melindungi dan
menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara
individu pemerintah HAM harus dihormati, dilindungi dan dijaga oleh individu,
masyarakat dan negara.

Indonesia yang memiliki keanekaragaman yang paling kaya di dunia dari


segi keanekaragaman tanah, budaya dan campuran etnis, pemahaman individu
yang satu dengan individu yang lain atau kelompok masyarakat yang satu dengan
kelompok masyarakat yang lain akan berbeda satu dengan yang lainnya mengenai
apa itu HAM dan apa saja yang termasuk dalam HAM. Oleh sebab itu, diperlukan
persamaan persepsi mengenai konsep dasar HAM yang merujuk pada ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam Hukum HAM Internasional maupun Nasional.

Kekayaan keanekaragaman juga menghasilkan banyak tantangan dalam


hal pencapaian hak-hak dan kebebasan dasar. Walaupun memiliki latar belakang
yang berbeda-beda, hak-hak semua individu yang tinggal di wilayah-wilayah di
Indonesia tetap sama secara universal, konstan dan saling terkait.

Tantangan untuk melindungi hak-hak warga negara dari suatu bangsa


merupakan suatu tanggung jawab yang besar dan juga merupakan suatu
keistimewaan yang indah. Namun hal tersebut bukan lah hal yang mutlak, hak
asasi manusia dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat syarat tertentu.
Pembatasan biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan
diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan
hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam «kehidupan
bangsa», Sedangkan HAM bersifat universal adalah HAM itu dimiliki oleh setiap
orang dan sama, tidak ada yang lebih dan juga kurang. Manusia memiliki hak yang
melekat pada dirinya sebagai seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku kapan
saja, di mana saja, dan kepada siapa saja.

BAB II
KONSEP DASAR HAK ASASI MANUSIA

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata


karena ia manusia. Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia bersumber
dari teori hak kodrati (natural rights theory).

A. Pengertian Hak Asasi Manusia

Istilah HAM Pada mulanya dikenal dengan sebutan natural rights (hak-hak
alam) yaitu segala sesuatu berasal dari alam termasuk HAM. Menurut teori hak
kodrati (natural rights theory), hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia semata–mata karena ia manusia. Hak ini tidak dapat dicabut (inalienable).
Artinya hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.

Dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB) pada 1945.


Sejak saat itulah masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi
manusia sebagai tolak ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua
bangsa yang lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”.

Menurut Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, Hak Asasi Manusia


adalah hak yang melekat pada setiap umat manusia di dunia, diakui secara legal
oleh seluruh umat manusia sehingga hak tersebut tidak dapat dicabut, dihilangkan,
dikurangi oleh siapapun dalam keadaan atau dalih apapun.

Dalam mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)


dinyatakan bahwa semua anggota keluarga manusia mendapatkan pengakuan
atas martabat alamiah dan hak yang sama dan mutlak.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menurut Pasal 1 ayat (1),


Tentang Hak Asasi Manusia merumuskan: Hak Asasi Manusia dirumuskan sebagai
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
B. Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia

Dalam implementasi HAM setiap negara perlu merujuk pada prinsip-prinsip


dasar yang selalu menjadi bagian dari standar HAM. Prinsip-prinsip HAM ini
meliputi:

1. Universal

Hak asasi manusia bersifat universal karena hak asasi manusia itu melekat
pada diri manusia tanpa kecuali.

2. Tidak Dapat Dibagi

hak asasi manusia tidak dapat dibagi atau dialihkan kepada siapapun.
Sehingga tidak seorang manusiapun dapat mengambil dan mengalihkan hak asasi
seseorang kepada orang lain karena setiap orang memiliki hak yang sama.

3. Keberkaitan dan Ketergantungan

Hak asasi manusia harus diperhitungkan sebagai satu kesatuan yang


menyeluruh harus diterapkan secara adil baik terhadap individu maupun kelompok.
Karena terlanggarnya satu hak akan menyebabkan terlanggarnya hak-hak yang
lain.

4. Prinsip Akuntabilitas

Prinsip ini menyebutkan bahwa negara selaku pemangku kepentingan


harus bertanggungjawab atas ketaatan norma dan hukumnya berdasarkan pada
HAM dan tidak diperkenankan untuk bertentangan.

5. Prinsip transparansi

Adalah prinsip yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh akses


informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dan hasil-hasil yang didapat dengan memperhatikan perlindungan hak atas pribadi,
golongan dan rahasia negara.

6. Prinsip non diskriminasi


Adalah tidak seorangpun harus menderita diskriminasi, perbedaan,
berdasarkan ras, orientasi seksual, agama, jenis kelamin, usia, bahasa, pendapat
politik atasi pendapat lainnya, asal usul nasional, social atau geografis, kecatatan,
kekayaan, kelahiran atau status sosial lainnya sebagai ditetapkan oleh standar hak
asasi manusia.

7. Kesetaraan

Hal yang sangat fundamental adalah ide yang meletakkan semua orang
terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia.

C. Nilai-nilai Hak Asasi Manusia

1. Kesamaan

Nilai kesamaan dalam etika politik disebut “keadilan”. Keadilan adalah


keadaan antar manusia di mana manusia diperlakukan sama dalam situasi yang
sama. Pembukaan UUD 1945 menjamin bahwa dalam mencapai tujuan negara
haruslah antara lain berdasarkan keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan
keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur ekonomis, sosial, politik,
budaya dan bahkan ideologis.

2 Kebebasan

Inti kebabasan adalah setiap orang atau kelompok berhak mengurus dirinya
sendiri lepas dari dominasi pihak lain.

3 Kebersamaan

Pengakuan terhadap solidaritas atau kesetiakawanan ini mengharuskan


tatanan hukum untuk menunjang sikap sesama anggota masyarakat sebagai
senasib dan sepenanggungan.

D. Ruang Lingkup

Secara teoritis hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri
manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang
harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat hak asasi manusia
sendiri adalah sebagai upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh
melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan
umum.

D.1. Hak Sipil dan Politik

Generasi pertama hak asasi manusia adalah Hak sipil dan politik. Inti dari
penegakan hak-hak sipil dan politik adalah untuk melindungi individu dari
penyalahgunaan kekuasaan dari penguasa. Generasi pertama ini lebih
menempatkan hak asasi manusia dalam terminologi negatif (freedoms from)
daripada sesuatu yang positif (rights to) sehingga hak sipil dan politik sering kali
disebut sebagai hak negatif. Kepemilikan bagi generasi pertama ini adalah hak-
hak sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 -21 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia. Yang mana termasuk di dalamnya adalah:

A. bebas dari diskriminasi gender, ras, dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya,


B. hak untuk hidup,
C. hak untuk bebas dan merasa aman;
D. bebas dari perbudakan atau perbudakan tanpa disengaja,
E. bebas dari penyiksaan dan kekejaman yang tidak manusiawi;
F. penangkapan dan pengasingan yang sewenang-wenang,
G. hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil;
H. bebas dari campurtangan dalam hal-hal pribadi;
I. bebas untuk berpindah dan menetap;
J. hak untuk mendapatkan perlakuan yang layak pasca penyiksaan,
K. bebas untuk berpikir, berpendapat dan beragama;
L. kebebasan untuk beropini dan berekspresi;
M. kebebasan untuk mendapatkan ketenangan dan berserikat;
N. hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung atau melalui
pemilihan yang bebas.
O. hak untuk memiliki kekayaan hak milik.
D.2. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Generasi kedua adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berasal dari
tradisi sosialis. Generasi ini muncul dari ketidak adilan terhadap penyalahgunaan
perkembangan kapitalis dan konsepnya yang tidak kritis secara esensi mengenai
kebebasan individu yang mentolerir dan bahkan meligitimasi ekploitasi kelas
pekerja.

Sejarah memperlihatkan bahwa hal ini merupakan ”counterpoint” terhadap generasi


pertama akan hak sipil dan politik dimana mereka memandang hak asasi manusia
lebih pada terminologi yang positif (hak untuk) dari pada terminologi negatif (bebas
dari) dan mengharuskan lebih banyak intervensi negara untuk menjamin produksi
yang adil dan distribusi nilai-nilai atau kemampuan yang ada sehingga hak
ekonomi, sosial dan budaya ini sering disebut sebagai hak positif.

Ilustrasi dari beberapa hak-hak tersebut dijelaskan dalam pasal 22-27 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia seperti :

a. hak akan keamanan sosial;


b. hak untuk bekerja dan hak perlindungan terhadap ketidakadaan pekerjaan;
c. hak untuk mendapat standar hidup yang cukup untuk kesehatan dan
kesejahteraan diri sendiri dan keluarga;
d. hak untuk pendidikan; dan
e. hak untuk perlindungan terhadap hasil karya ilmiah, sastra dan seni.
D.3. Hak Solidaritas6

Generasi ketiga disebut hak-hak solidaritas. Dilahirkan oleh adanya kondisi


ketidak seimbangan dimana social, ekonomi, dan budaya ditonjolkan yang disebut
the righs of development, sementara aspek hukum dan politik terabaikan. Generasi
ini merupakan tuntutan Negara berkembang atas tatanan internasional yang adil.
Hak-hak uang termasuk generasi ini seperti:

a. Hak atas pembangunan


b. Hak atas perdamaian
c. Hak atas sumber daya alam sendiri;
d. Hakataslingkunganhidup yang lebihbaik;
e. Hak atas warisan budaya sendiri.

Hal-hak kelompok seperti imigran, masyarakat hukumadat (indigeneous


people) dan kelompok minoritas harus dilindungi oleh negara.

D.4. Generasi Keempat

Generasi keempat mengkritiki peranan negara yang begitu dominan, lebih


mengutamakan pembangunan ekonomi dan mengorbankan hak-hak rakyat.
Generasiinidipelopori oleh negara-negara Asia pada tahun 1983 yang
mendeklarasikan hak asasi yang disebut Declaration of The Basics Duties of Asia
People and Government. Dengan kata lain, hak asasi bukan lagi hanya urusan
orang per orang, melainkan menjadi tugas negara untuk memenuhinya.
BAB III

SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

Konsep HAM telah ada sejak dahulu, walaupun istilah HAM baru muncul
belakangan. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di beberapa bagian dunia
menjadi tonggak sejarah perkembangan HAM Internasional. Perang Dunia Kedua
merupakan perang terbesar dalam sejarah. Banyak terjadi pelanggaran berat HAM,
sehingga pemikiran HAM berkembang dengan pesat sebagai upaya pencegahan
kembali terjadinya perang yang merupakan malapetaka kemanusiaan terburuk
sepanjang sejarah peradaban manusia

A. Sebelum Perang Dunia II

A.1. Magna Charta (1215)

Munculnya hak-hak sebagai suatu rangkaian yang membatasi kekuasaan


berasal dari Magna Charta tahun 1215 yang ditandatangani oleh seorang raja feodal
dan para bangsawan kejam, yang dipaksakan untuk mengabulkan tuntutan-tuntutan
mereka. Dokumen ini tidak ada kaitannya dengan kebebasan individu warga negara.
Namun dokumen itu memuat simbol penyelesaian konstitusional.

Magna Charta terlahir karena desakan para bangsawan terhadap raja di


Eropa yang semaunya menarik pajak dan mengucilkan para bangsawan dari
keikutsertaan dalam pemerintahan. Di kemudian hari Magna Charta dinyatakan
sebagai suatu konstitusi yang membatasi kekuasaan raja dengan maksud untuk
menjamin hak-hak feodal para baron dan menjamin pula dihormati dan dilindunginya
kelestarian berbagai hak yang tegak atas dasar tradisi gereja dan tradisi para
freemen yang berstatus sebagai warga kota (citesein/citizen).
Walaupun mempunyai riwayat sebagai hasil tindakan kaum konservatif
untuk melindungi hak-hak feodal, namun karena juga memuat apa yang disebut
habeas corpus (ialah aturan yang melarang penahanan tanpa batas) dan peradilan
juri, kini Magna Charta telah diakui sebagai pendahulu yang merintis dibukanya jalan
sejarah menuju apa yang kini disebut konstitusi. Magna Carta dianggap sebagai
lambang perjuangan HAM dan tonggak perjuangan lahirnya HAM.

Isi Magna Carta sebagai berikut:

1. Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan


kebebasan Gereja Inggris.

2. Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-
hak.

3. Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak


penduduk.

4. Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang
sah.

5. Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan


bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar
tindakannya.

6. Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja


berjanji akan mengoreksi kesalahannya.

7. Kekuasaan raja harus dibatasi.

8. HAM lebih penting daripada kedaulatan, kekuasaan, politik dan hukum.

A.2. Hungary’s Golden Bull (1222)

Keputusan yang dikeluarkan oleh raja-raja di Eropa dan kerajaan Bizantium


pada jaman pertengahan dikenal sebagai Golden Bull . Pada tahun 1222, dekrit ini
kemudian diratifikasi oleh Raja Andrew II. Dekrit ini merupakan dokumen pertama
yang mengarah kepada pembangunan konstitusional Hongaria. Hukum ini mengatur
tentang hak-hak para bangsawan Hongaria. Adapun beberapa pasal tersebut adalah

a. Para bangsawan dan harta bendanya dibebaskan dari pajak;

b. Mereka bebas dari tuduhan dan hukuman kecuali jika menerima panggilan resmi
dari pengadilan sampai pemeriksaan pengadilan terhadap kasusnya diambil
alih;

c. Bangsawan tidak harus ikut dalam pembiayaan perang dan tidak boleh memaksa
mereka untuk keluar dari perbatasan negaranya. Ketika peperangan terjadi di
luar negara, Raja diharuskan membiayai semua ksatria dan tentara negara;

d. Raja tidak punya hak penuh terhadap negara dan lembaga tinggi kerajaan;

e. Raja tidak diperbolehkan untuk menggarap wilayah kaum Yahudi, tidak ikut serta
dalam perpajakan dan pembuatan uang logam atau dalam hal pertambangan.

Pada tahun 1687, pasal-pasal ini kemudian ditarik kembali karena telah
memberikan kekuasaan yang tidak pantas.

A.3. Bill of Rights (1689)

Bill of Rights Inggris tahun 1689 adalah sebuah Undang-Undang dari


Parlemen Inggris dengan judul lengkap Undang - Undang Deklarasi Hak dan
Kebebasan Warga Negara dan Tata cara Suksesi Raja. Ini adalah salah satu dari
dokumen-dokumen yang mendasari hukum konstitusi Inggris, bersama-sama
dengan Magna Charta, Undang-Undang Penetapan dan Undang-Undang Parlemen.
Ini juga membentuk sebagian hukum dari beberapa negara persemakmuran, seperti
New Zealand dan Kanada.

Bill of Rights 1689 kemudian ditambahkan ke Inggris oleh Undang-Undang


Penetapan tahun 1701 dan Claim of Rights di Skotlandia ditambahkan melalui
Undang-Undang Perserikatan tahun 1707. Kedua dokumen tersebut memberikan
sumbangan yang besar bagi berdirinya Parlemen Inggris yang berdaulat dan
pemotongan hak-hak dari kerajaan, sehingga membuat perubahan besar di
Skotlandia, Inggris dan Irlandia pada abad ke-17. Bill of Rights dan Claim of Rights
adalah dua penyebab utama dari perubahan Inggris menjadi sebuah kerajaan
konstitusional.

Hingga saat ini kedua dokumen tersebut masih merupakan Hukum di Inggris
dan kadang dipakai sebagai dasar hukum dalam proses hukum disana. Bill of Rights
tahun 1689 juga merupakan sebuah dasar bagi konstitusi Amerika dan Deklarasi
Universal HAM dan Konvensi HAM Eropa.

A.4. Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776)

Deklarasi Hak Asasi Virginia (The Virginia Declaration of Rights) yang


disusun oleh George Mason sebelum Deklarasi Kemerdekaan mencantumkan
kebebasan-kebebasan spesifik yang harus dilindungi dari campur tangan negara.
Para penyusun naskah Undang-undang Dasar Amerika Serikat, yang terpengaruh
oleh Deklarasi Virginia memasukkan perlindungan hak-hak minimum. Pada tahun
1791, Amerika Serikat mengadopsi Bill of Rights yang memuat daftar hak-hak
individu yang menjaminnya. Hal ini terjadi melalui sejumlah amandemen terhadap
konstitusi. Amandemen-amandemen berikutnya terhadap Undang-undang Dasar
Amerika Serikat itu memperluas Bill of Rights, sebaliknya Kongres tidak pernah
menghapus atau menyempitkan hak-hak yang telah tercantum.

A.5. Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara (1789)

Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara (La Déclaration des Droits de


l’Homme et du Ciyoyen) dirancang oleh Marquis de Lafayette pada masa revolusi
Perancis tahun 1789 merupakan salah satu dokumen fundamental dari Revolusi
Perancis yang menetapkan sekumpulan hak-hak individu dan hak-hak kolektif
manusia. Deklarasi ini memperlihatkan bahwa pemerintah adalah suatu hal yang
tidak menyenangkan yang diperlukan dan diinginkan sesedikit mungkin. Menurut
deklarasi ini, kebahagiaan yang sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu
yang merupakan produk dari “hak-hak manusia yang suci, tak dapat dicabut dan
kodrati”.

Sejumlah tema dan konsep yang berulang kali muncul dalam undang-
undang hak asasi manusia berasal dari Revolusi Amerika dan Perancis. Yang paling
penting di antaranya adalah bahwa hak-hak itu secara kodrati inheren, universal dan
tidak dapat dicabut, hak-hak itu dimiliki oleh individu semata-mata karena mereka
adalah manusia dan bukan karena mereka adalah kawula hukum suatu negara.
Kedua, perlindungan terbaik terhadap hak-hak itu terdapat di dalam kerangka yang
demokratis. Ketiga bahwa batas-batas pelaksanaan hak hanya dapat ditetapkan
atau dicabut oleh undang-undang.

B. Setelah Perang Dunia II

B.1. Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM

Mukadimah Piagam menegaskan kembali keyakinan “rakyat-rakyat PBB”


pada “hak-hak manusia yang asasi pada martabat dan harga diri manusia” dan
pada “hak-hak yang sama bagi pria dan wanita”. Pasal 1 (3) mencantumkan bahwa
salah satu tujuan PBB adalah “memajukan dan mendorong penghormatan
terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa
membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama”. Selanjutnya dalam pasal 55
ditegaskan pula bahwa PBB “harus memajukan… penghormatan universal
terhadap, dan ketaatan kepada, hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi
setiap orang”. Hal ini diperkuat lebih lanjut oleh pasal 56, yang menyatakan bahwa
semua anggota PBB “berjanji akan mengambil tindakan bersama dan sendiri-
sendiri… bagi tercapainya tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam pasal 55”. Jadi,
internasionalisasi hak asasi manusia dimulai dengan Piagam PBB tersebut.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disahkan oleh Majelis Umum


Perserikatan Bangsa-bangsa pada tahun 1948. Deklarasi Universal memuat daftar
hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang menjadi
hak semua orang tanpa kecuali. Deklarasi ini berfungsi sebagai “standar
pencapaian bersama”.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia telah terbukti menjadi langkah


raksasa dalam proses internasionalisasi hak asasi manusia. Deklarasi ini pada
mulanya disahkan dalam bentuk yang mengikat secara non-hukum, praktik-praktik
di kemudian hari telah mengubahnya menjadi sebuah instrumen yang mempunyai
kekuatan yuridis yang cukup besar, walau status hukumnya yang tepat masih
menjadi topik perdebatan. Selain dipandang sebagai interpretasi otentik terhadap
muatan Piagam PBB, dekalarasi ini juga berkembang menjadi hukum kebiasaan
internasional yang mengikat secara hukum bagi semua negara. Dengan demikian
pelanggaran terhadap dekalarasi ini merupakan pelanggaran terhadap hukum
internasional.
BAB IV

SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA NASIONAL

Berbicara terkait sejarah perkembangan HAM di Indonesia, terbagi dalam 2 fase


waktu yaitu Sebelum Kabinet Reformasi dan dan Setelah Kabinet Reformasi.

Sebelum Kabinet Reformasi, HAM sudah dikenal sejak masa perjuangan kemerdekaan,
banyak tokoh perintis kemerdekaan memperjuangakan nilai-nilai HAM. Hal tersebut dapat
kita jumpai dalam karya beberapa tokoh seperti surat Ibu Kartini “Habis Gelap Terbitlah
Terang” dan karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus
Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di
Volksraad atau Pledoi Soekarno yang berjudul “Indonesia Menggugat” dan Hatta
dengan judul “Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan Pengadilan Hindia
Belanda. Tulisan-tulisan tersebut menjadi perdebatan para tokoh bangsa pada saat
sidang BPUPKI, dimana hak-hak warga negara diperjuangkan untuk dapat diatur
dalam konstitusi bangsa Indonesia yaitu UUD 1945.

Kemudian, setelah masa kemerdekaan, hak asasi manusia tetap menjadi


perdebatan dalam kancah politik penyelengara negara. Terekam dalam bukti sejarah
24 hak asasi manusia diperjuangkan dalam sidang konstituante untuk dapat
diakomodir dalam undang-undang dasar. Namun dengan diterbitkannya Dekrit 5 Juli
1959 oleh Presiden Soekarno, maka Indonesia tetap kembali kepada UUD 1945. Hal
tersebut tidak bertahan lama, saat orde baru dimulai dengan lengsernya Presiden
Soekarno dan digantikan Presiden Soeharto. Saat itu dibentuklah Panitia Ad Hoc
Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia yang menghasilkan sebuah “Rancangan
Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta
Kewajiban Warga Negara”. Akan tetapi rancangan tersebut pun gagal ditetapkan
sebagai ketetapan MPRS dikarenakan sifat MPRS yang hanya sementara. Pada
saat dilakukan pemilu dan terbentuk MPR, Piagam tersebut sudah terlupakan.

Pengakuan atas Hak Asasi Manusia mulai gencar diperjuangkan kembali


pada masa Setelah Kabinet Reformasi. Pada era ini hak asasi manusia sudah diatur
dengan jelas dalam 3 aturan yang menjadi pondasi penegakan hak asasi manusia di
Indonesia.

● Pertama adalah TAP MPR XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

Yang isinya tidak hanya Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat
amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk
memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan
untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.

● Kedua adalah UUD 1945 Amandemen II, dimana akhirnya perjuangan


untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam
Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis
Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukkan hak asasi manusia ke
dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal
28A – 28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945
yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di
dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
● Ketiga adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 yang memuat pengakuan
yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di
dalamnya mencakup hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok
seperti anak, perempuan dan masyarakat adat (indigenous people).
Undang-undang tersebut juga mengakui paham ‘natural rights’, yang
melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada
manusia. Selain itu, Undang-Undang ini juga telah mengakui hak-hak
yang diatur dalam instumen hak asasi manusia internasional.

Selain mengatur tentang hak asasi manusia, ditetapkan pula KOMNAS


HAM, pengakuan partisipasi masyarakat hingga pembentukan
pengadilan HAM nasional.

Dari Undang-undang inilah saat ini kita mengenal 10 hak dasar mansia
yang meliputi : hak hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan,
hak mengembangakan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas
kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak
untuk turut dalam pemerintahan, hak wanita dan hak anak.

Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun


1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia

Indonesia memiliki sejarah perdebatan isu hak asasi manusia yang cukup
panjang sejak dari masa penjajahan hingga saat ini. Pengalaman hidup di masa
penjajahan serta pemerintah yang otoriter menjadi latar belakang perdebatan
panjang bangsa Indonesia untuk mengakui dan memasukkan Hukum Hak Asasi
Manusia Internasional ke dalam hukum nasional yang bertujuan mencegah
pengalaman masa lalu yang kelam tidak akan terulang kembali.

A. Sebelum Kabinet Reformasi

A.1. Masa Perjuangan Kemerdekaan

Hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan
ketatanegaraan di Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam
perjalanan sejarah pembentukan bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak
asasi manusia menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum kemerdekaan, para
perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat
dan martabat manusia yang lebih baik. Percikan pikiran tersebut dapat dibaca dalam
surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-
karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes
Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau
Pledoi Soekarno yang berjudul “Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul
“Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan Pengadilan Hindia Belanda.
Percikan-percikan pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan itu, yang
terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, menjadi sumber inspirasi ketika
konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Disinilah terlihat bahwa para pendiri bangsa ini
sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai pondasi bagi negara.
Pada waktu menyusun konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, terjadi
perdebatan mengenai apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam pasal-
pasal Undang-Undang Dasar. Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa
hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi.
Sebaliknya Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya
mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar.
Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting
dalam diskursus hak asasi manusia di Indonesia, yang memberi pijakan bagi
perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya.

A.2.Masa Kemerdekaan

Diskursus mengenai hak asasi manusia muncul kembali – sebagai usaha


untuk mengoreksi kelemahan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang
Konstituante (1957 – 1959). Sebagaimana terekam dalam Risalah Konstituante,
khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan disini jauh lebih sengit
dibanding dengan perdebatan di BPUPKI. Berbeda dengan perdebatan awal di
BPUPKI, diskusi di Konstituante relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam
pengertian natural rights, dan menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang
Dasar. Meskipun ada yang melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan
di Konstituante sebetulnya telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang
akan disusun dalam satu bab pada konstitusi. Sayang, Konstituante dibubarkan
oleh Soekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam
Konstituante ikut dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak asasi
manusia.

Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno


mengeluarkan dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-
Undang Dasar 1945 yang kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan
kembali ke Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali.
Makanya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan
mahasiswa 1966, yang melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai
perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan itu
muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu
telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya
adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi
Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali
rancangan tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan
sebagai ketetapan MPRS. Alasannya –terutama diajukan oleh fraksi Karya
Pembangunan dan ABRI, akan lebih tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan
oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S) yang bersifat “sementara”.

Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan


Piagam Hak Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya
Pembangunan dan fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah
mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 tersebut. Sampai
akhirnya datang gelombang besar “Reformasi” yang melengserkan Soeharto dari
kursi Presiden Indonesia (Mei 1998) dan membuka babak baru wacana hak asasi
manusia di Indonesia.

B. Setelah Kabinet Reformasi

B.1. TAP MPR XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di


awal Orde Baru itu muncul kembali. Begitu pula gagasan untuk mencantumkannya
ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar juga muncul kembali ke dalam
wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari
kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan
hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada
presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak
asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen
internasional hak asasi manusia.

B.2. UUD Amandemen II

Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan


politik pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR.
Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka
juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan
perlindungan hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil
dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukkan hak asasi
manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal
28A – 28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan
pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori
hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab
negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakkan dan
pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang
demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28 sebelum diterapkan penambahan
melalui Amandemen UUD Tahun 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Setelah
Amandemen Kedua UUD 1945, Pasal 28 mengalami penambahan sebagaimana
tertuang dalam Bab X A Pasal 28 A-J, yang berbunyi:

Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
Pasal 28 B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28E
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun.

Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan.
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.

Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia merupakan prestasi


gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru.
Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam
memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam
Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada
tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada
masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi
manusia dalam sejarah politik hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa
betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak
dikenal dalam budaya Indonesia.

Dalam perkembangannya, beberapa pasal dalam Amandemen Kedua UUD


Tahun 1945 sering kali dikaitkan dengan HAM yaitu Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1). Dari semua pasal tersebut,
istilah HAM tidak dijumpai sehingga dapat dilihat bahwa pasal-pasal tersebut hanya
memuat hak dan kewajiban warga negara secara umum. Selain Pasal 28, hanya
ada satu ketentuan saja dalam UUD Tahun 1945 yang memang memberikan
jaminan konstitusional atas HAM, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan,
“negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”.
(Handayani, 2014)
B.3. UU No. 39 Tahun 1999

Periode reformasi merupakan periode yang sangat “friendly” terhadap hak


asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru yang melancarkan
“black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia. Presiden B.J. Habibie dan DPR
sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses amandemen
konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan Undang-Undang
Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Pembahasan di
Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan pada 23
September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang
tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin
di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik,
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak
kelompok seperti anak, perempuan dan masyarakat adat (indigenous people).
Undang-undang tersebut dengan gamblang mengakui paham ‘natural rights’,
melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu
pula dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumen-
instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal Declaration of Human
Rights, Internastional Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant
on Economic, Sosial and Cultural Rights, International Convention on the Rights of
Child, dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan Undang-undang ini telah
mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak
asasi manusia internasional tersebut.

Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun


1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Bab VII). Mulai pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang
kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia. Jadi kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah
disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
landasan hukumnya diperkuat Undang-Undang. Hal yang menarik dalam Undang-
Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi masyarakat (bab VIII), mulai
dari Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal
terhadap keabsahan advokasi hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-
organisasi pembela hak asasi manusia atau “human rights defenders”. Selain itu,
Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah
berlakunya Undang-Undang tersebut (Bab IX).

Dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999, tentang hak asasi manusia


merumuskan bahwa : Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap oramg demi kehormatan serta
perlindungan hak dan martabat manusia. Negara telah mengakui 10 hak dasar
yang wajib dihormati, dihormati, ditegakkan dan dimajukan, antara lain:

1. Hak Hidup
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf
kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, Bahagia, sejahtera lahir dan batin
serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas.
3. Hak mengembangkan diri
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik
secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas
dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan
secara objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil
dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi
Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik,
mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak
boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas
bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan
Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat
dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang
dibutuhkan. Setiap orang juga berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak
dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan
kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan
Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung
atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali
dalam setiap jabatan pemerintahan.
9. Hak wanita
Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi
dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-
undangan. Selain itu, berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat
mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10. Hak anak
Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat
dan negara, bahkan sejak dalam kandungan.
BAB V

HUKUM HAM INTERNASIONAL

A. Pengertian dan Sejarah

Hukum HAM Internasional adalah hukum mengenai perlindungan terhadap


hak-hak individu atau kelompok yang dilindungi secara internasional dari
pelanggaran yang terutama yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya,
termasuk di dalamnya upaya menggalakkan hak-hak tersebut.

Prinsip dalam hukum internasional menyatakan bahwa suatu negara


membatasi kedaulatannya dengan suatu perjanjian internasional dan
menginternasionalisasikan sesuatu hal yang sebelumnya tidak diatur oleh hukum
internasional.

Prinsip ini sangat berperan penting dalam perkembangan Hukum HAM


Internasional dan internasionalisasi HAM secara gradual. Pada awalnya bermula
dari abad ke-19, ketika dirumuskannya berbagai perjanjian internasional untuk
melarang perbudakan dan untuk melindungi kaum minoritas Kristen di Ottoman
(Turki). Misalnya Treaty of Paris 1856, dan Treaty of Berlin 1878, yang memberikan
kewenangan kepada negara-negara yang tergabung dalam Concert of Europe
untuk campur tangan secara diplomatik bahkan secara militer terhadap Turki atas
nama penduduk yang beragama Kristen.

Treaty of Berlin mempunyai kekhususan karena telah memberikan status


hukum tertentu kepada berbagai kelompok pemeluk agama dan telah menjadi
model dalam membentuk Sistem Minoritas yang kemudian dibentuk di bawah Liga
Bangsa-Bangsa.

A.1. Hukum Internasional Klasik/Tradisional9

Secara tradisional, hukum internasional diartikan sebagai hukum yang


hanya mengatur hubungan antar negara. Negara merupakan satu-satunya subyek
hukum internasional dan memiliki hak-hak hukum menurut hukum internasional.
Setelah Perang Dunia ke-II, diperluas hingga mencakup organisasi internasional
sebagai subyek hukum internasional yang memiliki hak-hak tertentu berdasarkan
hukum internasional. Manusia sebagai individu dianggap sebagai obyek hukum
daripada sebagai subyek hukum internasional.

Perlakuan negara terhadap warga negaranya tidak diatur oleh hukum


internasional, sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap hak negara-negara
lainnya atau secara eksklusif berada di bawah yurisdiksi domestik setiap negara.
Masalah HAM merupakan urusan dalam negeri setiap negara sehingga negara lain
tidak berhak bahkan dilarang untuk turut campur tangan terhadap pelanggaran
HAM di dalam suatu negara, kecuali dalam bentuk intervensi humaniter.

A.2. Intervensi Humaniter

Doktrin intervensi humaniter oleh Grotius pada abad ke-17 diartikan


sebagai penggunaan kekuatan yang sah yang dilakukan oleh suatu atau beberapa
negara terhadap negara lainnya guna menghentikan perlakuan yang menyimpang
terhadap warga negaranya, khususnya terhadap perlakuan brutal dan berskala
besar yang bertentangan dengan keyakinan masyarakat bangsa-bangsa. Doktrin
ini sering disalahgunakan oleh negara-negara besar tertentu untuk menginvasi atau
mengokupasi negara-negara yang lebih lemah dan yang membatasi kebebasan
negara berdasarkan hukum internasional dalam memperlakukan warga negaranya
dan suatu organisasi internasional atau kelompok negara-negara dapat
menggunakan kekuatannya untuk mengakhiri suatu pelanggaran berat terhadap
HAM di suatu negara.

Dewan Keamanan PBB sering mengambil tindakan terhadap negara-


negara yang dianggap telah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM dengan
memperkenankan penggunaan tindakan pemaksaan berdasarkan Bab VII Piagam
PBB. Ketentuan ini hanya berlaku terhadap keadaan yang mengancam atau
membahayakan perdamaian dan terhadap tindakan agresi. Karena resolusi-
resolusi yang mengesahkan tindakan Dewan Keamanan tersebut secara hukum
dan secara faktual masih dianggap mendua, maka tindakan tersebut masih sulit
untuk dikatakan sebagai suatu versi modern dari doktrin intervensi humaniter
secara kolektif. Peran Dewan Keamanan tersebut telah mengarah ke sana.
Pendirian Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia oleh Dewan
Keamanan yang dimaksudkan untuk mengadili orang-orang yang bertanggung
jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan massal, dan kejahatan
perang di wilayah tersebut, dianggap sebagai suatu bentuk modern dari intervensi
humaniter secara kolektif terhadap pelanggaran berat terhadap HAM.

A.3. Liga Bangsa-Bangsa (LBB)

The Covenant of the League of Nations yang mendirikan LBB berlaku


sebagai konstitusi organisasi tersebut, tidak memuat ketentuan umum tentang
HAM. Teori yang mengemukakan bahwa HAM perlu dilindungi secara internasional
belum diterima secara meluas oleh masyarakat bangsa-bangsa, bahkan belum
secara sungguh-sungguh dipertimbangkan oleh para perumus Covenant. Tetapi,
Pasal 22 dan 23 dari Covenant merupakan ketentuan yang penting dalam
perkembangan hukum HAM internasional. LBB juga telah berperan penting dalam
mengimplementasikan perlindungan kelompok minoritas setelah Perang Dunia ke-
II. Di dalam LBB terdapat system, antara lain:

a. Sistem Mandat

Pasal 22 Covenant membentuk Sistem Mandat LBB yang diterapkan


terhadap bekas wilayah jajahan negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia ke-
I. Bekas koloni tersebut ditempatkan di bawah Mandat LBB dan dikelola oleh
negara-negara pemenang perang. Para Pemegang Mandat ini setuju untuk
memerintah berdasarkan prinsip bahwa kehidupan dan pembangunan penduduk
daerah Mandat merupakan “a sacred trust of civilization ...”. Negara Pemegang
Mandat berkewajiban memberikan laporan tahunannya kepada Liga mengenai
tanggung jawab yang diberikannya dan dibahas oleh Komisi Mandat LBB. Komisi
Mandat LBB kemudian mengawasi pemerintahan di daerah Mandat termasuk
mengawasi perlakuan terhadap penduduknya. Ketika LBB digantikan PBB, Sistem
Mandat ini digantikan dengan Sistem Perwalian, di mana PBB akan mengawasi
daerah-daerah Mandat yang masih tersisa dan wilayah-wilayah yang tidak
berpemerintahan sendiri, salah satunya adalah Namibia (Afrika Barat Daya)
ditempatkan di bawah Sistem Mandat dengan Pemegang Mandat Afrika Selatan
yang pada masa PBB selama bertahun-tahun tidak mentaati segala aturan yang
ditetapkan berdasarkan Sistem Perwalian PBB, bahkan menerapkan sistem politik
apartheid dan sangat rasialis.
b. Standar Perburuhan Internasional

Pasal 23 Covenant sangat erat hubungannya dengan HAM, karena


menekankan pentingnya kondisi yang adil dan manusiawi bagi buruh pria, wanita,
dan anak-anak, serta mendasari pembentukan Organisasi Perburuhan
Internasional (ILO) yang merupakan badan khusus PBB. Kegiatan legislasi dan
prosedur pengawasannya telah mendorong ketaatan terhadap standar perburuhan
internasional dan memberikan sumbangan berharga terhadap peningkatan kondisi
kerja dan perkembangan hukum HAM internasional.

c. Sistem Minoritas

LBB berperan dalam pengembangan sistem perlindungan bagi golongan


minoritas yang diperoleh melalui serangkaian perjanjian yang dibuat setelah
usainya Perang Dunia ke-I yang merubah peta bumi politik Eropa dan Timur
Tengah di mana lahir beberapa negara baru atau menyebabkan beberapa negara
mendapatkan kembali kemerdekaannya. Diantaranya adalah Polandia,
Cekoslovakia, Hongaria, Yugoslavia, Bulgaria, Albania, dan Rumania, termasuk
kantong-kantong golongan minoritas berdasarkan etnis, bahasa, dan agama.
Pemerintah-pemerintah dari negara-negara pemenang perang (Principal Allied and
Associated Powers) dan negara-negara baru membentuk perjanjian khusus untuk
melindungi kaum minoritas tersebut.

Perjanjian pertama yang membentuk sistem perlindungan ini adalah


Perjanjian antara Principal Allied and Associated Powers dan Polandia yang
ditandatangani di Versailles pada tanggal 29 Juni 1919, yang mengharuskan
negara-negara yang menganut sistem minoritas untuk menerapkan prinsip non-
diskriminasi terhadap anggota golongan minoritas yang dilindungi dan menjamin
hak-hak khusus untuk melestarikan integritas etnis, bahasa, dan agamanya,
termasuk hak untuk menggunakan bahasanya secara resmi, hak untuk
menjalankan pendidikan, dan hak untuk menjalankan peribadatan.
Setiap perjanjian berisikan klausula yang menyatakan bahwa kewajiban
untuk melindungi kaum minoritas merupakan kewajiban internasional serta
menempatkan LBB sebagai penjamin penataan kewajiban tersebut, yang
pelaksanaannya dijalankan dengan mengembangkan suatu institusi untuk
menangani petisi yang diajukan kaum minoritas atas pelanggaran terhadap hak-
haknya. Petisi tersebut dibahas oleh Komite III LBB dan memberikan kesempatan
kepada negara-negara yang bersangkutan untuk mengemukakan pandangannya.
Apabila diperlukan, Mahkamah Internasional Permanen dapat memberikan
pendapatnya dari segi hukum. Walaupun beberapa perjanjian mengenai
perlindungan minoritas ini masih berlaku hingga kini, tetapi Sistem Minoritas LBB
tidak dikenal lagi dalam kerangka PBB.

Dalam perkembangannya, kelembagaan Hukum HAM Internasional yang


modern ternyata menyerupai kelembagaan yang pertama kali dikembangkan oleh
LBB khususnya dalam menangani sistem minoritas. Untuk beberapa tahun sejak
berdirinya PBB tampak bahwa perhatian PBB dan lembaga internasional lainnya
terhadap perlindungan kaum minoritas sangatlah kecil dan lebih memusatkan
kepada hak-hak individu, non-diskriminasi, dan perlindungan yang sama (equal
protection). Setelah Perang Dingin dan gelombang nasionalisme di berbagai
belahan dunia, masyarakat internasional kembali mulai memberikan perhatiannya
kepada pengembangan norma-norma dan institusi internasional yang diperlukan
untuk melindungi hak-hak minoritas dalam kerangka PBB ataupun organisasi
regional Eropa.

B. Sumber Hukum Hak Asasi Manusia Internasional10

Sumber hukum internasional merupakan bahan dan proses di mana aturan


dan kaidah-kaidah yang mengatur komunitas internasional dikembangkan. Menurut
Pasal 38 ayat (1) Statuta Pengadilan Internasional menerapkan sumber-sumber (a)
konvensi-konvensi Internasional yang diakui oleh negara-negara yang menerimanya
dan (b) “kebiasaan internasional sebagai bukti dari praktik umum yang diterima
sebagai hukum, (c) prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab, (d) keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang
terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan
aturan kaidah hukum.
B.1. Perjanjian Internasional

Konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian internasional merupakan


sumber utama hukum internasional. Konvensi berbentuk bilateral bila yang menjadi
pihak hanya dua negara dan multilateral bila yang menjadi pihak lebih dari dua
negara. Konvensi disebut regional bila yang menjadi pihak hanya negara-negara
dari suatu Kawasan.

Konvensi multilateral dapat bersifat universal bila menyangkut seluruh


negara di dunia. Konvensi internasional yang merupakan sumber utama hukum
internasional adalah konvensi yang berbentuk law-making treaties yaitu perjanjian
internasional yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
secara umum.

B.2. Hukum Kebiasaan Internasional

Hukum kebiasaan berasal dari praktik negara-negara melalui sikap dan


tindakan yang diambilnya terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil
suatu kebijaksanaan yang diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali
tanpa adanya proses atau tantangan dari pihak lain, maka secara berangsur-
angsur terbentuklah suatu kebiasaan yang didasari oleh praktik yang sama,
dilakukan secara konstan, tanpa adanya pihak yang menentang serta diikuti oleh
banyak negara. Konvensi-konvensi Hubungan Diplomatik, Konsuler, Konvensi-
konvensi hukum Laut tahun 1958 dan Konvensi tentang Hukum Perjanjian tahun
1969 adalah beberapa contoh hasil kodifikasi hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan
lebih menguntungkan dari hukum tertulis karena dapat berubah sesuai
perkembangan kebutuhan internasional sedangkan perubahan terhadap ketentuan-
ketentuan hukum positif harus melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit.

B.3. Prinsip-prinsip Umum Hukum

Sumber ketiga hukum internasional adalah prinsip-prinsip umum hukum


yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar hukum nasional negara-negara.
Walaupun hukum nasional berbeda dari satu negara ke negara lain namun prinsip-
prinsip pokoknya tetap sama dimana prinsip-prinsip umum dapat mengisi
kekosongan yang terjadi dalam hukum internasional. Prinsip-prinsip hukum
administrasi dan perdagangan, ganti rugi, dan kontrak kerja diambil dari sistem
nasional untuk mengatur kegiatan yang sama dalam kerangka hukum internasional.

1. Keputusan-keputusan Peradilan
Keputusan-keputusan peradilan berperan penting dalam
pembentukan norma-norma baru hukum internasional.
2. Hukum Kebiasaan Internasional
Hukum kebiasaan berasal dari praktik negara-negara melalui sikap
dan tindakan yang diambilnya terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara
mengambil suatu kebijaksanaan dan kebijaksanaan tersebut diikuti oleh
negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya proses atau
tantangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu
kebiasaan. Terbentuknya suatu hukum kebiasaan didasari oleh praktik yang
sama, dilakukan secara konstan, tanpa adanya pihak yang menentang serta
diikuti oleh banyak negara. Dengan cara demikian maka terbentuk hukum
kebiasaan yang makin lama makin bertambah kuat dan berlaku secara
universal karena diikuti oleh hampir semua negara di dunia. Konvensi-
konvensi Hubungan Diplomatik, Konsuler, Konvensi-konvensi Hukum Laut
tahun 1958 dan Konvensi tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 adalah
beberapa contoh hasil kodifikasi hukum kebiasaan. Dalam beberapa hal,
hukum kebiasaan lebih menguntungkan dari hukum tertulis mengingat
sifatnya yang cukup luwes. Hukum kebiasaan dapat berubah sesuai
perkembangan kebutuhan internasional sedangkan perubahan terhadap
ketentuan-ketentuan hukum positif harus melalui prosedur yang lama dan
berbelit-belit.

Anda mungkin juga menyukai