Anda di halaman 1dari 36

1.

Pengertian HAM

Dalam pengertiannya Hak Asasi Manusia (HAM) menurut definisi para ahli mengatakan, Pengertian Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah
Tuhan yang dibawa sejak lahir. sedangkan pengertian HAM menurut perserikatan bangsa-bangsa (PBB)
adalah hak yang melekat dengan kemanusiaan kita sendiri, yang tanpa hak itu kita mustahil hidup
sebagai manusia. Secara umum Hak Asasi Manusia sering sekali terdengar di telinga kita tentang
Pelanggaran-pelanggaran HAM yang membuat kita prihatin tentang semua yang terjadi, sehingga
perlunya kita tahu lebih jelas tentang hak asasi manusia seperti dibawah ini..
Dari pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) dapat disimpulkan bahwa sebagai anugerah dari Tuhan
terhadap makhluknya, hak asasi tidak boleh dijauhkan atau dipisahkan dari dipisahkan dari eksistensi
pribadi individu atau manusia tersebut. Hak asasi tidak bisa dilepas dengan kekuasaan atau dengan hal-
hal lainnya, Bila itu sampai terjadi akan memberikan dampak kepada manusia yakni manusia akan
kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. 
Walapun demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara
mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sembari mengabaikan
hak orang lain merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita
selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain, karena itulah ketaan terhadap aturan menjadi
penting

Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Para ahli


Ada berbagai versi umum pengertian mengenai HAM. Setiap pengertian menekankan pada segi-segi
tertentu dari HAM. Berikut beberapa definisi tersebut. Adapun beberapa definisi Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah sebagai berikut:
1. Austin-Ranney, HAM adalah ruang kebebasan individu yang dirumuskan secara jelas dalam
konstitusi dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah.
2. A.J.M. Milne, HAM adalah hak yang dimiliki oleh semua umat manusia di segala masa dan di
segala tempat karena keutamaan keberadaannya sebagai manusia.
3. UU No. 39 Tahun 1999, Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Hak itu merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
4. John Locke, Menurut John Locke, hak asasi adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya tidak
dapat dipisahkan dari hakikatnya, sehingga sifatnya suci.
5. David Beetham dan Kevin Boyle, Menurut David Beetham dan Kevin Boyle, HAM dan
kebebasan-kebebasan fundamental adalah hak-hak individual yang berasal dari kebutuhan-
kebutuhan serta kapasitas-kapasitas manusia.
6. C. de Rover, HAM adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hakhak
tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki ataupun
perempuan. Hak-hak tersebut mungkin saja dilanggar, tetapi tidak pernah dapat dihapuskan. Hak
asasi merupakan hak hukum, ini berarti bahwa hak-hak tersebut merupakan hukum. Hak asasi
manusia dilindungi oleh konstitusi dan hukum nasional di banyak negara di dunia. Hak asasi
manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang. Hak asasi manusia bersifat universal dan abadi.
7. Franz Magnis- Suseno, HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat. Jadi bukan karena hukum positif yang berlaku, melainkan
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia.
8. Miriam Budiardjo, Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi manusia sebagai hak
yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau
kehadirannya di dalam masyarakat.
9. Oemar Seno Adji, Menurut Oemar Seno Adji yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia
ialah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun, dan yang seolah-olah merupakan suatu holy area.
Macam-macam Hak Asasi Manusia (HAM)

Anda telah memahami bahwa hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia
sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Ada
bermacam-macam hak asasi manusia. Secara garis besar, hak-hak asasi manusia dapat digolongkan
menjadi enam macam sebagai berikut.

1. Hak Asasi Pribadi/Personal Rights


Hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan pribadi manusia. Contoh hak-hak asasi pribadi ini
sebagai berikut.
 Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian, dan berpindah-pindah tempat.
 Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat.
 Hak kebebasan memilih dan aktif dalam organisasi atau perkumpulan.
 Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini
masing-masing.
2. Hak Asasi Ekonomi/Property Rigths
Hak yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian. Contoh hak-hak asasi ekonomi ini sebagai
berikut.
 Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli.
 Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak.
 Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa dan utang piutang.
 Hak kebebasan untuk memiliki sesuatu.
 Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
3. Hak Asasi Politik/Political Rights
 Hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan politik. Contoh hak-hak asasi politik ini
sebagai berikut.
 Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan.
 Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan.
 Hak membuat dan mendirikan partai politik serta organisasi politik lainnya.
 Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.

4. Hak Asasi Hukum/Legal Equality Rights


 Hak kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu hak yang berkaitan dengan
kehidupan hukum dan pemerintahan. Contoh hak-hak asasi hukum sebagai berikut.
 Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
 Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
 Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum.

5. Hak Asasi Sosial Budaya/Social Culture Rights


 Hak yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat. Contoh hak-hak asasi sosial budaya
ini sebagai berikut.
 Hak menentukan, memilih, dan mendapatkan pendidikan.
 Hak mendapatkan pengajaran.
 Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.
6. Hak Asasi Peradilan/Procedural Rights
 Hak untuk diperlakukan sama dalam tata cara pengadilan. Contoh hak-hak asasi peradilan ini
sebagai berikut.
 Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan.
 Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan penyelidikan di
muka hukum.
Ciri Khusus Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia memiliki ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan hakhak yang lain. Ciri khusus hak
asasi manusia sebagai berikut.
 Tidak dapat dicabut, artinya hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan atau diserahkan.
 Tidak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak, apakah hak sipil dan
politik atau hak ekonomi, social, dan budaya.
 Hakiki, artinya hak asasi manusia adalah hak asasi semua umat manusia yang sudah ada
sejak lahir.
 Universal, artinya hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang status,
suku bangsa, gender, atau perbedaan lainnya. Persamaan adalah salah satu dari ide-ide hak asasi
manusia yang mendasar.

Teori – teori HAM para Ahli

Hak asasi manusia (Human Rights) adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia (Human Rights) dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Hak asasi manusia (Human Rights)
bersifat universal dan abadi. Selain gerakan hak asasi, ada beberapa teori dari para ahli yang
mendukung perkembangan hak asasi manusia. Teori hak asasi manusia (theory of human rights) adalah
sebagai berikut.

1. Teori Perjanjian Masyarakat / Theory Society Agreement (1632-1704). Teori ini dikemukakan
oleh John Locke. Teori ini menyebutkan bahwa ketika manusia berkeinginan membentuk negara maka
semua hak yang ada pada manusia harus dijamin dalam undang-undang (Masyhur Effendi: 2005).
2. Teori Trias Politika / Theory Trias Politica (1688-1755). Teori ini dikemukakan oleh Montesquieu.
Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga, yaitu legislatif, yudikatif, dan
eksekutif. Pemisahan ini dilakukan untuk melindungi hak asasi dan kekuasaan penguasa (Masyhur
Effendi : 2005).
3. Teori Kedaulatan Rakyat / Theory of Sovereignty of the People (1712-1778). Teori ini
dikemukakan oleh J.J. Rousseau. Teori ini menyatakan bahwa penguasa diangkat oleh rakyat untuk
melindungi kepentingan rakyat, termasuk hak asasi (Masyhur Effendi : 2005).
4. Teori Negara Hukum / Theory State of Law (1724-1904). Teori ini dikemukakan oleh Immanuel
Kant. Teori ini menyatakan bahwa negara bertujuan untuk melindungi hak asasi dan kewajiban warga
negara (M. Tahir Azhary : 1992).
5. Teori Hukum Alam/Natural Law. Dalam teori ini Hak asasi manusia dipandang sebagai hak
Kodrati (hak yang sudah melekat pada manusia sejak lahir) dan jika manusia tersebut meninggal maka
hak-hak yang dimilikinya pun akan hilang. Hak asasi Manusia dimiliki secara otonom (Independent)
terlepas dari pengaruh Negara sehingga tidak ada alasan Negara untuk membatasi HAM tersebut. Jika
hak-hak tersebut diserahkan kepada Negara, Negara boleh membatasi hak-hak yang melekat pada
manusia itu. Menurut John Locke, semua individu dikaruniai oleh alam, hak yang inheren atas kehidupan,
kebebasan dan harta, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut
oleh Negara. Tetapi Locke juga mempostulatkan bahwa untuk menghindari ketidakpastian hidup dalam
alam ini, umat manusia telah mengambil bagian dalam suatu kontrak sosial atau ikatan sukarela, dimana
hak tersebut diserahkan kepada penguasa Negara. Apabila penguasa Negara memutuskan kontrak
sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, para kawula Negara itu bebas untuk menyingkirkan
sang Penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak itu.
Menurut Hugo De groot, eksistensi hukum kodrati yang merupakan landasan semua hukum positif atau
hukum tertulis dapat dirasionalkan dengan landasan nalar yang benar. Sedangkan menurut JJ.Rosseau
dan Immanuel Kant, rakyat yang mempunyai hak-hak otonom tersebut menyerahkan sebagian hak-
haknya kepada Negara yang kemudian diatur atau dimuat dalam suatu konstitusi (untuk mengetahui
mana yang merupakan perintah atau larangan).
6. Teori Positivisme. Dalam teori ini, setiap warga Negara baru mempunyai Hak setelah ada aturan
yang jelas dan tertulis yang mengatur tentang hak-hak warga Negara tersebut. Jika terdapat pengabaian
atas hak-hak warga Negara tersebut dapat diajukan gugatan atau klaim. Individu hanya menikmati hak-
hak yang diberikan Negara.
7. Teori Utilitarian. Dalam teori ini, kelompok mayaoritas yang diutamakan. Perlindungan Hak asasi
manusia pada dasarnya demi mencapai kebahagiaan kelompok mayoritas. Sehingga kelompok minoritas
di dalam suatu Negara kurang dihiraukan sebagai akibatnya mereka dapat sangat dirugikan atau
kehilangan hak-haknya.
8. Teori Hukum Kodrati. Hukum kodrati merupakan bagian dari hukum Tuhan yang sempurna yang
dapat diketahui dari nalar manusia. Hukum ini kemudian disempurnakan oleh Grotius pada abad ke-17
dan melalui teori ini hak-hak individu subjek diakui.
9. Teori Anti-Utilitarian. Geral Dworkin, menjelaskan bahwa hak asasi manusia adalah kartu truf
politis yang dimiliki oleh individu-individu yang digunakan jika karena suatu sebab tujuan kolektif tidak
memadai untuk membenarkan penolakan terhadap apa yang dimiliki atau dilakukan mereka sebagai
individu atau tidak memadai untuk membenarkan terjadinya perlakuan yang merugikan atau melukai
mereka.
10. Teori Realisme Hukum. Karll Liewellyn dan Roscoe Pound yang mengemukakan bahwa hak
akan muncul sebagai produk akhir dari proses iteraksi apa yang dilakukan oleh hukum dan dengan
demikian akan mencerminkan moral masyarakat yang berlaku pada segala sesuatu waktu tertentu.
11. Teori Pluralisme Budaya. Menurut teori ini bahwa hak asasi manusia tidak hanya bersifat
universal, tetapi juga bersifat partikuliristik. Artinya dalam penerapan HAM juga harus memperhatikan
realitas budaya yang berlaku sebagai puncak budaya daerah dan ketentuan tersebut harus dihormati.

KARAKTERISTIK Hak Asasi Manusia

1. bersifat Universal (universality). Artinya universalitas hak tidak dapat berubah atau tidak dialami
dengan cara yang sama oleh semua orang. Hak asasi bersifat umum, semua orang tanpa
terkecuali, mendapatkannya secara cuma-cuma dan bukan karena kedudukan atau jabatan yang
diembannya.
2. martabat manusia (human dignity). Hak asasi merupakan hak yang melekat, dan dimiliki setiap
manusia di dunia tanpa terkecuali, dari dalam kandungan hingga manusia tersebut mati. Prinsip
HAM ditemukan pada pikiran setiap individu, tanpa memperhatikan umur, budaya, keyakinan,
etnis, ras, gender, orientasi seksual, bahasa, kemampuan atau kelas sosial lainnya. Setiap
manusia, oleh karenanya, harus dihormati dan dihargai hak asasinya. Konsekuensinya, semua
orang memiliki status hak yang sama dan sederajat dan tidak bisa digolong-golongkan
berdasarkan tingkatan hirarkis.
3. kesetaraan (equality). Konsep kesetaraan mengekspresikan gagasan menghormati harkat dan
martabat yang melekat pada setiap manusia. Secara spesifik pasal 1 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa ”setiap umat manusia dilahirkan merdeka dan
sederajat dalam harkat dan martabatnya”. 
4. Non diskriminasi (non-discrimination). Non diskriminasi terintegrasi dalam kesetaraan. Prinsip ini
memastikan bahwa tidak seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor
luar, seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan
lainnya, kebangsaan, kepemilikan, status kelahiran atau lainnya. 
5. Tidak dapat dicabut (inalienability). Hak-hak individu tidak dapat direnggut, dilepaskan dan
dipindahkan. Namun, hak asasi manusia dapat dibatasi sepanjang untuk alasan yang dibenarkan
menurut hukum yang berlaku pada suatu negara, misalnya apabila seseorang melakukan tindak
pidana, dengan ancaman kurungan penjara. Artinya, hak-hak asasi warga binaan yang dipenjara
tidak lantas tidak dapat dikurangi, seperti hak mendapat hiburan, berwisata, bahkan makan dan
minum-pun semua dibatasi.
6. Tak bisa dibagi (indivisibility). HAM-baik hak sipil, politik, sosial, budaya, ekonomi-semuanya
bersifat inheren, yaitu menyatu dalam harkat martabat manusia. Pengabaian terhadap satu hak
akan menyebabkan pengabaian terhadap hak-hak lainnya. Hak setiap orang untuk bisa
memperoleh penghidupan yang layak adalah hak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hak tersebut
merupakan hak dasar bagi setiap orang agar bisa menikmati hak-hak lainnya seperti hak atas
kesehatan atau hak atas pendidikan. Ketujuh, Saling berkaitan dan bergantung (interrelated and
interdependence). Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak
lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Contohnya, dalam situasi tertentu, hak atas
pendidikan atau hak atas informasi adalah saling bergantung satu sama lain. Misalnya, apabila
hak terhadap pendidikan tidak didapat seseorang, maka akan berdampak pada hak memperoleh
pekerjaan, berimplikasi terhadap hak atas kesejahteraan dan tentu berpengaruh terhadap hak
hidup secara layak. Oleh karena itu pelanggaran terhadap suatu hak akan saling bertalian,
hilangnya satu hak mengurangi hak lainnya.

Sejarah HAM di Dunia -Latar Belakang Pengakuan dan


Penyebarannya
Sponsors Links

Hak Asasi Manusia yang lebih dikenal dengan akronim HAM merupakan hak yang mutlak dimiliki oleh
setiap manusia di muka bumi ini sejak ia masih di dalam kandungan ibunya sampai ia meninggal. Hak
asasi ini meliputi hak-hak dasar kebutuhan manusia normal pada umumnya. Misalkan saja hak untuk
hidup, hak memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya, hak untuk memperoleh
pendidikan serta hak-hak dasar lain yang dibutuhkan oleh manusia.

Mengapa Hak Asasi Manusia (HAM) ini dibahas secara khusus ? karena di masa lalu, orang yang
berpangkat tinggi cenderung menginjak-injak harga diri orang yang lebih miskin. Bahkan tak jarang
perbudakan dilakukan tanpa mempertimbangkan hak-hak dasar yang melekat pada setiap individu.
Sehingga terjadi penyiksaan berlebihan terhadap rakyat jelata yang dilakukan oleh para raja dan
saudagar kaya. Sejarah HAM dunia berkaitan erat dengan sejarah demokrasi di duniakarena sama-sama
mengangungkan kebebasan dan hak dasar individu tanpa pandang bulu.

Latar Belakang Pengakuan HAM di Dunia


Sejarah HAM di dunia dimulai dari daratan Ratu Elizabeth, Inggris Raya. Selanjutnya, HAM yang
memang menjadi hak dasar manusia, akhirnya dengan mudah diakui dan ditegakkan di seluruh negara.
Perlahan tapi pasti, tidak ada lagi sistem pemerintahan di dunia yang menyalahi keutuhan HAM. latar
belakang pengakuan HAM di dunia banyak dipicu oleh kondisi bermasyarakat di beberapa negara besar.

Inggris

 Magna Charta Liberium

Inggris mengeluarkan Magna Charta di tahun 1215 Masehi. Di zaman itu, Inggris dengan banyak negara
lain di dunia masih terbagi atas kerajaan-kerajaan besar. Di Inggris, diterapkan suatu aturan yang
membuat raja kebal terhadap hukum. Jadi, raja berhak membuat hukum namun tidak terikat dengan
hukum tersebut. Raja Inggris berhak menghukum namun tidak boleh dihukum. Pada akhirnya, apapun
keputusan Raja Inggris, beliau selalu benar dan harus ditaati.

Hampir sama seperti keadaan Indonesia di orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, Inggris raya
di abad ke-12 menjadi negara tirani. Rakyat jelata dan golongan di bawah bangsawan boleh diadili tanpa
kesalahan yang berarti atau bahkan dijebloskan ke penjara tanpa mengalami proses peradilan terlebih
dahulu. Memang tidak dapat diterima oleh setiap orang, namun setiap warga Inggris harus tunduk
kepada perintah raja, benar atau salah.

Di tahun 1215, kaum bangsawan yang berada di bawah raja mulai menyadari ketidak adilan kondisi ini.
Akhirnya mereka berusaha melakukan penuntutan dengan cara menekan raja. Golongan mana lagi yang
dapat didengar suaranya oleh raja jika bukan para bangsawan. Penuntutan ini berhasil melahirkan
piagam Magna Charta Libertatum.

Magna Charta Libertatum berisikan larangan-larangan penghukuman sewenang-wenang, penahanan


tanpa pengadilan serta perampasan hak milik perseorangan tanpa pembelaan. Sehingga dengan
disetujuinya Magna Charta Libertatum oleh raja dan para bangsawan, hak asasi mulai berjalan di
lingkungan mereka. Jadi, hanya golongan merekalah yang mendapat jaminan keadilan hukum. Golongan
lainnya belum dimasukkan ke dalam perjanjian ini. Sehingga kehidupan mereka tetap sama.

Walau bagaimanapun juga, Magna Charta tetap menjadi tonggak awal penegakan HAM di dunia.
Sekalipun ikatan perjanjian HAM hanya melingkupi orang-orang papan atas di Inggris. Raja Inggris yang
bijak tersebut bernama Raja John –yang memerintah Kerajaan Inggris di abad ke-12.
Sponsors Link

Selanjutnya, sebagai wujud nyata tindak lanjut dari Magna Charta, di tahun 1679, para tahanan yang
ditahan sebelum Magna Charta menjadi kesepakatan mulai dihadapkan kepada raja. Kali ini bukan untuk
disiksa atau dihakimi lagi. Mereka mendapatkan kepastian alasan penahanan selama bertahun-tahun.
Sehingga para tahanan tanpa pengadilan yang dulunya diseret paksa masuk penjara mulai dapat
menerima keadaan dan tidak lagi hidup dalam kebencian.

 Habeas Corpus Act

Tentunya rasa benci, dendam, dan ingin melakukan pembalasan terhadap raja Inggris yang semena-
mena pernah timbul di hati para pesakitan. Namun sejak diterbitkannya Habeas Corpus Act tahun 1679,
tidak ada lagi perseteruan berarti antara keluarga para pesakitan dengan raja. Karena segalanya telah
dijelaskan secara gamblang.

Sementara itu, orang yang ditahan tanpa alasan boleh saja masuk ke penjara tanpa menerima
penjelasan. Dengan syarat, orang tersebut harus menerima penjelasan dari hakim maksimal 3 hari
setelah dia menjadi penghuni penjara. Ketentuan ini menjadi bukti penegakan HAM di Inggris.

 Bill of Rights

Di tahun 1689, Inggris mengeluarkan akta HAM lagi yang dinamai Bill of Rights. Akta penandatanganan
ini membatasi kekuasaan raja yang masih tergolong absolut. Lagi-lagi yang berusaha memperjuangkan
dikeluarkannya akta Bill of Rights adalah golongan bangsawan. Mereka meminta raja tidak dikebalkan
hukum. Bagaimanapun juga, raja sangat mungkin melakukan kesalahan karena beliau hanyalah manusia
biasa.

Ketika raja melakukan kesalahan, hukum yang berlaku harus menghukum sesuai pelanggaran yang
dilakukan raja. Selain itu, raja tidak lagi berhak semena-mena menyiapkan pasukan kecuali dalam kondisi
siaga perang. Raja adalah pemimpin pemerintahan yang harus mempertanggungjawabkan tugasnya di
hadapan parlemen Inggris. Karena telah menyangkut hak-hak parlementer, piagam Bill of Rights
dianggap sebagai piagam modern pertama di dunia. Terlepas dari prakteknya yang hanya berlaku untuk
para bangsawan berjenis kelamin laki-laki saja.
Amerika Serikat
Setelah mulai berkembang baik di Britania Raya alias Inggris, Hak Asasi Manusia mulai dikembangkan di
negara lain. Tepatnya United States of America (U.S.A) yang waktu itu masih menjadi negara muda.
Amerika Serikat di awal kemerdekaannya sangat terinspirasi dengan pemikiran-pemikiran Jean Jacques
Rousseau, John Locke serta Mountesquieu. Sehingga Amerika Serikat memasukkan pendapat mereka
mengenai hak asasi manusia ke dalam dasar negara.

4 Maret 1789 menjadi tanggal yang penting bagi sejarah HAM di Amerika Serikat. Pada tahun tersebut,
Amerika Serikat resmi memasukkan aturan HAM yang bersumber dari pendapat filsuf terkenal di atas ke
dalam Undang-undang Dasar Negaranya. Padahal semua filsuf yang menjadi sumber inspirasi mereka
tidak ada yang asli warga negara Amerika Serikat. Namun kebenaran pemikiran mereka tentang hak
dasar manusia sejak di dalam perut ibunya berhasil memikat hati para pendiri Amerika Serikat yang ingin
menghapuskan pembelengguan hak manusia atas manusia lainnya.

Di Amerika, HAM dikenal dengan nama The American Declaration of Independence. Beberapa


perkembangan HAM di Amerika terus terjadi hingga melahirkan deklarasi-deklarasi lain yang lebih detail
menguraikan hak asasi manusia beserta perlindungannya. Hal ini dibuktikan dengan The French
Declaration 1789 sebagai dasar The Rule of Law.

HAM di Amerika Serikat ini sudah berkembang lebih kompleks daripada HAM di Inggris Raya. Di
Amerika, melalui The Rule of Law-nya, kebebasan beragama, kebebasan atas hak milik, hingga
kebebasan memilih kewarganegaraan. Presiden Franklin D. Roosevelt sendiri sangat mendukung
penegakan HAM di Amerika Serikat. Pidatonya mengenai pengakuan HAM tanggal 6 Januari 1941
menjadi saksi sejarah HAM di Amerika Serikat

Penyebaran HAM di Dunia Internasional


Setelah jejak Inggris diikuti oleh Amerika Serikat, HAM semakin memikat banyak negara. Fitrahnya
memang manusia semuanya sama di mata Tuhan, apalagi di mata hukum yang hanya buatan manusia.
HAM juga melindungi hak-hak dasar manusia yang masih sering diabaikan karena seseorang terlahir di
keluarga kalangan bawah yang tentunya itu takdir Tuhan diluar kendali manusia.

Di waktu-waktu itulah dunia sedang berada di masa kelam. Perang telah menumbuhkan kebencian dan
dendam antar sesama manusia. Rasisme, kejahatan genosida, dan kejahatan luar biasa lain banyak
terjadi di muka bumi. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menjamin keadaan akan segera
tenang.
Sponsors Link

Secara alamiah manusia lebih menyukai perdamaian dibandingkan perang yang meminta tumbal nyata
dan biaya yang tidak sedikit. Seusainya perang dunia II yang sangat dahsyat, HAM diakui secara
internasional. Melalui United Nation Organization (UNO) alias PBB yang menjadi payung atas banyak
negara dari beberapa benua, HAM diakui secara resmi.

Karena yang mengakui adalah organisasi resmi tingkat dunia, maka HAM telah dijunjung tinggi di atas
bumi. Bukan hanya satu atau dua negara saja yang menegakkan, mulai 10 Desember 1948 HAM harus
dibela oleh masyarakat internasional. Tidak boleh ada perang yang menyalahi HAM sebagaimana yang
dilakukan Hitler dan NAZI ketika masa Perang Dunia II.

HAM yang telah diakui oleh PBB ini disahkan secara tertulis melalui sebuah deklarasi bernama The
Universal Declaration of Human Rights. Semenjak itulah, setiap negara yang tergabung dalam PBB juga
menegakkan HAM di negaranya masing-masing. Sampai sekarang, HAM masih dijaga baik oleh setiap
negara di dunia.
PENGAKUAN HAM DI INDONESIA

 Hak Asasi Manusia di Indonesia Bangsa Indonesia memberi pengakuan hak asasi manusia. Pengakuan
hak asasi manusia di Indonesia tercantum dalam UUD 1945, yaitu sebagai berikut. 

1) Pembukaan UUD 1945 Alinea I yang berbunyi, "... kemerdekaan adalah hak segala bangsa...". Dalam
Alinea I ini terkandung hak kemerdekaan dan kebebasan. 

2) Batang Tubuh UUD 1945 Pasa1 27—Pasal 34 yang mencakup hak dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. 

Pengakuan hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi tersebut sebenarnya telah
lebih dahulu ada dibanding dengan deklarasi universal PBB yang lahir pada 10 Desember 1948. Hal itu
berarti sudah sejak awal bangsa Indonesia menyadari akan adanya hak asasi manusia. Namun,
rumusan-rumusan dalam konstitusi itu amat terbatas jumlahnya dan hanya dirumuskan secara singkat
dan garis besarnya saja. 

Sampai berakhirnya era Orcle Baru tahun 1998, pengakuan hak asasi manusia di Indonesia tidak banyak
mengalami perkembangan dan tetap berlandaskan pada rumusan yang ada dalam UUD 1945. Peristiwa
penting yang patut dicatat pada era Orde Baru adalah didirikannya lembaga Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993. Komnas HAM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.
50 Tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993. 

Komnas HAM adalah sebuah organisasi independen yang tidak berpihak, visioner, dan memiliki misi
membantu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masyarakat Indonesia, serta melakukan
kegiatan pendidikan dan penyuluhan masyarakat tentang HAM. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) bekerja untuk memajukan dan melindungi HAM di seluruh Indonesia. Komnas HAM
didirikan dengan Keppres No. 58 Tahun 1993. Dalam perkembangannya, Keppres tersebut telah dicabut
dan diganti dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang memperkuat mandat dan peranan
Komnas HAM. 

Perkembangan berikutnya terjadi pada era reformasi sekarang ini. Pada periode reformasi yang ditandai
dengan demokrasi, keterbukaan, dan hak asasi manusia ini, jaminan akan perlindungan HAM bagi
masyarakat Indonesia makin diperjuangkan. Hasil yang sangat menggembirakan tersebut, antara lain
sebagai berikut. 

1) Ditetapkannya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia pada 13
November 1998. 

2) Disahkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada tanggal 23
September 1999. ,
3) ditetapkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 

4) Rumusan baru mengenai hak asasi manusia Indonesia tercantum dalam Pasal 28 A sampai dengan
Pasal 28 J UUD 1945 hasil amandemen pertama tahun 2000. 

Keempat rumusan tersebut dapat dikatakan sebagai piagam penting bagi bangsa Indonesia akan
pengakuan, perlindungan, dan pengayoman hak asasi manusia. Dengan adanya piagam-piagam
tersebut, makin menunjukkan betapa besar niat dan keinginan bersama bangsa Indonesia untuk
menjamin dan menegakkan pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia. 

Periode-periode HAM:

Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )

a) Periode 1945 – 1950

Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan
untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk
menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi
secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara
( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana
ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik.
Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.

b) Periode 1950 – 1959

Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode
Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat
membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau
demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh
Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan
menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima
aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya
masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati
kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam
suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan
rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat
dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan
pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya
kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

c) Periode 1959 – 1966


Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai
reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi
terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi
terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik
maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan
hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.

d) Periode 1966 – 1998

Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk
menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM.
Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan
gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan
HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum
II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna
melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966
MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam
piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM
mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan.
Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum
yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan
bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya
bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal
HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan
dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada
anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan
Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM
nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM
( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan
HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi
internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus
Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil
yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif
menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah
satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun
1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi
pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998 – sekarang

Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada
pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian
terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan
perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang
berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di
Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum
nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen
Internasional dalam bidang HAM.

Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status
penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan
beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara (
Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU),
peraturan pemerintah dan ketentuan perundang – undangam lainnya.

PELANGGARAN HAM

Bedasarkan Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang disebut dengan pelanggaran


HAM/hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang yang di dalamnya
termasuk aparat negara, maupuin bukan, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan ataupun mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin atas UU dan tidak mendapatkan ataupun
dikhawatirkan tidak akan memperoleh suatu penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan pada mekanisme hukum yang telah berlaku.

  Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu :
a.   Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
  Pemukulan
  Penganiayaan
  Pencemaran nama baik
  Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
  Menghilangkan nyawa orang lain
b.     Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
  Pembunuhan masal (genosida)
  Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
  Penyiksaan
  Penghilangan orang secara paksa
  Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
Contoh kasus pelanggaran ham (20 contoh kasus) :

1. Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)


2. Kasus Marsinah 1993
3. Peristiwa Tanjung Priok (1984)
4. Aksi Bom Bali 2002
5. Peristiwa Pemberontakan di Aceh Gerakan Aceh
Merdeka/GAM (1976-2005)
6. Kasus Penganiayaan Wartawan Udin (1996)
7.  PELANGGARAN HAM DI TIMOR-TIMUR (1974-
1999)
8. Kerusuhan Ambon/Maluku (1999)
9.  Konflik Berdarah Poso (1998) 
10. Penculikan aktivis 1997/1998
11.  Pembantaiaan Rawagede (1947)
12.  Pembantaian Massal Komunis/PKI (1965)
13. Kasus Dukun Santet di Banyuwangi (1998)
14. Kasus Bulukumba (2003)
15.  Peristiwa 27 Juli (1996)

Beberapa contoh kasus kasus pelanggaran HAM :

1. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak aparat ketika berdemonstrasi


pada 12 Mei 1998, sampai saat ini kasus penembakan mahasiswa dan kasus pelanggaran
HAM lain di saat menjelang dan sesudah turunnya Soeharto belum tuntas.

Pada 12 Mei 1998, demonstrasi sampai sore berlangsung tertib dan damai, dengan pembacaan puisi
dan menyanyikan lagu. Demonstrasi itu juga pertama kalinya didukung oleh seluruh civitas academika Trisakti
termasuk para dosen.

Awalnya mereka ingin menuju DPR namun terhambat oleh barikade aparat, setelah proses negosiasi,
mahasiswa pun mundur. Saat itu, seseorang berteriak pada mahasiswa dan lari ke belakang barisan aparat, lalu
ketegangan pun muncul.
 Presiden Jokowi akui banyak kasus pelanggaran HAM belum tuntas
 Keluarga korban Trisakti tunggu langkah nyata pemerintah

Mahasiswa kemudian mundur, dan tiba-tiba terjadi tembakan gas air mata dan juga penembak jitu. Awalnya
John mengira para penembak menggunakan peluru karet.

Aktivis mahasiswa Trisakti 1998 John Muhamad masih mengingat saat itu tiba-tiba terdengar teriakan
mahasiswa.
"Innalilahi, saya langsung lari gedung F, saya lihat Hendriawan Sie mahasiswa Fakultas Ekonomi, kaku sudah
meninggal, tak lama kemudian terdengar lagi Innalilahi, saya lari kencang lalu melihat Heri Hertanto yang
mengerang kesakitan," jelas John.

Hanya selang beberapa detik saja, teriakan mahasiswa kembali terdengar. Kali ini John mendapati adik
kelasnya di Fakultas Arsitektur, Elang Mulia Lesmana.

"Elang masih hidup saat itu, tidak bisa ngomong, dia diam, kayak kesakitan, tangannya dingin," ungkap John.

Penembakan empat mahasiswa termasuk Hafidin Royan pada sore itu memicu kemarahan mahasiswa Trisakti
lainnya, mereka melempar apa saja ke arah pasukan penembak jitu yang berada di atas gedung.

"Memang tidak akan sampai tapi saya melihat mereka marah sekali," jelas John yang dulu merupakan
komandan lapangan aksi 12 Mei.

Sampai sekitar pukul 9 malam suara tembakan masih terdengar. Suasana di dalam kampus pun tegang, jumlah
korban tewas pun simpang siur. Sebagai koordinator lapangan aksi mahasiswa Trisakti, John berupaya
memastikan dengan pergi ke RS Sumber Waras, menyamar dengan menggunakan jaket seorang wartawan.

"Waktu itu ada wartawan yang mencegah keluar, bisa ditangkap nanti, jadi meminjamkan jaketnya pada saya,"
jelas John.

Di RS Sumber Waras, empat mahasiswa tersebut tidak ditangani karena petugas medis membutuhkan surat
izin dari kepolisian. Setelah berbicara dengan sejumlah tokoh, yang kemudian merekomendasikan seorang
dokter Mun'im Idris untuk melakukan otopsi terhadap jenazah mahasiswa yang tewas.

Tewasnya empat mahasiswa Trisakti semakin memicu gelombang demonstrasi mahasiswa di berbagai kota
yang sudah bergulir sejak akhir 1997 ketika krisis ekonomi mulai terjadi di Indonesia.

Sebelumnya pada 8 Mei 1998, seorang mahasiswa Universitas Sanata Dharma tewas akibat benda tumpul
dalam demonstrasi di Yogyakarta.

Demonstrasi mahasiswa yang didukung oleh sejumlah tokoh masyarakat dan akademisi serta berbagai
kalangan lain membuat Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Wakil presiden saat itu,
BJ Habibie diangkat menjadi Presiden ketiga RI.
Image captionRakyat bereaksi menyaksikan pengunduran diri Soeharto.

Sumarsih menuntut keadilan dengan aksi Kamisan di depan


Istana
Setelah kasus Trisaksi, pada 13 November 1998, aparat menembak mahasiswa dari berbagai perguruan tingi
yang berdemonstrasi memprotes Sidang Istimewa DPR/MPR dan menolak Dwifungsi ABRI di kawasan
Semanggi. Mereka kemudian berlari ke kampus Universitas Atmajaya.

Menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, jumlah korban tewas mencapai 17 orang warga sipil terdiri
dari berbagai kalangan, dan ratusan korban luka tembak, dan terkena benda tumpul. Empat orang mahasiswa
dari berbagai perguruan tinggi menjadi korban tewas saat itu, yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus
Kusnadi dan Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan.
Pada hari Wawan tertembak, ibundanya Maria Katarina Sumarsih tengah menyaksikan berita demonstrasi
mahasiswa melalui televisi dan mendengar ada mahasiswa tertembak. Tak lama telepon di rumahnya
berdering, dua kali dia menerima informasi tentang penembakan. Namun percakapan terakhir dengan
Sandyawan Sumardi, Tim Relawan Kemanusiaan, memastikan penembakan Wawan memintanya menuju RS
Jakarta.

Sampai di RS Jakarta, Sumarsih diminta ke lantai bawah, di sana dia mendapati tiga keranda yang terbuka,
salah satunya terbaring jenazah Wawan. Sumarsih mendekati jasad putranya.

"Wawan pakai kaos putih, matanya terpejam seperti orang tidur,dua jempol kakinya diikat pakai tali putih,
saya meraba seluruh tubuhnya, sampai di perut saya katakan 'kamu lapar ya perutmu tipis'," ungkap Sumarsih.
 Mugiyanto mencari keadilan
 #TrenSosial: Di mana Anda ketika kerusuhan Mei 1998?

Sumarsih melihat lubang kaos putih di bagian dada putranya, "Saya katakan "Wan, kamu ditembak"."

Setelah itu Sumarsih yang didampingi suami Arief Priyadi dan adiknya pun berdoa. Tak lama dia mengurus
pemulangan jenazah Wawan.

Namun seorang penyidik memintanya agar jenazah Wawan diotopsi. Awalnya Sumarsih menolak namun
akhirnya setelah penyidik itu menyatakan otopsi hanya 'operasi kecil' dia pun menyetujuinya.

Untuk keperluan otopsi, jenazah di bawa ke RSCM melalui jalanan yang masih dipenuhi suara tembakan.
"Supir ambulans yang membawa jenazah Wawan saat itu terus berteriak 'tundukkan kepala, tundukkan kepala,
mobil kita ditembaki'," ungkap Sumarsih.

Dokter menyebutkan hasil otopsi menunjukkan peluru yang mengenai jantung dan paru-paru Wawan
merupakan standar TNI.

Setelah Wawan meninggal, Sumarsih berupaya mencari kesaksian dari sejumlah teman-teman putranya. Dari
kesaksian tersebut, Sumarsih mengetahui bahwa Wawan yang selama ini aktif di Tim Relawan Kemanusiaan
tertembak ketika menolong korban penembakan lainnya.

Sumarsih pun masih menanti keadilan, sejak 18 Januari 2007 dia bersama dengan para penyintas dan keluarga
korban pelanggaran HAM menggelar aksi Kamisan di depan Istana Presiden sampai saat ini.

Penembakan Semanggi II
Hampir setahun setelah penembakan mahasiswa dan warga sipil di kawasan Semanggi, mahasiswa di Jakarta
dan berbagai daerah masih terus menggelar demonstrasi 'mengawal pemerintahan transisi'.

Pada 24 September 1999, rencana pemberlakukan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) kembali
memicu demonstrasi besar. Aturan yang bertujuan untuk mengganti UU Subversif itu dianggap bersifat
otoriter.

Penembakan terhadap mahasiswa pun kembali dilakukan, catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta salah satunya adalah Yap
Yun Hap mahasiswa Universitas Indonesia di kawasan Semanggi, sekitar 217 orang mengalami luka.
 #TrenSosial: Kisah traumatis di balik kerusuhan Mei 1998
 Peringatan 12 Mei 1998
 Reformasi mengubah wajah radio

Perjalanan Kasus Trisakti Semanggi I dan II


Penyelidikan kasus ini menyeret enam terdakwa kasus penembakan mahasiswa Trisakti yang kemudian
mendapatkan hukuman 2-10 bulan pada 31 Maret 1999. Tiga tahun kemudian, sembilan terdakwa lain
disidangkan di Mahkamah Militer, yang kemudian dihukum 3-6 tahun penjara pada Januari 2002.

Namun Komnas HAM menyebutkan terdakwa dalam kasus ini masih memberikan hukuman pada pelaku
lapangan, dan bukan komandannya.

Sebelumnya pada tahun 2000 lalu, DPR membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) atas desakan
mahasiswa dan keluarga korban. Setahun kemudian, Pansus menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran
HAM berat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Pansus juga merekomendasikan penyelesaian
melalui jalur pengadilan umum dan pengadilan militer.

Juli 2001, rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus Trisaksi, Semanggi I dan II, hasilnya
tiga fraksi F-PDI P, F PDKB, F PKB menyatakan kasus ini terjadi unsur pelanggaran berat, namun tujuh fraksi
lain F- Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F-Reformasi, F-KKI, F-PDU menyatakan tidak terjadi
pelanggaran HAM berat pada kasus TSS.

Mahasiswa dan keluarga korban pun tidak puas. Pada 2001, Komnas HAM mulai melakukan penyelidikan
kasus Trisakti, Semanggi I dan II dengan membentuk KPP HAM. Para mahasiswa pun membantu Komnas
HAM untuk mengumpulkan bukti dan saksi kasus penembakan tersebut.

"Kami mengumpulkan saksi, siapa yang menemukan barang bukti dan banyak saksi dari mahasiswa itu yang
kami wawancara," jelas John.
Image captionMahasiswa menguasai gedung MPR/DPR pada 19 Mei 1998 menuntut reformasi dan
pengunduran diri Soeharto dari kursi kepresidenan.

Dalam laporan hasil penyelidikan KPP HAM menyimpulkan terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup telah
terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dengan 50 orang
perwira TNI/Polri diduga terlibat dalam kasus penembakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Sesuai dengan UU No. 26 tahun 2000, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan kepada Kejaksaan
Agung untuk dilakukan penyidikan pada April 2002.

Di tahun berikutnya, Kejaksaan Agung menolak dengan alasan kasus tersebut sudah disidangkan melalui
pengadilan militer, sehingga tidak dapat mengajukan kasus yang sama ke pengadilan. Padahal menurut
Komnas HAM, peradilan militer hanya menjerat pelaku lapangan, sementara pelaku utama belum diadili.

Pada Maret, dalam rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III dan Kejaksaan Agung, pihak Kejakgung
tetap bersikukuh tidak akan melakukan penyidikan sebelum terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Selain itu,
Komisi III juga memutuskan pembentukan Panitia Khusus (PANSUS) orang hilang.

Pada 13 Maret 2007, Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI memutuskan tidak akan mengagendakan
persoalan penyelesaian tragedi TSS ke Rapat Paripurna pada 20 Maret nanti. Artinya, penyelesaian kasus TSS
akan tertutup dengan sendirinya dan kembali ke rekomendasi Pansus sebelumnya.
Optimisme sempat muncul selama masa kampanye pemilihan presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, berjanji
untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan, menjadi salah satu prioritas utama
pemerintahan mereka untuk mencapai kedaulatan politik.
.

Pada April 2015 Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan pemerintah akan membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus penembakan 12 Mei 1998.

Namun Kontras menilai dalam pemerintahan Jokowi dan setelah 20 tahun reformasi, penyelesaian kasus
pelanggaran HAM bukan hanya jalan di tempat namun mengarah pada kemunduran.

Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan berbagai kebijakan tidak sejalan dengan pemenuhan keadilan
dalam Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

"Dalam Perpres Ranham yang terbaru disebutkan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu,
rencana aksi HAM adalah untuk optimalisasi dan koordinasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kok sudah 20 tahun masih koordinasi, ini terkesan mengulur waktu," ujar Yati.

Di sisi lain, Yati menilai kultur impunitas atau ketiadaan penghukuman di Indonesia sangat kuat yang
membuat kasus pelanggaran HAM sulit untuk diselesaikan dan justru orang-orang yang diduga terlibat dalam
kasus pelanggaran HAM di masa lalu kembali memiliki kekuatan politik.

"Ketiadaan peradilan terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, akhirnya para pihak tersebut
dengan mudah kembali lagi dan "justru menunggangi" agenda demokrasi dengan membuat partai politik dan
bahkan mencalonkan diri sebagai presiden, masuk kekuasaan dan itu akan semakin mempersulit," jelas Yati.

"Jadi dalam 20 tahun reformasi, kita tidak bisa membedakan, tidak jelas di mana kita: fase Orde Baru, fase
transisi dan reformasi," ujar Yati.

Meski begitu keluarga korban tak berhenti menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu,
dalam aksi Kamisan, seperti pada awal Mei lalu.

Aksi diam dengan membawa payung hitam di seberang Istana Presiden ini, sudah berlangsung sejak 18 Januari
2007 lalu. Namun tak pernah sekalipun presiden yang menjabat mendatangi keluarga korban tersebut.

Sebelum mengikuti aksi Kamisan, Sumarsih mengatakan dia menduga pemerintah sengaja mengulur waktu
dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

"Kalau dibilang kurang alat bukti, kami ini bisa menjadi bukti, pemerintah itu menunggu kami, keluarga
korban, meninggal satu per satu, menunggu kami keluarga korban lelah dan menunggu masyarakat
melupakannya," ujar Sumarsih.

Dengan begitu menurut Sumarsih, orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran HAM bisa bebas."Namun
kami tak pernah lelah mendesak pemerintah menuntaskannya," ujar Sumarsih.
2. Kasus marsinah 1993

Marsinah adalah seorang bisa disebutkan sebagai pejuang HAM (Hak Asasi
Manusia) serta sebagai penggerak buruh di indonesia. Marsinah merupakan salah satu
penggerak unjuk rasa di PT. Catur Surya pada Mei 1993. Unjuk rasa ini dalam rangka
menuntut agar upah buruh di naikkan. Pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993, Marsinah dan
rekan-rekan buruh lainnya menjadi perwakilan perundingan dengan PT.CPS. Namun
mulai tanggal 6 Mei Marsinah menghilang begitu saja dengan misterius. Kemudian
ditemukan pada tanggal 8 Mei Marsinah sudah dalam keadaan meninggal di hutan
dengan keadaan tergeletak sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda
keras dan berlumuran darah disekujur tubuhnya. Didalam kasus ini mmerupakan Ham
berat karena terpadat unsur yang memunculkan pelanggaran Ham berat yakni pasal 9
UU No 26 Tahun 2000 unsur kejahatan manusia dan juga mengandung unsur
pelanggaran hak asasi manusia. Dasar hukum yang dilanggar pada sila ke-2 yaitu
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Didalamnya terdapat tindak kejahatan seperti
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan. Dan penganiayaan terhadap
seseorang atau kelompok yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan,
etnis, budaya, agama, jenis kelamin yang telah diakui universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional Rekasaya kasus Marsinah, banyak kecaman dari
berbagai pihak yang mana kasus Marsinah sudah cukup lama, tetapi pembunuhnya
entah kemana. Seharusnya melihat kejadian tersebut yang sampai sekarang masih
misterius untuk menghindari kasus tersebut terjadi lagi, seharusnya ada tindakan
khusus dari hukum pemerintah untuk memberikan efek jera bagi pelaku. Sebagai
mahluk sosial kita harus mampu memperjuangkan HAM kita sendiri. Disamping itu,
kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai
membuat pelanggaran HAM. Dan jangan sampai pula HAM kita sendiri mau di injak-
injak oleh orang lain. Jadi kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi yang
diantaranya HAM kita dengan HAM orang lain.

3. Kasus tanjung priok (1984)

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12


September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesiayang mengakibatkan sejumlah korban tewas
dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil
merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.
[1][2]
 Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan
aparat.[3]

Latar Belakang
Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu, [4] seorang anggota Bintara Pembina Desa tiba
di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya, Amir
Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah. [5] Biki menolak permintaan
ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya, dia dilaporkan memasuki area
sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran serius terhadap etiket masjid). [5][6]
Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe dan
Sofwan Sulaeman, membakar motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang berbicara
dengan petugas lain.[5][6] Keduanya kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman, serta pengurus
lain, Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor. [5][6][7]

Insiden
Dua hari pasca penangkapan, ulama Islam Abdul Qodir Jaelani memberikan sebuah khotbah
menentang asas tunggal Pancasiladi masjid As Saadah.[6] Setelah itu, Biki memimpin sebuah
demonstrasi ke kantor Kodim Jakarta Utara, di mana keempat tahanan tersebut ditahan. [8][6] Seiring
waktu, massa kelompok tersebut meningkat, dengan perkiraan berkisar antara 1.500 sampai
beberapa ribu orang.[8][6] Selama kerusuhan tersebut, sembilan anggota keluarga Muslim Tionghoa
Indonesia yang dipimpin oleh Tan Kioe Liem dibunuh oleh para pemrotes dan ruko-ruko hangus
dibakar.[9][10]
Protes dan kerusuhan tidak berhasil menuntut pembebasan tahanan tersebut. [8] Sekitar pukul 11
malam waktu setempat, para pemrotes mengepung komando militer. [6] Personel militer dari Batalyon
Artileri Pertahanan Udara ke-6 menembaki para pemrotes. [8][11] Sekitar tengah malam, saksi mata
melihat komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani yang
mengawasi pemindahan korban; mayat-mayat itu dimasukkan ke dalam truk militer dan dikuburkan
di kuburan yang tidak bertanda, sementara yang terluka dikirim ke Rumah Sakit Militer Gatot
Soebroto.[8]

Akibat
Setelah kerusuhan tersebut, militer melaporkan bahwa mereka dipicu oleh seorang pria berpakaian
militer palsu yang membagikan selebaran anti-pemerintah bersama dengan 12 komplotannya;
dilaporkan dari orang yang ditahan. [12] Jenderal Hartono Rekso Dharsono ditangkap karena diduga
menghasut kerusuhan tersebut.[13] Setelah menjalani persidangan empat bulan, dia divonis bersalah;
dia akhirnya dibebaskan pada bulan September 1990, setelah menjalani hukuman penjara lima
tahun.[13]
Setelah kerusuhan tersebut, setidaknya 169 warga sipil ditahan tanpa surat perintah dan beberapa
dilaporkan disiksa.[14] Para pemimpin ditangkap dan diadili karena tuduhan subversif, kemudian
diberi hukuman panjang.[6] Yang lainnya, termasuk Amir Biki, termasuk di antara mereka yang
terbunuh.[8]
Laporan awal menyebutkan 20 orang tewas.[12] Catatan resmi saat ini memberikan total 24 korban
tewas dan 54 terluka (termasuk militer), sementara korban selamat melaporkan lebih dari seratus
orang tewas.[15] Masyarakat Tanjung Priok memperkirakan total 400 orang terbunuh atau hilang,
sementara laporan lainnya menyarankan hingga 700 korban. [8][11]

Investigasi
Gencarnya gerakan hak asasi manusia pasca lengsernya Suharto pada tahun 1998, beberapa
kelompok dibentuk untuk mengadvokasi hak-hak korban, termasuk Yayasan 12 September 1984,
Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok 1984, dan Keluarga Besar untuk Korban Insiden
Tanjung Priok (didirikan oleh janda Biki Dewi Wardah dan putra Beni). [8] Kelompok-kelompok ini
mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Komnas HAM untuk menyelidiki lebih lanjut tragedi
tersebut; di DPR, perwakilan A.W. Fatwa dan Abdul Qodir Jaelani, yang pernah ditangkap setelah
tragedi tersebut, mendesak penyelidikan lebih lanjut. [8] Pada tahun 1999, Komnas HAM sepakat
untuk menyelidiki insiden tersebut, membentuk Komisi Investigasi dan Pemeriksaan Pelanggaran
HAM di Tanjung Priok (KP3T).[8]
KP3T terutama terdiri dari tokoh politik dari rezim sebelumnya, termasuk mantan jaksa agung Djoko
Sugianto.[8] Laporan yang dihasilkan, yang dirilis pada awal Juni 2000, menemukan bahwa tidak ada
pembantaian sistematis dalam insiden tersebut. [8] Ini tidak diterima dengan baik oleh masyarakat
umum. Pada tanggal 23 Juni 2000, sekitar 300 anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerang
markas Komnas HAM saat mengenakan pakaian Islami dan syal hijau. [9] Mereka memecahkan
jendela dengan batu dan batang rotan, melebihi jumlah dan banyak pasukan keamanan. [9] FPI
marah atas laporan tersebut dan beranggapan telah terjadi praktik kolusi dengan militer, dengan
alasan bahwa tindakan tersebut diabaikan oleh militer; dan bersikeras agar Komnas HAM
dihapuskan.[9] Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menulis
bahwa Komnas HAM telah menerapkan standar ganda saat menyelidiki masalah tersebut; dia
mengatakan bahwa mereka tampak lebih enggan untuk menyelidiki insiden Tanjung Priok dan lebih
memilih menyelidiki krisis Timor Leste tahun 1999. [8] Pemimpin Partai Bulan Bintang Ahmad
Sumargono menyebut keputusan tersebut mengecewakan kaum Muslim di mana-mana. [8]
Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang menunjukkan bahwa 23
orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas keterlibatan mereka; Ia meminta
pengadilan ad hoc untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut.[8] Presiden Abdurrahman Wahid juga
meminta penyelidikan lebih lanjut pada pengadilan yang akan datang. Beberapa pejabat militer
membuat surat pengampunan (islah) dengan keluarga korban; meski islah tidak mengandung
pengakuan bersalah, korban menerima kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta. [8] Islah pertama meliputi
86 keluarga, seperti yang diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi pada islah
kedua. Pada tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat. [8] Hasil islah tersebut, beberapa
korban atau keluarga mereka menyarankan kepada penyidik M.A. Rachman bahwa tuntutan harus
dijatuhkan.[8]Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.[16]
Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR menyetujui penggunaan undang-undang hak
asasi manusia tahun 2000 untuk membawa pelaku pembantai ke pengadilan atas kejahatan
terhadap kemanusiaan;[15][17] persidangan dimulai pada bulan September tahun itu. [16] Mereka yang
dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel Sutrisno Mascung, pemimpin Peleton II Batalyon Artileri
Pertahanan Udara saat itu, dan 13 bawahannya. [17] Pejabat berpangkat tinggi saat itu, termasuk
komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani, dibebaskan
dari tuntutan, seperti mantan Presiden Soeharto dan mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh.[17]
[18]
 Penuntutan dipimpin oleh Widodo Supriyadi, dan Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa bertugas sebagai
saksi penuntutan.[14][19] Beberapa petugas yang diadili divonis bersalah, sementara Sriyanto dan
Pranowo dibebaskan. Pada tahun 2004 kantor Kejaksaan mengajukan banding atas pembebasan
Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak. Keputusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah
Agung RI .

4. Aksi bom bali 2002

Bom Bali 2002 (disebut juga Bom Bali I)adalah rangkaian tiga peristiwa pengeboman yang
terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan
Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor
Konsulat Amerika Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan. Rangkaian pengeboman ini
merupakan pengeboman pertama yang kemudian disusul oleh pengeboman dalam skala yang jauh
lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang
luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke
lokasi yang merupakan tempat wisata tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai
peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.
Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang telah dibentuk untuk menangani
kasus ini menyimpulkan, bom yang digunakan berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club,
merupakan bom RDX berbobot antara 50–150 kg.[1]
Peristiwa Bom Bali I ini juga diangkat menjadi film layar lebar dengan judul Long Road to Heaven,
dengan pemain antara lain Surya Saputra sebagai Hambali dan Alex Komang, serta melibatkan
pemeran dari Australia dan Indonesia.

Runut kejadian Pengeboman Bom Bali 2002[1]

 12 Oktober 2002
Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali diguncang bom. Dua bom meledak
dalam waktu yang hampir bersamaan yaitu pukul 23.05 Wita. Lebih dari 200 orang menjadi korban
tewas keganasan bom itu, sedangkan 200 lebih lainnya luka berat maupun ringan.
Kurang lebih 10 menit kemudian, ledakan kembali mengguncang Bali. Pada pukul 23.15 Wita, bom
meledak di Renon, berdekatan dengan kantor Konsulat Amerika Serikat. Namun tak ada korban jiwa
dalam peristiwa itu.

 16 Oktober 2002
Pemeriksaan saksi untuk kasus terorisme itu mulai dilakukan. Lebih dari 50 orang telah dimintai
keterangan di Polda Bali. Untuk membantu Polri, Tim Forensik Australia ikut diterjunkan untuk
identifikasi jenazah.

 20 Oktober 2002
Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang telah dibentuk untuk menangani
kasus ini menyimpulkan, bom di Paddy's Pub berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club,
merupakan bom RDX berbobot antara 50–150 kg. Sementara bom di dekat konsulat Amerika
Serikat menggunakan jenis TNT berbobot kecil yakni 0,5 kg.

 29 Oktober 2002
Pemerintah yang saat itu dipegang oleh Megawati Soekarnoputri terus mendesak polisi untuk
menuntaskan kasus yang mencoreng nama Indonesia itu. Putri Soekarno itu memberi deadline,
kasus harus tuntas pada November 2002.

 30 Oktober 2002
Titik terang pelaku bom Bali I mulai muncul. Tiga sketsa wajah tersangka pengebom itu
dipublikasikan.

 4 November 2002
Polisi mulai menunjukkan prestasinya. Nama dan identitas tersangka telah dikantongi petugas. Tak
cuma itu, polisi juga mengklaim telah mengetahui persembunyian para tersangka. Mereka tidak
tinggal bersama namun masih di Indonesia.

 5 November 2002
Salah satu tersangka kunci ditangkap. Amrozi bin Nurhasyim ditangkap di rumahnya di di Desa
Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur.

 6 November 2002
10 Orang yang diduga terkait ditangkap di sejumlah tempat di Pulau Jawa. Hari itu juga, Amrozi
diterbangkan ke Bali dan pukul 20.52 WIB, Amrozy tiba di Bandara Ngurah Rai.
 7 November 2002
Satu sketsa wajah kembali dipublikasikan. Sementara itu Abu Bakar Ba'asyir yang disebut-sebut
punya hubungan dengan Amrozi membantah. Ba'asyir menilai pengakuan Amrozi saat diperiksa di
Polda Jatim merupakan rekayasa pemerintah dan Mabes Polri yang mendapat tekanan dari Amerika
Serikat.

 8 November 2002
Status Amrozi dinyatakan resmi sebagai tersangka dalam tindak pidana terorisme.

 9 November 2002
Tim forensik menemukan residu bahan-bahan yang identik dengan unsur bahan peledak di TKP.
Sementara Jenderal Da'i Bachtiar, Kapolri pada saat itu mengatakan kesaksian Omar Al-Farouq
tentang keterlibatan Ustad Abu Bakar Ba'asyir dan Amrozi dalam kasus bom valid.

 10 November 2002
Amrozi membeberkan lima orang yang menjadi tim inti peledakan. Ali Imron, Ali Fauzi, Qomaruddin
adalah eksekutor di Sari Club dan Paddy's. Sementara M Gufron dan Mubarok menjadi orang yang
membantu mempersiapkan peledakan. Polisi pun memburu Muhammad Gufron (kakak Amrozi), Ali
Imron (adik Amrozi), dan Ari Fauzi (saudara lain dari ibu kandung Amrozi). Kakak tiri Amrozi, Tafsir.
Tafsir dianggap tahu seluk-beluk mobil Mitsubishi L-300 dan meminjamkan rumahnya untuk dipakai
Amrozi sebagai bengkel.

 11 November 2002
Tim gabungan menangkap Qomaruddin, petugas kehutanan yang juga teman dekat Amrozi di Desa
Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Qomaruddin diduga ikut membantu meracik bahan peledak untuk
dijadikan bom.

 17 November 2002
Imam Samudra, Idris dan Dulmatin diduga merupakan perajik bom Bali I. Bersama Ali Imron, Umar
alias Wayan, dan Umar alias Patek, merekapun ditetapkan sebagai tersangka.

 26 November 2002
Imam Samudra, satu lagi tersangka bom Bali, ditangkap di dalam bus Kurnia di kapal Pelabuhan
Merak. Rupanya dia hendak melarikan diri ke Sumatera.

 1 Desember 2002
Tim Investigasi Bom Bali I berhasil mengungkap mastermind bom Bali yang jumlahnya empat orang,
satu di antaranya anggota Jamaah Islamiah (JI).

 3 Desember 2002
Ali Gufron alias Muklas (kakak Amrozi) ditangkap di Klaten, Jawa Tengah.

 4 Desember 2002
Sejumlah tersangka bom Bali I ditangkap di Klaten, Solo, Jawa Tengah, di antaranya Ali Imron (adik
Amrozi), Rahmat, dan Hermiyanto. Sejumlah wanita yang diduga istri tersangka juga ditangkap.
 16 Desember 2002
Polisi menangkap anak Ashuri, Atang, yang masih siswa SMU di Lamongan. Tim juga berhasil
menemukan 20 dus yang berisi bahan kimia jenis potassium klorat seberat satu ton di rumah
kosong milik Ashuri di Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran, Lamongan yang diduga milik Amrozi.

 18 Desember 2002
Tim Investigasi Gabungan Polri-polisi Australia membuka dan membeberkan Dokumen Solo,
sebuah dokumen yang dimiliki Ali Gufron. Dalam dokumen tersebut berisi tata cara membuat
senjata, racun, dan� merakit bom. Dokumen itu juga memuat buku-buku tentang Jamaah Islamiah
(JI) dan topografi suatu daerah serta sejumlah rencana aksi yang akan dilakukannya.

 6 Januari 2003
Berkas perkara Amrozi diserahkan kepada Kejaksaan Tinggi Bali.

 16 Januari 2003
Ali Imron bersama 14 tersangka yang ditangkap di Samarinda tiba di Bali.

 8 Februari 2003
Rekonstruksi bom Bali I

 12 Mei 2003
Sidang pertama terhadap tersangka Amrozi.

 2 Juni 2003
Imam Samudra mulai diadili.

 30 Juni 2003
Amrozi dituntut hukuman mati

 7 Juli 2003
Amrozi divonis mati

 28 Juli 2003
Imam Samudra dituntut hukuman mati.

 10 September 2003
Imam Samudra divonis mati.

 28 Agustus 2003
Ali Gufron alias Muklas dituntut hukuman mati

 2 Oktober 2003
Ali Gufron divonis mati.
 30 Januari 2007
PK pertama Amrozi cs ditolak

 30 Januari 2008
PK kedua diajukan dan ditolak

 1 Mei 2008
PK ketiga diajukan dan kembali ditolak

 21 Oktober 2008
Mahkamah Konstitusi tolak uji materi terhadap UU Nomor 2/Pnps/1964 soal tata cara eksekusi mati
yang diajukan Amrozi cs. �

 9 November 2008
Amrozi cs dieksekusi mati di Nusakambangan.

SERBA SERBI

 Serangan ini terjadi tepat 1 tahun, 1 bulan dan 1 hari setelah Serangan 11 September ke
menara WTC, Amerika Serikat.
 Ada beberapa pihak yang mencurigai adanya pihak asing dalam kejadian ini
 Umar Patek mengakui kesalahannya sebagai dosa di persidangan dan memohon maaf
kepada pihak keluarga dan Pemerintah Indonesia [3].
 Ali Imran (alias Alik) mengakui bahwa keterlibatannya terdahulu adalah sebuah
penyimpangan dan bid'ah dalam wawancara teleconference Karni Ilyas Lawyer's Club yaitu
sebuah acara di TV Nasional pada tahun 2013.

5. Peristiwa pemberontakan di Aceh gerakan aceh merdeka/ GAM (1976-2005)

Pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk


memperoleh kemerdekaan dari Indonesiaantara tahun 1976 hingga tahun 2005. Operasi
militer yang dilakukan TNI dan Polri (2003-2004), beserta kehancuran yang disebabkan oleh gempa
bumi Samudra Hindia 2004 menyebabkan diadakannya persetujuan perdamaian dan berakhirnya
pemberontakan. Amnesty International merilis laporan Time To Face The Past pada April 2013
setelah pemerintah Indonesia dianggap gagal menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian damai
2005. Laporan tersebut memperingatkan bahwa kekerasan baru akan terjadi jika masalah ini tidak
diselesaikan.[4]

Latar belakang
Secara luas di Aceh, agama Islam yang sangat konservatif lebih dipraktikkan. Hal ini berbeda
dengan penerapan Islam yang moderat di sebagian besar wilayah Indonesia lain. Perbedaan
budaya dan penerapan agama Islam antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia ini menjadi
gambaran sebab konflik yang paling jelas. Selain itu, kebijakan-kebijakan sekuler dalam
administrasi Orde Baru Presiden Soeharto (1965-1998) sangat tidak populer di Aceh, di mana
banyak tokoh Aceh membenci kebijakan pemerintahan Orde Baru pusat yang mempromosikan satu
'budaya Indonesia'. Selanjutnya, lokasi provinsi Aceh di ujung Barat Indonesia menimbulkan
sentimen yang meluas di provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti
masalah yang dimiliki Aceh dan tidak bersimpati pada kebutuhan masyarakat Aceh dan adat istiadat
di Aceh yang berbeda.

Garis waktu
Tahap pertama
Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama dengan keluhan lain
mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
pada tanggal 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang
dianggap melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat Aceh,
budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan meningkatnya jumlah migran dari
pulau Jawa ke provinsi Aceh. Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam
substansial Aceh juga menjadi bahan perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977
dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL,
perusahaan yang mengoperasikan ladang gas Arun.
Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat terbatas. Meskipun telah
ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak
mengundang partisipasi aktif massa.[5] Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang
yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari
desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di Tiro, sementara
yang lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat. [5]
Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi yang merupakan
anggota kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh. [6] Kabinet pertama GAM, yang
dibentuk oleh di Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan 1979, terdiri dari tokoh pemberontakan Darul
Islam berikut ini:[7]

 Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima Agung


 Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri
 Teungku Usman Lampoh Awe: Menteri Keuangan
 Teungku Ilyas Leube: Menteri Kehakiman
 Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi
 Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan
 Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial
 Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri
 Amir Ishak: Menteri Komunikasi
 Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan
 Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri
Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam GAM sendiri telah berjuang pada
tahun 1953-1959 dalam pemberontakan Darul Islam.[5] Banyak dari mereka adalah laki-laki tua yang
tetap setia kepada mantan gubernur militer Aceh dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di
Aceh, Daud Beureueh.[8] Orang yang paling menonjol dari kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube,
seorang ulama terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam. [8] Beberapa
orang anggota Darul Islam juga kemungkinan terkait dengan di Tiro melalui keluarga atau ikatan
regional, namun kesetiaan mereka terutama adalah untuk Beureueh. [9] Orang-orang inilah yang
menyediakan pengetahuan militer, pertempuran, pengetahuan lokal dan keterampilan logistik yang
tidak memiliki pemimpin muda GAM yang berpendidikan. [9]
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah menghancurkan
GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di pengasingan, dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya
tercerai berai, melarikan diri dan bersembunyi.[10] Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini Abdullah
(menteri kesehatan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan
(menteri pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli berhenti
berfungsi.[11]

Tahap kedua[sunting | sunting sumber]

Teungku Muhammad Daud Beureueh

Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan mengambil keuntungan
dari kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung pemberontakan nasionalis melalui
"Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme".[12] Tidak jelas apakah Libya
kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah tempat perlindungan di mana
para serdadu GAM bisa menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan. [12] Sejumlah pejuang
GAM yang dilatih oleh Libya selama periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang
berbeda-beda.[13] Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000
sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia menyatakan bahwa mereka
berjumlah 600-800.[12] Di antara para pemimpin GAM yang bergabung selama fase ini adalah Sofyan
Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang
menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).[14]
Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta pelatihan GAM dari
Libya.[15] Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok senjata, serangan terhadap
polisi dan pos militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel
militer, informan pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.
Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM yang lebih agresif ini
membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989
dan 1998 kemudian menjadi dikenal sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Acehketika militer
Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh. [10] Langkah ini, meskipun secara
taktik berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan korban di kalangan
penduduk sipil lokal di Aceh. Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer
tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan dan membantu GAM membangun
kembali organisasinya ketika militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah
presiden Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto.[16] Komandan penting GAM telah
entah dibunuh (komandan GAM Pasè Yusuf Ali dan panglima senior GAM Keuchik Umar),
ditangkap (Ligadinsyah) atau lari (Robert, Arjuna dan Ahmad Kandang).[17]

Tahap ketiga[sunting | sunting sumber]

Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan Panglima GAM Abdullah Syafi'i, 1999

Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena
jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh Merdeka dan mengakibatkan
pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. [18] Pada
tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh
kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah
meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001
-2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh. [19]
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000
dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang
hanya berlangsung antara Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika
pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin
menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.[20]
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser
posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum 8
November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi
pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibukota provinsi. [21] Pada tanggal 21 Juli 2002,
GAM juga mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan "Worldwide Achehnese
Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia.[22] Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan
bahwa "Negara Aceh mempraktikkan sistem demokrasi." [23] Impuls hak-hak demokratis dan hak
asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis perkotaan di
Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih
terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto. [24]
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras
diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003
meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan
darurat dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi
selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch,
[25]
 militer Indonesia kembali melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini seperti
operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama darurat
militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-
tiba bencana Tsunami bulan Desember 2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan
membekukan konflik yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia
tersebut.

Kesepakatan damai dan pilkada pertama[sunting | sunting sumber]


Setelah bencana Tsunami dahsyat menghancurkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan ribu
korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan gencatan senjata dan
menegaskan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini. [26] Namun,
bentrokan bersenjata sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena gerakan separatis di daerah,
pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap pers dan pekerja bantuan. Namun
setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk upaya bantuan internasional. [27]
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia dan material yang
besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia internasional terhadap konflik di Aceh.
Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk
tsunami tersebut, perdamaian akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik
berkepanjangan. Era pasca-Soeharto dan masa reformasi yang liberal-demokratis, serta perubahan
dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi
pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia yang baru terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah sangat signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh. [28] Pada
saat yang sama, kepemimpinan juga GAM mengalami perubahan, dan militer Indonesia telah
menimbulkan begitu banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin menempatkan
GAM di bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi. [29] Perundingan perdamaian tersebut difasilitasi
oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management Initiative, dan dipimpin oleh mantan Presiden
Finlandia Martti Ahtisaari. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai [30]ditandatangani
pada 15 Agustus 2005. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di
bawah Republik Indonesia, dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik
dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata GAM.
Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropamengirimkan 300 pemantau yang tergabung
dalam Aceh Monitoring Mission (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal 15
Desember 2006, setelah suksesnya pilkada atau pemilihan daerah gubernur Aceh yang pertama.
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi hak khusus yang
disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal untuk
mewakili kepentingan mereka. Namun, pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM
sebelumnya di provinsi Aceh akan perlu ditangani. [31]
Selama pilkada gubernur Aceh diadakan pada bulan Desember 2006, mantan anggota GAM dan
partai nasional berpartisipasi. Pemilihan itu dimenangkan oleh Irwandi Yusuf, yang basis
dukungannya sebagian besar terdiri dari para mantan anggota GAM.

Kemungkinan penyebab konflik


Sejarah
Akademis dari ANU Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah Aceh
selama Revolusi Nasional Indonesia menyebabkan munculnya separatisme Aceh. Peristiwa masa
lalu menyebabkan perkembangan selanjutnya. Dia berargumen bahwa pemberontakan Aceh di
bawah pemerintahan Indonesia terjadi berdasarkan jalur sejarah Aceh. Hal ini bisa ditelusuri ke
konflik kepentingan dan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Aceh, terutama otonomi yang
didapat oleh para ulama Aceh selama revolusi nasional dan kehilangan yang dramatis setelah
kemerdekaan Indonesia.[32]
Aspinall berpendapat lebih lanjut bahwa ada dua tonggak jalan sejara berkembangnya separatisme
Aceh;
1945-1949: Aceh memainkan peranan penting dalam revolusi dan perang kemerdekaan melawan
Belanda dan akibatnya disinyalir mampu mendapatkan janji dari Presiden Soekarno saat
kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk menerapkan hukum
Islam (atau syariah) setelah perang kemerdekaan Indonesia.[33]
1953-1962: Gubernur militer Aceh Daud Beureueh menyatakan bahwa provinsi Aceh akan
memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII)
sebagai reaksi terhadap penolakan pemerintah pusat untuk mengizinkan pelaksanaan syariah dan
penurunan Aceh dari status provinsi. Pemberontakan dimana Aceh merupakan bagian ini, kemudian
dikenal sebagai Pemberontakan Darul Islam. Aspinall berpendapat bahwa kegagalan
pemberontakan ini menandai berakhirnya identifikasi Aceh dengan haluan pan-Indonesia/Islamis
dan meletakkan dasar bagi partikularisme. [34]
Argumen oleh Aspinall di atas bertentangan dengan pandangan ulama sebelumnya. Sebelumnya
pada 1998, Geoffrey Robinson berpendapat bahwa kekalahan dan penyerahan pemberontakan
yang dipimpin Daud Beureueh pada 1962 diikuti oleh sekitar 15 tahun periode di mana tidak ada
masalah keamanan atau politik khusus di Aceh terhadap pemerintah pusat. [35] Tim Kell juga
menunjukkan bahwa mantan pemimpin-pemimpin pemberontakan Darul Islam 1953-1962 telah
dengan niat bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam operasi
penumpasan berdarah Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 dan 1966. [36]

Agama
Aceh memiliki penganut Islam sebagai kelompok agama mayoritas. Namun, secara umum diakui
bahwa Aceh adalah daerah di mana Islam pertama kali masuk ke kepulauan Melayu. Kerajaan
Islam pertama yang dikenal adalah Pasai (dekat Lhokseumawe sekarang di Aceh Utara) yang
didirikan pertengahan abad ke-13. Bukti arkeologis paling awal yang ditemukan untuk mendukung
pandangan ini adalah batu makam Sultan Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dalam
abad-abad berikutnya, Pasai dikenal sebagai pusat pembelajaran agama Islam dan model
"pemerintahan Islam" di mana kerajaan lain di kepulauan Melayu melihat untuk belajar. [37] Bagian
identitas Aceh yang berbeda dari daerah lainnya ini berasal dari statusnya tersebut, sebagai wilayah
Islam awal dan contoh untuk kesultanan-kesultanan lain di kepulauan Melayu.
Keterpisahan Aceh dari daerah lain di Indonesia karena agama Islam ini bisa dilihat dari sejarah,
terutama dari pembentukan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) tahun 1939oleh ulama Islam
modernis Aceh. Organisasi ini secara eksklusif beranggotakan suku Aceh. Perlu dicatat bahwa di
Aceh sendiri, sebagian besar ormas pan-Indonesia telah lemah, bahkan Muhammadiyah, organisasi
terbesar bagi umat Islam yang berhaluan modernis di Indonesia, gagal membuat terobosan di Aceh
di luar daerah perkotaan dan sebagian besar anggotanya beretnis non-Aceh. [38] Namun, juga perlu
dicatat bahwa meskipun organisasi PUSA bersifat parokial, organisasi ini tetap diidentifikasi
berhaluan pan-Islamisme di mana tujuannya adalah untuk semua umat Islam untuk bersatu di
bawah syariah.[39]
Faktor penyebab keagamaan lain bagi separatisme di Aceh adalah perlakuan yang didapat
kelompok Muslim dan partai politik di Aceh oleh administrasi Orde Baru rezim Presiden Soeharto.
Pertama, adanya penggabungan paksa semua partai politik yang mewakili kepentingan Islam ke
dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Anggota dan simpatisan partai
politik Islam di Aceh mengalamiberbagai tingkat pelecehan. [40] Walaupun Aceh mempunyai status
wilayah khusus, Aceh tidak diizinkan untuk menerapkan syariah atau untuk mengintegrasikan
sekolah-sekolah agama Islam (madrasah) dengan sekolah-sekolah nasional untuk menjadi sistem
pendidikan terpadu, kedua proposal Aceh ini diabaikan oleh pemerintah pusat. [41]
Meskipun Indonesia adalah negara bermayoritas penduduk Muslim, dengan membangun adanya
"konsepsi diri" di Aceh akan perannya dalam Islam dan dengan adanya sikap bermusuhan Orde
Baru terhadap pengaruh sosial dalam bentuk-bentuk Islam di Aceh, GAM mampu membingkai
perjuangan mereka melawan pemerintah Indonesia sebagai "prang sabi" ("perang suci" atau "jihad"
menurut Islam). Dalam banyak cara yang sama, istilah ini banyak digunakan dalam "Perang Kafir"
(atau Perang Aceh) melawan Belanda tahun 1873-1913. Indikasi tentang ini adalah peminjaman
istilah-istilan dalam buku Hikayat Prang Sabi ("Cerita Perang Suci"), sebuah kumpulan cerita Aceh
yang digunakan untuk menginspirasi perlawanan terhadap Belanda, oleh beberapa simpatisan GAM
sebagai propaganda melawan pemerintah Indonesia. Sebelum gelombang kedua pemberontakan
oleh GAM pada akhir 1980-an, telah diamati bahwa beberapa orang telah memaksa anak-anak
sekolah Aceh untuk malah menyanyikan lagu Hikayat Prang Sabi, daripada lagu nasional
Indonesia, Indonesia Raya.[42] Bahan publikasi politik GAM juga menggambarkan Pancasila, ideologi
negara resmi Indonesia sebagai "ajaran politeistik" yang dilarang oleh Islam. Kendati
hal di atas, terlihat bahwa pada masa setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, agama Islam
sebagai faktor pendorong separatisme Aceh mulai mereda, bahkan setelah terjadi proliferasi
munculnya serikat mahasiswa Muslim dan kelompok-kelompok ormas Islam lainnya di Aceh. Telah
dicatat bahwa kelompok-kelompok baru yang muncul tersebut jarang menyerukan
pelaksanaan syariah di Aceh. Sebaliknya, mereka menekankan perlunya referendum kemerdekaan
Aceh dan menyoroti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (TNI) di Aceh.[44] Demikian pula, posisi GAM pada syariah juga bergeser. Ketika
pemerintah pusat mengeluarkan UU Nomor 44/1999tentang Otonomi Aceh yang mencakup
ketentuan pelaksanaan syariah di Aceh, GAM malah mengutuk langkah pemerintah Indonesia
tersebut sebagai tidak relevan dan mungkin upaya untuk menipu Aceh atau menggambarkan
mereka ke dunia luar sebagai fanatik agama.[45] Meskipun mengubah sikap terhadap syariah, posisi
GAM tidaklah jelas. Hal ini dicatat oleh International Crisis Group (ICG) bahwa antara tahun 1999
dan 2001, terjadi beberapa kasus secara periodik di mana komandan militer lokal GAM
memaksakan penerapan hukum syariah di masyarakat Aceh di mana mereka memiliki
pengaruh. [46] Aspinall mengamati bahwa secara keseluruhan, posisi GAM yang berubah-ubah
terhadap syariah dan Islam di Aceh tergantung pada lingkungan internasional dan negara yang
mereka inginkan dukungannya untuk kemerdekaan mereka, yaitu: jika negara Barat yang mereka
anggap penting, Islam akan tidak ditekankan, namun jika negara-negara Islam yang dianggap
penting, Islam akan sangat ditekankan. [47]

Keluhan ekonomi
Masalah utama yang berkaitan dengan masalah ekonomi Aceh adalah terkait pendapatan yang
diperoleh dari industri minyak dan gas di Aceh. Robinson berpendapat bahwa manajemen Orde
Baru, eksploitasi sumber daya alam Aceh dan pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut
adalah akar penyebab pemberontakan Aceh.[48] Dari tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an,
Aceh telah mengalami "booming LNG" setelah penemuan gas alam di pantai timur laut provinsi
Aceh. Selama periode yang sama, Aceh menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah pusat.
Pada tahun 1980, Aceh memberikan kontribusi yang signifikan kepada ekspor Indonesia ketika
menjadi sumber ekspor terbesar ketiga setelah provinsi Kalimantan Timur dan Riau.[49] Meskipun
demikian, hampir semua pendapatan minyak dan gas dari kegiatan produksi dan ekspor di Aceh
dialokasikan ke pemerintah pusat baik secara langsung maupun melalui perjanjian bagi hasil
dengan perusahaan minyak negara Pertamina.[50] Selain itu, pemerintah pusat tidak kembali
menginvestasikan cukup banyak pendapatan tersebut kembali ke provinsi Aceh. [51] Hal ini
menyebabkan beberapa teknokratis Aceh yang mulai menonjol saat itu untuk mengeluh bahwa
provinsi Aceh telah diperlakukan tidak adil secara ekonomi dan bahwa Aceh telah terpinggirkan dan
diabaikan sebagai daerah pinggiran. [52]
Robinson mencatat bahwa meskipun beberapa pengusaha bisnis yang kecil di Aceh telah mendapat
manfaat dari masuknya modal asing selama booming LNG, ada banyak yang merasa dirugikan saat
kalah dari orang lain dengan koneksi politik yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama
pemimpin GAM sendiri, yaitu Hasan di Tiro. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan
ketika ia mengajukan tawaran kontrak pipa minyak untuk Mobil Oil Indonesia pada tahun 1974,
namun dikalahkan oleh sebuah perusahaan Amerika Serikat.[53] Robinson mencatat waktu deklarasi
kemerdekaan GAM pada bulan Desember 1976 dan aksi militer pertama GAM pada tahun 1977
terhadap Mobil Oil terjadi pada waktu yang sama ketika fasilitas ekstraksi dan pengolahan gas alam
telah diresmikan.[54] Memang, dalam deklarasi kemerdekaan GAM, GAM mengklaim sebagai berikut:
"Aceh, Sumatera, telah menghasilkan pendapatan lebih dari 15 miliar dolar AS setiap
tahunnya untuk neokolonialis Jawa, yang mereka gunakan seluruhnya untuk kepentingan
Jawa dan orang Jawa."[55]
Walaupun demikian, Robinson mencatat bahwa meskipun faktor ini menjelaskan sebagian alasan
munculnya pemberontakan GAM pada pertengahan 1970-an, hal ini tidak menjelaskan munculnya
kembali GAM pada tahun 1989 dan tingkat kekerasan yang tidak pernah dilihat sebelumnya sejak
saat itu.[56] Aspinall juga mendukung sudut pandang ini dan berpendapat bahwa meskipun keluhan
mengenai sumber daya alam dan ekonomi tidak boleh dihiraukan sebagai penyebab, faktor ini
bukan penyebab secara keseluruhan, dengan contoh provinsi Riau dan Kalimantan Timur yang juga
menghadapi eksploitasi ekonomi yang sama atau bahkan lebih buruk oleh pemerintah pusat, tetapi
tidak memunculkan pemberontakan separatis karena perbedaan kondisi politik. [57] Dia melanjutkan
bahwa keluhan berlatar ekonomi dan sumber daya alam telah menjadi sarana bagi GAM untuk
meyakinkan masyarakat Aceh bahwa mereka harus meninggalkan harapan untuk perlakuan khusus
dan otonomi di Indonesia dan sebaliknya berjuang untuk memulihkan kejayaan Aceh dengan
mendapat kemerdekaan.[58]

Peran GAM dalam memprovokasi keluhan

Pendiri GAM, Hasan di Tiro dan rekan-rekan pemimpin GAM-nya yang ada di pengasingan
di Swedia berperan penting dalam memberikan pesan yang mudah dimengerti tentang kebutuhan
dan hak penentuan nasib sendiri untuk Aceh. Oleh karena itu, argumen tentang "perlunya
kemerdekaan" Aceh ditargetkan oleh GAM pada penduduk domestik Aceh, sedangkan argumen
"hak untuk merdeka" ditargetkan pada komunitas internasional untuk memenangkan dukungan
diplomatik terhadap GAM.
Dalam propaganda tersebut, Kesultanan Aceh yang telah lama bubar berperan sebagai aktor yang
seolah "masih ada" di panggung internasional dengan penekanan pada hubungan masa lalu
Kesultanan Aceh dengan negara-negara Eropa, seperti misi diplomatik, perjanjian, serta pernyataan
pengakuan kedaulatan Kesultanan Aceh pada masa lampau. [59] Sesuai dengan logika ini, Aceh yang
berdaulat(dan diwakili oleh GAM) akan menjadi negara penerus Kesultanan Aceh yang telah
dibubarkan pasca kekalahan pada Belanda setelah Perang Aceh (1873-1914).[59] Perang Aceh
kemudian dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai perbuatan agresi militer oleh Belanda dan
penggabungan Aceh ke Indonesia pada tahun 1949 dianggap sebagai perpanjangan pendudukan
yang tidak sah oleh Belanda tersebut. [59] Argumen ini ditargetkan oleh GAM pada masyarakat Aceh
sendiri serta komunitas internasional, yaitu melalui seruan pada hukum internasional.
Dalam nada yang sama, negara Indonesia telah dilabeli oleh propaganda GAM sebagai kedok
dominasi Jawa. Dalam deskripsi di Tiro sendiri:
""Indonesia" was a fraud. A cloak to cover up Javanese colonialism. Since the world begun
[sic], there never was a people, much less a nation, in our part of the world by that
name."[60] (BI: ""Indonesia" adalah sebuah penipuan. Sebuah kedok untuk menutupi
kolonialisme Jawa. Sejak dunia mulai, tidak pernah ada orang, apalagi bangsa, dalam
bagian dari dunia kami dengan nama tersebut.")
Upaya untuk menyebarkan propaganda GAM banyak mengandalkan dari mulut ke mulut. Elizabeth
Drexler (akademis Universitas Pennsylvania) telah mengamati bahwa masyarakat Aceh dan
pendukung GAM sering mengulangi klaim yang sama yang dibuat dalam propaganda GAM yang
mereka telah datangi melalui modus penyebaran ini.[61]Almarhum M. Isa Sulaiman (penulis buku
"Sejarah Aceh") menulis bahwa ketika di Tiro pertama kali memulai kegiatan separatis itu antara
tahun 1974 dan 1976, ia mengandalkan jaringan kerabatnya dan sejumlah intelektual muda yang
berpikiran sama untuk menyebarkan pesannya yang kemudian memperoleh massa simpatisan,
khususnya di Medan, Sumatera Utara.[62] Aspinall juga menuliskan ingatan para simpatisan GAM
tentang hari-hari awal pemberontakan di mana mereka akan menyebarkan pamflet kepada teman
atau menyelipkannya secara anonim di bawah pintu kantor rekan-rekan mereka. [63]
Namun hasil dari upaya propaganda tersebut cukup berbeda-beda. Eric Morris ketika
mewawancarai pendukung GAM tahun 1983 untuk tesisnya mencatat bahwa, daripada untuk
kemerdekaan, para pendukung GAM lebih tertarik baik pada sebuah negara Islam Indonesia atau
bagi Aceh untuk diperlakukan lebih adil oleh pemerintah pusat. [64] Aspinall juga mencatat bahwa
untuk beberapa daerah, GAM tidak membedakan dirinya dari Darul Islam atau Partai Persatuan
Pembangunan yang berkampanye di atas panggung Islam untuk Pemilu legislatif Indonesia tahun
1977.[65] Namun bagi individu yang telah menjadi pendukung inti GAM, pesan kemerdekaan yang
ditemukan dalam propaganda GAM dipandang sebagai pewahyuan Islam dan banyak yang
merasakan momen kebangkitan Islam.[65]

Kemungkinan faktor konflik berkepanjangan


Daya tahan jaringan GAM
Banyak anggota GAM adalah entah anggota pemberontakan Darul Islam atau anak-anak dari
mereka. Aspinall mencatat bahwa hubungan kekerabatan, antara ayah dan anak serta antara
saudara, telah menjadi penting dalam membentuk solidaritas GAM sebagai sebuah organisasi.
[66]
 Banyak yang merasa bahwa mereka sedang melanjutkan aspirasi ayah, paman, saudara atau
sepupu laki-laki yang biasanya adalah orang-orang yang melantik mereka menjadi anggota GAM;
dan orang-orang yang aktivitas atau kematiannya di tangan aparat keamanan negara telah
mengilhami mereka untuk bergabung dengan GAM.[66] Konstituen GAM juga sering merupakan
penduduk masyarakat pedesaan di mana semua orang tahu dan kenal erat dengan tetangga
mereka.[66] Adanya pertalian erat ini memungkinkan kesinambungan serta resistensi tingkat tinggi
terhadap infiltrasi oleh aparat intelijen negara.
Aspinall juga mengakui kuatnya ketahanan GAM ada pada strukturnya yang seperti sel pada tingkat
yang lebih rendah. Tingkat di bawah komandan militer regional (atau panglima wilâyah) adalah
satuan yang diperintah oleh komandan junior (panglima muda) dan bahkan komandan tingkat yang
lebih rendah (Panglima Sagoe dan Ulee Sagoe) yang tidak mengetahui identitas rekan-rekan
mereka di daerah tetangga dan hanya mengenal mereka yang langsung berpangkat di atas mereka.
[67]
 Karakter ini memungkinkan GAM untuk bertahan sebagai sebuah organisasi meskipun ada di
bawah upaya penekanan kuat oleh aparat keamanan negara Indonesia.

Pelanggaran HAM oleh militer Indonesia


Robinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh militer Indonesia dalam aksi kontra-
pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim Orde Baru pertengahan 1990 (dalam tahap
kedua pemberontakan) telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang
terpengaruh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih
simpatik dan mendukung GAM.[68] Ia menilai bahwa metode militer tersebut malah memiliki efek
meningkatkan tingkat kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh, dan luka yang ditimbulkan terbukti
sulit untuk disembuhkan.[68] Amnesty International mencatat:
Otoritas politik Angkatan Bersenjata (Republik Indonesia), yang besar bahkan dalam kondisi normal,
sekarang (telah) menjadi tak tertandingi. Atas nama keamanan nasional, otoritas militer dan polisi
dikerahkan di Aceh kemudian bebas untuk menggunakan hampir segala cara yang dipandang perlu
untuk menghancurkan GPK ("Gerakan Pengacauan Keamanan"), yang merupakan nomenklatur
(istilah) pemerintah Indonesia untuk GAM.[69]
Amnesty International mendokumentasikan penggunaan penangkapan sewenang-wenang,
penahanan di luar legalitas, eksekusi, perkosaan dan pembumi-hangusan sebagai karakter operasi
militer Indonesia terhadap GAM sejak tahun 1990. Di antara tindakan yang lebih mengerikan diamati
oleh Amnesty International adalah pembuangan publik mayat-mayat korban eksekusi
(atau Penembakan Misterius) yang dilakukan sebagai peringatan untuk orang Aceh untuk menahan
diri dari bergabung atau mendukung GAM. Berikut ini adalah deskripsi tindakan tersebut
oleh Amnesty International:
"Penembakan misterius" (Petrus) di Aceh memiliki fitur umum sebagai berikut. Mayat-mayat
korban biasanya dibiarkan di tempat umum - di samping jalan utama, di ladang dan
perkebunan, sungai atau tepi sungai - tampaknya sebagai peringatan kepada orang lain
untuk tidak bergabung atau mendukung pemberontak. Sebagian besar jelas adalah tahanan
ketika mereka dibunuh, jempol mereka, dan kadang-kadang kaki mereka, diikat dengan jenis
simpul tertentu. Sebagian besar telah ditembak dari jarak dekat, meskipun peluru jarang
ditemukan di tubuh mereka. Kebanyakan juga menunjukkan tanda-tanda telah dipukuli
dengan benda tumpul atau disiksa, dan karena itu wajah mereka sering tidak bisa dikenali.
Dalam banyak kasus, mayat-mayat tersebut tidak diambil oleh kerabat atau teman, baik
karena takut pembalasan oleh militer, dan karena korban biasanya dibuang agak jauh dari
desa asal mereka.[69]
Taktik TNI lain yang dipertanyakan adalah aktivitas yang disebut "operasi sipil-militer" di mana
warga sipil dipaksa untuk berpartisipasi dalam intelijen dan operasi keamanan. Sebuah contoh
terkenal dari hal ini adalah Operasi Pagar Betis seperti yang dijelaskan oleh Amnesty
International berikut:
Strategi kerjasama sipil-militer adalah "Operasi Pagar Betis" - digunakan sebelumnya di Timor
Timur - di mana penduduk desa biasa dipaksa menyapu melalui daerah tertentu di depan pasukan
bersenjata, baik dalam rangka untuk menghalau pemberontak dan juga untuk menghambat mereka
untuk membalas tembakan. Elemen penting dalam keberhasilan operasi ini adalah kelompok-
kelompok lokal yang "main hakim sendiri" dan patroli malam yang terdiri dari warga sipil, tetapi
dibentuk di bawah perintah dan pengawasan militer. Antara 20 dan 30 pemuda dimobilisasi dari
setiap desa di daerah yang dicurigai daerah pemberontak. Dalam kata-kata seorang komandan
militer setempat: "Para pemuda adalah garis depan. Mereka adalah yang terbaik dalam mengetahui
siapa adalah anggota GPK. Kami kemudian menyelesaikan masalah tersebut." Menolak untuk
berpartisipasi dalam kelompok-kelompok tersebut atau kegagalan untuk menunjukkan komitmen
yang cukup untuk menghancurkan musuh dengan mengidentifikasi, menangkap atau membunuh
terduga pemberontak kadang-kadang mengakibatkan hukuman oleh pasukan pemerintah, termasuk
penyiksaan umum, penangkapan dan eksekusi.[69]
Kepentingan militer Indonesia di Aceh
Damien Kingsbury, yang menjabat sebagai penasihat informal pimpinan GAM
di Swedia selama Perundingan Damai Helsinki 2005, menyatakan bahwa militer Indonesia memiliki
kepentingan tersembunyi di Aceh sehingga mereka sengaja menjaga konflik supaya tetap terjadi di
tingkat yang akan membenarkan kehadiran mereka di provinsi bergolak tersebut. [70] ICG juga
menegaskan dalam sebuah laporan tahun 2003 bahwa, "Aceh (adalah) tempat yang terlalu
menguntungkan untuk para perwira militer yang sangat bergantung pada pendapatan yang
bersumber non-anggaran ."[71]
Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer
Indonesia di Aceh:[72]

Obat terlarang: Pasukan keamanan mendorong petani lokal Aceh untuk menanam ganja dan
membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai pasar gelap. Salah satu contoh kasus yang
disorot adalah di mana seorang polisi pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia
mengangkut 40 kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi Aceh Besar (perlu dicatat
bahwa pada saat itu Kepolisian Republik Indonesia atau Polri berada di bawah komando militer
atau ABRI). Kasus lain adalah pada bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat
oleh polisi di Binjai, Sumatera Utara dengan muatan 1.350 kg ganja.

Penjualan senjata ilegal: Wawancara pada tahun 2001 dan 2002 dengan para pemimpin GAM di
Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer
Indonesia. Metode pertama penjualan ilegal tersebut adalah: personel militer Indonesia melaporkan
senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran. Kedua, oknum personel
militer utama Indonesia yang mempunyai otoritas akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan
pasokan senjata serta amunisi.

Pembalakan liar : Oknum militer dan polisi disuap oleh perusahaan penebangan untuk mengabaikan


kegiatan penebangan yang dilakukan di luar wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan Leuser yang
didanai oleh Uni Eropa dari pertengahan 1990-an untuk memerangi pembalakan liar sebenarnya
telah menemukan bahwa oknum polisi dan militer Indonesia yang seharusnya membantu mencegah
pembalakan liar, pada kenyataannya malah memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan
memulai kegiatan ilegal tersebut.

Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia mengelola "usaha perlindungan" liar untuk mengekstrak
pembayaran besar dari perusahaan-perusahaan besar seperti Mobil Oil dan PT Arun NGL di industri
minyak dan gas, serta perusahaan perkebunan yang beroperasi di Aceh. Sebagai imbalan untuk
pembayaran liar tersebut, militer akan mengerahkan personelnya untuk "mengamankan" properti
dan daerah operasi perusahaan tersebut.

Perikanan: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk menjual tangkapan mereka kepada oknum militer
dengan harga jauh di bawah harga pasar. Oknum militer kemudian menjual ikan untuk bisnis lokal
dengan harga yang jauh lebih tinggi. Oknum dari Angkatan Laut Indonesia mungkin juga mencegat
kapal-kapal nelayan untuk memeras pembayaran dari nelayan.

Kopi: Serupa dengan nelayan, penanam kopi dipaksa menjual biji kopi kepada oknum militer dengan
harga murah yang kemudian menjualnya dengan harga tinggi.

Kemungkinan faktor resolusi damai


Melemahnya posisi militer GAM
Dinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada Mei 2003
menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM. ICG melaporkan bahwa
pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi GAM terganggu secara serius. [73] GAM juga
makin sulit berpindah-pindah dan keberadaan mereka di kawasan perkotaan hilang sepenuhnya.
[73]
 Akibatnya, komando GAM di Pidie menginstruksikan kepada semua komandan lapangan melalui
telepon agar mundur dari sagoe (subdistrik) ke daerah (distrik) dan aksi militer hanya dapat
dilaksanakan jika ada perintah dari komandan daerah disertai izin komandan wilayah.
[73]
 Sebelumnya, saat GAM masih kuat, satuan tingkat sagoe-nya memiliki otonomi komando yang
lebih besar sehingga mampu melancarkan aksi militer atas kemauannya sendiri. [73]
Menurut Endriartono Sutarto yang saat itu menjabat Komandan Jenderal ABRI, pasukan keamanan
Indonesia berhasil mengurangi jumlah pasukan GAM sebanyak 9.593 orang — yang diduga
mencakup anggota yang menyerahkan diri, ditangkap, dan tewas dalam baku tembak. [74] Meski
meragukan keakuratan jumlah tersebut, banyak pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru
terhadap GAM pasca penerapan darurat militer memberikan pukulan telak bagi GAM. [75]
Akan tetapi, Aspinall mencatat bahwa sebagian besar petinggi GAM yang ia wawancarai, terutama
petugas lapangan, bersikeras bahwa mereka mengakui MoU Helsinki bukan karena militer mereka
semakin lemah.[76] Mantan pemimpin GAM Irwandi Yusuf, yang kelak menjadi Gubernur Aceh
melalui pilkada langsung tanggal 11 Desember 2006, mengaku bahwa bukannya bubar, situasi
GAM justru membaik sejak anggota yang sakit dan lemah ditangkap militer Indonesia sehingga
anggota di lapangan tidak terbebani oleh mereka. [76]Walaupun pasukan GAM tetap komit
melanjutkan perjuangan mereka, para petinggi GAM mungkin sudah putus asa membayangkan
mungkinkah mencapai kemenangan militer atas pasukan pemerintah Indonesia. [76] Kata mantan
perdana menteri GAM Malik Mahmud kepada Aspinall bulan Oktober 2005: "Strategi yang
diterapkan oleh kedua pihak berujung pada kebuntuan yang sangat merugikan". [77] Saat
diwawancarai Jakarta Post tentang apakah mengakui MoU Helsinki adalah tindakan pencitraan oleh
GAM pasca kemunduran militernya, Malik menjawab:
"Kami harus realistis. Kami harus mempertimbangkan kenyataan di lapangan. Jika
[perjanjian damai] itu solusi terbaik bagi kedua pihak, tentunya dengan segala kerendahan
hati, mengapa tidak! Ini demi perdamaian, demi kemajuan masa depan. Jadi tidak ada yang
salah dengan [perjanjian] itu dan saya pikir negara manapun di dunia akan melakukan hal
yang sama. Selain itu, ketika kami menghadapi situasi semacam ini kami harus sangat,
sangat tegas dan berani menghadapi kenyataan. Inilah yang kami lakukan. [78]

Tekanan internasional
Opini internasional pasca-tsunami juga lebih condong ke dialog damai Helsinki yang dilaksanakan
antara pemerintah Indonesia dan GAM. Kedua pihak mengirimkan pejabat tertingginya
sebagai negosiator, sementara perwakilan pada dialog Cessation of Hostilities Agreement (CoHA)
yang ditandatangani bulan Desember 2002 adalah perwakilan yang cenderung masih di tingkat
junior.
Para petinggi GAM juga menilai bahwa selama dialog damai Helsinki tidak ada komunitas
internasional yang mendukung aspirasi kemerdekaan Aceh. [79] Tentang hal ini, Malik berkata:
Kami melihat dunia tidak memedulikan keinginan kami untuk merdeka, jadi kami berpikir selama
proses [negosiasi ini] bahwa [otonomi dan pemerintahan sendiri] itulah solusi terbaik yang ada di
hadapan kami.[79]
Saat menjelaskan kepada para komandan GAM mengenai penerimaan tawaran pemerintahan
sendiri alih-alih melanjutkan perjuangan kemerdekaan, para petinggi GAM menegaskan bahwa jika
mereka terus memaksa menuntut kemerdekaan setelah tsunami 2004, mereka akan terancam
dikucilkan oleh komunitas internasional. [80]
Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004
Pada Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla dilantik setelah memenangkan pemilu presiden 2004, pemilu langsung pertama di Indonesia.
Aspinall berpendapat bahwa sebelum pemilu langsung ini, ada keseimbangan posisi antara pejabat
pemerintahan Indonesia, yaitu antara pejabat yang percaya bahwa kemenangan militer mustahil
tercapai dan negosiasi sangat diperlukan, dengan pihak pejabat garis keras yang percaya bahwa
GAM dapat sepenuhnya dilenyapkan. Terpilihnya SBY dan Kalla mendorong kebijakan pemerintah
untuk condong ke posisi pertama. [81]
Aspinall menunjukkan bahwa ketika SBY masih menjabat sebagai menteri dalam kabinet
Presiden Megawati Soekarnoputri, ia mendukung "pendekatan terintegrasi" berupa penyertaan
upaya militer dengan negosiasi terhadap GAM.[81] Kalla, yang saat itu kolega SBY di kementerian,
juga mendukung dimulainya kembali dialog dengan GAM pada awal 2004 (yaitu ketika darurat
militer masih diberlakukan di Aceh dan operasi militer masih berlangsung). [82] Saat itu, Kalla, melalui
orang kepercayaannya, mendekati komandan GAM di lapangan sekaligus pemimpinnya di Swedia.
[81]
 Posisi presiden dan wakil presiden Indonesia yang lebih memilih jalur negosiasi sebagai solusi
pemberontakan Aceh memberikan jalan untuk mencapai keberhasilan dialog perdamaian Helsinki.
Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan Kalla tahun 2004
sebagai prawarsa upaya damai yang berakhir dengan perjanjian resmi. [83] Selain itu, ia menyebut
penunjukan Kalla menjadi pengawas delegasi Indonesia pada dialog damai sebagai faktor penting,
dikarenakan status Kalla yang merupakan ketua umum Golkar, partai mayoritas di DPR saat itu,
sehingga pemerintahan SBY mudah menghadapi penolakan dari anggota DPR lainnya.

kasus penganiayaan wartawan udin


6.
Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin (lahir di Bantul, Yogyakarta, 18
Februari 1964 – meninggal di Yogyakarta, 16 Agustus 1996 pada umur 32 tahun) adalah
wartawan Bernas, Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan kemudian meninggal
dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde
Baru[butuh rujukan] dan militer[butuh rujukan]. Ia menjadi wartawan di Bernas sejak 1986.
Selasa malam, pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, ia dianiaya pria tak dikenal di depan rumah
kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta. Udin, yang sejak
malam penganiayaan itu, terus berada dalam keadaannya koma dan dirawat di RS Bethesda,
Yogyakarta. Esok paginya, Udin menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut. Namun,
dikarenakan parahnya sakit yang diderita akibat pukulan batang besi di bagian kepala itu, akhirnya
Udin meninggal dunia pada Jumat, 16 Agustus1996, pukul 16.50 WIB.
Sejak Udin mengalami koma hingga rentang waktu yang cukup panjang, hampir seluruh media
massa meliput peristiwa yang menimpa Udin.
Kasus Udin menjadi ramai ketika Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy Wuryanto, saat itu
berpangkat Sersan Kepala (Serka), di Yogyakarta, dilaporkan telah 'membuang barang bukti',
yakni melarung sampel darah dan juga mengambil buku catatan Udin, dengan dalih melakukan
penyelidikan dan penyidikan.
Edy Wuryanto kemudian dimutasikan dari tempat dinasnya di Yogyakarta ke Mabes Polri di Jakarta.
Dalam sidang, ia dinyatakan bersalah [1] karena menghilangkan buku catatan Udin sebagai bukti
yang dapat membantu untuk mengungkap sebuah kasus kejahatan. Buku catatan tersebut diduga
berisi data-data sejumlah kasus penyimpangan yang akan ditulis korban. Edy Wuryanto akhirnya
divonis hukuman penjara satu tahun delapan bulan walau sebelumnya pengadilan ini sempat
dihalang-halangi oleh Mabes Polri karena dianggap bahwa sidang tersebut menyalahi asas nebis in
idem sebab terdakwa sudah pernah diadili dalam kasus yang sama sebelumnya.
Kambing hitam
Tri Sumaryani
Ada pihak2 tertentu yang tampaknya mencoba mengalihkan kasus ini. Seorang perempuan, Tri
Sumaryani, mengaku akan diberi apapun yang dia minta oleh Kuncoro, kemenakan Bupati Bantul,
sebagai imbalan membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap dengannya. Tri
Sumaryani menyangkal itu karena ia hanya pernah menjadi pacar Fauzan, adik Udin, tapi saat itu
sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Fauzan juga tidak pernah cekcok dengan Udin karena ia
tahu Udin tidak pernah berpacaran dengan Tri Sumaryani. [3]

Iwik
Dwi Sumaji alias Iwik, seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku dikorbankan oleh polisi untuk
membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh Udin. Iwik dipaksa meminum bir berbotol-botol dan
kemudian ditawari uang, pekerjaan, dan seorang pelacur. [4] Namun di pengadilan, pada 5
Agustus 1997 Iwik mengatakan, "Saya telah dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia
politik."[5] Iwik akhirnya divonis bebas berdasarkan keputusan hakim Pengadilan Negeri Bantul
Nomor 16/pid.B/1997/PN.Btl karena tidak ada dua alat bukti sah yang diperoleh penyidik. [6]
Namun dalam surat yang dikirim polisi ke Ombudsman RI bernomor B/208/II/2013/Ditreskrimum
tanggal 20 Februari 2013, pada poin 4 menyatakan Polda DIY hingga saat ini masih berkeyakinan
bahwa Dwi Sumaji alias Iwik adalah pelaku utama atas meninggalnya Fuad Muhammad Syafruddin.
[6]
 Bahkan polisi tidak merehabilitasi nama baik Dwi Sumaji yang direkayasa sebagai pelaku utama
pembunuhan Udin. Untuk itu, Dwi Sumaji alias Iwik, menggugat Kepala Kepolisian Daerah Istimewa
Yogyakarta, Kamis, 27 Februari 2014. Gugatan itu disidangkan di Pengadilan Negeri Sleman. Pada
vonis gugatan Iwik, Rabu, 18 Juni 2014, hakim mengabulkan sebagian gugatannya. Kini Iwik tidak
lagi menyandang predikat tersangka. Polda juga dihukum oleh majelis hakim untuk membayar ganti
rugi sebesar Rp 16.281.000.

Anda mungkin juga menyukai