Anda di halaman 1dari 36

Nama : Shafwan Amrin

Nim :10300116131
Jurusan :PerbandinganMazhabDan Hukum
Judul :Perlidungan Hukum Terhadap Kaum Mustadh’Afin
(Studi Komparatif Hukum Islam Dan Hukum Positif)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang menganut system Negara hukum (rule

of law). Negara hukum disini mengisyaratkan bahwa dimana kedudukan seluruh

warganya sama didepan hukum tanpa terkecuali. Selain menganut sistem rule of

law, Indonesia juga merupakan Negara yang berdasar hukum (recht staat) Dasar

pijakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hokum tertuang dalam Undang-

undang Dasar 1945,1yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara

Hukum”. Dimasukkannya ketentuan ini kedalam pasal Undang-undang Dasar

1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat Negara,

bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berarti bahwa segala bentuk

persoalan yang menyangkut urusan antar warga Negara dengan warga Negara

atau warga Negara dengan Negara (pemerintah), harus didasarkan pada hokum

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku diIndonesia. Sebagai

konsekuensinya, maka setiap warga Negara juga berhak mendapatkan

perlindungan hokum yang sama tanpa terkecuali.

Sistem rule of law terlihat sekali dalam prakteknya tidak dapat diterapkan

dengan baik didalam kehidupan bernegara Indonesia.Sistem rule of law yang

mengharuskan adanya persamaan kedudukan warga Negara didepan hokum justru

1
Pasal 1 Ayat ( 3) Undang-undang Dasar 1945
menjadi jurang pemisah antara rakyat dengan kaum-kaum yang memilili materil

dan hierarki yang dimana mereka sama-sama berstatus sebagai warga

Negara.System rule of law yang menuntut kesamaan kedudukan warga Negara

dimuka hokum ini terkadang kurang apresisasi oleh warga Negara sendiri

khususnya bagi rakyat kecil yang tersandung kasus-kasus hokum. Sebagian besar

dari mereka justru lebih ikhlas atau rela hak-hak mereka dibuang percuma karena

mereka berpendapat bahwa memperjuangkan hak-hak mereka dalam kasus hokum

justru akan merugikan mereka dalam perspektif materi. Hal ini disebabkan karena

mereka menyaksikan maraknya berita-berita yang beredar diberbagai media

massa yang menunjukkan bahwa tersandung kasus hokum harus mengeluarkan

biaya yang tidak sedikit dan parahnya lagi bahkan muncul anggapan bahwa

hokum itu dapat diselesaikan dengan materil.

Amanat UUD 1945 menekankan kewajiban Negara untuk memberikan

kamakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat, dan adalah tanggung jawab

pemerintah memenuhi kebutuhan warga negaranya.Salah satu tujuan Negara ini

didirikan adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan

kehidupan bangsa yaitu terkait dengan upaya Negara dalam memenuhi kebutuhan

dasar dan hak-hak sipil setiap warga Negara atas barang, jasa dan pelayanan

administrasi yang disediakan oleh Negara.

United Nations Development Programme dalam dokumen,”Tata

pemerintahan menunjang pembangunan manusia berkelanjutan” (1997)

menyebutkan bahwa: ciri-ciri tata pemerintahan yang baik (good governance)

adalah mengikutsertakan semua, transparan dan bertanggung jawab, efektif dan

adil, menjamin adanya supremasi hukum, menjamin bahwa prioritas-prioritas

politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada consensus masyarakat, serta


memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses

pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.

Dokumen penting tersebut ternyata belum juga diiringi oleh suatu

perwujudan kebijakan yang memihak hak-hak sipil warga Negara.Warga Negara

yang msikin tetap menjadi “warga Negara asing” atau, meminjam istilah Emha

Ainun Nadjib, “Gelandangan di negeri sendiri”. Negara lebih berharap investasi

asing masuk, ketimbang mendorong kesejahteraan warga negaranya.Pemerintah

lebih mengorbangkan rakyat kecil atas nama pembangunan.

Pasal 34 UUD 1945 yang mengatur pemeliharaan fakir miskin dan anak-

anak terlantar oleh Negara mempunyai kaitan yang sangat erat dengan pasal 33

yang mengatur dasar demokrasi ekonomi Negara.Dengan menggunakan

penafsiran sistematik dari kedua pasal tersebut, penyelesaian masalah fakir miskin

dan anak-anak terlantar di Indonesia harus dikaitkan dengan asas demokrasi

ekonomi.Oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang secara khusus

mengatur tugas-tugas pemerintah “Memelihara” fakir miskin dan anak-anak

terlantar perlu segera dibuat.

Kaum Mustadh’Afin sebagai poros dinamika sosial dalam ruang lingkup

kenegaraan, dimana kurangnya peranan dan pemberdayaan dari phak bertanggung

jawab untuk menyikapi dan menunjang persoalan kesenjangan mereka.

Al-Qur’an tidak mengajar diskriminasi antara lelaki dan perempuan

sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai derajat

yang sama, namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi

ajaran tersebut. Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara

periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh sebab itu,

kemuculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan dari mereka yang


diuntungkan oleh budaya patriarkhi. Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang

surut dalam perkembangan sejarah manusia.

Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditetapkan

bahwa diskrimanasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang

dilakukan atas dasar agama, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status

ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik yang berakibat pada

pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan dan pelaksanaan hak

asasi manusia serta kebebasan dasar dalam kehidupan perorangan dan kolektif

dalam bidang ekonomi, hukum, sosial, dan budaya.2 Sedangkan yang dimaksud

dengan penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang

menimbulkan rasa sakit atau penderitaan (jasmani atau ruhani) yang hebat pada

seseorang dengan menghukum atau mengancamnya.3

Dalil-dalil syara’ telah mewajibkan penjaminan hak-hak manusia. Yaitu

dengan menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas (seluruh

urusan) rakyat. Syara’ mewajibkan negara agar melindungi mereka, menjaga hak-

hak mereka, bersikap adil antara mereka, baik antara kaum muslim maupun kaum

dzimmi. Syara’ mengharamkan negara melakukan diskriminasi kepada rakyat atas

dasar agama, kelompok, jenis kelamin, warna kulit, dan yang lainnya.4

Islam sudah tidak selayaknya eksis digunakan sebagai simbol-simbol

keagamaan dan melupakan esensi dasarnya. Islam sudah seharusnya dipandang

sebagai agama yang elastis dan mampu menyelesaikan problematika baik yang

bersifat konservatif maupun modern. Islam juga bukanlah sebagai agama yang

2
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1 ayat (3)
3
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1 ayat (4)
4
Muhammad Ahmad Mufti Sami Salih Al-Waki, HAM Menurut Barat, HAM Menurut
Islam, (Bogor, Pustaka Toriqul Izzah, 1992), hal.41
diinterpretasikan sebagai agama yang pro terhadap status quo, namun sebaliknya

Islam sebagai agent of exchange dari kelaliman dan keimanan. Sehingga

Islam sebagai agama universal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

saw. Untuk menjadi pedoman dan pengarang hidup bagi umma manusia secara

umum dan ummat Islam secara khusus. Eksisensi Islam ditopang oleh dua dasar

dan landasan yang mutlak diikuti dalam menjalani kehidupan yaitu Al-Qur’an dan

Hadis.5

Islam dengan kompleksitas ajarannya yang terkandung secara rapi didalam

Al-Qur’an dan Sunnah memiliki orientasi progresif baik dalam Scope ekonomi,

sosial maupun tatanan keagamaan untuk manusia. Islam memandang relasi

manusia harus mencakup tiga aspek, yaitu hubungan manusia dengan manusia,

hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Allah swt sebagai

penciptanya.

Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin Islam harus mampu memayungi

kebutuhan pemeluknya baik yang bersifat materi maupun immateri. Elastisitas

islam dalam memahami kondisi sosio kultural seyogyanya tidak diinterpretasikan

sebagai kebebasan isalam dalam memahami konteks kekinian dan menselaraskan

tanpa memperhatikan kaidah yang beketersinggungan. Namun demikian jangan

juga Islam dipandang sebagai agama yang absolut yang anti terhadap kritik dan

interpretasi sebagaimana yang disampaikan oleh golongan conservative.

Perubahan kondisi sosio-kultural sebagai akibat perkembangan zaman

menuntut setiap manusia untuk menyesuaikan diri. Namun hal yang sering

terlupakan dari perkembangan zaman tersebut adalah belum mampunya manusia

secara merata untuk mengikuti gejolak perubahan tersebut baik dalam sekup

5
Abdi Wijaya, Nepotisme Dalam Perspektif Hadis Maudhu’I, Al Daulah: Jurnal Hukum
Pidana Dan Ketatanegaraan, Volume 1, No 1, http://scholar.google.co.id/. Januari 2021
ekonomi maupun budaya. Munculnya kesenjangan sosial dan ekonomi sebagai

akibat dari tingginya egoisme yang berkonsekuensi pada sifat individualism,

liberalism, kapitalisme dan materialism seseorang. Pada tatanan tersebut maka

keadaan sosial seseorang diklasifikasikan menjadi the haves dan the have nots.

Keadaan tersebut berkonsekuensi terhadap pemenuhan kebutuhan pribadi

dan mengesampingkan hak-hak orang lain. Baik hak untuk hidup, hak untuk

mendapat kebebasan maupun hak untuk memperoleh kesetaraan.Pola pikir yang

sempit dan materialistis hanya berbicara keuntungan secara material dari apa yang

diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu banyak sekali dibalik kemegahan dan

kemajuan secara simbolik disuatu Negara terdapat hak-hak untuk memperoleh

kehidupan yang layak terabaikan. Bagi yang memiliki kekayaan dan kasta akan

terus memandang kedepan tanpa melihat arah kebelakang. Namun sebaliknya bagi

masyarakat terbelakang dan lemah akan semakin termarginalkan dan ditinggalkan

layaknya sampah.

Berbicara mengenai kaum termarginalkan atau kaum Mustadh’afin,

konsep Mustadh’afin tidaklah asing dalam perbincangan akademik kajian islam.

Jika kita telusuri literatur kajian islam, maka dengan mudah akan kita temukan

konsep Mustadh’afin dioperasikan sebagai seruan moral kaum muslimin untuk

membela yang dilemahkan. Wajar saja, karena memang konsep Mustadh’afin ada

dalam Al-Qur’an, yang melalui itu, kira-kira Allah hendak mengatakan :”Belalah

mereka yang dilemahkan, karena pembelaanmu terhadap siapapun yang

dilemahkan merupakan bagian dari keimananmu”. Mungkinini mempunyai bobot

yang tak jauh berbeda dengan hadis ”kebersihan bagian dari iman”, yang berarti

bahwa kaum muslimin hanya mungkin menjadi seorang muslim sejati kalau pada

dirinya bertindak bersih dalam arti generic. Tentu saja seruan moral ini sangat
mulia dan berat. Sehingga bias dipastikan sebagian besar dari kita yang mendaku

dirinya muslim tak sanggup secara konsisten mengamalkannya.

Memahami konsep Mustadh’Afin secara semantik-hermeneutik, meninjau

kembali konsep ini dalam konteks kapitalisme mutakhir. Ada beberapa persoalan

penting yang harus ditinjau kembali atau kebeutuhan untuk membincangkang

kembali konsep ini, selain itu menaqnggapai persoalan-persoalan ummat agar

konsep ini tidak menjadi benda antik. Bak fosil menjadi sekadar sisa-sisa cerita

masa lalu yang hanya layak diperbincangkan dengan entengan, tanpa mampu

mengoperasikannya pada konteks hari ini. Harus dikatakan dengan pahit, konsep

Mustadh’Afin yang melekata pada dirinya perspektif kelas hampir saja terhapus

dari cakrawala pengetahuan islam yang diproduksi dipusat-pusat kajian Islam kita

hari ini. Sebagian besar kajian-kajian sosial islam menjauhkan dirinya dari

persoalan-persoalan actual relasi sosial kapitalisme yang dominan dan hegemonik.

Sehingga tak heran kalau dari kajian-kajian sosial Islam semacam itu sulit

diharapkan mampu membidani lahirnya formula teoritik maupun praksis untuk

melampaui relasi sosial dominan hari ini. Bahkan terminologi kapitalisme,

borjuasi, neoliberalisme, akumulusi capital, konflik industrial, sosialisme,

proletariat, informal proletariat, revolusi sosial, sosialisme via demokrasi,

ekonomi alternatif atau semua hal yang terkait dengan sistem dominan

kapitalisme, kalaupun ada, bisa dipastikan berada dilembar paling belakang kajian

sosial Islam hari ini.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah

permasalahan-permasalahan yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi, Sahabat,

tabi’in, sehingga perubahan hukum mutlak terjadi. Permaslahan-permasalahan

tersebut perlu direspon dan diberikan solusi. Ibnu qayyim hadir dengan

menawarkan bangunan epistimologinya yaitu bahwa setiap permasalahan hukum


harus dibicarakan atau ditetapkan berdasarkan konteksnya. Maksudnya bahwa

perbedaan hukum dan perubahan hukum Islam adalah masalah yang logis dan

tidak perlu diperdebatkan. Ia beralasan bahwa jika perubahan hukum harus

berbasis pada realitas kehidupan sosial masyarakat.6

Konsep Mustadh’Afin merupakan salah sebuah nilai fundamental dalam

Islam. Konsep Mustadh’Afin, baik dikalangan intelektual maupun para ulama

konservatif dari waktu kewaktu hanya berhenti pada tataran semantik-

hermeneutik. Tentu saja ini tidak keliru, karena pada batas tertentu kegagalan

mengoperasikan konsep ini, justru karena belum selesai pada tataran semantik-

hermeneutik. Dijelaskan dalam QS. Al-Qashash 28:5.




Terjemahnnya:
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang
tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka
pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi
(bumi).7
Dalam ayat diatas yang disebut sebagai Mustdh’Afin tak hanya mererka
yang beriman kepada Allah swt melaiangkan semua orang, apapun agamanya,
atau bahkan tak beragama, yang secara langsung maupun tidak dilemahkan
posinya dan dilucuti martabatnya sebagai manusia yang setara.
Fenomena perihal Mustadh’Afin terlihat oleh kacamata kita bersama
dimana masih banyaknya Fakir miskin, anak terlantar dan lain-lain yang termasuk
dalam golongannya, menjadi pertanyaan besar dimana peranan dan pemberdayaan
pemerintah untuk lebih menunjang mereka dari kesenjangannya.

6
Abdi Wijaya, Perubahan Hukum Dalam Pandangan Ibnu Qayyim, Al Daulah: Jurnal Hukum
Pidana Dan Ketatanegaraan, Volume 6, No 2, http://scholar.google.co.id/. Januari 2021

7
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(CV. Penerbit Diponegoro, 2010),
h. 446.
Aliran teologi Islam percaya dengan universalitas Mustadh’Afin, mungkin
hanya sedikit golongan politik yang menyangkalnya. Bagi mereka yang wajib
ditolong hanya mereka yang beriman saja atau lebih sempit lagi yang satu tafsir
dengannya. Bagi kaum Islam politik, kalaupun ada non-muslim yang dilemahkan,
itu terjadi belum adanya sistem imperium Islam yang menguasai dan mengatur
seluruh dunia, maka yang harus didahulukan adalah membantu mereka yang
beragama Islam. Dengan menyelamatkan yang muslim, otomatis yang non-
muslim dengan sendirinya akan terselamatkan karena watak Islam yang
menyelamatkannya.
Menyikapi fenomena kesenjangan Mustadh’Afin memiliki tanggung jawab
bersama bagaimana kita sesama manusia sesama agama sesama bangsa dan
bahasa untuk lebih menunjang penyelesaian kesenjangan mereka baik dari
pemerintah ataupun warga negaranya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan di atas maka yang
menjadi pokok pembahasan utama dalam tulisan ini adalah tentangPerlindungan
Hukum terhadap Kaum Mustadh’Afin (Studi Komparatif Hukum Islam Dan
Hukum Positif),kemudian untuk lebih terarahnya tulisan ini maka dikemukakan
beberapa sub masalah sebagaimana berikut:
1. Bagaimana Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kaum
Mustadh’Afin ?
2. Bagaimana Analisis Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap
Perlindungan Hukum Kaum Mustadh’Afin ?

C. Pengertian Judul

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan

perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-

hakyang diberikan oleh hukum.8Sedangkan Menurut C.S.T Kansil perlindungan

8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), h.54.
hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak

hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari

gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.9Philipus M. Hadjon

berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah suatu tindakan untuk melindungi

atau memberikan pertolongan kepada subjek hukum, dengan menggunakan

perangkat-perangkat hukum.10Perlindungan hukum merupakan suatu konsep yang

universal dari Negara hukum.

Mustadh’Afin yang dimaksud peneliti adalah kelompok manusia yang

berada dalam status sosial tersisih, tertindas secara sosial-ekonomi, dan

diperlakukan secara diskriminatif.11

Hukum Islam adalah system kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu

Allah swt dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukalaf (orang yang sudah

dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua

pemeluknya.

Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak

tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus

dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara.

D. Kajian Pustaka

Buku-buku kajian maupun peneliti-peneliti yang membahas tentang

Perlindungan Hukum terhadap Kaum Mustadh’Afin kemudian ditinjau dalam

analisis hukum Islam dan hukum positif, berdasarkan hasil penelusuran peneliti

tentang literatul yang membahas terkait kaum Mustadh’Afin kemudian ditinjau

9
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h.102.
10
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2011), h.10
11
Anonim, Muhammadiyah dan Pengentasan Kaum Mustadh’Afin”
http://www.weebly.com/muhammadiyah_dan_pengetasan_kaum_mustadh’afin, diakses 7 Januari
2021
dalam hukum Islam dan hukum positif, maka terdapat beberapa karya ilmiah yang

pernah diteliti antaranya:

Muhammad Ngizzul Muttaqin,salah seorang Mahasiswa Institut Agama

Islam Negeri Tulung Agung dalam skripsinya berjudul Tinjaun Fiqh

mustadh’Afin Terhadap Kebijakan Pemerintah Kota Malang Tentang Penggusuran

Pedagang Kaki Lima, dalam tulisan ini penulis membahas tentang penggusuran

pedagang kaki lima yang merupakan penyelanggaraan ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat yang diatur dalam

peraturan daerah nomor 2 tahun 2012 tentang ketertiban umum dan lingkungan.

Dalam perspektif mustadh’afin, bahwa kaidah yang menyatakan “kepentingan

umum harus diprioritaskan daripada kepentingan individu”. Ada prasarat-prastat

dan mekanisme (proses dan prosedur) tertentu sehingga kepentingan umum dapat

diterima bahkan bias dipertahangkan dan diperjuangkan sebagai yang layak untuk

diprioritaskan.

Agus Toni, salah sesorang Mahasiswa sekolah tinggi agama Islam

Nahdatul Ulama dalam skripsinya berjudul Islam dan pandangannya terhadap

Mustadh’Afin (kritik Islam terhadap kemiskinan terstruktur dan kultur dalam

masyarakat), dalam skripsi ini penulis membahas menganai perubahan kondisi

sosio-kultur sebagai akibat perkembangan zaman menurut setiap manusia untuk

menyesuaikan diri. Namun hal yang sering terlupakan dari perkembangan zaman

tersebut adalah belum mampunya manusia secara merata untuk mengikuti gejolak

perubahan tersebut baik dalam sekup ekonomi maupun budaya.Munculnya

kesenjangan sosial dan ekonomi sebagai akibat dari tingginya egoisme yang

berkonsekuensi pada sifat individualisme, liberalisme, kapitalisme, dan

materialisme seseorang.Pada tataran tersebut maka keadaan sosial seseorang

diklasifikasikan menjadi the haves dan the have nots. Sebagai makhluk sosial
seseorang dan sekaligus sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai Islam, maka setiap

individu harus mampu memahami dinamika kontekstual dalam kehidupan sosial.

Iffatus Sholehah, salah seorang Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogjakarta yang berjudul Keberpihakan Al-Qur’an Terhadap

Mustadh’Afin, dalam Tesis ini penulis membahas tentang Al-Qur’an terdapat

banyak hal yang disinggung termasuk mengenai kaum Mustadh’Afin. Anggapan

para penindas bahwa kaum mustadh’afin itu lemah didasarkan pada kenyataan

bahwa kaum mustadh’afin adalah prang-orang miskin secara ekonomi, tidak

memiliki akses terhadap kekuasaan dalam sosial politik dan berpenampilan agak

sederhana.Para penindas yang kuat menganggap kaum ini sebagai orang-orang

lemah karena secara objektif mereka memang lemah.Kelemahan ini yang

mendorong para penindas untuk melakukan penindasan.12Keberpihakan Al-

Qur’an terhadap kaum mustadh’afin berdasarkan fakta dilapangan yang merujuk

pada hasil penelitian yang ada diperpustakaan.

E. Metodologi Penelitian

Agar tercapai maksud dan tujuan dalam membahas pokok-pokok

permasalahan, peneliti akan mengemukakan metodologi yang digunakan dalam

tahap-tahap penelitian ini yang meliputi: jenis penelitian, sifat penelitian,

pendekatan pendekatan, metode pengumpulan data, metode pengolahan dan

analisis data.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (Library Research), yakni

suatu penelitian dengan cara menuliskan, mengklarifikasi dan menjadikan data

yang diperoleh dari berbagai sumber tertulis. Kemudian menganalisis sumber-

sumber literatur yang berkaitan dengan materi dan difokuskan pada penelaahan

12
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, muktasar tafsir ibnu kasir, (Jakarta: Darus Sunnah
Press, 2014), h.242
masalah yang dibahasi.13 Penelitian kepustakaan ada beberapa macam, ada yang

berupa kepustakaan umum (buku teks, ensiklopedia, monograph dan sejenisnya),

kepustakaan khusus (jurnal, buletin, penelitian, tesis, disertasi, micro film, disket,

pita magnetik, kaset dan lain-lain), maupun kepustkaan cyber (internet).14

2. Sifatpenelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dan komparatif, yaitu penelitian

yang berusaha memberikan gambaran tentang batas usia pernikahan, kemudian

dianalisis dan ditinjau dalam pandangan ulama mazhab.

3. PendekatanPenelitian

Istilah pendekatan dalam kamus di artikan sebagai proses, perbuatan atau

cara mendekati suatu objek. Dalam istilah antropologi pendekatan adalah usaha

dalam rangka aktifitas penelitian untuk mengadakan hubungan orang yang

diteliti; juga berarti metode-metode untuk mencapai pengertian tentang maslah

penelitian. Secara garis besar pendekatan yang digunakan penyusun dalam

skripsi ini adalah pendekatan historis, dan document, yaitu dengan cara mencari

berbagai sumber data, menyelidiki dan melakukan analisis, sehingga inti pokok

persoalan dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.

4. Teknik PengumpulanData

Pengumpulan berarti proses, cara, perbuatan mengumpulkan,

penghimpunan, pengerahan. Data adalah keterangan yang benar dan nyata,

keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan bahan kajian (analisis atau

kesimpulan).15Dengan demikian, pengumpulan data dapat diartikan sebagai

prosedur yang sistematis dan memiliki standar untuk menghimpun data yang

13
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi II (Cet VIII; Yogyakarta: Rake
Sarasin, 1983), h 43.
14
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Cet. III; Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), h 5-6.
15
KBBI Offline, versi 1.1, Ebta Setiawan (Pusat Bahasa: KBBI Daring Edisi III, 2010).
diperlukan dalam rangka menjawab masalah penelitian sekaligus menyiapkan

bahan-bahan yang mendukung kebenaran korespondensi teori yang akan

dihasilkan.

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan cara

membaca buku kepustakaan dan literatur-literatur yang dapat dijadikan sebagai

pedoman atau sumber data didalam pembuatan skripsi ini. Dengan adanya hal

tersebut maka lebih mempermudah peneliti untuk mendapatkan pengertian

secara umum maupun khusus tentang pokok masalah yang diteliti. Studi

kepustakaan merupakan penelitian terhadap data skuder yang meliputi:

1) Data pribadi ialah data yang tersimpan di lembaga tempat dimana

penulis pernah berkecimpung dalam ranahOrganisasi.

2) Data publik ialah data resmi pada sebuah kepustakaan Universitas

Islam Negri Alauddin Makassar dan perpustakaan lain, dengan

mengadakan studi kepustakaan maka akan lebih memudahkan

penulis untuk menyelesaikan skripsiini.

b. AnalisisData

Analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk menganalisis,

mempelajari serta mengolah data-data tertentu sehingga dapat diambil suatu

kesimpulan yang konkret tentang masalah yang di teliti dan dibahas.

Dalam menganalisis data, penyusun menggunakan metode kualitatif

dengan menggunakan pola fikir deduktif, maksudnya adalah analisis yang

berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum untuk menemukan kesimpulan

yang bersifat khusus, artinya adalah penyusun menguraikan secara deskriptif

tentang teori-teori yang berkaitan erat dengan persoalan yang dibahas.

Dengan teori-teori ini data yang bersifat umum akan dapat dianalisis
sehingga menghasilkan data yang bersifat khusus yang berkaitan dengan batas

usia pernikahan menurut ulamamazhab.

F. Tujuan dan Kegunaan

a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar dapat memenuhi salah satu tujuan yang

tentunya dapat bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu  mengenai  perlindungan

hukum terhadap kaum Mustadha’Afin. Adapun tujuan penelitian ini yakni:

a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap kaum

Mustadha’Afin.

b. Untuk mengetahui perbandingan analisis hukum Islam dan hukum

positif mengenai perlindungan hukum terhadap kaum Mustadha’Afin.

b. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Sebagai sumbangan penelitian untuk data intelektual Islam terutama

bagi perlindungan hukum terhadap kaum Mustadha’Afin.

b. Untuk memberikan pemahaman dan wacana baru bagi masyarakat

tentang perlindungan hukum terhadap kaum Mustadha’Afin.


BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG KAUM MUSTADH’AFIN

A. Pengertian Kaum Mustadh’Afin

Mustadh’Afin merupakan tema dan istilah yang telah hadir sejak

kedatangan Islam. Istilah ini disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 13 kali. Namun

jika mengacu kapada kata asalnya dan berbagai derivasinya, seperti dhu’afa, maka

Al-Qur’an menyebutkan sekitar 52 kali. Istilah ini sering diterjemahkan sebagai

mereka yang lemah, dilemahkan, dihina, didiskriminasi, ditindas, mengalami

marginalisasi, dan sejenisnya.16Salah satu ayat Al-Qur’an yang membahas tentang

mustadh’afin adalah QS. An-Nisa 4:75:






Terjemahannya :
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
(membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita
maupun anak-anak yang semuanya berdoa : “Ya Tuhan Kami,
keluarkanlah Kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim
penduduknya dan berilah Kami pelindung dari sisi Engkau dan
berilah Kami penolong dari sisi Engkau!”.17
Karena konsep mustadh’afin itu tidak terkungkung pada dimensi ekonomi,

maka berbagai kelompok minoritas yang tertindas, termasuk kelompok minoritas

agama, bisa masuk dalam kategori mustadh’afin. Konsekuensinya, adalah sebuah

religious imperative (keharusan agama) dan religious call (panggilan keagamaan)

untuk melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas. Menemani minoritas

16
Ahmad Najib Burhani, Kelompok Minoritas Sebagai Kategori Mustadh’Afin, 2019.
(diakses 07 Januari 2021).
17
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (CV. Penerbit Diponegoro, 2010),
adalah level yang lebih rendah daripada melakukan pemberdayaan atau

pembelaan terhadap minoritas. Namun menemani minoritas (becoming a friend of

minorities) sudah merupakan upaya untuk memenuhi panggilan Allah swt.

Istilah mustadh’afin semakin popular didalam masyarakat sebagai symbol

atau atribut bagi golongan yang tertindas, terdhalimi, atau termarginalisasi

(marginal society). Dari segi bahasa, kata mustadh’afin memang bisa diartikan

demikian, karena kata dasarnya berasal dari kata dha’afayadh’ifu berarti

lemah.Namun penggunaan kata mustadh’afin didalam al-Qur’an tidak selamanya

harus diadreskan kepada Negara, tetapi juga kepada kelompok masyarakat

tertentu yang memiliki power lebih.

Konsep mustadh’afin merupakan sebuah seruan moral untuk membela

kaum lemah terpinggirkan, membela mereka yang dilemahkan, dan umumnya

relasi antara kaum mustadh’afin dihiasi dengan praktek ketidakadilan.Semestinya

Negara berperan mensinergikan programnya dengan komponen masyarakat, tanpa

distingsi. Realitas ketimpangan pembangunan dan kebijakan yang tidak setuju

pada kaum mustadh’afin juga masih terjadi di Indonesia.

Pemerintah dalam kebijakannya pemberdayaan diarahkan lebih pada

orientasi proyek. Bau amis korupsi dan kolusi masih ada. Menyengat hidup,

terutama kaum yang dimarginalkan akibat kebijakan pemerintah. Masyarakat

yang didiskriminasi atas nama kekuasaan. Bukan kebijakan pemerintah tidak

mampu menjangkau mereka, melaingkan kesengajaan atau kelalaian pemerintah.

Masyarakat yang tidak mampu (miskin), bukan secara alamiah miskin, tapi karena

negara telah memiskinkan mereka. Melalui kebijakan negara berdampak pada

terabaikannya kaum mustdh’afin.

Dalam undang-undang dasar 1945, pasal 28 ayat 1 sampai 3, jelas

diterangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak

memperoleh pelayan hukum dan kesehatan. Setiap orang berhak mendapatkan

kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat

yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Secara umum, ketika al-Qur’an membicarakan mengenai kaum

mustadh’afin, sebenarnya al-Qur’an sedang membela atau mengharuskan

pembelaan dan pembebasan atas kaum tersebut. Dalam konteks ini, al-Qur’an

mengabarkan bahwa para Nabi merupakan para pembebas kaum mustadh’afin.

Misalnya, Musa adalah pembebas Bani Israel dari penindasan Fir’aun dan Bala

tentaranya. Demikian juga, Nabi Muhammad adalah pembebas kaum yang

tertindas oleh sistema sosial jahiliyah dan oleh para pemuka Quraisy penentang

ajaran sosial agama Islam yang diserukan oleh Nabi Muhammad.Penindasan tidak

hanya masuk dalam satu bidang kehidupan saja. Ia terjadi dalam bidang ekonomi,

politik, sosial,. Penindasan dan kezaliman terjadi dimana-mana, termasuk di

Indonesia.

B. Kelompok Kaum Mustadh’Afin

1. Fakir dan Miskin


Fakir adalah orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta
dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. Sedangkan miskin adalah orang
yang tidak cukup dalam mencukupi penghidupannya dan dalam keadaan
kekurangan. Mereka adalah termasuk orang yang berhak menerima zakat. Seperti
yang disebutkan dalam Q.S al-Taubah (9: 60).





Terjemahnya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Yang berhak
menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup
penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus
zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan
membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan
masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya
masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk
melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang
berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang
bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang
yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar
hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7.
pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan
Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang
berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-
kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan
lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan
maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.18
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna fakir dan miskin pada ayat

tersebut. Di antara mereka, ada yang berpendapat bahwa fakir adalah orang yang

membutuhkan bantuan, namun ia tidak memintanya, sedangkan yang disebut

miskin adalah orang yang membutuhkan bantuan dan memintanya.19

Di dalam tafsir al-Tabari, Abu’Jafar mengatakan bahwa menurut pendapat

yang lebih benar yaitu, fakir adalah orang yang membutuhkan namun ia tidak

meminta-minta dan merendahkan diri kepada orang lain. Sedangkan miskin

adalah orang yang membutuhkan dan meminta-minta kepada orang lain. Kedua

golongan tersebut berhak mendapat zakat karena ulama telah bersepakat dalam

konteks ijma’ bahwa orang miskin berhak mendapatkan zakat karena alasan fakir.

2. Anak Yatim

18
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(CV. Penerbit Diponegoro, 2010),
h. 156.
19
Abu Muhammad bin Jarir al-Tabari, afsir al-Tabari, Jilid 12 (Jakarta, Pustaka Azzam,
2009), h. 875.
Yatim adalah anak yang tidak lagi memiliki bapak karena bapaknya

meninggal sebelum anak itu dewasa, ia tidak lagi menyandang label yatim. 20 Kita

semua umat manusia diperintahkan untuk menghormati anak yatim dan tidak

melakukan penindasan kepada mereka. Seperti yang tercantum dalam Q.S al-

Duha (93:9).

Terjemahnya:
Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-
wenang.21
Keberpihakan al-Qur’an terhadap anak yatim terlihat ketika Tuhan

mengingatkan bahwa ketika Nabi dalam keadaan yatim maka Tuhanlah yang

memberi beliau perlindungan. Ketika Nabi bingung seakan-akan kehilangan

pedoman dan meraba-raba mencari petunjuk maka Tuhan akan memberi beliau

petunjuk, dan ketika beliau menderita kekurangan maka Tuhanlah yang

mencukupi keperluan hidup beliau.22

Manusia yang merasa memiliki kemampuan seringkali perasaan itu

mengantarkannya berlaku sewenang-wenang. Dan karena itu kata taqhar

dipahami juga dalam arti sewenang-wenang. Surat al-Fajr (91: 17) merupakan
wahyu pertama yang berbicara mengenai anak yatim, melukiskan masyarakat

Makkah sebagai masyarakat yang tidak memberi pelayanan terbaik kepada anak

yatim. Dengan ayat tersebut terbaca bahwa pertama dan utama dituntut untuk

bersikap baik terhadap anak-anak yatim.23

3. Peminta-Minta

20
Badruzaman, Teologi Kaum Tertindas, h. 118
21
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(CV. Penerbit Diponegoro, 2010),
h. 596.
22
Djohan Effendi, Pesan-Pesan Al-Qur’an: Mencoba mengerti Intisari Kitab Suci
(Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2012), p. 386.
23
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Vol. 15
(Jakarta, Lentera Hati, 2005), p.391
Peminta-minta merupakan termasuk salah satu dari kaum mustadh’afin

yang sering kita temui di jalanan. Peminta-minta yang kita kenal adalah pengemis

yang sering kita temui di pinggiran kota atau bahkan di desa. Yakin, tidak ada

orang yang mengingkan menjadi seorang pengemis. Terkadang ia mengemis

karena memang kondisi yang mendorong ia untuk menjadi pengemis. Akan tetapi,

ada juga yang memang mengemis karena ia hobi. Al-Qur’an tidak hanya melarang

kita menghardik anak yatim, tapi peminta-minta juga dilarang. Seperti yang

tercantum didalam firman-Nya Q.S al-Duha (93: 10):


Terjemahnya:

Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu

menghardiknya.24

Kalau tuntunan pertama mengingatkan Nabi akan keadaan masa lalunya

sebagai anak yatim, tuntunan kedua ini mengisyaratkan kesudahan akhir Nabi,

yakni menjadi seorang tokoh yang dikunjungi orang untuk bertanya dan meminta.

Karena itu, ayat diatas menuntun Nabi dengan menyatakan, “Dan adapun peminta,

yakni orang yang membutuhkan sehingga meminta guna menutupi kebutuhannya,

maka janganlah menghardiknya,”

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa larangan menghardik diatas tidak berlaku

terhadap si peminta yang masih sanggup bekerja atau yang mengemis karena

malas serta menjadikan pekerjaan sehari-harinya sebagai pengemis. Mereka yang

demikian itu perlu diarahkan dan dibimbing agar bekerja. Kemudian apabila

mereka enggan, menghardiknya dengan tujuan menginsafkan merupakan sesuatu

yang dapat dibenarkan.

24
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(CV. Penerbit Diponegoro, 2010),
h. 596.
4. Hamba Sahaya

Term hamba sahaya adalah bermakna budak. Hamba sahaya atau budak

termasuk hal yang diperhatikan oleh al-Quran. Hal ini dapat dilihat dalam Q.S al-

Taubah yang berisi tentang orang yang berhak menerima zakat. Tidak hanya fakir,

miskin dan anak yatim, akan tetapi hamba sahaya juga berhak menerima zakat.

Dengan ayat yang disebutkan dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa hamba

sahaya mendapatkan posisi yang baik dalam al-Qur’an. Seperti yang dicantumkan

dalam Q.S al-Balad (90: 13):


Terjemahnya:
(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.25
Ayat sebelumnya mengisyaratkan akan pentingnya menulusuri jalan

mendaki. Ayat-ayat diatas memberi gambaran tentang jalan itu, yakni ia adalah

melepaskan budak, yakni merdekakan budak atau membebaskan orang yang

terlihat oleh kesulitan atau penganiyaan. Perlu dicatat bahwa Islam sejak semula

telah berupaya menghapus perbudakan dari permukaan bumi. Salah satu bukti

adalah ayat yang ditafsirkan ini, yang justru turun sejak Nabi masih dalam awal

penyebaran agama Islam di Makkah.

Tidak semua orang yang tergolong mustadh’afin tidak memiliki

kemampuan atau potensi sama sekali. Ada juga diantara mereka yang

sesungguhnya memiliki kemampuan dan potensi. Kepada mereka yang

sesungguhnya memiliki kemampuan dan potensi, Tuhan memerintahkan untuk

mengerahkan segenap kemampuan dan potensinya melawan penindasan. Apabila

kekuatan penindas ternyata tidak dapat dikalahkan maka mereka diperintahkan

25
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(CV. Penerbit Diponegoro, 2010),
h. 594.
untuk berhijrah mencari tempat yang aman.26 Seperti yang telah difirmankan

didalam Q.S al-Nisa’ (4: 97):




Terjemahnya:
Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya
dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya.27
Ayat ini turun dan berlaku umum pada semua orang yang memilih

menetap ditengah-tengah kaum musyrik, meski mereka mampu hijrah, dan

ditambah lagi mereka tidak dapat beribadah. Jadi, mereka adalah orang-orang

yang aniaya terhadap dirinya sendiri dan dianggap pelaku perkara yang

diharamkan menurut ijma’ ulama dan menurut nash ayat itu.28

Dalam tafsirnya, al-Tabari berkata bahwa maksud ayat diatas adalah

orang-orang yang telah menganiaya diri mereka, dan ruhnya telah diambil oleh

malaikat. Lalu mereka berkata, “Kami adalah orang-orang yang teraniaya dinegeri

ini. Orang-orang musyrik telah menganiaya kami dinegeri dan tanah air kami.

Dengan banyaknya kekuatan dan jumlah mereka, mereka melarang kami beriman

kepada Allah swt dan mengikuti Rasul-Nya”.29

26
Badruzaman, Teologi Kaum Tertindas, h. 81.
27
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(CV. Penerbit Diponegoro, 2010),
h.
28
Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Kasir, h. 291.
29
Al-Tabari, Tafsir al-Tabari, h. 572.
BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAUM MUSTADH’AFIN

A. Perlindungan Hukum

Kehadiran hokum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan

mengkordinasikan kepentingan-kepentingan yang biasa bertentangan antara satu

sama lain. Maka dari itu, hokum harus bisa mengintegrasikannya sehingga

benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan seminimal mungkin.

Istilah “hukum” dalam bahasa Inggiris dapat disebut law atau

legal.Pembahasan mengenai hokum disini tidak bermaksud untuk membuat suatu

batasan yang pasti mengenai arti hokum karena menurut Immanuel Kant

pengertian atau arti hokum adalah hal yang masih sulit dicari karena luasnya

ruang lingkup dan berbagai macam bidang yang dijadikan sumber ditemukannya

hukum.

Menurut Soedjono Didjosisworo bahwa pengertian hokum dapat dilihat

dari delapan arti, yakni hokum dalam arti penguasa, hokum dalam arti para

petugas, hokum dalam arti sikap tindakan, hokum dalam arti system kaidah,

hokum dalam arti jalinan nilai, hokum dalam arti tata hokum, hokum dalam arti

ilmu hokum, hokum dalam arti disiplin hokum. Arti hokum yang dikemukakan

olehSoedjono Didjosisworo menggambarkan bahwa hokum tidak semata-mata

peraturan perundang-undangan tertulis dan aparat penegak hokum seperti yang

selama ini dipahami oleh masyarakat umum yang tidak tahu tentang hokum.

Tetapi hokum juga meliputi hal-hal yang sebenarnya sudah hidup dalam

pergaulan masyarakat.30

Secara kebahasaan, kata perlindungan dalam bahasa Inggiris disebut

dengan protection. Istilah perlindungan menurut KBBI dapat disamakan dengan

30
Soedjono Didjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2008), h. 25-43.
istilah proteksi, yang artinya adalah proses atau perbuatan memperlindungi,

sedangkan menurut Black’s Law Dictionary, protection adalah the act of

protecting.31

Pengertian perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan

sebagainya) memperlindungi. Dalam KBBI yang dimaksud dengan perlindungan

adalah cara, proses, dan perbuatan melindungi. Sedangkan hokum adalah

peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau kebijakan yang berlaku bagi semua

orang dalam masyarakat (Negara).

Pengertian perlindungan hokum adalah suatu perlindungan yang diberikan

terhadap subyek hokum dalam bentuk perangkat hokum baik yang bersifat

preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Dengan kata lain perlindungan hokum sebagai suatu gambaran dari fungsi hokum,

yaitu konsep dimana hokum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,

kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian.32

Adapun pendapat yang dikutip dari beberapa ahli mengenai perlindungan

hokum sebagai berikut:

1. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang

lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.33

2. Menurut C.S.T. Kansil perlindungan hukum adalah berbagai upaya

hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk

31
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, ninth edition, (St.Paul, West, 2009), h.1343.
32
Rahayu,2009, pengangkutan orang, etd.eprints.ums.ac.id. Peraturan Pemerintah RI.
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tatacara Perlindungan Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Yang Berat Undang-Undang RI, Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
33
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), h.54.
memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari

gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.34

3. Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah

suatu tindakan untuk melindungi atau memberikan pertolongan kepada

subjek hukum, sengan menggunakan perangkat-perangkat hukum.35

4. Menurut Setiono perlindungan hokum adalah tindakan atau upaya

untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh

penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hokum, untuk mewujudkan

ketertiban dan ketentraman sehingga memungkingkan manusia untuk

menikmati martabatnya sebagai manusia.36

5. Menurut Hetty Hasanah perlindungan hokum yaitu merupakan segala

upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hokum, sehingga dapat

memberikan perlindungan hokum kepada pihak-pihak yang

bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum.37

6. Menurut Muchsin perlindungan hokum adalah kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyeserasikan hubungan nilai-nilai atau

kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam

menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesame

manusia.38

34
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h.102.
35
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2011), h.10
36
Setiono, Rule Of Law, (Surakarta, Disertasi S2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas
Maret, 2004), h.3
37
Hetty Hasanah, Perlindungan konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumenatas
Kendaraan Bermotor dengan Fidusia, Artikel diakses pada 8 Januari 2021 dari
http://jurnal.unikom.ac.id./vol3/perlindungan.html.
38
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, (Surakarta,
Disertasi S2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2003), h.14.
Perlindungan hukum merupakan suatu konsep yang universal dari negara

hukum. Pada dasarnya, perlindungan hukum terdiri atas dua bentuk, yakni

perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif: Perlindungan

hukum preventif yang pada dasarnya preventif diartikan sebagai pencegahan.

Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang

didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum

yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambik

keputusan. Bentuk perlindungan hukum preventif terdapat dalam peraturan

perundang-undangan guna mencegah terjadinya suatu pelanggaran serta untuk

memberikan batasan-batasan dalam melakukan kewajiban. Perlindungan Hukum

Represif berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang telah muncul akibat

adanya pelanggaran. Perlindungan ini merupakan perlindungan akhir yang berupa

pemberian sanksi terhadap pelanggarang yang telah dilakukan.

Secara umum, perlindungan berarti mengayomi dari hal-hal yang

berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang.

Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan

oleh seseorang terhadap orang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan

hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warga negaranya agar hak-

haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang

melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.39

Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila

mengandung berbagai unsur-unsur yaitu adanya perlindungan pemerintah

terhadap warganya, jaminan kepastian hukum, dan berkaitan dengan hak-hak

warga negara. Perlindungan dan penegakan hukum diIndonesia juga penting bagi

39
Pemegang Paten Perlu Perlindungan Hukum, republika, 24 Mei 2004.
kehidupan bernegara, hal ini guna merealisasikan tegaknya supremasi hukum,

tegaknya keadilan, dan mewujudkan perdamaian.

Perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia harus berdasarkan prinsip

pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang

bersumber poada pancasila. Indonesia sebagai negara hukum, wajib melakukan

perlindungan hukum kepada semua warga negaranya tanpa terkecuali. Sebab

perlindungan hukum merupakan hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap

warga negara Indonesia. Hak setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh

perlindungan hukum telah diatur dalam pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers,

perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah atau masyarakat

kepada warga negara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan

peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlindungan hukum yang tertuang dalam peraturan pemerintah No.2 Tahun 2002

tentang Tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran Hak

Asasi Manusia yang berat, perlindungan hukum adalah suatu bentuk pelayanan

yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk

memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari

ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan

pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang

pengadilan.

Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila

mengandung unsu-unsur sebagai berikut:

1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.


2. Jaminan kepastian hukum
3. Berkaitan dengan hak-hak warga negara.
4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

Perlindungan hukum ialah suatu keharusan pemerintah untuk menjaga dan

memelihara masyarakat demi mencapai keadilan.40 Kemudian perlindungan

hukum dikonstruksikan sebagai bentuk pelayanan, dan subjek yang dilindungi.41

B. Bentuk Perlindungan Hukum

Menurut R. La Porta dalam Jurnal of Financial Economics,

bentukperlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat,

yaitubersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction). 42

Bentukperlindungan hukum yang paling nyata adalah adanya institusi-institusi

penegakhukum seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga-

lembagapenyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) lainnya. Hal ini

sejalandengan pengertian hukum menurut Soedjono Dirdjosisworo yang

menyatakanbahwa hukum memiliki pengertian beragam dalam masyarakat dan

salah satunyayang paling nyata dari pengertian tentang hukum adalah adanya

institusi-institusipenegak hukum.

Perlindungan hukum sangat erat kaitannya dengan aspek keadilan.Menurut

Soedirman Kartohadiprodjo, pada hakikatnya tujuan hukum adalahmencapai

keadilan. Maka dari itu, adanya perlindungan hukum merupakan salahsatu

medium untuk menegakkan keadilan salah satunya penegakan keadilan dibidang

ekonomi khususnya penanaman modal.

Penegakan hukum dalam bentuk perlindungan hukum dalam

kegiatanekonomi khususnya penanaman modal tidak bisa dilepaskan dari aspek

40
Hilda Hilmiah Diniyati, “Perlindungan Hukum Bagi Investor Dalam Pasar Modal
(Studi pada gangguan sistem transaksi di bursa efek Indonesia)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 19
41
Salim HS dan Septiana Nurbaini, “Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi”, cet, 1, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2013), h. 261
42
Rafael La Porta, “Investor Protection and Cororate Governance; Journal of Financial
Economics”, no. 58, (Oktober 1999): h. 9.
hukumperusahaan khususnya mengenai perseroan terbatas karena perlindungan

hukumdalam penanaman modal melibatkan beberapa pihak pelaku usaha turutama

pihakpenanam modal, direktur, komisaris, pemberi izin dan pemegang kekuasaan,

sertapihak-pihak penunjang terjadinya kegiatan penanaman modal seperti notaris

yangmana para pihak tersebut didominasi oleh subjek hukum berupa badan

hukum berbentuk perseroan terbatas.43

Subjek hukum dalam hukum perdata terdapat dua subjek hukum,

yaitusubjek hukum orang pribadi dan subjek hukum berupa badan hukum.

Subjekhukum orang pribadi atau natuurlijkepersoon adalah orang atau manusia

yangtelah dianggap cakap menurut hukum. orang sebagai subjek hukum

merupakanpendukung atau pembawa hak sejak dia dilahirkan hidup hingga dia

mati.Walaupun ada pengecualian bahwa bayi yang masih ada di dalam

kandunganibunya dianggap telah menjadi sebagai subjek hukum sepanjang

kepentingannya mendukung untuk itu.44

Selanjutnya, subjek hukum dalam hukum perdata adalah badan hokumatau

rechtspersoon. Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi ataudapat

pula merupakan kumpulan dari badan hukum. Menurut Satjipto Rahardjo,hukum

melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikankekuasaan

kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya secaraterukur.

Kepentingan merupakan sasaran dari hak karena hak mengandung

unsurperlindungan dan pengakuan.45

43
Lihar RT Sutantya R. Hadhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum
Perusahaan: Bentukbentuk Perusahaan yang berlaku di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 1996), h. 5-8.
44
H.R. Sardjono dan Frieda Husni Hasbullah, Bunga Rampai Perbandingan
Hukumperdata, h. 143.
45
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cet. VI (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), h.54.
Perlindungan hukum atau legal protectionmerupakan kegiatan untuk

menjaga atau memelihara masyarakat demi mencapai keadilan. 46 Kemudian

perlindungan hukum dikonstruksikan sebagai bentukpelayanan, dan subjek yang

dilindungi.47

C. Hak dan Kewajiban Perlindungan Hukum

Hak adalah sesuatu yang harus kita dapatkan sedangkan kewajiban adalah

sesuatu yang harus kita kerjakan. Lahirnya suatu kontrak menimbulkansuatu

hubungan hukum perikatan yang mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban.

Pemenuhan hak dan kewajiban itulah yang menjadi akibat hokum dari suatu

kontrak. Dengan kata lain, akibat hukum kontrak sebenarnya adalahpelaksanaan

dari isi kontrak itu sendiri. Pasal 1339 KUHPer menyatakan bahwa suatu kontrak

tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakandalam kontrak

tersebut, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat kontrakdiharuskan atau

diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.Tentang hak dan

kewajiban para pihak dalam kontrak tertuang dalam isiperjanjian yang disepakati

kedua belah pihak.48

Hak dan kewajiban penanam modal asing telah ditentukan dalam pasal10,

pasal 12, pasal 14, pasal 19, pasal 26, pasal 27 Undang-Undang Nomor 1Tahun

1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kewajiban perusahaan penanammodal

asing antara lain:

46
Hilda Hilmiah Diniyati, “Perlindungan Hukum bagi Investor dalam Pasar Modal (Studi
pada Gangguan Sistem Transaksi di Bursa Efek Indonesia)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 19.
47
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, “Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi”, cet. 1, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013), h. 261.
48
“Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum dan Kontrak “Franchise”, artikel
diakses pada 1 Juli 2015 dari http:// repository. usu.ac.id /bitstream/ 123456789/35732/6/ Chapter
%20III-V.pdf
1. Memenuhi kebutuhan akan tenaga kerjanya dengan warga

NegaraIndonesia,kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 11.

2. Melakukan kerja sama antara penanam modal asing dengan penanam

modalIndonesia.

3. Mengurus dan mengendalikan perusahaannya sesuai dengan asas-asas

ekonomiperusahaan dengan tidak merugikan kepentingan negara.

4. Memberikan kesempatan partisipasi bagi modal nasional secara efektif

setelahjangka waktu tertentu dan menurut pertimbangan yang

ditetapkan pemerintah.Wajib menyelenggarakan dan atau menyediakan

fasilitas latihan danpendidikan di dalam dan atau di luar negeri secara

teratur dan terarah bagiwarga negara Indonesia. Tujuannya adalah agar

berangsur-angsur tenaga kerjawarga negara asing dapat digantikan oleh

tenaga kerja warga negara Indonesia.49

Sedangkan hak penanam modal asing adalah:

1. Pemakaian atas tanah seperti hak guna bangunan, hak guna usaha, dan

hakpakai.

2. Hak untuk mendatangkan atau menggunakan tenaga pimpinan dan

tenaga kerjaahli warga negara asing bagi jabatan-jabatan yang belum

dapat diisi dengantenaga kerja warga negara Indonesia.

3. Hak transfer dalam valuasi asli dari modal atas dasar nilai tukar yang

berlakuuntuk:

a. Keuntungan yang diperoleh modal sesudah dikurangi pajak dan

kewajibanpembayaran lain di Indonesia.

b. Biaya-biaya yang berhubungan dengan tenaga kerja asing yang

dipekerjakandi Indonesia.

49
pasal 10, pasal 12, pasal 14, pasal 19, pasal 26, pasal 27 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
c. Biaya-biaya lain yang ditentukan lebih lanjut.

d. Penyusutan atas alat-alat perlengkapan tetap.

e. Kompensasi dalam hal nasionalisasi.50

Selain itu, hak dan kewajiban penanam modal khususnya

penanamanmodal asing telah ditentukan dalam pasal 8, pasal 10, pasal 14, pasal

15, dan 34pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

Modal. Hakpenanam modal asing meliputi:

1. Mengalihkan asset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan.

2. Melakukan transfer dan repatriasi (pengiriman) dalam valuta asing.

3. Menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan

keahliantertentu.

4. Mendapat kepastian hak, hukum, dan perlindungan.

5. Mendapat informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang

dijalankannya.

6. Hak pelayanan.

7. Berbagai bentuk fasilitas kemudahan.

Hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal telah ditentukan

dalam pasal 14, 15, dan 16 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

tentang Penanaman Modal. Hak, kewajiban, dan tanggung jawab itu meliputi:

1. Setiap penanaman modal berhak mendapatkan:

a. Kepastian hak, hukum, dan perlindungan.

b. Informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang

dijalankannya.

c. Hak pelayanan.

50
pasal 10, pasal 12, pasal 14, pasal 19, pasal 26, pasal 27 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
d. Berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan

peraturan

perundang-undangan.

2. Setiap penanam modal berkewajiban:

a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

c. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal

danmenyampaikannya kepada Badan Koordinasi penanaman

Modal.

d. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan

usahapenanaman modal.

e. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Setiap penanam modal bertanggung jawab:

a. Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang

tidakbertentangan dengan ketentuan peraturan

perundangundangan.

b. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan

kerugian jikapenanam modal menghentikan atau meninggalkan

atau menelantarkankegiatan usahanya secara sepihak sesuai

dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.

c. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah

praktikmonopoli, dan hal lain yang merugikan negara.

d. Menjaga kelestarian lingkungan hidup.

e. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan

kesejahteraanpekerja.

f. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.21


Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan artinyabahwa

penanam modal tidak hanya mematuhi peraturan perundang-undangan dibidang

penanaman modal, tetapi juga di bidang lainnya seperti bidang lingkunganhidup,

kehutanan, perpajakan, pertanahan, dan lain-lain. Apabila penanam

modalmelanggar peraturan perundang-undangan maka dapat dikenakan sanksi

berupasanksi pidana, administratif, denda, dan perdata.

Peran kepolisian sebagai penegak hukum dituntut untuk mampumelakukan

penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap bentuk tindak pidana,termasuk upaya

pembuktian secara ilmiah dengan memanfaatkan kemajuan ilmupengetahuan dan

teknologi guna melindungi hak-hak penanaman modal.Aktualisasi dari peran

sebagai penegak hukum ini adalah:

1. Menguasai dan mahir dalam hukum acara pidana maupun perdata

sehinggamampu menghadapi setiap permasalahan hukum dengan tepat

dan dapatmengatasi kasus-kasus pelanggaran hak pada tingkat pra

peradilan.

2. Menguasai teknik dan taktik penyelidikan serta penyidikan sehingga

mampumembuat terang dan terungkapnya setiap tindak pidana yang

terjadi.

3. Mempunyai semangat dan tekad yang kuat untuk menjadi

“CrimeHunter”dengan motto “Walaupun langit esok akan runtuh

namun hukum harustetap ditegakkan.”

4. Mampu memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

untukmembantu mengungkapkan pembuktian secara ilmiah dalam

kasuskasus yangterjadi.

5. Mampu melakukan koordinasi dengan segenap instansi terkait dalam

usahanyamenegakan hukum menurut sistem peradilan pidana


khususnya dan sertamengkoordinasikan dan mengawasi penyidik

pegawai negeri sipil dalamrangka perlindungan hak-hak penanaman

modal. Budaya Paternalistik masihhidup dan melekat pada sebagian

besar masyarakat khususnya di kalanganmasyarakat pedesaaan. hal-hal

yang diucapkan oleh pimpinan formal maupuninformal walaupun

terkadang pernyataan itu tidak sesuai dengan hak penanammodal

namun karena diucapkan oleh pimpinan kharismatik lalu

dianggapsebagai suatu kebenaran atau walaupun dalam hati kecilnya

menolak namuntidak berani mengungkapkan kesalahan dari ucapannya

tersebut. Sehinggamengurangi hak dari penanam modal yang dapat juga

dinamakan kesadaran hukum yang rendah.51

51
Syamsiar Julia, “Pelanggaran HAM dan Peran POLRI dalam Penegakan Hukum di
Indonesia”, Jurnal Akademik Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai