Anda di halaman 1dari 12

Konsep Keadilan Dalam Perlindungan HAM dan Tantangan Kontemporer

Terhadap HAM Dalam Konteks Hukum Pidana Islam

Pada saat ini hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi menjadi isu penting

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan kini perlindungan HAM

merupakan prasyarat bagi kerja sama internasional. Hak asasi manusia (HAM) dan

demokrasi adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain. Demokrasi tidak bisa

eksis tanpa adanya hak asasi manusia; dan sebaliknya, hak asasi manusia pada

umumnya tidak sepenuhnya terlindungi tanpa adanya demokrasi. Suatu negara yang

mengabaikan HAM dapat dipastikan menjadi sasaran kritik oleh dunia internasional,

dan ia pun akan terasing dari pergaulan internasional. HAM, yang pada dasarnya

bersifat moral dan bukan politis ini menjadi hal yang penting sekali setelah Perang

Dunia II dengan lahirnya Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM), pada 10 Desember 1948, yang

didukung oleh sebagian besar anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hanya

saja, pelaksanaan HAM di banyak negara kini masih mengalami banyak hambatan,

termasuk di negara-negara Muslim.1

Meskipun hampir semua negara Muslim menandatangani piagam tersebut,

dalam pelaksanaannya masih banyak dari negara-negara itu yang belum sepenuhnya

melaksanakan perlindungan dan penegakan HAM. Ada sejumlah faktor yang

1
Imtihanah, Anis Hidayatul. (2017). ‘Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Tunisia; Menuju Konsep
Syari’ah Modern Abdullah Ahmad An- Na’im’, dalam Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan, dan
Teknologi, Vol. 3 No. 2.
melatarbelakangi hal ini, baik karena alasan doktrin keagamaan maupun karena tidak

adanya political will dari pemerintah. Sejumlah pengamat bahkan menganggap

adanya ketidaksesuaian atau pertentangan antara ajaran Islam dengan HAM. Namun

pendapat ini dibantah oleh para ulama dan intelektual Muslim yang mengklaim

kompatibilitas ajaran Islam dengan HAM, walaupun mereka juga manyadari adanya

hal-hal yang berbeda antara konsep HAM “universal” yang notabene berasal dari

peradaban Barat dan konsep HAM menurut Islam

Secara historis, gagasan tentang HAM ini berasal dari gagasan tentang hak-

hak alamiah (natural rights). Hak-hak alami ini sering dihubungkan dengan konsep

hukum alam (natural law), sebagaimana yang dikemukakan oleh John Locke (1632-

1705).3 Sedangkan hukum alam ini digali dari filosofi tentang kebutuhan dasar (basic

needs) manusia. Dalam bentuknya yang lebih kongkret seperti sekarang, HAM ini

bermula dicantumkan dalam Declaration of Independence Amerika Serikat pada

tahun 1776 : “... that all men are created equal, that they are endowed by their Creator

by certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and pursuit of

Happiness...”. Hak-hak ini juga dinyatakan dalam Deklarasi Hak-Hak Manusia dan

Warganegara (Declaration des Droits de l’Homme at du Citoyen) Prancis pada tahun

1789, dengan slogannya yang populer pada waktu itu, yakni:liberté (kebebasan),

egalité (persamaan) dan fraternité (persaudaraan). Baru pada 10 Desember 1948 lahir

Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi

Manusia), yang disetujui oleh Majelis Umum PBB dengan hasil perhitungan suara 48
negara menyetujui, 8 negara abastain dan tidak ada satu pun negara yang

menolaknya.2

Namun demikian, dalam praktiknya konsep HAM tersebut tetap mengandung

perbedaan, terutama antara negara-negara liberal dengan negara-negara sosialis dan

negara-negara Muslim. Negara liberal memberikan prioritas kepada hak-hak sipil dan

politik berdasarkan prinsip “individualisme”, sedangkan negara sosialis atau komunis

memberikan prioritas kepada hak-hak ekonomi dan sosial berdasarkan prinsip

“kolektivisme”. Konsep universal HAM ini kemudian juga ditafsirkan lagi oleh

beberapa negara berkembang (dulu sering disebut Dunia Ketiga), dengan maksud

untuk menyesuaikan konsep HAM sesuai dengan kondisi dan budaya lokal atau

regional. Banyak elite politik serta para intelektual di Dunia Ketiga, termasuk di

Indonesia, tidak menerima konsep individualisme maupun sosialisme bagi

masyarakat mereka. Mereka merumuskan, mendefinisikan dan mengadaptasikan

budaya-budaya tradisional dan doktrin-doktrin filosofis untuk menggabungkan dan

menjustifikasi ide-ide modern tentang hak-hak ke dalam tradisi mereka. Usaha

semacam itu cenderung untuk mengambil bentuk komunalisme dengan menyusun

dan mengubah sistem-sistem nilai komunal secara tradisional yang mengartikulasikan

hubungan timbal balik antarindividu ke tingkat nasional negara modern.5 Hal yang

sama juga dilakukan oleh negara-negara Muslim, yang umumnya tetap menjadikan

2
Muhammad Patri Arifin, “Konsep Penerapan Hukum Kewarisan Islam Nusantara, Bilancia: Jurnal
Studi Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 11 No. 1, 2017
agama sebagai unsur penting dalam kehidupan masyarakat dan negara, yang berarti

tidak ada pemisahan sepenuhnya antara agama dan negara

Jika berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pemikiran adalah

peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia

dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu yang hidup dalam masyarakat

maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh

penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum tidak tertulis seperti hukum Adat,

mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti

hukum Barat. Hukum dalam konsepsi hukum Barat seperti ini adalah hukum yang

sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam

masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum Barat ini yang diatur oleh hukum

hanyalah hubungan manusia dan benda dalam masyarakat.1 Di samping itu masih ada

konsepsi hukum lain, yakni hukum Islam. Dalam konsepsi hukum Islam, dasar dan

kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah sub♥ānahū wa ta„ālā. Yang diatur tidak

hanya hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat termasuk dirinya

sendiri dan benda serta alam semesta, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan.

Dalam konteks hubungan manusia dengan alam lain sudah dibahas dalam

topik etika lingkungan pada tulisan-tulisan lalu. Alam ini makin rusak dengan

rusaknya ekosistem, sehingga mengakibatkan global warming yang berlanjut dan

berimplikasi pada hancurnya kehidupan. Indonesia, minta keadilan duniadan negara-

negara kaya, agar mereka menurunkan emisi gas buangnya, bukan hanya menuntut
Indonesia untuk menjaga dan melestarikan hutan. Sudah saatnya tugas manusia

dipertegas kembali, yakni untuk memelihara alam dengan segala dimensinya dalam

berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menjaga hubungan manusia dengan

sesamanya. Agar kezaliman dan diskriminasi tidak semakin marak.3

Deklarasi HAM tahun 1948, belum cukup ampuh untuk menghilangkan

kekerasan terhadap bangsa-bangsa lain. Maka selanjutnya, disusul dengan Konvensi

Tentang Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Genocide, 1948 yang memuat

19 pasal. Setahun Kemudian, yaitu tanggal 12 Agustus 1949 disusul oleh munculnya

Konvensi Genewa berkenaan dengan perlindungan orang-orang sipil pada masa

perang yang memuat 132 pasal ditambah 110 pasal mengenai perlakuan tawanan

perang. Dan pada 18 Desember 1979 konvensi tentang penghapusan segala bentuk

diskriminasi terhadap kaum wanita yang berisi 30 pasal disahkan; serta pada tahun

1956 konvensi tentang penghapusan perbudakan, perdagangan budak, dan lembaga-

lembaga serta praktek-praktek yang sama dengan perbudakan disahkan yang berisi 15

pasal.

Tujuan utama dari segala bentuk deklarasi dan konvensi ini tidak lain adalah

untuk menegakkan keadilan, sebagai bagian dari penegakkan HAM dan

pembelaannya, sehingga manusia dapat hidup berdampingan, saling menghormati,

dan memelihara peradaban serta kebudayaan dunia dalam segala bentuknya. Hal ini

3
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus
Berkembang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Ofset, 2006.
ada yang berkaitan dengan agama, keyakinan, bangsa, etnis, warna kulit, bahasa,

bahkan adat kebiasaan.

Penegakan HAM dalam menegakkan keadilan merupakan keniscayaan.

Keadilan itu sendiri merupakan pokok jatuh bangunnya kehidupan manusia, baik

dalam aspek individual, sosial, dan konstitusional atau politik. Ungkapan keadilan

dengan kata „adil cukup banyak dalam Al-Qur an yang paling tidak ada sekitar 28

ayat dengan menggunakan berbagai derivasi dengan makna yang tidak selamanya

bermakna adil, tetapi ada makna lain dan juga bermacam derivasi. Walaupun tidak

selamanya kosakata yang menunjukkan keadilan atau adil menggunakan kata adil.

HAM dalam perspektif Al-Qur an mencakup berbagai macam dimensi, baik

yang berkaitan dengan persoalan spiritual atau keyakinan, ekonomi, politik, maupun

sosial. Keberhasilan penegakkan HAM, baik berkaitan dengan keadilan maupun

dengan pembelaannya, bukan hanya tergantung kepada keinginan kaum Muslimin

sendiri, tetapi harus didukung dengan adanya kemauan (political will) dari para

penguasa dalam praktek implementasi di lapangan. Umat Islam masih sering menjadi

sasaran dan dianggap melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM, disebabkan adanya

kepentingan pihak tertentu maupun kepentingan global. Namun, di sisi lain, jika yang

melakukan kejahatan kemanusiaan dan jelas-jelas melanggar HAM dilakukan oleh

non-Muslim, maka tidak ada penyelesaian yang adil secara hukum, seperti yang
terjadi di Palestina saat ini. Hal ini menjadi bukti mandulnya sistem hukum yang ada

sekarang.4

Maka reinterpretasi konsep HAM yang selama ini ada di masyarakat mestinya

dikembalikan pada ajaran pokok AlQur′an yang menjadi keyakinan kaum Muslimin

selama ini. Banyaknya pelanggaran HAM lebih didasarkan oleh nafsu dan kejahatan

moral manusia-manusia atau penguasa yang rakus ketimbang berdasarkan prinsip-

prinsip HAM yang disepakati bersama sekalipun, apalagi dengan menggunakan

acuan dan paradigma teologis Qur ani. Al-Qur′an dengan secara

istimewamenerangkan tentang keadilan, prinsip-prinsipnya dengan pembelaannya,

sehingga tidak diragukan lagi bahwa pembelaan HAH yang benar adalah berdasarkan

Al-Qur an. Dalam menegakkan keadilan akan ditemukan prinsipprinsip keadilan yang

akan menjadi standar perilaku apakah manusia berbuat adil atau tidak. Prinsip

keadilan akan mencakup kesamaan, amanah, dan berbagai aspeknya. Sementara

pembelaan terhadap penegakan HAM yang terkait dengan keadilan akan meliputi

perlindungan terhadap keyakinan, kehormatan, jiwa, harta, kerja, sentimen

keagamaan, perlindungan terhadap orang yang tidak bersalah, dan lain-lain.

Dalam Islam hukum pidana merupakan bagian dari sistem yang ditetapkan

oleh Allah agar tercipta kebahagiaan, rasa aman dan ketenteraman dalam kehidupan

manusia. Bila kesinambungan alam raya ini ditentukan oleh prinsip keseimbangan

(at-taw☼zun), maka pidana Islam sesungguhnya juga meru-pakan wujud


4
Ariyanti, Vivi, „Konsep Perlindungan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Nasional Dan Sistem
Hukum Pidana Islam‟, Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, 13.1 (2019), hlm.34
keseimbangan antara hak-hak individu dan masyarakat secara bersamaan. Setiap

individu memiliki hak untuk dipelihara kemaslahatannya dalam hidup, baik yang

terkait dengan keyakinan, harta, kehormatan maupun harta. Demikian pula

masyarakat mempunyai hak yang harus dipelihara dan dipenuhi agar tercipta

ketenteraman dan kedamaian. Setiap komunitas manusia mempunyai kepentingan

yang disepakati bersama dalam empat hal; keluarga, kepemilikan, sistem sosial dan

pemerintahan. Secara fitrah manusia akan tergerak untuk membela dan melawan

setiap bentuk permusuhan yang mengancam keutuhan empat hal tersebut. Secara

umum, ketentuan udūd (pidana Islam) dimaksudkan untuk menjamin dan memelihara

keberlangsungan hak-hak di seputar empat hal tersebut. add bagi pencuri ditetapkan

untuk melindungi hak kepemilikan, add zina untuk memelihara keutuhan keluarga,

dan hadd pemberontakan untuk menjaga keberlangsungan sistem sosial. Demikian

pula add tuduhan berzina dan minum khamar yang ditetapkan untuk melindungi hak

individu yang merupakan jantung kehidupan keluarga dan masyarakat.5

Di balik kesan keras dan kejam pidana Islam menyimpan banyak kebaikan,

sebab ketentuan itu berasal dari Allah yang memiliki sifat-sifat baik seperti pengasih,

penyayang, maha mengetahui, mahabijak dan lain sebagainya. Allah lebih tahu apa

yang maslahat untuk manusia. Tersimpan sejumlah rahasia dan bentuk kasih sayang

Allah kepada manusia. Ketentuan hukum itu telah ditetapkan secara arif, cermat dan

bijak. Hukuman yang ditetapkan setimpal dengan tindak pidana yang dilakukan,
5
Basyir, Abdul, „Pentingnya Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Untuk Mewujudkan Hukum Aspiratif Dan Responsif‟, Jurnal IUS (Kajian Hukum Dan Keadilan, II.5
(2014), hlm.2
proporsional dan tidak berlebihan. Misalnya, mereka yang berusaha memperkaya diri

dengan mencuri hasil keringat orang lain dihukum dengan sesuatu yang menghalangi

keinginannya, yaitu dengan memotong alat untuk mencuri (tangan).6

Hukuman pidana Islam yang berupa rajam, dera (jilid), pengasingan, potong

tangan dan hukuman mati (bunuh) sering menjadi bahan gunjingan dan tertawaan

banyak kalangan, dengan alasan kejam, tidak manusiawi dan ketinggalan zaman.

Naifnya lagi, ketika disebut syariat Islam yang terbayang dalam benak mereka adalah

hukuman pidana tersebut, sehingga syariat Islam menjadi sesuatu yang menakutkan.

Padahal jenis hukuman tersebut sangat terbatas, dan ayat-ayat al-Qur`an yang

berbicara tentang pidana Islam sangat sedikit, hanya berkisar antara 8–16% dari

keseluruhan ayat-ayat al-Qur`an yang berbicara tentang hukum yang diperselisihkan

jumlahnya oleh para ulama. 31 Menurut Ali Al-Says, keseluruhan ayat hukum hanya

berjumlah 314 ayat dari 6234 ayat al-Qur`an (5%).

Hukuman hudūd bukan hanya ada dalam agama Islam, tetapi dalam ajaran

agama-agama lain juga ditemukan. Dalam Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa

misalnya terdapat ketentuan rajam. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh

Ibnu Umar dikisahkan Rasulullah kedatangan beberapa orang Yahudi. Mereka

melaporkan bahwa ada seorang laki-laki dan permpuan di antara mereka yang

berzina. Rasul menanyakan mereka tentang hukuman bagi pezina dalam Taurat.

6
Faizah, Azza Fitrahul, and Muhammad Rifqi Hariri, „Pelindungan Hukum Terhadap Korban Revenge
Porn Sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online Ditinjau Dari UndangUndang Nomor 12 Tahun
2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual‟, Jurnal Hukum Lex Generalis, 3.7 (2022), 520–41, hlm
4
Merekamenjawab, “dipermalukan dan didera (cambuk).” Salah seorang sahabat Nabi

yang sangat memahami Taurat, Abdullah bin Salam, protes karena sesungguhnya

dalam Taurat disebutkan hukumannya adalah rajam. Rupanya ketika membacakan

Taurat mereka tutupi ayat yang terkait dengan rajam, sengaja dilewati. Mereka

sembunyikan itu dengan cara menutupinya dengan tangan. Abdullah bin Salam

meminta mereka untuk mengangkat tangan, dan ternyata betul di situ ada penjelasan

tentang hukuman rajam. Atas dasar itu Rasulullah memberi hukuman rajam kepada

kedua pelaku zina tersebut.

Keberadaan penjara dalam Islam tidak berarti semua kejahatan diberi sanksi

tahanan seperti yang banyak terjadi saat ini. Hukuman diberikan sesuai kadar

kejahatan yang dilakukan dengan mempertimbangkan kemaslahatan bagi pelaku,

korban dan masyarakat. Yang menentukan hukuman itulah adalah Allah Swt,

Pencipta manusia, yang tentunya Maha Mengetahui karakteristik manusia dan yang

sejalan dengan kemaslahatan manusia. Kesan hukum pidana Islam bertentangan

dengan hakhak asasi manusia lahir karena pandangan yang parsial terhadap ketentuan

Tuhan dalam menetapkan hukuman bagi pelaku kejahatan.7

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan

Zaman Yang Terus Berkembang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Ofset, 2006.


7
Muhammad, Hasanuddin, „Implikasi Yuridis Pengaturan Hak Korban Tindak Pidana Kekerasan
Seksual Dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2022 Muhammad, H. (2022). Implikasi Yuridis
Pengaturan Hak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2022 Tentang Ti‟, Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan, Vol.9. hlm 6
Ariyanti, Vivi, „Konsep Perlindungan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana

Nasional Dan Sistem Hukum Pidana Islam‟, Al-Manahij: Jurnal Kajian

Hukum Islam, 13.1 (2019), hlm.34

Basyir, Abdul, „Pentingnya Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Hukum Aspiratif Dan Responsif‟,

Jurnal IUS (Kajian Hukum Dan Keadilan, II.5 (2014), hlm.2

Faizah, Azza Fitrahul, and Muhammad Rifqi Hariri, „Pelindungan Hukum Terhadap

Korban Revenge Porn Sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online

Ditinjau Dari UndangUndang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana

Kekerasan Seksual‟, Jurnal Hukum Lex Generalis, 3.7 (2022), 520–41, hlm 4

Imtihanah, Anis Hidayatul. (2017). ‘Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Tunisia;

Menuju Konsep Syari’ah Modern Abdullah Ahmad An- Na’im’, dalam Jurnal

Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan, dan Teknologi, Vol. 3 No. 2.

Muhammad Patri Arifin, “Konsep Penerapan Hukum Kewarisan Islam Nusantara,

Bilancia: Jurnal Studi Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 11 No. 1, 2017

Muhammad, Hasanuddin, „Implikasi Yuridis Pengaturan Hak Korban Tindak Pidana

Kekerasan Seksual Dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2022

Muhammad, H. (2022). Implikasi Yuridis Pengaturan Hak Korban Tindak

Pidana Kekerasan Seksual Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022


Tentang Ti‟, Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum Dan

Keadilan, Vol.9. hlm 6

Anda mungkin juga menyukai