Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

PENGANTAR FIQH

Disusun oleh:
NAMA : YUSRIL NURDIN
NIM. : 2220203861211058

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE
2024
KATA PENGANTAR

‫الَّر ِحيِم الَّر ْح مِن ِهللا ِبْس ِم‬


Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ fiqh muamalah “
pembuatan makalah dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala
keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata
kuliah FIQIH MUAMALAT yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami, serta pada
anggota tim yang selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas ini.

Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan
penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca
yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis
harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan
pada waktu mendatang.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................3
A. Latar Belakang................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan.............................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
A. Pengertian Fiqh...............................................................................................................5
B. Objek Kajian Fiqh...........................................................................................................9
C. Sumber-sumber Fiqh.....................................................................................................10
D. Istilah-istilah Fiqh.........................................................................................................12
E. Sejarah Perkembangan Fiqh..........................................................................................13
F. Penyebab Terjadinya Perbedaan Fiqh...........................................................................16
G. Perbedaan Antara Fiqh Muamalah Dan Fiqh Ibadah....................................................22
H. Objek Fiqh Muamalah...................................................................................................28
BAB III.....................................................................................................................................33
KESIMPULAN........................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................34
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu aspek terpenting
dalam Islam disamping beberapa aspek terpenting lainnya. Dengan adanya hukum,
manusia bersama komunitasnya dapat menjalankan beragam aktivitasnya dengan
tenang dan tanpa ada perasaan was-was. Dan dengan hukum pula manusia dapat
mengetahui manakah pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan dan apa sajakah
pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Fiqih sebagai sebuah
produk hukum tentu perlu mendapat penjelasan tentang apa dan bagaimana Fiqih bisa
menjadi sebuah ketetapan hukum?
Kaitannya dengan Filsafat pendidikan Islam yang merupakan proses berfikir
yang mendasar, sistematik. logis, dan menyeluruh (universal) tentang Pendidikan
Islam dengan Al Quran dan Al Hadits sebagai acuan dasar. Maka tentu
pembahasannya tidak hanya sekedar pengetahuan agama Islam saja, melainkan juga
ilmu-ilmu lain yang relevan. Hal inilah yang menjadi ruang lingkup filsafat
Pendidikan Islam yaitu masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan,
seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru (tenaga pendidik), kurikulum
(serangkaian mata pelajaran, seperti; Al Quran, Hadits, Fiqh, aqidah, Akhlaq, dll),
metode (cara penyampaian materi pelajaran), dan lingkungan.
Ilmu Fiqh merupakan ilmu agama yang paling utama, karena Rasulullah SAW
telah bersabda,:

‫َم ْن ُيِرِد ُهللا ِبِه َخ ْيًرا ُيَفِّقْهُه ِفي الِّدْيِن‬


“Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya maka Dia akan
menjadikannya paham dalam agama.” (HR. Bukhari no.71)1

Kalimat ‫ُيَفِّقْهُه‬ “Yufaqqih-hu”, huruf Ha` di sini adalah ganti dari Hamzah,
karena asal kalimat Faqiha Ar-Rajulu adalah Faqa’a (mencukil) kemudian diganti
Ha` (menjadi Faqiha). Arti Faqiha Ar-Rajulu adalah bila seseorang menyelami
1
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani. Fathul Bari, Jilid 1. (Kairo: Darul Hadits, 2004 ) p. 199.
perkataan mengeluarkan artinya. Kalimat ini berasal dari perkataan orang-orang
“Faqa’tuh Ainahu” bila mata seseorang dicukil lalu bagian dalamnya dikeluarkan.
Maksudnya adalah bahwa fiqh adalah menyingkap sesuatu yang samar dan
meneliti kalimat-kalimat rahasia.
Kami membahas hadits ini agar kewajiban-kewajiban yang inti benar-benar
diperhatikan, sementara untuk cabang-cabang agama lainnya tetap dipelajari karena
memang harus diketahui.2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis dapat merumuskan
masalah, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian fiqh?
2. Apa saja yang menjadi objek kajian fiqh?
3. Apa saja sumber-sumber yang menjadi landasan fiqh?
4. Apa saja istilah-istilah dalam ilmu fiqh?
5. Bagaimana sejarah perkembangan atau priodesasi ilmu fiqh?

C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian fiqh.
2. Untuk mengetahui hal yang menjadi objek kajian fiqh.
3. Untuk mengetahui sumber-sumber yang menjadi landasan fiqh.
4. Untuk mengetahui istilah-istilah dalam ilmu fiqh.
5. Untuk mengetahui sejarah perkembangan fiqh.

2
Yahya bin Muhammad bin Hubairah, Fikih Empat Madzhab: Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi’i (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2016) p. 58.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqh
Fiqh (‫ )الفقه‬secara bahasa berarti paham atau mengerti. Sebagaimana firman
Allah:

‫َقاُلوْا َٰي ُش َع ۡي ُب َم ا َنۡف َقُه َك ِثيٗر ا ِّمَّم ا َتُقوُل‬


“Mereka berkata, ‘Wahai Syuaib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang
engkau katakan itu” (QS. Hud: 91).3
Dan juga firman Allah:

‫َفَم اِل َٰٓهُؤٓاَل ِء ٱۡل َقۡو ِم اَل َيَك اُد وَن َيۡف َقُهوَن َح ِد يٗث ا‬
“Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan (sedikit pun)?” (QS. An-Nisa: 78).4
Imam Abu Hanifah (w. 150 H) memberikan pengertian fiqh adalah
pengetahuan tentang diri terhadap segala yang berkaitan dengan akidah maupun
amaliyah. Pengertian ini bersifat umum yang mencakup hukum-hukum kepercayaan
seperti kewajiban beriman dan sebagainya, perasaan hati seperti akhlak dan tasawwuf,
serta amaliyah seperti shalat, puasa, jual beli dan sebagainya.
Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) mendefinisikan fiqh dengan pengertian yang
masyhur setelah Imam Abu Hanifah bahwa fiqh adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum Syara’ yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci.
Ilmu di sini diartikan mengetahui sesuatu yang memperoleh keyakinan dan
prasangka secara mutlak, karena sesungguhnya hukum sebangsa perbuatan terkadang
ditetapkan secara pasti dan yakin, sebagaimana juga ditetapkan secara umum dengan
dalil zhanni (sangkaan).5
Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu
pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah1 . Fiqh secara etimologi berarti
pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal2 .
3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya edisi keluarga, (Surabaya: HALIM, 2013) p.
232
4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya edisi keluarga, (Surabaya: HALIM, 2013) p. 90
5
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islamiy Wa Adillatuh, Jilid 1 (Damaskus: Darul Fikri, 1985) p. 15.
Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu
pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan
manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang
terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mengatakan fiqh adalah
ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan
dengan dalil-dalil yang tafsili.
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu
menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak
Allah. Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu
hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian
hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau “aqidah” tidak
termasuk dalam lingkungan fiqh dalam uraian ini. penggunaan kata “digali dan
ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan,
penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah hasil
penemuan mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh dan syariah
memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai
kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah.
Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang
disebut syari’ah. Untuk mengetahui semua kehendak-Nya tentang amaliah manusia
itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’ah, sehingga amaliah
syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasiapapun dan bagaimanapun.
Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci. Ketentuan yang terinci tentang
amaliah manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman
terhadap syari’ah itu disebut fiqh.
Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis
dan memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih
merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan
pelaksanaan ritual-ritual.Pembekalan materi yang baik dalam lingkup sekolah, akan
membentuk pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang
luhur. Sehingga memudahkan peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman modern sekarang semakin banyak masalah-
masalah muncul yang membutuhkan kajian fiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta
didik membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk menanggapi permasalahan di
masyarakat sekitar.
Tujuan pembelajaran Fiqih adalah untuk membekali peserta didik agar dapat
mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan
menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan dalil aqli melaksanakan dan mengamalkan
ketentuan hukum Islam dengan benar.
Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah,logis dan
memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan
gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan
ritual-ritual.Pembekalan materi yang baik dalam lingkupsekolah, akan membentuk
pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Sehingga memudahkan peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Apalagi di zaman modern sekarang semakin banyak masalah-masalah
muncul yang membutuhkan kajian fiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta didik
membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk menanggapi permasalahan di
masyarakat sekitar.
Dalam mempelajari fiqih, bukan sekedar teori yang berarti tentang ilmu yang
jelas pembelajaran yang bersifat amaliah, harus mengandung unsur teori dan praktek.
Belajar fiqih untuk diamalkan, bila berisi suruhan atau perintah, harus dapat
dilaksanakan, bila berisi larangan, harus dapat ditinggalkan atau dijauhi.Pembelajaran
fiqih harus dimulai dari masa kanak-kanak yang berada disekolah dasar. keberhasilan
fiqih dapat di lihat dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam rumah maupun diluar
rumah. Contohnya, dalam rumah kecenderungan anak untuk melakukan shalat sendiri
secara rutin. Sedangkan diluar rumah misalnya intensitas anak dalam menjalankan
ibadah seperti shalat dan puasa dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam
kehidupan di sekolah. Proses pembelajaran yang sementara ini dilakukan di lembaga-
lembaga pendidikan kita masih banyak yang mengandalkan cara-cara lama dalam
penyampaian materinya. Pembelajaran yang baik adalah bersifat menyeluruh dalam
melaksanakannya dan mencakup berbagai aspek, baik aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotorik, sehingga dalam pengukuran tingkat keberhasilannya selain dilihat dari
segi kuantitas juga dari kualitas yang telah dilakukan di sekolah-sekolah.Mengacu
dari pendapat tersebut makapembelajaran yang aktif ditandai adanya rangkaian
kegiatan terencana yang melibatkan siswa secara langsung, komprehensif baik fisik,
mental maupun emosi. Hal semacam ini sering diabaikan oleh guru karenaguru lebih
mementingkan pada pencapaian tujuan dan target kurikulum. Salah satu upaya guru
dalam menciptakan suasana kelas yang aktif, efektif dan menyenangkan dalam
pembelajaran yakni dengan menggunakan metode yang benar.
Tujuan artinya sesuatu yang dituju, yaitu yang ingin dicapai dengan suatu
kegiatan atau usaha. Dalam pendidikan tujuan pendidikan dan pembelajaran
merupakan faktor yang pertama dan utama. Tujuan akan mengarahkan arah
pendidikan dan pengajaran kearah yang hendak dituju. Tanpa adanya tujuan maka
pendidikan akan terombang-ambing. Sehingga proses pendidikan tidak akan
mencapai hasil yang optimal. Tujuan yang jelas akan memudahkan penggunaan
komponen-komponen yang lain, yaitu materi, metode, dan media serta evaluasi yang
akan digunakan dalam proses pembelajaran, yang kesemua komponen tersebut
diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Dalam merumuskan tujuan dan pembelajaran haruslah diperhatikan beberapa
aspek, yakni aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik8 . Dalam dunia
pendidikan di Indonesia terdapat rumusan tentang tujuan pendidikan nasional dan
rumusan tersebut tertuang dalam Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 Pasal 3
tentang SISDIKNAS, yang berbunyi: “Pendidikan Nasional Bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Pembelajaran Fiqih diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama
diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa
kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia
yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan
produktif, baik personal maupun sosial.
Pembelajaran Fiqih diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya
menyempurnakan iman, taqwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan
keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang
bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan,
hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam
lingkup lokal, nasional, regional maupun global. Pendidik diharapkan dapat
mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat
dilakukan tidak beraturan. Peran semua unsur madrasah, orang tua siswa dan
masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan
pembelajaran Fiqih.

B. Objek Kajian Fiqh


Objek kajian fiqh adalah perbuatan seorang mukallaf ditinjau dari
ketetapannya terhadap hukum hukum syari yang membahas tentang shalat nya orang
mukallaf, puasa nya, haji nya, jual beli nya, sewa menyewa nya, dan lain sebagainya.
Adapun hukum fiqh di ambil dari wahyu baik yang di tilawatkan (Al-Qur’an)
maupun wahyu yang tidak di tilawatkan (Sunnah Rasul). Pada hal itu mujtahid tidak
memperoleh nash, maka dia menggalih hukum itu dari ruh (jiwa) dan maksud
maksudnya ilmu fiqh, dinamai juga dengan ilmu hal, ilmu halal wal haram, ilmusy
syari’ah wal ahkam.

C. Sumber-sumber Fiqh
Allah telah menerangkan hukum untuk segenap kajian, sebagiannya dengan
tegas dinashkan sedang sebagiannya tidak dinashkan, tetapi diberikan tanda yang
menyampaikan ahli ijtihad dalam menetapkan hukum.
Hukum fiqh ada yang diambil dari sumber-sumber yang asasi, qath’i
subutnya dan dalalahnya, baik dari Al-Qur’an ataupun sunah mutawatirah seperti
kefardhuan shalat, puasa ramadhan, menyempurnakan janji dan wajib sepakat dalam
membuat perikatan.
1. Al-Qur’an
Kata “Al-Qur’an” dalam bahasa Arab diambil dari kata qara-a, seperti
kata “Al-Ghufraan” juga diambil dari kata ghafara. Jadi urutannya qara-a yaqra-
u qur-aanan wa qiraa-atan. Seperti dalam firman Allah:

‫ِإَّن َع َلۡي َنا َج ۡم َع ۥُه َو ُقۡر َء اَن ۥُه َفِإَذ ا َقَر ۡأ َٰن ُه َفٱَّتِبۡع ُقۡر َء اَن ۥُه‬
“Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan
membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah: 17-18).6
Ulama ushul menta’rifkan Al-Qur’an sebagai berikut: Al-Qur’an ialah
lafazh yang diturunkan kepada Muhammad yang dinukilkan kepada kita dengan
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya edisi keluarga, (Surabaya: HALIM, 2013) p.
577
cara mutawatir yang dikumpulkan antara dua tepi mushaf yang Allah wahyukan
kepada Rasulnya dengan lafazh dan makna untuk dihafal dan disampaikan
kepada ummat sebagaimana yang Allah tuturkan.7
Lafazh Al-Qur’an di dalam huruf umum ialah kumpulan yang terkumpul
dari kalam Allah yang dibaca para hamba. Al-Qur’an dalam pengertian ini lebih
terkenal dari lafazh Al-Kitab dan lebih nyata. Karena Al-Kitab dipakai juga untuk
kitab-kitab yang lain, baik yang diturunkan kepada nabi-nabi maupun kitab-kitab
lain.

2. Sunnah
Sunnah menurut bahasa artinya adalah jalan. Seperti dalam firman Allah:

‫ُس َّنَة ٱِهَّلل ِفي ٱَّلِذ يَن َخ َلۡو ْا ِم ن َقۡب ُۖل َو َلن َتِج َد ِلُس َّنِة ٱِهَّلل َتۡب ِد ياٗل‬

“Sebagai sunnah Allah yang (berlaku juga) bagi orang-orang yang telah
terdahulu sebelum(mu), dan engkau tidak akan mendapati perubahan pada
sunnah Allah.” (QS. Al-Ahzab: 62).8
Sedangkan Sunnah menurut istilah syara’ adalah adalah ucapan,
perbuatan atau pun pengakuan Rasulullah SAW.9
Sebagai bukti yang nyata bahwa sunnah mempunyai daya hujjah dan
menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an ialah sabda Nabi SAW. Didalam haji
wada:

‫ ِكَتاَب ِهللا َو ُس َّنَة َنِبِّيِه‬,‫َتَر ْك ُت ِفْيُك ْم َأْمَر ْيِن َلْن َتِض ُّلْو ا َبْع َد ُهِم ا َأَبًدا‬
“Aku tinggalkan padamu dua urusan, sekali-kali kamu tidak akan sesat sesudah
keduanya: Kitabullah dan sunah Nabi-Nya.” (HR. Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi,
Ibnu Hazm, dan Ibnu Nashr).

3. Ijma`
Ijma` menurut bahasa berarti tekad, seperti dalam firman Allah:

‫َفَأۡج ِم ُع ٓو ْا َأۡم َر ُك ۡم َو ُش َر َك ٓاَء ُك ۡم‬


7
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Pustaka Amani, 2003) p. 17.
8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya edisi keluarga, (Surabaya: HALIM, 2013) p.
426
9
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), p. 39
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu
untuk membinasakanku.” (QS. Yunus: 71).10
Kesepakatan para mujtahid disebut ijma` karena kesepakatan mereka atas
suatu hukum adalah kebulatan tekad mereka atas hal itu.
Sedangkan ijma` menurut istilah ulama ilmu ushul fiqh adalah
kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah SAW. atas hukum syara` mengenai suatu kejadian.
Untuk menetapkan adanya ijma hendaklah:
1) Berwujud ijma` segala mujtahid terhadap sesuatu pendapat walaupun mereka
berjumlah kecil asalkan tak ada lagi mujtahaid yang dapat turut serta
memberikan pendapat.
2) Berwujud kesepakatan seluruh para mujtahid. Inilah sebab Umar melarang
para sahabat ahli ilmiah pergi dari Madinah. Kalau ada dua pendapat, maka
ada kemungkinan suatu ketika pendapat golongan yang kecil adalah benar ada
ulama yang menyatakan, bahwa apabila telah di setujui oleh orang banyak,
sudah menjadi ijma`.
3) Yang mereka ijma’i masuk hukum syar’i yang dapat di wujudkan dengan
ijtihad, seperti hal hal yang bersangkut paut dengan halal, haram, sah, dan
batal.
4) Ijma` berlaku setalah Rasulullah wafat.

4. Qiyas
Menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dengan suatu
hukum yang ada nashnya, dengan asumsi adanya persamaan ‘illat.11
Qiyas itu mempunyai 4 rukun:
1) Maqis ‘alaihi (asal=pokok).
2) Maqis (furu’=cabang).
3) Illat.
4) Hukum pokok.

Illat ialah:

10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya edisi keluarga, (Surabaya: HALIM, 2013) p.
217
11
Zaidah Yusna, Model Hukum Islam: Suatu Konsep Metode Penemuan Hukum Melalui Pendekatan Ushuliyya,
Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran.Vol.17 No. 2 Desember 2017. P. 152.
‫الَو ْص ُف الَّظاِهُر الُم ْنَض ِبُط الُم ْش َتِم ُل َع َلى الَم ْعَنى الُم َناِسِب ِلْلُح ْك ِم‬
“Washaf yang nyata lagi tetap yang melengkapi pengertian yang munasabah
dengan hukum. (seperti mabuk, illat haram minum keras)”12

D. Istilah-istilah Fiqh
Dalam ilmu fiqh terdapat banyak sekali istilah, di antaranya:
1. Wajib, adalah sesuatu yang bila ditinggalkan pelakunya akan mendapatkan
ancaman.
2. Sunnah, adalah sesuatu yang lebih utama dilakukan dan tidak berdosa bila
ditinggalkan.
3. Mubah, adalah sesuatu yang dibolehkan secara mutlak bagi seorang hamba,
hanya saja bila diniatkan akan mendapat pahala.
4. Mahzhur, adalah haram. Haram adalah sesuatu yang bila ditinggalkan mendapat
pahala dan bila dilakukan mendapat siksa (dosa), atau sesuatu yang dilarang
dengan pasti atau sesuatu yang berkaitan dengan hukuman bila dilakukan.
5. Makruh, adalah sesuatu yang bila ditinggalkan mendapat pahala dan bila
dikerjakan tidak berdosa (tidak mendapat siksa).
6. Fardhu, adalah wajib menurut Imam Syafi’i. Sedangkan menurut Imam Ahmad
dan Imam Abu Hanifah, wajib itu bersifat lazim, sementara fardhu lebih lazim.
7. Larangan, adalah lawan dari perintah. Larangan adalah instruksi dari seseorang
dengan ucapan kepada orang yang dibawahnya agar meninggalkan sesuatu tanpa
kecuali (wajib ditinggalkan).13

E. Sejarah Perkembangan Fiqh


Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada beberapa periode.
Masing-masing periode diperinci sebagai berikut:
1. Periode Pertama – Masa Nabi Muhammad SAW
Periode ini berlangsung pada waktu Nabi Muhammad masih hidup yaitu
pada masa 610-632 M (tahun ke 1-10 H). Pada masa ini masalah yang dihadapi
umat islam, langsung diselesaikan oleh Nabi, baik melalui wahyu yang
diterimanya dari Allah, maupun melalui sunnahnya, yang selalu dibimbing oleh
wahyu. Dengan demikian pada masa ini semua hukum didasarkan pada wahyu.

12
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
1997).
13
Yahya bin Muhammad bin Hubairah. Fikih Empat Madzhab (Jakarta: Pustaka Azzam, 2016), p. 63.
Pada periode ini dalil hukum islam kembali kepada Al-qur’an dan sunnah
Rasulnya. Ijtihad sahabat yang terjadi pada waktu itu mempunyai nilai sunnah,
yaitu masuk kepada jenis taqriry, karena mendapat penetapan dari Nabi, baik
berupa pembenaran maupun berupa koreksi pembetulan terhadap apa yang
dilakukan sahabat tersebut.

2. Periode kedua-Masa Sahabat atau Khulafaur Rasyidin


Periode ini berlangsung pada masa sahabat khulafaur rasyidin (632-662
M/11-41 H), yaitu pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Pada masa periode ini penyelesaian masalah yang
dihadapi umat islam diselesaikan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangka
terhadap masalah yang belum ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah diselesaikan
dengan cara ijtihad para sahabat, baik ijtihad jama’iy, maupun fardy, dengan tetap
berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dalil hukum pada
masa periode ini kembali kepada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan ijtihad sahabat.

3. Periode Ketiga-Masa Perkembanagan dan Pembukuan


Pada periode ketiga ini merupakan masa perkembangan dan pembukuan
yang berlangsung sekitar 250 tahun sejak akhir abad ke 7 sampai awal abad 10
M. Yaitu pada masa akhir pemerintahan khalifah Umayyah dan masa
pemerintahan khalifah Abbasiyah.14
Periode ini merupakan periode keemasan umat islam, yang ditandai
dengan berkembangnya ilmu-ilmu seperti filsafat, pemikiran ilmu kalam, Hukum,
Tasawuf, Teknologi, Pemerintahan, Arsitektur dan berbagai kemajuan lainnya.
Sejalan dengan berkembangnya pemerintahan islam sebagai Akibat semakin
luasnya wilayah kekuasaan islam ke belahan dunia barat dan timur.
Perluasaan wilayah ini menyebabkan munculnya masalah-masalah yang
baru yang sebelumnya belum pernah terjadi, sehingga permasalahan yang
dihadapi umat Islam semakin kompleks. Keadaan demikian memunculkan
tantangan bagi para mujtahid untuk memecahkan hukum masalah-masalah
tersebut, dan hasil Ijtihad mereka kemudian di bukukan dalam kitab-kitab fiqh.
Periode ini merupakan puncak lahirnya karya-karya besar dalam berbagai

14
Suparman Usman, Hukum Islam,(Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama,2001) p. 90
penulisan dan pemikiran, yang ditandai dengan lahirnya kitab kumpulan hadist
dan fiqh (hukum Islam) dari berbagai madzhab.
Dengan berkembangnya berbagai permasalahan yang di hadapi pada masa
itu, Ijtihad merupakan cara untuk menjawab permasalahan yang secara khusus
belum di sebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Oleh karena itu dalil hukum
pada masa ini bersandar atau kembali kepada Al-Qur’an, sunnah dan Ijtihad, baik
ijtihad jama’iy maupun ijtihad fardy. Ijtihad ijma’iy adalah ijma, sedangkan
bentuk ijtihad fardy adalah qiyas.
Dalam periode ini lahir madzhab-madzhab (aliran-aliran) di bidang fiqh
yang kemudian menyebar dan diikuti oleh ummat Islam di berbagai belahan
dunia hingga sekarang. Diantara pendiri madzhab-madzhab itu adalah:
a. Imam Ja’far Ash-Shadiq (699-765 M)
b. Imam Abu hanifah (699-767 M)
c. Imam Maliki bin Anas (712-795 M)
d. Imam Syafi’i (769-820 M)
e. Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M)

4. Periode keempat- Masa Kemunduran


Priode ke empat merupakan masa kemunduran, yang berlangsung dari
abad 10/11 M -19 M. Sejak abad 10 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyah,
Hukum Islam tidak lagi berkembang. Para ahli hukum Islam tidak lagi menggali
hukum Islam dari sumber utamanya ( Al-Quran), mereka lebih banyak mengikuti
dan mempelajari pikiran dan pendapat dalam mazhab yang telah ada.
Pada masa ini berkembang sikap taklid (Mengikuti pendapat suatu
mazhab tanpa mengetahui alasan-alasan atau dasar- dasarnya), dan hilang
semangat ijtihad. Akibatnya timbul gejala bid’ah, khurafat yang telah merusak
kemurnian agama, karna kurangnya pengetahuan tentang hakikat Islam ynag
sebenarnya.
Kemunduran Islam disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal antara lain yaitu berkembangnya ketakhayulan dan mistik yang merusak
kemurnian tauhid, munculnya penyelewengan, penyalahgunaan wewenang yang
merugikan umat, serta munculnya kejumudan ( Kebekuan berfikir),
meninggalkan semangat ijtihad dan munculnya sikap taqlid. Sedangkan faktor
eksternalnya antara lain disebabkan gencarnya ofensif dunia keristen Eropa dan
serbuan Mongol dan Tartar dari Asia tengah untuk menguasai wilayah
pemerintahan Islam, ditengah-tengah umat Islam sedang menghadapi kelesuan
dalam bidang pemikiran.15

5. Periode Kelima – Masa Pembaharuan dan Kebangkitan.


Periode ke 5 pada abad ke 9 M merupakan kebangkitan kembali umat
Islam, sebagai jawaban sebagai periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan
gerakan pembaharuan pemikiran yang kembali kepada kemurnian ajaran islam.
Pembaharuan ini sebenarnya telah berhembus sejak awal abad ke 14,
dengan lahirnya beberapa tokoh pembaharu, yang terus berkembang hingga
sekarang. Tokoh-tokoh yang muncul sebagai pembaharu pemikiran Islam anatara
lain:
a. Ibnu Taimiyah (1263-1328)
b. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah (1292-1356 )
c. Muhammad ibn Abd wahhab (1703-1787)
d. Jamaluddin al-Afgani (1839-1897)
e. Muhammad Abduh (1849-1905)
f. Rasyid Ridha (1865-1935).
Gerakan pembaharuan pada intinya yaitu untuk kembali kepada sumber
ajaran agama islam yakni Al-Qur’an dan sunnah.pintu ijtihad dibuka kembali,
sebagaimana pernah dilaksanakan oleh para mujtahid pada periode ke tiga atau
masa perkembangan dan pembukuan.
Resonansi gerakan pembaharuan yang merupakan era kebangkitan umat
Islam menggema sampai juga kebelahan dunia lain termasuk Indonesia (Hindia-
Belanda). Gerakan kebangkitan umat Islam di Indonesia ditandai dengan
munculnya berbagai organisasi keagamaan, seperti, Jami’at Al-khair di Jakarta
pada tahun 1905, Sarekat Dagang Islam di Solo pada tahun 1905 yang kemudian
menjadi partai politik dengan nama Sarekat Islam pada tahun 1912 dan
Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1912.16

F. Penyebab Terjadinya Perbedaan Fiqh


Pembinaan hukum Islam seperti yang telah kita pahami bersama telah mengalami
beberapa fase periode. Dimulai pada jaman Nabi hingga sekarang. Nabi telah meletakkan
15
Suparman Usman. Hukum Islam. (Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama,2001) p. 92.
16
Suparman Usman. Hukum Islam. (Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama,2001) p. 94.
dasar hukum yang dipegang teguh oleh para sahabat. Ketika beliau wafat, tradisi keilmuan
yang berkenaan dengan hukum Islam diteruskan oleh para sahabat beliau. Tentu sebagai
konsekuensinya lapangan ijtihad semakin meluas bersamaan dengan meluasnya wilayah
kekuasaan Islam.

Harun Nasution seperti dikutip oleh Abuddin Nata, membagi periodesasi hukum
Islam menjadi empat, yakni, (1)periode Nabi, (2)periode Sahabat, (3)periode itihad dan
kemajuan , (4)periode taqlid serta kemunduran.2 Menurut Hudhari Bik, terdapat enam
periode pembinaan Hukum (fiqh) Islam; yakni pertama pada masa Nabi saw; Kedua pada
masa Sahabat besar (Khulafaur Rasyidin); ketiga pada masa sahabat kecil dan tabi’iin; hingga
berakhirnya abad I Hijriyah; keempat pada masa fiqh menjadi cabang ilmu pengetahuan,
ditandai dengan munculnya imam mahzab hingga berakhirnya abad ke-3 hijriyah; kelima
pada masa pembinaan hukum hingga berakhirnya Daulah Abbasiyah; dan keenam pembinaan
hukum pada masa taqlid.

Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan mazhab itu? Di samping


seperti yang telah sedikit dipaparkan di atas , jawabannya juga berasal dari pertanyaan;
Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh Taqiyuddin an-
Nabhani, berbagai mazhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah
ushul maupun furu‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munazharat) di kalangan
ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian (thariqah al-istinbath), sedangkan furu‘
terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.

Menurut Abu Ameenah Bilal Philips, alasan utama adanya perbedaan dalam
ketetapan hukum di kalangan imam mazhab meliputi; (1).interpretasi makna kata dan
susunan gramatikal;(2). Riwayat hadith, (keberadaannya, kesahihannya, syaratsyarat
penerimaan, dan interpretasi atas teks hadith yang berbeda); (3). Diakuinya penggunaan
prinsip-prinsip tertentu (ijma’’, tradisi, istihsan, dan pendapat sahabat); dan (4). Metode-
metode qiyas.

Sedang menurut Abdul Wahab Khallaf, perbedaan penetapan hukum tersebut


berpangkal pada tiga persoalan; (1). Perbedaan mengenai penetapansebagian sumber-sumber
hukum (sikap dan cara berpegang pada sunah, standar periwayatan, fatwa sahabat, dan
qiyas); (2). Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari tasyri’(penggunaan
hadith dan ra’yu) dan; (3). Perbedaan mengenai prinsip-prinsip bahasa dalam memahami
nash-nash syari’at ( ushlub bahasa).
Adapun Muhammad Zuhri, membagi dalam tiga hal penyebab terjadinya ikhtilaf
mazhab; (1),Berkaitan dengan sumber hukum; (2). Berkaitan dengan metode ijtihad (teori
tahsin wa taqbih,tema kebahasaan) dan; (3). Adat Istiadat.17 Berikut penjelasan penyebab
terjadinya perbedaan metode penetapan penggalian hukum (thariqah al-istinbath) di kalangan
Imam mujtahid, sebagai konklusi dari berbagai macam pembagian menurut pendapat tokoh
diatas. Dimana bisa disimpulkan secara garis besar meliputi; Pertama: perbedaan dalam
sumber hukum (mashdar al-ahkam); Kedua: perbedaan dalam cara memahami nash dan;
Ketiga: perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.

Pertama; Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda
pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:

1. Periwayatan Hadith Hal yang menyebabkan perbedaan hukum yang berkembang di


kalangan ahli fiqh dalam hal periwayatan dan penerapan hadith meliputi;

a. Keberadaan Hadith. Ada banyak sekali kasus di mana periwayatan hadith-hadith


tertentu tidak sampai kepada sebagian ulama karena adanya fakta domisili sahabat yang
meriwayatkan hadith berbeda, demikian juga mazhab-mazhab besar tumbuh dan berkembang
di wilayah yang berbeda pula.

b. Periwayatan hadith-hadith daif. Dalam beberapa kasus di mana sebagian ahli


hukum mendasarkan ketetapannya pada hadith yang dalam faktanya daif (lemah dan tidak
dan dipercaya). Hal ini disebabkan pendapat bahwa hadith daif digunakan untuk melakukan
qiyas (deduksi analogis).

c. Persyaratan penerimaan hadith Perbedaan lain di kalangan para ahli fiqh di wilayah
sunnah muncul dari beragamnya persyaratan yang mereka tetapkan untuk menerima hadith.
Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah
mutawatirah dan sunnah masyhurah dari kalangan ahli fiqh; sedangkan para mujtahidin
Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yangdiamalkan penduduk
Madinah. Adapun Imam-imam mujtahid lainnya berhujjah dengan hadith yang diriwayatkan
oleh perawi yang adil dan tsiqah tanpa melihat mereka dari kalangan ahli fiqh atau bukan dan
apakah sesuai amalan ahli Madinah ataupun bertentangan.

2. Fatwa sahabat dan kedudukannya Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama,
bahwa fatwa (perkataan) sahabat yang tidak hanya berdasarkan pikiran semata-mata, adalah
menjadi hujjah bagi umat Islam. Hampir semua ahli Ushul Fiqh menyatakan hal yang serupa
ketika membahas tentang fatwa sahabat. Alasannya, bahwa apa yang dikatakan para sahabat
tentu berdasar apa yang didengarnya dari Rasul Alla>h saw.21 Demikian juga perkataan
sahabat yang tidak mendapat reaksi dari sahabat lain, bisa menjadi hujjah bagi umat Islam.

Adapun yang menjadi perselisihan para ulama terletak pada perkataan sahabat yang
semata-mata berdasar hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat tidak berada dalam satu
pendirian. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa
berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa
sahabat secara keseluruhan. Ucapan beliau yang terkenal adalah: Apabila aku tidak
mendapatkan ketenyuan dari Kitabullah dan sunnah Rasul Alla>h, maka aku mengambil
pendapat dari sahabat beliau yang kukehendaki dan meninggalkan pendapat sahabat yang
tidak kukehendaki. Aku idak mau keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk
kemudian memilih pendapat selain sahabat”.

3. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma’’ Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai
subyek (pelaku) Ijma’ dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma’ Sahabat
sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma’ Ahlul Bait-lah yang menjadi
hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma’ Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah.
Mengenai hakikat kehujjahan Ijma’, sebagian menganggap Ijma’ menjadi hujjah karena
merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat
kehujjahan Ijma’ bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan
adanya dalil dari as-Sunnah.

4. Ikhtilaf di sekitar Qiyas Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari


kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas
sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ . 26 Walaupun juga terdapat
perbedaan dalam hal-hal yang patut dijadikan illat hukum sebagai dasar penetapan hukum
dalam qiyas.

Kedua; Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash. Sebagian mujtahidin


membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl
al-Hadits (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash
yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qul).
Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para
fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara
tertentu dan tidakmembolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak
menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighna’
alfaqir), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu
sha‘ (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum).

Ketiga; Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami


nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam
bahasa Arab (uslub al-lughah al-‘arabiyah).

Perbedaan yang terjadi di antara ulama fiqh (Baca: Imam Mahzab) berkaitan dengan
uslub allughah al-‘arabiyah mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Kata-kata musytarak. Kata musytarak ialah kata-kata yang mempunyai makna


rangkap (multi makna).
2. Pengertian suruhan dan larangan. Di kalangan Fuqaha terdapat perselisihan
tentang penggunaan bentuk kata suruhan/larangan (biasanya berbentuk fiil amr,
fiil mudhari’ yang disertai huruf lam amr dan kalimat berita yang bermakna
suruhan), apakah menunjukkan wajib (wajib perbuatan yang disuruh) atau sunat,
atau menunujukkan irsyad (sekedar petunjuk).
3. 3. Kata-kata mutlaq dan muqayyad Mutlaq adalah lafal khas yang tidak diberi
qayyid (pembatasan) yang berupa lafal yang dapat mempersempit keluasan
artinya. Sedangkan muqayyad adalah lafal khas yang diberi qayyid yang berupa
lafal yang dapat mempersempit keluasan artinya.
4. Mafhum MukhalafahMafhum mukhalafah adalah penetapan lawan hukum yang
diambil dari dalil yang disebutkan dalam nash (manthuqbih) kepada suatu yang
tidak disebutkan dalam nash (maskut’anhu). Mafhum mukhalafah terbagi tujuh;
mafhum washfi, mafhum syarat, mafhum laqab, mafhum hasyr, mafhum ‘illat,
mafhum ‘adad, dan mafhum ghayah.
5. Kata-kata Haqiqiy dan Majazy Suatu kata kadang dipakai dalam arti haqiqiy (arti
sebenarnya) dan kadang dipakai dalam arti majazy (bukan arti sebenarnya).
Sebagai aturan pokok sudah diakui oleh semua fuqaha, bahwa selama masih bisa
memakai arti hakiki maka arti majazi tidak boleh dipakai.
6. Istisna’ (pengecualian) setelah serangkain perkataan

Terbentuknya madzhab karena adanya perbedaan dalam umat Islam, terutama


dalam masalah fiqih. Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi
antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nas}
(sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka
dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar
penetapan hukumdan berlainan tempat.

Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke


berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-
pencar ke negara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar
pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga, 13 yakni: 1.
Perbedaan para sahabat dalam memahami nas}-nas} alQur’an; 2. Perbedaan para
sahabat disebabkan perbedaan riwayat; 3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena
ra’yu. Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtila>f dari sudut pandang
yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtila>f di antara para
sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi
pada zaman Rasulullah SAW.

Adanya perbedaan madzhab tidak a histories, artinya ada ruang dan waktu
yang ikut menjadi faktor adanya perbedaan tersebut. Oleh karena itu, kami akan
mengulas tentang politik yang terjadi pada zaman mulai munculnya madzhab.
Timbulnya madzhab-madzhab sangat berkaitan dengan pelaksanaan ijtihad. Dalam
pelaksanaan ijtihad untuk menemukan hukum terhadap masalah khusus yang secara
khusus belum ditentukan dalam masalah nas}, maka perbedaan pendapat (khilafiyah)
di antara mujtahid adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Melihat kenyataan sejarah,
memang terjadi perbedaan pendapat yang menimbulkan berbagai madzhab. Adapun
yang menyebabkan munculnya perbedaan pendapat tersebut, antara lain:

1. Legitimasi kebolehan berijtihad, yaitu adanya legitimasi dari Allah swt. dan
Rasulullah terhadap kegiatan ijtihad. Hal ini memberikan rangsangan kepada para
mujtahid untuk mencari kebenaran hakiki tentang hukum masalah yang belum
ditemukan hukumnya;

2. Perbedaan dalam memahami ayat-ayat zanniyyat, ayat-ayat zanniyyat


adalah ayat-ayat yang memungkinkan setiap mujtahid memahami dan mengambil
kesimpulan hukum yang berbeda dari ayat tersebut.

3. Perbedaan dalam menilai hadis;


4. Perbedaan dalam menilai posisi Muhammad saw., para mujtahid kadang-
kadang berbeda dalam melihat nilai yang keluar (perkataan, perbuatan, dan
penetapan) dari Nabi Muhammad saw. Apakah Nabi ketika berucap, bertindak atau
menetapkan posisinya sebagai manusia biasa atau Rasulullah;

5. Perbedaan dalam menerapkan qa’idah usuliyyah, para ulama terkadang


berbeda dalam menerapkan qa’idah usuliyyah, yaitu tata aturan yang berlaku dan
dianut serta dijadikan dasar oleh para mujtahid dalam menetapkan hukum;

6. Faktor diri mujtahid dan lingkungannya, perbedaan pendapat bisa muncul


karena perbedaan kondisi diri mujtahid, baik yang menyangkut latar belakang
pendidikan, latar belakang kehidupan, watak, pengalaman dan kepandaiannya.

Menurut Abu Ameenah Bilal Philips, alasan utama adanya perbedaan dalam
ketetapan hukum di kalangan imam mazhab meliputi; (1) interpretasi makna kata dan
susunan gramatikal; (2) Riwayat hadith, (keberadaannya, kesahihannya, syaratsyarat
penerimaan, dan interpretasi atas teks hadith yang berbeda); (3) Diakuinya
penggunaan prinsip-prinsip tertentu (ijma’, tradisi, istihsan, dan pendapat sahabat);
dan (4) Metode-metode qiyas.3 Sedang menurut Abdul Wahab Khallaf, perbedaan
penetapan hukum tersebut berpangkal pada tiga persoalan; (1) Perbedaan mengenai
penetapan sebagian sumber-sumber hukum (sikap dan cara berpegang pada sunah,
standar periwayatan, fatwa sahabat, dan qiyas); (2) Perbedaan mengenai pertentangan
penetapan hukum dari tasyri’(penggunaan hadith dan ra’yu) dan; (3) Perbedaan
mengenai prinsip-prinsip bahasa dalam memahami nash-nash syari’at (ushlub
bahasa).

Pendekatan Antar Mazhab (Taqrib) dalam pandangan Forum Internasional


Pendekatan Mazhab-Mazhab Islam (FIPMI) berarti pendekatan antara para penganut
mazhab dalam Islam dengan tujuan mengenal satu sama lain. Tujuan utamanya adalah
untuk mencari kesempatan menyambung tali persaudaraan sesama Islam dengan dasar
akidah Islam, karena sebetulnya semua mazhab dalam Islam memiliki akidah yang
sama. Mazhab fikih dalam islam bukan terbatas pada empat mazhab (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali). Tapi masih terdapat mazhab lainnya baik yang masih dikenal
ataupun tidak seperti Imam al-Laits bin Sa’d, Imam al-Auza’i, Ibnu Jarir al-Thabari,
Dawud alZhahiri, Imam al-Tsauri, Syi’ah Imamiyah, Syi’ah Zaidiyah, dan lain
sebagainya. Dasar istinbath masing- masing didasari oleh Al-Qur’an dan Sunah
Rasul-Nya. Ditambah dengan ijtihad menurut pikiran mereka masing-masing baik
yang diciptakan secara bersama-sama atau sendiri-sendiri yang kemudian
penetepannya itu menyebabkan banyak perbedaan pendapat. Perbedaan itu dapat
menimbulkan sikap fanatisme pendukung mazhab yang tidak jarang menimbulkan
saling melempar serangan antara satu sama lain dan ejek-mengejek yang nyaris
menjadi terpecah belah.

G. Perbedaan Antara Fiqh Muamalah Dan Fiqh Ibadah


Dalam dekade terakhir ini umat Islam terlihat nyaring perdebatan di media sosial
maupun di majlis-majlis ta’lim/liqo/pengajian tentang perdebatan dunia atau akherat.
Perdebatan tidak selesai pada wilayah itu saja akan tetapi sampai pada perdebatan siapa
siapa yang berhak menerima imbalan pahala dan dosa serta siapa yang berhak menempati
surga dan siapa yang bisa menempati neraka. Nampak jelas umat muslim menempati
tangga terbawah dalam peradaban dan pergaulan dunia, karena dalam internal umat Islam
sendiri, saling melecehkan, saling menghakimi, saling mencaci, saling memaki.

Padahal wilayah perdebatan ada di wilayah fiqih yang aspek kebenaranya masih
bersifat nisbi. Umat Islam tidak bisa lepas dari ajaran syariatnya, salah satunya adalah
hukum fiqih. Fiqih menjadi urgen karena berkaitan dengan metode beribadah, cara,
interaksi sosial, dan masih banyak lainya. Seringkali terjadi perseteruan antara pemeluk
agama dan internal agama diawali dari adanya perbedaan penafisiran atas dalil yang
mereka fahami. Banyak para ilmuwan meneliti dan menyimpulkan dariberbagai jurnal
dan media bahwa perilaku radikal penyebabnya adalah faktor ekonomi. Hal ini
terbantahkan ketika di pengadilan atau ketika diwawancarai wartawan bahwa mereka
melakukan kegiatan tersebut atas dasar mencari kebahagiaan ukhrowi (akhirat).

Fenomena munculnya pemisahan perbuatan dunia (fiqih Muamalah/Ekonomi) dan


akhirat (fiqih ibadah) adalah diawali ketika maraknya perdebatan akan adanya perbuatan
yang dianggap ibadah dan bukan ibadah atau urusan dunia dan urusan akhirat. Konstruk
berfikir umat terbagi menjadi dua pilihan, apakah akan melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kebahagiaan dunia atau perbuatan yang akan berakibat pada kebahagiaan
di akhirat, dan akhir dari perdebatan tersebut adalah pilihannya cenderung untuk
mendapatkan kebahagiaan akhirat yang abadi. Pemahaman umat atas fiqih ibadah adalah
urusan untuk kebahagiaan akhirat semata sementara pemahaman fiqih
muamalah/Ekonomi adalah untuk kebahagiaan dunia semata.
Pemahaman seperti ini akan berdampak pada perilaku radikal umat muslim, yakni
perilaku yang keras dan menganggap pemisahan itu mutlak adanya. Padahal dalam dalil
lain masih banyak kriteria proses ibadah untuk menemukan kebahagiaan akhirat seperti
Niat. Niat akan menentukan apakah sebuah perbuatan itu baik atau tidak baik, benar atau
salah dan masih banyak lagi dalil yang menjadikan seseorang bahagia dunia dan akhirat.

Fiqih muamalah dalam tulisan ini dibatasi pada kajian ekonomi, dalam rangka
untuk lebih memfokuskan telaah atas luasnya kajian muamalah. Pembatasan ini hanya
sebagai contoh semata, karena esensi muamalah bukan pada contohnya akan tetapi lebih
pada konstruksi dalilnya.

Pemisahan urusan dunia dan akhirat disisi lain juga berdampak pada
ketertinggalan dalam peradaban dunia. Teknologi yang selalu berubah dan berkembang
setiap saat tidak dapat diimbangi oleh sebagian umat muslim kecuali sebagai penikmat
teknologi. Munculnya teknologi baru justru memicu ketimpangan di masyarakat, dan
ketidakmampuannya kemudian menyimpulkan bahwa itu tidak penting karena urusan
dunia, celakanya ketidakberdayaan kita umat muslim ketika merasa sangat tertinggal
dalam bidang teknologi justru memicu pemisahan ilmu dunia dan akhirat, dan pilihannya
adalah membangun kebencian yang memicu munculnya gerakan perilaku radikal. Tidak
lagi terdengar gerakan generasi muda Islam yang kreatif, lambat laun menghilang
tergerus oleh logika mencari kebahagiaan akhirat dengan meninggalkan aktifitas dunia.
Realitas yang terjadi justru memprihatinkan generasi muda Islam, bahkan mereka kadang
rela mengorbankan dirinya untuk mencari kebahagiaan akhirat dengan bom bunuh diri
dengan menggunakan logika jihadnya. Data dari Wahid Institut tahun 2016 menujukan
bahwa 7,7 % masyarakat Indonesia mengaku bersedia berpartisipasi, dan 0,4 % pernah
berpartisipasi dalam kegiatan yang berpotensi menimbulkan kekerasan atas nama agama,
sedangkan 72 % tidak sepaham dengan radikal.

Imam Ghozali salah satu yang mempelopori adanya pemilahan perebutan dunia
dan akhirat, alasan yang mendasarinya adalah karena komunitas umat Islam pada waktu
itu sangat tinggi penggunaan nalar rasionalitasnya (aqli), sehingga penggunaan dalil
keagamaan terabaikan dan bahkan terkadang menyimpang jauh dari yang dikehendaaki
dalil naqli-nya. Padahal seharusnya ada keseimbangan (balance) antara penggunaan dalil
naqli dan dalil aqli. Namun, saat ini umat sangat membutuhkan peran akal dalam rangka
memahami teks keagamaan. tidak secara tekstual melainkan secara konstektual dan
berkonstribusi dalam mewujudkan serta memenangi persaingan peradaban dunia. Begitu
juga munculnya fiqih pada masa Imam Syafii dilandasi atas maraknya tasawuf yang
menafikan proses syar’inya.

Menurut bahasa fiqih bermakna pemahaman. Adapun beberapa ulama memiliki


ta`rif berbeda mengenai fiqih. Secara syara` diantaranya; Abu Hanifah mendefinisikan
fiqih sebagai pengetahuan manusia akan dirinya dan segala yang terkait dengan
kemanusiaan. Abu Abdilah asSyafii menyatakan pendapatnya mengenai fiqih yaitu
sebagai ilmu pengetahuan, ketentuan Tuhan yang berkaitan dengan segala tindakan
manusia yang memiliki dampak hukum berdasarkan perintah Tuhan. Imam Showi
menjelaskan bahwa fiqih adalah mengambil agama Allah dan teguh menjalankan seluruh
perintah dan menghindari apa yang menjadi larangan-Nya.

Secara lebih spesifik kemudian fiqih diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, fiqih
ibadah yaitu semua perbuatan yang berkaitan dengan Thaharoh, Shalat, Puasa, Zakat,
Haji, Qurban, Nadzar, Sumpah dan semua perbuatan manusia yang berhubungan dengan
Tuhannya. Kedua, fiqih muamalat yaitu semua bentuk kegiatan transaksional seperti;
deposito, jualbeli, pidana, perdata antar sesama manusia baik secara individu maupun
lembaga bahkan negara.

Menjadi keniscayaan bahwa kita dalam beribadah harus menggunakan ilmu atau
menjadi syarat sebelum kita beribadah mencari ilmu terlebih dahulu karena kedudukan
ilmu itu laksana pohon, dan ibadah itu adalah buah dari berbagai jenis buah pepohonan
(ilmu). Wajib bagi kita yang pertama untuk mengenal al-Ma`bud, karena bagaimana kita
akan menjalankan pengabdian kalau kita tidak mengenal dari Asma, Sifat DzatNya, apa
yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menyertai dzat-Nya agar kita terhindar dari
penisbatan pensifatan yang keliru terhadap-Nya.

Beberapa contoh kajian fiqih ibadah dalam kitab-kitab ulama salaf adalah antara
lain:

1. Thaharah

Dalam praktik peribadahan atau awal bagian yang harus diperhatikan adalah
thaharah. Seperti penjelasan dalam hadits berikut; karena thaharah kunci shalat dan
merupakan syarat sahnya shalat : 3 ‫ وتحليلها التسليم مفتاح الصالة الط‬,‫ وتحريمها التكبير‬,‫ هور‬Thaharah
secara bahasa adalah bersih dari segala kotoran atau najasah. Adapun menurut syara`
thaharah memiliki makna bersih dari segala macam najis baik yang bersifat hakikat, aib
dan perbuatan maksiat atau yang bersifat hukmiyah; hadats besar, hadats kecil (kencing)
dll. Imam Nawawi As-syafi`i mendefinisikan thaharah adalah menghilangkan atau
mensucikan diri dari hadats besar dan hadats kecil maupun menghilangkan bentuk dari
kedua hadats tersebut seperti dalam firman Allah dalam surat 2 ayat 125 dan surat 74 ayat
4.

Dalam masalah thaharah para ulama sepakat terkait alat, media yang dapat
digunakan untuk bersuci adalah air dan debu/batu. Namun, dalam kehidupan sekarang
alat untuk bersuci khususnya air telah mengalami perkembangan dan membutuhkan
perhatian serius. Persoalan pengairan telah berkembang sangat pesat tehnologinya dan
menjadi peluang bagi kehidupan manusia dari sisi manfaat (nilai ekonomi). Hal ini
senada dengan pemahaman para ahli ushul bahwa Nash kebanyakan menggunakan
shighot takhshis (khusus) yang di dalamnya mencakup penjelasan hukum umum. Sarana
menuju kesempurnaan berwudlu menjadi sebuah perbuatan yang memiliki nilai pahala
karena akan memudahkan dalam penyempurnaan thoharoh/wudlu.

2. Shalat

Do`a (mengharap kebaikan) merupakan makna dari shalat secara lughot (QS. 9 :
103), secara syar`i shalat merupakan gabungan dari perbuatan dan ucapan khusus yang
diawali dengan pengucapan takbir dan diakhiri dengan salam. Adapun salah satu tujuan
dari disyariatkannya shalat adalah untuk mewujudkan rasa sukur terhadap banyaknya
kenikmatan yang Allah berikan, disamping itu shalat juga memiliki manfaat yang bersifat
diniyah yang paling fundamental adalah keshalihan mental/ kejiwaan (QS. 70 : 19 - 21)
dan juga memiliki manfaat secara ijtimaiyah (sosial).5 Tidak seperti ibadah yang lain,
shalat memiliki ketentuan waktu yang jelas (QS. 4 : 103). Pada penentuan waktu
pelaksanaan shalat secara ekplisit menjelaskan mekanisme keilmuan yang bersifat
dinamis seperti; penemuan alat penunjuk arah (kompas), penentuan waktu isyraq dan
ghurubussyams6 yang mengisyaratkan peluang kajian shalat secara lebih masif dari
berbagai disiplin keilmuan tidak juga kajian ekonomi dan industri. Istinbath hukum yang
kita gunakan adalah pendekatan ushul fiqih yang menjadi rujukan dari permasalahan yang
terjadi hari ini. Keterkaitan teknlologi bagi sempurnanya pelaksanaan peribadatan adalah
sebuah keniscaayaan seperti pada kajian thaharah dalam pelaksaan shalat juga tidak
mungkin lepas dengan dunia industri.
Kaidah di atas (usul fiqih) menjelaskan bahwa persoalan kekeringan yang
melanda dunia saat ini dan kebutuhan manusia akan teknologi pengairan dan industri
tekstil adalah syarat yang tidak bisa kita nafikan bagi terwujudnya ibadah. Imam Izzudin
bin Abdussalam memiliki penjelasan dalam teorinya bahwa kajian fiqih secara umum
adalah bertujuan mencarikan ta`bir bagi terciptanya kemaslahatan dan bagaimana
menolak keburukan

3. Haji ٍ ‫قٍّ جَ عِ مي ِتيَ نِ مْ نُ كِّ ل َف ْ ٍ ر َيأٰ ىُ كِّ لَ ضاِ م ُتوَ كِ رَ جااالَ وَ عَل ْ َ حِّ ج َي أْ الِ ِ س ب اْ ن‬
‫ ِفي الَّن ِّذ َ َ وأ‬Artinya: “Dan umumkanlah (wahai Ibrahim) kepada sekalian manusia tentang
kewajiban haji atas mereka, niscaya mereka akan datang kepadamu dalam keadaan
berbeda-beda; berjalan kaki dan menunggangi unta yang kurus (yaitu unta yang kurus
karena perjalanan dan beban pekerjaan bukan karena berdaging sedikit) yang tiba dari
segenap jalan yang jauh.” — Surat Al-Hajj Ayat 27.

Ayat diatas mengisyaratkan bahwa pelaksanaan Haji disamping karena kewajiban


yang bersifat mahdloh juga adanya persiapan, sarana yang dibutuhkan untuk
menunaikannya (Kitab al-Haj). Supaya mereka menghadiri hal-hal yang bermanfaat bagi
mereka, berupa: pengampunan bagi dosa-dosa mereka, pahala mengerjakan manasik haji
dan ketaatan mereka, serta perolehan keuntungan dalam perniagaan mereka dan
kepentingan-kepentingan lain, dan agar mereka menyebut nama Allah ketika
menyembelih hewan (Nusuk), kurban yang mereka jadikan pendekatan diri kepada Allah,
seperti unta, sapi dan kambing pada hari-hari tertentu, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah dan
tiga hari setelahnya, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya.
sedang mereka diperintah sebagai anjuran saja untuk memakan dari sembelihan-
sembelihan tersebut dan memberikan makan orang fakir yang amat sulit ekonominya dari
sembelihan itu. Dengan adanya penjelasan tersebut diatas jelas bahwa ibadah mahdhah
tidak dapat terlepas dari urusan “duniawi”.

Fiqih muamalah berasal dari kata ‘amala yu’amili mu’amalatan yang berarti saling
bertindak, saling berbuat, saling beramal. Dalam istilah bermakna hasil ijtihad seseorang
atau sekelompok orang tentang hukum bagi berbagai macam transaki/kegiatan manusia
yang dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu kajian dalam fiqih muamalah
adalah Ekonomi. Secara umum pengertian ekonomi adalah salah satu ilmu sosial yang
mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan
konsumsi terhadap barang dan jasa. Dalam perkembangan terakhir ini fiqih muamalah
mengenalkan tentang adanya modal sosial. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai
serangkaian nilai dan norma informal yang dimilki bersama diantara para anggota suatu
kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka
(Francis Fukuyama, 2002: xii). Kapital sosial berhubungan dengan nilai kolektif dalam
sebuah jaringan sosial yang tumbuh-kembang sebagai implikasi dari hubungan-hubungan
timbal balik yang terjadi didalamnya.

Dalam ajaran islam, Ibadah ghoiru mahdloh dan Ibadah mahdloh sama-sama
memiliki nilai (manfaat) secara ekonomi maupun non ekonomi. Namun, dalam hal ini
salah satu bentuk perekonomian yang disinggung dalam al Qur’an, sunnah dan konsensus
para ulama (Ijma) adalah bai’ (jual beli). Para pakar yang memiliki konsentrasi dalam
bidang ekonomi banyak mencurahkan tenaga dan pemikirannya untuk menggali potensi
ekonomi bisnis dalam bentuk ibadah muamalah (ghoiru mahdloh) salah satunya yang
kami nuqil adalah pendapatnya ibnu qadamah.

Realitas dalil aqli dan dalil naqli menunjukan bahwa pada hakikatnya tidak ada
pemisahan yang jelas antara fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Dalam artian fiqih ibadah
berdampak pada urusan akhirat dan fiqih muamalah berdampak pada kehidupan dunia.
Karena sesungguhnya setiap perbuatan manusia akan memiliki implikasi baik di dunia
maupun di akhirat. Dalam hal thaharoh maupun sholat sarana untuk mencapai
kesempurnaan memerlukan keterlibatan alat ataupun teknologi. Ini menunjukan bahwa
sisi fiqih muamalah kehadirannya diperlukan dalam kesempurnaan dan kemudahan
pelaksanaan fiqih muamalah. Fakta yang perlu diperhatikan juga dalam pelaksanaan
ibadah haji dan umroh. Keduanya hal ini merupakan fiqih ibadah namun menjadi sumber
pendapatan bagi negara Arab Saudi. Tercatat tidak kurang dari 2 juta warga dunia datang
ke Makkah untuk menunaikan ibadah tersebut, dan mampu menjadi pemasukan negara
kedua terbesar bagi Saudi.

Hampir dua juta jemaah dari berbagai negara berkumpul di Kota Suci Makkah
selama musim haji. Menurut para pakar, ibadah haji dan umrah punya pengaruh
pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan membuka lapangan kerja cukup luas bagi
warga Saudi. Para ahli ekonomi Arab Saudi Mengatakan bahwa perkiraan pendapatan
haji dan umroh akan mencapai lebih dari 150 Miliar dolar AS pada tahun 2022.

Menurut mantan anggota komite nasional kamar dagang dan industri arab Saudi,
Makkah Saad bin Jameel al-quraishi sekitar lima juta orang akan berangkat umrah setiap
tahunnya sehingga kemungkinan pendapatan dari ibadah umrah sekitar Rp702 triliun
pada tahun 2020. Begitu juga bagiNegara Indonesia dana abadi haji turut
menyumbangkan dalam berbagai kegiatan pendididkan juga menampung tenaga yang
cukup signifikan untuk pelaksanaan haji dan umroh, Berdasarkan laporan badan
pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) dana haji sepanjang tahun 2018 adalah sebesar 113
triliun.

Pemahaman fiqih ibadah dan muammalah (Ekonomi) yang dibuat hitam putih
dalam pemahamanya dapat berdampak terhadap perilaku radikal, dan implikasinya dapat
menghilangkan kecintaan kepada Allah dan sesama umat.

H. Objek Fiqh Muamalah


Ruang lingkup fikih muamalah dibagi menjadi dua. Pertama, ruang lingkup al-
Muamalah al-Adabiyah dan al-Muamalah al-Maliyah. AlAdabiyah adalah pembahasan-
pembahasan yang mengenai aspek moral seperti ridha, tidak terpaksa, transparan, jujur,
bebas dari unsur gharar danmenjauhi sifat-sifat seperti tadlîs (tidak transparan), gharar
(tipuan), risywah (sogok), ikhtikâr (penimbunan).

Sedangkan Al-Muamalah al-Maliyah pembaha-sannya meliputi bentukbentuk


perikatan (akad) tertentu seperti jual beli (al-ba’i), gadai (al-rahn), sewa menyewa (al-
ijârah), pesanan (al-istishnâ’), jasa tanggungan (alkafâlah), pengalihan utang (al-hiwâlah),
pemberian kuasa (al-wakâlah), perdamain (al-sulh), kerjasama (al-syirkah), bagi hasil (al-
mudhârabah), pemberian (al-hibah), bagi hasil pertanian (al-muzâra’ah), bagi hasil dalam
pengairan (al-musâqah), titipan (al-wadî’ah), pinjaman (al-qardh) dan lain sebagainya.

Pembagian lain Fikih Muamalah dilakukan oleh Ghufron A. Mas’adi yang


membanginya menjadi:

1. Hukum benda yang meliputi tiga pokok kajian utama; konsep harta (almâl),
konsep hak (al-huqûq), dan konsep kepemilikan (al-milkiyyah).

2. Konsep umum akad (al-‘uqûd)

3. Akad-akad khusus, seperti jual beli, sewa-menyewa, penanggungan, gadai,


obligasi, ATM, dan sebagainya.

Objek kajian fikih muamalah secara garis besar meliputi pembahasan tentang
harta (al-mâl), hak-hak kebendaan (al-huqûq), dan hukum perikatan (al-aqd).
Harta dalam bahasa arab disebut al-maal, yang merupakan akar kata dari lafadz ___
yang berarti condong, cenderung, dan miring.
Dalam al-Muhith dan Lisan Arab, menjelaskan bahwa harta merupakan segala sesuatu
yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian
unta, kambing, sapi, tanah, emas, perak, dan segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan
memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan. 17
-Ibnu Asyr- mengatakan bahwa “Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak,
tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki
Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah
“ialah sesuatu yang digandrungi oleh tabiat manusia dan memungkinkan untuk
disimpan hingga dibutuhkan”18
Maksud pendapat di atas definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang
bernilai dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat
dikatagorikan sebagai harta. Adapun manfaat termasuk dalam katagori sesuatu yang dapat
dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang
tidak mungkin dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari.
Begitu juga tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang pada gahlibnya tidak dapat
diambil manfaatnya, tetapi dapat dipunyai secara kongrit dimiliki, seperti segenggam tanah,
setetes air, seekor lebah, sebutir beras dan sebagainya.
Dari pengertian di atas, Jumhur Ulama’ memberikan pandangan bahwa manfaat
termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa
segala macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan menguasai
tempat dan sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan
melarang orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya. 19
Maksud manfaat menurut Jumhur Ulama’ dalam pembahasan ini adalah faedah atau
kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak seperti mendiami rumah atau mengendarai
kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus dari
penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak minum, dan lain
lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta, seperti hak mengasuh dan lain-lain.
Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan
mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah meninggalkannya.
17
Djauwanai,Din zaudin. Pengantar Fiqih Muamalah.Jogjakarta: Pustaka Pelajar.2008.hal112.

18
ibid Djauwanai,Din zaudin. Pengantar Fiqih Muamalah.Jogjakarta: Pustaka Pelajar.2008.hal113.
19
Ibid hal 115
Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu mungkin masih bermanfaat
bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka. 20
Menurut ahli hukum positif, dengan berpegang pada konsep harta yang disampaikan
Jumhur Ulama’ selain Hanafiyyah, mereka mendefinisikan bahwa benda dan manfaat-
manfaat itu adalah kesatuan dalam katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti hak
paten, hak mengarang, hak cipta dan sejenisnya.
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan
oleh ulama’-ulama’ Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk
keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak
termasuk di dalamnya pemilikan semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini,
beliau menganalogikan konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf
al-Kabir disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat terealisasi dengan menyerahkan
benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang kongkrit, dan tidak berlaku jika hanya
kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.
Secara etimologi, kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk yang berarti penguasaan terhadap
sesuatu ). Al-Milk juga berarti sesuatu yang dimiliki (harta). Milk juga merupakan hubungan
seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai
kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap
harta itu, kecuali adanya halangan syara’. Contoh halangan syara’ misalnya orang itu belum
cakap bertindak hukum, seperti anak kecil, orang gila, atau kecakapan hukumnya hilang,
seperti orang yang jatuh pailit, sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat bertindak
hukum terhadap miliknya sendiri.21
Menurut DR. Mardani dalam buku fiqh ekonomi syari’ah. Pengertian hak secara
etimologis yaitu ketetapan dan kepastian. Adapun secara terminologi fiqh, hak yaitu suatu
hukum yang telah ditetapkan secara syara’. Sedangkan pengertian milik secara etimologis
yaitu penguasaan terhadap sesuatu, dan secara terminologis yaitu kekhususan terhadap
pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil
manfaat selama tidak menghalang syar’i. Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang
sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual
atau akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantaan orang lain.22
Menurut Abdul salam al-Abadi (1987), kepemilikan adalah hak khusus manusia terhadap
kepemilikan barang yang diizinkan bagi seorang untuk memanfaatkan dan mengakolasikan
20
Ibid hal 115
21
Nasrun Horoen, Fiqh Muamalah ,Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm.31
22
Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah , Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2012, hlm. 66
tanpa batas hingga terdapat alasan yang melarangnya. Dengan demikian, Kepemilikan dalam
islam adalah “kepemilikan harta yang didasarkan atas agama. Kepemilikan ini tidak memberi
hak mutlak kepada pemiliknya untuk menggunakannya sesuai keinginan sendiri, melainkan
harus sesuai dengan beberapa aturan. Hal ini dikarenakan kepemilikan harta pada esensinya
hanya sementara, tidak abadi, tidak lebih dari pinjaman terbatas dari Allah SWT. 23

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya
dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang
berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan
pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua
yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan
dapat memiliki.24
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan
sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki

23
Lukman hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Erlangga, Surakarta, 2012, hlm.42
24
GhazalyAbdul Rahman,dkk.,.fiqh muamalah.Kencana Prenada Media Group.Jakarta.2010 hlm.45
BAB III

KESIMPULAN
Berdasarkan materi yang telah disampaikan di atas, penulis dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut:

1. Fiqh (‫ )الفقه‬secara bahasa berarti paham atau mengerti. Sedangkan menurut Imam
Syafi’i, fiqh menurut istilah adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum Syara’
yang sebangsa perbuatan yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
2. Objek kajian fiqh adalah perbuatan seorang mukallaf di tinjau dari ketetapannya
terhadap hukum hukum syari yang membahas tentang shalat nya orang mukallaf,
puasa nya, haji nya, jual beli nya, sewa menyewa nya, dan lain sebagainya.
3. Sumber-sumber fiqh yang disepakati adalah yang diambil dari Al-Qur’an, Sunnah
(Hadits), Ijma`, dan Qiyas.
4. Di dalam ilmu fiqh banyak sekali istilah-istilah di antaranya adalah wajib, sunnah,
mahzhur, makruh, mubah, fardhu, dan larangan.
5. Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada beberapa periode, yaitu
periode pertama (masa Nabi Muhammad SAW), periode kedua (masa Khulafaur
Rasyidin), periode ketiga (masa perkembangan dan pembukuan), periode keempat
(masa kemunduran), dan periode kelima ( masa pembaharuan dan kebangkitan).
6. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki
7. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki
8. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki
9. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut : seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya edisi keluarga. Surabaya:
HALIM, 2013.

Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fathul Bari Juz 1. Kairo: Darul Hadits, 2004.

Al-Wazir, Yahya bin Muhammad bin Hubairah. Fikih Empat Madzhab: Maliki, Hanafi,
Hanbali, Syafi’i. Jakarta: Pustaka Azzam, 2016.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1997.

Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhul Islamiy Wa Adillatuh, Juz 1. Damaskus: Darul Fikri, 1985.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani, 2003.

Usman, Suparman. Hukum Islam. Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama, 2001.

Yusna, Zaidah. Model Hukum Islam: Suatu Konsep Metode Penemuan Hukum Melalui
Pendekatan Ushuliyya. Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran.Vol.17 No. 2 Desember
2017.

Anda mungkin juga menyukai