Anda di halaman 1dari 21

Makalah Kelompok VI

QAWA’ID AL-FIQHIYYAH YANG UMUM (AL-QAWAʻID AL-


FIQHIYYAH ALʻAMMAH)

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah : Qawaidul Fiqhiyah

Dosen Pengampu : Lisnawati, S.H., M.H.

Disusun oleh :

Annisa Utami

2112130122

Hafidz Maulana Hanafi

2112130122

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

TAHUN 2024 M/1445 H


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT karena
atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya makalah ini yang berjudul
“Qawa’id Al-Fiqhiyyah Yang Umum (Al-Qawaʻid Al-Fiqhiyyah AlʻAmmah)”
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini juga penulis buat sebagai
sarana untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan pada mata kuliah
Qawaidul Fiqhiyah. Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, sahabat serta keluarganya yang telah
membawa kita dari jaman kegelapan menuju jaman terang-benderang.

Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibu Lisnawati, S.H.,


M.H selaku dosen pengampu pada mata kuliah ini yang telah memberikan
bimbingan dan arahannya kepada penulis, serta doa dan dukungan dari kawan-
kawan sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat memberikan pengaruh yang positif dalam kegiatan
belajar-mengajar. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, maka dari itu penulis mohon kritik dan saran dari kawan-kawan yang
sifatnya membangun agar dapat memperbaiki makalah penulis menjadi lebih baik
lagi dikemudian hari.

Terimakasih.

Palangka Raya, Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.........................................................................................1

D. Metode Penulisan........................................................................................1

BAB II.....................................................................................................................2

PEMBAHASAN.....................................................................................................2

A. Definisi Kaidah-Kaidah Fikih Yang Umum.............................................2

B. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Alʻ-Ammah......................................................2

C. Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan Dengan Perubahan........................2

BAB III....................................................................................................................2

PENUTUP...............................................................................................................2

A. Kesimpulan..................................................................................................3

B. Saran............................................................................................................3

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi
umat Islam untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-
batas boleh-tidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat
menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama
untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan
rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama
maupun tradisi-tradisi yang baik. Dalam Islam, pedoman yang dijadikan
rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk AlQur‟an dan
Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak
boleh berpaling dari keduanya.1
Kaidah fiqhiyah sebagai salah satu disiplin ilmu tidak berdiri sendiri dalam
tema dan kajiannya karena Kaidah Fiqhiyah merupakan simpul-simpul umum
dari beberapa permasalahan hukum Islam yang digunakan oleh fuqaha dalam
mencari solusi permasalahan hukum yang muncul di tengah masyarakat dalam
berbagai tema baik ibadah, muamalah, maupun isu-isu hukum Islam
kontemporer. Untuk membantu umat Islam dalam membahas suatu tema
tentang hukum ekonomi Islam, maka mempelajari kaidah fiqhiyyah
merupakan suatu keharusan untuk memperoleh kemudahan dalam mengetahui
hukum-hukum kontemporer ekonomi yang tidak memiliki nash sharih (dalil
pasti) dalam Al-Qran maupun Hadis. Qawaid Al-Fiqhiyah memiliki beberapa
macam bentuk, salah satunya adalah Qawa’id Al-Fiqhiyyah Alʻ-Ammah.2

1
Muannif Ridwan, M. Hasbi Umar, and Abdul Ghafar, “SUMBER-SUMBER HUKUM
ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA:,” Borneo : Journal of Islamic Studies 1, no. 2 (April 16,
2021): 28–41, https://doi.org/10.37567/borneo.v1i2.404.
2
Syamsul Hilal, “Urgensi Kaidah Fiqhiyyah Dalam Pengembangan Ekonomi Islam,”
Al-’Adalah 8, no. 1 (February 28, 2017): 1–12, https://doi.org/10.24042/adalah.v13i3.161.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Apa definisi dari kaidah-kaidah fikih yang umum?
2. Apa yang dimaksud dengan Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah alʻ-Ammah?
3. Apa saja kaidah-kaidah yang berhubungan dengan perubahan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Untuk mengetahui definisi dari kaidah-kaidah fikih yang umum.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah alʻ-
Ammah.
3. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang berhubungan dengan perubahan.

D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan dalam pembuatan makalah ini
yaitu library research melalui beberapa literatur seperti buku, artikel, jurnal,
pencarian perpustakaan, dan pencarian situs internet guna meningkatkan
pemahaman penulis terhadap pembahasan yang ingin disampaikan yaitu
mengenai Qawa’id Al-Fiqhiyyah Yang Umum (Al-Qawaʻid Al-Fiqhiyyah
AlʻAmmah), yang kemudian dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk
makalah ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kaidah-Kaidah Fikih Yang Umum


Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab “al-qawa’id
al-fiqhiyah”. Al-Qawa’id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata “al-
Qa’idah” yang secara kebahasaan berarti dasar, aturan atau patokan umum.
Sedangkan kata “al-fiqhiyah” berasal dari kata “al-fiqh” yang berarti paham
atau pemahaman yang mendalam (al-fahm al-‘amiq) yang dibubuhi ya’ an-
nisbah untuk menunjukan penjenisan atau pembangsaan atau pengkategorian.
Dengan demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah fiqh adalah dasar-dasar,
aturan-aturan atau patokan-patokan yang bersifat umum mengenai jenis-jenis
atau masalah-masalah yang masuk dalam kategori fiqh.3

Secara kemaknaan (istilah ulama ushul al-fiqh) kaidah-kaidah fiqih


dirumuskan dengan redaksi-redaksi yang berbeda. Sebagai contoh telah
dikemukakan beberapa rumusan ahli hukum Islam, sebagai berikut.4

1. Menurut at-Taftazani, kaidah adalah hukum yang bersifat umum (kulli)


yang mencakup seluruh bagian-bagiannya (juz`i) dimana hukum yang
juz`i itu menjadi bagian dari hukum yang umum atau kulli.
2. Menurut at-Tahanawi, kaidah adalah sesuatu yang bersifat umum
mencakup seluruh bagian-bagiannya, manakala hukum dari bagian-bagian
sebelumnya itu telah diketahui.
3. Menurut as-Subki, kaidah-kaidah fiqih adalah suatu perkara hukum yang
bersifat kulli (umum) bersesuaian dengan partikularpartikular (hukum-
hukum cabang) yang banyak, yang darinya (dari hukum-hukum kulli)
diketahui hukumhukum masing-masing partikular atau hukum cabang
tersebut.

3
Prof H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Prenada Media, 2019).
4
Duski Ibrahim, “Al-QawaId Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih),” Palembang:
Noerfikri, 2019, https://repository.radenfatah.ac.id/4295/1/Lengkap.pdf.

3
4. Menurut az-Zarqa, kaidah fiqih adalah dasar-dasar fiqih yang bersifat
kulli, dalam bentuk teks-teks perundangundangan ringkas, mencakup
hukum-hukum syara’ yang umum pada peristiwa-peristiwa yang termasuk
di bawah tema-nya (maudu’nya).

Qawaid fiqhiyyah adalah pokok fiqh yang bersifat universal yang


mengandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum dalam berbagai bab
fiqh tentang peristiwa-peristiwa yang masuk di dalam ruang lingkupnya.
Kepentingan kaidah fiqh dari segi penggalian dan penetapan hukum Islam,
mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. oleh karena itu,
kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan
persoalan hukum yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.5

Sumber kaidah fiqhiyyah itu bisa saja bersumber dari Al-Qur’an, Hadits
Nabi saw, atsar sahabat, tabi’in maupun hasil ijtihad fuqaha yang mereka
ambil dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammda SAW. Dari hasil ijtihad
para fuqaha tersebut telah melahirkan kaidah-kaidah pokok serta turunannya,
dan di kalangan mazhab juga telah melahirkan kaidah-kaidah dikalangan
mereka. Walaupun sudah banyak kaidah-kaidah yang telah dibuat para fuqaha
masih tidak tertutup kemungkinan peluang para ulama sekarang untuk
membuat kaidah dalam rangka mencari solusi-solusi permasalahan yang
kontemporer.6

Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah, yaitu agar dapat mengetahui


prinsip-prinsip umum fiqh dan mampu mengetahui pokok masalah dalam fiqh
untuk mendapatkan titik temu dari permasalahan tersebut. Dengan tujuan
tersebut, seorang yang mempelajari qawaid fiqhiyyah akan mendapat manfaat.
Manfaat yang akan didapatkan diantaranya sebagai berikut.7
5
“Sumber-Sumber Kaidah-Kaidah Fikih: Al-Kitab, al-Sunnah, Atsar Sahabat Dan
Tabi’in, Dan Ijtihad Fuqaha` Pada Furû’ Dan Juz`iyyât,” accessed March 10, 2024, https://pa-
rangkasbitung.go.id/pa-website/publikasi-artikel/arsip-artikel/420-sumber-sumber-kaidah-kaidah-
fikih-al-kitab-al-sunnah-atsar-sahabat-dan-tabi-in-dan-ijtihad-fuqaha-pada-furu-dan-juz-iyyat.
6
Ibid.
7
“Qawaid Fiqhiyyah: Pengertian, Tujuan, dan Manfaat Mempelajarinya,” kumparan,
accessed March 10, 2024, https://kumparan.com/berita-hari-ini/qawaid-fiqhiyyah-pengertian-
tujuan-dan-manfaat-mempelajarinya-1zppDlJhWKG.

4
1. Lebih mudah menetapkan hukum Islam dari masalah yang dihadapi.
2. Lebih bijaksana dalam menerapkan materi-materi hukum dalam waktu,
tempat, keadaan dan adat yang berbeda.
3. Mempermudah menguasai materi hukum.
4. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
5. Mempermudah orang yang berbakat fiqh memahami bagian-bagian dalam
hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.

B. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Alʻ-Ammah


Al-Qawa’id al-Fiqhiyah al-Ammah atau aidah-kaidah fiqhiyyah yang
bersifat umum adalah kaidah-kaidah yang berkaitan dengan hukum-hukum
yang bersifat umum dan global sehingga satu kaidah bisa diterapkan pada
beberapa kasus hukum. Dalam kaidah fiqh terdapat lima kaidah pokok fiqh
(assasiyah) yaitu sebagai berikut.8

1. Sesungguhnya semua perbuatan


tergantung niatnya.

2. Keyakinan tidak dapat


disingkirkan oleh keraguan.
3. Kesulitan mendatangkan
kemudahan.
4. Bahaya harus disingkirkan.

5. Adat kebiasaan dapat dijadikan


hukum.

Qawaid al-fiqhiyyah ghairu asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih yang


bukan kaidah pokok (asasiyyah) seperti yang diuraikan sebelumnya. Kaidah

8
As’ad Syamsul Abidin, “Mengenal 5 Kaidah Pokok dalam Hukum Fiqih,” Aktual.com,
May 21, 2022, https://aktual.com/mengenal-5-kaidah-pokok-dalam-hukum-fiqih/.

5
tersebut adalah kaidah-kaidah umum yang ruang lingkup dan cakupannya luas.
Kaidah ini berlaku dalam berbagai cabang hukum fikih. Di antaranya yaitu dalam
bidang muamalah, peradilan, jinayah dan hukum keluarga.9

Berikut ini sembilan macam kaidah-kaidah umum fikih yang bukan


kaidah asasiyyah (al-qawaid al-fiqhiyyah al-ammah ghairu asasiyyah), yaitu:10

1. Kaidah pertama:

Artinya: “Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali


dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal tersebut hukumnya wajib pula
ada”.
Maksud kaidah ini yaitu apabila suatu kewajiban tidak sempurna
pelaksanaannya kecuali dengan adanya perbuatan atau hal lain maka
perbuatan tersebut wajib pula dilaksanakan. Contoh: shalat adalah wajib dan
shalat tidak sah apabila tidak suci dari hadas dan berwudhu, maka suci dari
hadas dan berwudhu juga wajib dilakukan. Contoh lainnya, membayar hutang
itu wajib, maka bekerja ekstra untuk dapat membayar hutang sampai lunas
adalah wajib, karena apabila bekerja hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup
saja, tentunya dapat berakibat tidak terbayarnya hutang.
2. Kaidah kedua:

Artinya: “Apa yang diharamkan untuk digunakan, maka haram pula


mendapatkannya/ membuatnya”.

Maksudnya yaitu sesuatu yang haram digunakan, baik haram dimakan,


diminum ataupun dipakai, maka haram pula hukum mendapatkannya atau

9
Majelis Penulis, “Majelis Penulis: Al-Qawa’id Al-‘Ammah: Kaidah Fiqhiyyah Umum,”
Majelis Penulis (blog), September 24, 2013, https://majelispenulis.blogspot.com/2013/09/al-
qawaid-al-ammah-kaidah-fiqhiyyah-umum.html.
10
Ibid.

6
membuatnya. Contohnya memakan bangkai dan binatang yang diharamkan
dalam islam, maka haram pula menerimanya, membelinya, menjualnya dan
membuat tempat sarana-sarana lainnya.

3. Kaidah Ketiga:

Artinya: “Apa yang diharamkan untuk diambil atau dibuat, maka haram pula
memberikannya”.

Sebagai contoh haram mengambil barang milik orang lain, maka haram
pula memberikan barang tersebut kepada orang lain.

4. Kaidah keempat:

Artinya: “Sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak
boleh dijadikan objek perbuatan lainnya”.

Sebagai contoh apabila seseorang telah meminjamkan pulpennya kepada


adiknya misalnya, maka ia (kakak atau yang meminjamkan) tidak boleh lagi
hendak meminjamkan pulpennya tersebut kepada temannya, terkecuali sang
adik telah mengembalikan pulpen tersebut kepadanya terlebih dahulu. Begitu
juga dengan permasalahan hukum Islam lainnya.

5. Kaidah kelima:

Artinya: “Kata-kata seorang penerjemah diterima tanpa syarat”.

Sebagai contoh seorang turis Amerika yang sedang berlibur ke Indonesia,


maka ia harus menerima terjemahan bahasa dari pemandu wisatanya.

7
6. Kaidah keenam:

Artinya: “Kenikmatan disesuaikan dengan kadar jerih payah dan jerih payah
disesuaikan dengan kenikmatan”.

Maksudnya yaitu suatu keuntungan diukur dengan pengorbanan dan


pengorbanan diukur menurut keuntungan. Potongan pertama dari kaidah ini
sering diungkapkan dengan al-ujrah bi qadri al-masyaqqah, artinya upah
diukur dengan jerih payah atau kesulitan. Makin sulit mencapai sesuatu, maka
makin tinggi pula nilai yang didapat. Makin berat godaannya, makin besar
pahalanya. Sebagai contoh seorang siswa yang rajin belajar akan mendapatkan
pengetahuan lebih luas dibandingkan dengan siswa yang kurang rajin belajar,
karena pengetahuan yang luas sepantasnya diperoleh oleh siswa yang rajin.

7. Kaidah ketujuh:

Artinya: “Tidak diperkenankan ijtihad pada tempat yang telah ada nashnya”.

Maksud nash di sini yaitu ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai
sumber hukum. Kaidah ini dapat dipahami bahwa apabila teks hukum sudah
jelas, maka tidak perlu lagi ada penafsiran. Misalnya hukum
meminum khamr itu sudah jelas haram, maka tidak perlu lagi berijtihad untuk
mencari untuk menetapkan hukumnya lagi atau hanya mencari-cari agar bisa
menjadi halal.

8. Kaidah kedelapan:

Artinya: “Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak menggugurkan


perbuatan yang sukar dijalankan”.

8
Maksudnya yaitu adanya suatu perbuatan yang mudah dikerjakan dan ada
pula perbuatan yang sulit dilakukan, namun keduanya memiliki keterkaitan.
Kalau kedua perbuatan tersebut sama-sama merupakan kewajiban, maka
keduanya tetap dilakukan sedapat mungkin. Sebagai contoh seorang suami
berkewajiban memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya, namun ia
hanya mampu memberikan nafkah yang relatif sedikit karena pekerjaannya
hanya sebagai seorang buruh, maka berilah nafkah tersebut. Tidak berarti
karena ia hanya bisa memberikan nafkah sedikit lalu dia boleh meninggalkan
kewajiban memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya tersebut.

9. Kaidah kesembilan:

Artinya: “Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya”.

Sebagai contoh seseorang melakukan kejahatan-kejahatan yang


hukumannya berbeda, misalnya mencuri kemudian berzina. Maka
hukumannya adalah potong tangan dan dirajam. Maka dalam kaidah ini
hukuman rajam bisa menyerap hukuman potong tangan, namun tidak
sebaliknya.

C. Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan Dengan Perubahan


Perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat Islam dari generasi ke
generasi hingga saat ini, telah mengundang berbagai persoalan atau masalah
baru yang memerlukan ketetapan hukum Islam. Penetapan hukum Islam ini
merupakan suatu keniscayaan sesuai dengan asas syariat Islam yang selalu
relevan dengan perubahan dan perkembangan zaman. Meskipun demikian,
dalam menjawab berbagai persoalan atau masalah baru di masyarakat yang
sangat memerlukan ketetapan hukumnya, Alquran dan Hadis seakan tidak
mampu menghadapinya, sehubungan dengan telah terhentinya wahyu dan

9
wafatnya Nabi Muhammad SAW yang berperan sebagai mediator antara
wahyu dengan realitas yang hidup pada masa itu.11
Dalam hal ini, Abu Yazid mengungkapkan bahwa teks wahyu (Al-Quran
dan Hadis) dalam persoalan sosial kemasyarakatan amat terbatas jumlahnya
dibanding jumlah peristiwa hukum yang terus bergerak dinamis sepanjang
masa. Dengan demikian, mengandalkan teks wahyu semata tidaklah cukup
memadai dalam menyikapi persoalan kemanusiaan sehari-hari.12
Menurut A. Athaillah, yang dimaksud dalam Al-Quran menjelaskan segala
sesuatu, tidaklah menjelaskan segala sesuatu dengan detail, menyelesaikan
semua kasus dengan rinci, dan memecahkan semua problem yang muncul
dengan rumit. Akan tetapi, yang dimaksudkan adalah menjelaskan segala
sesuatu yang bersifat al-qawanin al-‘ammah (aturan-aturan umum) dan al-
mabadi al-kulliyah (prinsip-prinsip yang universal) yang dapat diaplikasikan
untuk semua kasus dan problem yang muncul dalam kehidupan manusia, baik
untuk mereka yang hidup di masa lalu dan masa kini maupun untuk mereka
yang hidup pada masa yang akan datang.13
Ayat atau hadis yang menunjukkan hukum-hukum yang agak detail atau
rinci terdapat pada bidang ibadah dan hukum kekeluargaan. Sebaliknya,
hukum-hukum yang berkaitan dengan bidang muamalah, seperti kebendaan,
ekonomi, perjanjian, kenegaraan, dan hubungan internasional pada umumnya
berbentuk prinsip-prinsip dasar dan ketentuan-ketentuan umum. Penjelasan-
penjelasan tersebut pada umumnya hanya sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada pada masa hidup Nabi Muhammad SAW. Untuk menjawab masalah-
masalah baru yang belum ada penegasan tentang hukumnya di dalam Al-
Quran dan Sunnah, maka para pakar hukum Islam (fuqaha) berupaya

11
Abnan Pancasilawati, “URGENSI KAIDAH FIKIH DAN APLIKASINYA
TERHADAP MASALAH-MASALAH SOSIAL,” FENOMENA 4, no. 2 (December 1, 2012),
https://doi.org/10.21093/fj.v4i2.221.
12
Ibid.
13
Sejarah Al-Quran: Verifikasi Tentang Otentisitas Al-Quran | Perpustakaan UIN
Antasari Banjarmasin, accessed March 11, 2024, //opac.uin-antasari.ac.id%2Findex.php%3Fp
%3Dshow_detail%26id%3D8486%26keywords%3D.

10
memecahkan dan mencari hukum-hukumnya dengan menggunakan ijtihad
yang tetap tidak boleh lepas dari Al-Quran dan Sunnah.14
Dalam rangka mengembangkan fikih yang bernuansa sosial, Sahal
Mahfudh, menyatakan bahwa pengembangan fikih secara qauli bisa dilakukan
dengan cara memperluas penggunaan kaidah-kaidah fikih untuk digunakan
bukan hanya pada persoalan fikih individu yang menyangkut halal dan haram,
melainkan juga untuk memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut
kebijakan publik, baik yang menyangkut kebijakan politik, ekonomi,
kesehatan, dan lain-lain.15
Dalam hidup tentu kita akan mengalami suatu masa perubahan. Misalnya
dalam bidang muamalah, perubahan menjadi persoalan prioritas atau mana
yang lebih diutamakan. Kaidah kaidah yang berhubungan dengan prioritas
adalah sebagai berikut.16

Artinya: “Memilih yang lebih maslahah daripada maslahah sebelumnya”.

Kaidah lainnya berbunyi:17

Artinya: “Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih


kemaslahatan”.

Kaidah ini menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama


dihadapkan kepada pilihan antara menolak kemafsadatan atau meraih
kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan.
Sebab, dengan menolak kemafsadatan berarti juga meraih kemaslahatan.
14
Ibid.
15
Ibid,
16
Hasan; Bisri, Model Penelitian Fiqih Jilid I : paradigma penelitian fiqh & fiqh
penelitian (Kencana Prenada Media Group, 2003), //elibrary.unida.ac.id/index.php?
p=show_detail&id=2974&keywords=.
17
Muhammad Shidqi Ibn Ahmad Ibn Muhammad Al- BURNU, “Al- Wajin Fi Idhahi
Qawaid al-Fiqhi al-Kulliyah” (Muassasah Ar Risalah, n.d.).

11
Sedangkan tujuan hukum Islam, ujungnya adalah untuk meraih kemaslahatan
di dunia dan di akhirat.18

Dalam kasus hukum penggusuran tanah wakaf untuk kepentingan publik,


menurut Abu Zahrah, Imam Ahmad ibn Hambal menyatakan bahwa menjual
masjid itu diperbolehkan bila masjid tersebut tidak sesuai lagi dengan tujuan
pokok perwakafan, seperti masjid yang sudah tidak dapat menampung
jamaahnya dan tidak mungkin diperluas, atau sebagian masjid itu roboh
sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Maka dalam keadaan seperti ini masjid
boleh dijual kemudian uangnya digunakan untuk membangun masjid yang
lain.19

Ahmad ibn Hambal juga memperbolehkan pemindahan masjid dari satu


tanah ke tanah yang lain karena adanya maslahat (kebaikan). Bahkan apabila
diperbolehkan menggantikan satu masjid dengan yang bukan masjid karena
suatu maslahat, sehingga masjid dijadikan pasar, maka hal itu disebabkan
bolehnya mengganti objek lain yang lebih utama dan layak. Yang demikian
juga merupakan qiyas terhadap pendapat Ahmad tentang penggantian hadiah
dengan yang lebih baik daripadanya. Ahmad menggariskan bahwa masjid
yang bercokol di suatu tanah apabila mereka mengangkatnya dan membangun
pengairan di bawahnya, sedang orang-orang yang tinggal berdampingan
dengan masjid itu menyetujuinya, maka hal itupun dapat dilakukannya.20

Mengenai hal ini, ada dua hal yang perlu dipastikan dalam penggusuran
tanah rakyat. Pertama, apakah tanah itu memang dibutuhkan untuk proyek
pemerintah yang manfaatnya untuk kepentingan umum (al-mashlahah
al’ammah). Kedua, apakah telah ada kesepakatan harga antara pemilik tanah
dengan pelaksana proyek. Jika kedua syarat ini tidak dipenuhi, maka tidak
ada pembenaran bagi pihak manapun untuk menggusur tanah milik rakyat,

18
Ibid.
19
Tim Penyusun;, Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam (Khalista,
2011), //caturpradipa.net%2Fperpustakaan%2Findex.php%3Fp%3Dshow_detail%26id%3D2801.
20
Ibid.

12
dan pada saat yang sama, rakyat wajib mempertahankan dengan cara apapun,
termasuk dengan demonstrasi.21

Kaidah fikih yang berhubungan dengan hal ini adalah sebagai berikut.22

Artinya: “Seseorang tidak boleh mengambil harta orang lain kecuali


dengan sebab yang dibenarkan syara”.

Dalam kasus lain, di antara berbagai pencemaran yang akrab dengan


manusia ialah pencemaran terhadap air, misalnya sungai. Pencemaran
terhadap sungai sering dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dekat
sungai maupun dari limbahlimbah pabrik yang dibuang ke sungai.
Pencemaran terhadap sungai ini terlihat secara nyata dengan adanya rumah-
rumah masyarakat yang berdiri di atas dan di bantaran sungai. Permasalahan
ini hendaknya menjadi perhatian semua masyarakat, dimulai terhadap
fenomena mendirikan bangunan di atas dan di bantaran sungai. Sebab, praktik
tersebut sangat mendukung terjadinya kerusakan.23

21
Ibid.
22
Abdul Al Aziz Muhammad; Azzam, Al Qawaid al Fiqhiyah : Abdul Al Aziz
Muhammad Azzam (Dar al Hadits, 2005), //10.170.10.3%2Findex.php%3Fp%3Dshow_detail
%26id%3D22461.
23
Penyusun;, Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam.

13
Oleh sebab itu, seluruh warga masyarakat dan pemerintah hendaknya
lebih memperhatikan keberadaan sungai-sungai yang masih ada, dan
berupaya mengaktifkan kembali sungai-sungai yang sudah beralih fungsi agar
dapat beroperasi kembali. Setelah itu, menjaga dan melestarikannya adalah
tanggungjawab semua warga masyarakat, sehingga sungai-sungai tersebut
dapat memberikan manfaat yang besar bagi manusia, bukan malah merugikan
kehidupan manusia.24

Kaidah fikih terkait hal ini adalah sebagai berikut.25

Artinya: “Memelihara yang telah ada adalah lebih utama daripada


mengharapkan (hasil) yang belum ada”.

Adapun kaidah yang lain berbunyi:26

Artinya: “Memelihara keadaan yang lama yang maslahat dan mengambil


yang baru yang lebih maslahat”.
Kaidah-kaidah tersebut mengisyaratkan bahwa dalam kehidupan ini akan
selalu terjadi perubahan dan perkembangan. Untuk itu, kaidah ini juga
mengisyaratkan agar tetap memelihara dan memanfaatkan yang lama yang
maslahat daripada mengangan-angankan sesuatu yang belum tentu
mendatangkan kebaikan. Apabila ingin mengambil yang baru, maka harus
yang lebih maslahat.27

24
Ibid.
25
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.
26
Ibid.
27
Ibid.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab “al-qawa’id
al-fiqhiyah”. Al-Qawa’id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata “al-
Qa’idah” yang secara kebahasaan berarti dasar, aturan atau patokan umum.
Sedangkan kata “al-fiqhiyah” berasal dari kata “al-fiqh” yang berarti paham
atau pemahaman yang mendalam (al-fahm al-‘amiq) yang dibubuhi ya’ an-
nisbah untuk menunjukan penjenisan atau pembangsaan atau pengkategorian.
Dengan demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah fiqh adalah dasar-dasar,
aturan-aturan atau patokan-patokan yang bersifat umum mengenai jenis-jenis
atau masalah-masalah yang masuk dalam kategori fiqh.

Qawaid al-fiqhiyyah ghairu asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih


yang bukan kaidah asasiyyah (pokok). Kaidah ini adalah kaidah-kaidah umum
yang ruang lingkup dan cakupannya luas yaitu mencakup berbagai cabang
hukum fikih. Misalnya dalam bidang muamalah, peradilan, jinayah dan
hukum keluarga. Salah satu kaidah al-Qawa’id al-Ammah yaitu:

15
Artinya: “Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali
dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal tersebut hukumnya wajib pula
ada”

Dalam hidup tentu kita akan mengalami suatu masa perubahan. Misalnya
dalam bidang muamalah, perubahan menjadi persoalan prioritas atau mana
yang lebih diutamakan. Kaidah kaidah yang berhubungan dengan prioritas
salah satunya adalah sebagai berikut.

Artinya: “Memilih yang lebih maslahah daripada maslahah sebelumnya”.

B. Saran
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini penulis persembahkan.
Harapan penulis dengan adanya makalah ini semoga dapat memberikan
manfaat kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran
maupun komentar dari para pembaca agar penulis dapat mengoreksi diri dan
semoga kedepannya dapat menciptakan makalah yang lebih baik lagi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, As’ad Syamsul. “Mengenal 5 Kaidah Pokok dalam Hukum Fiqih.”


Aktual.com, May 21, 2022. https://aktual.com/mengenal-5-kaidah-pokok-
dalam-hukum-fiqih/.
Ahmad, Abdan Matin. “Abdan Matin Ahmad: Ta’arudh, Tarjih, Dan Qawaidul
Fiqh.” Abdan Matin Ahmad (blog), February 8, 2013.
https://abdanmatin.blogspot.com/2013/02/taarudh-tarjih-dan-qawaidul-
fiqh.html.
Azzam, Abdul Al Aziz Muhammad; Al Qawaid al Fiqhiyah : Abdul Al Aziz
Muhammad Azzam. Dar al Hadits, 2005. //10.170.10.3%2Findex.php%3Fp
%3Dshow_detail%26id%3D22461.
Band, Kuy Hijrah _wali. “Himpunan Makalah: Kaidah-Kaidah Fiqih-Kaidah-
Kaidah Fikih Yang Umum.” Himpunan Makalah (blog), April 19, 2016.
https://makalahiainibpadang.blogspot.com/2016/04/kaidah-kaidah-fiqih-
kaidah-kaidah-fikih.html.
Bisri, Hasan; Model Penelitian Fiqih Jilid I : paradigma penelitian fiqh & fiqh
penelitian. Kencana Prenada Media Group, 2003.
//elibrary.unida.ac.id/index.php?p=show_detail&id=2974&keywords=.
BURNU, Muhammad Shidqi Ibn Ahmad Ibn Muhammad Al-. “Al- Wajin Fi
Idhahi Qawaid al-Fiqhi al-Kulliyah.” Muassasah Ar Risalah, n.d.
Djazuli, Prof H. A. Kaidah-Kaidah Fikih. Prenada Media, 2019.
Hilal, Syamsul. “Urgensi Kaidah Fiqhiyyah Dalam Pengembangan Ekonomi
Islam.” Al-’Adalah 8, no. 1 (February 28, 2017): 1–12.
https://doi.org/10.24042/adalah.v13i3.161.
Ibrahim, Duski. “Al-QawaId Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih).” Palembang:
Noerfikri, 2019. https://repository.radenfatah.ac.id/4295/1/Lengkap.pdf.
kumparan. “Qawaid Fiqhiyyah: Pengertian, Tujuan, dan Manfaat
Mempelajarinya.” Accessed March 10, 2024. https://kumparan.com/berita-
hari-ini/qawaid-fiqhiyyah-pengertian-tujuan-dan-manfaat-
mempelajarinya-1zppDlJhWKG.
Pancasilawati, Abnan. “Urgensi Kaidah Fikih Dan Aplikasinya Terhadap Masalah-
Masalah Sosial.” Fenomena 4, no. 2 (December 1, 2012).
https://doi.org/10.21093/fj.v4i2.221.
Penulis, Majelis. “Majelis Penulis: Al-Qawa’id Al-‘Ammah: Kaidah Fiqhiyyah
Umum.” Majelis Penulis (blog), September 24, 2013.
https://majelispenulis.blogspot.com/2013/09/al-qawaid-al-ammah-kaidah-
fiqhiyyah-umum.html.
Penyusun;, Tim. Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam.
Khalista, 2011. //caturpradipa.net%2Fperpustakaan%2Findex.php%3Fp
%3Dshow_detail%26id%3D2801.
Ridwan, Muannif, M. Hasbi Umar, and Abdul Ghafar. “SUMBER-SUMBER
HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA:” Borneo : Journal of
Islamic Studies 1, no. 2 (April 16, 2021): 28–41.
https://doi.org/10.37567/borneo.v1i2.404.
Sejarah Al-Quran: Verifikasi Tentang Otentisitas Al-Quran | Perpustakaan UIN
Antasari Banjarmasin. Accessed March 11, 2024. //opac.uin-antasari.ac.id
%2Findex.php%3Fp%3Dshow_detail%26id%3D8486%26keywords%3D.
“Setiap Yang Menghantarkan Pada Yang Haram, Hukumnya Haram Juga - STID
DI AL-HIKMAH JAKARTA,” October 5, 2011.
https://alhikmah.ac.id/apa-saja-yang-mengantarkan-kepada-keharaman-
maka-itu-haram-juga/.
“Sumber-Sumber Kaidah-Kaidah Fikih: Al-Kitab, al-Sunnah, Atsar Sahabat Dan
Tabi’in, Dan Ijtihad Fuqaha` Pada Furû’ Dan Juz`iyyât.” Accessed March
10, 2024. https://pa-rangkasbitung.go.id/pa-website/publikasi-artikel/arsip-
artikel/420-sumber-sumber-kaidah-kaidah-fikih-al-kitab-al-sunnah-atsar-
sahabat-dan-tabi-in-dan-ijtihad-fuqaha-pada-furu-dan-juz-iyyat.

Anda mungkin juga menyukai