Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KAIDAH-KAIDAH FIKIH UMUM

(Al-Qawa’idh Al-Fiqhiyyah Al-‘Ammah)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaidh Fiqhiyyah

Dosen Pengampu: Ahsin Dinal Mustafa, M.H.

oleh :

1. Calista Salsabilla Sudrajat 220201110175

2. SR. Iqrifa Nayla Farafisha 220201110181

KELAS B

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan

makalah dengan lancar. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi

Muhammad SAW., keluarga, sahabat, dan para umatnya yang senantiasa menjalankan

sunnah-sunnahnya hingga nanti di hari kiamat. Alhamdulillah kami diberi kesempatan,

kemudahan, dan kelancaran dalam menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Qawaidh

Fiqhiyyah.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Qawaidh

Fiqhiyyah, yaitu Bapak Ahsin Dinal Mustafa, M.H., yang telah memberi tugas makalah

ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, inspirasi, dan menambah

pengetahuan pembaca.

Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan tugas yang kami buat ini yang

masih jauh dari kesempurnaan. Kami memohon maaf apabila ada kekurangan ataupun

kesalahan pada teknik penulisan maupun materi. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat

diharapkan agar tugas ini menjadi lebih baik serta berguna di masa yang akan datang.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi kami khususnya, sebagai

penulis.

Malang, 2 April 2024

Qawaidh Fiqhiyyah | i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1
A. Latar Belakang ...........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .....................................................................................................2

C. Tujuan .........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................3

A. Definisi Al-Qawa’idh Al-Fiqhiyyah Al-‘Ammah .......................................................3

B. Macam-Macam Al-Qawa’idh Al-Fiqhiyyah Al-‘Ammah ..........................................5

1. Kaidah Pertama ......................................................................................................5

2. Kaidah Kedua .........................................................................................................8

3. Kaidah Ketiga .......................................................................................................11

4. Kaidah Keempat ...................................................................................................12

5. Kaidah Kelima ......................................................................................................14

6. Kaidah Keenam ....................................................................................................15

7. Kaidah Ketujuh .....................................................................................................16

8. Kaidah Kedelapan ................................................................................................17

9. Kaidah Kesembilan ..............................................................................................19

10. Kaidah Kesepuluh ..............................................................................................20

BAB III PENUTUP .......................................................................................................23

A. Kesimpulan................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................24

Qawaidh Fiqhiyyah | ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Para Pakar ushul fiqih pada zaman dahulu telah merumuskan kaidah-kaidah dalam

menghadapi praktik fiqih yang diambil dari teks nash al-Quran dan Sunnah, dengan

adanya rumusan dengan konsep pemikiran yang berbeda-beda maka tak heran kaidah

yang ditimbulkan akan berbeda-beda, tergantung kondisi tempat dan waktu, Ibn Qayyim

Al Jauziyah menyebutkan dalam kitabnya ‘Ilamul Muwaqqi’in ‘an Rabb ‘Alamin bahwa;

“Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat,

dan adat kebisaaan”.

Bahwa permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari

beragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar didapati jalan keluar untuk

penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-

cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut.

Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan

permasalahan yang muncul ditengah-tengah kehidupan di zaman modern ini.

Maka, hendaklah mahasiswa memahami secara baik tentang konsep disiplin

ilmukarenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum islam. Masih jarang diantara

kaummuslim memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum islam.

Menjadikewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan menyikapi

Qawaidh Fiqhiyyah | 1
persoalan hukumdalam islam karen aproses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan

hukum.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud al-qawa’idh ql-fiqhiyyah al-‘ammah?

2. Apa saja macam-macam kaidah umum?

3. Bagaimana contoh kasus kaidah al-‘ammah dalam kehidupan sehari hari?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahuiyang dimaksud al-qawa’idh ql-fiqhiyyah al-‘ammah

2. Untuk mengetahui kaidah-kaidah umum

3. Untuk mnegetahui contoh kasus kaidah al-‘ammah dalam kehidupan sehari hari

Qawaidh Fiqhiyyah | 2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Al-Qawa’idh Al-Fiqhiyyah Al-‘Ammah

Al-Qawa’idh Al-Fiqhiyyah Al-‘Ammah merupakan salah satu cabang dari cakupan

ruang lingkup dalam bahasan ilmu fiqh. Secara zhahir, Al-Qawa’idh Al-Fiqhiyyah Al-

‘Ammah terdiri dari tiga kata yakni qawa’idh, fiqhiyyah, dan al-‘ammah. Secara bahasa,

qawa’idh merupakan bentuk jamak dari qaidah yang artinya dasar atau pondasi, baik

dalam artian konkrit (pondasi rumah) dan abstrak (pondasi agama, pondasi ilmu, dan

sebagainya).1 Arti qawa’idh dalam Al-Qur’an,

1. QS. Al-Baqarah ayat 127

ۗ ۗ

"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya

berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha

Mendengar, Maha Mengetahui."

2. QS. An-Nahl ayat 26

"Sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya, maka Allah

menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh

1
Andiko Toha, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah (Yogyakarta: Teras, 2001), 1

Qawaidh Fiqhiyyah | 3
menimpa mereka dari atas, dan siksa itu datang kepada mereka dari arah yang tidak

mereka sadari."

Jadi, secara etimologi kata qawa’idh memiliki artian sebuah dasar-dasar atas sesuatu

atau dapat didefinisikan suatu hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-

bagiannya. Sedangkan fiqhiyyah adalah kata yang berasal dari al-fiqh yang berarti paham

atau pemahaman yang mendalam. Adapun al-‘Amm secara bahasa arab memiliki artian

umum atau sesuatu yang universal (kulli). Dengan demikian secara kebahasaan, qawa’idh

fiqhiyyah al-‘amm adalah sebuah dasar, aturan, atau patokan suatu hal yang bersifat

universal(umum) mengenai problematika yang terdapat dalam kategori fiqih. Dalam

bahasan kaidah fikih, terdapat beberapa tingkatan kaidah dalam mencari sebuah jalan

keluar dari permasalahan fikih, hal itu adalah sebagai berikut:2

1. Kaidah Inti, contohnya adalah seperti pada lafaz “Jalbu al - Mashalih wa Daf’u al -

Mafasid” (Meraih kemashlahatan dan menolak kemafsadatan).

2. Kaidah Asasiyah, yaitu kaidah fikih yang lima. Contohnya seperti pada lafadz kaidah

“Al-Umuru bi Maqasidiha” (Segala sesuatu tergantung dengan niatnya).

3. Kaidah Umum, yaitu kaidah-kaidah umum yang menjelaskan mengenai

problematika fikih dibawah cakupan bahasan kaidah asasiyah.

4. Kaidah Khusus, yaitu kaidah-kaidah yang hanya berlaku sebuah cakupan bidang

fikih yang tertentu. Contohnya seperti fikih muamalah, fikih ibadah, fikih

munakahat, dan lain sebagainya.

2
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah
yang Praktis (Jakarta:Prenada Group, 2006), 90

Qawaidh Fiqhiyyah | 4
Kaidah-kaidah fikih secara general terbagi menjadi dua jenis. Pertama, kaidah fikih

yang benar-benar asli karena zat nya (al-ash fi dzatihi) bukan penjelas dari cabang fikih

yang lain.Kedua, kaidah yang merupakan subdividen (sub-bahasan) dari kaidah fikih lain

yang sudah ada, para ulama sering menyebut kaidah ini dengan kaidah makro, kaidah

fiqhiyyah al-amm atau kaidah fiqhiyyah al-kulliyah. Kaidah fikih al-‘ammah ini termasuk

dalam klasifikasi pembahasan cabang fikih yang nantinya menghasilkan kaidah yang

sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya jika dilihat dari segi objek pembahasannya.3

B. Macam-Macam Al-Qawa’idh Al-Fiqhiyyah Al-‘Ammah

1. Kaidah Pertama

"Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian"

Kaidah ini memberikan penjelasan bahwa pada perinsipnya suatu hasil ijtihad yang

dilakukan pada masa yang lalu tidak boleh dibatalkan oleh ijtihad yang dilakukan

kemudian, baik oleh seseorang mujtahid itu sendiri maupun mujtahid yang lain.4 kaidah

fiqh ini dilandaskan pada ijma’ sahabat seperti yang dinukilkan Ibn Sibagh bahwasanya

Abu Bakar memberikan ketetapan hukum terhadap sejumlah masalah yang kemudian

diperselisihkan Umar. Umar tidak membatalkan keputusan Abu Bakar dan ia tetap

mengakuinya. Demikian pula dengan Umar bin Khattab pernah memutuskan dua kali

dalam masalah pembagian harta warisan musyarakah yang saling berbeda. Keputusan

pertama berbeda dengan keputusannya yang kedua.5 Pada masalah pembagian harta

3
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), 2
4
Duski Ibrahim, ‘Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah’ (Kaidah-Kaidah Fikih) (Palembang: CV Amanah, 2019), 101
5
Jala al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Asbah wa al-Nazha’ir, Cet. ke-2 (Beirut: Mu’assasah al-Kutub
al-Tsaqafiyah, 1996), 134.

Qawaidh Fiqhiyyah | 5
warisan yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dan dua orang saudara seibu dan

saudara sekandung ini pada mulanya, berdasarkan ijtihad Umar, menetapkan bahwa

saudara kandung yang ashabah itu tidak mendapat bagian karena tidak ada sisa lagi. Pada

saat yang lain, dalam kasus yang sama, Umar menetapkan bahwa saudara kandung

tersebut sama dengan dua orang saudara seibu dalam pembagian warisan yakni (1/3) harta

peninggalan. Keputusan berdasarkan hasil ijtihad terakhir ini, tidak membatalkan

keputusan berdasarkan hasil ijtihadnya terdahulu. Ketika ditanyakan mengenai perbedaan

keputusan ini, dia menjawab:

“Itu adalah keputusan kami pada masa lalu,sedangkan ini adalah keputusan kami pada

masa sekarang.”6

Alasannya, keputusan hukum yang dihasilkan dari ijtihad sebelumnya tidak bisa dicabut

oleh keputusan hukum yang dihasilkan dari ijtihad yang dilakukan belakangan. Ini karena

keputusan ijtihad yang terakhir tidak berarti memiliki kekuatan atau bobot yang lebih

besar daripada keputusan ijtihad yang pertama. Selain itu, jika suatu keputusan hukum

dari ijtihad dapat dicabut oleh keputusan ijtihad yang lain, maka akan menyebabkan

ketidakpastian hukum, yang pada akhirnya akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan

yang besar, juga akan terjadi tasalsul hukum, yaitu terjadi mata rantai pembatalan hukum

yang tidak berkesudahan, sehingga muncul ketidakstabilan hukum (idhtirab al-ahkam).

Contohnya, ketika hakim berijtihad menghukum pelaku kejahatan ta’zir dengan hukuman

6
Jala al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Asbah wa al-Nazha’ir, Cet. ke-2 (Beirut: Mu’assasah al-Kutub
al-Tsaqafiyah, 1996), 71-72.

Qawaidh Fiqhiyyah | 6
tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, pelaku kejahatan dihukum penjara

seumur hidup, karena pertimbangan lain dari hakim yang berbeda dengan hukuman

pelaku kejahatan sebelumnya. Jadi, bukan keadilannya berbeda, tetapi

mempertimbangkan keadaan dan hukumnya yang menyebabkan hasil ijtihad bisa

berubah. Namun, terdapat pengecualian yakni apabila hasil ijtihad atau keputusan hakim

menyalahi nash atau dalil yang qath’i maka hasil ijtihad tersebut dapat dibatalkan.7

Melalui kaidah fiqh ini dapat dipahami bahwa orang yang melakukan ijtihad terhadap

suatu peristiwa hukum, lalu menetapkan fatwa atau keputusan hukum di pengadilan

berdasarkan ijtihad tersebut, kemudian terjadi peristiwa lain yang serupa dengan

peristiwa hukum yang telah difatwakan tersebut, sementara orang itu merubah ijtihadnya

kepada hukum yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan ijtihad tersebut tidak

membatalkan fatwa dan keputusan hukum yang ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini,

perubahan terhadap hasil ijtihad merupakan hal yang biasa karena perubahan dalam

menilai dan memahami dalil.8 Namun, untuk masalah hukum yang datang kemudian

berlaku sesuai dengan hasil ijtihad yang baru.

Wujud penerapan kaidah fiqh ini dapat diamati dalam kasus orang yang sholat

dengan menghadap suatu arah yang dianggap kiblat. Pada sholat berikutnya berubah

anggapannya tentang kiblat, maka ia harus menghadap ke arah yang dianggapnya qiblat

dan tidak wajib mengulang sholatnya yang telah dilakukan sebelumnya. Begitu pula

tentang ijtihad seseorang yang telah menetapkan kesucian salah satu dari dua bejana. Lalu

7
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr,
1322 H), 382.
8
Musthafâ Ahmad Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhi al-Aam, Jilid 2 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1968), 1010

Qawaidh Fiqhiyyah | 7
ia menggunakan salah satu bejana itu dan tidak tidak memakai yang lainnya. Kemudian

berubah anggapan orang itu, maka ia tidak boleh melakukan seperti anggapan kedua,

tetapi harus melakukan tayamum.9 Contoh lain dari kaidah ini ketika seorang hakim

berijtihad untuk memutuskan hukum suatu perkara, kemudian ijtihadnya berubah dari

ijtihad yang pertama maka ijtihad yang pertama tetap sah (tidak rusak).10

2. Kaidah Kedua

“Ketika dua perkara sejenis berkumpul dan maksudnya tidak berlawanan, maka secara

umum salah satunya akan masuk pada yang lain”

Makna dari kaidah ini ialah menjelaskan mengenai bahwa telah cukup untuk

melaksanakan salah satu dari dua perkara yang memiliki kedudukan yang sama dengan

memilih perkara yang lebih besar. Karena perkara yang lebih besar telah mencakup atas

perkara yang kecil, hingga dapat dikatakan bahwa sudah mencakup kedua perkara

tersebut. Dasar kaidahnya:

“Dari Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap
orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang

9
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 101.
10
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah (Surabaya: Revka Prima Media, 2020), 61.

Qawaidh Fiqhiyyah | 8
ingin ia raih atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu
kepada apa yang menjadi tujuannya.”

Seringkali aktivitas manusia mempunyai persamaan dari sisi wujud karakteristiknya

tujuan serta hukum yang tekandung di dalamnya. Sebagaimana mandi yang dikerjakan

setelah terputusnya darah haid dengan mandi setelah berhentinya darah nifas, dimana

keduanya merupakan kewajiban dengan pertalian karakteristik dan praktek yang serupa

antara satu dengan yang lain, serta memiliki maksud selaras pula. Pada contoh lain,

seperti mandi sunnah Hari Raya yang serupa bentuk dan maksudnya dengan mandi

sunnah pada hari Jum’at. Dalam hal ini antara satu dengan yang lain dapat menggabung

menjadi satu (tadakhkhul). Sehingga ketika akan melakukan mandi untuk dua maksud

diatas, maka yang dilakukan cukup sekali dan dengan satu niat saja. Namun, hukum

penggabungan satu aktifitas dengan yang lain ternyata tidak secara mutlak berlaku pada

semua masalah. Klasifikasi Tadakhul Melihat dari tempat kejadiaannya, tadakhkhul

terbagi menjadi tiga bagian, diantaranya adalah:

1) Tadakhkhul dalam ibadah Menurut al-Zarkashi bahwa tadakhkhul yang masuk pada

permasalahan ibadah wajib terbagi menjadi dua:

a) Dua ibadah wajib yang sama-sama terdapat tuntutan namun maksudnya berbeda,

maka tidak terjadi tadakhkhul. Contoh: Tawaf Wada’ dan Tawaf Ifadah yang

memiliki tujuan sendiri-sendiri.

b) Ibadah wajib yang diperintahkan namun memiliki mempunyai maksud yang sama.

Bagian ini bisa digabungkan menjadi satu pekerjaan (tadakhkhul). Contoh: mandi

karena haid, dan mandi karena mengeluarkan cairan sperma. Keduanya dapat

digabungkan dalam satu kali pelaksanaan mandi, sebab kedua bentuk ibadah tersebut

Qawaidh Fiqhiyyah | 9
merupakan suatu yang disyariatkan, karena mempunyai maksud yang sama yakni

bertujuan menghilangkan hadas besar, maka dapat dilakukan tadakhkhul.

2) Tadakhkhul dalam hak-hak Allah (al-‘Uqubat)

a) ‘Uqubat yang berhubungan dengan hak-hak Allah. Bila berasal dari satu jenis, maka

bisa masuk dalam bingkai tadakhkhul, seperti seorang gadis (bikr), atau perjaka yang

berkali-kali melakukan perbuatan zina, maka ia dikenai hukuman had satu kali.

b) ‘Uqubat yang berhubungan dengan hak Adami. Contoh: hubungan seksual berulang-

ulang yang terjadi pada pernikahan fasid. Maka orang yang melakukannya

diwajibkan membayar mahar satu kali saja.

3) Tadakhkhul dalam Perusakan (Itlafat)

Tadakhkhul Itlafat adalah Tadakhkhul yang melakukan haji qiran. Sebagaimana

seorang yang melakukan haji qiran membunuh hewan buruan di tanah Haram hanya

karena melakukan satu kali perbuatan, yakni membunuh binatang, ia telah dianggap telah

melakukan dua pekerjaan yang haram dilakukan, yakni merusak nilai kesakralan haji dan

umrah secara bersamaan (terjadinya Tadakhkhul). Maka ia hanya diwajibkan membayar

denda satu kali.

a. Hal-hal yang tidak terjadi pada Tadakhkhul

Hal yang tidak terjadi dalam Tadakhkhul dalam pandangan Izzuddin Abd. Salam

adalah dalam hal shalat, zakat, sadaqah, hutang, haji dan umrah. Seorang yang melakukan

ihram dengan dua kali haji, maka ia hanya akan mendapatkan nilai haji satu kali. Ataupun

melakukan ihram dengan dua kali umrah, maka ia hanya mendapatkan satu umrah.

Qawaidh Fiqhiyyah | 10
Dengan demikian, bila ia menginginkan ihram yang bernilai haji dan umrah sekaligus,

maka ia harus melakukan haji dan umrah sendiri-sendiri.

b. Hal-hal yang diperdebatkan

Tadakhkhul yang masih mukhtalaf ‘alayh diantaranya dalam masalah kafarat, wudlu

yang dapat ber-tadakhkhul dalam mandi. Untuk kafarah menurut Abu hanifah

menyatakan ada tadakhkhul seperti contoh, orang yang berhubungan badan berkali-kali

di bulan Ramadhan, maka ia wajib membayar satu kafaratsaja. Berbeda dengan pendapat

al-Shafi’i yang mewajibkan membayar kafarat berkali-kali sesuai dengan tingkat

kuantitas hubungan badan yang dilakukan pada waktu puasa dengan argumentasi bahwa

hukum asal dalam terminologi figh adalah tidak terjadi Tadakhkhul, atau dengan kata lain

kuantitas perbuatan itu berimplikasi pada banyaknya kafarat.11

3. Kaidah Ketiga

“Pengikut itu adalah pihak yang mengikut”

Dari kaidah fiqh ini dapat dipahami bahwa sesuatu yang mengikut kepada yang lain,

maka hukumnya sama dengan hukum yang diikuti. Kaidah fiqh ini meliputi sejumlah

kaidah lain yang sejalan dengan substansinya.12

a. Dasar Kaidah

Hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar ra.:

11
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah (Surabaya: Revka Prima Media, 2020), 64.
12
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 105.

Qawaidh Fiqhiyyah | 11
“Dari Abdullah bin Umar ra. bahwasanya Rasulullah SAW. melarang jual beli anak

hewan ternak yang masih dalam kandungan. Itu merupakan jual beli yang biasa

dilakukan orang-orang Jahiliyah. Seseorang biasa membeli unta masih dalam

kandungan, hingga induk unta melahirkan, kemudian anak unta itu melahirkan lagi.”13

b. Contoh Kaidah

1) Seandainya ada transaksi jual-beli binatang yang sedang bunting, maka anak dalam

kandungannya tersebut termasuk ke dalam akad jual beli yang diadakan itu.

2) Seandainya ada sembelihan hewan yang sedang bunting, ternyata ditemukan anak

yang telah mati dalam kandungannya. Dalam hal ini, sembelihan anaknya tersebut

sudah termasuk dalam penyembelihan induknya.

3) Seandainya ada ulat dalam buah-buahan, seperti dalam biji petai, jengkol, alpukat,

apel dan sayur-sayuran, maka hukumnya boleh dimakan selama tidak dipisahkan.

4) Seandainya ada transaksi jual-beli tanah, maka tanaman apapun yang ada di

dalamnya termasuk objek jual-beli, kecuali ada transaksi tersendiri.14

4. Kaidah Keempat

13
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqiyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat, 2015), 259.
14
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqhiyah) (Palembang: CV Amanah, 2019),
105.

Qawaidh Fiqhiyyah | 12
“Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti.”

Berdasarkan kaidah ini, dapat dipahami bahwa apabila gugur hukum yang diikuti

dengan sendirinya gugur pula hukum yang mengikuti. Dalam kaitan ini dapat

dikemukakan contoh tentang sholat. Bagi orang gila tidak ada kewajiban melaksanakan

sholat fardhu. Atas dasar ini pula, ia tidak dianjurkan melakukan sholat sunat rawatib.

Dengan gugurnya kewajiban sholat fardhu (matbu’) bagi orang gila, maka gugur pula

sholat sunah (tabi’) bagi orang tersebut. Ketentuan yang sama berlaku pula bagi orang

yang terlambat wukuf di padang Arafah. Dengan terlambatnya orang itu melakukan

wukuf di Arofah mengharuskan yang bersangkutan tahalul dengan mengerjakan thawaf,

sa’i dan mencukur, bukan tahallul dengan melempar jumrah dan bermalam di Mina

(mabit). Sebab, melempar jumrah dan mabit adalah amalan yang mengikuti wukuf.

Dari kaidah di atas, dapat dicontohkan sebagai berikut:

a. Orang gila tidak wajib menunaikan shalat fardhu, karena tidak memenuhi syarat

taklif. Oleh karena itu, ia juga tidak disunnatkan shalat sunnat rawatib. Gugurnya

shalat sunnat (tabi’) dikarenakan telah gugurnya shalat wajib (matbu’).

b. Orang yang terlambat wuquf di Arafah, ia harus tahallul dengan mengerjakan amalan

umrah (thawaf, sa’i, dan mencukur rambut; bukan tahalul dengan melempar jumrah

dan bermalam (mabit) di Mina. Alasanya, karena melempar jumrah dan mabit adalah

perkerjaan yang mengikuti wukuf (tabi’), sedangkan wukufnya (matbu’) telah gugur.

Seandainya ada penyakit atau luka di muka umpamanya, maka seseorang boleh tidak

membasuh muka ketika berwudhu. Oleh karena itu ia juga tidak disunnatkan lagi

membasuh bagian muka lainya yang tidak terkena penyakit atau luka. Sebab, membasuh

Qawaidh Fiqhiyyah | 13
muka (matbu’) telah gugur, sehingga membasuh bagian bagian yang berkaitan dengan

muka itu (tabi’) juga gugur. Kendatipun demikian, dikecualikan pada kasus lengan yang

putus sampai sebatas siku. Dalam hal ini, membasuh bagian atas siku masih tersisa tetap

disunnatkan demikian juga orang yang sedang ihram, yang kepalanya botak tidak

berambut sama sekali, masih disunatkan mencukur rambut secara simbolis dengan

menggerakkan pisau cukur di atas.15

5. Kaidah Kelima

“Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”

Berdasarkan kaidah ini, sesuatu yang diikuti lebih dahulu dari yang mengikut. Hal

ini logis, karena mustahil yang mengikut lebih dahulu dari yang diikuti. Penerapan kaidah

ini dapat diamati dalam kasus sholat berjamaah. Dalam hal ini, makmum tidak boleh

mendahului imam dalam pelaksanaan sholat berjamaah tersebut mulai dari awal ketika

takbiratul ihram hingga akhirnya mengucapkan salam.

a. Contoh Kaidah

1) Bahwa seorang makmum tidak dibenarkan mendahului imam, baik tempat

berdirinya, takbiratul ihram, atau salamnya, termasuk semua gerakan gerakan shalat

lainya.

2) Ketika shalat berjamaah yang shaf-nya banyak sekali, biasanya memerlukan seorang

makmum sebagai penyambung (muballigh) antara imam dengan makmum di shaf-

15
Duski Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqhiyah) (Palembang: CV Amanah, 2019),
108.

Qawaidh Fiqhiyyah | 14
shaf bagian belakang. Maka makmum lain tidak boleh mendahului takbiratul

ihramnya makmum yang bertugas sebagai penyambung atau muballigh tersebut.16

6. Kaidah Keenam

“Pengikut hukumnya tidak tersendiri”

Ungkapan yang terdapat dalam kaidah fiqh ini cukup rasional mengingat yang

mengikuti tentu mesti sejalan dengan yang diikuti. Atas dasar ini, hukum yang ada pada

yang diikuti tentu berlaku pula pada yang mengikuti. Dengan kata lain, jika ada sesuatu

yang berstatus sebagai tabi’, ia tidak dapat memiliki hukum tersendiri; ia harus selalu

mengikuti matbu’-nya. Contohnya seperti buah-buahan yang mengandung ulat, yang

notabene timbul dari dalam buah itu. Jika seseorang memakan buah sekaligus ulatnya,

maka tidak akan ada masalah (boleh). Karena memakan buahnya (matbu’-nya) hukumnya

boleh. Sehingga memakan ulatnya pun juga diperbolehnya, karena ulat itu hanya tabi’.17

Penerapan kaidah ini dapat diamati dalam masalah jual beli. Apabila terjadi jual beli

binatang yang sedang bunting, maka anak yang ada dalam perut binatang itu termasuk

dalam transaksi jual beli tersebut. Begitu pula menyembelih hewan yang sedang bunting.

Setelah dikeluarkan ternyata anak yang terdapat dalam kandungan hewan itu mati, maka

ia sudah termasuk dalam penyembelihan induknya. Hal yang sama berlaku pula untuk

jual beli tanah. Tanaman apapun yang terdapat pada tanah termasuk dalam transaksi jual

16
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 106.
17
Muhammad ibn ‘Umar Sadr al-Din ibn Wakil, al-Ashbah wa al-Nazair, ed. Dr. Adil Ibn Abd. Allah al-
Thuwayk (Saudi Arabia: al-Rushd, 1997), 426.

Qawaidh Fiqhiyyah | 15
beli itu meskipun tidak disebutkan secara nyata dalam transaksi, kecuali apabila dibuat

transaksi tersendiri untuk hal tersebut.

7. Kaidah Ketujuh

“Dapat dimaafkan dalam hal-hal yang mengikuti, tidak dimaafkan pada yang lainnya”.

Kaidah ini sejalan dengan kaidah:

“Dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak dimaafkan bagi yang memulai”

Substansi kaidah ini adalah bahwa toleransi hukum yang diberikan pada tabi’ tidak

dapat diberlakukan pada matbu’. Contohnya seperti masalah serambi masjid. Sebagai

tabi’ dari masjid, serambi masjid diperbolehkan untuk di diami oleh orang yang sedang

dalam keadaan junub. Padahal apabila orang yang dalam keadaan junub tersebut berdiam

diri di dalam masjid jelas tidak diperbolehkan (haram). Namun karena ia hanya berdiam

diri di tabi’ masjid, maka masih diperbolehkan dan diberi toleransi. Sub kaidah cabang

ini ternyata juga menelorkan subk aidah yang memiliki esensi sama, namun dengan

ungkapan yang sedikit berbeda. Sub kaidah tersebut antara lain berbunyi:

“Sesuatu yang tidak ditolerir bila dilakukan secara sengaja, dapat ditoleransi secara

“tersimpan” (implikatif)”. Dengan kata lain, ada beberapa pekerjaan yang apabila

sengaja dilakukan, maka ia tidakakan ditolerir. Namun jika terjadi tanpa kesengajaan,

atau hanya ‘kandungan’ (implikasi) dari pekerjaan lain, maka ia diperbolehkan dan

Qawaidh Fiqhiyyah | 16
ditolerir.18 Contohnya, apabila seseorang mewakafkan barang untuk dirinya, maka hukum

wakafnya tidak sah. Sebab, merupakan suatu hal yang tidak berguna mewakafkan barang

milik sendiri dan untuk diri sendiri.

“Sesuatu yang dapat ditolerir pada tahap lanjutan, terkadang tidak dapat ditolerir tahap

permulaan.” Dalam kaidah ini dinyatakan ada beberapa hal yang bila terjadi pada

permulaan suatu pekerjaan ia tidak dapat ditolerir, namun jika terjadi pada tahapan

selanjutnya, maka ia mendapat toleransi. Contohnya, seseorang yang melakukan ihram

(muhrim) tidak diperbolehkan melakukan akad nikah (tidak sah). Namun jika yang

dilakukan bukan prosesi pernikahan, melainkan hanya sekedar ruju’, maka dihukumi sah.

Sebab ruju’ adalah usaha melanjutkan pernikahan. Artinya, ia hanya mengikat kembali

tali pernikahan yang sebelumnya sempat terputus akibat perceraian. Selain itu arti ruju’

bukanlah “memulai” pernikahan baru, melainkan sebagai perantara kembalinya ikatan

pernikahan itu. Akad nikahlah yang merupakan permulaan dari segala proses yang akan

terjadi sesudahnya, baik berupa talak, khulu’, ataupun, ruju’. Karena itu, akad nikah tidak

sah dilakukan oleh seorang muhrim, sedangkan ruju’ dihukumi sah.

8. Kaidah Kedelapan

“Rela dengan sesuatu berarti rela dengan akibat yang ditimbulkannya.”19

Kaidah fiqh ini mengandung pengertian yang sama dengan kaidah fiqh di bawah ini:

18
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah (Surabaya: Revka Prima Media, 2020), 79.
Jala al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Asbah wa al-Nazha’ir, Cet. ke-2 (Beirut: Mu’assasah al-
19

Kutub al-Tsaqafiyah, 1996), 97.

Qawaidh Fiqhiyyah | 17
“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan (diterima) tidak ada pengaruh baginya.”

Kata kunci dalam kaidah fikih yang menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah

kata “ridha” yang perlu dipahami agar lebih mengerti makna dari kaidah fikih yang

dimaksud. Ridha berasal dari bahasa Arab radiya yang artinya senang hati (rela). Ridha

dapat diartikan menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah Swt. baik

berupa hukum (peraturan-peraturan) maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-

Nya.

Dari kaidah di atas, dapat dipahami bahwa manakala seseorang telah ridha atau rela

akan sesuatu atau telah menerima atau mengizinkan sesuatu, maka segala akibat dari apa

yang direlakannya itu haruslah ia terima. Kerelaan terhadap sesuatu menuntut pula untuk

rela menerima segala rentetan persoalan yang muncul dari sesuatu yang telah diterima

itu. Dengan kata lain, rela menerima segala bentuk akibat dan resiko sebagai konsekwensi

penerimaan terhadap sesuatu. Contoh dalam lingkup kaidah ini, ketika seseorang sengaja

membeli barang yang jelas ada cacatnya dengan maksud agar harganya lebih murah, ia

harus bersedia menerima dengan rela segala bentuk keadaan cacat yang terkait dengan

barang itu, termasuk apabila cacat barang semakin bertambah besar.

Kemudian contoh lainnya adalah dalam kasus perkawinan, yakni ketika seorang

wanita rela dikawinkan dengan seorang laki-laki miskin, lalu ternyata selama perkawinan

dengannya semakin bertambah kemiskinan laki-laki itu sehingga membuat kondisi

ekonomi rumah tangganya semakin sulit, lalu kondisi demikian dijadikan alasan oleh

wanita itu untuk meminta fasakh nikahnya. Permintaan wanita ini tidak dapat dikabulkan

Qawaidh Fiqhiyyah | 18
karena kemiskinan laki-laki itu yang semakin parah muncul dari kemiskinan yang dahulu

sudah direlakannya.20

Ketentuan kaidah ini berlaku pula pada hal yang menyangkut perbuatan maksiat di

lingkungan masyarakat. Atas dasar hal tersebut, orang yang membolehkan adanya dan

atau menyediakan sarana kemaksiatan di sekitar wilayahnya, sama dengan membolehkan

adanya perbuatan maksiat di sekitar tempat tersebut. Dalam kaitan dengan kaidah ini, ada

beberapa pengecualian yang dibolehkan dari ketentuan itu. Apabila sejak semula sudah

disyaratkan terhindar dari akibat, seperti pukulan guru terhadap muridnya, suami terhadap

istrinya atau wali terhadap orang yang berada di bawah perwaliannya, maka tidak berlaku

ketentuan kaidah fiqh di atas.

9. Kaidah Kesembilan

“Perkataan tidak bisa disandarkan pada yang diam, tapi sikap diam pada hal yang

membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan.”

Kaidah ini menjelaskan bahwa diamnya seseorang tidak dapat dijadikan acuan

sebagai keputusan dari jawabannya, kecuali terdapat qarinah, tanda-tanda, atau alasan

lain yang menguatkannya. Apabila terdapat tiga hal tersebut, maka diamnya seseorang

dapat dijadikan keputusan atau keterangan atas jawabannya. Sebagai contoh, terdapat

seorang tergugat dan ia ditanya oleh hakim, lalu ia diam saja tidak berkutik. Maka untuk

mendapatkan jawaban atau keputusan diperlukan adanya bukti-bukti lain sebagai penguat

20
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 128.

Qawaidh Fiqhiyyah | 19
atas gugatan sang penggugat. Dalam kasus lain, apabila seorang pemuda meminta izin

kepada wali seorang perempuan, lalu sang wali bertanya apakah si perempuan ini bersedia

untuk dinikahkan dengan pemuda tersebut, lalu si perempuan diam saja tidak memberikan

keputusan maka dapat dikatakan bahwa itu adalah keterangan atas jawaban bahwa

dirinya bersedia untuk dinikahi.

10. Kaidah Kesepuluh

“Sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula"

Dalam bentuk lain dengan maksud yang sama, para ulama mengungkapkan kaidah

fiqh yang berbunyi:

“Sesuatu yang wajib tidak ditinggalkan karena sesuatu yang sunat.”

Dalam kajian ushul fiqh, wajib ialah suatu perbuatan yang dituntut Syari’ (Allah dan atau

Rasul-Nya) agar dilaksanakan mukallaf dengan tuntutan yang pasti lagi tegas. Misalnya,

perintah membayar zakat harta. Orang yang melakukan perbuatan yang diwajibkan

mendapat pahala dari Allah dan bila ditinggalkan berakibat dosa.

Menurut jumhur ulama, wajib sinonim dengan istilah fardhu dalam semua masalah,

kecuali dalam haji. Dalam haji, wajib berbeda dengan fardhu. Fardhu dalam haji sama

dengan rukun, apabila tertinggal salah satu dari rukun berimplikasi tidak sah atau batal

ibadah haji tersebut, seperti tertinggal wukuf di Arafah. Sementara, apabila tertinggal

Qawaidh Fiqhiyyah | 20
salah satu dari wajib haji tidak menyebabkan haji batal, hanya diwajibkan membayar

(dam).21

Bagi ulama Hanafiyyah, istilah wajib tidak identik dengan fardhu. Wajib adalah

suatu tuntutan yang mengikat mukallaf, tetapi ditetapkan berdasarkan dalil-dalil zanni

(relatif). Orang yang tidak melaksanakan yang wajib dikenai siksa oleh Allah dan orang

yang mengingkarinya tidak dianggap kafir. Misalnya, kewajiban zakat fitrah,

melaksanakan kurban, dan perintah membaca al-Fatihah dalam sholat. Sementara fardhu

menurut kalangan Hanafiyyah adalah suatu perbuatan yang dituntut Syari’ dilakukan

mukallaf dengan didasarkan pada dalil-dalil qath’i. Orang yang tidak melaksanakan

kewajiban ini dikenai siksa dan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Misalnya,

kewajiban sholat fardhu, zakat harta dan membaca al-Qur’an dalam sholat.

Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa yang termasuk kategori wajib

merupakan suatu perbuatan yang penting untuk dilakukan muslim sehingga orang yang

meninggalkannya menjadi berdosa. Mengingat ia penting, maka keberadaannya tidak

dapat dikalahkan oleh ketentuan yang sunat atau ketentuan yang berada di bawahnya.

Sesuatu yang wajib dapat ditinggalkan apabila ada sesuatu yang wajib menghendakinya

untuk ditinggalkan. Penerapan kaidah fiqh ini dapat diamati dari beberapa contoh

berikut:22

a. Wajib bagi orang yang terpaksa memakan bangkai, kalau hal itu tidak dilakukan

haram hukumnya karena untuk menyelematkan dirinya.

21
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 133.
22
Firdaus, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh (Padang: Imam
Bonjol Press, 2015), 133.

Qawaidh Fiqhiyyah | 21
b. Kembali dari berdiri pada rakaat ketiga untuk duduk tasyahud awal adalah wajib

karena mengikuti imam, sebab mengikuti imam hukumnya wajib. Ini sesuai dengan

ketentuan bahwa, baik imam maupun makmum tidak boleh meninggalkan yang

wajib karena yang sunat.

Ada sejumlah persoalan yang dikecualikan dari kaidah fiqh di atas, yaitu:23

a. Sujud sahwi dan tilawah hukumnya tidak wajib, tetapi jika tidak disyariatkan tentu

tidak boleh dikerjakan.

b. Melihat calon wanita yang akan dinikahi memang tidak wajib hukumnya, tetapi jika

tidak disyariatkan dalam Islam tentu tidak boleh dilakukan.

c. Mengangkat kedua tangan sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali

pada rakaat kedua pada sholat id ketika takbir memang tidak wajib hukumnya,

apabila tidak disyariatkan tentu perbuatan tersebut dapat membatalkan sholat id.

d. Membunuh ular yang membahayakan ketika sholat tidak wajib, tetapi bila tidak

disyariatkan pasti membatalkan ibadah sholat itu.

Inilah beberapa pengecualian dari ketentuan kaidah fiqh di atas, dimana dalam

beberapa kasus ini tidak diterapkan kaidah fiqh tersebut.

23
Darmawan, Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah (Surabaya: Revka Prima Media, 2020), 107.

Qawaidh Fiqhiyyah | 22
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Qawaid al-fiqhiyyah al-ammah juga dikenal sebagai qawaid fiqhiyyah ghairu

asasiyyah berarti kaidah-kaidah fiqih yang bukan kaidah pokok (asasiyyah) yang sudah

diuraikan sebelumnya. Ruang lingkup dan cakupan kaidah-kaidah umum itu luas, berlaku

dalam berbagai cabang hukum fiqih. Diantaranya dalam muamalah, peradilan, jinayah

dan hukum keluarga. Kaidah fikih umum memiliki pengertian kaidah-kaidah umum yang

menjelaskan mengenai problematika fikih dibawah cakupan bahasan kaidah asasiyah.

Para ulama sering menyebut kaidah ini dengan kaidah makro, kaidah fiqhiyyah al-amm

atau kaidah fiqhiyyah al-kulliyah Kaidah fikih al ammah ini termasuk ke dalam klasifikasi

pembahasan cabang fikih.

Qawaidh Fiqhiyyah | 23
DAFTAR PUSTAKA

Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad. Al-Mustashfa fi Ushul al-Fiqh.
Beirut: Dar al-Fikr, 1322 H.
Al-Suyuthi, Jala al-Din ‘Abd al-Rahman. al-Asbah wa al-Nazha’ir, Cet. ke-2. Beirut:
Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyah, 1996.
Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqiyah Muamalah. Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2015.
Darmawan. Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah. Surabaya: Revka Prima Media, 2020.
Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta:Prenada Group, 2006.
Firdaus. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah; Membahas Kaidah-Kaidah Pokok dan Populer Fiqh.
Padang: Imam Bonjol Press, 2015.
Ibrahim, Duski. ‘Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah’ (Kaidah-Kaidah Fikih). Palembang: CV
Amanah, 2019.
Toha, Andiko. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah. Yogyakarta: Teras, 2001.
Wakil, Muhammad ibn ‘Umar Sadr al-Din ibn. al-Ashbah wa al-Nazair, ed. Dr. Adil Ibn
Abd. Allah al-Thuwayk. Saudi Arabia: al-Rushd, 1997.
Zarqa’, Musthafâ Ahmad. al-Madkhal al-Fiqhi al-Aam, Jilid 2. Damaskus: Dar al-Fikr,
1968.

Qawaidh Fiqhiyyah | 24

Anda mungkin juga menyukai