Anda di halaman 1dari 18

i

KELOMPOK 1
“PENGETAHUAN CAKUPAN METHODOLOGY
MASAILIL FIQHIYAH ”
MAKALAH INI DISUSUN DAN DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

“Etika profesi Perguruan”

DOSEN PENGAMPU
“KH. M. Jamil, SQ.,M.Ag..”

Di Susun Oleh:

Muhammad Ikhsan 050121.00027


Annisa Basri 050120.00046

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-AMIN
2023

3
ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang


telah memberikan nikmat dan rahmat kepada kita semua, sehingga kita
mampu menyelesaikan tugas pembuatan makalah Etika profesi Perguruan
ini, sesuai dengan waktu yang telah di tentukan.
Kami juga menyampaikan banyak terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah membantu dalam penggarapan makalah ini, terutama kepada
dosen pengampu kami bapak Syarifuddin, S.Pd.I, M.Pd . Sehingga kami
mampu melaksanakan tugas mata kuliah ini.
Kami juga memohonkan maaf kepada semuanya apabila dalam
makalah yang kami buat ini, karena masih terdapat banyak sekali
kekurangan-kekurangan, terlebih lagi mengenai referensi. Untuk itu kami
kelompok satu sangat menunggu kritik maupun saran dari semua pembaca
agar kedepannya kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi.

Tangerang Selatan, Maret 2023

Penulis

3
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................1

A. Latar Belakang ...............................................................................1


B. Rumusan Masalah ..........................................................................1
C. Tujuan Masalah ..............................................................................1

BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................7

A. Konsep Etika...................................................................................7
B. Hubungan antara etika, akhlak, dan moral.....................................10
C. Konsep Etika Profesi......................................................................11
D. Makhsud dan Tujuan kode etik profesi guru.................................13
E. Penetapan Kode Etik Guru.............................................................13
F. Sanksi Pelanggaran Kode Etik Guru..............................................14
G. Kode Etik Profesi Guru Indonesia.................................................15
H. Fungsi Kode Etik Profesi Guru......................................................16
I. Alasan Pentingnya Kode Etik Bagi Guru......................................19
J. Kandungan Makna Kode Etik Profesi Guru..................................19
K. Upaya Mewujudkan Kode Etik Guru.............................................21

BAB 3 PENUTUP ....................................................................................23

A. Kesimpulan ...................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................25

3
iv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat,
baik yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, pangan,
kesehatan, dan sebagainya seringkali meminta jawaban kepastiannya dari
sudut hukum.
Dalam keadaan yang dimikian, maka berkembanglah salah satu
disiplin ilmu yang dinamakan ilmu Masail Al-fiqhiyah.
Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu ini biasanya amat
menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal demikian yang terjadi,
karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah pula
bermunculan berbagai jawaban yang disebabkan karena latar belakang
pendekatan dan sistem pemecahan yang digunakan berbeda-beda.
Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam dalam
menghadapi suatu persoalan langsung menanyakan pada Rosulullah dan
Rosulullah lah yang langsung memberikan jawaban. Sehingga tidak ada
masalah yang terlalu rumit untuk tidak dapat diselesaikan, karena segala
sesuatu yang datang dari rosullah adalah wahyu yang haqq dari Allah,
sehingga tidak dapat diragukan lagi kebenarannyaNamun, semuanya
berubah setelah Rosulullah meninggal dunia dan mengakibatkan
terputusnya wahyu, sehingga para sahabat dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang memerlukan penjelasan hukumnya
Studi yang menyangkut berbagai masalah Fiqhiyah tersebut
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat

3
v

dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak hal
yang dulu tidak ada kini bermunculan yang selanjutnya menuntut
jawaban dari segi hukum.
Karena dimikian dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan
umat islam, menyebabkan bidang kajian masalah ini sudah akrab dengan
masyarakat. Dibandingkan dengan bidang studi lainnya seperti Tafsir,
Hadits, Ilmu Kalam, dan sebagainya. Fiqihlah yang paling banyak
dikenal dan amat popular di masyarakat Indonesia.
Ajaran agama Islam sangat sesuai dengan perkembangan zaman.
Untuk itu perlu adanya upaya untuk mengaktualisasikan ajaran agama
Islam dalam konteks kekinian dan kemodernan, agar nilai-nilai Islam
secara efektif, yang sejalan dengan perkembangan dan kemajuan dunia
modern. Elastisitas dan fleksibilitas hukum islam yang sering
didengungkan makin dituntut pembuktiannya. Oleh karena itu, kajian
fiqih Islam mengenai berbagai persoalan (masail fiqhiyyah) yang
dihadapi oleh masyarakat modern merupakan kajian yang menarik dan
aktual.
Dengan masalah yang sebagaimana dialami oleh masyarakat itulah
peran Masail Fiqhiyah untuk menjawab dari permasalahan tersebut.
Maka dari itu perlu diketahui sebelumnya tentang arti dari Masail
Fiqhiyah itu sendiri, ruang lingkup yang dikaji dan tujuan dari adanya
disiplin ilmu Masail Fiqiyah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian maailul fiqiyah
2. Bagaimana ruang lingkup maailul fiqiyah
3. Bagaimana tujuan maailul fiqiyah

3
vi

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian masailul fiqhiyah.
2. Untuk Mengetahui ruang lingkup masailul fiqhiyah
3. Unuk mengetahui tujuan masailul fiqhiyah.

3
vii

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Masailul Fiqhiyah


Kata Masail Fiqhiyah (‫ )المسا ئل الفقهية‬secara etimologi berasal
dari bahasa dari bahasa Arab yang merupakan rangkaian dari dua
lafazh, yakni masail dan fiqhiyah. Hubungan dari kedua lafazh ini
dalam nahwu disebut hubungan shifah dan maushuf, atau na’at
dengan man’ut. Lafazh masail (‫ )مسلئل‬adalah bentuk dari jama’ taksir
dari mas’alah (‫ئلة‬OO‫ )مس‬yang bermakna masalah atau problem. Kata
dasarnya adalah sa’ala (‫)سئل‬dan bermakna “bertanya”. Masail adalah
masalah-masalah baru yang muncul akibat pertanyaan-pertanyaan
untuk dicari jawabannya.
Masail fiqhiyah menurut pengertian bahasa adalah
permasalahan-permasalahan baru yang bertalian dengan masalah-
masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan dicari jawabannya.
Berdasarkan definisi secara kebahasaan di atas, maka secara istilah,
masail fiqhiyah adalah problem-problem hukum islam baru al-
waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat jawaban
hukumnya karena secara eksplisit permasalah tersebut tidak tertuang
di dalam sumber-sumber hukum Islam. Ia juga berarti persoalan
hukum Islam yang selalu dihadapi oleh umat Islam sehingga mereka
beraktivitas dalam sehari-hari selalu bersikap dan berperilaku sesuai
dengan tuntunan Islam.
Jadi masail fiqhiyah merupakan masalah-masalah baru yang
muncul setelah turunnya Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya

3
viii

Rasulullah Saw yang belum ada ketentuan hukum secara pasti,


sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan kesepakatan para
ulama dalam menentukan hukum yang diambil dari Al-quran, Hadits,
Ijma’, qiyas.
Masail fiqhiyyah disebut juga masail fiqhiyyah al-haditsah
(persoalan hukum Islam yang baru), atau masail fiqhiyyah al-
ashriyyah (persoalan hukum Islam kontemporer).
B. Ruang Lingkup Masailul Fiqhiyah

Hukum Islam terkandung didalamnya sasaran pasti yaitu


mewujudkan kemaslahatan. Tidak ada hal yang sia-sia di dalam syari’at
melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah kecuali terdapat kemaslahatan hakiki di
dalamnya.

Ruang lingkup pembahasan Masail fiqhiyah meliputi :

1. Hubungan manusia dengan allah SWT


Ilmu fiqih mengatur tentang ibadah yaitu ibadah
mahdzah dan ghairu mahdzah. Ibadah mahdzah adalah ajaran
agama yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang
murni mencerminkan hubungan manusia itu dengan sang
pencipta yaitu Allah SWT. Sedangkan ibadah ghairu mahdzah
adalah ajaran agama yang mengatur perbuatan antar manusia
itu sendiri serta manusia dengan lingkungan.
Contoh masail fiqhiyyah yang berhubungan dengan
ibadah yaitu hukum fiqh menyikapi shalat jum’at lebih dari
satu tempat (ta’adud al jum’at). Pada zaman sekarang dalam
pelaksanaan shalat jum’at sering memunculkan beberapa
fenomena menarik. Semisal aturan lokasi pelaksanaan shalat
jum’at yang menurut sebagian kalangan harus terpusat di satu

3
ix

tempat. Hal ini terkadang menimbulkan masalah disaat


keadaan menuntut sebagian masyarakat membuat lokasi
alternatif. Mungkin anggapan mereka hal itulah yang terbaik
dengan alasan kondisi pemukiman, kapasitas tempat
peribadatan dan interaksi sosial di tengah-tengah mereka
adalah faktor-faktor potensial pemicu kejadian semacam itu.
Menyikapi perkembangan di atas, statement mayoritas ulama
secara tegas menghukumi wajib melakukan shalat jum’at di
satu tempat dalam sebuah balad atau qaryah. Al-Syafi’i dalam
hal ini berpendapat bahwa shalat jum’at jelas tidak
diperkenankan lebih dari satu tempat, baik ada hajat atau
tidak. Namun istinbath (penggalian) dari ulama syafi’iyyah
dalam permasalahan ini akhirnya memperbolehkan dengan
batas hajat tertentu.
Faktor pemicu terjadinya ta’adud al-jum’at di atas
sangat luas pemahamannya apabila kita dalami satu persatu.
Hanya saja syari’at mempermudah kita dengan memberikan
sebuah standar yang lebih fokus dengan mengembalikan
kepada batasan “urfi (tradisi mayoritas masyarakat) yang
ditopang rasionalisasi tinggi, yaitu semua faktor yang sudah
sampai pada tingkat kesulitan yang diluar batas kemampuan.
Artinya semisal konflik masyarakat dalam satu daerah sudah
sampai menyebabkan antar pihak sulit berkumpul hingga
pada taraf hampir mustahil atau semisal kapasitas tempat
shalat yang terbatas dan tidak memungkinkan menampung
seluruh masyarakat di daerah tersebut, disitulah ta’adud al-
jum’at diperbolehkan.
2. Hubungan manusia dengan manusia

3
x

Sebagai contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan


manusia dengan sesama manusia yaitu mendonorkan organ
tubuh. Pendapat pertama mengatakan bahwa transplantasi
seperti hukumnya haram. Meskipun pendonoran tersebut
untuk keperluan medis bahkan sekalipun telah sampai dalam
kondisi darurat.
Dalil pendapat yang pertama yang Artinya adalah : Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Kelompok kedua berpendapat bahwa transplantasi hukumnya
jaiz (boleh) namun memiliki syarat-syarat tertentu,
diantaranya adalah : adanya kerelaan dari si pendonor, kondisi
si pendonor harus sudah baligh dan berakal, organ yang
didonorkan bukanlah organ vital yang menentukan
kelangsungan hidup seperti jantung dan paru-paru serta
merupakan jalan terakhir yang memungkinkan untuk
mengobati orang yang menderita penyakit tersebut.
Dalil pendapat kedua yang artinya adalah : Mengapa kamu
tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal
Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa
kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari
manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain)
dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya

3
xi

Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang


melampaui batas.
Dari fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa
dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka
pengambilan organ tubuh orang yang sudah meninggal untuk
kepentingan orang yang masih hidup dapat dibenarkan oleh
hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan
dan izin dari keluarga atau ahli waris.
3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
Contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendiri yaitu tentang hukum
rebonding. Rebonding adalah meluruskan rambut agar rambut
jatuh lebih lurus dan lebih indah. Prosesnya dua tahap.
Pertama, rambut diberi krim tahap pertama untuk membuka
ikatan protein rambut. Kemudian rambut dicatok, yaitu diberi
perlakuan seperti disetrika dengan alat pelurus rambut
bersuhu tinggi. Kedua, rambut diberi krim tahap kedua untuk
mempertahankan pelurusan rambut.
Proses rebonding melibatkan proses kimiawi yang
mengubah struktur protein dalam rambut. Proses rebonding
menghasilkan perubahan permanen pada rambut yang terkena
aplikasi. Namun rambut baru yang tumbuh dari akar rambut
akan tetap mempunyai bentuk rambut yang asli. Jadi,
rebonding bukan pelurusan rambut biasa yang hanya
menggunakan perlakuan fisik, tapi juga menggunakan
perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein dalam
rambut secara permanen. Inilah fakta (manath) rebonding.

3
xii

Rebonding hukumnya haram, karena termasuk dalam proses


mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) yang telah
diharamkan oleh nash-nash syara’. Dalil keharamannya
adalah keumuman firman Allah.

Artinya : “Dan aku (syaithan) akan menyuruh mereka


(mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar
mengubahnya”. (QS An-Nisaa` [4] : 119).
Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah,
karena syaitan tidak menyuruh manusia kecuali kepada
perbuatan dosa. Mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah)
didefinisikan sebagai proses mengubah sifat sesuatu sehingga
seakan-akan ia menjadi sesuatu yang lain (tahawwul al-syai`
‘an shifatihi hatta yakuna ka`annahu syaiun akhar), atau dapat
berarti menghilangkan sesuatu itu sendiri (al-izalah).
Dari definisi tersebut, berarti rebonding termasuk dalam
mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah), karena
rebonding telah mengubah struktur protein dalam rambut
secara permanen sehingga mengubah sifat atau bentuk rambut
asli menjadi sifat atau bentuk rambut yang lain. Dengan
demikian hukum rebonding adalah haram.
Selain dalil di atas, keharaman rebonding juga
didasarkan pada dalil Qiyas. Dalam hadis Nabi SAW,
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, dia berkata,“Allah
melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, yang
mencabut bulu alis dan yang minta dicabutkan bulu alisnya,
serta wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan,
mereka telah mengubah ciptaan Allah.” (HR Bukhari).

3
xiii

Sebagian ulama telah menyimpulkan adanya illat


dalam hadis tersebut, sehingga mereka mengambil
kesimpulan umum dengan jalan Qiyas, yaitu mengharamkan
segala perbuatan yang memenuhi dua unsur illat hukum, yaitu
mengubah ciptaan Allah dan mencari kecantikan. Abu Ja’far
Ath-Thabari berkata dalam hadis terdapat dalil “ bahwa
wanita tidak boleh mengubah sesuatu dari apa saja yang Allah
telah menciptakannya atas sifat pada sesuatu itu dengan
menambah atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik
untuk suami maupun untuk selain suami.” (Imam Syaukani,
Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41;
Tuhfarul Ahwadzi, 7/91).
Adapun meluruskan atau mengeriting rambut tanpa
perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein rambut
secara permanen, yakni hanya menggunakan perlakuan fisik,
seperti menggunakan rol plastik dan yang semisalnya,
hukumnya boleh. Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan
Allah, tapi termasuk tazayyun (berhias) yang dibolehkan
bahkan dianjurkan syara’, dengan syarat tidak boleh
ditampakkan kepada yang bukan mahrom.
4. Hubungan manusian denagan alam sekitar
Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian
lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom).
Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan
lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak
terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam
menjadi limbung. Ini tentunya sangat mengkhawatirkan.
Alam akam menjadi amcaman yang serius. Fiqh Islam pun

3
xiv

tumpul. Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang


mengantarkan norma Islam kepada perilaku umat yang sadar
lingkungan. Sampai saat ini, belum ada fiqh yang secara
komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan
lingkungan. Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam
mazhab hanya berbicara persoalan ibadah, mu’amalah,
jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara,
persoalan lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat yang
proporsional dalam khazanah islam klasik. Karena itulah,
merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi
sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu,
sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku
ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan
tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.
[4]
Di kalangan NU masail fiqhiyyah dibahas dalam forum
khusus yang disebut Bahtsul Masail. Bahtsul masail atau
lembaga bahtsul masail diniyah (lembaga masalah-masalah
keagamaan) di lingkungan NU adalah sebuah lembaga yang
memberikan fatwa-fatwa hukum keagamaan kepada umat
Islam.[5]
Rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar dalam
penetapan hukum adalah :
1.Tidak boleh merusak akidah
2.Tidak boleh mengurangi/menghilangkan martabat manusia
3.Tidak boleh mendahulukan kepentingan peroangan atas
kepentingan umum

3
xv

4.Tidak boleh mengutamakan hal-hal yang masih samar-


samar kemanfaatanyya atas hal-hal yang sudah nyata
kemanfaatannya
5.Tidak boleh melanggar ketentuan dasar akhlaq al-karimah
(moralitas manusia).[6]

C. Tujuan Masailul Fiqhiyah


Masa'il fiqhiyah termasuk menghubungkan seuatu hukum dengan
hukum lainya yang belum ada nashnya dan didasari atas kumpulan hasil
pemahaman para mujtahid terhadap Al-qur'an dan hadits.
Dengan lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer,
baik yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi
munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan
giat mentelaah berbagai metodologi penyelesaian masalah mulai dari
metode ulama klasik sampai metode ulama kontemporer.
Dari penjelasan di atas maka tujuan dari Masa'il fiqhiyah secara
umum adalah untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan-
permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat di kehidupan modern
yang sering kali jadi pertanyaan-pertanyaan sehingga membutuhkan
jawaban-jawaban logis tentang kepastian hukum. Sedangkan tujuan
khususnya mempelajari Masail Fiqhiyah bagi kita calon-calon pendidik
adalah agar nantinya ketika mengajar kita sudah siap dan dapat
menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan serta
pertanyaan-pertanyaaan yang mungkin muncul dari peserta didik.
Tujuan lain dari adanya masail fiqhiyah adalah :
1. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Masail Fiqiyah termasuk bidang studi
yang paling banyak mengandung perdebatan, nuansa dan sekaligus

3
xvi

keuntungan. Semua itu akan menjadi hikmah dan rahmat, manakala


disikapi secara adil, obyektif, kritis dan dinamis.
2. Adanya ilmu Masail Fiqiyah ini menunjukkan kepedulian yang kuat
dan mendalam dari kalangan para ahli hukum islam untuk memberikan
jawaban terhadap berbagai masalah yang berkembang.
3. Berbagai jawaban yang mereka berikan itu dapat digunakan sebagai
bahan perbandingan dan menambah memperkaya khazanah inteletual.[7]
4. Ilmu Masail Fiqiyah juga menunjukkan adanya kebebasan berfikir
secara tanggung jawab di kalangan umat islam dan sekaligus toleransi
dan kedewasaan sikap dalam menghadapi berbagai perbedaan pendapat.
[8]
5. Dengan keilmuan masail fiqhiyyah diharapkan mampu memahami
dengaan baik tentang problema-problema yang timbul dalam Fiqh Islam,
memberikan kemampuan untuk membahas dan memecahkan masalah-
masalah Fiqh yang actual dan memasyarakatkannya dengan pendekatan
yang luas, yang tidak hanya terfokus pada teks-teks fiqih klasik akan
tetapi juga pada pendekatan-pendekatan rasional.[9]

3
xvii

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Masail fiqhiyah merupakan masalah-masalah baru yang muncul
setelah turunnya Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya Rasulullah
Saw yang belum ada ketentuan hukum secara pasti, sehingga dalam
mencari jawabannya memerlukan kesepakatan para ulama dalam
menentukan hukum yang diambil dari Al-quran, Hadits, Ijma’, qiyas.
2. Ruang lingkup pembahasan masail fiqhiyah meliputi
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT
b. Hubungan manusia dengan manusia
c. Hubungan manusia dengan diri sendiri
d. Hubungan manusia dengan alam sekitar
3. Tujuan masail fiqhiyah
tujuan dari Masa'il fiqhiyah secara umum adalah untuk menjawab
dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang muncul
dalam masyarakat di kehidupan modern yang sering kali jadi
pertanyaan-pertanyaan sehingga membutuhkan jawaban-jawaban
logis tentang kepastian hukum. Sedangkan tujuan khususnya
mempelajari Masail Fiqhiyah bagi kita calon-calon pendidik adalah
agar nantinya ketika mengajar kita sudah siap dan dapat menjawab
dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan serta pertanyaan-
pertanyaaan yang mungkin muncul dari peserta didik.

3
xviii

DAFTAR PUSTAKA

Ash-shiddiq, Hasby, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Yogyakarta, 1974.

Kasdi, Abdurrohman, Masail Fiqhiyyah Kajian Fiqih atas Masalah-masalah


Kontemporer, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011.

Nata, Abuddin, Masail Al-fiqiyah, Preneda Media, Jakarta, 2003.

Rahmat, Imdadun, Kritik Nalar Fiqih NU : Transformasi Paradigma Bahtsul Masail,


Lakperdas, Jakarta, 2002.

Qomaruzzaman, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Tim


Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003.

Ardiansyah, velliez, 2012, http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail


fiqhiyyah.html, diakses pada tanggal 02 September 2015 pada pukul 19.22 WIB.

Anda mungkin juga menyukai