Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FILSAFAT

“FILSAFAT DI DUNIA ISLAM”

Disusun Oleh:

INDRYANTI SYAM 50900121074


REVI ALFIRAYANTI 50900121041

KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH & KOMUNIKASI


UNIVERSITAS NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anungrah dari-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Filsafat Didunia Islam”. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad
SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama
islam dan menjadi anugrah bagi seluruh alam semesta.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Siti Ariati Jihad, S.Sos., M.S.Sos. selaku
dosen Filsafat & Teori Dakwah yang telah memberikan tugas ini untuk memperdalam
ilmu dan wawasan kami. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini
agar kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini
masih terdapat banyak kekurangan.

20 September 2021

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... 1

KATA PENGANTAR........................................................................................ 2

DAFTAR ISI ..................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 4


B. RUMUSAN MASALAH ....................................................................... 5
C. TUJUAN ................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN

A. SUMBER RASIONALITAS ISLAM............................................................... 6


B. PASANG SURUT PEMIKIRAN FILSAFAT.................................................. 7
C. PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM JURISPRUDENSI ISLAM................... 11
D. TRANSPORMASI PEMIKIRAN FILSAFAT TERHADAP
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM.......................................................... 13

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ..................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu faktor yang men-dorong perkembangan pemikiran filsafat


dalam wacana hukum Islam adalah karena adanya perubahan sosial yang terjadi
di tengah masyarakat. Intensitas perubahan sosial tersebut seringkali
menimbulkan implikasi yang besar sehingga mempengaruhi berbagai konsepsi
dan lembaga-lembaga hukum. Karena itu, pendekatan filsafat terhadap hukum
Islam sangat dibutuhkan oleh karena hukum Islam dianggap sebagai hukum
abadi dan hukum yang dapat beradaptasi dalam konteks perubahan sosial dan
modernisme.

Itulah sebabnya para islamis seperti C.S. Hurgronje dan J. Schact dan
kebanyakan juris muslim yang hadis oriented (tradisional) tetap
mempertahankan bahwa dalam konsep hukum Islam, sifat perkembangan
metodologinya itu adalah abadi karenanya tidak bisa beradaptasi dengan
perubahan sosial. Berbeda dengan pandangan yang dikemukakan oleh ahli
keislaman seperti Linant de Bellefonds dan mayoritas reformis dan juris muslim
seperti Subhi Mahmassani yang ber-pendapat bahwa prinsip-prinsip hukum
sebagai salah satu pertimbangan maslahah demikian pula dengan fleksibilitas
hukum Islam dalam praktek dan penekanan pada ijtihad cukup menunjukkan
bahwa hukum slam bisa beradaptasi dengan perubahan sosial.

Perkembangan pemikiran hukum dalam Islam telah diinspirasi oleh


berbagai doktrinasi dari tujuanya yang pasti yaitu kemaslahatan manusia baik
di dunia maupun di akhirat, ia juga harus dipahami dan dimengerti sehingga
dapat dilaksanakan secara baik dan benar dan dalam konteks inilah hukum Islam
akan melindungi segenap manusia dari berbagai pengaruh hawa nafsu. Karena
itu, hukum Islam harus mampu menjawab segala persoalan hidup yang dihadapi
umat manusia, dan untuk itu pemikiran filosofis terhadap kandungan falsafah
syari’ah dan falsafah tasyri harus selalu ada dalam hukum Islam. Tulisan ini
hendak mendeskripsikan mengenai asal muasal filsafat dalam
jurisprudensiIslam, bagaimana hubungan filsafat Yunani dengan filsafat Islam
dan transpormasi pemikiran filosofis dalam filsafat hukum Islam. Tulisan ini
juga menguraikan pemikiran-pemikiran filosofis terhadap perkembangan sosial
hukum Islam.

4
B. RUMUSAN MASALAH

1. Sumber rasionalitas Islam


2. Pasang surut pemikiran Filsafat
3. Pemikiran Filsafat dalam Jurisprudensi Islam
4. Transpormasi Pemikiran Filsafat terhadap Perkembangan Hukum Islam

C. TUJUAN

1. Mengetahui Sumber rasionalitas Islam


2. Mengetahui Pasang surut pemikiran Filsafat
3. Mengetahui Pemikiran Filsafat dalam Jurisprudensi Islam
4. Mengetahui Transpormasi Pemikiran Filsafat terhadap Perkembangan
Hukum Islam

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. SUMBER RASIONALITAS ISLAM

Seperti dinyatakan oleh banyak peneliti, baik muslim maupun non-muslim,


pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari pihak luar melainkan dari kitab suci
mereka sendiri, dari al-Qur‘an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk
menyesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal
perkembangan Islam, ketika Rasul SAW masih hidup, semua persoalan bisa
diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan
kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah
Rasul SAW wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan
perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satusatunya adalah kembali kepada
ajaran teks suci, al-Qur‘an, lewat berbagai pemahaman.

Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut, minimal ada tiga
model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain,

a) penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau


menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini
diawasi secara ketat dan ter-batas, tapi pelaksanaannya jelas
membutuhkan pemikiran dan pere-nungan mendalam, karena ia
berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriah (z}âhir) teks.
b) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih
dari satu makna (musytarak) dengan istilah istilah yang hanya
mengandung satu arti. Di sini justru lebih mendekati model pemecahan
filosofis dibanding yang pertama.
c) Penggunaan qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada
penyelesaian-nya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah
larangan me-nimbun emas dan perak (QS. alTaubah: 34) itu hanya
berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu
berharga? Apakah kata ‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an (yang
secara bahasa Arab menunjuk makna laki-laki) juga mencakup wanita
dan budak?.

Bersamaan dengan itu, dalam persoalan-persoalan teologis, para sarjana Muslim


dituntut untuk menyelaraskan pandangan pandangan yang tampaknya kontradiktif dan
rumit, untuk selanjut-nya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang
utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemaha-kuasaan dan
kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan sifat Maha Tahu-Nya atas segala tindak
manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana
menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat ma-nusia) al-
Qur‘an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak
bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim
periode awal, khususnya para teolog untuk berpikir rasional dan filosofis. Kenyatannya,
metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah-masalah teologis tidak
berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan di antara keduanya, menurut
Leaman,12 hanya terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid

6
tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam
didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis,
pasti dan baku. Pemikiran dan filsafat Yunani baru masuk lewat program penerjemahan
setelah sistem penalaran rasional dalam Islam mapan, khususnya dalam teologi dan
yurisprudensi.

B. PASANG SURUT PEMIKIRAN FILSAFAT

Pemikiran filsafat Islam yang berkembang pasca penerjemahan atas buku-buku


Yunani, pertama kali, dikenalkan oleh al-Kindi. Dalam Kata Pengantar untuk buku
‘Filsafat Utama’ (al-Falsafah al-Ûla), yang dipersembahkan pada khalifah alMu`tashim
(833-842 M), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta
ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat. Meski demikian, karena
begitu dominannya kaum fukaha ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah
diterjemahkan, apa yang disampaikan al Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian,
al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam dan mewariskan
persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang:

a) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya,


b) Keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, dan
c) Pengetahuan Tuhan, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana
terjadinya.

Pemikiran rasional filsafat kemudian semakin berkembang. Sepeninggal al-


Kindi, lahir al-Razi (865-925), tokoh yang dikenal sebagai orang yang ekstrim dalam
teologi dan juga dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai
akal. Salah satu pikirannya yang dikenal adalah pandangannya tentang akal.
Menurutnya, semua pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia selama ia
menjadi manusia. Hakikat manusia adalah akal atau rasionya, dan akal adalah satu-
satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep
baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong,
dugaan belaka, dan kebohongan.

Akan tetapi, perkembangan pemikiran filsafat yang begitu pesat berkat


dukungan penuh dari para khalifah Bani Abbas (750-1258 M) ini, khususnya sejak al-
Makmun (811-833 M), kemudian mengalami sedikit hambatan pada masa khalifah al-
Mutawakil (847-861 M). Hambatan ini disebabkan oleh adanya penentangan dari
sebagian kalangan ulama salaf, seperti Imam Ibnu Hanbal (780-855 M) dan orang-
orang yang sepikiran dengannya. Mereka menunjuk-kan sikap yang tidak kenal
kompromi terhadap ilmu-ilmu filosofis.

Menurut George N. Atiyeh (1923-2008 M),24 seorang peneliti dari Universitas


America di Beirut, Libanon, penentangan kalangan salaf tersebut disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, adanya ke-khawatiran di sebagian kalangan ulama fiqh bahwa
ilmu-ilmu filo-sofis akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap
ajaran agamanya. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayo-ritas dari mereka yang
menerjemahkan filsafat Yunani atau mem-pelajarinya adalah orang-orang non Muslim,
penganut Machianisme, orang-orang Sabia, dan sarjana muslim penganut mazhab
Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala
kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk

7
melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya, maupun
paham-paham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari
pikiran-pikiran filosofis.

Kecurigaan dan penentangan kaum salaf terhadap ilmu-ilmu filsafat memang


bukan tanpa dasar. Kenyataannya, memang tidak sedikit tokoh Muslim yang belajar
filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah
satunya adalah Yahya ibn Ishaq al-Rawandi (827-911 M). Ia menolak konsep kenabian
setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat,
begitu pula tentang syariat-syariat yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai
oleh akal; akal dengan kemampuannya sendiri sebagai sesuatu yang dianugerahkan
Tuhan pada manusia telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan
jahat, dan seterusnya. Contoh lain adalah Ibnu Zakaria al-Razi (865-925 M), seorang
tokoh yang telah disebutkan di atas. Al-Razi juga menolak konsep kenabian dengan tiga
alasan;

1. Bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan
tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan
mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya
seorang nabi.
2. Tidak ada alasan untuk pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing
yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama,
hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, dan
3. Bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara
atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan di antara mereka.
yang mempunyai pandangan bahwa baik dan buruk harus didasarkan rasio.
Hanya saja, Muktazilah tidak seekstrim ini dalam penggunaan rasio, bahkan
mereka berusaha memadukan rasio dengan wahyu. Di samping kedua tokoh di
atas, Husein Nasr masih menyebut tokoh lain.

Usaha penentangan kaum salaf yang dipelopori Ibnu Hanbal (780-855 M) terhadap
ilmu-ilmu filosofis di atas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah
al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang
men-dukung kaum salaf menyebabkan kajian dan pemikiran filosofis mengalami
hambatan. Lebih dari itu, kalangan salaf yang saat itu dekat dengan khalifah dan
“berkuasa” melakukan revolusi: orang-orang Muktazilah dan ahli filsafat yang tidak
sepaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi (801-878 M) yang ahli
filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana karena
tidak sepaham dengan sang khalifah yang salaf.

Meski demikian, hambatan tersebut sesungguhnya hanya terjadi di lingkar pusat


kekuasaan, di Baghdad. Di luar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di
Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan
seorang filsuf besar, yakni Abu Nasr al-Farabi (870-950). Al Farabi, tokoh yang
mempunyai pengaruh besar pada pemikiran sesudahnya ini, baik dalam Islam sendiri
maupun di Barat Eropa, tidak hanya mengembangkan pemikiran-pemikiran metafisika
Islam melainkan juga memberikan landasan bagi pengembangan keilmuan pada
umumnya. Dalam bidang metafisika, antara lain, ia mengembangkan teori emanasi
yang menggabungkan antara teori Neo-platonis dengan tauhid Islam untuk menjelaskan
hubungan antara Tuhan Yang Maha Gaib dengan realitas yang empirik, Tuhan Yang

8
Maha Esa dengan realitas yang plural dan seterusnya; mempertemukan antara konsep
idealisme Plato (427-348 SM) dengan empirisme Aristoteles (384-322 SM), dan
mempertemukan antara agama dan filsafat. Dalam bidang keilmuan, al-Farabi lewat
karyanya yang terkenal, Ihsâ al-‘Ulûm, mengklasifikasi ilmu pengetahuan dalam 3
kelompok: filsafat, ilmu keagamaan dan ilmu bahasa. Yang termasuk filsafat adalah
metafisika, ilmuilmu matematis, ilmu kealaman, dan politik. Menurut Husein Nasr
(l. 1933 M), seorang pemikir muslim dari Universitas George Washington USA,
klasifikasi ilmu ini merupakan klasifikasi pertama yang dipakai secara luas oleh
masyarakat ilmiah sebagai ingkar kenabian, yakni Ahmad ibn Thayib al Syarkhasi
(833-899 M), salah seorang murid dari al-Kindi (801- 878 M) dan guru dari khalifah
al-Mu‘tadhid (892-902 M). Husain Nasr, dan paling berpengaruh dalam sejarah
peradaban Islam. Karena jasanya inilah, al-Farabi (870-950) digelari sebagai ‘guru
kedua’ (al-mu`allim al-tsâni) dalam tradisi filsafat Islam setelah Aristoteles (384-322
SM) sebagai ‘guru pertama’ (al-mu`allim al-awwal).

Menurut Ali Sami, seorang peneliti dari Mesir, prinsip-prinsip penalaran


filosofis yang dikembangkan al-Farabi (870-950 M) di atas, pada masa-masa
berikutnya, tidak hanya digunakan oleh kaum filsuf murni, tetapi juga oleh para
tokoh yang menolak pemikiran filsafat, seperti al-Ghazali (1058-1111 M). Prinsip
prinsip penalaran tersebut bahkan juga digunakan oleh para fukaha seperti al-Syafi‘i
(767-820 M).

Pemikiran filsafat kemudian semakin berkibar dalam per caturan pemikiran


Arab-Islam pada masa Ibnu Sina (980-1037 M). Ibnu Sina yang muncul setelah al-
Farabi mengembangkan lebih lanjut konsep emanasi al-Farabi, dengan cara
menggabungkan antara prinsip Neo-Platonisme Yunani, tauhid Islam, dan filsafat
Timur yang mistik dan simbolik sehingga melahirkan sistem pemikiran yang khas. Pada
saatnya kemudian pemikiran ini mendorong lahirnya konsep emanasi yang lebih
lengkap dan sempurna di tangan Suhrawardi al-Maqtul (1153- 1191 M) yang terkenal
dengan filsafat Isyrâqiyyah-nya. Ibnu Sina juga berusaha memadukan antara wahyu dan
filsafat, pada aspek makna dan fungsi. Menurutnya, setiap kewajiban yang
diperintahkan agama, seperti pelaksanaan shalat, puasa, zakat, dan seterusnya,
mempunyai kebaikan dan hikmah-hikmah tertentu yang mempercepat proses
terwujudnya cinta kasih (al- ‘isyq) pada keseluruhan tingkatan realitas, khususnya pada
diri manusia sendiri dan jiwa-jiwa tinggi. Sesungguhnya, sifat cinta kasih ini telah ada
pada semua tataran wujud, bahkan munculnya realitas adalah karena adanya sifat itu.
Pelaksanaan bentuk bentuk kebajikan dan kewajiban mempercepat dan memperkuat
ikatan cinta dalam alam wujud. Artinya, ajaran-ajaran wahyu tentang kewajiban dan
larangan dapat dipahami secara filosofis, sehingga tidak ada per-tentangan antara
wahyu dan filsafat.

Selain itu, Ibnu Sina (980-1037 M) juga berusaha menjelaskan dan


membuktikan konsep kenabian dengan menyatakan bahwa kenabian adalah sesuatu
yang “lumrah” yang dapat dipahami secara nalar. Menurutnya, kenabian adalah tingkat
tertinggi dalam fase manusia di mana ia menghimpun seluruh potensi kemanusiaan
dalam wujudnya yang paling sempurna. Baginya, syarat kenabian hanya 3 hal:
kecerdasan intelek, kesempurnaan daya imajinasi, dan kemampuan untuk
menundukkan hal-hal yang muncul dari luar dirinya agar bisa tunduk dan taat. Ketika
ketiga syarat ini terpenuhi, maka seseorang akan memperoleh kesadaran kenabian,
mendapat limpahan pengetahuan secara langsung tanpa butuh pengajaran dari orang

9
lain. Berdasarkan atas prestasi-prestasinya yang luar biasa dalam filsafat, Ibnu Sina
(980-1037 M) kemudian diberi gelar “Guru Utama” (al-Syaikh al-Raîs), di samping
gelarnya sebagai “Pangeran Para Dokter” (Amîr al-Atibbâ’) karena jasanya yang besar
dalam bidang kedokteran.

Akan tetapi, setelah Ibnu Sina (980-1037 M), pemikiran filsafat kembali
mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali (1058-1111 M), meski al-Ghazali
sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat, yaitu aspek epistemologi. Lewat
tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifah yang diulangi lagi dalam al-Munqidh min al-
Dalâl,36 al-Ghazali menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran metafisika
al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M), meski serangan pada kedua tokoh
ini sebenarnya juga tidak tepat.

Ghazali juga menyerang pemikiran para filsuf Yunani kuno, seperti Thales
(625-545 SM), Anaximandros (611-547 SM), Anaximenes (570-500 SM), dan
Heraklitos (540-480 SM); sebuah serangan yang juga tidak pada tempatnya, karena
pemikiran mereka sudah dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang
awam. Dalam buku-buku ini, al-Ghazali (1058-1111 M) sekali lagi hanya menye-rang
aspek metafisikanya yang merupakan produk, dan bukan ilmu logika atau
epistimologinya yang merupakan alat atau sistem, sesuatu yang menjadi inti dari kajian
filsafat, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan
penjabaran ajaran-ajaran agama. Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam al-Mustasyfâ fî
‘Ulûm al-Fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, bahkan meng-gunakan epistemologi
filsafat, yakni burhani, untuk mengungkap-kan gagasannya tentang hukum. Akan
tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai ‘Hujjat al-Islâm’ ternyata telah begitu
mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali
persoalan tersebut dengan teliti, mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati
terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada
kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi sejarah dan metafisikanya,
bukan aspek epsitemologi, metodologi, atau sistem penalarannya.

Pemikiran filsafat kemudian muncul kembali dalam kancah pemikiran Islam


pada masa Ibnu Rusyd (1126-1198 M). Lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Tahâfut,
Ibnu Rusyd berusaha meng-angkat kembali pemikiran filsafat setelah sempat
tenggelam akibat dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil,
karena seperti ditulis Nurcholish Madjid (1939-2005 M),42 bantahan yang diberikan
Ibnu Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali (1058- 1111 M)
bersifat Neo-Platonis. Meski demikian, lepas dari kegagalannya membendung serangan
al-Ghazali, Ibnu Rusyd telah berjasa besar terhadap perkembangan pemikiran filsafat.
Dalam bidang metafisika ia telah memberikan wawasan baru pada persoalan hubungan
antara Tuhan dengan alam, bukan lewat teori emanasi seperti al-Farabi (870-950 M)
dan Ibnu Sina (980-1037 M), melainkan dengan teori gerak. Menurutnya, berdasarkan
teori fisika Aristoteles (384-322 SM), semua benda pada prinsipnya adalah diam, tetapi
kenyataannya bergerak. Gerakan benda tersebut pasti disebabkan oleh penggerak di
luar dirinya karena dirinya sendiri tidak mampu bergerak. Sang penggerak luar yang
menggerakkan benda juga butuh penggerak lain di luar dirinya yang sehingga dia
mampu menggerakkan benda lainnya. Begitu seterusnya sampai penggerak akhir yang
tidak bergerak; itulah yang dalam Islam disebut Allah SWT, Tuhan Sang Penggerak
semesta.

10
C. PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM JURISPRUDENSI ISLAM

Benarkah filsafat bermula dari Yunani, apakah para filusuf Yunani begitu saja
menghasilkan pemikiran filsafat tanpa dipengaruhi oleh kebudayaan lain. Sebenarnya
kebudayaaan Yunani tidak secara langsung menghasilkan filsafat, ia juga mengalami
fase mitis yaitu fase ketika manusia percaya ada dewa di balik gunung, ada kemarahan
dewa pada petir dan gelombang pasang laut. Kecerdasan bangsa Yunani adalah terletak
pada kemampuannya dalam menggunakan modal kebudayaan sendiri serta kebudayaan
yang bersentuhan dengannya sehingga menjadi bentukan kebudayaan baru yang lebih
arif. Modal kebudayaan dasar bangsa Yunani adalah kesu-sastraan mitis tersebut
sedang modal kebudayaan yang bersentuhan dengan kebudayaan Yunani adalah kebu-
dayaan Mesir Kuno dan Babilonia.

Adanya persentuhan arus budaya Mesir Kuno dan Babiloni terhadap bangsa Yunani
yang kemudian melahirkan filsafat yang dapat dilihat pada pernyataan Bentrand Russel.
Russel mengatakan bahwa perhatian bangsa Mesir tertuju pada soal kematian dan
mereka percaya bahwa jika orang mati turun ke dunia-bawah di mana mereka akan
diadili sesuai cara hidup-nya di dunia, mereka juga meyakini bahwa jiwa akan kembali
ke dalam tubuh. Sistem kepercayaan utama bangsa Yunani yaitu orphis diduga ada
kaitannya dengan per-adaban Mesir Kuno. Sedangkan peradaban Babilonia ber-
kembang ilmu sihir, pernujuman dan astrologi. Penemuan-penemuan seperti satu hari
terdiri dari 24 jam, satu lingkaran sama dengan 360 derajat dan siklus gerhana juga
ditemukan dalam peradaban Babilonia. Kebudayaan-inilah yang menjadi modal dasar
penemuan filsuf pertama Thales.

Ketika Thales mengemukakan pertanyaan tentang asal muasal semesta yang


dianggap sebagai awal kelahiran filsafat ternyata di belahan dunia yang lain muncul
Sang Budha Gautama yang mempertanyakan kenapa manusia menderita. Ia
merumuskan pemahamannya bawa seluruh penderitaan manusia adalah dukkha.
Sementara di belahan Cina muncul Konfusian dan Tao, pada bangsa Ibrani muncul
Nabi-Nabi Yahudi. Filsat timur ini muncul untuk membicarakan cara melepaskan diri
dari kebudayaan mitis dan kemudian menghasilkan agama.

Filsafat timur sebagai sebuah ajaran kearifan memandang kehidupan dapat


dianggap sebagai pencerahan pertama oleh karena temuan-temuan sejumlah cendikia-
wan suci dari timur mengenai hidup dan kehidupan telah menyelamatkan manusia ke
arah yang lebih baik bahkan beberapa hal yang dianggap mitos oleh kaum modernis
terbukti sebagai kearifan tertinggi pada saat ini. Hanya saja, orang terlanjur
menganggap bahwa permulaan sejarah manusia adalah masa pencerahan dengan akar
muasal pada peradaban bangsa Yunani, sehingga temuantemuan filsafat timur ini
tampak asing dan tidak diakui sebagai filsafat.

Karena itu, Yunani bukanlah awal muasal filsafat karena ia terhubung dengan
tradisi kebudayaan Mesir kuno dan Mesopotamia. Bedanya adalah karena bangsa
Yunani memiliki kelebihan seperti yang digambarkan oleh Whitehead yakni bangsa
Yunani selalu ingin tahu tanpa kenal batas, selalu bersifat sistematis dalam
mengupayakan definisi dan konsistensi logis, bersifat doyan dalam ilmu alamiah, etika,
matematika, filsafat, politik, metafisika, teologi, estetika dan mereka selalu mencari
kebenaran dengan generalisasi tertinggi serta bangsa orang-orang Yunani memiliki
minat-minat praktis yang aktif.

11
Sebelum membicara hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, penulis
terlebih dahulu menguraikan mengenai filsafat Arab atau disbeut juga filsafat Islam.
Penamaan filsafat Arab atau filsafat Islam adalah perbedaan redaksional tetapi bukan
perbedaan manfaat disebabkan karena filsafat Islam tumbuh secara menyeluruh di
bawah suasana dan di bawah naungan Islam di samping kebesaran filsafat Islam ditulis
dengan bahasa Arab.

Filsafat Islam meneliti problematika yang satu dan yang banyak, menyelasaikan
korelasi antara Allah dengan makhluk-Nya sebagai problematika yang menyulut
perdebatan panjang di kalangan para muta-kallimin. Filsafat Islam ber-upaya
memadukan antara wahyu dengan akal, antara akidah dengan hikmah, atara agama
dengan filsafat dan berupaya menjelaskan kepada manusia bahwa wahyu tidak
bertentangan dengan akal, akidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di
dalam jiwa dan akan kokoh di hadapan lawan, serta agama jika bersaudara dengan
filsafat akan menjadi filosofis sebagaimana mana filsafat menjadi religius. Filsafat
Islam dilahir- kan dalam lingkungan yang tidak terlepas dari kondisi yang
melingkupinya karena itu filsafat Islam adalah filsafat religius spritual.

Walaupun dengan watak religiusnya, tetapi fisafat Islam tidak mengabaikan


problematika-problematika besar filsafat, seperti ontologi yang berbicara secara luas
mengenai waktu, ruang, materi dan kehidupan. Filsafat Islam juga membahas secara
luas tentang epistimologi yang membedakannya antara jiwa dan akal, al-fitri dan al-
Mukhtasab. Filsafat Islam juga berbicara secara detail tentang teori keutamaan dan
kebahagiaan. Filsafat Islam juga mengadakan pembagian filsafat yang biasa menjadi
filsafat teoritis dan praktis yang diurai dalam istilah fisika, matematika, teori moral,
penagturan rumah tangga dan politik.

Pandangan-pandangan ini sangat mirip dengan pandangan filsafat Yunani, terutama


pandangan Aristoteles yang terkenal dalam pembagaian ilmu-ilmu filsafat yang
diceritakan oleh para filosuf Islam. Karena itu, tidak dapat ditolak jika pemikiran
filsafat dalam Islam telah terpengaruh oleh filsafat Yunani karena para filosuf muslim
mengambil sebagian besar pandangannya dari Aristoteles, mereka juga banyak
mengangumi Plato dan mengikutinya dalam beberapa aspek. Sekalipun filosuf
mengambil pemikiran filosuf lain tidak menghalanginya untuk membawa teori-teori
dan filsafatnya sendiri. Spinoza misalnya, walaupun secara jelas pengikut Descartes
tetapi ia dianggap memilki pandangan-pandangan filosofis yang berdiri sendiri. Begitu
pula dengan Ibnu Zina walaupun murid murni dari Aristoteles tetapi ia mempunyai
pandangan tersendiri yang tidak dikatakan oleh gurunya.

Para filosuf Islam secara umum hidup di dalam lingkungan dan kondisi yang
berbeda dengan filosuffilosuf lain karenanya dunia Islam mampu menyusun suatu
filsafat untuk dirinya sendiri yang berjalan seiring dengan nilai pokok agama dan
kondisi sosialnya. Kebesaran filsafat Islam adalah karena ia terbentang sampai ke pintu
berbagai macam kebudayaan Islam, berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan
sosial dalam Islam termasuk perkembangan pemikiran hukum Islam yang berlandaskan
pada pandangan filosofis sebagai warisan filsafat Yunani terhadap filsafat Islam, yang
kemudian ditranspormasi kedalam metodologi penemuan hukum dalam filsafat hukum
Islam.

12
D. TRANSPORMASI PEMIKIRAN FILSAFAT TERHADAP
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Pendekatan kata filsafat dalam hukum Islam dipakai dengan sangat hati-hati oleh
para ahli hukum Islam disebabkan tidak ditemukan kata falsafah dalam sumber-sumber
hukum Islam tetapi kata falsafah tersebut diserap dari bahasa Yunani yang oleh ahli
filsafat hukum Islam dianggap sepadan dengan kata hikmah. Dengan menjadikan kata
hikmah sebagai padanan kata falsafah dan dengan menyatakan bahwa muatan kata
hikmah itu adalah juga pemahaman terhadap rahasia-rahasia syari’at atau tujuan
pensyariatan hukum, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan dan pertimbangan
maqashid syari’ah merupakan pendekatan filsafat dalam hukum Islam karena
perhatiannya terhadap implikasiimplikasi penerapan hukum dan merupakan ekspresi
dari adanya hubungan hukum Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi.

Esensi pemikiran filosofis terhadap hukum Islam berdasarkan hikmah yang


terkandung dalam falsafah syari’ah maupun falsafah tasyri telah ada dasarnya dalam
alquran, Misalnya ayat 179 surah al-Baqarah.Landasan pemikiran filosofis ini
sesungguhnya telah ditunjukkan ketika Nabi meng-izinkan Muaz bin Jamal untuk
berijtihad di negeri Yaman jika ia tidak menemu-kan dasarnya dalam alquran dan hadis.
Bahkan dalam beberapa kasus, Nabi sendiri melakukan proses pemikiran folosofis jika
belum turun ayat, seperti penempatan pasukan pada perang Badr yang dipertanyakan
oleh Hubbab bin Munzir lalu Nabi menjawab bahwa strategi perang tersebut adalah
bukan berdasarkan petunjuk wahyu.

Mengenai tawanan perang Badr, Nabi meminta pertimbangan Abu Bakar dan Umar
bin al-Khattab. Menurut Umar demi kemaslahatan maka tawanan itu harus dibunuh
karena berbahaya jika dilepas sedangkan Abu Bakar berpendapat melepas tawanan itu
lebih strategis bagi pengembangan kekuatan kaum muslimin yang diperlukan adalah
mengambil fidyah dari mereka. Nabi memilih pendapat Abu Bakr setelah
mempetimbangkan kemaslahatan kemudian turun ayat yang mem-peringatkan Nabi
dan menerangkan bahwa dalam kondisi itu pendapat Umar lebih tepat.

Khalifah Umar bin al-Khattab dalam beberapa kasus hukum banyak melakukan
pemikiran filosofis seperti menyangkut penghapusan hukum potong tangan terhadap
pencuri, zakat bagi muallaf, zakat kuda dan mengenai talak tiga. Corak pemikiran
filosofis ini didasari oleh suatu illat yang menghendaki adanya perubahan hukum yang
disesuaikan dengan situasi masyarakat yang terjadi saat itu.

Pemikiran filosofis ini tidak hanya berkembang di kalangan sahabat tetapi juga di
kalangan tabi’in dan masa sesudahnya, kemudian dikenal dalam sejarah perkembangan
hukum Islam sebagai kelompok ahlur ra’y dan kelompok ahlul hadis. Pada masa ini,
para pemikir hukum Islam memfokuskan pemikiran mereka terhadap maslahah. Pada
awalnya, penggunaan istilah maslahah diorientasikan pada makna kebaikan dan
kemanfaatan, istilah maslahah yang dihubungkan dengan Malik bin Anas belum
menjadi istilah teknis di bidang hukum tetapi perkembangan konsep maslahah pasca
Syafii merupakan kelanjutan dari metode-metode pemikiran awal apalagi batasan
metode pemikiran hukum Syafii mengenai sumber-sumber hukum dan penalaran
hukum harus dihubungkan dengan teks-teks wahyu melalui qiyas telah mendominasi
konsep-konsep lain.

13
Al-Juwaini menjelaskan bahwa validitas pemikiran yang didasarkan pada maslahah
menimbulkan tiga aliran pemikiran yaitu: Pertama, sejumlah pengikut Syafii dan muta-
kallimin dikatakan telah mempertahan-kan bahwa maslahah yang dapat diterima
hanyalah maslahah yang mempunyai landasan tekstual khusus atau asl. Aliran
pemikiran yang kedua dikaitkan kepada Syafii dan mayoritas pengikut Hanafi, mereka
yakin bahwa sekalipun maslahah tidak didukung oleh landasan spesifik masih dapat
digunakan asalkan sama dengan masalih yang secara bulat diterima atau didukung oleh
nash. Aliran ketiga dikaitkan kepada Malik bin Anas yang berpengang bahwa maslahah
diadakan tanpa adanya pertimbangan kondisi yang menyerupai atau apakah maslahah
itu terkait dengan teks (nash) atau tidak.

Perkembangan pemikiran filosofis dalam bidang hukum ini, selanjutnya banyak


diwarnai oleh pemikiran teologis aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Fokus pemikiran
aliranaliran ini adalah dikaikan dengan apakah hukum Tuhan disyari’atkan berdasarkan
illah atau kausa tertentu atau tidak. Menurut Kelompok Asyariyyah berpendapat bahwa
pensyariatan hukum syariah tidak dikaitkan dengan illah atau sebab tertentu karena hal
itu dapat mengurangi sifat kesempurnaan Allah. Sedangkan kelompok Mu’tazilah
berpendapat bahwa hukum Allah dikaitkan dengan tujuan yang mendorong Allah
memberikan sesuatu yang sesuai dengan kemaslahatan manusia. Alasannya adalah jika
tidak punya tujuan maka hal itu menjadi sia-sia dan perbuatan sia sia tidak dapat
dihubungkan dengan Allah.

Di kalangan ahli hukum Islam, dalam kaitan dengan penta’lilan dan maslahah
sebagai maqashid syari’ah tidak ditemukan perbedaan antara mereka yang berteologi
Asy’ariyah dan mereka yang berteolog Mu’tazilah. Namun, konsep pemikiran
maqashid syari’ah dalam arti penta’lilan hukum dan maslahah ini kemudian banyak
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filosofis Abu Hasan al-Basri dan al-Ghazali
termasuk Fakhruddin al-Razi sampai kepada Abu Ishaq al-Syatbi yang terkenal dengan
pemikiran filosofisnya terhadap konsep maqashid syari’ah dalam arti tujuan hukum
adalah kemaslahatan manusia.

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ada beberapa ide-ide yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini yaitu;

1. Pemikiran filsafat Yunani ternyata dipengaruhi oleh budaya dan pemikiran


Mesir Kuno, Babilonia, Mesopotami dan India.
2. Corak pemikiran filosofis Yunani telah direduksi oleh sebagian filosuf-filosuf
muslim, seperti Ibnu Zina.
3. Terjadi transpormasi pemikran filosofis dalam perkembangan hukum Islam
yang turut dipengaruhi oleh perkembangan filsafat Islam.
4. Pemikiran filosofis dalam konteks perkembangan hukum Islam tidak semata-
mata dipengaruhi oleh pemikiran filosofi Yunani tetapi landasannya telah ada
dalam alquran dan Sunnah Nabi yang mengacu pada hikmah syari’ah Islam.

Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Pertama, bahwa
pemikiran filsafat Islam tidak didasarkan atas filsafat Yunani yang masuk ke dalam
tradisi keilmuan Islam lewat proses terjemahan melainkan dikembangkan dari
sumbersumber khazanah Islam sendiri karena adanya kebutuhan untuk itu. Alih-alih
didasarkan atas filsafat Yunani, sebaliknya justru pemikiran rasional Islam yang telah
ada dan mapan sebelumnya itulah yang telah memberikan jalan bagi diterimanya
filsafat Yunani dalam tradisi intelektual Islam. Meski demikian, harus diakui juga
bahwa hasil-hasil perterjemahan karya Yunani telah membantu perkembangan filsafat
Islam menjadi lebih pesat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Atiyeh, George N. 1983. Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim. Terj. Kasidjo D.


Bandung, Pustaka.

Bakar, Osman. 1995. Tauhid dan Sains, Terj. Yuliani L. Bandung, Pustaka
Hidayah.

Wahyuningsih, Sri. 2021. “Sejarah Perkembangan Filsafat Islam” dalam


Jurnal Mubtadiin, Vol. 7 (halaman 82-98)

Musyahid, Achmad. 2010. “Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam


Jurisprudensi Islam” dalam Jurnal Hukum Diktum, Volume 8, Nomor 1
(halaman 47-54). Makassar: Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar

16

Anda mungkin juga menyukai