Disusun Oleh:
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anungrah dari-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Filsafat Didunia Islam”. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad
SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama
islam dan menjadi anugrah bagi seluruh alam semesta.
Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Siti Ariati Jihad, S.Sos., M.S.Sos. selaku
dosen Filsafat & Teori Dakwah yang telah memberikan tugas ini untuk memperdalam
ilmu dan wawasan kami. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini
agar kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini
masih terdapat banyak kekurangan.
20 September 2021
Kelompok 2
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... 1
KATA PENGANTAR........................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN ..................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Itulah sebabnya para islamis seperti C.S. Hurgronje dan J. Schact dan
kebanyakan juris muslim yang hadis oriented (tradisional) tetap
mempertahankan bahwa dalam konsep hukum Islam, sifat perkembangan
metodologinya itu adalah abadi karenanya tidak bisa beradaptasi dengan
perubahan sosial. Berbeda dengan pandangan yang dikemukakan oleh ahli
keislaman seperti Linant de Bellefonds dan mayoritas reformis dan juris muslim
seperti Subhi Mahmassani yang ber-pendapat bahwa prinsip-prinsip hukum
sebagai salah satu pertimbangan maslahah demikian pula dengan fleksibilitas
hukum Islam dalam praktek dan penekanan pada ijtihad cukup menunjukkan
bahwa hukum slam bisa beradaptasi dengan perubahan sosial.
4
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
5
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut, minimal ada tiga
model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain,
6
tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam
didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis,
pasti dan baku. Pemikiran dan filsafat Yunani baru masuk lewat program penerjemahan
setelah sistem penalaran rasional dalam Islam mapan, khususnya dalam teologi dan
yurisprudensi.
7
melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya, maupun
paham-paham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari
pikiran-pikiran filosofis.
1. Bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan
tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan
mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya
seorang nabi.
2. Tidak ada alasan untuk pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing
yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama,
hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, dan
3. Bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara
atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan di antara mereka.
yang mempunyai pandangan bahwa baik dan buruk harus didasarkan rasio.
Hanya saja, Muktazilah tidak seekstrim ini dalam penggunaan rasio, bahkan
mereka berusaha memadukan rasio dengan wahyu. Di samping kedua tokoh di
atas, Husein Nasr masih menyebut tokoh lain.
Usaha penentangan kaum salaf yang dipelopori Ibnu Hanbal (780-855 M) terhadap
ilmu-ilmu filosofis di atas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah
al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang
men-dukung kaum salaf menyebabkan kajian dan pemikiran filosofis mengalami
hambatan. Lebih dari itu, kalangan salaf yang saat itu dekat dengan khalifah dan
“berkuasa” melakukan revolusi: orang-orang Muktazilah dan ahli filsafat yang tidak
sepaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi (801-878 M) yang ahli
filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana karena
tidak sepaham dengan sang khalifah yang salaf.
8
Maha Esa dengan realitas yang plural dan seterusnya; mempertemukan antara konsep
idealisme Plato (427-348 SM) dengan empirisme Aristoteles (384-322 SM), dan
mempertemukan antara agama dan filsafat. Dalam bidang keilmuan, al-Farabi lewat
karyanya yang terkenal, Ihsâ al-‘Ulûm, mengklasifikasi ilmu pengetahuan dalam 3
kelompok: filsafat, ilmu keagamaan dan ilmu bahasa. Yang termasuk filsafat adalah
metafisika, ilmuilmu matematis, ilmu kealaman, dan politik. Menurut Husein Nasr
(l. 1933 M), seorang pemikir muslim dari Universitas George Washington USA,
klasifikasi ilmu ini merupakan klasifikasi pertama yang dipakai secara luas oleh
masyarakat ilmiah sebagai ingkar kenabian, yakni Ahmad ibn Thayib al Syarkhasi
(833-899 M), salah seorang murid dari al-Kindi (801- 878 M) dan guru dari khalifah
al-Mu‘tadhid (892-902 M). Husain Nasr, dan paling berpengaruh dalam sejarah
peradaban Islam. Karena jasanya inilah, al-Farabi (870-950) digelari sebagai ‘guru
kedua’ (al-mu`allim al-tsâni) dalam tradisi filsafat Islam setelah Aristoteles (384-322
SM) sebagai ‘guru pertama’ (al-mu`allim al-awwal).
9
lain. Berdasarkan atas prestasi-prestasinya yang luar biasa dalam filsafat, Ibnu Sina
(980-1037 M) kemudian diberi gelar “Guru Utama” (al-Syaikh al-Raîs), di samping
gelarnya sebagai “Pangeran Para Dokter” (Amîr al-Atibbâ’) karena jasanya yang besar
dalam bidang kedokteran.
Akan tetapi, setelah Ibnu Sina (980-1037 M), pemikiran filsafat kembali
mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali (1058-1111 M), meski al-Ghazali
sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat, yaitu aspek epistemologi. Lewat
tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifah yang diulangi lagi dalam al-Munqidh min al-
Dalâl,36 al-Ghazali menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran metafisika
al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M), meski serangan pada kedua tokoh
ini sebenarnya juga tidak tepat.
Ghazali juga menyerang pemikiran para filsuf Yunani kuno, seperti Thales
(625-545 SM), Anaximandros (611-547 SM), Anaximenes (570-500 SM), dan
Heraklitos (540-480 SM); sebuah serangan yang juga tidak pada tempatnya, karena
pemikiran mereka sudah dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang
awam. Dalam buku-buku ini, al-Ghazali (1058-1111 M) sekali lagi hanya menye-rang
aspek metafisikanya yang merupakan produk, dan bukan ilmu logika atau
epistimologinya yang merupakan alat atau sistem, sesuatu yang menjadi inti dari kajian
filsafat, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan
penjabaran ajaran-ajaran agama. Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam al-Mustasyfâ fî
‘Ulûm al-Fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, bahkan meng-gunakan epistemologi
filsafat, yakni burhani, untuk mengungkap-kan gagasannya tentang hukum. Akan
tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai ‘Hujjat al-Islâm’ ternyata telah begitu
mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali
persoalan tersebut dengan teliti, mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati
terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada
kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi sejarah dan metafisikanya,
bukan aspek epsitemologi, metodologi, atau sistem penalarannya.
10
C. PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM JURISPRUDENSI ISLAM
Benarkah filsafat bermula dari Yunani, apakah para filusuf Yunani begitu saja
menghasilkan pemikiran filsafat tanpa dipengaruhi oleh kebudayaan lain. Sebenarnya
kebudayaaan Yunani tidak secara langsung menghasilkan filsafat, ia juga mengalami
fase mitis yaitu fase ketika manusia percaya ada dewa di balik gunung, ada kemarahan
dewa pada petir dan gelombang pasang laut. Kecerdasan bangsa Yunani adalah terletak
pada kemampuannya dalam menggunakan modal kebudayaan sendiri serta kebudayaan
yang bersentuhan dengannya sehingga menjadi bentukan kebudayaan baru yang lebih
arif. Modal kebudayaan dasar bangsa Yunani adalah kesu-sastraan mitis tersebut
sedang modal kebudayaan yang bersentuhan dengan kebudayaan Yunani adalah kebu-
dayaan Mesir Kuno dan Babilonia.
Adanya persentuhan arus budaya Mesir Kuno dan Babiloni terhadap bangsa Yunani
yang kemudian melahirkan filsafat yang dapat dilihat pada pernyataan Bentrand Russel.
Russel mengatakan bahwa perhatian bangsa Mesir tertuju pada soal kematian dan
mereka percaya bahwa jika orang mati turun ke dunia-bawah di mana mereka akan
diadili sesuai cara hidup-nya di dunia, mereka juga meyakini bahwa jiwa akan kembali
ke dalam tubuh. Sistem kepercayaan utama bangsa Yunani yaitu orphis diduga ada
kaitannya dengan per-adaban Mesir Kuno. Sedangkan peradaban Babilonia ber-
kembang ilmu sihir, pernujuman dan astrologi. Penemuan-penemuan seperti satu hari
terdiri dari 24 jam, satu lingkaran sama dengan 360 derajat dan siklus gerhana juga
ditemukan dalam peradaban Babilonia. Kebudayaan-inilah yang menjadi modal dasar
penemuan filsuf pertama Thales.
Karena itu, Yunani bukanlah awal muasal filsafat karena ia terhubung dengan
tradisi kebudayaan Mesir kuno dan Mesopotamia. Bedanya adalah karena bangsa
Yunani memiliki kelebihan seperti yang digambarkan oleh Whitehead yakni bangsa
Yunani selalu ingin tahu tanpa kenal batas, selalu bersifat sistematis dalam
mengupayakan definisi dan konsistensi logis, bersifat doyan dalam ilmu alamiah, etika,
matematika, filsafat, politik, metafisika, teologi, estetika dan mereka selalu mencari
kebenaran dengan generalisasi tertinggi serta bangsa orang-orang Yunani memiliki
minat-minat praktis yang aktif.
11
Sebelum membicara hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, penulis
terlebih dahulu menguraikan mengenai filsafat Arab atau disbeut juga filsafat Islam.
Penamaan filsafat Arab atau filsafat Islam adalah perbedaan redaksional tetapi bukan
perbedaan manfaat disebabkan karena filsafat Islam tumbuh secara menyeluruh di
bawah suasana dan di bawah naungan Islam di samping kebesaran filsafat Islam ditulis
dengan bahasa Arab.
Filsafat Islam meneliti problematika yang satu dan yang banyak, menyelasaikan
korelasi antara Allah dengan makhluk-Nya sebagai problematika yang menyulut
perdebatan panjang di kalangan para muta-kallimin. Filsafat Islam ber-upaya
memadukan antara wahyu dengan akal, antara akidah dengan hikmah, atara agama
dengan filsafat dan berupaya menjelaskan kepada manusia bahwa wahyu tidak
bertentangan dengan akal, akidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di
dalam jiwa dan akan kokoh di hadapan lawan, serta agama jika bersaudara dengan
filsafat akan menjadi filosofis sebagaimana mana filsafat menjadi religius. Filsafat
Islam dilahir- kan dalam lingkungan yang tidak terlepas dari kondisi yang
melingkupinya karena itu filsafat Islam adalah filsafat religius spritual.
Para filosuf Islam secara umum hidup di dalam lingkungan dan kondisi yang
berbeda dengan filosuffilosuf lain karenanya dunia Islam mampu menyusun suatu
filsafat untuk dirinya sendiri yang berjalan seiring dengan nilai pokok agama dan
kondisi sosialnya. Kebesaran filsafat Islam adalah karena ia terbentang sampai ke pintu
berbagai macam kebudayaan Islam, berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan
sosial dalam Islam termasuk perkembangan pemikiran hukum Islam yang berlandaskan
pada pandangan filosofis sebagai warisan filsafat Yunani terhadap filsafat Islam, yang
kemudian ditranspormasi kedalam metodologi penemuan hukum dalam filsafat hukum
Islam.
12
D. TRANSPORMASI PEMIKIRAN FILSAFAT TERHADAP
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Pendekatan kata filsafat dalam hukum Islam dipakai dengan sangat hati-hati oleh
para ahli hukum Islam disebabkan tidak ditemukan kata falsafah dalam sumber-sumber
hukum Islam tetapi kata falsafah tersebut diserap dari bahasa Yunani yang oleh ahli
filsafat hukum Islam dianggap sepadan dengan kata hikmah. Dengan menjadikan kata
hikmah sebagai padanan kata falsafah dan dengan menyatakan bahwa muatan kata
hikmah itu adalah juga pemahaman terhadap rahasia-rahasia syari’at atau tujuan
pensyariatan hukum, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan dan pertimbangan
maqashid syari’ah merupakan pendekatan filsafat dalam hukum Islam karena
perhatiannya terhadap implikasiimplikasi penerapan hukum dan merupakan ekspresi
dari adanya hubungan hukum Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi.
Mengenai tawanan perang Badr, Nabi meminta pertimbangan Abu Bakar dan Umar
bin al-Khattab. Menurut Umar demi kemaslahatan maka tawanan itu harus dibunuh
karena berbahaya jika dilepas sedangkan Abu Bakar berpendapat melepas tawanan itu
lebih strategis bagi pengembangan kekuatan kaum muslimin yang diperlukan adalah
mengambil fidyah dari mereka. Nabi memilih pendapat Abu Bakr setelah
mempetimbangkan kemaslahatan kemudian turun ayat yang mem-peringatkan Nabi
dan menerangkan bahwa dalam kondisi itu pendapat Umar lebih tepat.
Khalifah Umar bin al-Khattab dalam beberapa kasus hukum banyak melakukan
pemikiran filosofis seperti menyangkut penghapusan hukum potong tangan terhadap
pencuri, zakat bagi muallaf, zakat kuda dan mengenai talak tiga. Corak pemikiran
filosofis ini didasari oleh suatu illat yang menghendaki adanya perubahan hukum yang
disesuaikan dengan situasi masyarakat yang terjadi saat itu.
Pemikiran filosofis ini tidak hanya berkembang di kalangan sahabat tetapi juga di
kalangan tabi’in dan masa sesudahnya, kemudian dikenal dalam sejarah perkembangan
hukum Islam sebagai kelompok ahlur ra’y dan kelompok ahlul hadis. Pada masa ini,
para pemikir hukum Islam memfokuskan pemikiran mereka terhadap maslahah. Pada
awalnya, penggunaan istilah maslahah diorientasikan pada makna kebaikan dan
kemanfaatan, istilah maslahah yang dihubungkan dengan Malik bin Anas belum
menjadi istilah teknis di bidang hukum tetapi perkembangan konsep maslahah pasca
Syafii merupakan kelanjutan dari metode-metode pemikiran awal apalagi batasan
metode pemikiran hukum Syafii mengenai sumber-sumber hukum dan penalaran
hukum harus dihubungkan dengan teks-teks wahyu melalui qiyas telah mendominasi
konsep-konsep lain.
13
Al-Juwaini menjelaskan bahwa validitas pemikiran yang didasarkan pada maslahah
menimbulkan tiga aliran pemikiran yaitu: Pertama, sejumlah pengikut Syafii dan muta-
kallimin dikatakan telah mempertahan-kan bahwa maslahah yang dapat diterima
hanyalah maslahah yang mempunyai landasan tekstual khusus atau asl. Aliran
pemikiran yang kedua dikaitkan kepada Syafii dan mayoritas pengikut Hanafi, mereka
yakin bahwa sekalipun maslahah tidak didukung oleh landasan spesifik masih dapat
digunakan asalkan sama dengan masalih yang secara bulat diterima atau didukung oleh
nash. Aliran ketiga dikaitkan kepada Malik bin Anas yang berpengang bahwa maslahah
diadakan tanpa adanya pertimbangan kondisi yang menyerupai atau apakah maslahah
itu terkait dengan teks (nash) atau tidak.
Di kalangan ahli hukum Islam, dalam kaitan dengan penta’lilan dan maslahah
sebagai maqashid syari’ah tidak ditemukan perbedaan antara mereka yang berteologi
Asy’ariyah dan mereka yang berteolog Mu’tazilah. Namun, konsep pemikiran
maqashid syari’ah dalam arti penta’lilan hukum dan maslahah ini kemudian banyak
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filosofis Abu Hasan al-Basri dan al-Ghazali
termasuk Fakhruddin al-Razi sampai kepada Abu Ishaq al-Syatbi yang terkenal dengan
pemikiran filosofisnya terhadap konsep maqashid syari’ah dalam arti tujuan hukum
adalah kemaslahatan manusia.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ada beberapa ide-ide yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini yaitu;
Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Pertama, bahwa
pemikiran filsafat Islam tidak didasarkan atas filsafat Yunani yang masuk ke dalam
tradisi keilmuan Islam lewat proses terjemahan melainkan dikembangkan dari
sumbersumber khazanah Islam sendiri karena adanya kebutuhan untuk itu. Alih-alih
didasarkan atas filsafat Yunani, sebaliknya justru pemikiran rasional Islam yang telah
ada dan mapan sebelumnya itulah yang telah memberikan jalan bagi diterimanya
filsafat Yunani dalam tradisi intelektual Islam. Meski demikian, harus diakui juga
bahwa hasil-hasil perterjemahan karya Yunani telah membantu perkembangan filsafat
Islam menjadi lebih pesat.
15
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Osman. 1995. Tauhid dan Sains, Terj. Yuliani L. Bandung, Pustaka
Hidayah.
16