Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUKUM ISLAM PADA KONTEMPORER

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Perkembangan Hukum Islam

Dosen Pengampu : Fawaidurrahman, SHI., MH.

Disusun Oleh :

1. M. Rifqi Arifin (S20191114)


2. Miftakhul Azizah (S20191117)
3. Melinia Qurrotul A’yun (S20191096)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
ampun serta hidayah-Nya sehingga kami dapat membuat makalah ini. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, yakni Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari Zaman Jahiliyah ke Zaman
Addinul Islam.
Makalah ini memiliki topik seputar “Hukum Islam Pada Kontemporer
pada mata kuliah Sejarah Perkembangan Hukum Islam. Dengan dibuatnya
makalah ini, kami dengan segala kerendahan hati mengaturkan terima kasih dan
penghargaan kepada semua pihak yang ikut membantu pembuatan makalah ini
yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT memberikan
pahala yang berlipat ganda. Dan kami juga memohon maaf yang sebesar-besarnya
apabila masih terdapat banyak kesalahan di dalam makalah ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
kalangan akademik. Sumbangan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini sangat diharapkan.

Jember, 20 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................

1.3 Tujuan ................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

1. Paradigma Hukum Islam Kontemporer.................................................................

2. Hukum Islam dan Perkembangan Sosial..............................................................

BAB III PENUTUP..................................................................................................

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional yang mapan, yaitu ilmu
fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan filsafat, fikih (hukum islam) merupakan
disiplin ilmu yang paling kuat mendominasi pemahaman orang-orang Islam akan
agama mereka, sehingga ia paling banyak membentuk bagian terpenting cara
berpikir mereka. Kenyataan ini dapat ditelusuri melalui berbagai proses historis
pertumbuhan masyarakat muslim masa lalu, juga melalui sebagian dari inti
semangat ajaran agama itu sendiri.
Sebagai hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, hukum Islam
memiliki karakteristik tersendiri, di antaranya adalah coraknya yang responsive,
adaptif, dan dinamis yang membuka peluang bagi kehidupan, perubahan, dan
pembaharuan sesuai dengan semangat zaman. Namun, di sinilah yang menjadi
perdebatan dalam proses pergumulan, yakni dalam hal relevansi maupun
aktualisasi hukum itu sendiri, terutama bila dikaitkan dengan keadaan tempat
(lokal) maupun zaman (temporal).
Apa saja faktor dinamika yang harus terus dikembangkan dalam rangka
pengembangan hukum Islam kontemporer. Apakah kerangka metodologi yang
selama ini dipakai masih cukup memadai atau perlu reformulasi kearah yang lebih
menyentuh semangat perubahan itu sendiri. Pada bagian akhir, sungguhpun serba
singkat, juga akan dibahas masa depan hukum Islam kontemporer di tengah
perubahan-perubahan dahsyat yang senantiasa membutuhkan etika dan paradigm
baru.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Paradigma Hukum Islam Kontemporer ?
2. Bagaimana Hukum Islam dan Perkembangan Sosial?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami mengenai beberapa hal tentang
Produk Pengadilan Agama dalam hal ini berkaitan dengan ; Paradigma
Hukum Islam Kontemporer dan Hukum islam dalam perkembangan sosial.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Paradigma Hukum Islam ; Dari Kalsik Menuju Kontemporer.


Pengertian Paradigma
Istilah ”paradigma” secara harfiah dapat berarti kaidah, dalil, tasrif dan
pola dari suatu teori yang dianggap benar dan baku Paradigma adalah pangkal
tolak (starting point) dan sudut pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal.
Perbedaan paradigma bukan hanya akan menghasilkan pemahaman yang berbeda,
melainkan juga nilai dan norma berbeda pula. Contoh ekstrim diibaratkan ada
beberapa orang buta yang berusaha memahami seekor gajah. Ada yang meraba
belalainya, telinganya, kakinya, perutnya dan ekornya, dan lantas masing-masing
mendefinisikan gajah. Hasilnya adalah masingmasing memiliki pemahaman,
pengertian dan perlakuan berbeda terhadap gajah. Dalam kehidupan sosial,
paradigma yang berbeda akan menyebabkan keyakinan, nilai, dan norma yang
berbeda pula.
Kedua; paradigm yaitu teori-teori, metode-metode, fakta-fakta,eksperimen
-eksperimen yang telah disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi aktifitas
ilmiah para ilmuwan. Ketiga; normal science yaitu ilmu yang telah mencapai
tahap kematangan (mature science) karena scientific community telah mencapai
konsensus akan dasar-dasar ilmu ini.Konsensus itu berupa kesepakatan yang akan
memakai satu paradigma sebagai penyangga ilmu yang bersangkutan. Keempat;
anomaly yaitu problem-problem ilmiah yang tidak bisa dijawab oleh paradigma
lama. Problem-problem tersebut setelah menumpuk menimbulkan sebuah krisis.
Kelima; crisis, yaitu suatu fase di mana paradigma lama telah dianggap usang
karena begitu banyaknya anomali-anomali yang muncul,sedangkan paradigma
baru belum terbentuk.
Terkait dengan paparan di atas, paradigma dalam tulisan ini dimaksudkan
“Suatu kumpulan asumsi, konsep dan proposisi yang disatukan secara logis dan
berfungsi mengarahkan pemikiran dan pengkajian. Atau dalam definisi lain,
“Seperangkat keyakinan dasar yang membentuk suatu sistem pemikiran yang
memberikan kepada kita suatu penilaian mengenai hakikat realitas atau alasan
mengapa kita menerima pengetahuan mengenai sesuatu yang kurang dari realitas
sebenarnya beserta metode untuk menguasai apa saja yang dapat diketahui”.

Analisis Sebuah Transformasi; dari Paradigma klasik ke Komtenporer


Ada beberapa poin yang menjadi tanda elastisitas paradigma kontemporer
atau alternatif ini.
Pertama, paradigma teologis yang dikembangkan, tidak lagi bersifat
teosentris, melainkan telah berintegrasi dengan wilayah sosio-antropologis yang
kemudian lumrah disebut teo-antroposentris. Paradigma ini, lebih banyak
memberikan porsi pada akal sebagai analisis integral yang cukup memadai. Kita
tahu bahwa dalam sejarah awal pertumbuhan Islam, hubungan akal dan wahyu
tidak “seromantis” seperti sekarang ini. Wahyu mendapat kedudukan tinggi
sebagai sumber kebenaran mutlak. Sementara akal dianggap pelengkap yang tidak
banyak memberikan sumbangsih atas kebenaran yang dimaksud. Setiap keputusan
akal yang tidak sejalan dengan wahyu dianggap menyimpang dan bahkan diklaim
keluar dari Islam. Tetapi, paradigma alternatif (kontemporer) mencoba meredam
itu dengan jalan mengintegrasikan posisi wahyu dan akal secara proporsional.
Kebenaran tidak semata ada pada wahyu, melainkan akal juga memiliki sisi
rasionalitasnya dalam mengungkap kebenaran, minimal dalam hal baik dan
buruknya sesuatu.
Kedua, secara linguistik, paradigma alternatif menaruh sikap skeptis
terhadap fungsionalisme bahasa yang bercorak sempurna. Artinya, bahasa tidak
lagi dipahami sebagai alat menyampaikan maksud dan tujuan secara murni dan
bebas nilai. Bahkan sebaliknya, bahasa masih mengandung sejumlah kekurangan
fungsionalisme yang tak bisa mewakili terhadap esensi dan tujuan yang berbicara
(Tuhan dengan kalam-Nya). Bahasa bukanlah milik publik yang secara sadar
mampu merangkum kebutuhan aqliah ruang publik pula. Yang benar, bahasa
bersifat individual-subyektif yang pada akhirnya memerlukan interpretasi
sosiokultural agar bahasa yang dimaksud dapat dipahami dengan baik. Ketika
Tuhan berbicara lewat bahasa, belum tentu apa yang dimaksudkan Tuhan sama
persis dengan apa yang tersurat dalam teks. Tesis semacam inilah yang mewarnai
kerangka berpikir paradigma alternatif (kontenporer).
Ketiga, pada aspek metodologis, paradigma kontemporer menggunakan
penalaran rasional tanpa kehilangan arah dan titik pijak. Tekstualitas tidak dipakai
di sini. Yang ada justru kontekstualisasi kandungan teks dengan realitas. Metode
yang dikembangkan bersifat progresif dan dinamis, bukan lagi statis dan jumud.
Akal dan an-naql (teks) dikomparasikan dengan baik dan tidak parsial, rasionalitas
berpikir ditopang oleh sakralitas wahyu. Keduanya saling melengkapi dalam
setiap penggalian hukum Islam. Maka, hasilnya pun lebih singkron dengan
kekinian.
Sementara pada tataran epistemologi, paradigma kontemporer
menggunakan analisis yang ketat dalam membedakan mana sejarah dan mana
yang termasuk mitos. Sebab, keduanya tidak bisa dipertemukan dalam satu garis
lurus. Keduanya memiliki dimensi berbeda dan saling berjauhan. Dalam
memandang sejarah dan teks, terdapat derifasi makna yang memungkinkan
adanya beragam makna dalam satu teks suci. Sebab, makna suatu teks bisa
berubah-ubah sesuai dengan kultur yang melingkupinya. Hal itu berlanjut pada
konsep historisitas nalar dalam menetapkan hukum baru yang tak ada landasan
nash sebelumnya.
Selanjutnya, dalam merumuskan orientasi kajian, paradigma kontemporer
memperioritaskan praksis daripada hanya konsep yang terbukukan. Hal itu dapat
dilihat dari interpretasi yang dilakukan berdasarkan kemaslahatan umat. Sehingga
hasil yang dicapai sarat dengan konsep solutif dan memiliki relevansi kuat dengan
keadaan riil. Langkah yang ditempuh berwajah kontributif dalam setiap perkara.
Konsepsi semacam itu tidak mungkin dapat terealisasi tanpa adanya komparasi
dengan disiplin ilmu yang lain. Sehingga usaha-usaha komparatif sangat menonjol
dalam paradigma alternatif ini. Namun di sisi lain, aspek filosofis menjadi benang
merah yang harus diketahui. Konsep-konsep yang ada dipoles menjadi sistem
nilai berasaskan filosofi yang sangat kuat. 1

2. Hukum Islam Dan Perkembangan Sosial ( Pada Masa Islam


Kontemporer)
Hukum Islam
Istilah hukum Islam dapa ditemukan dalam literatur Barat, yaitu dengan
term Islamic law yang secara harfiah disebut sebagai hukum Islam. Dalam
penjelasan tentang kata Islamic law, cenderung didefinisikan sebagai keseluruhan
wahyu Allah yang mengatur kehidupan muslim dengan segala aspek
kehidupannya. Dari definisi ini terlihat bahwa kata hukum Islam lebih dekat
pengertiannya kepada kata syari’at Islam. Namun kata Hukum Islam ini telah
diserap kedalam bahasa Indonesia, dan maknanya berubah menjadi syariat.
Padahal dalam perkembangannya, term kata Islamic law bukanlah ditujukan
kepada kata syariat, melainkan kepada kata fiqih yang menjadi wilayahnya para
fuqaha. Sebenarbya ungkapan yang lebih tepat untuk menggambarkan syari’at
bukanlah Islamic Law melainkan Islamic Jurisprudence.
Adapun kata fiqih sangat erat kaitannya dengan kata syariat. Karena fiqih
merupakan jabaran sederhana dan praktis dari syariat. Secara etimologi, kata fiqih
diambil dari kata faqiha yafqahu faqihan yang memiliki makna mengerti atau
paham, lebih jauhnya adalah paham yang mendalam. Secara terminologi kata
1
Faruq Tohir, Paradigma Hukum Islam;Dari Klasik Menuju Kontemporer ,Asy-Syari’ah, Volume Ii,
Nomer Ii, Juni 2016, Hal 89
fiqih, yakni ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amalia yang
diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dari pemaparan singkat diatas dapat
dipahami bahwa istilah syariat dan fiqih digunakan untuk mendeskripsikan
Hukum Islam. Kedua istilah tersebut sama-sama membahas hukum Islam, akan
tetapi terdapat perbedaan antara keduannya sebagaimana penjelasan di atas.
Dimana syariat itu berasal dari Allah dan Rasul-Nya sebagai pembuat syari`at,
sementara fiqih adalah pengetahuan para fuqaha tentang syariat atau meerupakan
pengejawantahan pemikiran mujtahid tentang syariat.
Syari’at adalah Hukum Islam yang masa berlaku berifat qadim atau
sepanjang masa, sedangkan fiqih, merupakan rumusan konkrit dan bersifat praktis
dari hukum Islam, yang nantinya dapat diaplikasikan dalam suatu kasus, atau
tempat, atau keadaan, dan atau masa tertentu. Syari’at dan Fiqih memang berbeda
secara subtansi, tetapi tidak juga dapat dipisahkan. Ketentuan ini berlaku karena
menghindari terjadinya kerancuan dalam memahami hukum Islam, baik sebagai
sebuah ajaran ataupun sebagai hasil penafsiran, interpretasi, pemikiran mujtahid.
Ketetapan hukum pada prinsipnya ada yang sudah bersifat tetap dan final, tidak
menerima dan atau menafikkan pembaharuan dan perubahan. Ketentuan hukum
Islam yang tetap telah diterangkan dan ditetapkan oleh Alquran dan Sunah secara
pasti, jelas dan terperinci. Ketentuan hukum yang bersifat final seperti ini bukan
lagi menjadi wilayah lapangan ijtihad. Selain itu.
Terdapat juga ketentuan hukum yang tidak tetap atau final, dan dapat
berubahubah, ketentuan hukum yang seperti ini dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu: pertama, hukum yang digali dari dalil-dalil zhanni namun berubah
secara dinamis. Kedua, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad sebagai akibat dan
respon dari perkembangan masa. Dalam teori Ushul fiqih, ijtihad hanya dapat
dilakukan pada ranah tertentu yakni: a) dalil-dalil yang qath’i al-wurudh tetapi
zhanni dalalah; b) dalildalil yang zhanni al-wurudh tapi qath’i al-dalalah; c) dalil-
dalil yang zhanni al-wurud dan dalalahnya; d) terhadap kasus-kasus yang tidak
ada dalil hukumnya.Berkenaan dengan kasus yang belum ada dalil naqlinya ini,
maka para pemikir hukum Islam harus mulai memperhatikan secara lebih seksama
dan mengkaji kembali teori-teori/kaidah-kaidah ushul fiqh yang ada, agar
kemudian dapat dilakukan ijtihad, yang nantinya akan memberikan fatwa atau
pegangan hukum yang progresif bagi umat Islam. Aktivitas ijtihad merupakan
sebuah keniscayaan untuk terus dilakukan oleh setiap mujtahid di setiap zaman
guna menjawab dan memberikan solusi atas problematika kehidupan sosia yang
sesuai memiliki relevansi akurat dengan tiap masa dan zamannya. Sejarah telah
membuktikan keniscayaan ijtihad ini, sejak dari masa Rasulullah hidup dan
meneirima wahyu hingga abad modern, dinamika ijtihad terus dan terus akan
dibutuhkan serta berkembang.
Dari penjelasan di atas menunjukan bahwa kedua sumber hukum, Alquran
dan Sunnah terdapat teks-teks yang sebagian bersifat qath’i (aksiomatik) dan
sebagian lagi bersifat zhanni (hipotetik). Dalam teks-teks yang zhanni inilah
intervensi akal manusia dimungkinkan melakukan interpretasiinterpretasi dan
penyesuaian pemaknaan dengan tuntutan perubahan social melalui aktivitas yang
disebut ijitihad. Bahkan tidak hanya teks-teks zhanni saja,
Teks-teks qath’i pun sebagaimana yang disebutkan di atas dapat
mengalami perubahan. Disinilah letak fleksibelitas hukum Islam. Dan juga
hubungan timbal balik antara hukum Islam dan perubahan social. Karena itu tidak
berlebihan bila Hukum Islam diasumsikan sebagai hukum yang bersifat dinamis
dan selalu relevan untuk setiap zaman, keadaan dan tempat.

Perubahan Sosial
Merupakan suatu hal yang sangat wajar dan normal bila seklompok
masyarakat mengalami apa yang disebut dengan Perubahan dan perkembangan.
Karena Perubahan itu merupakan bukti dan ciri, bahwa masyarakat itu eksis dan
hidup. Perubahan masyarakat yang terjadi itu dapat berupa berubahnya tatanan
social, tatanan budaya, tatanan ekonomi dan lain sebagainya. Ini berarti
perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya bersifat parsial, pada aspek tertentu
saja, akan tetapi bersifat menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan
masyarakat baik yang materil wujud dan sifatnya, maupun yang immaterill.
Karena itu definisi perubahan sosial menjadi sangat luas, tetapi secara umum
dapat diasumsikan bahwa, pada prinsipnya perubahan sosial adalah sebuah proses
yang memicu perubahan-perubahan dalam struktur, fungsi, dan system dalam
masyarakat.
Perubaha social mengacu pada perubahan tatanan social dalam masyarakat
atau perubahan cara hidup suatu masyarakat tentang sistem sosialnya, baik
perubahan nilai-nilai, perubahan perilaku social, lembaga-lembaga social dan
hubungan sosial yang disebabkan oleh perubahan kondisi geografis, kebudayaan,
ideologi ataupun pengaruh yang dapat mempengaruhi kemajuan social dalam
system kemasyarakatan. Perubahan ini dapat terjadi cepat atau lambat tanpa
disadari oleh masyarakat, disukai maupun tidak disukai.

Di samping itupula penyebab terjadinya perubahan social disebabkan oleh


perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Hal ini ditandai dengan adanya
komunikasi modern dengan menggunakan tekhnologi yang berkembang pesat.
Maka dengan penemuan-penemuan baru baik dalam bidang tekhnologi, sosial,
maupun budaya, akan mendorong terjadinya revolusi, dan modernisasi
masyarakat. Dengan demikian kejadian disuatu tempat dengan cepat dapat
diketahui oleh masyarakat lain yang bertempat tinggal jauh dari pusat terjadinya
peristiwa tersebut.
Oleh sebab itu masyarakat yang sosialnya masih dalam taraf tradisional
secara bertahap berubah menjadi masyarakat modern. Suatu keompok Masyarakat
dikatakan modern bila memiliki tanda modernitas tersebut, yaituadanya apa yang
disebut dengan pengetahuan dan tekhnologi. Masyarakat modern lebih
mengedepankan rasionalitas dan lebih terbuka pada hal-hal yang baru. Dan
pranata sosial, politik ekonomi dan budaya lebih berkembang. Dalam tata
kerjanya lebih mengutamakan prinsip rasionalitas, analitik, kausal empiris dan
obyektif.
Waktu yang berbeda, seperti perubahan dari masa klasik ke masa
kontemporer, bisa menjadi salah aspek penilaian modern tidaknya sebuah
komunitas masyarakat. Dimana kondisi sosial pada masyarakat klasik penuh
dengan kesederhanaan, baik dalm struktur social, organisasi social, dan hubungan
social. Kondisi sosial ini berbeda dengan masyarakat kontemporer yaitu
kehidupan yang lebih modern, baik struktur, organisasi social, dan hubungan
social yang modern. Era masyarakat kontemporer ditandai dengan terjadinya arus
globalisasi, dimana meleburnya batas wilayah, termasuk menjadi kaburnya
batasan budaya antarar dunia timur dan barat, fashion dan style tidak lagi menjadi
monopoli masyarakat kelas tertentu, sehingga klasifikasi masyarakat atas,
menengah, dan kelas bawah yang dulu tampak jelas berbeda sudah tidak lagi jelas
perbedaannya, semua melebur dalam pencampuran.
Masih ada banyak sekali faktor pemicu yang dapat mempengaruhi dan
menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial. Perbedaannya terletak pada sifat
atau tingkat perubahannya. Perubahan yang terjadi, bisa saja menyangkut soalsoal
yang sifatnya fundamental mendasar, dan bisa juga berupa perubahan yang
sifatnya parsial dan berdampak kecil. Namun bagaimanapun sifat atau tingkat
perubahan pada masyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi tergantung kearah
mana gerak (direction of change) perubahan dalam masyarakat tersebut, bergerak
kepada suatu perubahan yang sudah ada dalam old form/bentuk lampau ataupun
bergerak kearah perubahan yang sama sekali baru/new form.2

Perkembangan Masyarakat Islam Kontemporer


Perkembangan masyarakat yang menyentuh kepada pengembangan
masyarakat Islam kontemporer merupakan terminologi kekinian yang
dicanangkan oleh kajian-kajian Islam. Berbagai pijakan serta realitas mendasar
adanya pembaharuan dalam Islam telah dipaparkan dalam latar belakang
pembahasan. Kondisi ini tentu menginspirasi secara serius setiap pribadi bahwa
hakikat dari pertumbuhan masyarakat akan menjadi tampak baik di saat mereka
menyadari bahwa perubahan sosial yang berada di tengah-tengah mereka adalah
keniscayaan dari hakikat perkembangan itu sendiri. Membangun kondisi
masyarakat Islam kontemporer disandarkan kepada penyadaran masing-masing
bahwa secara sosiologis masyarakat itu terdiri dari aneka ragam bentuk. Dalam

2
Titin Samsudin, “DINAMIKA HUKUM ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL”, Ejurnal
file:///E:/SEMSTER%204/SEJARAH%20PERKEMBANGAN%20HUKUM%20ISLAM/235260123.pdf,
Hal 4-9
analisis sosilogi masyarakat digambarkan menjadi dua kelompok primary group
(kelompok primer) dan secondary group (kelompok sekunder). Primary group
(kelompok primer) adalah keluarga. Ia merupakan unit/kesatuan oragnisasi sosial
yang terdiri dari sistem nilai-nilai yang mengajar anggotaanggotanya bagaimana
dia harus memuaskan kebutuhannya. Keluarga adalah suatu lembaga yang
memberikan pola tingkah laku manusia, mengkoordinasikan serta
mengintegrasikannya dan sampai tingkat tertentu ia dapat memberikan ramalan
tentang perilaku manusia. Keluarga mempunyai fungsi membentuk pribadi
mengendalikan tingkah laku dan mentransmisikan warisan sosial dari suatu
generasi ke generasi lainnya. Secondary group (kelompok sekunder) adalah
masyarakat itu sendiri di mana di dalamnya berkembang berbagai oraganisasi
sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, agama, dan sebagainya yang pengaruhnya
tidak kecil terhadap perkembangan pribadi manusia. Kelompok ini sering juga
disebut lembaga sekunder untuk menunjukkan bahwa sebagai suatu lembaga,
kelompok sekunder ini memiliki suatu sistem nilai-nilai sosial dan kultural yang
berkembang menurut mekanisme perkembangan lembaga itu sendiri (Arifin,
2004: 102-103)
Pemahaman atas kelompok-kelompok sosial yang berjalan di tengah-
tengah masyarakat bersandar seutuhnya kepada kenyataan bahwa dalam
keberadaannya, masyarakat dituntut menyadari kebersamaan dalam
keanekragaman. Perbedaan yang ada di tengah-tengah mereka merupakan sebuah
sunnatullah yang akan menyamakan mereka dalam perbedaan. Aneka konflik
yang mungkin muncul dalam keberadaan mereka perlu disikapi dalam maslahat
untuk kebersamaan. Masing-masing individu dalam kelompok perlu menyadari
secara seksama bahwa konflik antar budaya umumnya terjadi karena perbedaan
suku, agama, ras, dan antar golongan yang lebih dikenal dengan istilah SARA.
Pada masyarakat majemuk seperti di Indonesia, konflik SARA sering muncul
dengan berbagai latar belakang, lebih-lebih apabila kemajemukannya itu sendiri
saling memaksakan kehendak antara satu golongan dengan golongan lainnya atas
dasar kemajemukan, dan tidak mencari modus vivendi (titik persamaan). Penataan
lingkungan hidup karena penyebaran penduduk yang tidak merata misalnya,
sering menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal yang bergelombang. Di
samping kebijakan pembangunan yang sering tidak memihak dan mengindahkan
aspek sosio-kultural masyarakat menambah pemicu konflik yang kian rentan dan
menggunung (Aripuddin dan Sambas, 2007: 40-41).
Berbagai kebijakan yang muncul di tengah-tengah masyarakat memang
tidak bisa secara mudah diimplementasikan dalam perjalanan kehidupan sosial
mereka. Masyarakat akan senantiasa dipertemukan dengan conflict of interest
yang pada akhirnya mereka dituntut untuk bersikap keras atau melunak atas
kondisi tersebut. Namun, secara umum munculnya berbagai kecednerungan sosial
yang terdapat di tengah-tengah kehidupan masyarakat seringkali terkonfrontasi
atas keberadaan tersebut penolakan-penolakan yang bisa berujung kepada konflik
sektoral. Meskipun kondisi ini tidak diharapkan dalam realitas sosial
kemasyarakatan, namun keberadaannya menjadi fenomena umum yang bisa
banyak dijumpai. Perubahan sosial bukanlah sebuah proses yang terjadi secara
tibatiba, terlebih lagi ketiak perubahan sosial tersebut melibatkan individu atau
kelompok sosial sebagai target perubahan. Munculnya gagasangagasan baru,
temuan baru, serta munculnya kebijakan baru, tidak dapat diterima begitu saja
oleh individu atau kelompok sosial tertentu. Sejarah telah menunjukkan bahwa
proses perubahan pola pikir yang dominan, sangat sulit untuk diubah. Sebagai
contoh, perjuangan Galileo dalam mengubah mainstream yang sangat kuat
pengaruhnya saat itu. Pada saat Galileo menemukan teleskop dan kemudian dia
berupaya memunculkan
Teori baru, yaitu teori heleosentris. Melalui hasil pengamatan dari teleskop
buatannya, dia menemukan bahwa sebenarnya bumilah yang berputar
mengelilingi matahari. Temuan Galileo ini merupakan sebauh pandangan yang
bertentangan dengan anggapan yang diyakini saat itu, bahwa mataharilah yang
mengelilingi bumi (paham geosentris). Pandangan geosentris ini telah dilegitimasi
oleh institusi gereja pada masa itu, sebagai lembaga yang sangat kuat, setiap
pandangan yang telah dilegitimasi oleh gereja, mustahil untuk dapat diubah, dan
siap saja yang menentang gereja, maka akan mendapat hukuman. Galileo pun
akhirnya menemui ajalnya akibat temuannya tersebut yang dianggap melawan
ajaran gereja (Martono, 2012: 249-250)
Mengamati atas kondisi yang terjadi dari banyaknya konflik yang
diakibatkan oleh perkembangan dan pengembangan sosial kemasyarakatan
sebagaimana hal tersebut digambarkan di atas, dapat dimunculkan dalam
pemahaman setiap pribadi bahwa pemahaman atas organisme sosial dan
organisme kebudayaan merupakan fakta yang tiada bisa ditolak. Dialektika yang
muncul di tengah-tengah masyarakat harus disadari secara seksama bahwa hal
tersebut bagian dari konsekuensi dinamis kehidupan sosial itu sendiri. Kerangka
ini perlu masuk dalam kesadaran setiap pribadi yang pada akhirnya, perjumpaan
mereka masing-masing dalam lintasan sosial merupakan kemutlakan yang harus
diakui. Dialektika hubungan antar bangsa dan antar budaya semakin terasa baik
secara langsung maupun tidak langsung. Transfer budaya melalui buku-buku,
tayangan televisi telah menciptakan wacana baru dialektika hubungan-hubungan
antar budaya. Kondisi seperti ini sangat rentan terhadap konflik, khsususnya
konflik internal pada diri individu yang dapat melahirkan sikap-sikap jiwa yang
kurang sehat. Frustasi, depresi, dan isolasi diri menjadi pemandangan umum bagi
individu yang tidak siap menghadapi globalisasi budaya. Hal ini merupakan
kondisi yang memprihatinkan dalam perkembangan normal manusia. Pergeseran
nilai dan budaya berjalan dengan cepat semakin menambah persoalan-persoalan
seperti terjadi dalam keluarga dan masyarakat. Terjadinya kenakalan remaja,
keterlibatan narkotika, zat adiktif, dan obat-obatan terlarang (NAPZA) serta
pergaulan bebas seolah-olah telah menjadi keharusan sejarah yang sulit dipungkiri
menuju akulturasi budaya yang sesungguhnya (Aripuddin dan Sambas, 2007: 41).
3

BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Istilah ”paradigma” secara harfiah dapat berarti kaidah, dalil, tasrif dan
pola dari suatu teori yang dianggap benar dan baku Paradigma adalah pangkal
tolak (starting point) dan sudut pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal.
Perbedaan paradigma bukan hanya akan menghasilkan pemahaman yang berbeda,
melainkan juga nilai dan norma berbeda pula. Ada beberapa poin yang menjadi
tanda elastisitas paradigma kontemporer atau alternatif ini. Pertama, paradigma
teologis yang dikembangkan, tidak lagi bersifat teosentris, melainkan telah
berintegrasi dengan wilayah sosio-antropologis yang kemudian lumrah disebut
teo-antroposentris. Kedua, secara linguistik, paradigma alternatif menaruh sikap
skeptis terhadap fungsionalisme bahasa yang bercorak sempurna. Ketiga, pada
aspek metodologis, paradigma kontemporer menggunakan penalaran rasional
tanpa kehilangan arah dan titik pijak. Tekstualitas tidak dipakai di sini. Yang ada
justru kontekstualisasi kandungan teks dengan realitas.
Hukum Islam didefinisikan sebagai keseluruhan wahyu Allah yang
mengatur kehidupan muslim dengan segala aspek kehidupannya. Dari definisi ini
terlihat bahwa kata hukum Islam lebih dekat pengertiannya kepada kata syariat
Islam. Namun kata Hukum Islam ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia, dan
maknanya berubah menjadi syariat.
Perkembangan masyarakat yang menyentuh kepada pengembangan
masyarakat Islam kontemporer merupakan terminologi kekinian yang
dicanangkan oleh kajian-kajian Islam. Berbagai pijakan serta realitas mendasar
adanya pembaharuan dalam Islam telah dipaparkan dalam latar belakang
pembahasan. Kondisi ini tentu menginspirasi secara serius setiap pribadi bahwa
hakikat dari pertumbuhan masyarakat akan menjadi tampak baik di saat mereka
menyadari bahwa perubahan sosial yang berada di tengah-tengah mereka adalah
keniscayaan dari hakikat perkembangan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Tohir. Faruq, Paradigma Hukum Islam;Dari Klasik Menuju Kontemporer ,Asy-
Syari’ah, (Volume ii, No ii, Juni 2016).
3
Mas’udi, “Islam dalam Pertumbuhan Masyarakat Kontemporer (Analisis Pengembangan
Masyarakat Islam dalam lintasan Globalisasi)”, Ejurnal Volume 1, Nomor 1, Juni 2016, Hal 9-12
Samsudin. Titin. “Dinamika Hukum Islam dan Perubahan Sosial”, Ejurnal.
Mas’udi, “Islam dalam Pertumbuhan Masyarakat Kontemporer (Analisis
Pengembangan Masyarakat Islam dalam lintasan Globalisasi)”, (Ejurnal Volume
1, No 1, Juni 2016).

Anda mungkin juga menyukai