Anda di halaman 1dari 24

IDEOLOGI ISLAM DAN TRANSFORMASI KONTEKS LOKAL

Nama : Dafiq Husain

Asal Cabang : HMI Cabang Makassar

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

CABANG MAKASSAR

2022

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Ideologi Islam dan
Transformasi Konteks Lokal”.

Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Makassar 24 Juni 2022

Dafiq Husain

ii
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

Daftar Isi ............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3 Tujuan Dan Manfaat ................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

2.1 Pengertian Ideologi ................................................................................... 3

2.2 Islam dan Kebangsaan .............................................................................. 5

2.3 Islam dan Kearifan Lokal ....................................................................... 12

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 20

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 20

3.2 Saran ....................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah ajaran rahmatan lil alamin, maka Islam bersifat universal.
Keuniversalan Islam mengandung beragam nilai-nilai kebenaran yang sepantasnya
menjadi prinsip-prinsp dasar bagi manusia dalam menjalin hubungannya baik
secara vertikal maupun horisontal. Lebih dari itu, manusia juga diciptakan Allah
SWT dengan begitu sempurnanya agar ia dapat berbuat lebih baik yaitu perihal
kemampuannya dalam mengatur dan mengelola kehidupan dalam masyarakat
tempat ia berpijak. Dengan diberinya manusia kemampuan untuk berfikir lebih
rasional dari makhluk ciptaan tuhan yang lain, serta kemampuannya untuk
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka sudah pasti tugas
manusia bukan sekedar hanya mengelola sumber daya alam yang telah disediakan,
melainkan juga manusia diberi ilham untuk mengajak dan menuntun orang-orang
disekitarnya kejalan yang lebih baik guna menciptakan masyarakat yang beradab,
adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.
Islam sebagai agama, tidak datang kepada komunitas manusia yang hampa
budaya. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan,
tradisi dan praktik-praktik kehidupan sesuai budaya yang membingkainya. Konteks
sosiologis yang dihadapi Islam membuktikan bahwa agama yang beresensi wahu
ilahiyah dengan berbagai ajarannya, tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial
yang telah ada dalam masyarakat. Meskipun dalam perjalanannya, sisi universalitas
Islam selalu berdialog dengan fenomena dan realitas budaya di mana Islam itu
hadir.
Dalam pengalaman sejarah, apresiasi terhadap tradisi dan budaya lokal bisa
mengandung dua kemungkinan, yaitu pelestarian unsur-unsur positif budaya lokal
dan pelestarian unsur-unsur negatifnya. Dalam kaitan ini, sikap bijak yang harus
dikedepankan adalah keberagaman yang dinamis dan bersahabat dengan
lingkungan kultur, struktur dan kemajemukan masyarakat selagi tidak larut dan
hanyut dalam unsur-unsur lokal yang negative dan terbelakang. Inilah tuntutan
Islam yang dinamis dan inklusif, sebuah wujud artikulasi ajaran Islam yang

1
kontekstual, toleran dan solutif dalam menghadapi berbagai permasalahan
kebangsaan, keumatan dan kemanusiaan.
Islam sebagai agama universal hadir ditengah masyarakat Indonesia tidak
hanya membawa konsep tauhid saja, namun juga membawa sebuah konsepsi yang
menuntun masyarakat untuk meninggalkan tradisi dan budaya yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Inilah yang terkadang membuat dialektika antara agama dan
kebudayaan menghasilkan ketegangan didalam kehidupan masyarakat karena
perbedaan perspektif dari penafsiran ajaran Islam.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis bermaksud membuat makalah
dengan judul “IDEOLOGI ISLAM DAN TRANSFORMASI KONTEKS
LOKAL” guna memenuhi salahsatu persyaratan untuk mengikuti Intermediate
Training (LK 2) HMI Cabang Sinjai.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian dan Sejarah Konsepsi Ideologi?
2. Bagaimana Posisi Keislaman Di Tengah Kemajemukan Bangsa Indonesia?
3. Bagaimana Islam Memandang Kearifan Lokal?
1.3 Tujuan Dan Manfaat
1. Untuk mengetahui sejarah dan konsepsi ideologi sebagai sebuah
konstruksi nilai yang membentuk cara pandang manusia.
2. Untuk mengetahui dan lebih memahami bagaimana nilai keislaman
menjadi solusi masalah kebangsaan.
3. Untuk mengetahui dan lebih memahami bagaimana hubungan Islam dan
kearifan lokal.

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ideologi
Istilah ideologi sering kali dimengerti dalam arti yang bermacam-macam.
Istilah ideologi terdiri dari kata “ideo” dan “logi”. Kata “ideo” berasal dari bahasa
Yunani yaitu eidos, dalam bahasa latin disebut idea, yang berarti “pengertian”,
“ide”, atau “gagasan. Kata “logi” berasal dari bahasa Yunani yaitu logos yang
diartikan sebagai “gagasan”, “pengertian”, “kata”, dan “ilmu”. Jadi secara
terminologi dapat diterangkan bahwa ideologi berarti “pengetahuan tentang ide-
ide”, science of ideas. Penggunaan istilah ideologi bermula pada akhir abad ke-18
atau tahun1796 ang dikemukakan oleh seorang filsuf asal Perancis bernama Destutt
de Tracy dan kemudian dipakai oleh Napoleon.

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa ideology adalah sebuah ilmu


tentang gagasan. Adapun gagasan yang dimaksud adalah gagasan tentang masa
depan sehingga dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah sebuah ilmu tentang masa
depan. Gagasan ini juga sebagai sebuah cita-cita atau kombinasi dari keduanya,
cita-cita masa depan. Sungguh pun cita-cita masa depan itu sebagai sebuah utopia
atau impian, tetapi sekaligus juga merupakan gagasan ilmiah dan rasional yang
berasal bertolak dari analisis masa kini. Ideologi ini bukan sekadar gagasan
melainkan suatu gagasan yang diikuti dan dianut sekelompok besar manusia atau
bangsa, olehnya itu ideologi bersifat menggerakkan manusia untuk mewujudkan
gagasan tersebut.

Suatu gagasan betapapun ilmiah, rasional dam luhurnya, belum bisa disebut
ideologi apabila belum dianut oleh banyak orang dan diperjuangkan serta
diwujudkan melalui aksi-aksi yang berkesinambungan. Sedangkan ideologi dalam
bahasa Arab dapat diterjemahkan sebagai mabda’, secara etimologis mabda’ adalah
mashdar mimi dari kata bada’an (memulai), yabda’u (sedang memulai), bad’an
(permulaan), dan mabda’an (titik permulaan). Secara terminologi berarti pemikiran
mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang). Dari sisi lain

3
ideologi tersusun dari ide (fikrah) dan metode (thariqah). Ideologi dari sisi ini
ditinjau dari segi: Pertama, konsep atau pemikiran murni yang semata-mata
merupakan penjelasan konseptual tanpa disertai bagaimana metode menerapkan
konsep itu di dalam kenyataan. Kedua, metodologi yang menjelaskan bagaimana
pemikiran atau konsep itu diterapkan secara praktis. Tinjauan ideologi sebagai
kesatuan ide dan metode ini dimaksudkan untuk menerangkan bahwa metode
(thariqah) adalah suatu keharusan agar ide (fikrah) dapat terwujud.

Di saping itu, juga untuk menerangkan bahwa ide (fikrah) dan metode
(thariqah) yang khas untuk menerapkan ide (fikrah) tersebut yang berasal dari
ideology itu sendiri, bukan dari ideologi yang lain. Ide (fikrah) merupakan
sekumpulan konsep atau pemikiran yang terdiri dari aqidah dan solusi terhadap
masalah manusia. Sedangkan metode yang merupakan metodologi penerapan
ideologi secara operasional-praktis terdiri dari penjelasan cara menyelesaikan
masalah, cara penyebaran ideologi dan cara pemeliharaan aqidah, Jadi, ideologi
ditinjau dari sisi ini adalah gabungan dari ide (fikrah) dan metode (thariqah) sebagai
suatu kesatuan. Definisi ideologi yang diterangkan diatas bersifat umum, dalam arti
dapat dipakai dan berlaku untuk ideologi-ideologi dunia seperti Kapitalisme dan
Sosialisme. Dan tentu, dapat berlaku juga untuk Islam. Sebab Islam memang
mempunyai sebuah aqidah akliyah, yaitu aqidah islamyah dan mempunyai
peraturan hidup yang sempurna, yaitu syariat Islam.

Meskipun suatu ideologi telah memiliki solusi terhadap suatu masalah


kehidupan yang fundamental dan mempunyai cara memecahkan berbagai
permasalahan kehidupan manusia, namun itu bukanlah jaminan bahwa ideologi
tersebut merupakan ideologi yang benar, yang mempunyai kemampuan untuk
membawa manusia mencapai kebahagian hakiki dan menghindarkannya dari
malapetaka kehidupan dunia. Ideologi yang benar adalah ideologi yang muncul di
dalam pemikiran manusia melalui wahyu Allah. Karena ideologi ini bersumber dari
Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan, yang Maha Mengetahui segalah
sesuatu, sehingga pemecahan atas permasalahan pokok kehidupan dan berbagai
permasalahan kehidupan lainnya yang kebenarannya pasti. Sedangkan ideologi

4
yang muncul di dalam pemikiran manusia karena kejeniusannya adalah ideologi
yang salah (bathil), karena manusia hanyalah mahluk Allah sehingga memiliki
kelemahan, termasuk ketidakmampuan akalnya dalam menangkap seluruh realitas
yang ada di dunia ini.

Di lain sisi, manusia juga selalu memiliki pandangan yang berbeda


terhadapa suatu masalah hukum dan kebijakan publik sehingga muncul
pertentangan dan perselisihan yang menyebabkan pandangan mayoritas atau
mungkin hanya pandangan orang-orang yang memiliki kekuatan kekuasaan atau
harta) di atas orang lainnya yang akan diterapkan atau bahkan dipaksakan.
Akibatnya pandangan yang diterapkan sangat kontradiksi dengan kebenaran yang
seharusnya dan mengakibatkan kesengsaraan manusia. Ideologi mempunyai fungsi
penting, yaitu menanamkan keyakinan atau kebenaran perjuangan kelompok atau
kesatuan yang berpegang teguh pada ideologi itu, maka ideologi menjadi inspirasi
dan sumber cita-cita hidup bagi para warganya, khususnya yang masih muda.

Apabila kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga
ideologi, yaitu Kapitalisme, Sosialisme dan Islam. Dua ideology pertama masing-
masing diemban oleh satu atau beberapa Negara, sedangkan ideologi yang ketiga
yaitu Islam, tidak diemban oleh negarapun, Islam hana diemban oleh individu dan
gerakan Islam, sumber konsepsi ideologi Kapitalisme dan Sosialisme berasal dari
daya akal manusia, sedangkan Islam bersumber dari wahyu Allah SWT.

2.2 Islam dan Kebangsaan


Sebagaimana halnya dengan paham demokrasi, paham kebangsaan atau
nasionalisme ini pada mulanya mendapat tantangan keras dari para tokoh,
pemimpin Islam, bahkan para tokoh nasional pada umumnya. Penolakan ini
didasarkan pada hasil kajian mendalam yang mereka lakukan, yaitu bahwa paham
nasionalisme atau kebangsaan itu merupakan produk Barat yang karakternya tidak
sejalan dengan ajaran Islam dan nilai-nilai budaa bangsa. Anggapan bahwa
nasionalisme Barat adalah nasionalisme yang mengandung hal-hal negatif seperti
individualism, demokrasi liberal yang dilakukan kaum kapitalis, suatu stelsel yang
dapat mencelakakan manusia, imperialism dan saling menyerang. Namun demikian

5
paham nasionalisme atau kebangsaan ini pada tahap-tahap selanjunya dapat
diterima oleh masyarakat Indonesia setelah diberi makna dan muatan yang berbeda
dari nasionalisme Barat.

Nasionalisme yang diterima di Indonesia adalah nasionalisme tauhid,


menerima rasa hidupnya sebagai wahyu dan menjalankan rasa hidupnya sebagai
suatu bakti, memberi rasa cinta pada bangsa lain sebagai lebar dan luasnya udara,
yang memiliki tempat segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang
dalam roh menjadi “perkakas Tuhan” hidup dalam roh, nasionalisme yang sama
dengan kemanusiaan. Nasionalisme inilah yang selanjutnya dikenal dengan nama
nasionalisme Timur yang digagas oleh Mahatma Ghandi, Rabendranath Tagore,
Mustafa Kamil, Jose Rizal, dan Dr. Sun Yat Sen. Nasionalisme yang diterapkan di
Indonesia adalah nasionalisme Timur yang disesuaikan dengan nilai-nilai agama
dan budaya yang berkembang di Indonesia. Nasionalisme di Indonesia adalah
nasionalisme yang anti imperialisme, kolonialisme, kapitalisme, individualisme
dan liberalisme serta nasionalisme Barat lainnya. Nasionalisme di Indonesia adalah
nasionalisme tauhid (berdasarkan keimanan dan kemanusiaan) serta menolak
prinsip-prinsip yang terkandung dalam nasionalisme Barat ini.

Dalam perkembangan selanjutnya wawasan kebangsaan atau nasionalisme


yang berwawasan tauhid dan kemanusiaan serta berbeda dengan nasionalisme Barat
itu semakin diterima oleh masyarakat Indonesia. Dalam hubungan ini terdapat
sejumlah pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat hubungan Islam dengan
kebangsaan, yaitu pendekatan normatif keagamaan Islam, pendekatan historis
keIndonesia, pendekatan psikologis dan pendekatan pragmatis. Ketiga macam
pendekatan ini selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, secara
normatif keagamaan, Islam memerintahkan agar di antara umat manusia yang
memiliki perbedaan latar belakang jenis kelamin, suku, golongan, dan lainnya
melakukan kerja sama, tolong menolong, saling beradaptasi, dan bersinergi, dan
membentuk suatu bangsa guna mencapai sebuah kehidupan yang rukun, damai,
toleran, sejahtera, lahir dan batin, serta terpenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.

6
Para ulama umumnya mendasarkan pemikiran kebangsaan ini pada firman Allah
SWT sebagai berikut.

‫ََ ي َ َه‬ َ ‫يا ن َ َهَ خ ا َ َِّ م ِّ ر نَ َ ن َٖ َو ي لن لن ي َ و ىََس َ س‬


‫إ ل‬َ ‫َه‬ َ َ ‫َ َس ىَ وَس ت إ َ َ ىَ ن ا‬
‫َِّ ر تَ َ ق َ ىم ل ي َ َ َ نر َ َِّ ر د َِ س نَ َ َ َ َ َِّ ر عَش َم‬ ‫ لن ل ي َ ي َ و‬٣١َ ‫ٖب‬

Artinya : Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti. (Q.S. al-Hujurat, 49:13).

Disamping memerintahkan manusia agar membentuk sebuah kesatuan


dengan saling kenal mengenal dan bersinergi, ayat tersebut juga meletakkan dasar-
dasar kesatuan dan kebangsaan tersebut, yaitu kualitas moral dalam bentuk
ketakwaan sebagai ukuran tertinggi, dan bukan berdasarkan etnis (suku), bahasa,
jenis kelamin, tradisi, warna kulit dan sebagainya. Dengan dasar kualitas moral
dalam bentuk ketakwaan tersebut, maka yang menjadi dasar bangunan kebangsaan
dalam pandangan Islam adalah sikap egaliter (kesederajatan) manusia di hadapan
Tuhan, kualifikasi, kompetensi kualitas, profesionalitas dan mertokrasi. Dalam
Islam semua manusia memiliki peluang atau akses yang sama dalam mendapatkan
berbagai kebutuhan hidupnya, namun hal itu harus dicapai dengan tidak melanggar
moral, serta dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam hubungan ini menarik
apa yang dikatakan oleh Harold Archibald Gibb:, dalam M. Hashem. Keagungan
Dunia terhadap Islam bahwa Islam masih akan mempersembahkan pembaktian
kepada umat manusia. Tidak ada satu masyarakat yang mencatat hasil dalam
mempersatukan persamaan kedudukan, persamaan kesempatan dan usaha terhadap
bangsa-bangsa manusia yang demikian banyak dan demikian aneka ragamnya.

Pilar-pilar kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka


Tunggal Ika dan NKRI sebagaimana tersebut di atas, menurut hasil kajian para ahli
adalah sejalan dengan ajaran Islam, bahkan pilar-pilar tersebut digali dari ajaran

7
Islam. Dalam bukunya Islam Substantif, Asyumardi misalnya mengatakan: Semua
sila Pancasila bersesuaian dengan Islam. Islam mengajarkan manusia untuk hanya
percaya pada satu Tuhan, seperti yang bisa dengan gamblang terlihat pada kalimat
syahadat. Islam juga mendesak pemeluknya untuk bersatu, saling mengasihi dan
bermusyawarah dalam urusan sosial dan politik. Disamping itu, Islam sangat
menekankan tegaknya keadilan sosial. Selanjutnya secara normatif, Islam tidak
hanya mengajarkan urusan keagamaan atau keakhiratan atau hubungan dengan
Tuhan melalui serangkaian ibadah ritual saja, melainkan juga mengatur urusan
keduniaan atau hubungan dengan manusia melalui serangkaian ibadah muamalah,
seperti urusan ekonomi, politik, pemerintahan dan sebagainya. Masalah kebangsaan
atau hidup sebagai sebuah bangsa yang berdaulat adalah merupakan urusan
keduniaan, dan karenanya Islam juga memperhatikan masalah kebangsaan. Karena
kebangsaan dapat menjamin sebuah kehidupan yang rukun dan damai dalam
perbedaan, dan dengan rukun dan damai ini, ajaran agama dapat dipahami, dihayati
dan diamalkan, maka kehidupan kebangsaan menjadi prasyarat bagi terlaksananya
ajaran Islam.

Karena melaksanakan ajaran Islam merupakan kewajiban, maka


menyediakan berbagai persyaratan bagi tegaknya agama juga menjadi wajib.
Dengan demikian menegakkan kebangsaan menjadi wajib hukumnya. Kesimpulan
ini bisa didasarkan pada kaidah fiqhiyah yang berbunyi: Maa laa yatimmu al-wajibu
ila bihi fahuwa waajibun: Sebuah kewajiban tidak akan tegak jika tidak ada sesuatu,
maka sesuatu itu menjadi wajib. Hubungan Islam dengan kebangsaan lebih lanjut
dapat dilihat dari pentingnya menegakkan nilai-nilai universal dan kekal ajaran
Islam, seperti kebenaran, keadilan, kasih sayang, kesabaran, perpaduan, kebaikan,
keindahan dan sebagainya, dengan tidak terlalu terpaku pada aturan yang bersifat
formal, atau boleh dilakukan reinterpretasi sepanjang sejalan dengan nilai-nilai
universal ajaran Islam. Sebagai contoh, di dalam al-Qur’an, surat al-Anfal (6) aat
41, bahwa tanah-tanah negeri yang ditaklukkan oleh tentara Islam dibagi kepada
tentara yang menaklukkannya, fakir miskin dan lainnya. Akan tetapi Umar memilih
jalan lain. Tanah-tanah itu tetap dimiliki oleh pemiliknya yang asal, tetapi mereka

8
harus membayar pajak tanah, dan para pemilik itu juga membayar jizyah yang boleh
disamakan dengan pajak kepala. Umar berpendapat, jika ketentuan al-Qur’an
tersebut dilaksanakan tidak akan mencapai keadilan, karenanya zaman sudah
berubah. Pada saat tanah-tanah tersebut dibagikan kepada prajurit atau tentara yang
ikut berperang, keadaan tentara tersebut masih miskin. Akan tetapi pada pada
zaman pemerintahan Umar, keadaan sudah berubah. Islam makin kukuh dan teguh,
tentara Islam terdiri dari lasykar-lasykar yang profesional, dan kehidupan serta
kedudukan mereka terjamin. Oleh karena itu, adalah lebih adil tanah itu dikekalkan
pada tangan pemiliknya asalnya karena kebanyakan dari mereka terdiri dari orang-
orang dhaif.

Mengingat kebangsaan merupakan sebuah produk ijtihad yang bisa saja


secara langsung dan eksplisit tidak dijumpai di dalam ajaran Islam, namunn nilai-
nilai universal yang ada di dalamnya sejalan dengan ajaran Islam, maka wawasan
kebangsaan tersebut dapat, bahkan wajib digunakan. Secara historis, wawasan dan
pilar-pilar kebangsaan Indonesia: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan
NKRI dilahirkan oleh para pendiri bangsa (The Founding Father) yang sebagian
besar dari mereka adalah para ulama dan tokoh-tokoh Islam, seperti K.H.Wahid
Hasyim, H.Agus Salim, Muhammad Natsir, KH.Mas Mansyur, bahkan Soekarno
dan Hatta sekalipun tidak tergolong sebagai ulama atau ahli agama, namun kedua
tokoh ini tergolong sebagai orang yang religius dan Islamis, dan ingin sekali
mengamalkan ajaran-ajaran Islam tentang kemajuan sebagaimana yang terdapat di
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam hubungan ini, KH. Ali Yafie mengatakan:
bahwa rakyat Indonesia sudah cukup berpengalaman di dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara selama ini. Bangsa Indonesia telah menampilkan suatu pola
kehidupan beragama yang dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara,
bahkan lebih dari itu, terdapat aset nilai-nilai agama dakam suratan konstitusi UUD
1945 yang cukup besar untuk dapat dikembangkan. Usaha para tokoh Islam untuk
membangun pilar-pilar kebangsaan dan melaksanakannya dalam sebuah negara
kesatuan. Republik Indonesia, sesungguhnya kemiripan dengan yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana tertuang dalam piagam Madinah. Di

9
dalam dokumen tersebut Nabi Muhammad SAW mempersatukan antara kaum
Muslim dari suku Quraisyi dan Yastrib, antara kaum Muhajirin dan Anshar. Orang-
orang Muhajirin dari suku Quraisy tetap berpegang pada adat istiadat mereka, yaitu
saling membantu dalam membayar dan menerima uang tebusan darah diantara
mereka. Dokumen tersebut memberikan jaminan dan perlindungan pada semua
warga untuk menjalankan ibadahnya masing-masing, serta mengamalkan nilai-nilai
budaya yang dimilikinya, namun diantara mereka harus mengembangkan sikap
toleransi, tolong menolong dalam membela dan mempertahankan kedaulatan
Negara, dan harus berjanji setia untuk hidup sebagai sebuah bangsa. Islam dan
kebangsaan sebagaimana yang digagas oleh tokoh agama tersebut memperlihatkan,
bahwa hubungan Islam dengan negara di Indonesia tidak didasarkan pada logo,
simbol atau namanya yang bersifat formal, melainkan lebih pada sisi substansinya,
yakni walaupun dasar kebangsaan negara kita bukan syari’at Islam, namun pilar-
pilar kebangsaan Indonesia ini sangat menjamin, melindungi dan menyuburkan
pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam dalam berbagai bidang kehidupan sosial,
ekonomi, budaya, pendidikan, dakwah dan sebagainya. Secara psikologis, manusia
adalah makhluk yang dalam menjaga keberlangsungan hidupnya, baik secara
jasmani atau rohani, spiritual atau material sangat membutuhkan dan bergantung
kepada orang lain.

Berbagai kebutuhan hidup manusia, seperti sandang, pangan, papan,


pendidikan, kesehatan, keamanan, hiburan dan lain sebagainya tidak dapat dipenuhi
oleh dirinya sendiri. Semua kebutuhan manusia itu berasal dari hasil tolong
menolong dan kerjasama dengan orang lain. Namun demikian, karena secara
psikologis, manusia terkadang melampaui batas, cenderung melanggar, anarkis dan
sebagainya dalam mendapatkan berbagai kebutuhan tersebut, maka diperlukan
adanya nilai-nilai etika yang harus dipatuhi, dan agar nilai-nilai etika tersebut dapat
ditegakkan, maka diperlukan adanya pemerintahan, dan agar pemerintahan tersebut
tidak berbuat sewenang-wenang, maka pemerintahanpun harus tunduk pada aturan
yang lebih tinggi yang berasal dari Tuhan. Secara pragmatis, wawasan kebangsaan
sangat dibutuhkan guna menjamin terwujudnya sebuah kehidupan yang aman,

10
tertib dan damai. Indonesia adalah rumah kita bersama. Tempat kita hidup dan
menjalani kehidupan; tempat kita berteduh, tempat kita mendapatkan makanan,
minuma, pakaian, pendidikan, kesehatan, keamanan dan sebagainya. Jika rumah
Indonesia ini hancur, maka rakya yang ada di dalammnya akan mengalami berbagai
kesulitan. Setiap penduduk Indonesia wajib menjaga keutuhan, kekuatan, dan
kekokohan Indonesia, Dalam keadaan negara yang demikian memungkinkan
manusia dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pemahaman, penghayatan
dan pengamalan ajaran Islam membutuhkan sebuah wadah yakni negara yang
tertib, aman dan damai, dan negara yang demikian harus memiliki wawasan
kebangsaan yang kokoh. Dengan kehidupan kebangsaan yang demikian, maka umat
Islam dapat menjalankan ibadahnya dengan khusyu, melakukan kegiatan dakwah,
pendidikan dan melahirkan berbagai karya-karya inovatif lainnya. Sebaliknya tanpa
adanya sebuah negara yang aman dan damai, maka berbagai kegiatan umat
beragama tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, sebagaimana hal yang
demikian dapat disaksikan pada berbagai negara di kawasan Timur Tengah. Mereka
hidup dalam suasana cemas, penuh ketakutan, kekurangan sandang, pangan dan
papan, kehilangan masa depan, mereka mengungsi mencari perlindungan dari
negara lain, dan setiap hari menghadapi suasana ketakutan yang diakibatkan oleh
adanya peperangan di antara kelompok-kelompok yang saling bermusuhan.

Relasi antara Islam dengan negara senantisa menuai perdebatan yang tidak
ada habisnya. Sejak jauh sebelum Indonesia merdeka hingga saat ini tema tersebut
senantiasa ramai diperbincangkan. Tidak hanya diperbincangkan namun sebagian
kalangan sudah mulai membuat gerakan yang memuat ide pendirian khilafah
islamivah, ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam dengan berbagai
aturannya pun harus mengacu pada hukum Islam.

Setidaknya ada tiga macam respon dalam menanggapi relasi Islam dengan
Negara menurut Gus Dur, yaitu respon integrative, respon fakultatif, dan respon
konfrontatif. Respom integrative, berarti Islam sama sekali dihilangkan kedudukan
formalnya dan umat Islam tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan

11
Negara. Sedangkan sikap responsif fakultatif berarti jika kekuatan gerakan Islam
cukup besar di parlemen, maka mereka akan berusaha membuat perundang-
undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka juga tidak
memaksakan, melainkan menerima aturan vang dianggap berbeda dari ajaran Islam.
Dan sikap komfrontatif merupakan sikap penolakan tanpa kompromi terhadap
kehadiran hal-hal vang dianggap tidak islami.

Islam pun sesungguhnya tidak mengenal pembagian wilayah yang jelas


antara politik dan agama, bahkan Islam tidak pernah lepas dari politik. Konteks
sejarah Islam menunjukkan bahwa agama itu lahir sebagai protes terhadap
ketidakadilan di tengah masyarakat komersial Arab pada saat itu. Sehingga Al-
Qur’an secara jelas memberikan dorongan untuk peduli terhadap hak-hak asasi
mansusia dan melindungi mereka dari manipulasi yang datang dari kelas-kelas
masyarakat vang lebih kuat.

2.3 Islam dan Kearifan Lokal


Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi, karena pada keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama
mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, sedangkan kebudayaan dapat
mempengaruhi sistem nilai dan simbol agama. Agama adalah simbol yang
melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan, dan kebudayaan juga mengandung
supaya manusia dapat hidup di dalamnya. Agama dalam perspektif ilmu-ilmu
sosialadalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai
konstruksi realitas, yang berperan besar dalam struktur tata normative dan sosial.
Sedangkan budaya merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam
masyarakat tertentu) yang mengandung nilai-nilai religiusitas, filosofis dan kearifan
lokal (lokal wisdom).

Kehadiran Islam ditengah masyarakat yang sebelumya sudah memiliki


nilai-nilai budaya dan adat istiadat mengakibatkan terjadinya interaksi antar dua
unsur budaya yang berbeda, yaitu di satu sisi Islam dan di sisi lain budaya lokal.
Dalam proses interaksi tersebut, Islam dapat terakomodasi oleh nilai-nilai lokal.

12
Pada sisi lain, Islam yang datang di tengah masyarakat yang telah memiliki sistem
nilai, berusaha mengakomodasi nilai-nilai lokal. Ini merupakan ciri khas ajaran
Islam, yakni bersifat akomodatif sekaligus reformatif terhadap suatu budaya
maupun tradisi yang ada tanpa mengabaikan kemurnian Islam itu sendiri. Al-
Qur’an sendiri menyatakan bahwa tradisi orang-orang terdahulu seringkali menjadi
pijakan bagi orang-orang atau generasi berikutnya, “(agama kami) ini tidak lain
hanyalah adat kebiasaan orang terdahulu.

Ayat tersebut tampaknya di satu sisi memberikan isyarat pentingya tradisi,


tetapi di sisi lain kita tidak boleh terjebak pada sikap tradisionalisme. Interaksi
Islam dengan budaya lokal pada suatu masyarakat mengalami bentuk hubungan
vang beragam. Beragamnva bentuk hubungan tersebut tergantung dari penghayatan
masyarakat terhadap ajaran Islam itu sendiri. Kedatangan Islam melalui dakwah
tidak dilakukan dengan melangsungkan oposisi terhadap budaya lokal, tetapi
mewarnai tradisi dengan spirit Islam. Masyarakat bahkan memiliki caranya sendiri
untuk tetap menjaga agar budava lokal tetap dilakukan dengan tanpa menciderai
jiwa Islam, sementara Islam dijalankan dengan tetap menjaga harmoni tradisi
masyarakat. Dengan demikian interaksi Islam dan budaya lokal dimaksud sebagai
akulturasi nilai-nilai Islam yang terkandung dalam budaya lokal.

Dalam bidang muamalah, umat Islam dalam berkehidupan harus selalu


menghargai kearifan lokal yang tidak melanggar syariat Islam dan wajib
meluruskannya manakala bertentangan dengan syariat Islam, sehingga kearifan
local tetap harus tunduk kepada aturan Allah SWT, tidak sebaliknya. Karena tidak
semua kearifan local sejalan dengan syariat ajaran Islam.

Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak
dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri, karena kearifan lokal ini
menjadi satu kesatuan dengan masyarakat setempat. Masyarakat disetiap daerah
pun memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda, tergantung dengan kultur dan
kebiasaan masyarakatnya tersendiri. Kearifan lokal (local wisdom) ini biasanya
diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi setelahnya melalui

13
cerita dari mulut ke mulut yang disyiarkan melalui masyarakat setempat itu sendiri.
Meskipun di setiap daerah mempunyai kultur yang berbeda dengan daerah lainnya
dan memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda pula, tetapi kerifan lokal terbukti
memberikan solusi kongkrit terhadap persoalan lokal dan regional yang terjadi di
masyarakat. Diantara kearifan lokal itu ialah adat istiadat dan hukum adat. Adat
istiadat lebih merupakan sistem nilai yang sifatnya lebih abstrak. Sedangkan norma-
norma sosial kemasyarakatan yang memiliki reward dan punishmen. Hukum adat
di dalam lintasan masyarakat Nusantara sudah sekian lama mengabdikan diri
menyelesaikan sejumlah persoalan di dalam masyarakat, termasuk di dalamnya
terkait konflik horizontal, baik yang bertema etnik maupun agama atau
kepercayaan. Meskipun berada dibawah naungan hukum undang-undang, tetapi
dalam masyarakat ada ada sebuah kearifan lokal yaitu hukum normatif yang
disepakati secara kolektif sebagai instrument penyelesaian masalah yang ada di
daerah itu sendiri, ini terbukti ampuh dalam penyelesaian masalah yang terjadi di
dalam kehidupan masyarakat adat. Indonesia memiliki ribuan pulau dengan
berbagai etnik, tidak dapat disangkal juga memiliki kearifan lokal yang amat kaya
dan melimpah. Kearifan secara harfiah, berasal dari bahasa Arab dari akar kata
arafa-ya’rifu berarti memahami atau menghayati, kemudian membentuk kata
“kearifan” yang bisa diartikan sebagai sikap, pemahaman dan kesadaran yang tinggi
terhadap sesuatu.

Kearifan adalah kebenaran yang bersifat universal sehingga jika


ditambahkan dengan kata lokal maka bisa mereduksi pengertian kearifan itu sendiri.
Setiap kali kita berbicara tentang kearifan maka setiap itu pula kita berbicara
tentang kebenaran dan nilai-nilai universal. Menentang kearifan lokal berarti
menentang kebenaran universal. Kebenaran universal tersebut sesungguhn
sesungguhnya akumulasi dari nilai-nilai kebenaran lokal. Tidak ada kebenaran
universal tanpa kearifan lokal. Jadi tidak tepat memperhadap-hadapkan antara
kearifan lokal dan kebenaran universal.

Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 104 disebutkan bahwa:

14
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali ‘Imran/3:104):

Untuk urusan kebaikan Allah menggunakan kata menyerukan dan untuk kata
makruf digunakan kata menyuruh. Kata makruf dapat disinonimkan dengan
kearifan yang disepakati kebenarannya oleh umumnya komunitas. Sedangkan
kebaikan adalah kebenaran yang belum serta-merta diterima oleh oeang non-Islam.

Meskipun memberikan banyak dampak positif, kearifan lokal terkadang


juga menyimpang dari ajaran-ajaran syariat Islam. Dalam kearifan lokal yang
berbungkus adat istiadat, tidak sedikit tradisi (adat-istiadat) yang mayoritas dianut
oleh muslim di Indonesia sangat jauh dari nilai-nilai murni dan shahih dari Al-
Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Kita akan mudah menyaksikan, melihat,
mengamati, mendengar, merasakan bahkan turut terlibat dalam ritual tradisi turun
temurun yang diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga di zaman digital
hari ini, tetapi kebiasaan yang dilakukan bersimpangan dengan syariat Islam yang
menjadi falsafah hidup umat Islam itu sendiri. Menurut pakar kebudayaan,
Koentjaraningrat dalam bukunya bahwasanya dalam adat istiadat akan ditemukan
tiga wujud kebudayaan, pertama, wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai atau
norma. Kedua, wujud kebudayaan sebagai aktivitas atau pola tindakan manusia
dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia. Sebagaimana definisi tersebut maka tradisi (adat-istiadat) merupakan
suatu kesatuan yang terpolakan, tersistem dan terwariskan turun temurun. Nilai-
nilai yang dianut dalam sebuah tradisi pada masyarakat tertentu misalnya nilai sirri
na pace (harga diri dan rasa malu) di Makassar adalah suatu kekayaan leluhur yang
hingga hari ini masih diyakini masyarakat Bugis-Makassar, Sulawesi-Selatan.
Masih begitu banyak tradisi yang diagungkan oleh setiap suku di Indonesia dan
menjadi sebuah kebanggaan dan pemersatu antar suku bangsa.

Setiap aturan-aturan, anjuran perintah tentu saja akan memberi dampak


positif dan setiap larangan yang diindahkan membawa keberuntungan bagi hidup

15
manusia. Salah satu larangan yang akan membawa maslahat bagi manusia adalah
menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan nenek moyang terdahulu yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Hal tersebut sebagaimana yang Allah firmankan
dalam Al-Qur’an :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada
nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal,nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah:170)

“Dan apabila dikatakan pada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan
Allah dan (mengikuti) Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang
kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan
mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS Al-Maidah:104)

Kedua ayat tersebut menjelaskan kepada kita tentang orang-orang yang lebih pauh
pada ajaran dan perintah nenek moyangnya daripada syariat yang diwahukan oleh
Allah di dalam Al-Qur’an Seperti adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu pada
ritual yang menjajikan keselamatan, ketenangan hidup, penolak bala yang menjadi
salah satu tradisi masyarakat Indonesia di berbagai daerah.

Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya masyarakat Islam.
Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, ia adalah keseluruhan jiwa Islam.
Penjagaan atas aqidah dan tauhid yang bersih ini merupakan kewajiban yang
pertama kali ditekankan dalam syariah Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan
jahiliyah yang dikembangkan oleh paham keberhalaan vang sesat merupakan suatu
keniscayaan, demi mensucikan masyarakat muslim dari debu-debu syirik. Sehingga
kearifan lokal tentu saja harus digalidalam maknanya yang paling substansial dari
tradisi lokal dan kemudian secara selektif ditarik ke dalam nilai-nilai keadaban.
Dengan kata lain, tidak semua tradisi lokal mengandung nilai keadaban, dank arena
itu tidak semua tradisi lokal menjadi sumber bagi kearifan lokal. Tradisi lokal harus

16
terseleksi untuk ditransformasikan ke dalam kearifan lokal dan harus paralel dengan
nilai-nilai ajaran Islam yang telah menjadi pandangan dunia bagi setiap Muslim.

Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal
diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul Al-Fiqih, bahwa
“Adat adalah syariah yang dihukumkan” Artinya adat dan kebiasaan suatu
masyarakat, yaitu budaya lokal, adalah sumber hukum dalam Islam berkenaan
dengan itu, tidak perlu lagi ditegaskan bahwa unsur-unsur budaya lokal yang dapat
atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan
prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilah makna
kehadiran Islam di suatu tempat atau negeri. Karena itu, setiap masyarakat Islam
mempunyai masa jahiliahnya sendiri yang sebanding dengan apa yang ada pada
bangsa Arab.

Jadi, kedatangan Islam selalu mengakibatkan adanya pemberontakan


masyarakat atau “pengalihan bentuk” (transformasi) sosial menuju ke arah yang
lebih baik. Tapi, pada saat yang sama, kedatangan Islam tidak mesti disruptif atau
memotong suatru masyarakat dari masa lampaunya semata, melainkan juga dapat
ikut melestarikan apa saja yang benar dan baik dari masa lampau itu dan bisa di
pertahankan dalam ujian ajaran universal Islam. Dalam ilmu Ushul Al-Fiqih,
budaya lokal dalam bentuk adat kebiasaan itu juga disebut ’urf (secara etimologi
berasal dari akar kata yang sama dengan al-ma’ruf). Karena ‘urf suatu masyarakat,
sesuai dengan uraian di atas, menagandung unsur yang salah dan yang benar
sekaligus, maka dengan sendirinya orang-orang Muslim harus melihatnya dengan
kritis dan tidak dibenarkan sikap yang membenarkan semata, sesuai dengan
berbagai prinsip Islam sendiri yang amat menentang tradisionalisme.

Sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsur terjadinya


transformasi suatu masyarakat yang mengalami perkenalan dengan Islam. Karena
itu, kedatangan Islam di suatu negeri atau masyarakat, sebagaimana telah
dijelaskan, dapat bersifat disruptif. Tapi, sesuai dengan kaidah yurisprudensi Islam

17
di atas, kita perlu membedakan antara “tradisi” dan “tradisionalitas”. Jelasnya,
suatu tradisi belum tentu semua unsurnya tidak baik, maka harus dilihat dan diteliti
mana yang baik untuk dipertahankan dan diikuti. Sedangkan tradisionalitas adalah
pasti tidak baik, karena ia merupakan sikap tertutup akibat pemutlakan tradisi
secara keseluruhan, tanpa sikap kritis untuk memisahkan mana yang baik dan mana
yang buruk.

Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat
jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini, diyakini bahwa agama
merupakan penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam sebagai
agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu
masyarakat Muslim. Persoalan interaksi agama dengan budaya pada intinya
melibatkan suatu pertarungan atau setidaknya ketegangan antara doktrin agama
yang dipercaya bersifat absolut karena berasal dari Tuhan dengan nilai-nilai
budaya, tradisi, adat istiadat produk manusia yang tidak selalu selaras dengan
ajaran-ajaran ilahiyah. Dengan kata lain agama memberikan kepada manusia
sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas yang didasarkan bukan pada
pengetahuan dan pengalaman empiris kemanusiaan itu sendiri, melainkan dari
otoritas ketuhanan. Disadari bahwa Islam sebagai agama tidak datang kepada
komunitas manusia dalam kondisi hampa budaya. Islam hadir kepada suatu
masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktek-praktek
kehidupan sesuai dengan budaya yang membingkainya. Konteks sosiologis yang
dihadapi Islam membuktikan bahwa agama yang beresensi kepasrahan dan
ketundukan secara total kepada Tuhan dengan berbagai ajaran-Nya, keberadaannya
tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial yang memang telah ada dalam
masyarakat.

Meskipun dalam perjalanannya Islam selalu berdialog dengan fenomena


dan realitas budaya di mana Islam itu hadir. Kehadiran agama telah merambah ke
berbagai dimensi budaya manusia, mulai dari tradisi bahasa, pakaian, pergaulan,
pola penyembahan, falsafah kearifan lokal, ritual kebahagiaan dan rasa syukur,
prosesi kelahiran dan kematian, pernikahan dan warisan, dan lain-lain, sampai

18
kepada hal privat seperti etika hubungan seksual. Kesediaan Islam berdialog dengan
budaya lokal masyarakat., selanjutnya mengantarkan diapresiasinya secara kritis
nilai-nilai lokalitas dari budaya masyarakat beserta karakteristik yang mengiringi
nilai-nilai budaya itu. Kontak antara budaya masyarakat yang diyakini sebagai
suatu bentuk kearifan lokal dengan ajaran dan nilai-nilai yang dibawa oleh Islam
tidak jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat. Kemudian yang
terjadi ialah akulturasi dan mungkin sinkretisasi budaya, seperti praktek meyakini
iman di dalam ajaran Islam akan tetapi masih mempercayai berbagai keyakinan
lokal. Dalam proses lokalisasi, unsur Islam yang diposisikan sebagai pendatang
harus menemukan lahannya di dalam budaya lokial. Pencangkokan ini terjadi
dengan bertemunya nilai-nilai yang dianggap sesuai satu sama lain dan meresap
sedemikian jauh dalam tradisi yang terbentuk. Inilah sebabnya, berbagai tradisi
vang ada pada hakikatnya adalah Islam yang telah menyerap tradisi lokal, sehingga
meskipun kulitnya Islam namun ternyata di dalamnya ialah keyakinan lokal.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Belakangan ini, dunia Islam sedang diguncang hebat dengan
maraknya pengaruh ideologi-ideologi besar seperti Kapitalisme dan Sosialisme, di
sisi lain juga terdapat islamophobia yang sedang melanda dunia. Guncangan ini
bukanlah sekedar guncangan biasa. Tapi merupakan bagian dari rangkain cobaan
dan ujian yang Allah SWT berikan kepada umat Islam.

Isu-isu ini menguji kita, umat Islam, apakah kita benar-benar memaknai Islam
sebagai rahmatan lil alamin dan telah mengaktualisasikan nilai-nilai dari ajaran
Islam itu sendiri. Di sini bukan hanya keimanan kita yang diuji, tapi juga
kepahaman kita mengenai ajaran Islam dan konsep ketauhidan. Kita harus
meninggalkan segala macam bentuk kepercayaan , tradisi dan adat istiadat yang
diwariskan secara turun temurun dan telah diyakini selama ini namun bertentangan
dengan ajaran Islam dan konsep ketauhidan.

Untuk bisa membawa berkah bagi seluruh manusia, umat Islam haruslah
berbuat, bertindak dan beperilaku sesuai dengan syariat Islam. Dengan begitu,
agama Islam akan menjadi rahmatan lil alamin. Islam bisa berkembang dengan
pesat seperti pada masa Rasulullah SAW, bukan karena kekuatan pedang, tapi
karena dengan kekuatan hati. Yaitu kekuatan hati dalam menjalankan ajaran Islam
dengan senantiasa berdasar pada Al-Qur’an dan Sunnah-Hadist.

3.2 Saran
Agar makalah ini ditindak lanjuti sebagaimana mestinya dan tidak sekedar
menjadi tulisan saja.

20
DAFTAR PUSTAKA

A. Gunawan Setiardja (1993) Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi


Pancasila. Jakarta : Kanisius. hlm. 17. 21.
Ahmad’ Athiyat (2004) Jalan Baru Islam ; Studi Tentang Transformasi
Kebangkitan Umat. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. hlm. 84.
Asyumardi Azra (1999) Islam Reformis. Jakarta : Raja Grafindo Persada. hlm. 100.
A. Syafii Maarif (2009) Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan.
Bandung : Mizan. hlm. 197.
Arif Saiful (2010) Deradikalisasi Islam : Paradigma dan Strategi Islam Kultural.
Jakarta : Koekoesan
Badri Yatim (1999) Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta : PT Logos. hlm.
76. 85.
Kuntowijoyo (2001) Muslim Tanpa Masjid : Essai-essai Agama, Budaya dan
Politik Dalam Bingkai Sturkturalisme, Transendental. Bandung : Mizan.
hlm. 196.
Khadziq (2009) Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta : Teras.
M. Hashem (1983) Kekaguman Dunia Terhadap Islam. Pustaka. hlm. 57.
Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (1989) Islam Indonesia Menatap Masa
Depan. Jakarta : P3M. hlm. 19.
Sarbini (2005) Islam Di Tepian Revolusi : Ideologi, Pemikiran dan Gerakan.
Yogyakarta : Pilar Media. hlm. 1.
Samud (2016) Relasi Islam dan Negara dalam Perspektif Gus Dur. Jawa Barat:
Tulus Pustaka.

21

Anda mungkin juga menyukai