CABANG MAKASSAR
2022
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Ideologi Islam dan
Transformasi Konteks Lokal”.
Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Dafiq Husain
ii
Daftar Isi
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah ajaran rahmatan lil alamin, maka Islam bersifat universal.
Keuniversalan Islam mengandung beragam nilai-nilai kebenaran yang sepantasnya
menjadi prinsip-prinsp dasar bagi manusia dalam menjalin hubungannya baik
secara vertikal maupun horisontal. Lebih dari itu, manusia juga diciptakan Allah
SWT dengan begitu sempurnanya agar ia dapat berbuat lebih baik yaitu perihal
kemampuannya dalam mengatur dan mengelola kehidupan dalam masyarakat
tempat ia berpijak. Dengan diberinya manusia kemampuan untuk berfikir lebih
rasional dari makhluk ciptaan tuhan yang lain, serta kemampuannya untuk
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka sudah pasti tugas
manusia bukan sekedar hanya mengelola sumber daya alam yang telah disediakan,
melainkan juga manusia diberi ilham untuk mengajak dan menuntun orang-orang
disekitarnya kejalan yang lebih baik guna menciptakan masyarakat yang beradab,
adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.
Islam sebagai agama, tidak datang kepada komunitas manusia yang hampa
budaya. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan,
tradisi dan praktik-praktik kehidupan sesuai budaya yang membingkainya. Konteks
sosiologis yang dihadapi Islam membuktikan bahwa agama yang beresensi wahu
ilahiyah dengan berbagai ajarannya, tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial
yang telah ada dalam masyarakat. Meskipun dalam perjalanannya, sisi universalitas
Islam selalu berdialog dengan fenomena dan realitas budaya di mana Islam itu
hadir.
Dalam pengalaman sejarah, apresiasi terhadap tradisi dan budaya lokal bisa
mengandung dua kemungkinan, yaitu pelestarian unsur-unsur positif budaya lokal
dan pelestarian unsur-unsur negatifnya. Dalam kaitan ini, sikap bijak yang harus
dikedepankan adalah keberagaman yang dinamis dan bersahabat dengan
lingkungan kultur, struktur dan kemajemukan masyarakat selagi tidak larut dan
hanyut dalam unsur-unsur lokal yang negative dan terbelakang. Inilah tuntutan
Islam yang dinamis dan inklusif, sebuah wujud artikulasi ajaran Islam yang
1
kontekstual, toleran dan solutif dalam menghadapi berbagai permasalahan
kebangsaan, keumatan dan kemanusiaan.
Islam sebagai agama universal hadir ditengah masyarakat Indonesia tidak
hanya membawa konsep tauhid saja, namun juga membawa sebuah konsepsi yang
menuntun masyarakat untuk meninggalkan tradisi dan budaya yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Inilah yang terkadang membuat dialektika antara agama dan
kebudayaan menghasilkan ketegangan didalam kehidupan masyarakat karena
perbedaan perspektif dari penafsiran ajaran Islam.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis bermaksud membuat makalah
dengan judul “IDEOLOGI ISLAM DAN TRANSFORMASI KONTEKS
LOKAL” guna memenuhi salahsatu persyaratan untuk mengikuti Intermediate
Training (LK 2) HMI Cabang Sinjai.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ideologi
Istilah ideologi sering kali dimengerti dalam arti yang bermacam-macam.
Istilah ideologi terdiri dari kata “ideo” dan “logi”. Kata “ideo” berasal dari bahasa
Yunani yaitu eidos, dalam bahasa latin disebut idea, yang berarti “pengertian”,
“ide”, atau “gagasan. Kata “logi” berasal dari bahasa Yunani yaitu logos yang
diartikan sebagai “gagasan”, “pengertian”, “kata”, dan “ilmu”. Jadi secara
terminologi dapat diterangkan bahwa ideologi berarti “pengetahuan tentang ide-
ide”, science of ideas. Penggunaan istilah ideologi bermula pada akhir abad ke-18
atau tahun1796 ang dikemukakan oleh seorang filsuf asal Perancis bernama Destutt
de Tracy dan kemudian dipakai oleh Napoleon.
Suatu gagasan betapapun ilmiah, rasional dam luhurnya, belum bisa disebut
ideologi apabila belum dianut oleh banyak orang dan diperjuangkan serta
diwujudkan melalui aksi-aksi yang berkesinambungan. Sedangkan ideologi dalam
bahasa Arab dapat diterjemahkan sebagai mabda’, secara etimologis mabda’ adalah
mashdar mimi dari kata bada’an (memulai), yabda’u (sedang memulai), bad’an
(permulaan), dan mabda’an (titik permulaan). Secara terminologi berarti pemikiran
mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang). Dari sisi lain
3
ideologi tersusun dari ide (fikrah) dan metode (thariqah). Ideologi dari sisi ini
ditinjau dari segi: Pertama, konsep atau pemikiran murni yang semata-mata
merupakan penjelasan konseptual tanpa disertai bagaimana metode menerapkan
konsep itu di dalam kenyataan. Kedua, metodologi yang menjelaskan bagaimana
pemikiran atau konsep itu diterapkan secara praktis. Tinjauan ideologi sebagai
kesatuan ide dan metode ini dimaksudkan untuk menerangkan bahwa metode
(thariqah) adalah suatu keharusan agar ide (fikrah) dapat terwujud.
Di saping itu, juga untuk menerangkan bahwa ide (fikrah) dan metode
(thariqah) yang khas untuk menerapkan ide (fikrah) tersebut yang berasal dari
ideology itu sendiri, bukan dari ideologi yang lain. Ide (fikrah) merupakan
sekumpulan konsep atau pemikiran yang terdiri dari aqidah dan solusi terhadap
masalah manusia. Sedangkan metode yang merupakan metodologi penerapan
ideologi secara operasional-praktis terdiri dari penjelasan cara menyelesaikan
masalah, cara penyebaran ideologi dan cara pemeliharaan aqidah, Jadi, ideologi
ditinjau dari sisi ini adalah gabungan dari ide (fikrah) dan metode (thariqah) sebagai
suatu kesatuan. Definisi ideologi yang diterangkan diatas bersifat umum, dalam arti
dapat dipakai dan berlaku untuk ideologi-ideologi dunia seperti Kapitalisme dan
Sosialisme. Dan tentu, dapat berlaku juga untuk Islam. Sebab Islam memang
mempunyai sebuah aqidah akliyah, yaitu aqidah islamyah dan mempunyai
peraturan hidup yang sempurna, yaitu syariat Islam.
4
yang muncul di dalam pemikiran manusia karena kejeniusannya adalah ideologi
yang salah (bathil), karena manusia hanyalah mahluk Allah sehingga memiliki
kelemahan, termasuk ketidakmampuan akalnya dalam menangkap seluruh realitas
yang ada di dunia ini.
Apabila kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga
ideologi, yaitu Kapitalisme, Sosialisme dan Islam. Dua ideology pertama masing-
masing diemban oleh satu atau beberapa Negara, sedangkan ideologi yang ketiga
yaitu Islam, tidak diemban oleh negarapun, Islam hana diemban oleh individu dan
gerakan Islam, sumber konsepsi ideologi Kapitalisme dan Sosialisme berasal dari
daya akal manusia, sedangkan Islam bersumber dari wahyu Allah SWT.
5
paham nasionalisme atau kebangsaan ini pada tahap-tahap selanjunya dapat
diterima oleh masyarakat Indonesia setelah diberi makna dan muatan yang berbeda
dari nasionalisme Barat.
6
Para ulama umumnya mendasarkan pemikiran kebangsaan ini pada firman Allah
SWT sebagai berikut.
Artinya : Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti. (Q.S. al-Hujurat, 49:13).
7
Islam. Dalam bukunya Islam Substantif, Asyumardi misalnya mengatakan: Semua
sila Pancasila bersesuaian dengan Islam. Islam mengajarkan manusia untuk hanya
percaya pada satu Tuhan, seperti yang bisa dengan gamblang terlihat pada kalimat
syahadat. Islam juga mendesak pemeluknya untuk bersatu, saling mengasihi dan
bermusyawarah dalam urusan sosial dan politik. Disamping itu, Islam sangat
menekankan tegaknya keadilan sosial. Selanjutnya secara normatif, Islam tidak
hanya mengajarkan urusan keagamaan atau keakhiratan atau hubungan dengan
Tuhan melalui serangkaian ibadah ritual saja, melainkan juga mengatur urusan
keduniaan atau hubungan dengan manusia melalui serangkaian ibadah muamalah,
seperti urusan ekonomi, politik, pemerintahan dan sebagainya. Masalah kebangsaan
atau hidup sebagai sebuah bangsa yang berdaulat adalah merupakan urusan
keduniaan, dan karenanya Islam juga memperhatikan masalah kebangsaan. Karena
kebangsaan dapat menjamin sebuah kehidupan yang rukun dan damai dalam
perbedaan, dan dengan rukun dan damai ini, ajaran agama dapat dipahami, dihayati
dan diamalkan, maka kehidupan kebangsaan menjadi prasyarat bagi terlaksananya
ajaran Islam.
8
harus membayar pajak tanah, dan para pemilik itu juga membayar jizyah yang boleh
disamakan dengan pajak kepala. Umar berpendapat, jika ketentuan al-Qur’an
tersebut dilaksanakan tidak akan mencapai keadilan, karenanya zaman sudah
berubah. Pada saat tanah-tanah tersebut dibagikan kepada prajurit atau tentara yang
ikut berperang, keadaan tentara tersebut masih miskin. Akan tetapi pada pada
zaman pemerintahan Umar, keadaan sudah berubah. Islam makin kukuh dan teguh,
tentara Islam terdiri dari lasykar-lasykar yang profesional, dan kehidupan serta
kedudukan mereka terjamin. Oleh karena itu, adalah lebih adil tanah itu dikekalkan
pada tangan pemiliknya asalnya karena kebanyakan dari mereka terdiri dari orang-
orang dhaif.
9
dalam dokumen tersebut Nabi Muhammad SAW mempersatukan antara kaum
Muslim dari suku Quraisyi dan Yastrib, antara kaum Muhajirin dan Anshar. Orang-
orang Muhajirin dari suku Quraisy tetap berpegang pada adat istiadat mereka, yaitu
saling membantu dalam membayar dan menerima uang tebusan darah diantara
mereka. Dokumen tersebut memberikan jaminan dan perlindungan pada semua
warga untuk menjalankan ibadahnya masing-masing, serta mengamalkan nilai-nilai
budaya yang dimilikinya, namun diantara mereka harus mengembangkan sikap
toleransi, tolong menolong dalam membela dan mempertahankan kedaulatan
Negara, dan harus berjanji setia untuk hidup sebagai sebuah bangsa. Islam dan
kebangsaan sebagaimana yang digagas oleh tokoh agama tersebut memperlihatkan,
bahwa hubungan Islam dengan negara di Indonesia tidak didasarkan pada logo,
simbol atau namanya yang bersifat formal, melainkan lebih pada sisi substansinya,
yakni walaupun dasar kebangsaan negara kita bukan syari’at Islam, namun pilar-
pilar kebangsaan Indonesia ini sangat menjamin, melindungi dan menyuburkan
pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam dalam berbagai bidang kehidupan sosial,
ekonomi, budaya, pendidikan, dakwah dan sebagainya. Secara psikologis, manusia
adalah makhluk yang dalam menjaga keberlangsungan hidupnya, baik secara
jasmani atau rohani, spiritual atau material sangat membutuhkan dan bergantung
kepada orang lain.
10
tertib dan damai. Indonesia adalah rumah kita bersama. Tempat kita hidup dan
menjalani kehidupan; tempat kita berteduh, tempat kita mendapatkan makanan,
minuma, pakaian, pendidikan, kesehatan, keamanan dan sebagainya. Jika rumah
Indonesia ini hancur, maka rakya yang ada di dalammnya akan mengalami berbagai
kesulitan. Setiap penduduk Indonesia wajib menjaga keutuhan, kekuatan, dan
kekokohan Indonesia, Dalam keadaan negara yang demikian memungkinkan
manusia dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pemahaman, penghayatan
dan pengamalan ajaran Islam membutuhkan sebuah wadah yakni negara yang
tertib, aman dan damai, dan negara yang demikian harus memiliki wawasan
kebangsaan yang kokoh. Dengan kehidupan kebangsaan yang demikian, maka umat
Islam dapat menjalankan ibadahnya dengan khusyu, melakukan kegiatan dakwah,
pendidikan dan melahirkan berbagai karya-karya inovatif lainnya. Sebaliknya tanpa
adanya sebuah negara yang aman dan damai, maka berbagai kegiatan umat
beragama tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, sebagaimana hal yang
demikian dapat disaksikan pada berbagai negara di kawasan Timur Tengah. Mereka
hidup dalam suasana cemas, penuh ketakutan, kekurangan sandang, pangan dan
papan, kehilangan masa depan, mereka mengungsi mencari perlindungan dari
negara lain, dan setiap hari menghadapi suasana ketakutan yang diakibatkan oleh
adanya peperangan di antara kelompok-kelompok yang saling bermusuhan.
Relasi antara Islam dengan negara senantisa menuai perdebatan yang tidak
ada habisnya. Sejak jauh sebelum Indonesia merdeka hingga saat ini tema tersebut
senantiasa ramai diperbincangkan. Tidak hanya diperbincangkan namun sebagian
kalangan sudah mulai membuat gerakan yang memuat ide pendirian khilafah
islamivah, ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam dengan berbagai
aturannya pun harus mengacu pada hukum Islam.
Setidaknya ada tiga macam respon dalam menanggapi relasi Islam dengan
Negara menurut Gus Dur, yaitu respon integrative, respon fakultatif, dan respon
konfrontatif. Respom integrative, berarti Islam sama sekali dihilangkan kedudukan
formalnya dan umat Islam tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan
11
Negara. Sedangkan sikap responsif fakultatif berarti jika kekuatan gerakan Islam
cukup besar di parlemen, maka mereka akan berusaha membuat perundang-
undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka juga tidak
memaksakan, melainkan menerima aturan vang dianggap berbeda dari ajaran Islam.
Dan sikap komfrontatif merupakan sikap penolakan tanpa kompromi terhadap
kehadiran hal-hal vang dianggap tidak islami.
12
Pada sisi lain, Islam yang datang di tengah masyarakat yang telah memiliki sistem
nilai, berusaha mengakomodasi nilai-nilai lokal. Ini merupakan ciri khas ajaran
Islam, yakni bersifat akomodatif sekaligus reformatif terhadap suatu budaya
maupun tradisi yang ada tanpa mengabaikan kemurnian Islam itu sendiri. Al-
Qur’an sendiri menyatakan bahwa tradisi orang-orang terdahulu seringkali menjadi
pijakan bagi orang-orang atau generasi berikutnya, “(agama kami) ini tidak lain
hanyalah adat kebiasaan orang terdahulu.
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak
dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri, karena kearifan lokal ini
menjadi satu kesatuan dengan masyarakat setempat. Masyarakat disetiap daerah
pun memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda, tergantung dengan kultur dan
kebiasaan masyarakatnya tersendiri. Kearifan lokal (local wisdom) ini biasanya
diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi setelahnya melalui
13
cerita dari mulut ke mulut yang disyiarkan melalui masyarakat setempat itu sendiri.
Meskipun di setiap daerah mempunyai kultur yang berbeda dengan daerah lainnya
dan memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda pula, tetapi kerifan lokal terbukti
memberikan solusi kongkrit terhadap persoalan lokal dan regional yang terjadi di
masyarakat. Diantara kearifan lokal itu ialah adat istiadat dan hukum adat. Adat
istiadat lebih merupakan sistem nilai yang sifatnya lebih abstrak. Sedangkan norma-
norma sosial kemasyarakatan yang memiliki reward dan punishmen. Hukum adat
di dalam lintasan masyarakat Nusantara sudah sekian lama mengabdikan diri
menyelesaikan sejumlah persoalan di dalam masyarakat, termasuk di dalamnya
terkait konflik horizontal, baik yang bertema etnik maupun agama atau
kepercayaan. Meskipun berada dibawah naungan hukum undang-undang, tetapi
dalam masyarakat ada ada sebuah kearifan lokal yaitu hukum normatif yang
disepakati secara kolektif sebagai instrument penyelesaian masalah yang ada di
daerah itu sendiri, ini terbukti ampuh dalam penyelesaian masalah yang terjadi di
dalam kehidupan masyarakat adat. Indonesia memiliki ribuan pulau dengan
berbagai etnik, tidak dapat disangkal juga memiliki kearifan lokal yang amat kaya
dan melimpah. Kearifan secara harfiah, berasal dari bahasa Arab dari akar kata
arafa-ya’rifu berarti memahami atau menghayati, kemudian membentuk kata
“kearifan” yang bisa diartikan sebagai sikap, pemahaman dan kesadaran yang tinggi
terhadap sesuatu.
Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 104 disebutkan bahwa:
14
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali ‘Imran/3:104):
Untuk urusan kebaikan Allah menggunakan kata menyerukan dan untuk kata
makruf digunakan kata menyuruh. Kata makruf dapat disinonimkan dengan
kearifan yang disepakati kebenarannya oleh umumnya komunitas. Sedangkan
kebaikan adalah kebenaran yang belum serta-merta diterima oleh oeang non-Islam.
15
manusia. Salah satu larangan yang akan membawa maslahat bagi manusia adalah
menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan nenek moyang terdahulu yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Hal tersebut sebagaimana yang Allah firmankan
dalam Al-Qur’an :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada
nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal,nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah:170)
“Dan apabila dikatakan pada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan
Allah dan (mengikuti) Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang
kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan
mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS Al-Maidah:104)
Kedua ayat tersebut menjelaskan kepada kita tentang orang-orang yang lebih pauh
pada ajaran dan perintah nenek moyangnya daripada syariat yang diwahukan oleh
Allah di dalam Al-Qur’an Seperti adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu pada
ritual yang menjajikan keselamatan, ketenangan hidup, penolak bala yang menjadi
salah satu tradisi masyarakat Indonesia di berbagai daerah.
Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya masyarakat Islam.
Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, ia adalah keseluruhan jiwa Islam.
Penjagaan atas aqidah dan tauhid yang bersih ini merupakan kewajiban yang
pertama kali ditekankan dalam syariah Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan
jahiliyah yang dikembangkan oleh paham keberhalaan vang sesat merupakan suatu
keniscayaan, demi mensucikan masyarakat muslim dari debu-debu syirik. Sehingga
kearifan lokal tentu saja harus digalidalam maknanya yang paling substansial dari
tradisi lokal dan kemudian secara selektif ditarik ke dalam nilai-nilai keadaban.
Dengan kata lain, tidak semua tradisi lokal mengandung nilai keadaban, dank arena
itu tidak semua tradisi lokal menjadi sumber bagi kearifan lokal. Tradisi lokal harus
16
terseleksi untuk ditransformasikan ke dalam kearifan lokal dan harus paralel dengan
nilai-nilai ajaran Islam yang telah menjadi pandangan dunia bagi setiap Muslim.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal
diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul Al-Fiqih, bahwa
“Adat adalah syariah yang dihukumkan” Artinya adat dan kebiasaan suatu
masyarakat, yaitu budaya lokal, adalah sumber hukum dalam Islam berkenaan
dengan itu, tidak perlu lagi ditegaskan bahwa unsur-unsur budaya lokal yang dapat
atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan
prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilah makna
kehadiran Islam di suatu tempat atau negeri. Karena itu, setiap masyarakat Islam
mempunyai masa jahiliahnya sendiri yang sebanding dengan apa yang ada pada
bangsa Arab.
17
di atas, kita perlu membedakan antara “tradisi” dan “tradisionalitas”. Jelasnya,
suatu tradisi belum tentu semua unsurnya tidak baik, maka harus dilihat dan diteliti
mana yang baik untuk dipertahankan dan diikuti. Sedangkan tradisionalitas adalah
pasti tidak baik, karena ia merupakan sikap tertutup akibat pemutlakan tradisi
secara keseluruhan, tanpa sikap kritis untuk memisahkan mana yang baik dan mana
yang buruk.
Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat
jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini, diyakini bahwa agama
merupakan penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam sebagai
agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu
masyarakat Muslim. Persoalan interaksi agama dengan budaya pada intinya
melibatkan suatu pertarungan atau setidaknya ketegangan antara doktrin agama
yang dipercaya bersifat absolut karena berasal dari Tuhan dengan nilai-nilai
budaya, tradisi, adat istiadat produk manusia yang tidak selalu selaras dengan
ajaran-ajaran ilahiyah. Dengan kata lain agama memberikan kepada manusia
sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas yang didasarkan bukan pada
pengetahuan dan pengalaman empiris kemanusiaan itu sendiri, melainkan dari
otoritas ketuhanan. Disadari bahwa Islam sebagai agama tidak datang kepada
komunitas manusia dalam kondisi hampa budaya. Islam hadir kepada suatu
masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktek-praktek
kehidupan sesuai dengan budaya yang membingkainya. Konteks sosiologis yang
dihadapi Islam membuktikan bahwa agama yang beresensi kepasrahan dan
ketundukan secara total kepada Tuhan dengan berbagai ajaran-Nya, keberadaannya
tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial yang memang telah ada dalam
masyarakat.
18
kepada hal privat seperti etika hubungan seksual. Kesediaan Islam berdialog dengan
budaya lokal masyarakat., selanjutnya mengantarkan diapresiasinya secara kritis
nilai-nilai lokalitas dari budaya masyarakat beserta karakteristik yang mengiringi
nilai-nilai budaya itu. Kontak antara budaya masyarakat yang diyakini sebagai
suatu bentuk kearifan lokal dengan ajaran dan nilai-nilai yang dibawa oleh Islam
tidak jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat. Kemudian yang
terjadi ialah akulturasi dan mungkin sinkretisasi budaya, seperti praktek meyakini
iman di dalam ajaran Islam akan tetapi masih mempercayai berbagai keyakinan
lokal. Dalam proses lokalisasi, unsur Islam yang diposisikan sebagai pendatang
harus menemukan lahannya di dalam budaya lokial. Pencangkokan ini terjadi
dengan bertemunya nilai-nilai yang dianggap sesuai satu sama lain dan meresap
sedemikian jauh dalam tradisi yang terbentuk. Inilah sebabnya, berbagai tradisi
vang ada pada hakikatnya adalah Islam yang telah menyerap tradisi lokal, sehingga
meskipun kulitnya Islam namun ternyata di dalamnya ialah keyakinan lokal.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Belakangan ini, dunia Islam sedang diguncang hebat dengan
maraknya pengaruh ideologi-ideologi besar seperti Kapitalisme dan Sosialisme, di
sisi lain juga terdapat islamophobia yang sedang melanda dunia. Guncangan ini
bukanlah sekedar guncangan biasa. Tapi merupakan bagian dari rangkain cobaan
dan ujian yang Allah SWT berikan kepada umat Islam.
Isu-isu ini menguji kita, umat Islam, apakah kita benar-benar memaknai Islam
sebagai rahmatan lil alamin dan telah mengaktualisasikan nilai-nilai dari ajaran
Islam itu sendiri. Di sini bukan hanya keimanan kita yang diuji, tapi juga
kepahaman kita mengenai ajaran Islam dan konsep ketauhidan. Kita harus
meninggalkan segala macam bentuk kepercayaan , tradisi dan adat istiadat yang
diwariskan secara turun temurun dan telah diyakini selama ini namun bertentangan
dengan ajaran Islam dan konsep ketauhidan.
Untuk bisa membawa berkah bagi seluruh manusia, umat Islam haruslah
berbuat, bertindak dan beperilaku sesuai dengan syariat Islam. Dengan begitu,
agama Islam akan menjadi rahmatan lil alamin. Islam bisa berkembang dengan
pesat seperti pada masa Rasulullah SAW, bukan karena kekuatan pedang, tapi
karena dengan kekuatan hati. Yaitu kekuatan hati dalam menjalankan ajaran Islam
dengan senantiasa berdasar pada Al-Qur’an dan Sunnah-Hadist.
3.2 Saran
Agar makalah ini ditindak lanjuti sebagaimana mestinya dan tidak sekedar
menjadi tulisan saja.
20
DAFTAR PUSTAKA
21