Anda di halaman 1dari 14

TRADISI DAN MODERNITAS

Dosen Pengampu
Risma Linda Sinaga, MA

Disusun oleh
Dahlia Natasya (2022.2.017)
Triana Lubis (2022.2.072)

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RAUDHATUL AKMAL
BATANG KUIS
2023/2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Yang maha mengetahui dan maha melihat
hamba-nya, Alhamdulillah karena Rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul TRADISI DAN MODERNITAS.
Adapun maksud dan tujuan dibuat nya makalah ini ialah mengenai materi-materi
apa saja yang mengenai etika dalam ilmuwan ini,dan bagaimana etika guru
mengajar kepada murid terhadap ilmu yang diajarkan. Makalah ini juga
menggunakan bahasa yang mudah dipahami serta di mengerti bagi para pembaca
nya,semoga dengan dibuatnya makalah ini sekiranya dapat membawa manfaat
berupa pengetahuan dari pembaca.
Dan pada kesempatan ini pula kami berterimakasih kepada bapak dosen
pengampu kami yaitu Ibu Risma Linda Sinaga, MA, dan kami menyadari bahwa
didalam makalah kami ini masih terdapat banyak kekurangan,kami mengharapkan
kritik dan saran demi menyempurnakan makalah kami agar lebih baik,sehingga
dapat berguna.

Medan, 22 Desember 2023


Penyusun

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 1

1.4. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2

2.1. Tradisi dan Modernitas ................................................................................ 2

2.2. Reaksi Pemikiran Islam Terhadap Globalisasi ............................................ 6

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 10

3.1. Kesimpulan ................................................................................................ 10

3.2. Saran........................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tradisi dan modernitas merupakan dua konsep yang seringkali saling
berhadapan dalam perkembangan masyarakat. Perubahan zaman dan dinamika
kehidupan manusia membawa tantangan tersendiri dalam menjaga serta
mengadaptasi nilai-nilai tradisional seiring dengan munculnya elemen-elemen
modern. Sebagai suatu fenomena yang meresap dalam berbagai aspek kehidupan,
penelitian tentang hubungan antara tradisi dan modernitas menjadi penting untuk
dipahami guna menjembatani kesenjangan dan menciptakan suatu harmoni yang
seimbang.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam rangka menggali pemahaman yang lebih mendalam mengenai tradisi
dan modernitas, maka penulisan ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan
pokok, antara lain:
a. Bagaimana Islam dan tradisi di Indonesia saat ini?
b. Bagaimana reaksi pemikiran islam terhadap globalisasi?
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui Islam dan tradisi di Indonesia saat ini.
b. Mengetahui Reaksi pemikiran islam terhadap globalisasi
1.4. Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemahaman
konsep tradisi dan modernitas, serta memberikan wawasan bagi masyarakat dalam
menghadapi perubahan zaman. Meskipun bukan suatu penelitian, makalah ini dapat
menjadi sumber inspirasi bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian
lebih lanjut dalam bidang ini. Adanya pembahasan konsep-konsep seperti tradisi
dan modernitas dapat merangsang penelitian-penelitian mendalam yang melibatkan
studi kasus atau pendekatan kuantitatif.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Tradisi dan Modernitas


Tradisi menurut makna sosialnya adalah sesuatu yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi lain melalui proses sosialisasi. Dimaksudkan dengan
sosialisasi di sini adalah proses sosial yang seseorang menyatu kedalam sebuah
kelompok melalui proses pembelajaran budaya kelompok dan peran orang dalam
kelompok. Dengan makna ini sosialisasi itu merupakan sebuah proses yang terus
menerus. Tradisi meliputi keyakinan, nilai, cara berpikir sebuah kelompok sosial. 1
Edward Shils merinci lebih jauh bahwa tradisi itu adalah sesuatu yang
ditransmisikan secara lisan maupun melalui tulisan; meliputi keyakinan agama
maupun persoalan yang terkait dengan keduniaan; mencakup keyakinan yang
dihasilkan dari logika, yang secara teori mengontrol prosedur intelektual maupun
keyakinan yang diterima tanpa renungan yang dalam. Tradisi mencakup pemikiran
keyakinan yang diwahyukan oleh Tuhan maupun interpretasi terhadap keyakinan
tersebut. Tradisi mencakup keyakinan yang dibentuk melalui pengalaman maupun
keyakinan yang diperoleh dari kesimpulan logika. 2 Dalam Islam, tradisi meliputi
nilai ajaran yang termuat dalam sumber pokok ajaran, al-Qur’an dan Hadith, serta
produk pemikiran para ulama salaf dalam memahami dan menafsirkan sumber
pokok ajaran tersebut.
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa tradisi itu dinyatakan “asli" hanya
jika isi substansinya menghargai tradisionalitas: jika ia ditransmisikan secara lisan
dan bukan secara tertulis; didengar dari ceritera orang lain bukan dari fakta yang
ada; tidak bisa dibuktikan secara meyakinkan dan tidak ada pembuktian berkaitan
dengan dasar normatifnya; dan apabila penulis atau sumbernya itu tidak diketahui
namanya dan bukan individu yang secara jelas dikenal namanya. Keyakinan yang
diterima melalui tradisi nampaknya secara alami menumbuhkan hirarkhi, ketaatan
keagamaan, dan ketidaktahuan tentang keyakinan itu. Hampir semua tradisi

1
George A. Theodorson and Achilles G. Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology (New
York: Barnes & Noble Books, 1979).
2
Edward Shils, Tradition (Chicago: The University ofg Chicago Press, 1983).

2
keyakinan memiliki makna normatif, yakni, bahwa mereka ini cenderung
mempengaruhi prilaku orang yang menerima tradisi itu, lepas dari pengakuan akan
kebenarannya. 3 Dalam masyarakat yang memiliki tradisi tertentu, akurasi
penerimaan akan menjadi berkurang apabila diruntut dari pusat tradisi itu berasal
hingga masyarakat pinggiran yang menerima tradisi tersebut. Sebagian besar
masyarakat penganut tradisi tertentu sebenarnya memiliki pengetahuan yang
kurang tentang tradisi yang diikutinya. Siapa di antara para pengikut gereja
Anglikan mengetahui semua ketigapuluh sembilan ayat dan memahami
argumentasinya? Siapa di antara kaum awam pengikut Katholik Roma yang
mengetahui argumentasi teologis yang mendukung dogma gereja tertentu ? Siapa
di antara kaum Muslim awam yang memahami semua argumentasi teologis tentang
prinsip-prinsip dasar ajaran Islam? Banyak substansi sebuah tradisi hanya diketahui
oleh sebagian kecil individu atau mungkin sekelompok orang diantara pengikut
tradisi yang bersangkutan.
Dalam konteks Islam tradisi memuat, pertama, bentuk ajaran yang tidak bisa
berubah, berupa contoh ibadah mahdhah, yang diwariskan secara terus menerus,
dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang bentuk dan tata cara pengamalannya
tetap seperti yang dicontohkan oleh generasi awal. Kedua, cara dan hasil pikiran
yang diwariskan generasi masa lalu terkait dengan pemahaman prinsip pokok
ajaran yang terkait dengan masalah-masalah sosial, budaya, ekonomi, dan politik
yang aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari selalu mengalami perubahan dari
satu kawasan dan waktu ke kawasan dan waktu yang lain. Orang yang menganggap
produk masa lalu sebagai contoh paling baik yang harus diikuti untuk kehidupan
sekarang dan yang akan datang disebut tradisionalis.
Permasalahannya adalah bahwa dalam Islam ada produk masa lalu yang
terus menerus diwariskan, harus diamalkan tanpa merubah bentuk dan cara
pengamalannya. Di sisi lain, ada pula produk masa lalu yang merupakan hasil
penafsiran dan pemahaman yang pengamalannya terkait dengan kawasan dan
waktu tertentu, karena itu selalu mengalami perubahan cara dan bentuknya. Dari

3
Achmad Jainuri, The Formation of the Muhammadiyah’s Ideology (Surabaya, 1942).

3
perspektif ilmu sosial ada beberapa pertanyaan yang perlu untuk dijawab, pertama,
apakah seorang Muslim yang mengamalkan amal ibadah yang telah dicontohkan
oleh Nabi, sebagai pemegang otoritas untuk merumuskan praktik ibadah Islam,
sekarang ini disebut kaum tradisional ? Apakah seorang Muslim yang menganggap
hasil pemikiran para ulama masa lalu sebagai contoh yang harus diamalkan dalam
konteks kehidupan sekarang dan yang akan datang ini yang disebut tradisional ?
Atau, orang Muslim yang menganggap semua produk masa lalu sebagai contoh
paling baik yang harus diikuti dalam kehidupan sekarang dan yang akan dating itu
yang disebut tradisional?
Dalam masyarakat Muslim, sikap mengagungkan kejayaan masa lampau
tercermin dalam penghargaannya yang begitu tinggi terhadap kemajuan yang dicapai
oleh para ilmuwan Muslim dalam bidang keagamaan seperti: ilmu tafsir, hadits,
pemikiran kalam, tasawuf, fiqh; demikian juga pengembangan ilmu pengetahuan
seperti: kedokteran, astronomi, kimia, matematika, sejarah, dan sebagainya, yang
menjadi unsur penting dalam terbentuknya peradaban Islam klasik dan menengah.
Penghargaan terhadap semua ini adalah sebuah sikap yang wajar, tetapi kemudian
menjadi tidak wajar apabila sikap ini membentuk keyakinan bahwa kejayaan masa
lalu ini merupakan satu-satunya yang pernah dialami kaum Muslim, yang nilai
kebaikan dan kebenarannya sangat mutlak. Dalam pemikiran keagamaan apa yang
telah dihasilkan oleh ulama salaf, terutama dalam bidang hukum Islam, menjadi
pedoman yang sangat penting bagi pelaksanaan ibadah, muamalah, serta untuk
menjawab tantangan perkembangan yang dihadapi oleh umat. Keyakinan ini
selanjutnya meniadakan kemungkinan lain akan munculnya kejayaan yang sama
dan membentuk sikap "menerima" dan tidak "mencari" sesuatu yang diyakini
benar. Yang pertama mendorong munculnya sifat statis dan karenannya kondusif
terhadap taqlid, sedang yang kedua mendorong munculnya sifat kreatif yang
mendukung upaya mencari solusi alternatif bagi pemecahkan persoalan. Dalam
sejarah umat Muslim, yang pertama muncul dalam kelompok yang meyakini bahwa
pintu ijtihad sudah tertutup, sedang yang kedua berkeyakinan sebaliknya. Atas
dasar ini, kaum tradisionalis sering dituduh jumud.

4
Persoalan lainnya adalah bahwa kita semua ini dihadapkan pada konsep
istilah yang berasal bukan dari tradisi Islam. Istilah-istilah seperti tradisional-
konservatif, reformis-modernis, secular-modernis, dan puritan-fundamentalis
sering digunakan untuk melihat fenomena yang terjadi di dunia Muslim. Dalam
konteks ini Shepard menegaskan bahwa penggunaan istilah asing sering mengalami
persoalan disebabkan karena: 1) digunakan tanpa makna yang jelas; 2) sebenarnya
cocok untuk kasus tertentu tetapi kemudian digunakan untuk penomena yang
berbeda dan luas; dan 3) terutama, adanya value judgment terhadap istilah tersebut. 4
Sebagaimana umumnya sebuah istilah, ada yang bisa dipakai untuk melihat
fenomena di tempat lain dan ada juga yang tidak bisa digunakan karena kondisi
yang berbeda dengan latarbelakang istilah itu dilahirkan. Kerancuan istilah tradisi,
tradisional, tradisionalisasi, tradisionalitas, dan tradisionalisme itu adalah apabila
digunakan untuk melihat bahwa semua produk masa lalu Islam merupakan contoh
paling baik yang harus diikuti oleh umat Muslim. Selain itu, persepsi kebanyakan
orang yang memandang bahwa tradisional memiliki konotasi makna yang negatif,
apabila dibandingkan dengan modern. Penilaian seperti ini yang akan diuraikan di
bawah nanti.
Modernitas. Sedangkan istilah modern, modernitas, modernisasi, dan
modernisme adalah istilah-istilah generik, yang dalam banyak hal, dikontraskan
dengan tradisional. Modern menunjukkan ciri atau sifat serta waktu yang menunjuk
pada era industri Barat abad ke-16 (sejarah umum Barat) dan abad ke-19 (sejarah
Islam). Modernitas adalah produk modernisasi (proses kemoderenan) sedang
modernisme adalah faham yang meyakini bahwa sifat, karakter, serta budaya yang
dihasilkan melalui proses modernisasi merupakan contoh yang paling baik untuk
diaplikasikan dalam kehidupan sekarang dan
yang akan datang. Dalam era industrialisasi Barat kata modern ini identik
dengan produk industri Barat modern; siapa saja yang mengenakan produk industri
Barat, maka ia disebut sebagai seorang modern; dan modern sama dengan industri
serta modernisasi disamakan juga dengan industrialisasi. Karena itu dalam kurun

4
William E. Shepard, Islam and Ideology: Towards A Typology (IJMES, 1987).

5
awal istilah ini muncul, banyak orang menyamakan modernisasi dengan
westernisasi.
Dalam perkembangannya, istilah modern, modernisasi, modernitas, dan
modernisme tidak hanya digunakan untuk mengidentifikasi simbol-simbol produk
industri modern, tetapi juga untuk mengidentifikasi prilaku serta cara bagaimana
orang mengatasi persoalan. Dalam kaitan ini ada dua pendekatan yang digunakan,
institusional dan individual. Pendekatan institusional biasanya menggunakan
organisasi sebagai alat untuk memecahkan sesuatu. Sedang pendekatan individual
menekankan pada watak dan karakteristik seseorang. 5 Di sini dijelaskan bahwa
orang disebut modern itu apabila memiliki ciri: mobilitas tinggi, literasi, ada
perencanaan, rasional, menerima perubahan, orientasi jangka panjang, tepat waktu,
terbuka, mudah menyesuaikan diri, pluralis, toleran, dan memandang keberhasilan
sejarah masa lalu sebagai capaian yang patut dihargai dan karenanya mungkin ada
yang masih bisa dipakai pedoman sekarang atau mungkin tidak. 6 Dalam Islam
modernisasi dapat ditemukan pada tradisi tajdid. Hal ini didasaran pada teks bunyi
Hadith yang diriwayatkan oleh Abu Daud: innallaha yabathu lihadhihil ummati ala
ra’si kulli miati sanatin man yujaddidu laha dinaha. Dalam riwayat lain ada
ungkapan seperti yang disampaikan Imam Ahmad ibn Hanbal : jaddidu imanakum
……. bi qauli la ilaha illaallah.
2.2. Reaksi Pemikiran Islam Terhadap Globalisasi
Murtadho Muthahhari berkata bahwa Alqur’an merupakan kitab suci untuk
membangun manusia. Apabila Al-Qur’an dipahami dengan baik oleh siapa pun,
termasuk oleh orang-orang diluar Islam, maka akan mendorong kandungan dan
pesan-pesannya yang bersifat teoritis ( gagasan ) dapat diwujudkan menjadi realita.
Itu sebabnya, sejumlah ilmuan barat juga mempercayai Al-Qur’an sebagai wahyu
Tuhan. Sebuah keyakinan yang muncul setelah mereka menemukan sejumlah
temuan sain modern yang sejalan dengan kandungan Al-Qur’an. Sebagai contoh

5
Eisendstadt S.N., Modernization: Growth and Diversity (Bloomington: Indiana University Press,
1963).
6
Alex Inkeles and David H. Smith, Becoming Modern: Individual Change in Six Developing
Countries (Cambridge: Harvard University Press, 1974).

6
Simson adalah salah seorang ilmuan tahun 1980-an yang pernah mengungkapkan
bahwa A-Qur’an pastilah wahyu Allah karena mampu memprediksi temuan-
temuan modern dalam embrio dan genetika. 7
Rendahnya dalam penguasaan dan pengembangan sains dan teknologi, umat
Islam menjadi kelompok yang terbelakang. Mereka hampir diidentikkan dengan
kebodohan, kemiskinan, dan tidak berperadaban. Sedangkan di sisi lain umat agama
lain begitu maju dengan berbagai teknologi, dari teknologi pengamatan terhadap
luar angkasa hingga teknologi pertanian atas dasar itulah, terjdi berbagai reaksi
terhadap kemajuan pemeluk agama-agama lain. Secara umum, reaksi tersebut dapat
dibedakan menjadi empat, yaitu tradisionalis, modernis, revivalis, dan
transformatif.
a. Tradisionalis
Pemikiran tradisionalis percaya bahwa kemunduran umat Islam adalah
ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya tuhan yang Maha Tahu tentang arti dan
hikmah di balik kemunduran dan keterbelakangan umat Islam. Makhluk, termasuk
umat Islam, tidak tahu tentang gambaran besar sekenario Tuhan, dari perjalanan
panjang umat manusia. Kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dinilai
sebagai ujian atas keimanan, dan kita tidak tahu malapetaka apa yang terjadi dibalik
kemajuan dan pertumbuhan umat manusia 8
Akar teologi pemikiran tradisionalis bersandar pada aliran Ahl al-sunnah wa
al-Jama’ah, terutama aliran ‘Asy’ariyah, yang juga merujuk kepada aliran
Jabariyah mengenai prederteminisme (takdir), yakni bahwa manusia harus
menerima ketentuan dan rencana tuhan yang telah terbentuk sebelumnya. Paham
Jabariyah yang dilanjutkan oleh aliran ‘Asy’ariyah ini, menjelaskan bahwa manusia
tidak memiliki free will untuk menciptakan sejarah mereka sendiri. Meskipun
manusia didorong untuk berusaha, akhirnya Tuhan jualah yang menentukan.
Cara berfikir Tradisionalis tidak hanya terdapat di kalangan muslim
pedesaan atau yang diidentikkan dengan NU, tapi sesungguhnya pemikiran

7
Madjid Nurcholis, Kemodernan Dan Keindonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 1998).
8
Azis Fahrurrozi and Erta Mahyudin, Fiqih Manajerial (Jakarta: PT Pustaka Al-Mawardi, 2010).

7
tradisionalis terdapat di berbagai organisasi dan berbagai tempat. Banyak diantara
mereka yang dalam sector kehidupan sehari-hari menjalani kehidupan yang sangat
modern, dan mengasosiasikan diri sebagai golongan modernis, namun ketika
kembali kepada persoalan teologi dan kaitannya dengan usaha manusia, mereka
sesungguhnya lebih layak dikategorikan sebagai golongan tradisionalis. 9
b. Modernis
Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik
atau hamper identik dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses
perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliyah (rasional), dan
menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliyah (rasional). Jadi
sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian
dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.
Kaum modernis percaya bahwa keterbelakangan umat Islam lebih banyak
disebabkan oleh kesalahan sikap mental, budaya, atau teologi mereka. Mereka
menyerang teologi Sunni (‘Asy’ariyah) yang dijuluki sebagai teologi fatalistik 10.
Pandanagn kaum modernis merujuk p-ada pemikiran modernis Mu’tazilah,
yang cenderung bersifat antroposentris dengan doktrinnya yang sangat terkenal,
yaitu al-Khamsah. Bagi Mu’tazilah, manusia dapat menentukan perbuatannya
sendiri. Ia hidup tidak dalam keterpaksaan (Jabbar). Akar teologi Mu’tazilah dalam
bidang af’al al-‘ibad (perbuatan manusia) adalah Qadariah sebagai anti tesis dari
jabariyyah
Di Indonesia, gerakan rasionalis pernah mempengaruhi Muhammadiyah
sebelum perang dunia kedua. Agenda mereka dalah pemberantasan takhayul, bid’ah
dan khurafat dan berlomba dalam kebaikan. Oleh karena itu mereka juga dikenal
sebagai golongan purfikasi

9
Atang Abd Hakim and Jaih Mubarok, Motodologi Studi Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999).
10
Hakim and Mubarok.

8
c. Revivalis-fundamentalis
Kecenderungan umat Islam ketiga dalam menghadapi globalisasi adalah
revivalis. Revivalis menjelaskan factor dalam (internal) dan factor luar (eksternal)
sebagai dasar analisis tentang kemunduran umat Islam.
Bagi revivalis umat Islam terbelakang, karena mereka justru menggunakan
ideology lain atau “isme” lain sebagai dasar pijakan dari pada menggunakan Al-
Qur’an sebagai acuan dasar. Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa Al-Qur’an
pada dasarnya telah menyediakan petunjuk secara komplit, jelas dan sempurna
sebagai dasar bermasyarakat dan bernegara. Di samping itu mereka juga
memandang isme lain seperti marxisme, kapitakisme dan zionisme sebagai
ancaman. Globalisasi dan kapitalisme bagi mereka merupakan salah satu agenda
barat dan konsepo non Islami yang dipaksakan kepada masyarakat muslim. Mereka
menolak kapitalisme dan globalisasi karena keduanya dinilai berakar pada paham
liberalism. Karena itulah, merka juga disebut kaum fundamentalis, mereka di
pinggirkan sebagai ancaman bagi kapitalisme. 11
d. Transformative
Gagasan transformative merupakan alternative dari ketiga respon umat
Islam di atas. Mereka penggagas (transformative) percaya bahwa keterbelakangan
umat Islam disebabkan oleh ketidakadilan system dan struktur ekonomi, politik dan
kultur. Ini adalah proses panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif,
politik tanpa kekerasan, kultur tanpa dominasi dan hegemoni, serta penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia (human right). Keadilan menjadi prinsip
fundamental bagi penganut transformative. Focus kerja mereka adalah mencari akar
teologi, metodologi, dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial. 12

11
Fahrurrozi and Mahyudin, Fiqih Manajerial.
12
Fahrurrozi and Mahyudin.

9
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari paparan yang telah disajikan, dapat disimpulkan bahwa hubungan
antara tradisi dan modernitas merupakan suatu dinamika kompleks yang
memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tradisi, sebagai warisan nilai
dan praktik dari generasi sebelumnya, seringkali dihadapkan pada tantangan
modernitas yang membawa perubahan cepat dan kompleks. Namun, pentingnya
memahami bahwa keduanya tidak selalu bertentangan; melainkan, dapat
diintegrasikan untuk menciptakan suatu harmoni yang memadukan nilai-nilai luhur
dengan kebutuhan zaman.
3.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, beberapa saran dapat diajukan guna
mendukung integrasi yang lebih baik antara tradisi dan modernitas:
a. Penguatan pendidikan budaya
b. Promosi kolaborasi antara generasi
c. Pembentukan kebijakan pemerintah
d. Penguatan identitas lokal
e. Peningkatan kesadaran masyarakat

10
DAFTAR PUSTAKA

Eisendstadt S.N. Modernization: Growth and Diversity. Bloomington:


Indiana University Press, 1963.

Fahrurrozi, Azis, and Erta Mahyudin. Fiqih Manajerial. Jakarta: PT Pustaka


Al-Mawardi, 2010.

Hakim, Atang Abd, and Jaih Mubarok. Motodologi Studi Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1999.

Inkeles, Alex, and David H. Smith. Becoming Modern: Individual Change


in Six Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press, 1974.

Jainuri, Achmad. The Formation of the Muhammadiyah’s Ideology.


Surabaya, 1942.

Nurcholis, Madjid. Kemodernan Dan Keindonesiaan. Bandung: Penerbit


Mizan, 1998.

Shepard, William E. Islam and Ideology: Towards A Typology. IJMES,


1987.

Shils, Edward. Tradition. Chicago: The University ofg Chicago Press, 1983.

Theodorson, George A., and Achilles G. Theodorson. A Modern Dictionary


of Sociology. New York: Barnes & Noble Books, 1979.

Anda mungkin juga menyukai