Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

INTRERNALISASI NILAI AGAMA


“KONSEP DAN STRATEGI INTERNALISASI SIKAP TAWASUTH”

Dosen Pengampu :

 Dr. Ahmad Hariandi, S.Pd.I., M.Ag.

Disusun oleh :
1. A1D120083 ARDI NUR HANAFI
2. A1D120091 RISKI SEPRIANTO
3. A1D120096 DIMAS BINTANG DARMA PUTRA DWITAMA
4. A1D120099 REKHANO ANDRIA PARASTU
5. A1D120104 ALIF AGUNG WICAKSONO
6. A1D120108 RIZQI ALIF IFSYAUSSALAM

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. Berkat rahmatnya, kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah tepat pada waktunya dengan judul “KONSEP DAN STRATEGI
INTERNALISASI SIKAP TAWASUTH”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ahmad Hariandi, S.Pd.I., M.Ag.
selaku dosen mata kuliah INTRERNALISASI NILAI AGAMA yang telah
memberikan tugas ini, sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
pengetahuannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki kekurangan dan masih


jauh dari kata sempurna, serta masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan
didalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu penulis harapkan agar makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal
sampai akhir. Semoga tuhan senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Jambi,24 Februari 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2

DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................................4

B. Rumusan Masalah ..........................................................................................5

C. Tujuan Penulisan Makalah ...........................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Tawassuth ........................................................................................................7

B. Konsep Tawassuth/Wasathiyah ..................................................................15

C. Nilai-nilai Yang Terkandung dalam Prinsip Tawassuth/Wasathiyah . 18

D. Pendidikan karakter.....................................................................................19

E. Pendidikan Internalisasi dan Implementasi Sikap


Tawasuth/Wasathiyah di Sekolah ...................................................................... 22

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................................27

B. Saran ...............................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 28

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perilaku setiap individu adalah cerminan dari dari setiap individu itu
sendiri. Setiap individu dapat dikatakan baik atau buruk, sopan atau tidak, semua
dapat terlihat dari perilakunya dan tindatakan yang dilakukan oleh idndividu itu
sendiri. Pada saat ini dapat kita lihat kualitas karakter seseorang banyak yang
menurun drastik dari yang saling menghargai menjadi tidak menghargai, dari baik
menjadi tidak baik, yang sopan menjadi tidak sopan, dan sebagainya. Penerunan
karakter ini sangat terlihat pada anak-anak zaman sekarang. Penurunan kualitas
karakter ini terjadi karena banyak faktor, adapun beberapa faktor diantarannya
yaitu mulai dari media-media yang dekat dengan kita seperti televisi, handphone,
surat kabar dan media lainnya. Media-media tersebut sering menunjukkan hal-hal
yang dapat mempengaruhi karakter individu terutama anak yang cenderung
meniru dari apa yang dia lihat. Kemudian faktor lainnya yaitu lingkungan,
lingkungan yang telah mengalami penurunan karakter akan mempengaruhi
individu yang sebenrnya karakter dari individu itu baik namun terpengaruh oleh
lingkungan yang telah tidak baik.

Penurunan karakter itu juga terjadi pada kehidupan beragama. Salah satu
contohnya yaitu sikap saling menyalahkan antara satu extrem dengan extrem lain
atau menurunnya sikap saling menghargai. Penurunan karakter tersebut harus
diperbaiki dengan Pendidikan karakter. Pendidikan karakter ini dapat dilakukan
dilingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Salah satu Pendidikan karakter
yang dapat diajarkan adalah Pendidikan prinsip tawassuth (tengah-tengah).
Pendidikan tawassuth ini penting diajarkan untuk memperbaiki moralitas anak
yaitu menghargai satu sama lain tidak menyalahkan satu sama lain dan
sebagainya.

4
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka didapatkan rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana pengertian, dalil, dan konsep Tawassuth/Wasathiyah?


2. Bagaimana Konsep Tawassuth/Wasathiyah menurut para ahli/ulama?
3. Nilai-nilai yang terkandung dalam Prinsip Tawassuth/Wasathiyah?
4. Apa itu Pendidikan karakter?
5. Bagaimana cara internalisasi dan implementasi tawassut di Sekolah Dasar?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Mengetahui perngertian, dalil, dan konsep Tawassuth/Wasathiyah.
2. Mengetahui konsep Tawassuth/Wasathiyah menurut para ahli/ulama
3. Mengetahu nilai-nilai yang terkandung dalam Prinsip Tawassuth/
Wasathiyah
4. Mengetahui Pendidikan karakter
5. Mengetahui cara menginternalisasi dan mengimplementasikan
Tawassuth/Wasathiyah disekolah dasar.

5
BAB II

PEMBAHASAN

Islam, menurut Khaled Abou El Fadl, terbelah antara ekstrimisme dan


moderasi. Islam harus dibersihkan dari ekstrimisme. Berbagai counter wacana
dikembangkan untuk membendung ekstrimisme agar tidak semakin merebak.
Kajian seperti ini, yang memperhadapkan moderatisme dengan konservatisme,
juga dilakukan Andar Nubowo terkait dengan Islam Kemajuan yang diusung
Muhammadiyah. Pembelahan yang dilakukan Abou El Fadl dan Nubowo tersebut
tampak kurang cermat. Memperhadapkan ekstrimisme dengan moderatisme
sesungguhnya sebuah reduksi dari kenyataan yang terjadi. Kajian Nainggolan
menunjukkan, ekstrimisme keagamaan juga muncul disebabkan oleh praktik-
praktik kapitalisme ekonomi. Dominasi ekonomi kaum kapitalis memunculkan
anggapan bahwa negara telah bertindak tidak adil sehingga menyebabkan
kekecewaan terhadap penguasa (negara).

Selain karena dominasi kapitalisme, kelompok Islam ekstrimis juga tida


bisa dilepaskan oleh faktor merebaknya kelompok-kelompok dalam Islam yang
mewacanakan liberalisme Islam. Kajian yang dilakukan Tiar Anwar Bachtiar
mengonfirmasi kenyataan ini. Kehadiran Jaringan Islam liberal (JIL) di awalawal
Era Reformasi turut mengentalkan pemahaman Islam yang cenderung konservatif,
bahkan di beberapa kasus ekstrim. Ini terlihat dari penolakan terhadap isu-isu
tentang pluralisme, liberalism dan sekularisme. Studi yang dilakukan Ahmad
Khoirul Fata menunjukkan fakta ini, atau justru sebaliknya, bukan JIL yang
menyuburkan konservatisme, tapi maraknya gerakan Islam konservatif dan
ekstrim melahirkan respons balik dari kelompok-kelompok liberal dengan ikon
utamanya JIL.

Pertentangan antara kedua kelompok ini kemudian berpuncak pada fatwa


haram atas ide-ide liberalisme JIL oleh MUI pada 2005. Untuk menengahi
pertentangan kedua kelompok ekstrim itulah banyak pihak mewacanakan kembali
sebuah Islam yang toleran dan ramah namun tidak liberal dan tidak radikal.

6
Keberislaman yang berdiri di tengah-tengah tarikan dua sisi ekstrim tersebut.
Model keberislaman yang berdiri di tengah-tengah inilah yang disebut oleh
beberapa pihak sebagai Islam moderat. Namun demikian, wacana Islam moderat
tidak lantas diterima apa adanya. Bagi beberapa kelompok Muslim, Islam moderat
merupakan istilah yang mengandung distorsi. Islam moderat terkesan gagasan
keberagaman yang otentik. Di balik istilah Islam moderat terselip kepentingan
politik. Dalam pandangan mereka, Islam moderat merujuk kepada Islam yang
ramah terhadap Barat dan kepentingannya serta mengadopsi nilai-nilai Barat.1

A. Tawassuth
Tawassuth/Wasathiyah (mengambil jalan tengah) Yaitu pandangan yang
mengambil jalan pertengahan dengan tidak berlebih lebihan dalam beragama dan
tidak mengurangi ajaran agama, jalan tengah ini dapat berarti pemahaman yang
memadukan antara teks ajaran agama dan konteks kondisi masyarakat.
Sehingga"wasatiyah" ialah suatu pandangan ataupun perilaku yang senantiasa
berupaya mengambil posisi tengah dari 2 perilaku yang berseberangan serta
kelewatan sehingga salah satu dari kedua perilaku yang diartikan tidak
mendominasi dalam benak serta perilaku seorang. Sebagaimana pendapat Khaled
Abou el Fadl dalam The Great Theft, kalau" moderasi" merupakan pemahaman
yang mengambil jalur tengah, ialah pemahaman yang tidak ekstem kanan dan
tidak pula ekstrem kiri.

Umat islam tidak boleh hanya berpedoman teks saja kemudian melupakan
konteks sehingga menjadikan pemahaman yang ekstrim , radikal, kaku dan keras
(fundamentalis ) sehingga bersifat egois menganggap yang lain jika tidak serupa
dengan pemahamnaya dianggap hal keliru dan salah. Tidak juga pula umat islam
hanya mengedepankan konteks saja mengesampingkan teks ajaran agama sebagai
podoman (Al Quran dan hadits) sehingga menjadikan pemahanya (liberalisme).
bebas tanpa arah liar liar sesuka hati tak terkendali. Seseorang hamba wajib

1
Najib, Muhammad Ainun & Ahmad Khoirul Fata. 2020. “ISLAM WASATIYAH DAN KONTESTASI
WACANA MODERATISME ISLAM DI INDONESIA”. Jawa Timur: Jurnal Theologia

7
pantaslah taat kepada Allah SWT sebagai tuhanya, dengan menjalankan ibadah
sholat , puasa zakat , haji serta melaksanakan ibadah ibadah sunnah lainnya,
namun hendaknya seseorang hamba wajib paham bahwa tidak dibenarkan bila
memutuskan aktivitas dunia dan menjauhkan dirinya dengan masyarakat.
Keduanya haruslah simbang antara urusan dunia serta urusan akhirat serta tidak
mendominasi dari keduanya2

Adapun beberapa pendapat lain mengenai Tawassuth yaitu Tawasuth


adalah sikap tengah-tengah atau sedang diantara dua sikap, tidak terlalu keras
(ekstrimisme) dan terlalu bebas (liberalisme) Dengan sikap inilah Islam bisa
diterima di segala lapisan masyarakat (Mannan, 2012: 36).3 Tawassuth
(mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrâth
(berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrîth (mengurangi ajaran agama).4

Kemudian pengertian lain Tawassut yaitu Tawasuth adalah sikap tengah-


tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Tawassuth
merupakan salah satu dari nilai-nilai dasar fiqih moderat. Fiqih moderat bukanlah
sebuah istilah sama sekali, melainkan istilah Fiqh Moderat sudah memiliki konsep
dan landasan yang jelas. Bahkan, istilah Fiqh Moderat muncul dengan dasar atau
landasan teologis dan ontologis (sesuatu yang bersifat konkret).

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa Tawasuth ialah


sebuah pandangan atau sikap seseorang yang dimana orang tersebut senantiasa
berada di tengah-tengah. Maksudnya, ketika terdapat 2 hal, atau 2 pendapat, atau

2
Hasan, Mustaqim. 2021. “PRINSIP MODERASI BERAGAMA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA”.
Lampung: Institut Agama Islam An Nur Lampung.

3
FIRMANSYAH. 2021. “PEMBINAAN SIKAP TAWASUTH DAN TASAMUH PADA SANTRI DI PONDOK
PESANTREN BUSTANU‘USYSY AQIL QUR’AN DUSUN GADING, DESADUREN, KECAMATAN
TENGARAN, KABUPATEN SEMARANG”. Semarang: INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) SALATIGA 2021

4
Nur, Afrizal dan Mukhlis Konsep. 2015. “KONSEP WASATHIYAH DALAM AL-QURAN”. Riau: Fakultas
Ushuluddin UIN Suska Riau

8
2 sikap yang berseberangan, maka orang tersebut tidak berpihak pada salah
satunya, melainkan berada di tengah-tengah dan tidak terlalu mendominasi pada
salah satu di antara keduanya, dan orang tersebut akan mencari jalan atau solusi
yang tidak berat kepada pihak manapun. Istilah Fiqh Moderat ialah bagian dari
ajaran Islam yang universal. Istilah Fiqh Moderat memiliki padanan dengan istilah
Arab ummatan wasathan atau al-din al-wasath. al ini sebagai mana firman Allah
SWT,

‫ﻋﻠ ْي ُك ْﻢ َش ِهيدًا‬ ُ ‫اس َوي ُكونَ ﱠ الر‬


َ ‫سو ُل‬ َ ‫… و َكذَلكَ َﺟﻌَ ْﻠﻨﺎ ُك ْﻢ أ ﱠ ﻣﺔً َو‬
ُ ‫سطﺎ لت ُكونوا‬
ِ ‫ش َهدَا َء َﻋﻠﻰ النﱠ‬

Artinya: “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang


“wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi
semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi (syahid) juga
atas kalian.” (Q. S. AlBaqarah:143).

Istilah Umatan wasathan dalam ayat tersebut berarti “golongan atau agama
tengah”. Kata “wasat” dalam ayat di atas, jika merujuk kepada tafsir klasik seperti
al-Tabari atau al-Razi, mempunyai tiga kemungkinan pengertian, yakni: umat
yang adil, tengah-tengah, atau terbaik. Ketiga pengertian itu, pada dasarnya, saling
berkaitan.

Sebagai istilah untuk penggolongan corak pemikiran dan gerakan istilah


“Fiqh Moderat” diperlawankan dengan istilah lain, yaitu Islam radikal. Fiqh
Moderat, dalam pengertian yang lazim kita kenal sekarang, adalah corak
pemahaman Islam yang menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh
kalangan lain yang menganut model Islam radikal. Fiqh Moderat memiliki
beberapa nilai-nilai luhur yang harus diperhatikan, antara lain Tawassuth,
Tawazun, I’tidal, dan Tasamuh.

1. Tawassuth
At-Tawassuth yang disebutkan pertama ini memiliki peran sentral
dalam moderasi beragama dan terkait dengan nilai-nilai lainnya. Yang
dimaksud dengan sikap tawasuth disini adalah sikap tengah-tengah,

9
sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari
firman Allah SWT:
‫ﻋﻠ ْي ُك ْﻢ َش ِهيدًا‬ ُ ‫اس َوي ُكونَ ﱠ الر‬
َ ‫سو ُل‬ ِ ‫الن‬ َ ‫… و َكذَلِكَ َﺟﻌَ ْﻠﻨﺎ ُك ْﻢ أ ﱠ ﻣﺔً َو‬
ُ ‫سطﺎ لت ُكونوا‬
‫ش َهدَا َء َﻋﻠﻰ ﱠ‬
Artinya : Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat
pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian)
atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Rosulloh
menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu
sekalian... (QS al-Baqarah: 143).
2. Tawazun
Yang dimaksud dengan tawazun disini adalah seimbang dalam
segala hal, temasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber
dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadits). Firman Allah SWT: ‫ِتﺎب‬
َ ‫ت َوأنزلﻨﺎ َﻣ َﻌ ُه ُﻢ الك‬ ُ ‫لﻘَ ْد أر َس ْﻠﻨﺎ ر‬
ِ ‫سﻠﻨﺎ ﺑﺎل َﺒـِّ يـﻨﺎ‬
َ ُ‫َوالمِ يزانَ ليَـﻘ‬
‫وم‬
ِ‫اس ﺑﺎل ِﻘﺴْﻂ‬
ُ ‫الن‬‫ﱠ‬
Artinya: Sunguh kami telah mengutus rasulrasul kami dengan membawa
bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka
alkitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan... (QS al-Hadid: 25)

Ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa selain al-kitab ada lagi
al-mizan yang dijadikan pijakan dalam menjalankan keadilan di dunia ini.
Para ulama kemudian menafsiri al-Mizan dengan akal pikiran yang sehat.
Namun sesuai dengan ayat diatas yang menjadi barometer awal adalah al-
kitab baru kemudian al-mizan bukan dibalik al-mizan dulu baru al-kitab.

3. I'tidal
Yang dimaksud dengan i’tidal disini adalah tegak lurus. Konsisten
dalam melaksanakan aturan tidak melihat unsur benci atau suka. Firman
Allah SWT: Artinya:
‫رﻣ ﱠن ُك ْﻢ شَﻨآَنُ ﻗَ ْـوم َﻋﻠﻰ أ ﱠ ﻻ‬ َ ْ‫وﻻ يَج‬ َ َ‫يَﺎ أَيـ ﱡ هَﺎ ا ﱠل ذِين‬
ُ ‫آﻣﻨوا ُكونوا ﻗَـ ﱠ واﻣِ ينَ ِل ﱠﻞ ِه‬
َ ِ‫ش َهدَا َء ﺑﺎل ِﻘﺴْﻂ‬
‫تَـ ْﻌدِلوا ا ْﻋدِلوا ه َُو أ ْﻗـربُ ل ﱠ لتـ ْﻘ َوى‬

10
ٌ ِ‫َواتـﱠ ﻗُوا ال ﱠﻞ هَ إﱠ ن ال ﱠﻞ هَ َخﺒ‬
َ‫ير ﺑ َمﺎ تَـ ْﻌ َمﻠون‬
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi
orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi
(pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada
suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena
keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada
Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS al-Maidah: 8)
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan bisa terwujud jika unsur-
unsur kebencian terhadap seseorang atau golongan tertentu dihilangkan.
Jika unsur kebencian ini tidak dihilangkan maka hanya akan melahirkan
ketidakadilan ditengah tengah masyarakat.
4. Tasamuh
Yang dimaksud dengan sikap tasamuh atau toleransi disini yakni
sikap menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki
prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau
membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa
ُ ‫فَـﻘُ َو َﻻلهُ ﻗَ ْـو ًﻻ ِّل يـﻨﺎ ل َﻌ ﱠﻞ هُ يـتذﱠ‬
yang diyakini. Firman Allah SWT: ‫كر ْأو َيخشَﻰ‬
Artinya: Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun
AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-
mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)
Walaupun firaun mimiliki keyakinan yang berbeda dengan nabi
musa, beliau tetap disuruh berkata lembut dengan fir’an. kelembutan disini
merupakan manifestasi dari sikap toleransi namun bukan bermakna
membenarkan keyakinannya fir’aun. 5

Keempat nilai-nilai tersebut merupakan nilai dari fiqih moderat. Dan salah
satu nilai yang terlah disebutkan adalah tawassuth . Istilah “Tawassuth” yang

5
Jafar, Wahyu Abdul. 2019. “PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP URGENSI FIQH MODERAT”.
Bengkulu: Vanda

11
merupakan rangkaian dari kata wassatha, secara bahasa berarti sesuatu yang ada
di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.
Sedangkan pengertian secara terminologi adalah nilai-nilai Islam yang dibangun
atas dasar pola pikir dan praktik yang lurus dan pertengahan, tidak berlebihan
dalam hal tertentu. At-tawassuth juga memiliki lawan kata dari “berlebihan dan
berkurangan”. Berlebihan setidaknya ada dua, yaitu al-ifrat (‫ )اﻹفراط‬dan al-ghuluw
(‫)الغل‬, sedangkan untuk arti berkurangan at-tafrit (‫ )التفرطي‬dan al-jafa` (‫)الجفاء‬.
Ringkasnya, al-tawassuth adalah posisi antara berlebihan dengan berkurangan.
Nilai tawassuth ini memiliki peran sentral karena posisinya menjiwai delapan
nilai moderasi beragama yang lainnya.

Tawassuth yang memiliki peran sentral dalam sembilan nilai ini akan
berdampak positif dalam pemikiran maupun praktik. Dengan Tawassuth akan
menciptakan sifat dan prilaku pertengahan dalam segala hal, tidak ekstrem kiri
dan kanan, serta menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Begitu pula
Tawassuth mampu menempatkan kehidupan dunia dan akhirat secara seimbang,
bisa memerankan ibadah individual dengan sosial, serta mampu menjaga
keseimbangan antara doktrin dan pengetahuan bagi yang menjalankannya.
Sebagai nilai yang memiliki peran sentral, maka gambaran tawassuth terkadang
terdapat pada pembahasan nilai-nilai berikutnya baik secara pemikiran, sifat
ataupun perilaku.

Dalam sejarah Islam di Nusantara, moderasi menjadi ciri khas dan


karakter keberagamaan sejarah bangsa ini. Maka menguatkannya kembali di
zaman sekarang adalah bagian dari ketersambungan sejarah dan pengamalan
nilai-nilai lama.

Dengan demikian Tawassuth dapat dijadikan sebuah prinsip untuk


menjalankan kehidupan yang menjunjung tinggi pemahaman atau sikap lurus di
tengah-tengah kehidupan bersama, bertindak lurus dan selalu bersifat membangun
serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersikap tatharruf (ekstrem).

12
Pemahaman dan sikap Tawassuth sebagai nilai utama dalam moderasi
beragama tersebut bukan tidak berdasarkan alasan. Tawassuth memiliki sumber
dan rujukan yang keterangannya tentu berdasarkan pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 143
yang berbunyi,

Artinya:

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “Umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Istilah ummatan wasathan (‫ )أمة وسطا‬pada ayat tersebut secara harfiah


memiliki arti sebagai komunitas jalan tengah (umat pertengahan). Dalam
penjelasan yang lain, diartikan sebagai umat yang adil dan terpilih, maksudnya,
umat Islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik
akhlaknya, paling utama amalnya. Sehingga Allah Swt, telah menganugerahi
ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan yang tidak diberikan
kepada umat lain (Ibn ‘Asyur: 1984, 17-18).

Komunitas jalan tengah atau umat terbaik tersebut menjadikannya untuk


memilih jalan Tawassuth yang dapat merepresentasikan amalan moderat dalam
berbagai hal. Penjelasan ini sejalan dengan gambaran yang terdapat dalam Q.S. al-
Furqan [25]: 67 tentang ibadah yang mengandung unsur individual dan sosial
yaitu infak atau zakat yang tidak diperkenankan berlebihan atau juga kikir dalam
mengamalkannya “Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih)
orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.”

Dari sini pula dalam kaitannya dengan ibadah individual dan sosial, maka
umat Islam dalam beribadah harus seimbang berada di tengah-tengah. Mereka

13
perlu memahami bahwa dalam beribadah tidak boleh sepenuhnya terobsesi
dengan akhirat semata dan melupakan kehidupan dunia, begitu pula sebaliknya.
Akan tetapi umat Islam juga harus terobsesi pada tujuan untuk mencapai
keseimbangan antara kehidupan di dunia ini dan mempersiapkan diri untuk
kehidupan setelah kematian (akhirat). Hal ini, seperti yang dipesankan dalam Q.S.
al-Qashash [28]: 77, “Carilah tempat tinggal di akhirat melalui apa yang telah
Tuhan berikan kepadamu dan jangan lupakan bagianmu di dunia”.

Tawassuth sebagai ajaran dan praktik beragama yang dapat dilakukan oleh
umat Islam juga tergambarkan dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam
sebagaimana terekam dalam hadis Rasulullah saw

َ ‫س ٌر َولَنْ يُشَا ﱠد ل ِ ّﺪ ْينَ أ َﺣ ٌﺪ إ ﱠل‬


ُ‫غلَبَه‬ ْ ُ‫إنﱠ ل ِ ّﺪ ْينَ ي‬

Artinya:

Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah, dan tidak ada seorang pun yang
mempersulitnya melainkan (agama itu) akan mengalahkan dia (mengembalikan
dia kepada kemudahan).” (HR. Bukhari, hadis ke-39)

Dalam memaknai hadis tersebut, dapat dipahami bahwa agama Islam itu
berada di tengah-tengah (tawassuth) yaitu berada di antara mereka yang berlebih-
lebihan dan yang suka mengurangngurangi. Hadis ini menegaskan bahwa kita
hendaknya menjaga keseimbanagan. Karena sikap Tawassuth tersebut akan
diikuti oleh orang-orang yang suka mengurang-ngurangi dan juga akan mengem
balikan orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan.

Berdasarkan pemaparan di atas maka ciri-ciri atau indikator sembilan nilai


moderasi beragama dari nilai al-Tawassuth antara lain: mengutamakan sifat
pertengahan dalam segala hal, tidak ekstrem kiri dan kanan, menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban; menjaga keseimbangan dunia dan

14
akhirat atau menjaga keseimbangan ibadah ritual dan sosial; serta menjaga
keseimbangan antara doktrin dan pengetahuan.6

B. Konsep Tawassuth/Wasathiyah
Dalam mempelajari suatu ilmu kita dapat mencarinya dari pendapat
pendapat ulama. Berikut adalah pendapat beberapa ulama mengenai
Tawassuth/Wasathiyah (sikap tengah-tengah).

1. Imam Ibnu Jarir At-Thabari (W: 310H/923M) .

Imam Ibnu Jarir At-Thabari adalah Syaikhul mufassirin, beliau telah menulis
tafsir bilma’tsur (berdasar riwayat) terlengkap di dunia pada abad ke 3 hijriah.
Tafsirnya menjadi rujukan para ulama tafsir di masanya sampai saat ini. At-
Thabari telah memeberi konsep wasathiyah yang lengkap dan mumpuni, saat
manafsirkan surat Al-Baqarah ayat 143, sehingga menjadi referensi para ulama
wasathiyah samapai saat ini.

At-Thabari berpendapat bahwa umat Islam yang wasathiyah adalah “Umat Islam
adalah umat moderat, karena mereka berada pada posisi tengah dalam semua
agama, mereka bukanlah kelompok yang ekstrem dan berlebihan seperti sikap
ekstremnya nashrani dengan ajaran kerahibannya yang menolak dunia dan
kodratnya sebagai manusia. Umat Islam juga bukan seperti bebasnya dan lalainya
kaum yahudi yang mengganti kitab-kitab Allah, membunuh para Nabi, mendustai
Tuhan dan kafir pada-Nya. Akan tetapi umat Islam adalah umat pertengahan dan
seimbang dalam agama, maka karena inilah Allah menamakan mereka dengan
umat moderat” .

At-Thabari memposisikan umat Islam antara dua ajaran agama samawi yang telah
mengalami penyelewengan dan distorsi yaitu yahudi dan nashrani. Yahudi adalah
agama yang dianut oleh bani israil dipimpin oleh para rahib yang tidak memiliki
konsistensi pada ajaran asli taurat, mereka merubah ajaran taurat sesuai dengan

6
Azis, Abdul & A. Khoirul Anam. 2021. “Moderasi Beragama Berlandaskan Nilai-nilai Islam”. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Jl. Lapangan Banteng No. 3-4 Jakarta.

15
napsu mereka. Firman Allah: “Diantara orang Yahudi yang merubah firman Allah
dari tempatnya, dan mereka berkata; kami mendengar tapi kami tidak
mematuhinya” (QS. An-Nisa: 46).

Kaum Yahudi mengganti tuhan dan syari’at taurat yang diajarakan Allah lewat
para Nabi-Nya kepada mereka, serta menganti Allah dengan Nabi Uzair dan
individu lainnya sebagai anak tuhan. Allah berfirman: “Dan orang-orang Yahudi
berkata: Uzair putra Allah, dan orang-orang nashrani berkata: Al-Masih putra
Allah” (QS. AtTaubah: 30). Bahkkan Yahudi tega dan sadis membunuh para Nabi
dan Rasul yang diutus oleh Allah kepada mereka untuk memperbaiki akidah dan
kehidupan mereka. Oleh karena itulah mereka selamanya dihinakan, dilaknat dan
dimurkai oleh Allah swt. Allah berfirman: “Kemudian mereka ditimpa kehinaan
dan kemiskinan serta selalu mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu karena
disebabkan mereka mengingkari ayatayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa
alasan yang benar” (QS. Al-Baqarah: 61, Ali Imran: 21 dan 112 dan At-Taubah:
111).

Adapun agama dan umat Nashrani, mereka adalah umat yang kurang
menggunakan akal sehat dalam beragama, mereka sangat tekstual dan kaku dalam
memahami ajaran agamanya, nashrani adalah agama yang hanya memperhatikan
masalah ukhrawi dan tidak memperdulikan masalah kehidupan dunia. Akibat
pemahaman yang kaku dan tekstual ini mereka tidak menerima perubahan dan
mejadikan hidup kerahiban (menjauhi dunia) sebagai ajaran agamanya padahal
Allah tidak mengajarkan demikian. Allah berfirman: “Mereka mengada-adakan
rahbaniyah (hidup kerahiban), padahal Kami tidak mengajarkannya kepada
mereka, dan yang Kami wajibkan hanyalah mencari keridhaan Allah, tetapi
mereka tidak pelihara sebagaimana mestinya”. (QS. Al-Hadid: 27).

Itulah kehidupan dua umat yang tidak moderat dalam beragama, Yahudi
terjerembab dalam jurang penyelewengan yang menyebabkan murka Allah yang
abadi pada mereka, karena kelancangan dan sikap bebas mereka merubah ajaran
Allah. Sementara kelompok nashrani yang tekstual, kaku serta ghuluw (ekstrem)
dalam memperaktekan ajarana agama dalam bentuk kerahiban menolak dunia,

16
menyebabkan mereka terperosok dalam jurang kesesatan abadi jauh dari hidayah
Allah swt.

2. Imam Abu Hamid Al-Ghazali (W: 505H/1111M)

Diantara Ulama besar yang telah memperkenalkan prinsip-prinsip


wasathiyah Islam adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali, beliau berpendapat dalam
kayanya “Ihya Ulumiddin” ketika membahas sikap para Sahabat Nabi saw
terhadap dunia pada Bab Zuhud, Al-Ghazali berkata: “bahwa para sahabat tidak
bekerja di dunia untuk dunia tapi untuk agama, para sahabat tidak menerima dan
menolak dunia secara keseluruhan atau secara mutlak. Sehingga mereka tidak
ekstrem dalam menolak dan menerima, tapi mereka bersikap antara keduanya
secara seimbang, itulah keadilan dan pertengahan antara dua sisi yang berbeda
dan inilah sikap yang paling dicintai oleh Allah swt” .

Al-Ghazali melihat bahwa kehidupan ideal dalam mengaktualisasikan


ajaran Islam adalah dengan jalan pertengahan, seimbang dan adil atau
proporsional antara dunia dan akhirat, antara rohani dan jasmani dan antara materi
dan spiritual. Walaupun Al-Ghazali dikenal dengan pandangan tasaufnya dan
kehidupan zuhudnya, namun beliau tetap mengakui dan meyakini bahwa manhaj
hidup yang paling sempurna dan sesuai dengan hakikat ajaran Islam berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta model hidup para Salaf shaleh adalah arah
wasathi (moderat) bukan manhaj ghuluw (ekstrem) atau ta’thil (meninggal) ajaran
Islam.

Pada pembahasan tentang Uzlah (mengasingkan diri dari manusia untuk


ibadah) Al-Ghazali membahas sangat luas dan mendalam antara keutaman uzlah
dan berinteraksi dengan manusia?. Ternyata Al-Ghazali walaupun beliau banyak
menyampaikan manfaat uzlah dalam kehidupan para hamba berdasarkan banyak
ayat dan hadits Nabi saw, tapi beliau tetap berpendapat dengan manhaj moderat
dan pertengahan serta seimbang antara memutuskan uzlah dan berdakwah serta
menuntut Ilmu. Al-Ghazali berkata: “Amar ma’ruf Nahi munkar” adalah salah
satu dasar agama, hukumnya adalah wajib. Karenanya barang siapa yang

17
berinteraksi dengan manusia pasti dia akan menyaksikan kemungkaran dan bila
dia diam atas kemungkaran itu, maka dia berdosa dan durhaka pada Allah swt .

Dalam masalah belajar dan mengajar Al-Ghazali melihat bahwa seorang


muslim harus dan wajib belajar dan mengajar bahwa keduanya adalah salah satu
ibadah yang paling besar di dunia dan keduanya tidak bisa dilakukan kecuali
berinteraksi dengan manusia. Barang siapa yang dirinya belum berilmu dan butuh
belajar dan ilmu, maka baginya haram beruzlah, sebaliknya bila dia telah berilmu
dan mengetahui halhal wajib dalam agama, serta melohat bahwa dia
membutuhkan focus dalam ibadah, maka dia boleh beruzlah”

3. Al-Qurthubiy (W: 671H/1273M)

Seorang ulama tafsir yang sangat dikenal dengan tafsirnya yang sangat
terkenal dalam dunia Islam sejak abad 7 (tujuh) Hijriah “Al-Jami’ Liahkam Al-
Qur’an”, Imam Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubiy. Bahwa umat
wasathan adalah umat yang berkeadilan dan paling baik karena sesuatu yang
paling baik adalah yang paling adil” . Al-Qurthubi menjelaskan bahwa Allah swt
menginginkan umat Islam menjadi umat yang moderat, paling adil dan paling
cerdas. Bahwa umat Islam harus menjadi umat yang selalu pada posisi
pertengahan dan moderat tidak pada posisi ekstrem atau berlebihan” .7

C. Nilai-nilai Yang Terkandung dalam Prinsip Tawassuth/Wasathiyah


Nilai-nilai penting dalam Prinsip Islam tawassuth/wasathiyah mencakup
antara lain:

1. Kemampuan menghayati prinsip keseimbangan antara berbagai potensi


manusia baik potensi fisik, jiwa dan ruhani harus sama-sama berkembang.

7
Arif, Khairan Muhammad. “MODERASI ISLAM (WASATHIYAH ISLAM) PERSPEKTIF AL-QUR’AN, AS-
SUNNAH SERTA PANDANGAN PARA ULAMA DAN FUQAHA”. Jawa Barat: Fakultas Agama
Islam, Universitas Islam As-Syafiíyah, Indonesia.

18
2. Mampu menyadari bahwa manusia adalah makhluk individual yang harus
menghargai kehidupan sosial dan kehidupan orang lain, karena saling
membutuhkan.
3. Kesediaan menerima keragaman dalam berbagai hal baik keragaman fisik,
warna kulit, suku bangsa, keyakinan, pemikiran, pandangan dan
sebagainya.
4. Berkemampuan dalam interaksi sosial, berdialog, komunikasi dan terbuka
dengan semua pihak yang mempunyai latar belakang agama, budaya dan
peradaban yang berbeda
5. Berkemampuan untuk tidak hanyut dalam kehidupan materialisme dengan
tidak menghiraukan sama sekali kehidupan spiritualisme, tidak hanya
memerhatikan kehidupan rohani dengan mengabaikan kehidupan jasmani.
6. Kemampuan bersikap menengah yakni tidak ektrim, tidak merasa benar
sendiri, tetapi bersikap menengah, adil dan pilihan.
7. Mampu mengembangkan dan menjadi contoh toleransi (tasamuh), berupa
kesediaan untuk secara terbuka mau menerima perbedaan, memiliki sikap
saling mrnghargai dan menghormati eksistensi masing-masing pihak yang
berbeda.
8. Menjadi syuhada yakni menjadi saksi atas terimpelementasikannya prinsip
menengah dan adil serta menjadi teladan atau disaksikan sebagai umat
pilihan.8

D. Pendidikan karakter
Pendidikan Karakter Russel Williams mengilustrasikan bahwa karakter
ibarat “otot“, dimana “otot-otot“ karakter akan menjadi lembek apabila tidak
pernah dilatih, dan akan kuat dan kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang
binaragawan (body budler) yang terus menerus berlatih untuk membentuk

8
Buseri, Kamrani. 2015. “ISLAM WASATHIYAH DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN”. Kalimantan
Selatan Rakerda/Sarasehan Ulama se Kalimantan Selatan.

19
ototnya, “otot-otot” karakter juga akan terbentuk dengan praktik-praktik latihan
yang akhirnya akan menjadi kebiasaan (habit) (Megawangi, 2000).

Majid dan Andayani (2012: 11) memaparkan dalam bukunya beberapa


pengertian karakter menurut para ahli bahwa karakter sebagaimana didefinisikan
oleh Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan
(knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan
kebaikan (doing the good). Menurutnya dalam pendidikan karakter, kebaikan itu
sering kali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Bila ditelusuri asal karakter
berasal dari bahasa latin “kharakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam bahasa
Inggris: character dan dalam bahasa Indonesia “karakter”, Yunani character, dari
charassein yang berarti membuat tajam, membuat dalam. Dalam kamus
Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai sebagai tabiat, watak, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.
Nama dari jumlah seluruh ciri pribadi yang meliputi hal-hal seperti perilaku,
kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, kecenderungan, potensi, nilai-
nilai, dan pola-pola pemikiran. Hornby dan Parnwell (1972: 49) karakter adalah
kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Kertajaya (2010:
3) mendefinisikan karakter adalah “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau
individu. Ciri khas tersebut adalah “asli” dan mengakar pada kepribadian benda
atau individu tersebut dan merupakan ‘mesin’ pendorong bagaimana seorang
bertindak, bersikap, berujar, dan merespons sesuatu. Pendidikan karakter adalah
pendidikan untuk membentuk keprib badian seseorang melalui pendidikan budi
pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku
yang baik dan jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras,
dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991), hal ini dapat dikaitkan dengan takdib,
yaitu pengenalan dan afirmasi atau aktualisasi hasil pengenalan (Aneess, 2010:
99). Para filsuf muslim sedari awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan
karakter. Ibnu Maskawih menulis buku khusus tentang akhlak dan
mengemukakan rumusan karakter utama seorang manusia. Demikian pula Al-
Ghazali, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan banyak filsuf lainnya. Sebelum hasil penelitian

20
para ulama Islam terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa hakikat
agama Islam adalah akhlak dan mental spiritual (Nata, 1996: xiv).

Ada dua paradigma dasar pendidikan karakter. Pertama, paradigma yang


memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya
lebih sempit (narrow scope to moral education). Pada paradigma ini disepakati
telah adanya karakter tertentu yang tinggal diberikan kepada peserta didik. Kedua,
melihat pendidikan dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas.
Paradigma ini memandang pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi,
menempatkan individu yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai pelaku
utama dalam pengembangan karakter. Paradigma kedua memandang peserta didik
sebagai agen tafsir, penghayat, sekaligus pelaksana nilai melalui kebebasan yang
dimilikinya (Koesoema, 2007: 22). Majid dan Andayani (2012: 30) menyatakan
bahwa Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan
adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Rasulullah Muhammad
Saw juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah
untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Tokoh
pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble
seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad
Saw bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari
dunia pendidikan. Sementara Mardiatmadja menyebut pendidikan karakter
sebagai ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia. Lebih lanjut Majid dan
Andayani (2012: 31-36) menyatakan bahwa pendidikan karakter memiliki
beberapa pilar antara lain:

1. Moral knowing Moral knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur
yaitu: a. Kesadaran moral (moral awareness); b. Pengetahuan tentang nilai-nilai
moral (knowing moral values); c. Penetuan sudut pandang (perspective taking); d.
Logika moral (moral reasoning); e. Kebenaran mengambil menentukan sikap
(dicision making); f. Dan pengenalan diri (self knowledge);

2. Moral loving atau moral feeling Moral loving merupakan penguatan aspek
emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan

21
bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati
diri yaitu: a. Percaya diri (self esteem); b. Kepekaan terhadap derita orang lain
(emphaty); c. Cinta kebenaran (loving the good); d. Pengendalian diri (self
control); e. Kerendahan hati (humility)

3. Moral doing/ Acting Moral acting sebagai outcome akan dengan mudah muncul
dari para siswa setelah dua pilar di atas terwujud. Moral acting menunjukan
kesempuranaan daripada kompetensi yang dimiliki oleh siswa setelah melalui
proses pembelajaran. Kemampuan yang dimiliki para siswa bukan hanya
bermanfaat bagi dirinya melainkan mampu memberikan manfaat kepada orang
lain yang berada disekitarnya.9

E. Pendidikan Internalisasi dan Implementasi Sikap Tawasuth/Wasathiyah


di Sekolah
Konsep at-tawasuth adalah suatu nilai yang bersikap awang-awangan bagi
anak. Dalam mengajarkan suatu nilai bersifat awang-awangan, para orang tua dan
pendidik harus mampu memberikan pemehaman yang sedikit demi sedikit
terhadap makna-makna segala sesuatunya. Nilai-nilai tersebut akan lebih mengena
pada jiwa anak jika mampu dibenturkan pada fenomena dan pengalaman yang
mereka hadapi atau mereka temukan.
Sekolah mampu memberikan pembelajaran yang terarah, terstruktur dan
berjenjang, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sagala (2008: 231) bahwa
Pendidikan formal adalah lembaga yang disebut dengan sekolah yang merupakan
bagian dari pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan. Sekolah
berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanantatanan sosial serta
kontrol sosial melalui programprogram atau kurikulum yang diberikan.
Dalam menciptakan suatu sekolah yang berbasis pendidikan karakter dapat
diterapkan melalui manajemen sekolah yang berkarakter, mengintregasikan
pendidikan karakter dalam proses pembelajaran, pengembangan budaya sekolah

9
Ainissyifa, Hilda. 2014. “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Islam” Jawab Barat: Jurnal
Pendidikan Universitas Garut.

22
berbasis pendidikan karakter dan menggunakan ekstrakulikuler sebagai wahana
pendidikan karater.
Implementasi khittah NU tentang konsep at-Tawasuth ahlus sunnah wal
jamaah dalam membangun karakter anak secara garis besar meliputi:
1. Pada bidang Akidah.
Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli. Dengan
pengertian dalil aqli ditempatkan dibawah dalil naqli. NU mengenal hirarki
sumber ajaran Islam sebagaimana dilakukan oleh mayoritas umat Islam, yaitu
mulai Al-Quran, sunnah, ij’ma’ (kesepakatan jumhur ulama’), dan qiyas
(pengambilan hukum melalui analogi tertentu.
2. Pada Bidang Akhlak.
Ahlussunnah wal Jamaah berupaya untuk membimbing manusia dalam
mencapai derajat keikhlasan. dan dasar yang paling penting diajarkan kepada
anak adalah tauhid. Selain itu untuk menciptakan suatu kehidupan yang baik
harus selalu berlaku seimbang dalam urusan hablun min Alla) dan hablun min
al-nasatau nilai tauhidiyan dan nilai insaniyah.
3. Pada Bidang Pergaulan antar golongan
Penerapan Karakter at-tawasuth (moderat) menerapkan sikap menghargai
plurarisme yang berlandaskan pada nilai-nilai plural, moderat, dan adil dalam
ukhuwwah nahdliyyiah, baik ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, atau
pun ukhuwah insaniyah,
4. Pada Bidang Kebudayaan
Perilaku budaya kaum nahdliyyin adalah menempatkan kebudayaan
dengan segala manifestasinya pada posisi yang wajar. Dan menyikapi
kebudayaan dengan ukuran nilai atau norma-norma hukum dan ajaran agama.
Sehingga akan menghasilkan sikap menghargai suatu kebudayaan dan tidak
berlebih-lebihan dalam menilai budaya asing.
Pada hakikatnya, dalam amaliyah NU sudah terdapat nilai-nilai ynag
tepat untuk digunakan dan diterapkan di beberapa lembaga pendidikan
sekolah dasar sebagai sarana untuk mengaktualisasikan konsep At Tawasuth
Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam membangun karakter Anak.

23
1. Bidang Akidah.
Kaum Nahdliyin sangat akrab dengan budaya khatmil Quran, yaitu
mengatamkan kitab suci Al-Quran dalam sehari secara bersama-sama.
Amaliyah ini sangat penting diajarkan kepada anak, karena melalui khotmil
Quran, anak-anak akan terbiasa mengamalkan Al-Quran dalam dirinya.
Selain itu mengajarkan kandungan atau maksud yang terdapat pada suatu ayat
kepada anak juga sangat penting, sehingga anak-anak tersebut akan mampu
mengambil pelajaran dari ayat-ayat Al- Quran tersebut dan menjadikannya
sebagai pedoman dalam kehidupan sehari- hari.
2. Bidang Pendidikan
Melalui pengajaran, Pengenalan atau penanaman pengertian nilai pada
anak merupakan hal yang sangat penting karena tanpa mengetahui maksud
dari suatu nilai tersebut ketika anak mengerjakannya maka anak tersebut
hanya sekedar mengerjakan tanpa paham apa maksud, tujuan dan fungsi suatu
nilai tersebut bagi anak. Dan cara yang paling efektif untuk menanamkan
pengertian nilai pada anak adalah melalui pengajaran atau pendidikan.
Pengajaran nilai attawasuth dapat menggunakan strategi 3 M (Moral
Knowing, Moral Loving and Moral Doing), Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Gunawan (2012: 193-194), moral knowing merupakan langkah pertama
dalam pendidikan karakter, dimana dalam langkah ini diorientasikan pada
penguasaan pengetahuan tentang nili-nilai. Selanjutnya moral loving
merupakan penguatan aspek emosi dan afektif anak untuk menjadi manusia
karakter, dimana dalam langkah ini diharapkan anak mampu mencintai dan
merasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Dan terakhir moral doing
menyentuh pada ranah psikomotorik, dimana anak mampu melakukan atau
bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam dalam diri anak.
3. Bidang Kebudayaan
Aktualisasi penerapan karakter at-Tawasuth pada bidang kebudayaan
dapat dilakukan melalui pemahami, mengikuti dan membiasakan amaliyah-
amaliyah budaya NU yaang sudah mengalami proses Islamisasi. Amaliyah-

24
amaliyah tersebut, diantaranmya adalah: kupatan, mitoni, khajatan dan
lainnya.
Pengenalan tradisi-tradisi seperti ini atau tradisi lain yang mengalami
islamisasi misalnya tradisi ngapati dan mitoni pada wanita hamil, syuronan,
ruwahan dan tradisi lainnya pada anak juga sangat penting. Dengan
memahami tradisi-tradisi tersebut maka akan tertanam dalam jiwa anak untuk
tidak memandang secara berlebihan terhadap tradisi, serta tidak phobia
terhadang budaya asing.
Selain itu keikutsertaan anak-anak dalam pengadaan tradisi-tradisi
tersebut akan menimbulkan rasa ukhuwah (persaudaraan) terhadap sesama
karena disini anak dibiasakan untuk berhubungan dengan orang lain.
4. Bidang Pergaulan Antar Golongan
Dalam menanamkan karakter at-tawasuth dalam bidang pergaulan antar
golongan, dapat dilakukan dengan mengikut sertakan anak pada kegiatan
ziarah (kunjungan) ke makam para wali, sesepuh, dan para guru. Kemudian
mengenalkan Budaya,Agama, Suku lain.
Beberapa amaliyah NU diatas dapat digunakan sebagai sarana untuk
aktualisasi Implementasi karakter at-tawasuth dalam diri anak. Selain amaliah
diatas penulis berpendapat bahwa pengenalan agama, suku, ras dan budaya lain
juga perlu karena dengan sedikit tahu keberadaan agama lain, anak- anak akan
mampu menghormati agama, suku, ras dan budaya lain. Dengan munculnya sikap
menghormati terhadap yang lain maka secara tidak lansung akan muncul sikap
menghargai pluralisme dalam diri anak.
Dengan tumbuh rasa menghargai pluralisme dalam diri anak, akan selalu
tertanam dalam diri anak pula untuk tidak bersifat fanatik pada hal yang
diyakininya dan tidak akan ada rasa menganggap salah pada agama, suku, ras dan
budaya lain diluar yang diyakininya.
Amaliyah-amaliyah NU diatas, dapat digunakan sebagai sarana
menanamkan karakter At-Tawasuth dalam diri anak melalui mengintregasikan

25
pada pembelajaran atau digunakan sebagai progam ektrakulikuler wajib pada
anak.10

10
Nikmah, Fitrotun. 2018. “IMPLEMENTASI KONSEP AT TAWASUTH AHLUS- SUNNAH WAL JAMA'AH
DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK DI TINGKAT SEKOLAH DASAR (STUDI ANALISIS
KHITTAH NAHDLATUL ULAMA)”. Jawa Tengah: Universitas Muria Kudus.

26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa Tawasuth ialah
sebuah pandangan atau sikap seseorang yang dimana orang tersebut senantiasa
berada di tengah-tengah. Maksudnya, ketika terdapat 2 hal, atau 2 pendapat, atau
2 sikap yang berseberangan, maka orang tersebut tidak berpihak pada salah
satunya, melainkan berada di tengah-tengah dan tidak terlalu mendominasi pada
salah satu di antara keduanya, dan orang tersebut akan mencari jalan atau solusi
yang tidak berat kepada pihak manapun. Istilah Fiqh Moderat ialah bagian dari
ajaran Islam yang universal.
Implementasi khittah NU tentang konsep at-Tawasuth ahlus sunnah wal
jamaah dalam membangun karakter anak secara garis besar meliputi: Pada bidang
Akidah, Pada Bidang Akhlak. Pada Bidang Pergaulan antar golongan, dan Pada
Bidang Kebudayaan.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada saran dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada
kami. Apabila terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya.

27
DAFTAR PUSTAKA

Azis, Abdul & A. Khoirul Anam. 2021. “Moderasi Beragama Berlandaskan


Nilai-nilai Islam”. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI Jl. Lapangan Banteng No. 3-4 Jakarta.

Jafar, Wahyu Abdul. 2019. “PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP URGENSI


FIQH MODERAT”. Bengkulu: Vanda

Nikmah, Fitrotun. 2018. “IMPLEMENTASI KONSEP AT TAWASUTH AHLUS-


SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK DI
TINGKAT SEKOLAH DASAR (STUDI ANALISIS KHITTAH NAHDLATUL
ULAMA)”. Jawa Tengah: Universitas Muria Kudus.

Hasan, Mustaqim. 2021. “PRINSIP MODERASI BERAGAMA DALAM


KEHIDUPAN BERBANGSA”. Lampung: Institut Agama Islam An Nur
Lampung.

Arif, Khairan Muhammad. “MODERASI ISLAM (WASATHIYAH ISLAM)


PERSPEKTIF AL-QUR’AN, AS-SUNNAH SERTA PANDANGAN PARA
ULAMA DAN FUQAHA”. Jawa Barat: Fakultas Agama Islam, Universitas
Islam As-Syafiíyah, Indonesia.

Najib, Muhammad Ainun & Ahmad Khoirul Fata. 2020. “ISLAM WASATIYAH
DAN KONTESTASI WACANA MODERATISME ISLAM DI INDONESIA”.
Jawa Timur: Jurnal Theologia

Buseri, Kamrani. 2015. “ISLAM WASATHIYAH DALAM PERSPEKTIF


PENDIDIKAN”. Kalimantan Selatan: Rakerda/Sarasehan Ulama se
Kalimantan Selatan.

Nur, Afrizal dan Mukhlis Konsep. 2015. “KONSEP WASATHIYAH DALAM AL-
QURAN”. Riau: Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau

FIRMANSYAH. 2021. “PEMBINAAN SIKAP TAWASUTH DAN TASAMUH


PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN BUSTANU‘USYSY AQIL

28
QUR’AN DUSUN GADING, DESADUREN, KECAMATAN TENGARAN,
KABUPATEN SEMARANG”. Semarang: INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) SALATIGA 2021

Ainissyifa, Hilda. 2014. “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan


Islam” Jawab Barat: Jurnal Pendidikan Universitas Garut.

29

Anda mungkin juga menyukai