Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Hamsi Mansur, M.M.Pd.
Eka Oktaviani, M.Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok 9
Aulia Desty Budieni 2310117120001
I Laili Nazwa 2310117120007
Istiqamah 2310117220002
Jihan Aswa 2310117220010
Khairunnisa 2310117220028
Nabila Najla Ramadhani 2310117220008
Pratiwi Yashinta Dewi 2310117320015
Salamah 2310117220024
Salsabila Maulidha Hidayat 2310117120017
Penyusun
Kelompok 9
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
A. Definisi Perkembangan Sikap, Nilai-Nilai, dan Moral Peserta Didik.........................3
B. Teori-Teori Perkembangan Sikap, Nilai-Nilai, dan Moral
B. Tahapan Perkembangan Moral....................................................................................5
D. Karakteristik Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap Peserta Didik
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap...............9
D. Implikasi Perkembangan Moral Peserta Didik Terhadap Pendidikan.......................10
BAB III PENUTUP................................................................................................................12
A. Kesimpulan................................................................................................................12
B. Saran..........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia, sebagai individu, tidak dapat hidup sendiri. Kita saling berinteraksi dalam
masyarakat dengan aturan yang berlaku. Interaksi ini menjadi kunci bagi pemahaman
individu tentang perilaku yang baik atau buruk. Moralitas, di sisi lain, mencakup
kemauan individu untuk menerima dan mengikuti aturan serta nilai yang diakui oleh
masyarakat. Sebagian besar perkembangan moral dipengaruhi oleh interaksi sosial sejak
masa bayi hingga dewasa. Bagaimana seseorang berperilaku dalam masyarakat
dipengaruhi oleh pemahaman nilai dan norma yang berlaku di sekitarnya. Proses belajar
menjadi kunci utama dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Seperti diutarakan oleh ahli psikologi (Dewey, 1938), "Education
is not preparation for life; education is life itself." Pendidikan bukanlah persiapan untuk
kehidupan; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Dewey menegaskan bahwa
pembelajaran dan pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-
hari.
Dalam hal nilai, moral, dan sikap, baik di sekolah, keluarga, maupun di masyarakat,
proses belajar yang efektif sangat menentukan perkembangan moral individu.
Lingkungan pendidikan yang baik dan dukungan dari keluarga serta masyarakat
membantu membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, tradisi, hukum, dan
norma sosial yang berlaku. Melalui interaksi dan pengalaman, seseorang belajar tentang
nilai-nilai moral yang membentuk perilaku yang sesuai dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran lingkungan dan pendidikan dalam
membentuk individu yang bermoral.
Perbedaan budaya, agama, dan latar belakang juga tidak boleh menjadi penghalang
bagi kemampuan individu untuk memahami dan menghargai perbedaannya dengan orang
lain. Sikap dan moral juga berkaitan dengan perkembangan setiap individu menjadi
manusia yang bertanggung jawab, beretika, dan berdisiplin tinggi. Perkembangan ini
akan membantu seseorang dalam mengambil keputusan, bersikap adil, menciptakan
keharmonisan dalam hubungan interpersonal dan memiliki rasa empati, siap membantu
mereka yang membutuhkan. Untuk memperkuat sikap dan etika yang positif, diperlukan
pembelajaran dan praktik yang konsisten, termasuk melalui kebiasaan dan praktik,
teladan, dan penegakan aturan.
1
Selain itu, peran orang tua dan tenaga pendidik juga penting dalam memantapkan
sikap positif dan moral siswa. Orang tua dapat mengajarkan dan mengamalkan nilai-
nilai, moral, dan etika pada setiap kesempatan, sedangkan fasilitator pendidikan dapat
menggunakan strategi pengajaran yang efektif untuk membentuk dan memfasilitasi sikap
dan etika positif siswa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusa masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut.
1. Apa definisi perkembangan sikap, nilai-nilai, dan moral peserta didik?
2. Bagaimana tahapan perkembangan moral?
3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap?
4. Bagaimana implikasi perkembangan moral peserta didik terhadap pendidikan?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui definisi perkembangan sikap, nilai-nilai, dan moral peserta
didik.
2. Untuk mengetahui tahapan perkembangan moral.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai,
moral, dan sikap.
4. Untuk mengetahui implikasi perkembangan moral peserta didik terhadap
pendidikan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
(Hamsi Mansur, 2023). Sehingga moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk
membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan
mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau
malu ketika melanggar standar tersebut (Hasan, 2006).
Perkembangan nilai, sikap, dan moral peserta didik merupakan proses panjang
dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian peserta didik selaku makhluk sosial
yang dipengaruhi oleh pengalaman, interaksi sosial, dan pendidikan. Lingkungan yang
mendukung, seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat, memainkan peran penting dalam
membentuk moral dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Dengan kata
lain lingkungan termasuk lingkungan budaya dapat merangsang atau bahkan
menghambat perkembangan moral seorang individu (Hurlock, Psikologi Perkembangan,
1990). Jadi proses belajar sangat menentukan kemampuan peserta didik dalam bersikap
dan berperilaku sosial yang bermoral sesuai dengan nilai-nilai dan norma agama, adat
istiadat/tradisi, serta hukum dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.
E. Teori-Teori Perkembangan Sikap, Nilai-Nilai, dan Moral
Teori Sikap
Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari
untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten
yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan
respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat
disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap
dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons
reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.
Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap
dengan pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat
kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap
itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan.
Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap
kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari
generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku
individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu
sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari
sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga
4
pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk
mempengaruhi sikap dan perilaku individu.
Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara
luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
1. Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu
diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap
dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
2. Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu
merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan
kepada anaknya.
3. Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa
perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu
tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana
atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita,
situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk
perkembangan sikap individu.
Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap
merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku
seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya
sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan
individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk
mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur
sikap individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar
penafsiran dan penilaian sikap.
Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang utama
dan dikenal sangat luas, yaitu:
A. Skala Likert
Dalam skala ini disajikan satu seri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian responden
diukur sikapnya untuk menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan jawaban yang telah
disediakan. Yaitu: Sangat setuju, Setuju, Ragu-ragu/netral, Tidak setuju, dan Sangat tidak
setuju.
B. Skala Thurstone
5
Dalam skala ini terdapat sejumlah pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda
dan responden/subjek yang bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau penolakan
terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih sedemikian rupa
sehingga tersusun sepanjang satu skala interval-sama, dari yang sangat menyenangi sampai
yang sangat tidak menyenangkan.
Teori nilai
Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Menurut Spranger,
nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang
dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger,
kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan.
Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia,
tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh
subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif”
(objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif,
sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif
yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.
Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat
keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai. Secara
dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh
individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar
konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan
yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:
nilai teori atau nilai keilmuan (I)
nilai ekonomi (E)
nilai sosial atau nilai solidaritas (Sd)
nilai agama (A)
nilai seni (S)
nilai politik atau nilai kuasa (K)
Teori Moral
Menurut Lawrence Kohlberg, seorang psikolog terkenal, penalaran moral adalah
kemampuan individu untuk menganalisis masalah sosial-moral dan menilai tindakan apa
yang akan diambil. Ini bukan hanya tentang apa yang tampak baik atau buruk dalam
6
lingkungan sosial-budaya tertentu. Kohlberg memandang penalaran moral sebagai
struktur yang terhubung dengan prinsip-prinsip filosofis moralitas yang bersifat
universal. Alasan-alasan mengapa seseorang bisa melakukan suatu tindakan tersebut oleh
Köhlberg disebut sebagai penalaran moral (Hurlock, 1999). Kemampuan untuk
mengadakan empati dan kemampuan rasa diri bersalah (faktor-faktor afektif) ikut
berperan dalam penalaran moral, akan tetapi situasi-situasi moralnya sendiri ditentukan
secara kognitif oleh penalaran moral pribadi (Hurlock, 1999).
Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan
moral dengan memperhatikan mengapa suatu tindakan salah, dan akan memberi
penjelasan lalu memperhatikan kembali perilaku seseorang atau juga mendengar
pernyataannya bahwa sesuatu itu salah. Penalaran moral mengacu pada proses penalaran
dimana prilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau tidak melanggar standar
moral (dalam Hamsi Mansur, 2023). Penalaran moral selalu melibatkan tiga komponen
utama sebagai berikut.
1. Pemahaman Standar Moral: Ini adalah pemahaman tentang apa yang diharapkan,
dilarang, atau dinilai dalam konteks moral yang masuk akal.
2. Bukti atau Informasi Moral: Menyediakan bukti atau informasi yang
menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau perilaku tertentu
mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang, menilai, atau
menyalahkan.
3. Evaluasi Kelayakan Penalaran Moral: Menganalisis penalaran moral, ada
beberapa kriteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan
penalaran moral, yaitu penalaran moral harus logis dan bukti faktual yang dikutip
untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan, dan lengkap.
Kohlberg memberi penjelasan: "Moral judgment is an intuitive, abstract, and
general understanding about what is right or wrong, fair or unfair, good or bad, based
on a person's conscience and capacity for empathy." Penilaian moral adalah pemahaman
intuitif, abstrak, dan umum tentang apa yang benar atau salah, adil atau tidak adil, baik
atau buruk, berdasarkan hati nurani dan kapasitas empati seseorang (Kohlberg, 1981)
Dalam intinya, penalaran moral membantu individu dalam mengevaluasi perilaku,
kebijakan, atau institusi yang sesuai dengan standar moral yang dianutnya. Hal ini
berperan penting dalam pengembangan moral seseorang sepanjang hidupnya.Penalaran
moral menjadi aspek penting dalam perkembangan karakter dan etika individu. Hal ini
7
membantu mereka menghadapi dilema moral, membuat keputusan yang tepat, dan
berperilaku secara etis dalam berbagai konteks kehidupan mereka.
Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan
perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan
predikposisi atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau
sekumpulan objek debagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam
dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang
selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral
tersebut. Dengan sistem nilai yan dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang
harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku
nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya.
Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori
psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-
bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari
tiga, yaitu:
Id atau Das Es
Ego atau Das Ich
Super Ego atau Da Uber Ich.
Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat
memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau
kecemasan dan menghindari kesakitan. Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang
memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugs utama Ego adalah
mengantar dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar.
Superego adalah sumber moral dalam kepribadian. Superego adalah kode moral individu
yang tugas utamanya adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk,
benar atau salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil,
serta mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.
Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya
sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan
superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan
aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat
terjadi karena superego yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol
dorongan-dorongan naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan
kepuasan. Berkembangnya superego dengan baik, juga akan mendorong berkembang
kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian antara id dan superego, sehingga
perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya.
8
F. Tahapan Perkembangan Moral
Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan
perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlbert (1995). Melalui desertasinya yang
sangat monumental yang berjudul The Development of Modes of Moral Thinking and
Choice in the Years 10 to 16. Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlbert (1995) menarik
sejumlah kesimpulan yang mana penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat
rasional. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan
formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya. Membenarkan gagasan Jean Piaget
bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam
proses pertimbangan moral.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
a. Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
b. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral
sebagai kodeprilaku.
c. Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Lawrence Kohlberg mengembangkan teori tentang tahapan perkembangan moral.
Menurutnya, penalaran moral adalah inti dari perilaku etis seseorang. Kohlberg membagi
penalaran moral ke dalam enam tahapan yang mencerminkan tingkat kematangan moral
individu, dan perkembangan ini berlangsung sepanjang kehidupan.
Perkembangan moral peserta didik menekankan pada penalaran moral dalam konsep
Köhlberg yang berkembang melalui tahapan tertentu. Kohlberg mengembangkan teori
dari Piaget, membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat
pra-konvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pascakonvensional (Budiningsih,
2008). Penalaran moral menurut (Köhlberg, 1995) ini dibagi menjadi tiga tingkatan, di
mana tiap tingkatannya terbagi lagi menjadi dua tahap yang saling berkaitan sebagai
berikut.
1. Tingkat 1: Penalaran Pra-Konvensional
Penalaran Pra-Konvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori
perkembangan Kohlberg. Pada tingkat ini, individu tidak memperlihatkan internalisasi
nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman
eksternal (dalam Hamsi Mansur, 2023). Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 0 sampai
9 tahun. Tahapan ini dibagi menjadi dua tahapan yaitu:
1) Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan (sekitar 0-6 tahun)
9
Menurut (Kohlberg, 1981), pada tahap ini, "the child respects the rules only to avoid
punishment." anak menghormati aturan hanya untuk menghindari hukuman. Pada
tahap ini, anak memahami baik buruknya suatu perbuatan berdasarkan konsekuensi
fisik yang mereka terima. Mereka cenderung menilai perbuatan berdasarkan
hukuman yang mereka terima atau konsekuensi fisiknya. Anak pada tahap ini
cenderung tunduk pada kekuasaan dan menghindari hukuman tanpa
mempertimbangkan arti atau nilai moral dari perbuatan tersebut. Mereka mengikuti
aturan hanya karena takut akan hukuman dan tidak karena pemahaman moral yang
lebih dalam. Hal ini sebagaimana pula dikatakan oleh Hurlock “Karena keterbatasan
kecerdasannya, bayi belajar melalui kesenangan dan kesakitan yang ditimbulkannya,
dan bukan menurut baik atau buruknya efek suatu tindakan terhadap orang-orang
lain”. Sebuah contoh etika seorang siswa harus mematuhi perintah dari gurunya
agar tidak mendapatkan hukuman dan seorang siswa rajin belajar agar dia bisa
menjadi seorang juara kelas.
10
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkal menengah dari teori
perkembangan moral Kohlberg. Seorang menaati standar-standar (internal) tertentu,
tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain (dalam Hamsi Mansur,
2023). Tingkat ini biasanya terdapat pada sekitar usia 9 sampai 17 tahun. Tingkatan ini
terbagi menjadi dua sebagai berikut.
3) Tahap 3: Orientasi Kesepakatan antara Pribadi atau Anak Manis (sekitar usia 9-
13 tahun)
Tahap ini sering disebut sebagai "Anak Manis". Pada tahap ini, individu memandang
perilaku yang baik sebagai perilaku yang menyenangkan, membantu orang lain, dan
disetujui oleh lingkungan sosial atau kelompoknya. Mereka berusaha untuk
mendapatkan penerimaan dan persetujuan dengan melakukan tindakan yang
direncanakan dan disukai oleh orang di sekitarnya.
Menurut (Kohlberg, 1981), "Good behavior is that which is pleasant and helpful to
others and approved by those to whom it is done." (Perilaku baik adalah perilaku
yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh orang yang
menerimanya). Pada tahap ini, individu mulai menilai perilaku berdasarkan niatnya.
Mereka mencari persetujuan dan konformitas dengan gambaran perilaku yang
diterima oleh mayoritas. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan, dan rasa terima
kasih mulai muncul, serta individu mulai memenuhi peran sosial yang diharapkan
oleh masyarakat.
11
sosial. Mereka menganggap perilaku yang baik adalah melaksanakan kewajiban
sendiri, menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib sosial sebagai nilai yang
penting.
12
ditentukan oleh keputusan hati nurani seseorang, sesuai dengan prinsip etis yang
dipilih dan mengacu pada konsistensi logis dan komprehensivitas universal.
Pada tahap ini, individu lebih mempertimbangkan keputusan berdasarkan prinsip-
prinsip moral yang diakui secara universal, seperti keadilan dan keamanan martabat
manusia sebagai individu. Tahap 6 adalah tahap tertinggi dalam penalaran moral
menurut Kohlberg, di mana individu membuat keputusan berdasarkan prinsip moral
yang dianggap universal dan benar. Perbedaan antara enam tahapan ini bukanlah
keputusan yang diambil, melainkan alasan yang digunakan untuk membuat
keputusan.
15
karena itu seorang guru harus memiliki moral yang baik agar menjadi model yang
baik pula.
3. Lingkungan Pergaulan
Dalam pengembangan kepribadian, faktor lingkungan pergaulan juga turut
mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja, biasanya
seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Muncul rasa tidak enak apabila
menolak ajakan teman, dan bahkan terkadang seorang teman dapat menjadi panutan
moral.
4. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan
moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya fungsi kontrol dari
masyarakat sekitar yang memiliki sanksi-sanksi tersendiri untuk yang melanggar.
5. Teknologi
Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga sangat berpengaruh terhadap
terwujudnya suatu nilai. Di era digital seperti zaman sekarang, remaja banyak
menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Sebab, internet memiliki
fasilitas yang menawarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.
Teknologi memiliki nilai positif dan negatif. Nilai positifnya, ketika remaja atau
siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan, mereka dapat mengaksesnya
dari internet. Nilai negatifnya, internet juga menyediakan situs porno yang dapat
merusak moral remaja. Apalagi pada masa remaja rasa keingintahuan cenderung
tinggi dan sangat rentan terhadap informasi seperti itu. Mereka belum bisa
mengolah pikiran secara matang, akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak
kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil di usia dini.
16
Strategi yang mungkin dapat dilakukan guru di sekolah dalam membanntu
perkembangan moral peserta didik (dalam Hamsi Mansur, 2023) diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum pendidikan
karakter.
2. Memberikan pendidikan moral secara langsung (direct moral education), yakni
pendidikan karakter yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values
clarification), yaitu pendekatan pendidikan moral secara tidak langsung yang
berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan
hidup mereka dan apa yang paling berharga untuk dicita-citakan dan atau dijunjung
tinggi.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan sikap, nilai, dan moral peserta didik merupakan hal yang penting dalam
pendidikan. Karakteristik perkembangan moral manusia meliputi tahap-tahap perkembangan
moral yang harus dilalui oleh manusia mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap meliputi faktor
internal dan eksternal.
Pendidikan tentunya memiliki implikasi yang besar terhadap perkembangan moral
peserta didik. Hal ini dikarenakan dengan melalui pendidikan, peserta didik dapat
memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan nilai, moral, dan sikap
yang baik. Oleh karena itu, pendidikan harus mampu memberikan pengalaman belajar yang
bermakna dan relevan bagi peserta didik, sehingga dapat membantu peserta didik dalam
mengembangkan nilai, moral, dan sikap yang baik.
Dalam hal ini, pendidikan juga harus mampu memberikan contoh dan teladan moral
yang baik bagi peserta didik, sehingga peserta didik dapat meniru dan menginternalisasi nilai-
nilai moral yang baik tersebut. Selain itu, pendidikan juga harus mampu memfasilitasi peserta
didik dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif, sehingga peserta didik
dapat mengembangkan nilai, moral, dan sikap yang lebih baik dan lebih matang.
B. Saran
Bagi peserta didik, kesadaran akan pentingnya nilai, moral, dan sikap dalam kehidupan
sehari-hari sangatlah vital. Memahami bahwa keluarga, sekolah, dan lingkungan memainkan
peran kunci dalam membentuk karakter dan etika seseorang merupakan langkah awal yang
penting.
Bagi pendidik, penting untuk memberikan pendidikan moral secara langsung dan tidak
langsung melalui kurikulum yang mendukung pendidikan karakter. Memberikan contoh
moral yang baik dalam kehidupan sehari-hari juga penting dalam membantu peserta didik
memahami nilai-nilai yang dianut. Melalui kesadaran akan lingkungan sosial, pengaruh
teknologi, dan pentingnya pendidikan karakter, pendidik dapat membantu peserta didik dalam
menghadapi dilema moral, membuat keputusan yang tepat, dan berperilaku secara etis dalam
kehidupan mereka.
18
DAFTAR PUSTAKA
Allport, G. (1961). Pattern and Growth in Personality. New York: Holt, Rinehart, and
Winston.
Amalia, J. (2022). Pengaruh Kepemimpinan Pendidikan Islamterhadap Pengembangan
Kepemimpinan dan Pola Asuh Orang Tua dalam Menanamkan Kepribadian Anak
Keluarga TNI. Ál-fâhim:Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 10.
Amseke, F. V. (2020). Peran Perkembangan Moral Terhadap Perilaku Prososial Remaja.
PSYCHE: Jurnal Psikologi, 103-115.
Besari, A. (2021). Perkembangan sikap dan nilai moral peserta didik usia remaja. Jurnal
Paradigma, 25-43.
Budiningsih, C. (2008). Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta.
Dewey, J. (1938). Experience and Education. Macmillan: Kappa Delta Pi.
Duska, R. d. (1982). Perkembangan Moral: Perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg.
Yogyakarta: Kanisius.
Hamsi Mansur, N. P. (2023). Karakteristik Perkembangan Peserta Didik. Banjarmasin:
Nisamia Learning Center.
Hasan, A. B. (2006). Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap Rentang Kehidupan
Manusia dari Pascakematian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hurlock, E. B. (1990). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Jerslid, A. T. (1975). Phsychology of Adolescene. London: The Macmillan Company.
Kohlberg, L. (1981). The Philosophy of Moral Development: Moral Stages and the Idea of
Justice. San Fransisco: Harper & Row.
Köhlberg, L. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Lubis, I. (2012). Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap. Aneka Ragam Makalah, 1-12.
Martani, W. (1995). Perkembangan Penalaran Moral pada Remaja yang Berbeda Latar
Belakang Budaya. Jurnal Psikologi, 14-20.
Rahmi, A. &. (2019). Pengokohan fungsi keluarga sebagai upaya preventif terjadinya
degradasi moral pada remaja. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling
Islami, 62-68.
Rifki, M. S. (2022). Pengembangan Karakter Religius Peserta Didik Berbasis Keteladanan
Guru Dalam Pembelajaran PAI. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 273-288.
19
20