Anda di halaman 1dari 23

PENGARUH PERKEMBANGAN SIKAP, NILAI-NILAI,

DAN MORAL INDIVIDU


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Perkembangan Peserta Didik

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Hamsi Mansur, M.M.Pd.
Eka Oktaviani, M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 9
Aulia Desty Budieni 2310117120001
I Laili Nazwa 2310117120007
Istiqamah 2310117220002
Jihan Aswa 2310117220010
Khairunnisa 2310117220028
Nabila Najla Ramadhani 2310117220008
Pratiwi Yashinta Dewi 2310117320015
Salamah 2310117220024
Salsabila Maulidha Hidayat 2310117120017

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengaruh
Perkembangan Sikap, Nilai-Nilai, dan Moral Individu” ini dengan sebaik-baiknya.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Hamsi Mansur, M.M.Pd. dan
Ibu Eka Oktaviani, M.Pd. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
dan kami ucapkan terima kasih pula kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
laporan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan baik dalam segi substansi maupun tata bahasa. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari penulisan makalah ini sangat kami harapkan sebagai
masukan dalam perbaikan dan penyempurnaan pada makalah kami selanjutnya. Untuk itu
kami ucapkan terima kasih.

Banjarmasin, 03 November 2023

Penyusun
Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
A. Definisi Perkembangan Sikap, Nilai-Nilai, dan Moral Peserta Didik.........................3
B. Teori-Teori Perkembangan Sikap, Nilai-Nilai, dan Moral
B. Tahapan Perkembangan Moral....................................................................................5
D. Karakteristik Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap Peserta Didik
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap...............9
D. Implikasi Perkembangan Moral Peserta Didik Terhadap Pendidikan.......................10
BAB III PENUTUP................................................................................................................12
A. Kesimpulan................................................................................................................12
B. Saran..........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia, sebagai individu, tidak dapat hidup sendiri. Kita saling berinteraksi dalam
masyarakat dengan aturan yang berlaku. Interaksi ini menjadi kunci bagi pemahaman
individu tentang perilaku yang baik atau buruk. Moralitas, di sisi lain, mencakup
kemauan individu untuk menerima dan mengikuti aturan serta nilai yang diakui oleh
masyarakat. Sebagian besar perkembangan moral dipengaruhi oleh interaksi sosial sejak
masa bayi hingga dewasa. Bagaimana seseorang berperilaku dalam masyarakat
dipengaruhi oleh pemahaman nilai dan norma yang berlaku di sekitarnya. Proses belajar
menjadi kunci utama dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Seperti diutarakan oleh ahli psikologi (Dewey, 1938), "Education
is not preparation for life; education is life itself." Pendidikan bukanlah persiapan untuk
kehidupan; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Dewey menegaskan bahwa
pembelajaran dan pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-
hari.
Dalam hal nilai, moral, dan sikap, baik di sekolah, keluarga, maupun di masyarakat,
proses belajar yang efektif sangat menentukan perkembangan moral individu.
Lingkungan pendidikan yang baik dan dukungan dari keluarga serta masyarakat
membantu membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, tradisi, hukum, dan
norma sosial yang berlaku. Melalui interaksi dan pengalaman, seseorang belajar tentang
nilai-nilai moral yang membentuk perilaku yang sesuai dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran lingkungan dan pendidikan dalam
membentuk individu yang bermoral.
Perbedaan budaya, agama, dan latar belakang juga tidak boleh menjadi penghalang
bagi kemampuan individu untuk memahami dan menghargai perbedaannya dengan orang
lain. Sikap dan moral juga berkaitan dengan perkembangan setiap individu menjadi
manusia yang bertanggung jawab, beretika, dan berdisiplin tinggi. Perkembangan ini
akan membantu seseorang dalam mengambil keputusan, bersikap adil, menciptakan
keharmonisan dalam hubungan interpersonal dan memiliki rasa empati, siap membantu
mereka yang membutuhkan. Untuk memperkuat sikap dan etika yang positif, diperlukan
pembelajaran dan praktik yang konsisten, termasuk melalui kebiasaan dan praktik,
teladan, dan penegakan aturan.

1
Selain itu, peran orang tua dan tenaga pendidik juga penting dalam memantapkan
sikap positif dan moral siswa. Orang tua dapat mengajarkan dan mengamalkan nilai-
nilai, moral, dan etika pada setiap kesempatan, sedangkan fasilitator pendidikan dapat
menggunakan strategi pengajaran yang efektif untuk membentuk dan memfasilitasi sikap
dan etika positif siswa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusa masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah sebagai berikut.
1. Apa definisi perkembangan sikap, nilai-nilai, dan moral peserta didik?
2. Bagaimana tahapan perkembangan moral?
3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap?
4. Bagaimana implikasi perkembangan moral peserta didik terhadap pendidikan?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui definisi perkembangan sikap, nilai-nilai, dan moral peserta
didik.
2. Untuk mengetahui tahapan perkembangan moral.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai,
moral, dan sikap.
4. Untuk mengetahui implikasi perkembangan moral peserta didik terhadap
pendidikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

D. Definisi Perkembangan Sikap, Nilai-Nilai, dan Moral Peserta Didik


Dalam perkembangan peserta didik ada tiga aspek dan konsep yang dikenal nilai,
moral, dan sikap yang merupakan tiga aspek yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan setiap individu. Hal-hal tersebut berpengaruh pada konsekuensi yang
besar terhadap perkembangan perilaku setiap peserta didik.
Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari
untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten
yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan
respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat
disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap
dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons
reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.
Nilai merupakan prinsip atau keyakinan yang dianggap penting dan menjadi dasar
dalam perilaku seseorang. Menurut ahli psikologi, (Allport, 1961), nilai adalah keinginan
atau prinsip yang diterima oleh individu sebagai pedoman yang menentukan evaluasi
terhadap suatu objek, orang, situasi, atau kebijakan tertentu. Nilai-nilai ini mencakup hal-
hal seperti kejujuran, keadilan, toleransi, kerja keras, dan kesetiaan. Hal ini memengaruhi
cara individu berpikir, merasa, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan
sikap merupakan respons psikologis terhadap nilai-nilai tersebut. Misalnya, jika
seseorang menghargai kejujuran sebagai nilai, sikapnya terhadap kejujuran akan
tercermin dalam perilaku jujurnya.
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris), yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan, dan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan (Hamsi Mansur,
2023). Menurut Rogers dan Baron, moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi
seseorang (Martani, 1995). Moralitas merupakan kesediaan individu untuk mengikuti
aturan dan norma yang diakui oleh masyarakat. Sehingga perkembangan moral
merupakan perkembangan yang berhubungan dengan aturan dan konvensi dari interaksi
yang adil antar individu dan lingkungan (Hamsi Mansur, 2023). Perkembangan moral
peserta didik melibatkan pemahaman tentang apa yang benar dan salah serta
menerapkannya dalam tindakan sehari-hari. Ini menekankan bahwa perkembangan moral
didasarkan pada kendali sikap dan tingkah laku yang terus berkembang secara bertahap

3
(Hamsi Mansur, 2023). Sehingga moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk
membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan
mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau
malu ketika melanggar standar tersebut (Hasan, 2006).
Perkembangan nilai, sikap, dan moral peserta didik merupakan proses panjang
dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian peserta didik selaku makhluk sosial
yang dipengaruhi oleh pengalaman, interaksi sosial, dan pendidikan. Lingkungan yang
mendukung, seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat, memainkan peran penting dalam
membentuk moral dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Dengan kata
lain lingkungan termasuk lingkungan budaya dapat merangsang atau bahkan
menghambat perkembangan moral seorang individu (Hurlock, Psikologi Perkembangan,
1990). Jadi proses belajar sangat menentukan kemampuan peserta didik dalam bersikap
dan berperilaku sosial yang bermoral sesuai dengan nilai-nilai dan norma agama, adat
istiadat/tradisi, serta hukum dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.
E. Teori-Teori Perkembangan Sikap, Nilai-Nilai, dan Moral
Teori Sikap
Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari
untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten
yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan
respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat
disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap
dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons
reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.
Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap
dengan pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat
kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap
itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan.
Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap
kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari
generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku
individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu
sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari
sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga

4
pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk
mempengaruhi sikap dan perilaku individu.
Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara
luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
1. Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu
diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap
dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
2. Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu
merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan
kepada anaknya.
3. Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa
perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu
tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana
atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita,
situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk
perkembangan sikap individu.
Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap
merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku
seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya
sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan
individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk
mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur
sikap individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar
penafsiran dan penilaian sikap.
Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang utama
dan dikenal sangat luas, yaitu:
A. Skala Likert
Dalam skala ini disajikan satu seri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian responden
diukur sikapnya untuk menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan jawaban yang telah
disediakan. Yaitu: Sangat setuju, Setuju, Ragu-ragu/netral, Tidak setuju, dan Sangat tidak
setuju.
B. Skala Thurstone

5
Dalam skala ini terdapat sejumlah pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda
dan responden/subjek yang bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau penolakan
terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih sedemikian rupa
sehingga tersusun sepanjang satu skala interval-sama, dari yang sangat menyenangi sampai
yang sangat tidak menyenangkan.
Teori nilai
Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Menurut Spranger,
nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang
dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger,
kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan.
Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia,
tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh
subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif”
(objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif,
sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif
yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.

Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat
keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai. Secara
dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh
individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar
konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan
yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:
nilai teori atau nilai keilmuan (I)
nilai ekonomi (E)
nilai sosial atau nilai solidaritas (Sd)
nilai agama (A)
nilai seni (S)
nilai politik atau nilai kuasa (K)
Teori Moral
Menurut Lawrence Kohlberg, seorang psikolog terkenal, penalaran moral adalah
kemampuan individu untuk menganalisis masalah sosial-moral dan menilai tindakan apa
yang akan diambil. Ini bukan hanya tentang apa yang tampak baik atau buruk dalam
6
lingkungan sosial-budaya tertentu. Kohlberg memandang penalaran moral sebagai
struktur yang terhubung dengan prinsip-prinsip filosofis moralitas yang bersifat
universal. Alasan-alasan mengapa seseorang bisa melakukan suatu tindakan tersebut oleh
Köhlberg disebut sebagai penalaran moral (Hurlock, 1999). Kemampuan untuk
mengadakan empati dan kemampuan rasa diri bersalah (faktor-faktor afektif) ikut
berperan dalam penalaran moral, akan tetapi situasi-situasi moralnya sendiri ditentukan
secara kognitif oleh penalaran moral pribadi (Hurlock, 1999).
Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan
moral dengan memperhatikan mengapa suatu tindakan salah, dan akan memberi
penjelasan lalu memperhatikan kembali perilaku seseorang atau juga mendengar
pernyataannya bahwa sesuatu itu salah. Penalaran moral mengacu pada proses penalaran
dimana prilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai atau tidak melanggar standar
moral (dalam Hamsi Mansur, 2023). Penalaran moral selalu melibatkan tiga komponen
utama sebagai berikut.
1. Pemahaman Standar Moral: Ini adalah pemahaman tentang apa yang diharapkan,
dilarang, atau dinilai dalam konteks moral yang masuk akal.
2. Bukti atau Informasi Moral: Menyediakan bukti atau informasi yang
menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau perilaku tertentu
mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang, menilai, atau
menyalahkan.
3. Evaluasi Kelayakan Penalaran Moral: Menganalisis penalaran moral, ada
beberapa kriteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan
penalaran moral, yaitu penalaran moral harus logis dan bukti faktual yang dikutip
untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan, dan lengkap.
Kohlberg memberi penjelasan: "Moral judgment is an intuitive, abstract, and
general understanding about what is right or wrong, fair or unfair, good or bad, based
on a person's conscience and capacity for empathy." Penilaian moral adalah pemahaman
intuitif, abstrak, dan umum tentang apa yang benar atau salah, adil atau tidak adil, baik
atau buruk, berdasarkan hati nurani dan kapasitas empati seseorang (Kohlberg, 1981)
Dalam intinya, penalaran moral membantu individu dalam mengevaluasi perilaku,
kebijakan, atau institusi yang sesuai dengan standar moral yang dianutnya. Hal ini
berperan penting dalam pengembangan moral seseorang sepanjang hidupnya.Penalaran
moral menjadi aspek penting dalam perkembangan karakter dan etika individu. Hal ini

7
membantu mereka menghadapi dilema moral, membuat keputusan yang tepat, dan
berperilaku secara etis dalam berbagai konteks kehidupan mereka.
Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap

Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan
perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan
predikposisi atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau
sekumpulan objek debagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam
dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang
selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral
tersebut. Dengan sistem nilai yan dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang
harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku
nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya.

Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori
psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-
bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari
tiga, yaitu:
Id atau Das Es
Ego atau Das Ich
Super Ego atau Da Uber Ich.

Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat
memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau
kecemasan dan menghindari kesakitan. Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang
memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugs utama Ego adalah
mengantar dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar.
Superego adalah sumber moral dalam kepribadian. Superego adalah kode moral individu
yang tugas utamanya adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk,
benar atau salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil,
serta mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.

Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya
sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan
superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan
aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat
terjadi karena superego yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol
dorongan-dorongan naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan
kepuasan. Berkembangnya superego dengan baik, juga akan mendorong berkembang
kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian antara id dan superego, sehingga
perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya.

8
F. Tahapan Perkembangan Moral
Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan
perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlbert (1995). Melalui desertasinya yang
sangat monumental yang berjudul The Development of Modes of Moral Thinking and
Choice in the Years 10 to 16. Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlbert (1995) menarik
sejumlah kesimpulan yang mana penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat
rasional. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan
formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya. Membenarkan gagasan Jean Piaget
bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam
proses pertimbangan moral.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
a. Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
b. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral
sebagai kodeprilaku.
c. Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Lawrence Kohlberg mengembangkan teori tentang tahapan perkembangan moral.
Menurutnya, penalaran moral adalah inti dari perilaku etis seseorang. Kohlberg membagi
penalaran moral ke dalam enam tahapan yang mencerminkan tingkat kematangan moral
individu, dan perkembangan ini berlangsung sepanjang kehidupan.
Perkembangan moral peserta didik menekankan pada penalaran moral dalam konsep
Köhlberg yang berkembang melalui tahapan tertentu. Kohlberg mengembangkan teori
dari Piaget, membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat
pra-konvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pascakonvensional (Budiningsih,
2008). Penalaran moral menurut (Köhlberg, 1995) ini dibagi menjadi tiga tingkatan, di
mana tiap tingkatannya terbagi lagi menjadi dua tahap yang saling berkaitan sebagai
berikut.
1. Tingkat 1: Penalaran Pra-Konvensional
Penalaran Pra-Konvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori
perkembangan Kohlberg. Pada tingkat ini, individu tidak memperlihatkan internalisasi
nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman
eksternal (dalam Hamsi Mansur, 2023). Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 0 sampai
9 tahun. Tahapan ini dibagi menjadi dua tahapan yaitu:
1) Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan (sekitar 0-6 tahun)
9
Menurut (Kohlberg, 1981), pada tahap ini, "the child respects the rules only to avoid
punishment." anak menghormati aturan hanya untuk menghindari hukuman. Pada
tahap ini, anak memahami baik buruknya suatu perbuatan berdasarkan konsekuensi
fisik yang mereka terima. Mereka cenderung menilai perbuatan berdasarkan
hukuman yang mereka terima atau konsekuensi fisiknya. Anak pada tahap ini
cenderung tunduk pada kekuasaan dan menghindari hukuman tanpa
mempertimbangkan arti atau nilai moral dari perbuatan tersebut. Mereka mengikuti
aturan hanya karena takut akan hukuman dan tidak karena pemahaman moral yang
lebih dalam. Hal ini sebagaimana pula dikatakan oleh Hurlock “Karena keterbatasan
kecerdasannya, bayi belajar melalui kesenangan dan kesakitan yang ditimbulkannya,
dan bukan menurut baik atau buruknya efek suatu tindakan terhadap orang-orang
lain”. Sebuah contoh etika seorang siswa harus mematuhi perintah dari gurunya
agar tidak mendapatkan hukuman dan seorang siswa rajin belajar agar dia bisa
menjadi seorang juara kelas.

2) Tahap 2: Orientasi Relativis-Instrumental (sekitar 6-9 tahun)


Pada tahap ini, anak mulai memahami bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan
yang dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri atau kebutuhan orang lain. Menurut
(Kohlberg, 1981), "The individual acts for the benefit of himself or herself or another
in a simple, reciprocal way." (Individu bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri
atau orang lain dengan cara yang sederhana dan timbal balik). Mereka melihat
hubungan antar manusia sebagai transaksi seperti dalam pasar. Meskipun ada elemen
saling memberi dan menerima, itu lebih dipahami secara fisik dan pragmatis, bukan
karena nilai-nilai moral atau rasa adil. Anak di tahap ini menganggap bahwa "right
behavior is what meets their personal needs." (perilaku yang benar adalah perilaku
yang memenuhi kebutuhan pribadi mereka.) Mereka mulai menyadari kebutuhan dan
keinginan pribadi serta bertindak demi orang lain, namun biasanya dengan harapan
balasan. Mereka bisa bertindak untuk orang lain tetapi lebih sebagai suatu pertukaran
atau balasan daripada karena rasa loyalitas atau keadilan. Sebagai contoh ketika
seorang anak diminta oleh orang tuanya untuk melakukan tugas. Anak bertanya "apa
untungnya bagi saya?" Orang tua akan menawarkan anak insentif dengan
memberikan anak uang saku untuk membayar mereka untuk tugas-tugas mereka.

2. Tingkat 2: Penalaran Konvensional

10
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkal menengah dari teori
perkembangan moral Kohlberg. Seorang menaati standar-standar (internal) tertentu,
tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain (dalam Hamsi Mansur,
2023). Tingkat ini biasanya terdapat pada sekitar usia 9 sampai 17 tahun. Tingkatan ini
terbagi menjadi dua sebagai berikut.

3) Tahap 3: Orientasi Kesepakatan antara Pribadi atau Anak Manis (sekitar usia 9-
13 tahun)
Tahap ini sering disebut sebagai "Anak Manis". Pada tahap ini, individu memandang
perilaku yang baik sebagai perilaku yang menyenangkan, membantu orang lain, dan
disetujui oleh lingkungan sosial atau kelompoknya. Mereka berusaha untuk
mendapatkan penerimaan dan persetujuan dengan melakukan tindakan yang
direncanakan dan disukai oleh orang di sekitarnya.
Menurut (Kohlberg, 1981), "Good behavior is that which is pleasant and helpful to
others and approved by those to whom it is done." (Perilaku baik adalah perilaku
yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh orang yang
menerimanya). Pada tahap ini, individu mulai menilai perilaku berdasarkan niatnya.
Mereka mencari persetujuan dan konformitas dengan gambaran perilaku yang
diterima oleh mayoritas. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan, dan rasa terima
kasih mulai muncul, serta individu mulai memenuhi peran sosial yang diharapkan
oleh masyarakat.

4) Tahap 4: Orientasi Hukum dan Ketertiban (sekitar 13-17 tahun)


Menurut (Kohlberg, 1981), "Good behavior is purely doing one's duty, respecting
authority, and maintaining social order, as valuable in itself." (Perilaku baik adalah
semata-mata melakukan kewajiban, menghormati otoritas, dan menjaga ketertiban
sosial yang ada, sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya sendiri). Pada tahap ini,
individu lebih berorientasi pada otoritas, aturan yang kaku, dan menjaga ketertiban
sosial. Mereka melihat perilaku yang baik sebagai kewajiban yang harus dipatuhi,
menghormati otoritas, dan menjaga ketertiban sosial sebagai nilai yang penting.
Pada tahap ini, individu mulai melihat sistem sosial secara menyeluruh. Mereka
memandang aturan dalam masyarakat sebagai dasar baik atau buruk, dan mematuhi
peraturan bukan karena takut akan hukuman atau kebutuhan pribadi, melainkan
karena keyakinan bahwa aturan harus dipatuhi untuk menjaga keteraturan dan fungsi

11
sosial. Mereka menganggap perilaku yang baik adalah melaksanakan kewajiban
sendiri, menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib sosial sebagai nilai yang
penting.

Tahapan ini mencerminkan bagaimana individu memandang dan menyesuaikan


perilaku mereka sesuai dengan harapan sosial dan norma yang ada di sekitar mereka.
Oleh karenanya, dalam mengembangkan nilai moral pada anak, maka setiap pendidik
diharapkan memberikan waktu dan kesempatan kepada anak untuk bermain sebagai
tempat baginya utuk mengembangkan moral.

3. Tingkat 3: Penalaran Pasca-Konvensional


Penalaran Pasca-Konvensioanl adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan
moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak
didasarkan pada standar- standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif,
menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode etik moral
pribadi (dalam Hamsi Mansur, 2023).
5) Tahap 5: Orientasi Kontrak Sosial Legalistis (sekitar dewasa awal)
Pada tahap ini, individu mengikuti semangat utilitarian. Mereka menganggap
perilaku yang baik terjadi dalam kerangka hak dan ukuran individual yang telah diuji
secara kritis dan disepakati oleh masyarakat. Mereka sadar akan relativisme nilai dan
pandangan pribadi yang sesuai dengannya. Proses mencapai kesepakatan sangat
ditekankan, dengan penekanan pada aturan prosedural.
Menurut (Kohlberg, 1981), hak adalah soal nilai dan pendapat pribadi. Tahap ini
menekankan pada sudut pandang legal, namun juga mempertimbangkan
kemungkinan perubahan hukum berdasarkan pertimbangan rasional tentang manfaat
sosial. Berbeda dengan tahap sebelumnya yang cenderung mempertahankan hukum
sesuai dengan aturan yang ada, tahap 5 menekankan pada kemungkinan mengubah
hukum sesuai dengan pertimbangan rasional yang lebih luas.

6) Tahap 6: Orientasi Prinsip Etika Universal (masa dewasa)


Pada tahap ini, individu menilai kebaikan suatu tindakan berdasarkan prinsip etika
yang dipilih secara pribadi, yang mengacu pada keadilan, hak asasi manusia, dan
prinsip universal lainnya. Menurut (Kohlberg, 1981), kebenaran suatu tindakan

12
ditentukan oleh keputusan hati nurani seseorang, sesuai dengan prinsip etis yang
dipilih dan mengacu pada konsistensi logis dan komprehensivitas universal.
Pada tahap ini, individu lebih mempertimbangkan keputusan berdasarkan prinsip-
prinsip moral yang diakui secara universal, seperti keadilan dan keamanan martabat
manusia sebagai individu. Tahap 6 adalah tahap tertinggi dalam penalaran moral
menurut Kohlberg, di mana individu membuat keputusan berdasarkan prinsip moral
yang dianggap universal dan benar. Perbedaan antara enam tahapan ini bukanlah
keputusan yang diambil, melainkan alasan yang digunakan untuk membuat
keputusan.

Karakteristik Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap Peserta Didik


Perkembangan nilai, moral, dan sikap peserta didik adalah proses yang berkelanjutan
dan kompleks sepanjang kehidupan. Ini dipengaruhi oleh pengalaman, budaya,
agama, pendidikan, dan lingkungan sekitar mereka. Perkembangan nilai, moral, dan
sikap peserta didik mengalami berbagai tahapan sejak balita hingga dewasa. Berikut
adalah klasifikasi karakteristik perkembangan nilai, moral, dan sikap peserta didik
dalam berbagai tahapan usia:
A. Tahap Balita (0-5 tahun):
Moralitas Dasar: Pada usia ini, anak-anak mulai memahami perbedaan antara benar
dan salah melalui pengawasan orang tua. Mereka mulai memahami aturan sederhana.
Sikap Empati: Anak-anak mulai memahami perasaan orang lain dan mungkin
menunjukkan empati pada teman-teman mereka.
B. Tahap Anak-Anak (6-12 tahun):
Pembentukan Nilai: Anak-anak mulai mengembangkan nilai-nilai berdasarkan
pengaruh lingkungan, seperti keluarga dan sekolah.
Perkembangan Moral: Mereka memahami konsep-konsep moral yang lebih
kompleks, seperti keadilan, jujur, dan tanggung jawab.
C. Tahap Remaja (13-18 tahun):
Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri
dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi
suatu periode penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang
sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat
diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya
sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang.
13
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa
sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir
operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan
masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu
permasalahan tidak hanya lagi terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga
pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka. Perkembangan pemikiran
moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban
mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu
yang bernilai, walau belum mampu mempertanggujawabkan secara pribadi.
Tingkat perkembangan fisik psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan
sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan
sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup
orang tua atau orang dewasa lainnya. Apabila kalau orang tua dan orang dewasa
berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang
pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar
yang terjadi sebagai untuk kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang
dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat
sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang lebih matang
dan mandiri.
Eksplorasi Nilai: Remaja mulai mengeksplorasi nilai-nilai dan moral mereka sendiri,
terkadang berlawanan dengan nilai orang tua.
Identitas Moral: Mereka mencari identitas moral mereka sendiri dan seringkali
menghadapi situasi moral yang kompleks.
D. Tahap Dewasa Muda (18-30 tahun):
Konsolidasi Nilai: Dewasa muda mencoba untuk mengkonsolidasikan nilai-nilai dan
moral yang mereka anut, seringkali melalui pengalaman pendidikan dan pekerjaan.
Tanggung Jawab Sosial: Mereka mulai merasakan tanggung jawab sosial dan etika
profesional dalam kehidupan mereka.
E. Tahap Dewasa Tengah (30-50 tahun):
Stabilitas Nilai: Nilai-nilai dan moral yang sudah terbentuk dalam dewasa muda
menjadi lebih stabil dan seringkali mencerminkan nilai-nilai yang lebih mapan.
Penerapan Nilai: Dewasa tengah berusaha menerapkan nilai-nilai mereka dalam
kehidupan sehari-hari, seperti dalam karier dan keluarga.
14
F. Tahap Dewasa Lanjut (50 tahun ke atas):
Refleksi Moral: Individu mulai merenungkan kembali nilai-nilai dan moral mereka,
mengingat pengalaman sepanjang hidup.
Kontribusi Sosial: Mereka seringkali mencari cara-cara untuk memberikan kontribusi
positif pada masyarakat dan generasi berikutnya.

G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap


Perkembangan sikap, nilai-nilai, dan moral individu sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri (faktor endogen)
maupun yang berasal dari luar individu (faktor eksogen). Faktor-faktor endogen
meliputi komponen hereditas (keturunan) dan faktor konstitusi. Sedangkan faktor-
faktor eksogen meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sosial, dan lingkungan
geografis. Menurut (Duska dan Whelan, 1982), faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan penalaran moral adalah lingkungan sosial, perkembangan kognitif,
empati dan konflik kognitif. Sedangkan menurut Haderman sebagaimana dikutip
(Jersild, 1975) yang menunjukkan faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan
moral adalah status sosial-ekonomi, tingkat inteligensi, sikap orang tua serta
latarbelakang budaya. Adapun faktor yang mempengaruhi perkembangan Nilai, Moral
dan Sikap (dalam Hamsi Mansur, 2023) sebagai berikut.
1. Lingkungan Keluarga
Menurut (Kohlberg, 1981), faktor paling penting dalam perkembangan perilaku
moral adalah tipe hubungan interpersonal yang dimiliki anak dengan orang tua dan
orang dewasa lainnya. Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi
perkembangan nilai, moral dan sikap seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang
berasal dari bawaan ajaran orang tuanya. Orang-orang yang tidak memiliki
hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar
mereka tidak mampu mengembangkan sikap dan moral-nya kearah yang positif,
sehingga terjadilah perilaku yang menyimpang dan melanggar norma.
2. Lingkungan Sekolah
Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di
masyarakat sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang boleh dan
tidak boleh dilakukan. Tentunya dengan bimbingan guru dan warga sekolah lainnya.
Anak-anak cenderung menjadikan guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh

15
karena itu seorang guru harus memiliki moral yang baik agar menjadi model yang
baik pula.
3. Lingkungan Pergaulan
Dalam pengembangan kepribadian, faktor lingkungan pergaulan juga turut
mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja, biasanya
seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Muncul rasa tidak enak apabila
menolak ajakan teman, dan bahkan terkadang seorang teman dapat menjadi panutan
moral.
4. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan
moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya fungsi kontrol dari
masyarakat sekitar yang memiliki sanksi-sanksi tersendiri untuk yang melanggar.
5. Teknologi
Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga sangat berpengaruh terhadap
terwujudnya suatu nilai. Di era digital seperti zaman sekarang, remaja banyak
menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Sebab, internet memiliki
fasilitas yang menawarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.
Teknologi memiliki nilai positif dan negatif. Nilai positifnya, ketika remaja atau
siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan, mereka dapat mengaksesnya
dari internet. Nilai negatifnya, internet juga menyediakan situs porno yang dapat
merusak moral remaja. Apalagi pada masa remaja rasa keingintahuan cenderung
tinggi dan sangat rentan terhadap informasi seperti itu. Mereka belum bisa
mengolah pikiran secara matang, akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak
kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil di usia dini.

H. Implikasi Perkembangan Moral Peserta Didik Terhadap Pendidikan


Untuk memastikan perkembangan moral peserta didik, pendidikan formal harus
menjadi landasan yang membantu mereka memperoleh sikap, nilai-nilai, dan moral yang
baik, sehingga mereka bisa menjadi individu yang bermoral. Pendidikan tidak boleh
hanya menghasilkan lulusan yang hanya mencari pekerjaan formal, melainkan harus
mampu menanamkan nilai-nilai kemandirian, kerja keras, dan kreativitas untuk
memungkinkan mereka berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

16
Strategi yang mungkin dapat dilakukan guru di sekolah dalam membanntu
perkembangan moral peserta didik (dalam Hamsi Mansur, 2023) diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum pendidikan
karakter.
2. Memberikan pendidikan moral secara langsung (direct moral education), yakni
pendidikan karakter yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (values
clarification), yaitu pendekatan pendidikan moral secara tidak langsung yang
berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan
hidup mereka dan apa yang paling berharga untuk dicita-citakan dan atau dijunjung
tinggi.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan sikap, nilai, dan moral peserta didik merupakan hal yang penting dalam
pendidikan. Karakteristik perkembangan moral manusia meliputi tahap-tahap perkembangan
moral yang harus dilalui oleh manusia mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap meliputi faktor
internal dan eksternal.
Pendidikan tentunya memiliki implikasi yang besar terhadap perkembangan moral
peserta didik. Hal ini dikarenakan dengan melalui pendidikan, peserta didik dapat
memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan nilai, moral, dan sikap
yang baik. Oleh karena itu, pendidikan harus mampu memberikan pengalaman belajar yang
bermakna dan relevan bagi peserta didik, sehingga dapat membantu peserta didik dalam
mengembangkan nilai, moral, dan sikap yang baik.
Dalam hal ini, pendidikan juga harus mampu memberikan contoh dan teladan moral
yang baik bagi peserta didik, sehingga peserta didik dapat meniru dan menginternalisasi nilai-
nilai moral yang baik tersebut. Selain itu, pendidikan juga harus mampu memfasilitasi peserta
didik dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan reflektif, sehingga peserta didik
dapat mengembangkan nilai, moral, dan sikap yang lebih baik dan lebih matang.

B. Saran
Bagi peserta didik, kesadaran akan pentingnya nilai, moral, dan sikap dalam kehidupan
sehari-hari sangatlah vital. Memahami bahwa keluarga, sekolah, dan lingkungan memainkan
peran kunci dalam membentuk karakter dan etika seseorang merupakan langkah awal yang
penting.
Bagi pendidik, penting untuk memberikan pendidikan moral secara langsung dan tidak
langsung melalui kurikulum yang mendukung pendidikan karakter. Memberikan contoh
moral yang baik dalam kehidupan sehari-hari juga penting dalam membantu peserta didik
memahami nilai-nilai yang dianut. Melalui kesadaran akan lingkungan sosial, pengaruh
teknologi, dan pentingnya pendidikan karakter, pendidik dapat membantu peserta didik dalam
menghadapi dilema moral, membuat keputusan yang tepat, dan berperilaku secara etis dalam
kehidupan mereka.

18
DAFTAR PUSTAKA

Allport, G. (1961). Pattern and Growth in Personality. New York: Holt, Rinehart, and
Winston.
Amalia, J. (2022). Pengaruh Kepemimpinan Pendidikan Islamterhadap Pengembangan
Kepemimpinan dan Pola Asuh Orang Tua dalam Menanamkan Kepribadian Anak
Keluarga TNI. Ál-fâhim:Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 10.
Amseke, F. V. (2020). Peran Perkembangan Moral Terhadap Perilaku Prososial Remaja.
PSYCHE: Jurnal Psikologi, 103-115.
Besari, A. (2021). Perkembangan sikap dan nilai moral peserta didik usia remaja. Jurnal
Paradigma, 25-43.
Budiningsih, C. (2008). Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta.
Dewey, J. (1938). Experience and Education. Macmillan: Kappa Delta Pi.
Duska, R. d. (1982). Perkembangan Moral: Perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg.
Yogyakarta: Kanisius.
Hamsi Mansur, N. P. (2023). Karakteristik Perkembangan Peserta Didik. Banjarmasin:
Nisamia Learning Center.
Hasan, A. B. (2006). Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap Rentang Kehidupan
Manusia dari Pascakematian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hurlock, E. B. (1990). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Jerslid, A. T. (1975). Phsychology of Adolescene. London: The Macmillan Company.
Kohlberg, L. (1981). The Philosophy of Moral Development: Moral Stages and the Idea of
Justice. San Fransisco: Harper & Row.
Köhlberg, L. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Lubis, I. (2012). Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap. Aneka Ragam Makalah, 1-12.
Martani, W. (1995). Perkembangan Penalaran Moral pada Remaja yang Berbeda Latar
Belakang Budaya. Jurnal Psikologi, 14-20.
Rahmi, A. &. (2019). Pengokohan fungsi keluarga sebagai upaya preventif terjadinya
degradasi moral pada remaja. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling
Islami, 62-68.
Rifki, M. S. (2022). Pengembangan Karakter Religius Peserta Didik Berbasis Keteladanan
Guru Dalam Pembelajaran PAI. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 273-288.

19
20

Anda mungkin juga menyukai