Anda di halaman 1dari 16

PERKEMBANGAN AGAMA, MORAL DAN SIKAP

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Psikologi Pendidikan

Dosen Pengampu :

Nuraida, M.Psi

Disusun Oleh :
Inu Aulia Arba 11220182000005
Akbar Dwi Dharmawan 11220182000084
Aura Fatimah Azzahra 11220182000093

SEMESTER 3
PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Perkembangan Agama,
Moral dan Sikap”. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, para sahabat serta para pengikutnya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan serta
dapat menjadi sumber informasi untuk menambah pengetahuan pembaca. Penyusunan
makalah ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nuraida, M.Psi selaku dosen mata kuliah Manajemen
Sarana Dan Prasarana Pendidikan dan teman-teman mahasiswa Program Studi Manajemen
Pendidikan serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Kami
masih menyadari terdapat berbagai kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan makalah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bojongsari, 11 November 2023

Penulis

ii
iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................................iv
BAB I.......................................................................................................................................................................5
PENDAHULUAN....................................................................................................................................................5
A. Latar Belakang................................................................................................................................................5
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................................5
C. Tujuan..............................................................................................................................................................6
BAB II......................................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN......................................................................................................................................................7
A. Perkembangan Agama, Moral, dan Sikap.......................................................................................................7
B. Teori Perkembangan Agama, Moral, dan Sikap..............................................................................................8
C. Hubungan antara moral, nilai, dan sikap, pengaruhnya terhadap tingkah laku.............................................10
D. Karakteristik moral, nilai, dan sikap remaja..................................................................................................11
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral, nilai, dan sikap remaja.......................................12
F. Perbedaan individu dalam perkembangan moral, nilai, dan sikap.................................................................13
G. Upaya pengembangan moral, nilai, dan sikap serta implikasinya bagi pendidikan......................................14
BAB III...................................................................................................................................................................15
PENUTUP..............................................................................................................................................................15
A. Kesimpulan....................................................................................................................................................15
B. Saran..............................................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................................16

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Etika merupakan aspek mendasar dalam kemanusiaan yang perlu dibenahi dan
dikembangkan sebaik mungkin untuk menciptakan kepribadian manusia yang lebih baik.
Etika adalah suatu ajaran atau nasehat, suatu standar, seperangkat aturan baik lisan maupun
tertulis tentang bagaimana manusia hendaknya hidup dan menjadi orang baik. Perkembangan
dan kepribadian seseorang akan tampak lebih utuh dan stabil apabila moralitas manusia
tertata dengan baik sikap dan karakteristik seseorang menunjukkan kualitas moral yang
dimilikinya. Padahal, perilaku yang ditunjukkan sebagian individu dalam kehidupan sehari-
hari menunjukkan tingkat dan kualitas nilai moral individu tersebut.

Pembentukan etika pribadi harus mendapat prioritas dan perhatian khusus. Untuk
menciptakan individu beretika yang baik maka proses pembinaan faktor-faktor tersebut harus
dilakukan sejak dini. Tentu saja usia seseorang akan membedakan proses pengobatan
berkaitan dengan pembentukan moral. Namun, mengembangkan etika pribadi sejak dini akan
membantu mempersiapkan individu untuk menjalani kehidupan harmonis dengan orang lain
dan dalam kondisi lingkungan yang berbeda. Hidup adalah tindakan, kata Sutrisno Bachir dan
masih banyak definisi lainnya. Namun yang terpenting hidup adalah memperjuangkan nilai-
nilai kehidupan. Ada tiga konsep yang masing-masing mempunyai arti, pengaruh, dan akibat
yang besar bagi perkembangan perilaku individu, termasuk perilaku remaja, yaitu nilai, etika,
dan derajat sikap. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan nilai, etika, dan
sikap pribadi meliputi aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik benda, baik yang terdapat di
lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat.

Kehidupan modern akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak


menimbulkan perubahan, banyak pilihan dan peluang, namun mengandung banyak resiko
yang berbeda-beda akibat rumitnya kehidupan akibat munculnya nilai-nilai Politik modern
tidak jelas dan sulit dipahami oleh anak-anak. Untuk itu, makalah ini akan membahas tentang
perkembangan agama, moral dan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku remaja.
Karena antara nilai moral dengan tindakan tidak selalu terjadi hubungan yang positif,
mengingat tingkat emosi pada usia remaja masih sangat labil. Oleh karena itu, peranserta
orang tua, guru, teman-teman dan lingkungan sekitar sangat mempengaruhi.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian agama, moral dan sikap.


2. Teori dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan agama, moral, dan sikap.
3. Hubungan antara moral, nilai, dan sikap, pengaruhnya terhadap tingkah laku.
4. Karakteristik moral, nilai, dan sikap remaja.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral, nilai, dan sikap remaja.
6. Perbedaan individu dalam dalam perkembangan moral, nilai, dan sikap.

5
7. Upaya pengembangan moral, nilai, dan sikap serta implikasinya bagi Pendidikan.

C. Tujuan

1. Untuk memahami Pengertian agama, moral dan sikap;


2. Untuk memahami Teori dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan agama,
moral, dan sikap;
3. Untuk memahami hubungan antara moral, nilai, dan sikap, pengaruhnya terhadap
tingkah laku;
4. Untuk memahami Karakteristik moral, nilai, dan sikap remaja;
5. Untuk memahami Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral, nilai, dan
sikap remaja;
6. Untuk memahami Perbedaan individu dalam dalam perkembangan moral, nilai, dan
sikap;
7. Untuk memahami Upaya pengembangan moral, nilai, dan sikap serta implikasinya
bagi pendidikan.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Agama, Moral, dan Sikap

Kata “agama” menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batiniah


manusia. Makna kata “agama” banyak menimbulkan kontroversi yang sering lebih besar
daripada arti penting permasalahannya. Harun Nasution merunut pengertian agama
berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi (relegere, religare) dan agama Al-din (Semit)
berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti
menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Kata religi (bahasa Latin)
atau relegere artinya mengumpulkan dan membaca. Jadi religare artinya mengikat. Kata
agama mencakup a = tidak; gam = pergi artinya tidak pergi, tinggal, mewarisi secara turun
temurun. Dari makna kata tersebut, menurut Harun Nasution, hakikatnya adalah
keterhubungan. Oleh karena itu, agama mengandung rasa kewajiban yang harus ditaati
manusia.

Kaitan yang disebutkan berasal dari suatu kekuatan yang lebih besar dari manusia, suatu
kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera namun mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.1 Etika mengajarkan tentang
perbuatan dan budi pekerti yang baik dan buruk, kesusilaan, kewajiban, dan sebagainya.
Etika mengatur segala tindakan yang dianggap baik dan patut dilakukan, serta tindakan yang
dianggap buruk dan sebaiknya dihindari. Etika adalah kemampuan untuk membedakan
perbuatan baik dan buruk. Oleh karena itu, moralitas adalah pengendalian perilaku.2

Dalam arti yang sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Sikap
(attitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau
buruk terhadap orang atau barang tertentu. Dengan demikian, pada prinsipnya sikap itu dapat
kita anggap suatu kecenderungan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu.3 Sedangkan,
menurut Gerung, sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan beraeaksi individu terhadap
suatu hal. Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang dapat
diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui
sikapnya. Sikap bukanlah suatu tindakan atau aktivitas melainkan suatu kecenderungan
perilaku (tendency). Jadi, sikap adalah kecenderungan untuk menanggapi objek-objek dalam
lingkungan tertentu sebagai apresiasi terhadap objek tersebut4.

1
Bambang Syamsul, Psikologi Agama, (Bandung :Pustaka Setia, 2008), h. 14.
2
Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta :Rineka Cipta, 2008), h. 169.
3
Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung:Remaja Rosdakarya,1997), h. 120.
4
Sunarto, op.cit., h. 170.

7
B. Teori Perkembangan Agama, Moral, dan Sikap

1. Teori Perkembangan Agama


Di antara pencetus teori perkembangan agama adalah William James, Sigmund Freud,
Carl Jung, Alfred Adler, Gordon Aliport, Erik H Erikson, Erich Fromm, Rudolf Otto, dan
lain-lain. Berikut teori perkembangan agama menurut William James, “Bapak Psikologi
Keagamaan”.
Dia adalah seorang filsuf dan psikolog Amerika Ia lahir pada tahun 1842 dan
meninggal pada tahun 1910. Para ahli di bidang psikologi menganggapnya sebagai “Bapak
Psikologi Religius” Ia menjabat sebagai presiden APA (American Psychological Association)
dan menulis buku tentang psikologi agama berjudul "Varieties of Religious Experience".
Buku ini dianggap sebagai buku paling klasik tentang psikologi agama dan digunakan
sebagai referensi dalam berbagai pertemuan ilmiah. Pengaruh James kuat di bidang psikologi
agama.
James membedakan antara agama institusional dan agama personal. Agama
institusional adalah kelompok keagamaan atau organisai keagamaan dan berperan sangat
penting dalam suatu kebudayaan masyarakat. Agama personal, di mana individu mengalami
pengalaman keagamaan dan mistik, dapat dialami tanpa terkait dengan unsur budaya. James
lebih tertarik untuk memahami pengalaman agama yang bersifat personal dibanding
pengalaman agama yang bersifat social
Hipotesis pragmatism William James bersumber dari efikasi agama. Jika seseorang
percaya terhadap agama dan melaksanakan aktivitas-aktivitas keagamaan, dan tindakan-
tindakan tersebut kebetulan bekerja dengan baik maka prakte keagamaan tersebut menjadi
pilihan utama bagi orang tersebut. Jika proses agama tersebut mengandung sedikit efisiensi
maka tidak ada alasan untuk melanjutkan praktek tersebut.5

2. Teori Perkembangan Moral


Teori perkembangan moral Kohelberg secara resmi dikenal sebagai teori moralisasi
perkembangan kognitif, yang berasal dari karya Piaget. Hipotesis utama Piaget adalah bahwa
keadaan (pikiran) dan pengaruh (emosi) berkembang secara paralel dan keputusan moral
adalah proses alami perkembangan kognitif. Sebaliknya, sebagian besar psikolog pada masa
itu percaya bahwa pemikiran moral lebih merupakan proses psikologis dan social.
Beberapa dari mereka percaya bahwa moralitas adalah hasil dari pendidikan
emosional sejak usia dini dan tidak ada hubungannya dengan proses berpikir rasional.
Mereka percaya bahwa untuk memahami moralitas, seseorang harus mempelajari proses
sosialisasi di mana anak belajar dengan mengikuti aturan dan norma masyarakat. 6
Berdasarkan hasil penelitian Kohlberg, ia mengemukakan enam tahapan (tahapan)
perkembangan moral yang umum diterapkan dan mengikuti urutan tertentu. Menurut
Kohlberg, ada tiga tingkatan perkembangan moral, yaitu tingkatan:

5
Gazi dan Faozah, Psikologi Agama Memahami Pengaruh Agama terhadap Perilaku Manusia, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatulla Jakarta, 2010), h. 4.
6
Suyanto, Humanisasi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2009), h. 11.

8
I. Prakonvensional
II. Konvensional
III. Post-konvensional
Pasca Konvensional Setiap level terdiri dari dua tahap, sehingga total ada enam tahap
(fase) yang berkembang secara bertahap dalam urutan yang tetap. Tidak semua orang
mencapai tahap akhir perkembangan moral. Pada tahap 0, anak memikirkan apa yang sesuai
dengan kebutuhan dan keinginannya. Setelah langkah ini adalah:
Tingkat I; Prakonvensi, termasuk stadium 1 dan 2
Pada stadium 1, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman. Anak menilai baik
atau buruknya sesuatu berdasarkan akibat yang ditimbulkannya.
Pada stadium 2 berlaku prinsip hedonisme relatif. Pada tahap ini anak tidak lagi
sepenuhnya bergantung pada aturan-aturan yang ada secara lahiriah atau ditentukan oleh
orang lain, namun menjadi sadar bahwa setiap peristiwa mempunyai beberapa aspek. Jadi ada
relativitas, Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kemampuan seseorang
(hedonisme).
Tingkat II: Konvensional
Pada stadium 3, melibatkan pengajaran pada anak-anak yang berperilaku baik. Pada
masa ini, anak mulai memasuki masa remaja, dimana mereka menunjukkan kecenderungan
terhadap tindakan yang mungkin dinilai oleh orang lain sebagai benar atau salah.
Stadium 4, khusus tahap pemeliharaan norma dan kekuasaan sosial. Pada tahap ini,
perbuatan baik seseorang tidak hanya harus diterima oleh masyarakat tetapi juga
berkontribusi dalam menjaga aturan atau norma social. Oleh karena itu, tindakan yang baik
adalah kewajiban untuk ikut serta dalam penerapan peraturan yang ada, agar tidak terjadi
kekacauan.
Pada Tingkat III: Pasca Konvensional
Stadium 5, merupakan tahap kesepakatan antara diri dengan lingkungan social. Pada
tahap ini terjadi keterkaitan antara diri kita dengan lingkungan sosial dan masyarakat.
Seseorang harus menunjukkan kewajibannya, harus mematuhi persyaratan norma sosial
karena jika tidak maka lingkungan sosial atau masyarakat akan melindunginya,
Stadium 6. Langkah ini disebut dengan teriakkan Prinsip Universal Pada tahap ini,
selain standar personal dan subjektif, juga terdapat standar moral. Dalam hubungan dan
kesepakatan antara seseorang dengan masyarakatnya, terdapat faktor subjektif yang menilai
baik atau buruknya suatu tindakan. Subjektivisme ini berarti adanya perbedaan penilaian
antara satu orang dengan orang lainnya. Dalam hal ini, faktor etika akan menentukan apa
yang boleh dan harus dilakukan atau tidak.7

7
Sunarto, op.cit., h. 172.

9
3. Teori Perkembangan Sikap
Stephen R Covey telah mengajukan tiga teori determinisme yang diterima secara luas,
baik secara individu maupun gabungan, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
A. Determinisme genetis (genetic determinism) berpendapat bahwa sikap Sikap
individu diwarisi dari sikap orang tua besarnya. Inilah sebabnya mengapa
seseorang memiliki sikap dan kebiasaan yang mirip dengan nenek moyangnya.
B. Determinisme psikologis (psychological determinism) berpendapat bahwa
sikap individu merupakan hasil dari tindakan, keteladanan orang tua, atau pola
asuh yang diberikan orang tua kepada anaknya.
C. Determinism lingkungan (environmental determinism) berpandangan bahwa
perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu
itu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut.
Bagaimana atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita
memperlakukan kita, situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah,
semuanya membentuk perkembangan sikap individu.
C. Hubungan antara moral, nilai, dan sikap, pengaruhnya terhadap tingkah laku

Nilai merupakan tatanan tertentu atau kriteria didalam diri individu yang dijadikan
dasar untuk mengevaluasi suatu sistem. Pertimbangan nilai adalah penilaian individu
terhadap suatu objek atau sekumpulan objek yang lebih berdasarkan pada sistem nilai tertentu
daripada hanya sekedar karakteristik objek tersebut.
Moral merupakan tatanan prilaku yang memuat nilai-nilai tertentu untuk dilakukan
individu dalam hubungannya dengan individu, kelompok, atau masyarakat. Moralitas
merupakan pencerminan dari nilai-nilai idealitas seseorang. Dalam moralitas terkandung
aspek-aspek kognitif, afektif, dan prilaku. Adapun sikap merupakan predisposisi tingkah laku
atau kecendrungan untuk bertingkah laku yang sebenarnya juga merupakan ekspresi atau
manifestasi dari pandangan individu terhadap suatu objek atau sekumpulan objek. Sikap
merupakan sistem yang bersifat menetap dari komponen kognisi, afeksi, dan konasi.
Perubahan pengetahuan individu tentang suatu objek atau sekumpulan objek akan
menimbulkan perubahan perasaan individu yang bersangkutan mengenai objek atau
sekumpulan objek tersebut dan selanjutnya akan memengaruhi kecendrungannya untuk
bertindak terhadap objek atau sekumpulan objek tersebut.
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa nilai merupakan dasar
petimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku yang
seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predisposisi atau
kecendrungan individu untuk merespons terhadap suatu objek atau sekumpulan objek sebagai
perwujudan dari sitem nilai dan moral yang ada didalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan
pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap
individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yang
dimiliki, individu akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus
dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sitem

10
nilai dan moral yang mendasarinya. Bagi Sigmund Freud, yang telah menjelaskan melalui
teori Psikoanalisinya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-
bedakan. Nilai dan moral itu menyatu dalam salah satu struktur kepribadiannya, yang dikenal
dengansuper ego atau das uber ich yang merupakan sumber moral.
Dalam konsep Sigmand Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga, yaitu :
1. Id atau Das Es,
2. Ego atau Das Ich, dan
3. Super Ego atau Das Uber Ich.
Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat
memenuhi dorongan kesengangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau
kecemasan dan menghindari kesakitan. Id merupakan kepribadian yang orisinil. Kepribadian
setiap manusia ketika lahir hanya terdiri dari id.
Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan, dan
mengatur kepribadian individu. Tugas utama ego adalah mengantar dorongan-dorongan
naluriah dengan kenyataan yang ada didunai sekitar.
Super ego adalah kode moral individu yang tugas utamanya adalah
mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Super ego
mempresentasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta mendorong ke arah
kesempurnaan bukan kesenangan.
Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral dan sikap adalah jika ketiganya sudah
menyatu dalamsuper ego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan super ego nya
dengan baik, sikapnya akan cendrung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral
tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi karena super
ego yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah
dariid yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya super ego
dengan baik, juga akan mendorong berkembang kekuatanego untuk mengatur dinamika
kepribadian antara id dan super ego, sehingga perbuatannya selaras dengan kenyataan didunia
sekelilingnya.

D. Karakteristik moral, nilai, dan sikap remaja

Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah
bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai
baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari
jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin
matang. Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi terhadap
tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkannya sendiri.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai
dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional
formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memecahkan masala-masalah yang
bersifat hipotetis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya
terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar
hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh
kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap

11
sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung jawabkannya secara
pribadi. Perkembangan moral remaja yang demikian, jika meminjam teori perkembangan
moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvensional. Pada akhir masa remaja
seseorang akan memasuki tahap perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap
pascakonvensional ketika orisinilitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran
moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada pendapat
atau pranata yang bersifat konvensional.
Tingkat perkembangan fisik dan psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada
perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan
sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua
dan dewasa lainnya. Apalagi kalau orang tua atau orang dewasa berusaha memaksakan nilai-
nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang
ditunjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai unjuk kemampuan
berpikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang
pada remaja hanya bersifat sementara akan berubah serta bekembang ke arah moralitas yang
lebih matang danmandiri. Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan dihayati oleh
para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga
seperangkat nilainilai yang terkandung dalam pancasila, misalnya nilai-nilai keagamaan, peri
kemanusiaan dan peri keadilan, nila-nilai estetika, nilai etik, dan nilai-nilai intelektual, dalam
bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan remaja. Michel meringkaskan 5 perubahan dasar
dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja Hurlock alih bahasa Istiwidayanti dan kawan-
kawan sebagai berikut :
1) Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
2) Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang
salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3) Penilaian moral semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja berani mengambil
keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4) Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5) Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian
moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter, menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai. Mengerti nilai-nilai ini tidak
berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat mengerjakannya atau
mengamalkannya.

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral, nilai, dan sikap remaja

1. Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral
dan sikap seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang berasal dari bawaan ajaran orang
tuanya. Orang-orang yang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di
masa kecil, kemungkinan besar mereka tidak mampu mengembangkan superegonya sehingga
mereka bias menjadi orang yang sering melakukan pelanggaran norma.
2. Lingkungan Sekolah

12
Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat
sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik dan boleh dilakukan.
Tentunya dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan guru sebagai model
dalam bertingkah laku, oleh karena itu seorang guru harus memiliki moral yang baik.
3. Lingkungan Pergaulan
Dalam pengembangan kepribadian, factor lingkungan pergaulan juga turut
mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja, biasanya seseorang selalu
ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan selalu ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan
teman. Bahkan terkadang seorang teman juga bisa dijadikan panutan baginya.
4. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan
moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu
sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri untuk pelanggar-pelanggarnya.
5. Teknologi
Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap
terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk
belajar maupun hiburan. Contoh: internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai
informasi yang dapat diakses secara langsung.
Nilai positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka
butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai
negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja. Apalagi pada
masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat rentan terhadap informs
seperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara matang yang akhirnya akan
menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil
usia dini.

F. Perbedaan individu dalam perkembangan moral, nilai, dan sikap


Istilah moral berasal dari kata latin “Mos” (Moris), yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Menurut Kohlberg, faktor
kebudayaan mempengaruhi perkembangan moral.
Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu
kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat
lain. Sama halnya dengan sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif
oleh suatu keluarga tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga
yang mengharuskan para anggota keluarganya berpakaian muslimah dan sopan karena cara
berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain
yang lebih senang dan memandang lebih bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi,
dan mengikuti tren mode yang sedang marak dikalangan selebritis.
Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi nilai, moral dan sikap
tergantung dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak terdapat anggapan bahwa
aturan-aturan adalah pasti dan mutlak karena diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang
tidak bisa diubah lagi. Sedangkan pada anak-anak yang berusia lebih tua, mereka bisa
menawar aturan-aturan tersebut kalau disetujui oleh semua orang.

13
Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga
atau kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya.
Perbedaan individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masingmasing
individu. Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa
setiap individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi
kecepatan pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun
dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang
lahir pada waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat
pemikirannya.

G. Upaya pengembangan moral, nilai, dan sikap serta implikasinya bagi pendidikan
Perwujudan nilai, moral dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses yang dilalui
seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses yang belum
seluruhnya dipahami oleh para ahli. Apa yang terjadi didalam diri pribadi seseorang hanya
dapat didekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah
laku seseorang ataupun dengan membandingkan dengan gejala atau tingkah laku orang lain.
Perwujudan nilai, moral dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak semua
individu mencapai pengembangan nilai-nilai hidup, moral dan tingkah laku seperti yang
diharapkan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral
dan sikap remaja adalah sebagai berikut :
1) Menciptakan Komunikasi Dalam komunikasi didahului dengan pemberian
informasi tentang nilai-nilai dan moral. Tidak hanya memberikan evaluasi, tetapi juga
merangsang anak supaya lebih aktif dalam beberapa pembicaraan dan pengambilan
keputusan di lingkungan keluarga, teman sepergaulan, serta organisasi atau kelompok.
Sedangkan di sekolah misalnya anak diberikan kesempatan untuk diskusi kelompok. Anak
tidak hanya harus mendengarkan tetapi juga harus dirangsang agar lebih aktif. Misalnya
mengikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan di keluarga dan pemberian tanggung
jawab dalam kelompok sebayanya. Karena nilai-nilai kehidupan yang dipelajari barulah
betul-betul berkembang apabila telah dikaitkan dalam konteks kehidupan bersama.
2) Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi Seseorang yang mempelajari nilai
hidup, moral dan sikap tertentu kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai
pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan secara
positif, jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup
tersebut.
Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri karena mereka sedang
dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya
sendiri. Pedoman atau petunjuk ini bertujuan untuk menumbuhkan identitas diri, kepribadian
yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa ini.
Nilai-nilai keagamaan perlu mendapat perhatian karena agama juga mengatur tingkah laku
baik dan buruk seseorang. Dapat dikatakan bahwa suatu lingkungan yang bersifat mengajak,
mengundang, atau memberi kesempatan akan lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai
dengan adanya larangan-larangan yang bersifat serba membatasi.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

16

Anda mungkin juga menyukai