Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK


“Perkembangan Nilai, Moral dan Religi”

KELOMPOK: IX
1. Aditha Nur Rahma A 241 19 068
2. Adriansah I Giasi A 241 19 110
3. Fadia Stefany A 241 19 022
4. Hemarji Akbar Gifari A 241 19 123

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGATAHUAN
ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS
TADULAKO
2020
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Perkembangan Nilai, Moral dan
Religi”. Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan
terutama disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan. Namun berkat bimbingan dari
berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan, walaupun masih banyak
kekurangan.

Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa tersusunnya makalah ini


bukan hanya atas kemampuan dan usaha penulis semata, namun juga berkat
bantuan dari berbagai pihak, motivasi dan pengarahan dalam penyusunan makalah
ini.

Penulis bersedia menerima kritik dan saran yang positif dari pembaca.
Penulis akan menerima kritik dan saran tersebut sebagai bahan pertimbangan yang
memperbaiki makalah ini di kemudian hari. Semoga makalah berikutnya dapat
penulis selesaikan dengan hasil yang lebih baik lagi.

Dengan menyelesaikan makalah ini penulis mengharapkan banyak


manfaat yang dapat diambil dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan inspirasi dan bermanfaat bagi pembaca dan rekan mahasiswa.

Palu, 03 April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 1

1.3 Tujuan ..................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3

2.1 Pengertian Nilai, Moral dan Agama/Religi ............................................ 3

2.2 Perkembangan Nilai, Moral dan Agama/Religi ...................................... 6

2.3 Tujuan dan Fungsi Nilai, Moral dan Agama/Religi................................ 13

2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral dan


Agama/Religi .......................................................................................... 18

2.5 Hubungan Antara Nilai, Moral dan Agama/Religi ................................. 21

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 22

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perkembangan yang terjadi pada anak meliputi segala aspek kehidupan


yang mereka jalani baik bersifat fisik maupun non fisik. Perkembangan berarti
serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses
kematangan dan pengalaman. Kesepakatan para ahli menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan perkembangan itu adalah suatu proses perubahan pada
seseorang kearah yang lebih maju dan lebih dewasa, namun mereka berbeda-
beda pendapat tentang bagaimana proses perubahan itu terjadi dalam bentuknya
yang hakiki.

Perkembangan dalam psikologi merupakan konsep yang mengandung


banyak dimensi. Dimensi dalam konsep perkembangan di antaranya adalah
pertumbuhan, kematangan, dan perubahan. Setiap individu mengalami
perkembangan pada semua aspek dalam dirinya secara terus menurus dan tidak
pernah berhenti. Untuk memahami perkembangan anak, salah satunya perlu
ditinjau dari perkembangan nilai, moral dan agama anak tersebut. Oleh karena
itu, pada makalah ini dipaparkan mengenai perkembangan nilai, moral d a n
agama yang meliputi makna, tujuan dan fungsi, faktor-faktor yang
mempengaruhi dan hubungan antara nilai, moral dan agama pada peserta didik.

1.2 Rumusan masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan nilai, moral dan agama/religi?


2. Bagaimana perkembangan nilai, moral dan agama/religi?
3. Mengapa nilai, moral dan agama/religi sangat penting bagi kehidupan?
4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi nilai, moral dan agama/religi?
5. Bagaimana hubungan antara nilai, moral dan agama/religi?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian nilai, moral dan agama/religi

1
2. Untuk mengetahui perkembangan nilai, moral dan agama/religi
3. Untuk mengetahui tujuan dan fungsi nilai, moral dan agama/religi
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai, moral dan agama
5. Untuk mengetahui hubungan anatara nlai, moral dan agama/religi

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nilai, Moral dan Agama/Religi

A. Pengertian nilai

Nilai atau value (bahasa Inggris) atau valere (bahasa Latin) berarti
berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu
hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan
dapat menjadi objek kepentingan. Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah
harga, angka kepandaian. Adapun menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu
tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih
alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu.

Di antara definisi nilai yang dikemukakan oleh para ahli, menurut


Spranger, dalam Muhammad Ali (220), nilai diartikan sebagai suatu tatanan
yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih
alternative keputusan dalam situasi social tertentu. Nilai dalam kehidupan adalah
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat seperti adat dan kebiasaan sopan
santun.
Menurut Harrocks(2006), nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan
individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan
atau sebagai suatu yang ingin dicapai.

Dalam buku psikologi perkembangan peserta didik oleh Prof. Sinolungan


mengatakan nilai adalah suatu yang diyakini kebenarannya, dipercayai dan
dirasakan kegunaannya, serta diwujudkan dalam sikap atau perilakunya. Jadi,
nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam
tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan.

Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan
diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan
kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan

3
emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai
serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.

Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:

1. Nilai teori atau nilai keilmuan (I)

Mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang yang bekerja


terutama atas dasar pertimbangan rasional.

2. Nilai ekonomi (E)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang


atas dasar pertimbangan ada tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat
dari perbuatannya.

3. Nilai sosial atau nilai solidaritas (Sd)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang terhadap orang lain tanpa
menghiraukan akibat yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri, baik
berupa keberuntungan atau ketidakberuntungan.

4. Nilai agama (A)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atas dasar pertimbangan


kepercayaan bahwa sesuatu itu dipandang benar menurrut ajaran agama.

5. Nilai seni (S)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok atas dasar
pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai
pertimbangan material.

6. Nilai politik atau nilai kuasa (K)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang


atas dasar pertimbangan baik buruknya untuk kepentingan dirinya atau
kelompoknya.

4
B. Pengertian moral

Istilah moral berasal dari kata Latin, mores, yang artinya tata cara dalam
kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Menurut Purwadarminto, dalam Senarto
(2008), moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan , akhlak,
kewajiban, dan sebagainya. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang
mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok social dan
masyarakat. Menurut Rogers, dalam Sunarto (2008), moral merupakan standar
baik-buruk yang ditentukan bagi indivisu oleh nilai-nilai social budaya dimana
indibidu sebagai anggota social. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang
diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan social secara harmonis,
adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang
damai penuh ketertiban, dan keharmonisan. Istilah moral kadang kadang
dipergunakan sebagai kata yang sama artinya dengan etika. Secara etimologi kata
etika sama dengan etimologi kata moral karena keduanya berasal dari kata yang
berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya yang berbeda, yaitu etika berasal
dari bahasa Yunani, sedangkan moral dari bahasa Latin. Jika sekarang hendak
memandang arti kata moral maka perlu disimpulkan artinya sama dengan
etika,yaitu nilain dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

C. Pengertian Agama

Agama merupakan suatu system atau prinsip kepercayaan kepada adanya


kekuasaan mengatur yang sifatnya luar biasa yang berisi norma-norma atau
peraturan yang menata bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan dan
bagaimana manusia tetap hidup yang berkelan jutan sampai sesudah manusia itu
mati.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Adams dan Gullota (1983), agama


memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu
membandingkan tingkah lakunya, agama dapat menstabilkan tingkah laku dan
bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada diduna ini,
5
agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah
mencari eksistensi dirinya.

2.2 Perkembangan Nilai, Moral, dan Agama

A. Perkembangan Nilai

Pada umunya ada lima pendekatan dalam perkembangan penanaman nilai


pada anak, berikut adalah penjelasaannya.

a. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach),

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu


pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam
diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional.
Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada
pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang tidak sesuai dengan perkembangan
kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini
dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.
Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu
dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang
akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan
nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda
bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai
mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.

b. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach),

Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan


penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan
cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika
dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan
penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada
pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai- nilai sosial. Adapun

6
pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral
yang bersifat perseorangan.

c. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach),

Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi


penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan
perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai
mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang
sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai
bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar
belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama,
masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi
nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program
pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses
menilai.

d. Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)

Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi


penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-
sama dalam suatu kelompok.Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini
berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan “moral reasoning” dan dimensi
afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada
siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum
sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.

e. Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development


approach).

Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-


masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan
moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir

7
dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju
suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).

Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama.
Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih
kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa
untuk mendiskusikan alasan- alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam
suatu masalah moral (Superka, et. al.,1976; Banks, 1985).

Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey


(Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg
(Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral
anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:

1. Tahap “premoral” atau “preconventional”. Dalam tahap ini tingkah


laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
2. nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.

3. Tahap “autonomous”. Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah


laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak
sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

B. Perkembangan Moral

Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan


dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain (Santrock, 1995). Anak-anak ketika dilahirkan
tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral
yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, dalam pengalamannya berinteraksi
dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya, atau guru), anak
belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan
tingkah laku yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.

Menurut John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget, dalam
Muhammad Ali (2006:141), mengemukaakan tiga tahap perkembangan moral,

8
yaitu: (a)tahap pramoral. Ditandai bahwa anak belum meyadari keterkaitannya
pada aturan, (b) tahap konvensional. Ditandai dengan berkembangnya kesadaran
akan ketaatan pada kekuasaan, (c) tahap otonom. Ditandai dengan
berkembangnya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas.

Tahap Perkembangan moral menurut Piaget terjadi dalam dua tahapan


yang jelas. Tahap pertama disebut “tahap realisme moral” atau “moralitas oleh
pembatasan” dan tahap kedua disebut “tahap moralitas otonomi” atau
“moralitas oleh kerjasama atau hubungan timbal balik”. Pada tahap pertama,
perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa
penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang
dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan anak mengikuti peraturan yang
diberikan oleh mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya.Pada tahap kedua,
anaka menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya
dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau
lebuh. Anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan
suatu pelanggaran moral.

Teori kognitif piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-


prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui
dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget perkembangan
moral digambarkan melalui aturan permainan. Berdasarkan hasil
observasinya tahapan aturan-aturan permainan yang digunakan anak-anak,
piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas
dapatdibedakanatasduatahap,yaitu:

a. Tahap Heterononous Morality

Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga
9 tahun. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep
bahwa bila suatu aturan yang dilanggar, hukuman akan segera dijatuhkan.

b. Tahap Autonomous Morality

9
Tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 9 hingga
12 tahun. Anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukuman-hukuman
merupakan ciptaan manusia dan dalam penerapan suatu hukuman atau suatu
tindakan harus mempertimbangkan maksud pelakusertaakibat-akibatnya.

Teori kohlberg tentang perkembangan moral merupakan pelumas,


modifikasi, dan redefeni atas teori piaget. Teori ini didasarkan atas analisisnya
terhadap hasil wawancara dengan anak laki-laki usia 10 hingga 16 tahun yang
dihadapkan dengan suatu dilema moral, di mana mereka harus memilih antara
tindakan menaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang
bertentangan dengan beraturan. Hal penting dari teori perkembangan moral
Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam
pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti
perbuatan nyata. Moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi
remaja, terutama sebagai pedoman untuk menentukan identitas dirinya,
mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-
konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Moralitas pada hakitatnya
adalah penyelesaian konflik antara dirinya dan orang lain, antara hak dan
kewajiban (Setiono, 1994).

Lawrence Kohlberg mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang


dimunculkan kedalam enam tahap perkembangan moral yang berbeda. Keenam
tahapan tersebut dibagi kedalam tiga tingkatan: prakonfensional, konvensional,
dan pascakonvensional. Karakteristik untuk masing-masing tahapan
perkembangan moral yang dimaksud disajikan dalam tabel berikut ini.

10
NO Tahap/Tingkat Umur Karakteristik

1 Tingkat 1 0-9 Tahun Prakonvensional


Tahap 1 Moralitas heteronomi (orientasi
kepatuhan dan hukuman) melekat pada
aturan.
Tahap 2 Individualism/instrumentalisme
(orientasi minat pribadi) kepentingan
nyata individu. Menghargai kepentingan
orang lain
2 Tingkat 2 9-15 Tahun Konvensional
Tahap 3 Reksa interpersonal (orientasi keserasian
interpersonal dan konformitas).
Mengharapkan hidup yang terlihat baik
oleh orang lain dan kemudian telah
menganggap dirinya baik.
Sistem sosial dan hati nurani (orientasi
Tahap 4 otoritas dan pemeliharaan aturan sosial)
(moralitas hokum dan aturan).
Memenuhi tugas sosial untuk menjaga
system sosial yang berlangsung.
3 Tingkat 3 15 Tahun Pasca Konvensional
Tahap 5 Kontrak sosial relative menjunjung
tinggi aturan dalam memihak
kepentingan dan kesejahteraan untuk
Tahap 6 semua. Prinsip etika universal. Prinsip
etis yang dipilih sendiri, bahkan ketika ia
bertentangan dengan hukum.

11
C. Perkembangan Agama

Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak anak itu


mengalami beberapa fase (tingkatan). Didalam bukunya The Thevelopment of
Religious On Children, Ia mengatakan bahwa perkembangan pada anak-anak itu
melalui tiga tingkatan :

a. The fairy stage (tingkat dongeng)

Tingkatan ini dimulai anak yang berusia 3-6 tahun, pada tingkatan ini
konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada
tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan
tingkat intelektualnya.

b. The realistic Stage (tingkat kenyataan)

Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar sampai ke usia (massa
usia) aadolensense. Pada masa ini ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan
konsep-konsep yang berdasarkan pada kenyataan (realis). Konsep ini melalui
lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya.

c. The individual stage (tingkat individu)

Pada tingkat ini anak telah memilki kepekaan emosi yang paling tinggi
sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep ini terbagi menjadi tiga :

 Konsep ke-Tuhanan konvesional dan konservatif dengan dipengaruhi


sebagian kecil fantasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengaruh luar.
 Konsep ke-Tuhanan yang murni yang dinyatakan dalam pandangan yang
beersifat personal (perorangan).
 Konsep ke Tuhanan yang humanistic. Agama telah menjadi etos humanistic
pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini dipengaruhi
oleh usia dan factor intern yaitu perkembangan usia dan actor ekstern berupa
pengaruh luar yang dialaminya.
2.3 Tujuan dan Fungsi Nilai, Moral, dan Agama

12
2.3.1 Tujuan Nilai, Moral, dan Agama

A. Tujuan Pendidikan Nilai

Ada dua tujuan pendidikan nilai apabila dilihat dari pendekatan analisa
nilai. Tujuan tersebut adalah pertama adalah membantu siswa untuk
menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dan penemuan
ilmiah dalam menganalisa sosial. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan
proses berpikir rasional dan analitik dalam menghubung-hubungkan dan
merumuskan konsep tentang nilai nilai-nilai mereka.

Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan klarifikasi nilai ini ada tiga;

1. Membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai


mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain
2. Membantu siswa supaya bisa berkomunikasi secara terbuka dan jujur
dengan orang lain.
3. Membantu siswa supaya mampu menggunakan secara bersama-sama
kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional

Kohlberg (1977) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan nilai adalah


mendorong perkembangan tingkat pertimbangan moral peserta didik. Secara
sederhana, Suparno melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan
manusia berbudi pekerti. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan nilai bertujuan
untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara
integral dalam kehidupan mereka. Sehingga peserta didik dapat mengembangkan
kemampuan untuk mengontrol tindakanya, dan memahami keputusan moral yang
diambilnya.

Dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih


spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus sebagaimana
diungkapkan Komite APEID (Asia and the Pasific Programme of Education
Innovation for Development) bahwa Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan
untuk:

13
a. menerapkan pembentukan nilai kepada peserta didik
b. menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai
yang diinginkan.
c. membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-
nilai tersebut.

Dengan demikian, Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang


berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-
perilaku yang bernilai. Namun tujuan yang paling penting adalah memberikan
pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Menurut Warner dan pefleur dapat dijelaskan bahwa sikap jika sudah
diterjemahkan kedalam tindakan, dapat melahirkan nilai. Dan sebagai tujuan
pendidikan nilai itu sendiri adalah penanaman nilai tertentu dalam diri siswa.
Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai
pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh
berkembang dalam masyarakat Indonesia. Ada tiga hal yang menjadi sasaran
pendidikan nilai;

a. Membantu peserta didik untuk menyadari makna nilai dalam hidup


manusia
b. Membantu pengalaman dan pengembangan pemahaman serta pengalaman
nilai
c. Membantu peserta didik untuk mengambil sikap terhadapa aneka nilai
dalam perjumpaan dengan seksama agar dapat mengarahkan hidupnya
bersama orang lain secara bertanggung jawab.

B. Tujuan Pendidikan Moral

Suatu usaha atau kegiatan apabila tidak mempunyai tujuan jelas tidak
akan berarti apa-apa. Oleh karena itu tidak ada kegiatan yang tanpa tujuan.
Sedangkan tujuan itu sendiri telah terkandung dalam pengertian kegiatan, agar
suatu kegiatan terarah dan mencapai sesuatu yang kita harapkan, tentu saja
14
dengan adanya tujuan, demikian juga dengan pendidikan. Untuk dapat melihat
tujuan dan orientasi pendidikan moral, perlu kiranya menjadikan peta wacana
pendidikan moral yang berkembang sebagai parameter.

Adapun tujuan pendidikan moral menurut Nurul Zuriah adalah:

a. Anak mampu memahami nilai-nilai budi pekerti di lingkungan keluarga,


lokal, nasional, dan internasional melalui adat istiadat, hukum, undang-undang,
dan tatanan antar bangsa.

b. Anak mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara konsisten dalam


mengambil keputusan budi pekerti di tengah-tengah rumitnya kehidupan
bermasyarakat saat ini.

c. Anak mampu menghadapi masalah nyata dalam masyarakat secara rasional


bagi pengambilan keputusan yang terbaik setelah melakukan pertimbangan sesuai
denga norma budipekerti.

d. Anak mampu menggunakan pengalaman budi pekerti yang baik bagi


pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggung jawab.

Lebih lanjut, Frankena mengemukakan lima tujuan pendidikan moral sebagai


berikut:

 Mengusahakan suatu pemahaman ”pandangan moral” ataupun cara- cara


moral dalam mempertimbangkan tindakan-tindakan dan penetapan
keputusan apa yang seharusnya dikerjakan, seperti membedakan hal
estetika, legalitas, atau pandangan tentang kebijaksanaan.

 Membantu mengembangkan kepercayaan satu atau beberapa prinsip


umum yang fundamental, ide atau nilai sebagai suatu pijakan atau
landasan untuk pertimbangan moral dalam menetapkan suatu keputusan.

 Membantu mengembangkan kepercayaan atau mengadopsi norma- norma


konkret, nilai- nilai, kebaikan-kebaikan seperti pada pendidikan
tradisional yang selama ini dipraktikkan.

15
 Mengembangkan suatu kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang
secara moral baik dan benar.

 Meningkatkan pencapaian refleksi otonom, pengendalian diri atau


kebebasan mental spiritual, meskipun itu disadari dapat membuat
seseorang menjadi pengkritik terhadap ide-ide dan prinsip-prinsip, dan
aturan-aturan umum yang sedang berlaku. Disamping itu, jika masyarakat
menjadi tujuan tindakan moral, maka tujuan moral juga harus dipandang
sebagai sesuatu yang diinginkan pada dirinya dan tidak hanya karena
berguna bagi individu. Dalam mengikat dirinya dengan masyarakat setiap
orang harus mempunyai kepentingan. Keterikatan hanya mungkin
terealisir bila manusia rela menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Sebab
dalam kenyataannya mengaitkan diri dengan makhluk lain berarti sampai
tingkat bergabung atau menyatu bersamanya, bahkan siap menggantikan
makhluk tersebut apabila keterikatan memang menuntut pengorbanan.
Oleh karena itu untuk menjadi manusia yang baik, orang harus segera
menyatu dengan sumber utama kehidupan moral dan mental yang menjadi
ciri manusia yaitu masyarakat. Berasal dari masyarakat segala sesuatu
yang paling baik dalam diri manusia.

Berawal dari masyarakat pulalah keseluruhan segala tingkah laku


manusia. Dari beberapa tujuan pendidikan moral dapat disimpulkan bahwa
tujuan pendidikan moral membina terbentuknya perilaku moral yang baik bagi
setiap orang. Artinya, pendidikan moral bukan sekedar memahami tentang aturan
benar dan salah atau mengetahui tentang ketentuan baik dan buruk, tetapi harus
benar-benar meningkatkan perilaku moral seseorang.

C. Tujuan Pendidikan Agama

Segala sesuatu yang dilaksanakan sudah tentu mempunyai tujuan yang


hendak dicapai, pada dasarnya pendidikan keagamaan merupakan usaha yang
dilakukan terhadap peserta didik agar dapat memahami, mengamalkan ajaran
ajaran agama.

16
Sedangkan tujuan diberikannya pendidikan agama disekolah umum
adalah untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan
pengamalan siswa terhadap ajaran agama sehingga menjadi manusia yang
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menurut Omar Muhammad Asy-syaebani, tujuan pendidikan agama


terutama Islam memiliki 4 ciri pokok, yaitu :

a. Sifat yang bercorak agama dan akhlak


b. Sifat keseluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi pelajar, dan
semua aspek perkembangan dalam masyarakat.
c. Memberikan bahan bahan informasi tentang pelaksanaan pendidikan
dalam segala aspeknya bagi pengembangan ilmu pendidikan tersebut.
d. Memberikan penjelasan teoritis tentang tujuan pendidikan yang harus
dicapai, berdasarkan teori, cara, dan metode dalam mendidik.

2.3.2 Fungsi Niai, Moral, dan Agama

Fungsi nilai, moral dan agama dalam kehidupan manusia yaitu:

a. Berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri


sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. Contohnya: jika
seseorang berniat mencuri, maka dengan adanya agama, orang tersebut
akan segera ingat dan membatalkan niatnya karena tindakannya telah
melanggar moral dan karenanya akan ada sanksi yang harus ia tanggung

b. Menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang


kurang ditanggapi manusia
c. Mengatur tata cara hubungan manusia dengann Tuhan dan manusia
dengan manusia.

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan


Agama

17
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai,
moral dan agama individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan
fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah,
maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama,
berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan gama individu
yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya. Berikut ini faktor- faktor yang
mempengaruhi nilai, moral dan agama dalam kehidupan.

1. Lingkungan Keluarga

Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan nilai,


moral dan agama seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang berasal dari bawaan
ajaran orang tuanya. Orang-orang yang tidak memiliki hubungan yang harmonis
dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar mereka tidak mampu
mengembangkan superegonya sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering
melakukan pelanggaran norma.

2. Lingkungan Sekolah

Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat


sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik dan boleh
dilakukan. Tentunya dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan
guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh karena itu seorang guru harus
memiliki moral yang baik.

3. Lingkungan Pergaulan

Dalam pengembangan kepribadian, factor lingkungan pergaulan juga turut


mempengaruhi nilai, moral dan agama seseorang. Pada masa remaja, biasanya
seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan selalu ada rasa
tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan terkadang seorang teman juga
bisa dijadikan panutan baginya.

4. Lingkungan Masyarakat

18
Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan
moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari
masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri untuk pelanggar-
pelanggarnya.

5. Teknologi

Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap


terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi
untuk belajar maupun hiburan. Contoh: internet memiliki fasilitas yang
menawarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.

Nilai positifnya, ketika seorang individu mencari bahan pelajaran yang


mereka butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga
memiliki nilai negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral
remaja. Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan
sangat rentan terhadap informasi seperti itu. Mereka belum bisa mengolah
pikiran secara matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak
kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.

Individu yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga,


sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi
yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan
berkembang menjadi remaja yang memiliki budi luhur, moralitas tinggi,
serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya individu yang tumbuh dan
berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi
yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka
harapan agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang
memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi
diragukan.

Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan


perkembangan nilai, moral dan agama anak, diantaranya sebagai berikut :

1. Konsisten dalam mendidik anak


19
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau
membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang
dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan
pada waktu lain.

2. Sikap orangtua dalam keluarga

Secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu,
atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui
proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung
melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak
acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang
bertanggungjawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap
yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan,
musyawarah (dialogis).

3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam
mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious
(agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai
agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

4. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma

Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur,
maka mereka harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur.
Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata
yang sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri
menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada
dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alasan
untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia
akan berprilaku seperti orangtuanya.

20
2.5 Hubungan Antara Nilai, Moral dan Agama

Nilai merupakan tatanan tertentu atau kriteria di dalam diri individu


yang dijadikan dasar untuk mengevaluasi suatu system. Pertimbangan nilai adalah
penilaian individu terhadap suatu objek atau sekumpulan objek yang lebih
berdasarkan pada sistem nilai tertentu daripada hanya sekadar karakteristik
objek tersebut. Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-nilai
tertentu untuk dilakukan individu, kelompok, atau masyarakat. Menurut Rogers
(2006), moralitas merupakan pencerminan dari nilai- nilai dan idealtas seseorang.
Menurut Saffer (2006), moralitas mencakup aspek-aspek kognitif, afektif, dan
perilaku. Agama adalah system yang mengatur tata keimanan/kepercayaan dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia lainnya.

Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral


merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, Sedangkan agama
merupakan panutan atau dasar keyakinan seseorang. Agama mengarahkan
pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya dapat menentukan
sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem
nilai dan agama yang dimiliki, individu akan menentukan perilaku mana yang
harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan
perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai, moral dan agama yang
mendasarinya.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan


sesuatu dan moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari,
sedangkan agama merupakan suatu dasar keyakinan yang dianut seseorang.
Nilai, moral dan agama sama-sama berfungsi mengingatkan manusia untuk
melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat.
Dalam pembentukan nilai, moral dan agama selalu ada faktor yang
mempengaruhinya seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,
pergaulan, lingkungan masyarakat dan teknologi. Anak mulai mengenal konsep
nilai, moral dan agama pertama kali dari lingkungan keluarga. Pada mulanya
mungkin anak tidak mengerti konsep nilai, moral dan agama ini, tetapi lambat
laun anak akan memahaminya. Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat
mengikuti pertautan atau tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada
akhir usia ini, anak sudah memahami alasan yang mendasari suatu peraturan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Amrullah & Hully. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Mataram:Alam Tara


Institute
Sjarkawi. 2006. Pembentukan Kepribdian Anak. Jakarta:BumiAksara
Erlinda. 2015. Makalah Perkembangan Moral Pada Anak. From http://erlinda-
rochmatin.blogspot.co.id/2015/09/makalah-perkembangan-moral-pada
anak.html 19.28. Diakses pada tanggal 29 Maret 2020
Dliyah. 2013. Makalah Peserta Didik Perkembangan Nilai Moral dan Sikap.
From https://fmardliyahjun.wordpress.com/2013/04/03/makalah-peserta-
didik-perkembangan-nilai- moral-dan-sikap/. Diakses pada tanggal 29
Maret 2020
Sriati. 2012. Perkembangan Moral Pada Anak Usia SD. From
http://ihyayusriati.blogspot.co.id/2012/09/perkembangan-moral-pada-
anak-usia-sd.html. Diakses pada tanggal 29 Maret 2020
Rosyida. 2015. Fungsi Nilai, Moral, dan Hukum dalam Kehidupan Manusia.
From http://zulvanila.web.unej.ac.id/2015/10/28/fungsi-nilai-moral-dan-
hukum-dalam-kehidupan- manusia/. Diakses pada tanggal 29 Maret 2020
Surya. 2010. Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap. From
http://marabpisurya.blogspot.co.id/2010/05/perkembangan-nilai-moral-
dan- sikap.html. Diakses pada tanggal 29 Maret 2020
Anshari, M. Hafi. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama. Surabaya: Usaha
Nasional.content://com.sec.android.app.sbrowser/readinglist/0331140549
.mhtml. Diakses pada tanggal 31 Maret 2020
Crapps, Robert W. 1994. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan.
Yogyakarta:Kanisius.content://com.sec.android.app.sbrowser/readinglist/
0331140549.mhtml. Diakses pada tanggal 31 Maret 2020
Al-Syaibani, Omar Mohammad. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.content://com.sec.android.app.sbrowser/readinglist/0403063958
9.mhtml. Diakses pada tanggal 03 April 2020

23
24

Anda mungkin juga menyukai