Oleh :
Kelompok 7B
Dosen Pengampu:
Elvira Destiansari, M. Pd
Dr. Drs Zainal Arifin, M. Si
Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan tepat waktu. Tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk bahan
pembelajaran mahasiswa dalam mata kuliah perkembangan peserta didik.
Kami menyadari karena keterbatasan pengetahuan yang kami miliki, tentunya
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat
megharapkan saran mamupun kritik yang membangun dari para pembaca sehingga
makalah ini dapat disempurnakan lebih baik lagi.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah terlibat dalam penyusunan makalah ini baik dengan menyumbangkan ide
maupun materi. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
maupun penulis.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
4
2. Remaja memperoleh kemampuan untuk memahami bahwa peraturan-peraturan
itu dibuat atas persetujuan semua orang yang bersifat ideal. Remaja menuntut
aturan-aturan yang telah ada dan disepakati dan benar-benar dipatuhi oleh semua
orang, kalau tidak remaja akan melontarkan kritikan. Hal ini sering
menimbulkan konflik antar remaja dengan orang dewasa.
Mitchell (1975) mencatat adanya tiga perubahan penting dalam
perkembangan moral selama periode remaja, yaitu:
a. Remaja menjadi sadar bahwa yang disebut betul atau salah itu adalah atas
pertimbangan keadilan atau kebijaksanaan, bukan atas kemauan orang yang
berkuasa seperti yang dipahami sebelumnya.
b. Remaja paham tentang peraturan moral atau agama dan sosial. Karena telah
diperolehnya kemampuan memahami sesuatu dari sudut pandang tertentu, maka
remaja mengerti bahwa moral relatif tidak absolut.
c. Karena perubahan di atas, maka remaja mengalami konflik tingkah laku moral
dengan pikiran moral. Yang dimaksud tingkah laku moral adalah tingkah laku
yang ditampilkan sesuai dengan kriteria moral, sedangkan pikiran atau
pandangan moral adalah pendapat atau pertimbangan seseorang tentang persolan
moral. Diharapkan seseorang remaja yang memiliki pandangan moral yang
tinggi memiliki tingkah laku moral yang tinggi juga. Namun, dapat terjadi
seorang remaja yang memiliki pikiran atau pandangan moral yang tinggi,
bertingkah laku yang melanggar moral. Misalnya, remaja yang memahami benar
bahwa tindakan memperkosa adalah dosa besar dan mendapat hukuman yang
berat, namun remaja. tersebut tetap saja melakukan pemerkosaan.
Menurut Piaget remaja berada pada taraf perkembangan moral otonom. Pada
periode ini, remaja memahami bahwa moral muncul karena adanya kesepakatan
bersama dari setiap orang dan dengan kesadaran sendiri atau otonom tunduk kepada
moral yang disepakati itu. Bagi remaja kita di Indonesia perlu meyakini adanya
moral yang bukan atas dasar kesepakatan bersama dan berlaku absolut yaitu moral
yang bersumber dari agama yang merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
6
• Faktor Budaya
Budaya tempat remaja berkembang juga memainkan peran penting dalam
penilaian moral remaja. Definisi penalaran moral dapat memiliki arti yang
berbeda sesuai dengan norma dan ekspektasi budaya (Morris, Eisenberg, &
Houltberg, 2011). Hal ini mungkin menjadi alasan adanya temuan yang beragam
dalam studi lintas budaya tentang penalaran moral. Budaya yang lebih
tradisional terkadang cenderung memiliki skor yang lebih rendah dalam skema
penalaran moral Kohlberg, tetapi mungkin disebabkan oleh fokusnya yang lebih
pada konstruk abstrak. Sistem nilai budaya dapat membentuk interpretasi
peristiwa dan penerapan penalaran moral, yang mengarah pada perilaku yang
lebih atau kurang bermoral.
• Faktor Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial yang seseorang alami, seperti komunitas tempat tinggal,
teman sebaya, dan media massa, juga berperan dalam perkembangan moral.
Lingkungan yang menekankan nilai-nilai positif dan memberikan pemahaman
tentang konsekuensi moral yang baik dapat membantu individu dalam
mengembangkan moral yang kuat. Jika lingkungan pergaulan baik maka
semakin mudah untuk membentuk moral yang baik. Manusia harus menyadari
dimana ia bergaul, apakah pergaulan tersebut memberi kebaikan atau malah
sebaliknya. Sejak masih berusia kanak-kanak orangtua seharusnya mendorong
anak untuk memiliki pergaulan yang baik. Namun ketika sudah dewasa dan
terlanjur terjerumus ke lingkungan yang kurang baik maka harus berusaha
secepat mungkin untuk berubah menjadi lebih baik. Selama masih bernafas,
tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri.
2.4 Penyimpangan Tingkah laku Moral oleh anak dan remaja di Kehidupan
Sehari-hari
Penyimpangan moral biasanya diwujudkan dalam bentuk kenakalan atau
kejahatan. Santrock (2003) menjelaskan penyimpangan moral berdasarkan tingkah
laku, yaitu:
1) Tindakan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial karena bertentangan
dengan nilai norma dalam masyarakat. Contoh: berkata kasar pada guru, orang
tua.
7
2) Tindakan pelanggaran ringan. Contoh: membolos sekolah, kabur pada jam mata
pelajaran tertentu dll.
3) Tindakan pelanggaran berat yang merujuk pada semua tindakan kriminal yang
dilakukan. Contoh mencuri, seks pranikah, menggunakan obat- obatan terlarang.
Beraneka ragam tingkah laku atau perbuatan remaja yang menyimpang dari
moral sering menimbulkan kegelisahan dan permasalah terhadap orang lain.
Penyimpangan moral tersebut dapat berwujud sebagai kenakalan atau kejahatan.
Berikut di bawah ini adalah beberapa contoh dari penyimpangan-peyimpangan
moral yang sering terjadi dan muncul dalam media-media pemberitaan yaitu sebagai
berikut:
1. Perundungan
Bullying (perundungan) adalah penyalahgunaan kekuatan serta perilaku agresif
atau yang bertujuan untuk menyakiti orang lain yang dilakukan oleh rekan atau
peers secara berulang dan melibatkan ketimpangan kekuatan baik secara nyata
atau menurut anggapan antara pelaku dan korban. Perundungan dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis berdasarkan bentuknya, yaitu:
• Kekerasan fisik: Perundungan yang dilakukan dengan cara menyakiti tubuh
korban secara langsung atau tidak langsung. Contohnya adalah memukul,
menendang, mencubit, menjambak rambut, mendorong, atau melempar
barang.
• Kekerasan verbal: Perundungan yang dilakukan dengan cara menyakiti
perasaan korban melalui kata-kata. Contohnya adalah mengejek nama
panggilan, penampilan fisik, suku bangsa, agama, kecerdasan, kemampuan,
atau minat korban.
• Kekerasan nonverbal: Perundungan yang dilakukan dengan cara menyakiti
harga diri korban melalui perilaku nonverbal. Contohnya adalah meniru
gerakan tubuh korban secara mengejek, membuat isyarat tangan yang kasar
atau menghina, mengacuhkan atau mengucilkan korban dari kelompok, atau
membuat mimik wajah yang mengejutkan atau menakutkan.
• Cyberbullying: Perundungan yang dilakukan dengan cara menyakiti
reputasi korban melalui media elektronik atau digital. Contohnya adalah
mengirim pesan teks, email, atau panggilan telepon yang mengancam,
menghujat, atau memeras korban, menyebarkan informasi pribadi, foto, atau
8
video korban tanpa izin, membuat akun palsu untuk menipu atau memfitnah
korban, atau melakukan serangan siber terhadap akun media sosial korban.
2. Pemerkosaan
Pemerkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan cara yang dinilai
melanggar menurut moral dan hukum. Kasus aborsi di Indonesia mencapai 2,5
juta orang dengan rician per tahun kasus aborsi 750 ribu per tahun atau 7 ribu
dalam sehari dan 30 persen pelakunya adalah remaja SMP dan SMA. Fenomena
tingginya remaja melakukan aborsi karena akibat pemerkosaan dan hubungan
suka sama suka.
3. Tawuran
Istilah tawuran sering dilakukan pada sekelompok remaja terutama oleh para
pelajar sekolah namun tawuran juga tidak selalu dilakukan oleh para pelajar
tetapi terkadang antar warga pun melakukan tawuran, sehingga akhir-akhir ini
sudah tidak lagi menjadi pemberitaan dan pembicaraan yang asing lagi.
Kekerasan dengan cara tawuran sudah dianggap sebagai pemecah masalah yang
sangat efektif yang dilakukan oleh para remaja ataupun masyarakat. Hal ini
seolah menjadi bukti nyata bahwa seorang yang terpelajar pun leluasa
melakukan hal-hal yang bersifat anarkis, premanis, dan rimbanis. Tentu saja
perilaku buruk ini tidak hanya merugikan orang yang terlibat dalam perkelahian
atau tawuran itu sendiri tetapi juga merugikan orang lain yang tidak terlibat
secara langsung.
4. Pergaulan Bebas
Dewasa ini pergaulan bebas yang mengarah pada perilaku sex sudah menjadi
sesuatu yang biasa, padahal hal tersebut tidak boleh terjadi. Perubahan sosial
mulai terlihat dalam persepsi masyarakat yang pada mulanya menyakini seks
sebagai sesuatu yang sakral menjadi sesuatu yang tidak sakral lagi, maka saat ini
seks sudah secara umum meluas di permukaan masyarakat. Ditambah dengan
adanya budaya permisifitas seksual pada generasi muda tergambar dari pelaku
9
pacaran yang semakin membuka kesempatan untuk melakukan tindakan-
tindukan seksual juga adanya kebebasan seks yang sedang marak saat ini telah
melanda kehidupan masyarakat yang belum melakukan perkawinan. Bahkan
aktivitas seks pranikah tersebut banyak terjadi di kalangan remaja dan pelajar.
Pacaran merupakan hal yang sudah lazim di kalangan remaja saat ini. Cara
mereka mengisi pacaran pun bermacam-macam, mulai dari yang biasa sampai
yang luar biasa yang tidak diterima karena telah melanggar ketentuan norma
yang ada. Salah satu cara yang paling tidak diterima di masyarakat adalah seks
bebas.
5. Penggunaan Narkoba
Banyak remaja yang terjerumus mengikuti budaya asing yang tidak sesuai
dengan budaya Indonesia, misalnya seks pranikah dan maraknya
penyalahgunaan Narkoba. Penggunaan narkoba biasanya dimulai dengan coba-
coba yang bertujuan sekedar memenuhi rasa ingin tahu remaja, namun sering
keinginan untuk mencoba ini menjadi tingkat ketergantungan.
6. Meminum minuman keras
Pergaulan remaja juga berpotensi menimbulkan keresahan sosial karena tidak
sedikit para remaja yang terlibat pergaulan negatif mabuk-mabukan. Tindakan
ini selain mengganggu ketertiban sosial juga sangat merugikan kesehatan
mereka sendiri.
7. Membolos
Membolos sekolah adalah perbuatan yang menyia-nyiakan waktu dan
kesempatan yang bermanfaat. Membolos adalah budaya yang umum di
Indonesia. Orang dewasa pun melakukannya. Selain para pelajar yang membolos
ada juga para karyawan yang membolos pada saat jam kerja seperti nongkrong
diwarung atau belanja di pasar juga saat jam kerja. Dan hal inilah juga ditiru olah
para remaja.
10
membantu remaja menemukan nilai-nilai yang dapat diserap sebagai persiapan untuk
memasuki dunia kerja dan untuk hidup secara layak dalam Masyarakat. Berikut
upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan moral anak dan remaja, yaitu :
a. Pendidikan Moral
Pendidikan moral perlu memperhatikan aspek kognitif dan emosional yang
amat diperlukan bagi perkembangan kemampuan penalaran moral (Sofah,
Usman, & Putri, 2019). Guru memberikan masalah-masalah yang dapat
didiskusikan berkaitan dengan moral. Hal ini perlu dilakukan, sehingga remaja
dapat melihat berbagai alternatif sebelum akhirnya menetapkan nilai-nilai moral
yang akan dipegangnya sebagai konsekuensi dari kemampuan berpikir remaja
yang sudah mencapai kematangan.
b. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendekatan langsung untuk pendidikan moral yang
melonatkan pengajaran moral dasar untuk para siswa agar mencegah mereka
terlibat dalam perilaku tak bermoral dan melakukan hal yang berbahaya bagi
diri mereka sendiri dan/atau orang lain (Santrock. 2009). Setiap sekolah harus
mempunyai aturan moral yang eksplisit dikomunikasikan kepada para siswa
dengan jelas. Pelanggaran apa pun terhadap aturan tersebut haus mendapatkan
sanksi.
c. Klarifikasi Nilai-nilai Moral
Klarifikasi nilai didefinisikan sebagai pendekatan untuk pendidikan moral yang
menekanka pada membantu orang lain untuk mengklarifikasi tujuan hidup
mereka dan apa yang pantas diupayakan; siswa-siswa didorong untuk
mendefinisikan nilai-nilai mereka sendiri dan memahami nilai-nilai orang lain
(Santrock. 2009). Siswa didorong untuk mendefinisikan nilai mereka sendiri
dan untuk memahami nilai orang lain. Di dalam latihan klarifikasi nilai, tidak
ada jawaban yang benar maupun jawaban yang salah. Klarifikasi nilai
diserahkan sepenuhnya kepada diri siswa sendiri. Dengan kata lain, klarifikasi
nila bersifat relatif.
Jean Piaget, seorang psikolog perkembangan terkenal, menekankan bahwa
perkembangan moral berkorelasi dengan perkembangan kecerdasan individu.
menurut Jean Piaget (dalam Slavin 2011):
1. Pada tahap moralitas heteronom (0-5 tahun): Anak-anak pada tahap ini perlu
11
diberikan pemahaman tentang konsekuensi tindakan mereka. Ini dapat
dilakukan dengan memberikan penjelasan sederhana tentang apa yang benar dan
apa yang salah, dan mengapa beberapa tindakan dianggap baik dan beberapa
dianggap buruk.
2. Pada tahap moralitas otonom (lebih dari 5 tahun): Anak-anak pada tahap ini
mulai memahami bahwa aturan dibuat oleh manusia dan bisa diubah. Oleh
karena itu, mereka perlu diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
proses pembuatan aturan. Ini bisa melibatkan diskusi tentang aturan di rumah
atau di sekolah, dan membiarkan mereka memberikan masukan.
3. Menurut Piaget, perkembangan moral berkorelasi dengan perkembangan
kecerdasan. Oleh karena itu, penting untuk merangsang perkembangan kognitif
anak-anak. Ini bisa melibatkan berbagai aktivitas yang merangsang pemikiran
kritis, seperti permainan teka-teki, membaca, dan diskusi tentang berbagai
topik.
4. Piaget juga menekankan pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan
moral. Mendorong anak-anak untuk berinteraksi dengan orang lain dan berbagi
pengalaman dapat membantu mereka memahami perspektif orang lain dan
mengembangkan rasa empati.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Moral merupakan ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan,
akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan kehidupan yang dinilai
dari baik buruknya perbuatan selaku manusia. Pendidikan moral menyangkut
pembinaan sikap dan tingkah laku moral yang baik atau budi pekerti yang baik.
Tingkah laku moral khas remaja adalah remaja memahami bahwa moral
muncul karena adanya kesepakatan bersama dari setiap orang dan dengan kesadaran
sendiri atau otonom tunduk kepada moral yang disepakati itu. Faktor yang
memengaruhi perkembangan moral anak dan remaja dapat berupa faktor biologis,
keluarga, pendidikan, teman sebaya, budaya, dan lingkungan sosial. Penyimpangan
tingkah laku moral anak dan remaja dapat berwujud sebagai kenakalan atau
kejahatan, seperti perundungan, pemerkosaan, tawuran, pergaulan bebas,
penggunaan narkoba, meminum minuman keras, dan membolos. Untuk mengatasi
penyimpangan dalam pengembangan moral anak dan remaja tersebut terdapat upaya
atau usaha yang dapat dilakukan oleh guru baik melalui pendidikan karakter,
pendidikan moral, maupun pendekatan klarifikasi nilai-nilai moral.
3.2 Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, M., & Jusuf, M. (2002). Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Ahmadi, A., dkk. (2005). Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Budiningsih, A., dkk. (2001). Faktor-faktor yang berhubungan dengan tahap
penalaran moral remaja: analisis karakteristik siswa SLTP dan SMU di
Jawa. DCRG, Proyek Penelitian Untuk Pengembangan
Pascasarjana/URGE. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.
Darmadi, H. (2009). Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta.
Dharma, K. (2012). Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mitchell, J. (1975). Moral Growth During Adolescence. Adolescence, 21-22
Morris, A. S., Eisenberg, N., & Houltberg, B. J. (2011). Adolescent Moral
Development. Encyclopedia of Adolescence, 1, 48-55. doi:10.1016/B978-0-
12-373915-5.00027-9
Narwati, S. (2011). Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Familia.
Nurul, Z. (2008). Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan.
Jakarta: PT Bumi Akasa.
Piaget, J. (1932). The moral juggment of the child. Glencoe: The Press.
Santrock, J. W. (2009). Psikologi Pendidikan (3 ed.). (R. Oktaviani, Penyunt., & D.
Angelica, Penerj.). Jakarta : Penerbit Salemba Humanika.
Slavin, R. (2011). Cooperatif Learning : Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.
Sofah, R., Usman, N., & Putri, R. M. (2019). Perkembangan Peserta Didik.
Palembang : SIMETRI.
14