Anda di halaman 1dari 32

KONSEP PERKEMBANGAN MORAL ANAK

BERDASARKAN TINGKAT USIA

MAKALAH

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan mata kuliah


Keperawatan anak sehat dan sakit akut

Disusun Oleh :
Kelompok 5

Ahmad Fajra (221211982)


Apridiah Rahmah Pertiwi (221211986)
Atikah Prima Julyah (221211987)
Azzah Shalwiyah (221211989)
Dessy Kashariyanti (221211994)
Haini (221212003)
Ingri Rahmadani (221212005)
Kurnia Purnama Sari T (221212007)
Mira Andika (221212009)
Nofrihan (221212018)

Dosen Pengampu:

Ns.Velga Yazia,M.Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, Penulis
dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Selawat beriringan
salam semoga terurah kepada nabi Muhammad Saw. Sebagai uswatun hasanah dari dunia sampai
ke akhirat. Penulisan makalah ini dapat terlepas dari segala karunia dan nikmat tuhan yang
senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulisan makalah ini terencanakan dengan baik.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi sebagian tugas mata kuliah Keperawatan Anak sehat dan sakit
akut. Makalah ini berjudul “Konsep perkembangan moral anak berdasarkan tingkat usia”
Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dari dosen
pengampu Mata kuliah. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibuk
pengampu mata kuliah atas arahan,bimbingan, dan dorongannya kepada penulis sehingga makalah
ini dapat penulis selesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan. Selanjutnya, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sekelompok atas kerja samanya dalam
penyelesaian makalah ini dengan baik.

Padang,6 Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang............................................................................................................

2. Rumusan Masalah.......................................................................................................

3. Tujuan Penulisan........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

1. Hakikat Perkembangan Moral.................................................................................

2. Teori Psikoanalisa tentang Perkembangan Moral

3. Tahapan-Tahapan Moral Anak................................................................................

4. Faktor yang mempengaruhi perkembangan moral..................................................

5. Kesenjangan antara pengetahuan moral dengan perilaku moral anak.....................

6. Pelanggaran moral yang umum terjadi pada anak...................................................

7. Upaya pengembangan moral serta implikasinya.....................................................

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan..............................................................................................................

2. Saran........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Di dalam kehidupan bermasyarakat arti nilai sebuah moral sangat penting.Dalam
hal ini orang dapat dikatakan bermoral apabila dalam menjalani kehidupan sesuai dengan
aturan yang berlaku, dalam kehidupan manusia tidak bias hidup sendiri atau dengan kata
lain manusia dengan manusia yang lain melakukan interaksi. Pengalaman berinteraksi
dengan orang lain menjadi pemicu dalam memahami tentang perilaku mana yang baik
dikerjakan dan yang tidak baik dikerjakan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan
untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral
Perkembangan moral merupakan proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang
anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini
berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. perkembangan itu sendiri merupakan
proses perubahan kualitatif yang mengacu pada kualitas fungsi organ-organ jasmaniah,
dan bukan pada organ jasmani tersebut, sehingga penekanan arti perkembangan terletak
pada kemampuan organ psikologis. Selain itu perkembangan moral hampir dapat
dipastikan merupakan perkembangan sosial, sebab perilaku moral pada umumnya
merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan
berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku
moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan
diperlukan Seperti dalam proses perkembangan yang lannya, proses perkembangan moral
selalu berkaitan dengan proses belajar, belajar itu sendiri memiliki tujuan untuk memenuhi
kebutuhan yang belum terpenuhi dengan kompetensi-kompetensi yang dimiliki.
Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas
proses belajar (khususnya belajar sosial), baik di lingkungan sekolah, keluarga maupun di
lingkungan masyarakat. Jadi proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam
bersikap dan berprilaku social yang selaras dengan norma,moral,agama,moral
tradisi,moral hokum,dan norma moral yang berprilaku dalam masyarakat.

2. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut.

1. Apa hakikat perkembangan moral peserta didik?

2. Apa saja teori perkembangan moral?

3. Bagaimana tahap-tahap perkembangan moral anak?

4. Faktor apa yang mempengaruhi perkembangan moral anak?

5. Faktor apa yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan antara pengetahuan moral


dengan perilaku moral anak?

6. Bagaimana pelanggaran moral yang umum terjadi pada anak?


7. Bagaimana upaya pengembangan moral anak?

3. Tujuan penulisan
 Tujuan Umum

Menjelaskan kepada pembaca tentang perkembangan moral.

 Tujuan Khusus

a. Menjelaskan kepada pembaca mengenai hakikat perkembangan moral peserta didik.

b. Menjelaskan kepada pembaca mengenai teori perkembangan moral.

c. Menjelaskan kepada pembaca mengenai tahap-tahap perkembangan moral anak

d. Menjelaskan pada pembaca mengenai factor factor yang mempengaruhi


perkembangan moral anak.

e. Menjelaskan kepada pembaca mengenai factor-faktor yg mempengaruhi kesenjangan


antara moral dengan perilaku moral anak.

f. Menjelaskan pada pembaca mengenai pelanggaran moral yang umum terjadi pada
anak.

g. Menjelaskan kepada pembaca mengenai upaya pengembangan moral anak.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Hakikat Perkembangan Moral


Istilah moral berasala dari bahsa Latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan,
adat istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa, 1986). Moral pada dasarnya merupakan rangkaian
nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi (Shaffer, 1979). Moral
merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam
hubungannya dengan kelompok social dan masyarakat. Moral merupakan standar baik dan
buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai
anggota socialMoralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukana seseorang dalam
kaitannya dengan kehidupan social secara harmonis, adil, seimbang. Perilaku moral
diperlukan demi terwujudnya kehidupna yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan
keharmonisan (Ali, 2012).
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang
lain (Santrock, 2003). Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi
dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya,
atau guru), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik yang boleh dikerjakan
dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan (Desmita, 2012).
Komponen-komponen moral terdiri dari 3 hal, yakni :
a. Kognitif (Teori: Piaget dan Kohlberg)
Moral Judgement cara seseorang mengkonseptualisasikan benar salah dan
membuat keputusan tentang bagaimana bertindak.

b. Afektif (Teori: Freud)


Moral feeling (perasaan) mengenai benar salahnya yg menyertai tindakan yg
diambil dan memotivasi pikiran dan tindakan tentang moral. Perasaan seseorang
jika melakukan kesalahan adanya rasa bersalah/tidak. Freud menerangkannya
melalui masa oedipal dimana pada masa ini anak melakukan identifikasi dengan
salah satu orangtuanya sehingga terbentuk orangtua dalam diri anak. Orangtua

dalam diri anak inilah yang akan menghukum (menimbulkan perasaan bersalah)
bila anak melanggar. Selanjutnya setelah terjadi internalisasi, apakah anak akan
bertingkah laku benar atau tidak tidak ditentukan oleh identifikasi tersebut tetapi
oleh kekuatan egonya (apakah egonya mengikuti kataorangtua dalam
dirinya atau tidak
c. Perilaku (Teori :Behavioristik)
Moral behavior bagaimana seseorang bertindak ketika mengalami
kebimbangan/godaan untuk berlaku bohong, curang atau perbuatan yang
melanggar moral. Didasari oleh teori Social LearningPembicaraan berpusat pada
dapatkah tingkah laku anak sesuai dengan keadaan internalnya. Hobart Mowrer
menerangkan tentang internalisasi aturan-aturan dengan memakai dasar teori
Classical conditioning. Contoh: jika anak merasa enak ketika diberi makan maka
akan mengembangkan perasaan anak terhadap ibuKedekatan dengan ibu menjadi
pemicu timbulnya perasaan enak pada anak. Prinsip ini digunakan untuk
menerangkan internalisasi aturan. Jika anak bertingkah laku tidak baik dan dapat
hukuman akan timbul rasa tidak enak. Rasa ini menyertai tingkah lakunya (anak
tidak akan melakukan tingkah laku itu). Jadi, internalisasi aturan berbentuk tingkah
laku yang menghindari, yaitu menghindari tingkah laku yang tidak disukai
lingkungan. Metode untuk menanamkan tingkah laku adalah melalui reward dan
punishment. Menurut Albert Bandura aturan-aturan (benar-salah) untuk
mengontrol tingkah laku anak diperoleh melalui proses modelling. Anak belajar
benar-salah diberitahu secara khusus oleh orangtua dengan cara mencontoh
perilaku mereka (orangtua teladan anak) (Harahap, Tanpa Tahun).

Menurut Harahap (Tanpa Tahun) perkembangan moral memiliki 2 dimensi


yaitu (1) dimensi intrapersonal, dimensi ini mengatur atau mengarahkan aktivitas
orang tersebut saat dia tidak terlibat dalam interaksi sosial (aturan/nilai dasar dan
penilaian diri individu); (2) dimensi interpersonal, dimensi ini mengatur interaksi
sosial individu dengan orang lain dan menengahi konflik, titik perhatiannya adalah
pada apa yang seharusnya dilakukan individu saat berinteraksi dengan orang lain.

2. Teori Psikoanalisa tentang Perkembangan Moral


a) TEORI-TEORI TENTANG PERKEMBENGAN MORAL
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan
pembagian struktur kepribadian manusia atas 3, yakni id, ego, dan superego. Id
adalah struktur kepribadian yang terdiri dari aspek biologis yang irasional dan tidak
disadari. Ego adalah kepribadiana yang terdiri dari aspek psikologis, yaitu
subsistem ego yang rasional dan disadarinamun tidak memiliki moralitas. Superego
adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem nilai
dan moral yang benar-benar memperhitungkan "benar" dan "salahnya" sesuatu
(Desmita, 2012).
Menurut psikoanalisa klasik Freud, semua orang mengalami konflik
Oedipus. Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur kepribadian yang
dinamakan Freud sebagai superego. Salah satu alasan mengapa anak mengatasi
konflik Oedipus adalah perasaan khawatir akan kehilangan kasih saying orang tua
dan ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual mereka yang tidak dapat
diterima terhadap orang tua yang berbeda jenis kelamin. Untuk mengurangi
kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan kasih sayang orang tua,
anak-anak membentuk suatu superego dengan mengidentifikasi standar-standar
benar dan salah orang tua (Desmita2012).
Struktur superego ini mempunyai dua komponen, yaitu ego ideal kata hati
(conscience). Kata hati menggambarkan bagian dalam atau kehidupan mental
seseorang, peraturan-peraturan masyarakat, hokum, kode, etika, dan moral. Pada
usia kira-kira 5 tahun perkembangan superego secara khas akan menjadi sempurna.
Ketika hal ini terjadi, maka suara hati terbentuk. Ini berarti bahwa pada usia sekitar
5 tahun orang sudah menyelesaikan pengembangan moralnya.
b) Teori Belajar Sosial tentaang Perkembangan Moral
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal
ini, proses-proses penguatan, penghukuman, dan peniruan digunakan untuk menjelaskan
prilaku moral anak-anak. Bila anak diberi hadiah atas perilaku yang sesuai dengan aturan
dan kontrak social, mereka akan dihukum atas perilaku yang tidak bermoral,maka perilaku
itu akan berkurang dan hilang (Desmita,2012).
c) Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral
Teori kognitif Piaget tentang perkembangan moral melibatkan prinsip- prinsip dan
proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya
tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui
aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan untuk menerima
dan mentaati system peraturan.

d) Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral


Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral
adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui disertasinya yang sangat monumental yang
berjudul The Development of Modes of Moral Thinking and Choice in the Years 10 to 16
yang diselesaikannya di University of Chicago pada tahun 1958, dia melakuakn penelitian
empiris lintas kelompok usia tentang cara pertimbangan moral terhadap 75 orang anak dan
remaja yang berasal dari daerah sekitar Chicago. Anak-anak dibagi kedalam tiga kelompok
usia, yaitu kelompok usia 10, 13, dan 16 tahun. Penelitiannya dilakukan dengan cara
menghadapkan para subjek penelitian/responden kepada berbagai dilema moral dan
selanjutnya mencatat semua reaksi mereka. Dalam pandangan Kohlberg, sebagaimana
sebagaimana juga pandangan Jean Piaget salah seorang yang sangat dikaguminya bahwa
berdasarkan penelitiannya, tampak bahwa anak-anak dan remaja menafsirkan segala
tindakan dan perilakunya sesuai dengan struktur mental mereka sendiri dan menialai
hubungan social dan perbauatan tertentu sebagai adil atau tidak adil, baik atau buruk juga
seiring dengan tingkat perkembangan atau struktur moral mereka masing masing
(Ali,2012).
Berdasarkan penelitainnya itu, Kohlberg (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai
berikut:
a. Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan
moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung
suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilemma moral dan bersifat
kondtruktif kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing
masing individu sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak,
kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan
adil. Kesemuanya merupakan tindakan kognitif.
b. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan
pandangan formal harus diuraikan dan biasanya digunakan remaja untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.
c. Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur
16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral
sebagimana penelitian piaget membuktikan, bahwa baru pada masa remaja
pola pemikiran operasional-formal berkembang. Demikian pula Kohlberg
menunjukkan adanya kesejajaran antara perkembangan moral, yaitu bahwa
pada masa remaja dapat juga dicapai tahap tertinggi perkembangan moral,
yang ditandai dengan kemampuan remaja menerapkan prinsip keadilan
universal pada penilaian moralnya (Ali, 2012).

Kohlberg setuju dengan piaget yang menjelaskan bahwa sikap moral bukan
hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperolah dari pengalaman. Tetapi, tahap-
tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan dari anak-anak. Anak-
anak memang berkembang melalui interaksi social, namun interaksi ini
memiliki corak khusus, dimana factor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut
berperan (Desmita2012).
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah
orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan
dibedakan dengan tingkah laku moral daam arti perbuatan nyata. Semakin
tinggi tahap perkembangan moral seseorang, akan semakin terlihat lebih mantap
dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.
Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis
yang dihadapi seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral
atas tiga tingkatan (level),yang kemudian dibagi lagi menjadi enam
tahap(Desmita,2012).

3. TAHAPAN-TAHAPAN MORAL ANAK


Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada anak- anak. Anak
memang berkembang melalui interaksi sosialtetapi interaksi ini mempunyai mempunyai corak
yang khusus di mana faktor pribadi, faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut
berperan. Dalam perkembangan moral, Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang
berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Panahapan yang dikemukakan bukan mengenai
sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang mendasarinya. Moral
yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh
perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh PiagetMakin tinggi tingkat penalaran
seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi pula tingkat moral
seseorang.
Menurut Kohlberg, faktor kebudayaan mempengaruhi perkembangan moral, terdapat
berbagai rangsangan yang diterima oleh perkembangan moral, terdapat berbagai rangsangan
yang diterima oleh anak-anak dan ini mempengaruhi tempo perkembangan moral. Bukan saja
mengenai tempo perkembangan moral. Bukan saja mengenai cepat atau lambatnya tahap-
tahap yang dapat dicapai. Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar belakang
kebudayaan tertentu.
Konsep kunci atau utama dalam memahami perkembangan moral adalah proses
internalisasi, yaitu perubahan yang terjadi dalam perkembangan di mana awalnya perilaku itu
dikendalikan oleh kekuatan di luar diri individu menjadi dikendalikan oleh standar dan
prinsip-prinsip internalTeori Kohlberg muncul. berdasarkan jawaban yang diberikan orang-
orang saat ditanya bagaimana pendapat mereka tentang cerita "Kohlberg Moral Dilemmas"
(Harahap, Tanpa Tahun). Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus
dilematis yang dihadapi seseorang, Kohlberg mengklasifi kasikan perkembangan moral atas
tiga tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (Desmita,2012).
a. Tingkat 1 Pra-Konvensional (4-9)
Tidak adanya internalisasi terhadap nilai nilai moral.penilaian tentang moral didasarkan
pada hadiah atau hukuman yang berasal dari luar dirinya Menilai moralitas dari suatu
tindakan berdasarkan konsekuensi fisik perbuatannya secara langsung. Tingkah laku
individu tunduk pada peraturan dari luar -bukan dari standar dirinya.

-Stadium 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman


Individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang
dirasakan sendiri (akibat fisik). Anak berorientasi pada hukuman; Anak patuh karena takut
dihukum. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut
pandang dirinya (egosentris).

-Stadium 2. Orientasi minat pribadi (Apa untungnya buat saya?)


Perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Kurang menunjukkan
perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh
terhadap kebutuhannya sendiri. Anak menyesuaikan diri terhadap harapan sosial untuk
memperoleh penghargaan. Contohnya adalah anak aktif sesuai anjuran guru agar dipuji (Harahap,
Farida). Dalam tahap ini anak mengikuti apa yang dikatakan baik atau buruk untuk memperoleh
hadiah atau menghindari hukuman. Hal ini disebut hedonisme instrumental. Sifat timbal balik
disini memegang peranan, tetapi masih dalam arti "moral balas dendam" (Suciati, 2009)

b. Tingkat 2 Konvensional (10-15 tahun)


Ada proses internalisasi, hanya masih sebagian atau sedang. Penilaian individu sebagian
didasarkan oleh standar pribadi (internal) tapi ada juga yang berdasarkan standar orang lain
(orangtua). Umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini
menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya pada pandangan dan
harapan masyarakat (bersifat konformitas).

-Stadium 3.Orientasi keserasian interpersonal dan konfirmitas (Sikap anak baik)


Seorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial.individu mau menyesuaikan dengan
orang orang lain karena hal tersebut memfleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya.Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut
(Harahap, Tanpa Tahun). Sesuatu dinilai baik jika itu menyenangkan dan disetujui oleh orang lain
dan buruk apa yang ditolak oleh orang lain. Menjadi "anak manis" masih sangat penting dalam
periode ini (Suciati, 2009).
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal. Keinginan untuk mematuhi aturan dan
otoritas hanya untuk menghindari penolakan orang lain terhadap peran sosialnya (Harahap, Tanpa
Tahun).

-Stadium 4.Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (Moralitas hokum dan aturan)
Tumbuh semacam kesadaran akan aturan yang ada karena dianggap berharga tetapi dengan
belum dapat mempertanggungjawabkan secara pribadi (Suciati, 2009)Penting untuk mematuhi
hukum, keputusan, dan konvensi social karena berguna dalam memelihara fungsi dari
masyarakat (ketertiban). Penalaran moral dalam stadium empat lebih dari sekedar kebutuhan
akan penerimaan. individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi
kebutuhan pribadi. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan
begitu sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang
melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang
signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik(Harahap, Tanpa
Tahun).
Colby and Kohlberg dalam Lickona (1976) mengatakan bahwa individu yang berada pada
tahap tingkat konvensional (tahap 3 dan 4). Bila dihadapkan kasus yang seperti berikut ini
misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan
bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia
sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur. Hal ini tentu saja akan menimbulkan
konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi
sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya.Kemungkinan remaja
untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang dinamakan oleh orangtua atau pendidik sejak
masa kanak-kanak dan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan
penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-
nilai tersebut (Papalia, D.E& Olds, S.W. 1995).

c. Tingkat 3 Pasca-Konvensional (> 16 tahun)


Proses internalisasi sudah terjadi secara utuh dan penilaian moral tidak lagi
menggunakan standar orang lain. Mengenali adanya alternative dalam memberikan penilaian,
mengeksplorasi setiap alternatif dan akhirnya memutuskan mana yang paling pas sesuai
dengan nilai pribadi yang diyakininya (Harahap, Tanpa Tahun). Pasca-konvensional
menunjukan bahwa dalam tahap operasional formal moral akhirnya akan berkembang sebagai
pendirian pribadi jadi lebih baik tidak tergantung daripada pendapatpendapat konvensional
yang ada (dalam Monks & dkk, 2002).
Prinsip-prinsip moral diterima atas kehendaknya sendiri. Kenyataan bahwa individu-
individu adalah identitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif
seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat 'hakekat diri mendahului orang
lain' ini membuat tingkatan pasca- konvensional sering tertukar dengan perilaku
prakonvensional (Harahap, Tanpa Tahun).
-Stadium 5.Orientasi kontrak sosial
individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang
berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Kenyataannya,
tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau
yang lain tidak? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan
kaku. Aturan- aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan orang banyak. Anak patuh krn menghormati kepentingan bersama. Hal
tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis dampak berlandaskan pada penalaran tahap lima (Harahap,Tampa
Tahun).
-Stadium 6.Prinsip etika universal (Principal conscience =Berprinsip)
Penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika
universalHukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga
menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adilIndividu menyesuaikan diri
dengan standar sosial karena keinginan dari hati nuraninya sendiri, sbg perwujudan tanggung
jawab pribadi, bukan karena kecaman sosialnyaHal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa
yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan
bila berpikiran samaTindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan
tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benardan
bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legalatau sudah disetujui sebelumnya. Walau
Kohlberg yakin bahwa tahapan ini adaia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsistenTampaknya orang sukar bisa mencapai tahap enam dari model
Kohlberg ini (Harahap, Tanpa Tahun).
Perkembangan moral yang dasar utamanya adalah penalaran moral dijelaskan dalam
serangkaian tahapan-tahapan atau tingkatan (Harahap, Tanpa Tahun). Dalam konteks
perkembangan moral terdapat sejumlah tahap-tahap perkembang moral yang sangat terkenal, yaitu
yang dikemukakan oleh John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget, dan Lawrence
Kohlberg sendiri (1995). Tahap-tahap perkembangan moral sesuai dengan pandangan masing-
masing adalah sebagaimana dipaparkan berikut ini. John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh
Jean Piaget (Kohlberg, 1995) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral.

a. Tahap Pramoral
Ditandai bahwa anak belum menyadari keterkaitannya pada aturan. Bayi yang baru
lahir dikatakan belum memiliki moral karena belum memiliki pengetahuan dan
pengertian yang diharapkan oleh masyarakat di lingkungan ia hidup atau dapat disebut
dengan pramoral (Harahap, Tanpa Tahun).
b. Heteronomi (Berakhir pada usia 6-9)
Seorang anak belum bisa melihat tingkah laku dari intensinya.Jadi anak hanya bisa
melihat bahwa baik-buruk tingkah laku adalah akibat fisik yang harus diderita
seseorang.Pada saat ini aturan-aturan tidak bisa berubah dan diiikuti,selain itu aturan-
aturan ini tetap ada di manapun, kapanpun. (Harahap, Tanpa Tahun)
Dalam tahap berfikir ini, anak-anak menghormati ketentuan-ketentuan suatu
permainan sebagai sesuatu yang bersifat suci dan tidak dapat dirubah, karena berasal
dari otoritas yang dihormatinyaOleh karena itu jika seseorang melanggar aturan maka
ia mandapat hukuman (dari orang-orang yang dipandang mempunyai otoritas
sepertiorangtua, guru, dan sebagainya)Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan
immanen yaitu konsep bahwa suatu aturan dilanggar, maka hukuman akan segera
dijatuhkan. Mereka percaya bahwa pelanggaran diasosiasikan secara otomatis dengan
hukuman dan setiap pelanggaran akan dihukum menurut tingkat kesalahan yang
dilakukan seseorang anak dengan mengabaikan apakah kesalahan itu disengaja atau
kebetulan (Desmita, 2012).

Pada tahap Heteronomous morality, baik atau benarnya perilaku hanya dinilai
dengan mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan oleh perilaku tertentu, dan tidak
mempertimbangkan niat atau tujuan dari si pelaku Contoh: memecahkan gelas I dengan
sengaja dan memecahkan gelas 12 karena tidak sengaja, maka yang baik adalah yang
memecahkan satu (Harahap, Tanpa Tahun.

c. Otonomi (9-12 Tahun)


Pada saat ini seorang anak masih belum bisa melihat tingkah laku dari intensinya.
Awalnya seorang anak belum bisa mengerti bahwa aturan-aturan sosial bisa berubah-
ubah sesuai dengan kesepakatan kelompok. Kemudian pada tahap ini seorang anak
sudah mulai bisa menunjang kejujuran, keadilan dan aturan-aturan sebagai suatu dasar
untuk melakukan hubungan dengan orang lain. (Harahap, Tanpa tahun).
Pada tahap ini anak mulai saar bahwa aturan-aturan dan hokum-hukum merupakan
ciptaan manusia dan dalam menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus
mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya. Bagi anak-anak dalam tahap
ini, peraturan-peraturan hanyalah masalah kenyamanan dan kontrak social yang telah
disetujui bersama, sehingga mereka menerima dan merangkui perubahan menurut
kesepakatan.Dalam tahap ini,anak juga meninggalkan penghormatan kepada teman
sebayanya.Mereka Nampak membandel pada otoritas,serta lebih mentaati peraturan
kelompok sebaya atau pimpinannya (Desmita,2012).

4. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL ANAK


Arti perkembangan terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang
termanifestasi pada kemampuan organ fisiologis dan proses perkembangan akan
berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Dalam perkembangan tersebut dipengaruhi
oleh beberapa hal sebagai berikut :

a) Faktor Internal
Faktor internal yaitu faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi
pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri.
 Faktor Genetika (Hereditas)
Hereditas merupakan "totalitas karakeristik individu yang diwariskan orang tua kepada
anak, atau segala potensi baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa
konsepsi sebagai pewarisan dari pihak orang tua melalui gen- gen. Pada masa konsepsi
(pembuahan ovum oleh sperma), seluruh bawaaan hereditas individu dibentuk dari 23
kromosom (pasangan xx) dari ibu dan 23 kromosom (pasangan xy) dari ayah. Dalam 46
kromosom tersebut terdapat beribu-ribu gen yang mengandung sifat-sifat fisik dan psikis
individu atau yang memnentukan potensi-potensi hereditasnya.
Masa dalam kandungan dipandang sebagai periode yang kritis dalam perkembangan
kepribadian individu, sebab tidak hanya sebagai saat pembentukan pola-pola kepribadian,
tetapi juga sebagai masa pembentukan kemampun- kemampuan yang menentukan jenis
penyesuaian individu terhadap kehidupan setelah kelahiran. Pengaruh gen terhadap
kepribadian, sebenarnya tidak secara langsung, tetapi yang berpengaruh langsung dengan
gen adalah kualitas system syaraf, keseimbangan biokimia tubuh, dan struktur tubuh
(Sonhaji, 2013).

b) Faktor Eksternal
Faktor eksternal yaitu hal hal yang datang atau ada diluar diri siswa/peserta didik yang
meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi siswa tersebut
dengan lingkungan. Diantara faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan moral
peserta didik adalah :
• Lingkungan Sosial masyarakat
Lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan moral peserta didik,
karena lingkungan terdapat berbagai macam karakter masyarakat, sehingga berbagai
macam karakter itu sangat berpengaruh pada perkembangan moral.

• Cultural
Jika dihitung disekitar kita, ada berpuluh bahkan beratus kelompok masyarakat yang
masing-masing mempunyai kultur, budaya, adat istiadat, dan tradisi tersendiri, dan hal ini
jelas berpengaruh terhadap perkembangan moral peserta didik.

• Edukatif
Etik pergaulan / moral membentuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Melihat pendidikan adalah proses pengoperasian ilmu yang normatif, yang memberikan
warna kehidupan sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang
akan datang. Oleh karena itu Faktor pendidikan ini relatif paling besar pengaruhnya
dibandingkan dengan faktor yang lain.

• Religius
Proses pembentukan prilaku seorang anak dengan agama merupakan faktor penting
yang mempengaruhinya karena pondasi agama merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh dan berperan penting sebagai media kontrol dalam perkembangan peserta
didik (Sonhaji, 2013).

5. KESENJANGAN ANTARA PENGETAHUAN MORAL DENGAN PERILAKU


MORAL ANAK
Sering kali pada anak terjadi kesenjangan antara pengetahuan moralnya dengan perilaku
moral yang ditunjukkan. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor di bawah ini.

a. Faktor Kebingungan, disebabkan karena:


 konsep moral bersifat abstrak bagi dirinya
 terdapat kesenjangan (jarak) antara perkataan orangtiua dan orang lain yang
berwenang
 terdapat kesenjangan antara perilaku yang dilukiskan dalam media massa dan apa yang
diajarkan pada mereka tentang benar salah.
 konsep moral anak berbeda dengan konsep moral terhadap teman sebaya
 konsep moral bertentangan dengan konsep kejujuran, loyalitas dan kerjasama

b. Faktor Emosi
 Sewaktu marah anak mungkin malkakukan hal yang ia tahu itu salah untuk membalas
supaya orang lain marah.
c. Faktor Motivasi (Dorongan)
 Anak mungkin merasa bahwa berbuat sesuatu itu tidak benar, namun dapat
menguntungkan bagi mereka (Harahap, Tanpa Tahun).
6. PELANGGARAN MORAL YANG UMUM TERJADI PADA ANAK
Berikut ini merupakan beberapa pelanggaran moral yang umum terjadi pada anak.

a. Berbohong
Anak kecil yang berbohong biasanya tidak menipu, melainkan sedang mengkhayal. Pada anak
yang lebih besar berbohong karena rasa takut akan hukuman atau diejek.

b. Kecurangan
Kecurangan dalam bermain umumnya terjadi pada anak dari semua usia karena kemenangan
mempunyai nilai sosial yang tinggi.

c. Mencuri
Biasanya dilakukan anak kalau mereka tidak dapat memperoleh sesuatu yang dilakukan
dengan cara lain.

d. Merusak
Biasanya tidak dilakukan anak kecil, kecuali jika dilakukan secara pembalasan. Pada anak
yang lebih besar merusak sudah mulai dilakukan. Kalau terjadi kegiatan merusak biasanya
dilakukan oleh kelompok sebagai ekspresi kemarahan.

e. Membolos
Pada anak kecil, membolos biasanya karena takut masuk sekolah. Pada anak yang sudah besar
membolos karena tidak suka (Harahap,Tanda Tahun)

7. UPAYA PENGEMBANGAN MORAL SERTA IMPLIKASINYA


Perwujudan moral tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Apa yang terjadi di dalam diri
pribadi seseorang hanya dapat dikekari dengan cara-cara tidak langsung yakni dengan
mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkan dengan
gejala serta tingkah laku orang lain. Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan
moral. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan moral adalah:

a. Menciptakan komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang moral. Anak tidak pasif
mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan
norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Disekolah
para siswa hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral
misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia belajar tidak melakukan sesuatu yang akan
merugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma moral.

c. Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi


Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki sikap
dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup
dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen senantiasa mendukung bentuk
tingkah laku yang merupakan pencermminan nilai hidup tersebut. Ini berarti hendaknya tidak
hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual semata-semata tetapi juga
mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif dimana factor-faktor lingkungan itu sendiri
merupakan pejelmaan yang kongkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan
merupakan factor yang cukup luas dan bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan
adalah lingkungan social terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai
pendidik dan Pembina yaitu orang tua dan guru.
BAB III
ASKEP TEORITIS

3.1 Teoritis Asuhan Keperawatan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)


3.1.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dalam proses pemberian asuhan keperawatan dimana
pengkajian ini merupakan tahap pengumpulan data dari berbagai sumber baik dari pasien langsung
maupun seseorang yang dapat memberikan informasi secara akurat. Tujuan dari pengkajian sendiri
untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan pasien baik secara fisik, mental maupun
emosional. Informasi ini digunakan untuk menentukan diagnosa atau masalah keperawatan yang
muncul sesuai dengan kondisi pasien yang sedang dialami, dengan seperti itu perawat dapat
memberikan tindakan sesuai dengan masalah yang dialami pasien (Debora, 2013).
1. Pengumpulan data
a. Identifikasi pasien.
b. Keluhan utama pasien.
Pada pasien post operasi thyroidectomy keluhan yang dirasakan pada umumnya
adalah nyeri akibat luka operasi.
c. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya didahului oleh adanya pembesaran nodul pada leher yang semakin
membesar sehingga mengakibatkan terganggunya pernafasan karena penekanan
trakhea eusofagus sehingga perlu dilakukan operasi.
d. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit
gondok, misalnya pernah menderita gondok lebih dari satu kali, tetangga atau
penduduk sekitar berpenyakit gondok.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Dimaksudkan barangkali ada anggota keluarga yang menderita sama dengan pasien
saat ini.
f. Riwayat psikososial
Akibat dari bekas luka operasi akan meninggalkan bekas atau sikatrik
sehingga ada kemungkinan pasien merasa malu dengan orang lain.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis
dengan tanda- tanda vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang berubah.
b. Kepala dan leher
Pada pasien dengan post operasi thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka
operasi yang sudah ditutup dengan kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta
terpasang drain. Drain perlu diobservasi dalam dua sampai tiga hari.
c. Sistem pernafasan
Biasanya pernafasan lebih sesak akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi,
atau karena adanya darah dalam jalan nafas.
d. Sistem Neurologi
Pada pemeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri akan didapatkan ekspresi
wajah yang tegang dan gelisah karena menahan sakit.
e. 2.5 Sistem gastrointestinal
Komplikasi yang paling sering adalah mual akibat peningkatan asam lambung
akibat anestesi umum, dan pada akhirnya akan hilang sejalan dengan efek anestesi yang
hilang.
f. Aktivitas/istirahat
Insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.
g. Eliminasi
Urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
h. Integritas ego
Mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.
i. Makanan/cairan
Kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak,
makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid.
j. Rasa nyeri/kenyamanan Nyeri orbital, fotofobia.
k. Keamanan
Tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium
(mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit
halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi,
iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang
menjadi sangat parah.
l. Seksualitas
Libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.
3.1.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu cara memfokuskan atau penilaian terhadap respon
pasien terhadap masalah yang muncul pada pasien baik aktual maupun risiko. Tujuan dilakukan
diagnosa keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan secara fokus sesuai dengan masalah
yang dialami pasien agar masalah yang muncul dapat diatasi dengan tepat (PPNI, 2017).
Berdasarkan sumber dari standart diagnosa keperawatan Indonesia maka pada kasus
anak dengan masalah demam typhoid dapat ditarik diagnose :
1. Gangguan citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh (prose penyakit)
2. Gangguan menelan b.d obstruksi mekanis
3.1.3 Intervensi Keperawatan
Sebelum merancang intervensi pada masalah Hipertermi maka ditentukan terlebih
dahulu tujuan dan kriteria hasil dari diberikannya intervensi hipertermi yang dapat dilihat
pada standar luaran keperawatan Indonesia.
No Diagnosa SLKI SIKI
1. Gangguan citra Setelah dilakukan Promosi Citra Tubuh
tubuh b.d keperawatan Observasi
perubahan fungsi selama ..x..jam  Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan
tubuh (prose diharapkan Citra tahap perkembangan
penyakit) Tubuh meningkat  Identifikasi budaya, agama, jenis kelamin,
dengan kriteria hasil : dan umur terkait citra tubuh
 Verbalisasi perasaan  Identifikasi perubahan citra tubuh yang
negative tentang mengakibatkan isolasi sosial
perubahan tubuh  Monitor frekuensi pernyataan kritik terhadap
menurun diri sendiri
 Melihat bagian tubuh  Monitor apakah pasien bisa melihat bagian
membaik tubuh yang berubah
 Meyentuh baguan Terapeutik
tubuh membaik  Diskusikan perubahan tubuh dan fungsinya
 Respon nonverbal  Diskusikan perbedaan penampilan fisik
pada perubahan tubuh terhadap harga diri
membaik  Diskusikan perubahan akibat pubertas,
kehamilan dan penuaan
 Diskusikan kondisi stres yang mempengaruhi
citra tubuh
 Diskusikan cara mengembangkan harapan
citra tubuh secara realistis
 Diskusikan persepsi pasien dan keluarga
tentang perubahan citra tubuh
Edukasi
 Jelaskan kepada keluarga tentang perawatan
perubahan citra tubuh
 Anjurkan mengungkapkan gambaran diri
terhadap citra tubuh
 Anjurkan menggunakan alat bantu
 Anjurkan mengikuti kelompok pendukung
 Latih fungsi tubuh yang dimiliki
 Latih peningkatan penapilan diri
 Latih pengungkapan kemampuan diri kepada
orang lain maupun kelompok
2. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Perawatan Diri : Makan/Minum
menelan b.d keperawatan Observasi
obstruksi selama ..x..jam  Identifkasi diet yang dianjurkan
mekanis diharapkan Status  Monitor kemampuan menelan
Menelan membaik  Monitor status hidrasi pasien, jika perlu
dengan kriteria hasil : Terapeutik
 Reflek menelan  Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
meningkat selama makan
 Kemampuan  Atur posisi yang nyaman untuk makan/minum
mengunyah meningkat  Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika
 Usaha menelan perlu
meningkat  Letakkan makanan di sisi mata yang sehat
 Gelisah menurun  Sediakan sedotan untuk minum, sesuai
 Penerimaan makanan kebutuhan
membaik  Siapkan makanan dengan suhu yang
 Kualitas suara meningkatkan nafsu makan
membaik  Sediakan makanan dan minuman yang disukai
 Berikan bantuan saat makan/minum sesuai
tingkat kemandirian, jika perlu
 Motivasi untuk makan di ruang makan, jika
tersedia
Edukasi
 Jelaskan posisi makanan pada pasien yang
mengalami gangguan penglihatan dengan
menggunakan arah jarum jam
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat, sesuai indikasi
3.1.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tindakan dari sebuah perencanaan. Tindakan keperawatan terdiri
dari tindakan mandiri (independen) dan kolaborasi (dependen). Tindakan mandiri merupakan
tindakan yang berasal dari keputusan sendiri. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang
berdasarkan hasil keputusan bersama dengan profesi lain (Tarwoto & Wartonah, 2015).
Mobilisasi yang dilakukan setiap 2-3 jam sekali dapat menurunkan risiko luka tekan
(Setyawati, 2015) sehingga dilakukan massase dan alih baring Perawatan luka dilakukan
untuk merawat luka serta dengan pemberian antiseptik dapat menjaga kontaminasi luka
terhadap infeksi (Mubarak, Chayatin, Susanto, 2015). Faktor yang mendukung tindakan
perawatan luka adalah adanya peralatan steril seperti kassa, gunting, pinset,serta spuit, kapas
alkohol. Perawatan luka yang dilakukan menggunakan antibiotik metronidazol dan NaCl.
Metronidazol adalah senyawa nitroimidazol yang mempunyai kandungan anti protozoa dan
anti bakterial. Metronidazol juga akan mengurangi perkembangan bakteri pengganggu proses
penyembuhan luka. Sedangkan NaCl berfungsi untuk regulasi tekan osmosis dan
pembentukan potensial listrik yang diperlukan dalam kontraksi otot serta penyampaian impuls
saraf (Supriyatin, Saryono, & Latifah, 2007).
Setelah dilakukan perawatan luka selama tiga hari, terbukti bahwa penggunaan NaCl
dan metronidazolesecara baik dan benar akan mempercepat penyembuhan ulkus diebetikum
dengan hasil pus berkurang, bau berkurang, jaringan memerah dan proses penyembuhan mulai
membaik (Kustianingsih, 2016).
3.1.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah suatu proses yang terencana dan sistematis dalam mengumpulkan,
mengorganisis, menganalisis, dan membandingkan status klien dengan kriteria hasil yang
diinginkan serta menilai beberapa derajat pencapaian hasil klien. Evaluasi memiliki beberapa
tujuan, tujuan utamanya adalah menentukan kemajuan klien dalam mencapai kriteria hasil
yang sudah dirancang. Tujuan penting lainnya adalah menilai efektivitas komponen proses
keperawatan dalam membantu klien mencapai kriteria hasil.
Untuk memudahkan perawat mengevaluasi atau memantau perkembangan klien
dengan menggunakan komponen SOAP yakni S (data subyektif: berupa keluhan klien), O
(data obyektif: hasil Pemeriksaan), A (Analis pembanding data dengan teori), dan P (Planning
atau perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan).

3.2 Teoritis Asuhan Keperawatan Demam Typhoid


3.2.1 Pengkajian
Dokumentasi pengkajian keperawatan merupakan catatan tentang hasil pengkajian
yang dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi dari pasien, membuat data dasar tentang
pasien, dan membuat catatan tentang respons kesehatan pasien. Pengkajian yang
komprehensif atau menyeluruh, sistematis yang logis akan mengarah dan mendukung pada
identifikasi masalah-masalah pasien. Masalah-masalah ini dengan menggunakan data
pengkajian sebagai dasar formulasi yang dinyatakan sebagai diagnose keperawatan (Dinarti &
Mulyanti, 2017).
1. Identitas
Klien Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, jenis kelamin, usia, agama,
suku bangsa, Pendidikan nomor registrasi, dan penanggung jawab (Nurarif A.H, 2019).
2. Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan oleh klien yaitu panas naik turun,
yang menyebabkan klien datang ke Rumah Sakit. Pada anak jika anak yang sadar dapat
langsung ditanyakan pada klien tetapi jika anak yang tidak dapat berkomunikasi keluhan
dapat ditanyakan pada orangtua klien yang sering berinteraksi dengan klien (Nurarif A.H,
2019).
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya pada anak dengan masalah demam typhoid ditemukan adanya keluhan
klien yang mengalami peningkatan suhu tubuh >37,5℃ selama lebih dari 1 minggu,
disertai menggigil, malaise dan penurunan nafsu makan. Naik turunnya panas terjadi pada
waktu pagi dan sore dan berlangsung selama lebih dari 1 minggu (Nurarif A.H, 2019).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu meliputi hal yang ada hubungannya dengan penyakit
sekarang, seperti riwayat apakah pernah mengalami penyakit demam typhoid sebelunya
karena pada kasus demam typhoid 31 seseorang yang pernah mengalami demam typhoid
tidak menutup kemungkinan dapat terkena penyakit demam typhoid kembali. e) Riwayat
kesehatan keluarga Riwayat keluarga untuk penyakit-penyakit yang herediter/familier
(Moelya et al., 2019).
5. Pemeriksaan Fisik pada anak
Menurut (Moelya et al., 2019) untuk melakukan pemeriksaan fisik pada anak
diperlukan pendekatan khusus, baik terhadap pasien maupun terhadap orang tuanya.
Berbeda dengan orang dewasa, pendekatan pemeriksaan pada anak tergantung pada umur,
keadaan fisik dan psikis anak. Cara pemeriksaan fisik pada anak umumnya sama dengan
cara pemeriksaan pada orang dewasa, yaitu dimulai dengan general survey atau keadaan
umum, pemeriksaan tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pemeriksaan fisik
pada anak meliputi :
a. Pemeriksaan tanda vital yaitu Nadi, Tekanan darah (manset harus sesuai dengan umur),
frekuensi napas, suhu.
b. Pengukuran panjang badan anak.
c. Pengukuran lingkar kepala anak.
d. Pengukuran lingkar lengan anak.
e. Pengukuran dada anak.
Adapun pemeriksaan fisik menurut (Nurarif A.H, 2019) pada Klien demam thypoid
di peroleh hasil sebagai berikut :
a. Keadaan umum : klien tampak lemas Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital : Suhu tubuh tinggi >37,5°C, nadi dan frekuensi nafas menjadi
lebih cepat.
b. Pemeriksaan kepala
Inspeksi : Pada klien demam thypoid umumnya bentuk kepala normal, rambut
tampak kotor dan kusam
Palpasi : Pada pasien demam thypoid dengan hipertermia umumnya terdapat nyeri
kepala.
c. Mata
Inspeksi : Pada klien demam thypoid dengan serangan berulang umumnya salah
satunya, besar pupil tampak isokor, reflek pupil positif, konjungtiva anemis,
adanya kotoran atau tidak
Palpasi: Umumnya bola mata teraba kenyal dan melenting.
d. Hidung
Inspeksi : Pada klien demam thypoid umumnya lubang hidung simetris, ada
tidaknya produksi secret, adanya pendarahan atau tidak, ada tidaknya gangguan
penciuman.
Palpasi: Ada tidaknya nyeri pada saat sinus di tekan.
e. Telinga
Inspeksi : Pada klien demam thypoid umumnya simetris, ada tidaknya serumen.
Palpasi : Pada klien demam thypoid umumnya tidak terdapat nyeri tekan pada
daerah tragus.
f. Mulut
Inspeksi : Lihat kebersihan mulut dan gigi,pada klien demam thypoid umumnya
mulut tampak kotor, mukosa bibir kering.
g. Kulit dan Kuku
Inspeksi : Pada klien demam thypoid muka tampak pucat, Kulit kemerahan,
turgor kulit menurun.
Palpasi : Pada klien demam thypoid akral hangat dan Capillary Refill Time (CRT)
kembali <2 detik.
h. Leher
Inspeksi : Pada klien demam thypoid pumumnya kaku kuduk jarang terjadi, lihat
kebersihan kulit sekitar leher.
Palpasi : Ada tidaknya bendungan vena jugularis, ada tidaknya pembesaran
kelenjar tiroid, ada tidaknya deviasitrakea.
i. Thorax(dada) Paru-paru
Inspeksi : Tampak penggunaan otot bantu nafas diafragma, tampak Retraksi
interkosta, peningkatan frekuensi pernapasan, sesak nafas
Perkusi : Terdengar suara sonor pada ICS 1-5 dextradan ICS 1-2 sinistra
Palpasi : Taktil fremitus teraba sama kanan dan kiri, taktil fremitus teraba lemah
Auskultasi : Pemeriksaan bisa tidak ada kelainan dan bisa juga terdapat bunyi
nafas tambahan seperti ronchi pada pasien dengan peningkatan produksi secret,
kemampuan batuk yang menurun pada klien yang mengalami penurunan
kesadaran.
j. Abdomen
Inspeksi : Persebaran warna kulit merata, terdapat distensi perut atau tidak, pada
klien demam thypoid umumnya tidak terdapat distensi perut kecuali ada
komplikasi lain.
Palpasi : Ada/tidaknya asites,pada klien demam thypoid umumnya terdapat nyeri
tekan pada epigastrium, pembesaran hati (hepatomegali) dan limfe
Perkusi : Untuk mengetahui suara yang dihasilkan dari rongga abdomen, apakah
timpani atau dullness yang mana timpani adalah suara normal dan dullness
menunjukan adanya obstruksi.
Auskultasi : Pada klien demam thypoid umumnya, suara bising usus normal
>15x/menit.
k. Musculoskeletal
Inspeksi :Pada klien demam thypoid umumnya, dapat menggerakkan ekstremitas
secara penuh.
Palpasi : Periksa adanya edema atau tidak pada ekstremitas atas dan bawah. Pada
klien demam thypoid umumnya, akral teraba hangat, nyeri otot dan sendi serta
tulang.
l. Genetalia dan Anus
Inspeksi : Bersih atau kotor, adanya hemoroid atau tidak, terdapat perdarahan atau
tidak, terdapat massa atau tidak. Pada klien demam thypoid umumnya tidak
terdapat hemoroid atau peradangan pada genetalia kecuali klien yang mengalami
komplikasi penyakit lain.
Palpasi : Terdapat nyeri tekanan atau tidak. Pada klien demam thypoid
umumnya,tidak terdapat nyeri kecuali klien yang mengalami komplikasi penyakit
lain.
m. Data Penunjang
Menurut (Nurarif A.H, Kusuma H, (2016) Pemeriksaan penunjang demam
thypoid yaitu pemeriksaan darah perifel lengkap : Bisa ditemukan leukopeni,
leukositosis atau leukosit (bisa terjadi walaupun tanda disertai infeksi skunder).
1) Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Pemeriksaan SGOT dan SGPT sering meningkat, bisa kembali normal setelah
sembuh, dan tidak membutuhkan penanganan khusus.
2) Pemeriksaan uji widal
Mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri salmonella thypi maka dilakukan
uji widal.
3) Kultur
Kultur darah : pada minggu pertama bisa positif Kultur urine : pada
minggu kedua bisa positif
Kultur feses : dari minggu kedua sampai minggu ketiga bisa positif.
4) Uji Typhidot
Pemeriksaan dilakukan untuk mendeteksi IgM dan IgG terhadap infeksi
salmonella typhi, dan akan terjadi demam pada hari 3-4 dikarenakan
munculnya antibody.
3.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan dasar dalam penyusunan rencana tindakan asuhan
keperawatan. Diagnosis keperawatan sejalan dengan diagnosis medis sebab dalam
mengumpulkan data-data saat melakukan pengkajian keperawatan yang dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosa keperawatan ditinjau dari keadaan penyakit dalam diagnosa medis
(Dinarti & Mulyanti, 2017).
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) adalah tolak ukur atau acuan yang
digunakan sebagai pedoman dasar penegakan diagnosis keperawatan dalam rangka
memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif dan etis (PPNI, 2017).
Pada kasus anak Hipertermi dengan masalah demam typhoid sebelum
ditegakkannya diagnosa maka perawat akan menyusun analisa data terlebih dahulu yang
dilihat pada standar diagnosa keperawatan indonesia.
Berdasarkan sumber dari standart diagnosa keperawatan Indonesia maka pada
kasus anak dengan masalah demam typhoid dapat ditarik diagnosa “Hipertermi
berhubungan dengan proses penyakit” infeksi bakteri salmonella typhi ditandai dengan
suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, kulit terasa hangat.
3.2.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan perawatan berdasarkan penilaian klinis dan
pengetahuan yang dilakukan oleh seorang perawat untuk meningkatkan hasil/ respon Pasien
(Kamitsuru, 2020). Perencanaan ini merupakan langkah ketiga dalam membuat suatu proses
keperawatan. Intervensi keperawatan adalah suatu proses penyusunan berbagai rencana
tindakan keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau mengurangi
masalah – masalah pasien (SAFII, 2012).
Sebelum merancang intervensi pada masalah Hipertermi maka ditentukan terlebih
dahulu tujuan dan kriteria hasil dari diberikannya intervensi hipertermi yang dapat dilihat
pada standar luaran keperawatan Indonesia.
No Diagnosa SLKI SIKI
1. Hipertemi b.d Setelah dilakukan Manajemen Hipertemia
Proses penyakit keperawatan Observasi
selama ..x..jam diharapkan  Identifikasi penyebab hipertemia
Termoregulasi membaik  Monitor suhu tubuh
dengan kriteria hasil :  Monitor komplikasi akibat hipertemia
 Mengigil menurun Terapeutik
 Kulit merah meurun  Sediakan lingkungan yang dingin
 Kejang menurun  Longgarkan atau lepaskan pakaian
 Suhu tubuh membaik  Basahi dan kipasi permukaan tubuh
 Suhu kulit membaik  Berikan cairan oral
 Tekanan darah membaik  Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika
mengalami hyperhidrosis
 Lakukan pendinginan eksternal
 Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
3.2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi, merupakan bagian aktif dari asuhan keperawatan, yaitu perawat
melakukan tindakan sesuai rencana. Tindakan ini bersifat intelektual, teknis, dan
interpersonal berupa berbagai upaya memenuhi kebutuhan dasar klien (Nuruzzaman &
Syahrul, 2016).
Tahap pelaksanaan dilakukan setelah rencana tindakan di susun dan di tunjukkan
kepada nursing order untuk membantu pasien mencapai tujuan dan kriteria hasil yang dibuat
sesuai dengan masalah yang pasien hadapi. Tahap pelaksaanaan terdiri atas tindakan
mandiri dan kolaborasi yang mencangkup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Agar kondisi pasien cepat membaik
diharapkan bekerjasama dengan keluarga pasien dalam melakukan pelaksanaan agar
tercapainya tujuan dan kriteria hasil yang sudah di buat dalam intervensi.
3.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi, merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna
apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau perlu
pendekatan lain. Evaluasi yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan
seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses
menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari pengkajian,
diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri.
Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses keperwatan tetapi tahap ini
merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data perlu
direvisi untuk menentukan kecukupan data yang telah dikumpulkan dan kesesuaian perilaku
yang observasi. Diagnosis juga perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapannya.
Evaluasi juga diperlukan pada tahap intervensi untuk menentukan apakah tujuan intervensi
tersebut dapat dicapai secara efektif. (Nuruzzaman & Syahrul, 2016). Perumusan evaluasi
formatif meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP yaitu :
1. S (Subjektif)
Perkembangan keadaan yang didasarkan pada apa yang di rasakan, dikeluhkan,
dan dikemukan pasien. Secara verbal pasien atau keluarga pasien akan mengatakan
menggigil menurun dan suhu kulit membaik setelah diberikan asuhan keperawatan
farmakologis maupun non- farmakologis ( SLKI, 2016)
2. O (Objektif)
Tanda klinis yang diperoleh melalui wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Hasil akhir yang diharapkan pada asuhan keperawatan anak
dengan masalah hipertermi pada data objektif yaitu suhu tubuh membaik, takikardi
menurun, takipnea menurun, pucat menurun (SLKI, 2016).
3. A (Analisasis)
Penilaian dari kedua jenis data (baik subjektif maupun objektif) apakah
berkembangan kearah perbaikan atau kemunduran. Ukuran pencapaian tujuan pada tahap
evaluasi meliputi :
a. Masalah teratasi, jika pasien menunjukan perubuhan sesuai dengan tujuan dan
kriteria hasil yang telah ditetapkan pada rencana keperawatan.
b. Masalah teratasi sebagian, jika pasien menunjukan perubahan pada sebagian
kriteria hasil yang telah ditetapkan pada rencana keperawatan.
c. Masalah tidak teratasi, jika pasien tidak menunjukan perubahan dan kemajuan
sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang ditetapkan pada
rencana keperawatan atau adanya permasalahan baru.
4. P (Perencanaan)
Pencana penanganan klien yang berdasarkan pada hasil analisis data yang berisi
melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila keadaan atau masalah belum berhasil.
BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
Klasifikasi perkembangan moral menurut Kohlberg ada tiga tingkatan (level), yaitu tingkat
1 pra-konvensional, tingkat 2 konvensional, dan tingkat 3 pasca-konvensional. Tiga tingkatan
tersebut kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap, yaitu (1) Orientasi kepatuhan dan
hukuman; (2) Orientasi minat pribadi; (3) Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas;
(4) Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial; (5) Orientasi kontrak sosial; (6) Prinsip
etika universal. Sedangkan tahap perkembangan moral menurut John Dewey yang kemudian
dijabarkan oleh Jean Piaget (Kohlberg, 1995), terdapat tiga tahap perkembangan moral, yaitu
tahap pramoral, heteronomi, dan otonomi.

Di dalam perkembangannya, moral dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal yang
meliputi faktor genetika (hereditas) dan faktor eksternal yang meliputi lingkungan sosial
masyarakat, kultural, edukatif, dan religius. Sering kali pada anak terjadi kesenjangan antara
pengetahuan moralnya dengan perilaku moral yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
faktor kebingungan, faktor emosi dan faktor motivasi (dorongan).

Pada kenyataannya, terjadi beberapa pelanggaran moral yang dilakukan oleh anak antara
lain berbohong, kecurangan, mencuri, merusak, dan membolosAdapun upaya-upaya yang
dapat dilakukan dalam mengembangkan moral anak agar perkembangan moral anak menjadi
baik adalah dengan menciptakan komunikasi yang baik yaitu komunikasi yang aktif antara
orang dewasa dengan anak serta menciptakan iklim lingkungan yang serasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad & Asrori, Mohammad. 2012. Psikologi Remaja Perkembangan

Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara

Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya, 2012.

Gunarsa, S.D. 2003Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Jakarta: Gunung

Mulia.

Harahap, Farida. Tanpa Tahun. Perkembangan Moral, (Online),

(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Nanang.pdf) Diakses 4 Februari 2014

MonksF.J& Knoers, 2002. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam

Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ali, Mohammad & Asrori, Mohammad. 2012. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.

Jakarta: Bumi Aksara

Papalia D.E. 2007. Human Development (10th Ed.). New York: McGraw-Hill –

8iCompanies, Inc.

SantrockJ.W. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja. Alih bahasa: Shinto D. Adelar & Sherly

Saragih. Jakarta: Erlangga.

Shaffer, D.R. 2002. Developmental Psychology (6th Ed.). USA: Wads Worth Group

Mifflin Company.

Sonhaji, 2013. Perkembangan Moral Peserta Didik, (online),

(http://sonhaji82.blog.com/2013/02/07/makalah-perkembangan-moral/), Diakses 02 Maret

2014

Anda mungkin juga menyukai