Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

PERKEMBANGAN MORAL ANAK


MATA KULIAH
PSIKOLOGI PAUD
Dosen Pengampu : Ruri Angelia Kusuma, M.Psi

Kelompok 13 :
Andika Putra Sarjam
Qudratil Khaira

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI)
DARUL ULUM SAROLANGUN
TAHUN AJARAN 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah mata kuliah “PSIKOLOGI PAUD”. Kemudian
shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad
SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni al-qur’an dan sunnah
untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Psikologi PAUD di
program studi Psikologi Islam . Selanjutnya penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Ruri angelia Kusuma, M.Psi selaku
dosen pembimbing mata kuliah psikologi paud dan kepada segenap pihak yang
telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-


kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Sarolangun, 3 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I..............................................................................................................
PENDAHULUAN...........................................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
BAB II.............................................................................................................
PEMBAHASAN.............................................................................................
A. Perkembangan Moral............................................................................
B. Self Directed Learning..........................................................................
C. Cooperative Learning............................................................................
BAB III ...........................................................................................................
PENUTUP.......................................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
Daftar Pustaka.................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Masalah moral merupakan masalah yang sekarang ini sangat banyak


meminta perhatian, terutama bagi para pendidik, ulama, pemuka masyarakat
dan para orang tua. Tidak henti-hentinya kita mendengar berita tentang
tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak, seperti yang terjadi di
beberapa daerah yang hampir setiap minggu diberitakan di berbagai media,
baik media cetak maupun elektronik. Bagi warga Ibukota bukan suatu hal yang
aneh apabila mendengar atau melihat anak-anak sekolah melakukan tawuran
(perkelahian antar pelajar) yang tidak sedikit menimbulkan sejumlah korban.
Diperlukan waktu yang panjang dan upaya pendidikan yang sungguh-sungguh
untuk mengatasi kondisi ini. Pendidikan dalam hal ini diartikan secara luas,
yaitu sebagai upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai, sikap, pengetahuan
dan keterampilan tertentu dari generasi sebelumnya kepada generasi
berikutnya. Pendidikan merupakan alat strategis untuk membentuk dan
mengembangkan nilai, sikap dan moral dari generasi sebelumnya kepada
generasi berikutnya. Adapun moral sama dengan etika, atau kesusilaan yang
diciptakan oleh akal, adat dan agama, yang memberikan norma tentang
bagaimana kita harus hidup.

Nilai moral pada dasarnya adalah mengupayakan anak mempunyai


kesadaran dan berprilaku taat moral yang secara otonom berasal dari dalam diri
sendiri. Dasar otonomi nilai moral adalah identifikasi dan orientasi diri. Pola
hidup keluarga (ayah dan Ibu ) merupakan “model Ideal” bagi peniruan dan
pengindentifikasian perilaku dirinya. 

Otomisasi nilai moral dalam diri anak berlangsung dalam dua tahap,
yaitu pembiasaan diri dan identifikasian diri. Merujuk pada sistem moral
Spranger, nilai-nilai moral yang diupayakan bagi kepemilikan dan
pengembangan dasar – dasar disiplin diri mencakup lima nilai, yaitu nilai-nilai
ekonomis, social,politis, Ilmiah, estetis dan agama dalam sistem nilai spranger,
nilai etik tidak berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian integral dari nilai religi.

Hubungan antara disiplin diri dengan nilai ini merupakan konsep nilai
moral yang memungkinkan orang tua untuk membantu anak dalam memiliki
dasar disiplin diri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu perkembangan moral?
2. Apa factor yang dapat mempengaruhi perkembangan moral?
3. Apa yang dimaksud dengan self directed learning dan apa saja tingkatan
nya?
4. Apa pengertian dari cooperative learning dan bagaimana unsur
pembelajaran nya?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Moral
1. Pengertian Moral

Pengertian Moral menurut Gunarsa adalah rangkaian nilai tentang


berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Istilah moral sendiri berasal
dari kata Pengertian Moral Menurut Shaffer adalah kaidah norma dan
pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan
masyarakat dan kelompok sosial. Moral ini merupakan standar baik dan
buruk yang ditentukan oleh individu dengan nilai-nilai sosial budaya di
mana individu sebagai anggota sosial.

Menurut Rogers, Pengertian Moral adalah aspek kepribadian yang


diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara
harmonis, seimbang dan adil. Perilaku moral ini diperlukan demi
terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, keharmonisan
mores yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan
dan ketertiban.

Menurut Kohlberg, penilaian dan perbuatan moral pada intinya


bersifat rasional. Keputusan dari moral ini bukanlah soal perasaan atau nilai,
malainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan
dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat aktif terhadap
titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan segala
macam tuntutan, kewajiban, hak dan keterlibatan setiap pribadi terhadap
sesuatu yang baik dan juga adil. kesemuanya ini merupakan tindakan
kognitif.
Kohlberg juga mengatakan bahwa terdapat pertimbangan moral yang
sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya
digunakan remaja untuk mempertanggung jawabkan perbuatan moralnya.

Kolhberg juga membenarkan gagasan Jean Piaget yang mengatakan


bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap
tertinggi dalam proses pertimbangan moral. Adanya kesejajaran antara
perkembangan kognitif dengan perkembangan moral dapat dilihat pada
masa remaja yang mencapai tahap tertinggi dari perkembangan moral, yang
kemudian ditandai dengan kemampuan remaja menerapkan prinsip keadilan
universal pada penilaian moralnya.

2. Pengertian Perkembangan Moral

Kolhberg (dalam Santrock, 2002:370) menekankan bahwa


perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan
berkembang secara bertahap. Perkembangan moral (moral development)
berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.

Dalam mempelajari aturan-aturan ini para pakar perkembangan akan


menguji tiga bidang yang berbeda yaitu:

a) Bagaimana anak-anak bernalar atau berpikir tentang aturan-


aturan untuk perilaku etis;
b) Bagaimana anak-anak sesungguhnya berperilaku dalam
keadaan bermoral;
c) Bagaimana anak merasakan hal-hal moral itu.
Perkembangan moral (moral development) melibatkan perubahan
seiring usia pada pikiran, perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan
nilai yang mengarahkan bagaimana seseorang seharusnya bertindak.
Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal (nilai dasar dalam diri
seseorang dan makna diri) dan dimensi interpersonal (apa yang seharusnya
dilakukan orang dalam interaksinya dengan orang orang lain) (King, 2006).

3. Tahap Perkembangan Moral

Menurut Piaget (dalam Slavin, 2008:69). Sebagaimana kemampuan


kognitif, Piaget berpendapat bahwa perkembangan moral berlangsung dalam
tahap-tahap yang dapat diprediksi, yakni dari tipe penalaran moral yang
sangat egosentris ke tipe penalaran moral yang didasarkan pada sistem
keadilan berdasarkan kerjasama dan ketimbalbalikan.

Piaget menamai tahap pertama perkembangan moral sebagai


moralitas heteronom; hal ini juga disebut tahap “realisme moral” atau
“moralitas paksaan”. Heteronom berarti tunduk pada aturan yang
diberlakukan oleh orang-orang lain. Selama periode ini, anak-anak yang
masih muda terus menerus diberitahu tentang apa yang harus dilakukan dan
apa yang tidak boleh dilakukan. Pelanggaran aturan diyakini membawa
hukuman otomatis. Keadilan dilihat sebagai sesuatu yang otomatis, dan
orang-orang yang jahat pada akhirnya akan dihukum. Piaget juga
menggambarkan anak-anak pada tahap ini menilai moralitas perilaku
berdasarkan konsekuensi-konsekuensi berikutnya.Mereka menilai perilaku
sebagai sesuatu yang jahat kalau hal itu menghasilkan konsekuensi negatif
sekalipun maksud semula pelakunya adalah baik.

Piaget menemukan bahwa anak-anak usia 10 atau 12 tahun


cenderung mendasarkan penilaian moral pada maksud pelakunya alih-alih
konsekuensi tindakan tersebut. Tahap kedua ini dinamakan aturan moralitas
otonomi atau “moralitas kerja sama”. Moralitas tersebut muncul ketika
dunia sosial anak itu berkembang hingga meliputi makin banyak teman.
Dengan terus-menerus berinteraksi dan bekerja sama dengan anak-anak lain,
gagasan anak tersebut tentang aturan dan kerena itu juga moralitas mulai
berubah. Kini aturan adalah apa yang kita buat sebagai aturan. Hukuman
atas pelanggaran tidak lagi otomatis tetapi harus diberikan dengan
pertimbangan maksud pelanggar dan lingkungan yang meringankan. Anak
mengalami kemajuan dari tahap moralitas heteronom ke tahap moralitas
otonom dengan perkembangan struktur kognitif tetapi juga karena interaksi
dengan teman-teman yang mempunyai status yang sama. Dia percaya bahwa
menyelesaikan konflik dengan teman-teman memperlemah sikap anak-anak
mengandalkan otoritas orang dewasa dan meningkatkan kesadaran mereka
bahwa aturan padat diubah dan seharusnya ada hanya sebagai hasil
persetujuan bersama.

      Menurut Kohlberg (dalam Ormord, 2000:371). Kohlberg


mengemukakan ada tiga tingkat perkembangan moral, yaitu tingkat
prakonvensional, konvensional dan post-konvensional.Masing-masing
tingkat terdiri dari dua tahap, sehingga keseluruhan ada enam tahapan
(stadium) yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap.

a. Tingkat Penalaran Prakonvensional

Pada penalaran prakonvensional anak tidak memperhatikan


internalisasi nilai-nilai moral-penalaran moral dikendalikan oleh imbalan
(hadiah) dan hukuman eksternal.Pada tingkat ini terdapat dua tahap.

1) Tahap satu yaitu orientasi hukuman dan ketaatan (punihsment


and obedience orientation) ialah tahap penalaran moral
didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang
dewasa menuntut mereka untuk taat.
2) Tahap dua ialah individualisme dan tujuan (individualism and
purpose) ialah tahap penalaran moral didasarkan atas imbalan
(hadiah) dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka
ingin dan butuh untuk taat. Apa yang benar adalah apa yang
dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.

b. Tingkat Penalaran Konvensional

Pada tingkat ini, internalisasi indivdual ialah menengah.Seseorang


menaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak menaati
standar-standar orang lain (eksternal), seperti orang tua atau aturan-
atuaran masyarakat.

1) Norma-norma interpersonal (interpersonal norms). Pada


tahap ini, seseorang menghargai kebenaran, kepedulian,
dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan
pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi
standar-standar moral orang tuanya pada tahap ini, sambil
mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai seorang
“perempuan yang baik” atau seorang “laki-laki yang baik.”
2) Moralitas sistem sosial (social system morality). Pada
tahap ini pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas
pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, dan kewajiban. 
c. Tingkat Penalaran Pascakonvensional

Tingkat ini ialah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan


moral kohlberg. Pada tingkat ini moralitas benar-benar diinternalisasikan
dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang
mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan,
dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.

1) hak masyarakat dengan hak-hak individual (community rights and


individual rights). Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa
nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa
standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang
menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi juga
mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa
beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting dari pada hukum.
2) Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles). Pada
tahap ini seseorang telah mengembangan suatu standar moral yang
didasarkan pada hak-hak manusia yang manusia yang universal.
Bila menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang
akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin
melibatkan resiko pribadi.

4. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral


a. Perkembangan Kognitif Umum

Penalaran moral yang tinggi yaitu penalaran yang dalam mengenai


hukum moral dan nilai-nilai luhur seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak asasi
manusia dan memerlukan refleksi yang mendalam mengenai ide-ide
abstrak.Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, perkembangan moral
tergantung pada perkembangan kognitif. (Kohlberg dalam Ormord,
2000:139).
Contoh: anak-anak secara intelektual berbakat umumnya lebih sering
berpikir entang isu moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di
masyarakat lokan ataupun dunia secara umum ketimbang teman-teman
sebayanya (Silverman dalam Ormord, 200:139). Meski demikian,
perkembangan kognitif tidak menjamin perkembangan moral.

b. Penggunaan Rasio dan Rationale

Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam


perkembangan moral ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan
emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain.
Menjelaskan kepada anak-anak alasan perilaku-perilaku tertentu tidak dapat
diterima, dengan focus pada perspektif orang lain, dikenal sebagai induksi
(Hoffman dalam Ormord, 2000:140).

Contoh: induksi berpusat pada korban induksi membantu siswa


berfokus pada kesusahan orang lain dan membantu siswa memahami bahwa
mereka sendirilah penyebab kesesahan-kesusahan tersebut. Penggunaan
konduksi secara konsisten dalam mendisiplinkan anak-anak, terutama ketika
disertai hukuman ringan bagi perilaku yang menyimpang misalnya
menegaskan bahwa mereka harus meminta maaf atas perilaku yang keliru.

c. Isu dan Dilema Moral

Kolhberg dalam teorinya mengenai teori perkembangan moral


menyatakan bahwa disekuilibrium adalah anak-anak berkembang secara
moral ketika mereka menghadapi suatu dilemma moral yang idak dapat
ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya
saat itu.Dalam upaya membantu anak-anak yang mengahdapi dilema
semacam itu Kulhborg menyarankan agar guru menawarkan penalaran
moral satu tahap di atas tahap yang dimilik anak pada saat itu.

Contoh: bayangkanlah seorang remaja laki-laki yang sangat


mementingkan penerimaan oleh teman-teman sebayanya, dia rela
membiarkan temannya menyali pekerjaan rumahnya. Gurunya mungkin
menekankan logika hokum dan keteraturann dengan menyarankan agar
semua siswa seharusnya menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa bantuan
orang lain karena tugas-tugas pekerjaan rumah dirancang untuk membantu
siswa belajar lebih efektif.

d. Perasaan Diri

Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika


mereka berfikir bahwa mereka sesungguhnya mampu menolong orang lain
dengan kata lain ketika mereka memiliki efikasi diri yang tinggi mengenai
kemampuan mereka membuat suatu perbedaan (Narvaez dalam Ormrod,
200:140).

Contoh: pada masa remaja beberapa anak muda mulai


mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-nilai moral kedalam identitas
mereka secara keseluruhan. Mereka menganggap diri mereka sebagai
pribadi bermoral dan penuh perhatian, yang peduli pada hak-hak dan
kebaikan orang lain. Tindakan belarasa yang mereka lakukan tidak terbatas
hanya pada teman-teman dan orang yang mereka kenal saja, melainkan juga
meluas ke masyarakat.

5. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Moral

Bayi tidak memiliki hierarki nilai dan suara hati.Bayi tergolong


nonmoral, tidak bermoral maupun tidak amoral, dalam artian bahwa
perilakunya tidak dibimbing norma-norma moral. Lambat laun ia akan
mempelajari kode moral dari orang tua dan kemudian dari guru-guru dan
teman bermain dan juga ia belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral
ini.
      Belajar berperilaku moral yang diterima oleh sekitarnya merupakan
proses yang lama dan lambat. Tetapi dasar-dasarnya diletakkan dalam masa
bayi dan berdasarkan dasar-dasar inilah bayi membangun kode-kode moral
yang membimbing perilaku bila telah menjadi besar nantinya. Karena
keterbatasan kecerdasannya, bayi menilai benar atau salahnya suatu
tindakan menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkannya dan
bukan menurut baik atau buruknya efek suatu tindakan terhadap orang-
orang lain. 

Pada masa remaja sesorang mampu mempertimbangkan semua


kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggung-
jawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proposisi.Jadi seseorang telah
dapat memandang masalahnya dari beberapa sudut pandang dan
menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai bahan
pertimbangan.

Pengertian moral pada anak-anak umur sepuluh atau sebelas tahun


berbeda dengan anak-anak yang lebih tua.Pada anak-anak terdapat anggapan
bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh
orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi (Kohlberg, 1963).

Untuk sebagian remaja serta orang dewasa yang penalarannya


terhambat atau kurang berkembang, tahap perkembangan moralnya ada pada
tahap prakonvensional.Pada tahap ini seseorang belum benar-benar
mengenal apalagi menerima aturan dan harapan masyarakat.Pedoman
meraka hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan bagi mereka yang dapat
mencapai tingkat kedua sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain.

B. Self Directed Learning


1. Pengertian Self Directed Learning

Self-directed learning atau kemandirian belajar adalah suatu metode


pembelajaran yang dilakukan seseorang untuk meningkatkan pengetahuan,
keahlian, dan prestasi melalui inisiatif sendiri dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi bergantung pada kemampuan individu dalam
mengelola pembelajaran sesuai dengan otonomi yang dimiliki, meskipun
nantinya membutuhkan bantuan atau nasihat dari orang lain.

Self-directed learning dikenal juga dengan beberapa istilah, yaitu


self-planned learning, independent learning, self-education, self-instruction,
selfteaching, self-study dan autonomous learning. Semua istilah tersebut
merujuk pada pengertian yang sama terkait kemandirian belajar, yaitu
kemampuan yang dimiliki siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara
mandiri tanpa bergantung pada orang lain guna mencapai tujuan
pembelajaran.

Self-directed learning merupakan proses peningkatan pengetahuan,


keahlian, prestasi, dan pengembangkan diri individu yang diawali dengan
inisiatif sendiri dengan belajar perencanaan belajar sendiri (self planned)
dan dilakukan sendiri (self conducted), menyadari kebutuhan belajar, tujuan
belajar, membuat strategi belajar, menilai hasil belajar, serta memiliki
tanggung jawab sendiri menjadi agen perubahan dalam belajar.

Berikut definisi dan pengertian kemandirian belajar atau self-


directed learning dari beberapa sumber buku: 

Menurut Knowles (1975), self-directed learning adalah suatu proses


dimana seseorang memiliki inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain
untuk menganalisis kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan
belajarnya sendiri, mengidentifikasi sumber-sumber belajar, memilih dan
melaksanakan strategi belajar yang sesuai serta mengevaluasi hasil
belajarnya sendiri. 

Menurut Merriam (2004), self-directed learning adalah proses


belajar dimana siswa membuat inisiatif sendiri dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi dari pengalaman belajarnya yang diambil dari
berbagai sumber atau literatur. 

Menurut Gibbons (2002), self-directed learning adalah usaha yang


dilakukan seorang siswa untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian,
prestasi terkait orientasi pengembangkan diri dimana individu menggunakan
banyak metode dalam banyak situasi serta waktu yang dilakukan secara
relatif mandiri. 

Menurut Huda (2013), self-directed learning adalah kondisi dimana


pembelajar memiliki kontrol sepenuhnya dalam proses pembuatan
keputusan terkait dengan pembelajarannya sendiri dan menerima tanggung
jawab utuh atasnya, meskipun nantinya mereka membutuhkan bantuan dan
nasihat dari seorang guru.

Menurut Rachmawati dkk (2010), self-directed learning adalah


metode pembelajaran yang bersifat fleksibel namun tetap berorientasi pada
planning, monitoring, dan evaluating bergantung pada kemampuan siswa
dalam mengelola pembelajaran sesuai dengan otonomi yang dimilikinya.

a. Aspek-aspek Self-Directed Learning 

Menurut Gibbons (2002), terdapat lima aspek dasar dalam


aktivitas dan program kegiatan yang menjadi elemen penting dalam self-
directed learning, yaitu sebagai berikut:

Siswa mengontrol banyaknya pengalaman belajar yang terjadi.

Perubahan utama dari teacher-directed learning menjadi self-


directed learning adalah sebuah perubahan pengaruh dari guru ke siswa.
Untuk siswa, hal ini menunjukkan sebuah perubahan kontrol dari luar
menjadi kontrol dari dalam. Siswa memulai membentuk pendapat dan ide
mereka, membuat keputusan mereka sendiri, memilih aktivitas mereka
sendiri, mengambil tanggung jawab untuk diri mereka sendiri, dan dalam
memasuki dunia kerja. Mengisi siswa dengan tugas untuk
mengembangkan pembelajaran mereka, mengembangkan mereka secara
individual, dan membantu mereka untuk berlatih menjadi peran yang
lebih dewasa. Self-directed learning tidak hanya membuat siswa belajar
secara efektif tetapi juga membuat siswa lebih menjadi diri mereka
sendiri.

b. Perkembangan keahlian 

Kontrol yang berasal dari dalam tidak akan memiliki tujuan


kecuali jika siswa belajar untuk fokus dan menerapkan talenta dan
kemampuan mereka. Self-directed learning menekankan pada
perkembangan keahlian dan proses menuju aktivitas produktif. Siswa
belajar untuk mencapai hasil program, berpikir secara mandiri, dan
merencanakan dan melaksanakan aktivitas mereka sendiri. Siswa
mempersiapkan lalu berunding dengan guru mereka. Maksud ini untuk
menyediakan kerangka yang memungkinkan siswa untuk
mengidentifikasi minat mereka dan membekali mereka untuk sukses.

Mengubah diri pada kinerja/performansi yang paling baik.

Self-directed learning dapat gagal tanpa tantangan yang diberikan


kepada siswa. Pertama, guru memberikan tantangan kepada siswa, lalu
guru menantang siswa untuk menantang diri mereka sendiri. Tantangan
ini memerlukan pencapaian sebuah level performansi yang baru dalam
sebuah tempat yang familiar atau mencoba pada sebuah tempat yang
diminati. Menantang diri sendiri berarti mengambil risiko untuk keluar
dari sesuatu yang mudah dan familiar.

c. Manajemen diri siswa 

Dalam self-directed learning, pilihan dan kebebasan dihubungkan


dengan kontrol diri dan tanggung jawab. Siswa belajar untuk
mengekspresikan kontrol dirinya dengan mencari dan membuat
komitmen, minat dan aspirasi diri. Self-directed learning memerlukan
keyakinan, keberanian, dan menentukan untuk usaha yang terlibat. Siswa
mengembangkan atribut ini dan mereka menjadi ahli untuk mengatur
waktu dan usaha mereka dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk
melakukannya. Dalam menghadapi hambatan, siswa belajar untuk
menghadapi kesulitan mereka, menemukan alternatif, dan memecahkan
masalah mereka dalam rangka untuk menjaga produktivitas yang efektif.
Kombinasi dari sumber yang berasal dari dalam diri dan keahlian dalam
kinerja diperlukan untuk dapat memanajemen diri dalam self-directed
learning.

d. Motivasi diri dan penilaian diri 

Banyak prinsip dari motivasi yang dibangun untuk self-directed


learning, seperti mencapai tujuan minat yang tinggi. Ketika siswa
menggunakan prinsip ini, siswa menjadi elemen utama dari motivasi diri
siswa. Dengan mengatur tujuan penting untuk diri mereka, menyusun
feedback untuk pekerjaan mereka, dan mencapai kesuksesan, mereka
belajar untuk menginspirasikan usaha mereka sendiri. Persamaannya,
siswa belajar untuk mengevaluasi kemajuan diri mereka sendiri, mereka
menilai kualitas dari pekerjaan mereka dan proses yang didesain untuk
melakukannya. Dalam self-directed learning, penilaian merupakan hal
yang penting dari belajar dan belajar bagaimana mempelajarinya. Siswa
sering memulai evaluasi diri dalam belajar yang mereka serahkan kepada
guru meliputi sebuah deskripsi standar yang akan mereka capai. Seperti
motivasi diri yang memampukan siswa untuk menghasilkan prestasi yang
dapat dievaluasi, penilaian diri juga memotivasi siswa untuk mencari
prestasi terbaik yang mungkin terjadi.

e. Tingkatan Self-Directed Learning 


Menurut Holstein (1986), self-directed learning dapat dibagi
menjadi tiga tingkatan berdasarkan karakteristik yang mengacu pada
intensitasnya, yaitu sebagai berikut:

1) Tingkat rendah 

Pada tingkatan rendah, siswa masih banyak bergantung kepada


guru dan teman dalam melakukan tindakan dalam belajarnya. Siswa tidak
paham maksud eksplisit dari sebuah instruksi. Siswa yang berada pada
tahap rendah ini kurang terampil dalam menambah referensi-referensi
ilmu yang relevan, kurang motivasi, dan kepercayaan diri untuk mencapai
sebuah tujuan.

2) Tingkat sedang 

Pada tahap sedang, siswa sudah dapat menyadari bahwa siswa


adalah bagian dari sebuah proses belajar. Siswa siap dalam
mengembangkan konsep-konsep dalam belajar tetapi pengembangan ini
harus dilakukan secara lebih mendalam pada suatu konsep, harus lebih
percaya diri, dan lebih peka terhadap petunjuk. Siswa pada tahap sedang
bisa memahami bagaimana siswa seharusnya belajar, seperti siswa dapat
menetapkan sebuah strategi dalam belajar. Siswa sudah bisa berorientasi
pada masa depan tetapi masih kurang dalam pengalaman dan
motivasinya, serta masih adanya keinginan akan keterlibatan orang
dewasa dalam proses belajar siswa.

3) Tingkat tinggi 

Pada tingkatan tinggi, siswa mampu melakukan kemandirian


dalam belajarnya dengan menetapkan tujuan belajar tanpa bantuan dari
pihak manapun. Siswa akan memanfaatkan berbagai sumber belajar untuk
dipakai dalam mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan. Siswa dengan
kemandirian pada tahap tinggi mampu bertanggung jawab, memiliki
manajemen waktu yang teratur, dan banyak mengumpulkan informasi
dari referensi manapun. Siswa dengan kemandirian belajar yang tinggi
akan tahu apa yang harus siswa lakukan, bagaimana siswa harus
melakukan, dan kapan siswa melakukannya. Kesadaran akan pemenuhan
kebutuhan belajar tersebut didasari oleh inisiatif yang dimiliki oleh siswa.

f. Tahapan Self-Directed Learning 

Menurut Rusman (2014), self-directed learning atau kemandirian


dalam belajar ini perlu diberikan kepada peserta didik supaya mereka
mempunyai tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya
serta dapat mengembangkan kemampuan belajar atas kemauan sendiri.
Ciri utama suatu proses pembelajaran mandiri ialah adanya kesempatan
yang diberikan kepada peserta didik untuk ikut menentukan tujuan,
sumber, dan evaluasi belajarnya.

Tugas guru dalam proses belajar mandiri ialah menjadi fasilitator,


yaitu menjadi orang yang siap memberikan bantuan kepada peserta didik
jika diperlukan. Bentuknya berupa bantuan dalam menentukan tujuan
belajar, memilih bahan ajar dan media belajar, serta memecahkan
kesulitan yang tidak dapat dipecahkan peserta didik sendiri.

Teman dalam proses Self Directed Learning sangat penting. Jika


menghadapi kesulitan, peserta didik sering kali lebih mudah atau lebih
berani bertanya kepada teman daripada kepada guru. Teman sangat
penting karena dapat menjadi mitra dalam belajar bersama dan berdiskusi.
Di samping itu, teman dapat dijadikan alat untuk mengukur
kemampuannya. Dengan berdiskusi bersama teman, peserta didik akan
mengetahui tingkat kemampuannya dibandingkan dengan kemampuan
temannya.
Menurut Huda (2013), tahapan yang dilakukan dalam proses
pembelajaran menggunakan metode self-directed learning adalah sebagai
berikut:

a) Planning 

Yang termasuk dalam tahap ini antara lain: menganalisis


kebutuhan peserta didik, institusi dan persoalan kurikulum, melakukan
analisis terhadap skill atau kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik,
merancang tujuan pembelajaran yang continum, memilih sumber daya
yang tepat untuk pembelajaran, serta membuat rencana mengenai
aktivitas pembelajaran harian.

b) Implementing 

Pendidik mempromosikan kemampuan yang dimiliki peserta


didik, menerapkan pembelajaran sesuai dengan hasil adopsi rencana dan
setting, penyesuaian yang telah dilakukan, serta memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk memilih metode yang sesuai dengan
keinginannya.

c) Monitoring 

Pada tahap ini pendidik melakukan mind-tas monitoring atau


melakukan pengawasan terhadap pengerjaan tugas yang diberikan, study
balance monitoring atau melakukan pengawasan peserta didik selama
mengerjakan aktivitas-aktivitas lain yang berkaitan dengan tugas utama
pembelajaran, serta awareness monitoring atau mengawasi kesadaran dan
kepekaan peserta didik selama pembelajaran.

d) Evaluating 

Pendidik membandingkan hasil peserta didik, menyesuaikan dan


melakukan penilaian peserta didik dengan tujuan yang telah dirancang
sebelumnya, serta meminta pernyataan kepada peserta didik, dengan
mengajukan pertanyaan mengenai proses penyelesaian tugas.

Self-directed learning adalah ciri khas belajar orang dewasa,


meskipun hasil yang optimal akan tercapai justru kalau sikap belajarnya
meniru sikap belajar anak, yaitu belajar dengan gembira dan tanpa beban.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan self-directed
learning adalah sebagai berikut: 

Kegiatan belajarnya bersifat self-directed atau mengarahkan diri


sendiri, tidak dependent atau bergantung orang lain. 

Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam proses pembelajaran


dijawab sendiri atas dasar pengalaman, tidak sepenuhnya mengharapkan
jawaban dari guru atau orang lain. 

Orang dewasa mengharapkan immediate application atau


penerapan dengan segera dari apa yang dipelajari, mereka tidak dapat
menerima delayed application atau penerapan yang tertunda. 

Lebih menyukai collaborative learning, karena belajar dan tukar


pengalaman dengan sama-sama orang dewasa menyenangkan, dan dapat
sharing responsibility atau berbagi tanggung jawab. 

Perencanaan dan evaluasi belajar lebih baik dilakukan dalam batas


tertentu antara peserta didik dengan guru. Belajar harus dengan berbuat,
tidak cukup hanya dengan mendengarkan dan menyerap.

g. Kelebihan dan Kekurangan Self-Directed Learning 

Menurut Huriah (2018), setiap metode pembelajaran memiliki


kelebihan dan kekurangannya masing-masing begitu juga dengan self-
directed learning. Kelebihan dan kekurangan self-directed learning adalah
sebagai berikut:

1). Kelebihan 

Kelebihan atau keunggulan metode self-directed learning yaitu: 

Siswa bebas untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka sendiri,
sesuai dengan kecepatan belajar mereka dan sesuai dengan arah minat dan
bakat mereka dalam menggunakan kecerdasan majemuk yang mereka
miliki.

Menekankan sumber belajar secara lebih luas baik dari guru


maupun sumber belajar lain yang memenuhi unsur edukasi.

Mahasiswa dapat mengembangkan pengetahuan, keahlian dan


kemampuan yang dimiliki secara menyeluruh. 

Pembelajaran mandiri memberikan siswa kesempatan yang luar


biasa untuk mempertajam kesadaran mereka akan lingkungan mereka dan
memungkinkan siswa untuk membuat pilihan-pilihan positif tentang
bagaimana mereka akan memecahkan masalah yang dihadapi sehari-hari.

Mahasiswa memiliki kebebasan untuk memilih materi yang sesuai


dengan minat dan kebutuhan. Di samping itu, cara belajar yang dilakukan
sendiri juga lebih menyenangkan.

2). Kekurangan 

Kekurangan atau kelemahan metode self-directed learning yaitu: 

Siswa bodoh akan semakin bodoh dan siswa pintar akan semakin pintar
karena jarang terjadi interaksi satu sama lainnya. 

Bagi siswa yang malas, maka siswa tersebut untuk


mengembangkan kemampuannya atau pengetahuannya. 
Ada beberapa siswa yang membutuhkan saran dari seseorang
untuk memilih materi cocok untuknya atau karena siswa yang
bersangkutan tidak mengetahui sampai seberapa kemampuannya.

C. Cooperative Learning
1. Pembelajaran Cooperative learning

Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) adalah suatu model


pembelajaran dengan pendekatan atau strategi penggunaan kelompok-
kelompok kecil (maksimal 5 orang) dengan struktur anggota yang
heterogen, sehingga terjadi saling ketergantungan positif, adanya tanggung
jawab perorangan dan komunikasi yang intensif antara anggota kelompok
dengan tujuan memaksimalisir proses belajar.

Pembelajaran kooperatif merupakan serangkaian strategi khusus


yang dirancang untuk memberikan dorongan kepada peserta didik agar
bekerja sama selama proses pembelajaran. Pembelajaran kooperatif salah
satunya bertujuan untuk memotivasi siswa agar lebih aktif dalam
pelaksanaan pembelajaran. Melalui pembelajaran kooperatif siswa dapat
bekerja sama dan saling tolong menolong dalam memahami materi dan
tugas belajar yang dihadapi.

Pembelajaran kooperatif adalah pendekatan belajar kelompok yang


memiliki aturan-aturan tertentu. Prinsip dasar pembelajaran kooperatif
adalah siswa membentuk kelompok kecil dan saling mengajar sesamanya
untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif dapat berjalan
dengan baik dan dapat diaplikasikan untuk semua jenis kelas, termasuk
kelas-kelas untuk anak-anak berbakat maupun kelas dengan tingkat
kecerdasan rata-rata.

a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif 


Berikut definisi dan pengertian pembelajaran kooperatif dari
beberapa sumber buku: 

Menurut Isjoni (2009), pembelajaran kooperatif adalah suatu model


pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil secara kolaboratif yang anggotanya 5 orang dengan struktur kelompok
heterogen. 

Menurut Sugiyanto (2010), pembelajaran kooperatif adalah model


pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk
bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan
belajar. 

Menurut Rohman (2009), pembelajaran kooperatif adalah model


pembelajaran yang menekankan pada saling ketergantungan positif antar
individu siswa, adanya tanggung jawab perseorangan, tatap muka,
komunikasi intensif antar siswa, dan evaluasi proses kelompok. 

Menurut Solihatin dan Raharjo (2007), pembelajaran kooperatif


adalah suatu perilaku bersama dalam membantu di antara sesama dalam
struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua
orang atau lebih dimana keberhasilan kerja dipengaruhi oleh setiap anggota
kelompok. 

Menurut Isjoni dan Ismail (2008), pembelajaran kooperatif adalah


suatu pendekatan atau serangkaian strategi yang khas dirancang untuk
memberi dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama selama
berlangsungnya proses pembelajaran. 

Menurut Hartono (2008), pembelajaran kooperatif adalah suatu


penggunaan pembelajaran kelompok-kelompok kecil sehingga para siswa
bekerja sama untuk memaksimalisir belajar mereka.

b. Tujuan Pembelajaran Kooperatif 


Tujuan utama yang ingin dicapai dalam penggunaan model
pembelajaran kooperatif adalah agar peserta didik dapat belajar secara
berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai
pendapat dan memberikan kesempatan temannya untuk mengemukakan
pendapat secara berkelompok. Menurut Isjoni (2009), fungsi dan tujuan
pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

1) Hasil belajar akademik 

Pembelajaran kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan


sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis
penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat model ini unggul dalam
membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang
model ini telah menunjukkan, model struktur penghargaan kooperatif
telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan
perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar.

2) Penerimaan terhadap perbedaan individu 

Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan


secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas
sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif
memberi peluang kepada siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi
untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan
melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai
satu sama lain.

3) Pengembangan keterampilan sosial 

Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah


mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi.
Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab ini
banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
c. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif 

Menurut Rusman (2011) dan Suprijono (2011), unsur-unsur


pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

1) Saling Ketergantungan Positif (Positive Interdependence) 

Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada


dua pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang
ditugaskan pada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok
secara individu untuk mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.

Beberapa cara saling membangun ketergantungan positif adalah


sebagai berikut: 

Menumbuhkan perasaan peserta didik bahwa dirinya terintegrasi


dalam kelompok, pencapaian tujuan terjadi jika semua anggota kelompok
mencapai tujuan. Peserta didik harus bekerja sama untuk mencapai
tujuan. 

Mengusahakan agar semua anggota kelompok mendapatkan


penghargaan yang sama jika kelompok mereka berhasil mencapai tujuan. 

Mengatur sedemikian rupa sehingga peserta didik dalam kelompok


hanya mendapatkan sebagian dari keseluruhan tugas kelompok. Artinya,
mereka belum dapat menyelesaikan tugas, sebelum mereka menyatukan
perolehan tugas mereka menjadi satu. 

Setiap peserta didik ditugasi dengan tugas atau peran yang saling
mendukung dan saling berhubungan, saling melengkapi, dan saling terikat
dengan peserta didik lain dalam kelompok.

2) Tanggung Jawab Perseorangan (Personal Responsibility) 

Tanggung jawab perseorangan artinya setiap siswa akan akan merasa


bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Unsur ini merupakan
konsekuensi dari unsur yang pertama. Oleh karena itu, keberhasilan
kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota
kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap
anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan
kelompoknya.

Beberapa cara menumbuhkan tanggung jawab perseorangan adalah


sebagai berikut: 

Kelompok belajar jangan terlalu besar. 

Melakukan assesmen terhadap setiap siswa. 

Memberi tugas kepada siswa, yang dipilih secara random untuk


mempresentasikan hasil kelompoknya kepada guru maupun kepada
peserta didik di depan kelas. 

Mengamati setiap kelompok dan mencatat frekuensi individu dalam


membantu kelompok.

Menugasi seorang peserta didik untuk berperan sebagai pemeriksa di


kelompoknya. 

Menugasi peserta didik mengajar temanya.

3) Interaksi Tatap Muka (Face to face Promotive Interaction) 

Interaksi tatap muka yaitu memberikan kesempatan yang luas kepada


setiap anggota kelompok untuk bertatap muka melakukan interaksi dan
diskusi untuk saling memberi dan menerima informasi dari anggota
kelompok lain. Inti dari unsur ini adalah menghargai perbedaan,
memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Unsur
ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif.

Ciri-ciri interaksi tatap muka adalah sebagai berikut:

 Saling membantu secara efektif dan efisien. 


 Saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan.
 Memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efisien. 
 Saling mengingatkan. 
 Saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan
argumentasi serta meningkatkan kemampuan wawasan terhadap
masalah yang dihadapi. 
 Saling percaya. 
 Saling memotivasi untuk keberhasilan bersama.

4) Partisipasi dan Komunikasi (Participation Communication) 

Partisipasi dan komunikasi melatih siswa untuk dapat berpartisipasi


aktif dan berkomunikasi dalam kegiatan pembelajaran1. Untuk dapat
melakukan partisipasi dan komunikasi, siswa perlu dibekali dengan
kemampuan-kemampuan berkomunikasi. Misalnya, cara menyatakan
ketidak-setujuan atau cara menyanggah pendapat orang lain secara santun,
tidak memojokkan, dan cara menyampaikan gagasan dan ide-ide
dianggapnya baik dan berguna.

5) Pemrosesan Kelompok (Group Processing) 

Pemrosesan mengandung arti menilai. Melalui pemrosesan


kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok
dan kegiatan dari anggota kelompok. Siapa di antara anggota kelompok
yang sangat membantu dan siapa yang tidak membantu. Tujuan pemrosesan
kelompok adalah meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan
kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.
Ada dua tingkat pemrosesan yaitu kelompok kecil dan kelas secara
keseluruhan.
a. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif 

Menurut Sanjaya (2006), karakteristik pembelajaran kooperatif


adalah pembelajaran secara tim, didasarkan pada manajemen kooperatif,
kemauan untuk bekerja sama, dan keterampilan bekerja sama. Adapun
penjelasan untuk masing-masing karakteristik tersebut adalah sebagai
berikut: 

 Pembelajaran secara tim

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim


merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus
mampu membuat setiap siswa belajar. Semua anggota tim harus saling
membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itulah, kriteria
keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh keberhasilan tim. 

 Didasarkan pada manajemen kooperatif

Pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang


agar proses pembelajaran berjalan secara efektif, misalnya tujuan apa
yang akan dicapai, bagaimana cara mencapainya, apa yang harus
digunakan untuk mencapai tujuan itu dan lain-lain. 

 Kemauan untuk bekerja sama

Dalam pembelajaran kooperatif setiap anggota kelompok bukan


saja harus diatur tugas dan tanggung jawab masing-masing, akan tetapi
juga ditanamkan perlunya saling membantu. Misalnya, yang pandai
membantu yang kurang pandai. 

 Keterampilan bekerja sama

Kemauan untuk bekerja sama itu kemudian dipraktikkan melalui


aktivitas dan kegiatan yang tergambarkan dalam keterampilan bekerja
sama. Siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan
berkomunikasi dengan anggota lain.

b. Jenis-jenis Pembelajaran Kooperatif 

Menurut Isjoni (2009), terdapat beberapa jenis pembelajaran


kooperatif yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran di kelas, antara
lain yaitu sebagai berikut:

 Mencari Pasangan (Make a Match) 

Salah satu keunggulan Make a Match adalah siswa mencari


pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana
yang menyenangkan. Make a Match dapat digunakan dalam semua mata
pelajaran dan untuk semua tingkatan usia. Sebelum pembelajaran dimulai
guru menyediakan kartu-kartu yang berisi pertanyaan dan jawaban. Siswa
mendapatkan satu kartu dan harus mencari kartu pasangan dalam batas
waktu yang ditentukan guru.

 Bertukar Pasangan 

Prosedur teknik bertukar pasangan diawali dengan siswa


mendapat satu pasangan yang ditunjuk guru. Guru memberikan tugas dan
mengerjakannya dengan pasangannya, setelah selesai setiap pasangan
bergabung dengan satu pasangan yang lain. Kedua pasangan tersebut
saling bertukar pasangan. Siswa diberi kesempatan untuk bekerjasama
dengan orang lain. Pasangan bisa ditunjuk oleh guru atau berdasarkan
Teknik Mencari Pasangan.

 Berpikir Berpasangan Berempat (Think Pair Share) 

Think Pair Share seperti namanya Thinking, diawali dengan guru


mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran. Selanjutnya,
Pairing yaitu guru memberi kesempatan siswa untuk bekerja berpasangan.
Hasil diskusi berpasangan dibicarakan dengan pasangan lain, tahap ini
disebut Sharing. Memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sendiri
dan bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan model ini adalah
memberi pastisipasi siswa secara optimal.

 Berkirim Salam dan Soal 

Teknik ini memberi kesempatan kepada siswa untuk melatih


pengetahuan dan keterampilan siswa. Siswa membuat pertanyaan sendiri
dan mengerjakan soal yang dibuat oleh temannya. Masing-masing siswa
saling mengirimkan salam berupa soal yang telah dibuat sendiri, dan
mengerjakan soal yang dibuat oleh teman yang lain.

 Kepala Bernomor (Numbered Heads) 

Pembelajaran dengan kepala bernomor diawali dengan numbering.


Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil sesuai dengan
jumlah konsep yang akan dipelajari. Tiap-tiap anggota kelompok
diberikan nomor sesuai dengan jumlah anggota kelompoknya. Guru
memberikan materi untuk didiskusikan dalam kelompok. Guru memberi
pertanyaan dengan memanggil nomor yang sama pada semua kelompok
dan memberikan kesempatan untuk menjawab. Teknik ini memberi
kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan
pertimbangan jawaban yang paling tepat.

 Kepala Bernomor Terstruktur 

Teknik kepala bernomor terstruktur prosedurnya hampir sama


dengan Numbered Heads. Teknik ini dalam pelaksanaannya lebih
terstruktur. Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil
sesuai dengan jumlah konsep yang akan dipelajari. Tiap-tiap anggota
kelompok diberikan nomor sesuai dengan jumlah anggota kelompoknya.
Guru memberikan materi untuk didiskusikan dalam kelompok. Siswa bisa
belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya dan saling keterkaitan
dengan teman-teman kelompok.

 Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Stray) 

Pembelajaran dengan metode ini diawali dengan pembagian


kelompok dan pemberian tugas atau permasalahan yang harus mereka
diskusikan jawabannya. Setelah diskusi selesai, dua anggota kelompok
sebagai duta meninggalkan kelompok dan bertamu kepada kelompok lain.
Dua anggota yang tidak bertugas sebagai duta, mempunyai kewajiban
menerima tamu dari kelompok lain. Selesai menyelesaikan tugas, semua
kembali ke kelompoknya masing-masing dan membahas hasil kerja yang
telah dilakukan. Model ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membagikan hasil informasi dengan kelompok lain.

 Keliling Kelompok 

Teknik keliling kelompok diawali dengan membagi kelas ke


dalam kelompok-kelompok kecil. Guru memberikan permasalahan untuk
didiskusikan masing-masing kelompok. Selesai berdiskusi kelompok-
kelompok saling berkunjung ke kelompok lain untuk melihat pekerjaan
kelompok yang lain. Masing-masing anggota kelompok mendapatkan
kesempatan untuk memberikan kontribusi dan mendengarkan pengalaman
anggota lain.

 Kancing Gemerincing 

Model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing


merupakan teknik dimana siswa yang mendapatkan chips atau koin
berfungsi sebagai tiket untuk berbagi informasi pada diskusi. Masing-
masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan
kontribusi dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota lain.

 Keliling Kelas 
Model pembelajaran kooperatif keliling kelas diawali dengan
kerja siswa dalam kelompok. Selesai berdiskusi, masing-masing
kelompok memamerkan hasil kerja kelompok masing-masing, kemudian
semua anggota kelompok lain berkeliling untuk melihat hasil kerja dari
semua kelompok yang telah dipamerkan. Teknik ini memberikan
kesempatan kepada siswa untuk memamerkan hasil kerja dan melihat
hasil kerja orang lain.

 Lingkaran Kecil Lingkaran Besar (Inside Outside Circle) 

Pembelajaran dengan Inside Outside Circle diawali dengan


pembentukan kelompok. Kelas dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
kelompok lingkaran besar (luar) dan lingkaran kecil (dalam). Atur kedua
kelompok lingkaran sehingga saling berhadapan. Guru memberikan tugas
untuk didiskusikan berpasangan. Selesai berdiskusi, kelompok bergerak
berlawanan arah. Setiap pergerakan itu akan membentuk pasangan-
pasangan baru dan saling memberi informasi hasil diskusi. Teknik Inside
Outside Circle memberikan kesempatan kepada siswa agar saling berbagi
informasi pada saat yang bersamaan.

 Tari Bambu (Bamboo Dancing) 

Pembelajaran diawali dengan pengenalan topik oleh guru dan


membagi kelas menjadi dua kelompok besar. Atur dua kelompok dalam
posisi berdiri sejajar. Dengan demikian siswa akan berhadapan
berpasangan. Guru memberikan tugas untuk didiskusikan berpasangan.
Selesai diskusi, atur kembali siswa berjajar berhadapan dan bergeser
searah jarum jam. Pergeseran akan berhenti ketika tiap-tiap siswa kembali
ke pasangan awal. Model ini merupakan modifikasi dari Lingkaran Kecil
Lingkaran Besar, karena keterbatasan ruang kelas.

 Jigzaw 
Pembelajaran dengan jigsaw diawali dengan pengenalan topik
yang akan dibahas oleh guru. Selanjutnya guru membagi kelas menjadi
kelompok-kelompok lebih kecil sesuai dengan jumlah konsep yang ada
pada topik. Dalam pembelajaran jigsaw terdapat kelompok ahli yang
nantinya akan berkumpul dengan ahli dari kelompok lain dan berdiskusi.
Model ini guru memperhatikan skema atau latar belakang pengalaman
siswa dan membantu siswa mengaktifkan skema ini agar pembelajaran
lebih bermakna.

 Bercerita Berpasangan (Paired Stotytelling) 

Model ini dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara


siswa, pengajar, dan bahan pengajaran. Dalam kegiatan ini siswa
dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir berimajinasi
sehingga siswa terdorong untuk belajar.

c. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif 

Setiap model pembelajaran bisanya memiliki kelebihan dan


kekurangan masing-masing, begitu juga dengan pembelajaran kooperatif.
Adapun kelebihan dan kekurangan pembelajaran kooperatif adalah sebagai
berikut (Sanjaya, 2006):

1) Kelebihan Pembelajaran Kooperatif 

Melalui pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu


menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan
kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber,
dan belajar dari siswa yang lain. 

Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan


mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan
membandingkannya dengan ide-ide orang lain. 
Dapat membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari
akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan. 

Dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih


bertanggung jawab dalam belajar. 

Merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan


prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan
rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain,
mengembangkan keterampilan me-manage waktu, dan sikap positif terhadap
sekolah. 

Dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan


pemahamannya sendiri, menerima umpan balik. Siswa dapat berpraktik
memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan
yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya. 

Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk menggunakan


informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil). 

Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan


motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini berguna untuk
proses pendidikan jangka panjang.

2) Kekurangan Pembelajaran Kooperatif 

Untuk memahami dan mengerti filosofis pembelajaran kooperatif


memang perlu waktu. Sangat tidak rasional kalau kita mengharapkan secara
otomatis siswa akan mengerti dan memahami filsafat pembelajaran
kooperatif. Untuk siswa yang dianggap memiliki kelebihan, contohnya,
mereka akan merasa terhambat oleh siswa yang dianggap kurang memiliki
kemampuan. Akibatnya keadaan semacam ini dapat mengganggu iklim
kerja sama dalam kelompok.
Ciri utama kooperatif adalah bahwa siswa saling membelajarkan.
Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching yang efektif, maka dibandingkan
dengan pengajaran langsung dari guru, bisa terjadi cara belajar yang
demikian apa apa yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak pernah
dicapai oleh siswa. 

Penilaian yang diberikan dalam pembelajaran kooperatif didasarkan


kepada hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari,
bahwa sebenarnya prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu
siswa. 

Keberhasilan kooperatif dalam upaya mengembangkan kesadaran


berkelompok memerlukan periode yang cukup panjang, dan hal ini tidak
mungkin dapat tercapai hanya dengan satu kali penerapan strategi ini. 

Walaupun kemauan bekerja sama merupakan kemampuan yang


sangat untuk siswa, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan yang
hanya didasarkan kepada kemampuan secara individual.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan moral (moral development) berkaitan dengan aturan dan


konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain. Dalam mempelajari aturan-aturan ini para
pakar perkembangan akan menguji tiga bidang yang berbeda yaitu:

 Bagaimana anak-anak bernalar atau berpikir tentang aturan-aturan untuk


perilaku etis;
 Bagaimana anak-anak sesungguhnya berperilaku dalam keadaan
bermoral;
 Bagaimana anak merasakan hal-hal moral itu.
Perkembangan moral (moral development) melibatkan perubahan
seiring usia pada pikiran, perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan nilai
yang mengarahkan bagaimana seseorang seharusnya bertindak.

Self-directed learning dikenal juga dengan beberapa istilah, yaitu self-


planned learning, independent learning, self-education, self-instruction,
selfteaching, self-study dan autonomous learning. Semua istilah tersebut
merujuk pada pengertian yang sama terkait kemandirian belajar, yaitu
kemampuan yang dimiliki siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara
mandiri tanpa bergantung pada orang lain guna mencapai tujuan pembelajaran.

Pembelajaran kooperatif merupakan serangkaian strategi khusus yang


dirancang untuk memberikan dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama
selama proses pembelajaran. Pembelajaran kooperatif salah satunya bertujuan
untuk memotivasi siswa agar lebih aktif dalam pelaksanaan pembelajaran.
Melalui pembelajaran kooperatif siswa dapat bekerja sama dan saling tolong
menolong dalam memahami materi dan tugas belajar yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA

Sunarto, Hartono Agung. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Pengertian Moral dan Tahap perkembangannya _ Pengertian Pakar.htm#

Tahap Perkembangan Moral Anak Usia Dini by Para Ahli.htm

Isjoni. 2009. Cooperative Learning. Bandung: Alfabeta.

Rohman, Arif. 2009. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:


LaksBang Mediatama.

Solihatin, Etin dan Raharjo. 2007. Cooperative Learning. Jakarta: Bumi Aksara.


Suprijono. 2006. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka belajar.

Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Knowles, Malcolm S. 1975. Self-directed Learning, A Guide for Learners and


Teachers. Chicago: Associates Press Follett Publishing Company.

Huda, Miftahul. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Rahmawati, Yeni dan Kurniati, Euis. 2010. Strategi Pengembangan Kreativitas Pada


Anak Usia Taman Kanak-kanak. Jakarta: Kencana.
Holstein, Herman. 1986. Murid Belajar Mandiri. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Huriah, Titih. 2018. Metode Student Center Learning Aplikasi Pada Pendidikan


Keperawatan. Jakarta: Prenada Media.

Anda mungkin juga menyukai