Anda di halaman 1dari 20

PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL DEWASA TENGAH

MAKALAH KELOMPOK
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Psikologi Perkembangan
Yang diampu oleh : Dr. Elok Halimatus Sa’diyah, M.Si

Disusun oleh :

1. Aris Dimas Firmansyah 200401110009

2. Haris Su’udi 200401110018


3. Akasyah Satyarendra 200401110024
4. Rifqi Arifatul Ilmiyah 200401110029

5. Ahmad Syaifulloh 200401110033

6. Isyti Munjidah 200401110034


7. Lutfia Nur Aidah 200401110036
8. Fitra Aulia Karim 200401110042

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG.

2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala Puji kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala


rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Perkembangan Moral dan Spiritual Dewasa Tengah” guna
memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan pada Fakultas
Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Penulis menyadari kelemahan serta keterbatasan dalam menyelesaikan


makalah ini. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada :

1.Ibu Dr Elok Halimatus Sa Diyah, M. Si. selaku dosen Pembimbing


Akademik Psikologi Perkembangan yang telah memberikan
pengarahan dalam pembuatan makalah ini.
2.Teman-teman Kelas Psikologi A tahun 2020 yang telah memberikan
dukungan dan semangat dalam proses penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik


isi maupun susunannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat tidak
hanya bagi penulis juga bagi para pembaca.

Malang, 26 April 2021

Kelompok 7 dan 8

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2

C. Tujuan Masalah ......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan Moral Dewasa Tengah....................................................... 3

B. Perkembangan Spiritual Dewasa Tengah .................................................. 10

C. Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Tengah ............................................13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa dewasa tengah biasa disebut dengan masa paruh baya. Masa
dewasa tengah tampak lebih awal di usia 30 tahun, tetapi pada beberapa titik
di usia 40 tahun. Menurut Hurlock (1996), usia 52 tahun berada dalam rentang
perkembangan dewasa madya, yaitu antara usia 40 – 60 tahun. Masa dewasa
madya/tengah mencakup waktu yang lama dalam rentang hidup. Pada masa
dewasa tengah, individu melakukan penyesuaian diri secara mandiri terhadap
kehidupan dan harapan sosial. Kebanyakan orang telah mampu menentukan
masalah-masalah dengan cukup baik sehingga menjadi cukup stabil dan
matang secara emosinya.
Dalam California Longitudinal Study, pada waktu individu berusia
34 sampai 50 tahun, mereka adalah kelompok usia yang paling sehat, paling
tenang, dan paling bisa mengontrol diri, dan juga paling bertanggung jawab
(Levinson & Peskin, 1981 dalam Santrock, 2002).

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah perkembangan moral dewasa tengah?

2. Bagaimanakah perkembangan spiritual dewasa tengah?

3. Bagaimanakah tugas-tugas perkembangan dewasa tengah?

C. Tujuan

1. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan moral dewasa tengah

2. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan spiritual dewasa tengah

3. Mahasiswa mampu menjelaskan tugas-tugas perkembangan dewasa tengah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Moral Dewasa Tengah


Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,
bentuk jamaknya mores, yang artinya adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-
nilai atau tata cara kehidupan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:
592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Sedangkan
moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan,
nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
 Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan
keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
 Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan
berjudi.

Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut


sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sehingga tugas penting yang harus dikuasai adalah mempelajari apa yang
diharapkan oleh kelompoknya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar
sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan
diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan
peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan
seseorang dalam interaksinya dengan orang lain.
Ada 3 teori yang embahas mengenai perkembangan moral :
1. Teori Perkembangan Moral Piaget
Jean Piaget (1896-1980) menyusun teori perkembangan moralnya
yang dikenal sebagai teori struktural-kognitif. Teori ini melihat
perkembangan moral sebagai suatu hasil interaksi antara pelaksana aturan,
pengikut atau pembuatnya secara individual dengan kerangka jalinan
aturan yang bersangkutan yang menunjukkan esensi moralitas itu. Fokus
teori ini ada pada sikap, perasaan (afeksi), serta kognisi dari individu
6
terhadap perangkat aturan yang bersangkutan (Kurtines, 1992: 513). Teori
struktur-kognitif Piaget dibangun berdasarkan penelitiannya mengenai
struktur kognitif dan perkembangan penalaran moral (moral reasoning)
yang termuat dalam karya klasiknya yang terbit pertama kali pada 1932,
The Moral Judgement of the Child (Conn, 1982: 378). Piaget
mengemukakaan bahwa penalaran moral berkembang dalam tiga tahapan,
yaitu:
1) Pra-oprasional
Penalaran moral seseorang didasarkan atas kepatuhan pada
pihak otoritas. Mereka berpikir kaku mengenai konsep-konsep moral.
Mereka tidak dapat membayangkan lebih dari satu cara untuk melihat
persoalan moral. Mereka meyakini bahwa aturan berasal dari otoritas
pihak dewasa dan tidak dapat diubah, tidak peduli perilaku itu benar
ataupun salah, dan semua kesalahan harus diberikan hukuman tanpa
memedulikan niatnya.
2) Oprasional Kongkret
Tahap ini dicirikan dengan fleksibilitas. Interaksi dengan lebih
banyak orang yang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda
sehingga mereka lebih memiliki pandangan yang luas. Mereka mulai
membuang ide bahwa ada standar benar dan salah yang tunggal dan
mutlak. Mereka dapat mempertimbangkan lebih dari satu aspek dalam
sebuah situasi dan dapat membuat penilaian moral yang lebih halus,
seperti mempertimbangkan niatnya. pelaksanaan peraturan sudah
mulai bersifat sebagai aktivitas sosial, sifat egosentrik sudah mulai
ditinggalkan. Dalam tahap ini sudah ada keinginan yang kuat untuk
memahami peraturan, dan setia mengikuti peraturan tersebut. Sifat
heteronomi mulai bergeser pada sifat otonomi.
3) Oprasional Formal
Pada tahap ini seseorang sudah dapat memahami penalaran
moral lebih baik dari tahap-tahap sebelumnya. Sudah ada kemampuan
untuk berpikir abstrak, sudah ada kesadaran bahwa peraturan
merupakan hasil kesepakatan bersama. Tahap ini merupakan tahap
7
kodifikasi atau tahap pemantapan peraturan (Soenarjati dan Cholisin,
1989: 34-35) Ia sudah dapat menilai suatu masalah dengan
mempertimbangkan situasi yang lebih spesifik, seperti lebih
mempertimbangkan niat dari suatu perilaku.

2. Teori Perkembangan Moral Kohlberg

Perkembangan moral pada teori Kohlberg terbagi menjadi 3 tahap,


yaitu:
a. Preconventional morality (4-10)
 Orientasi kepatuhan dan hukuman, pada tahap ini seseorang akan
mematuhi aturan atas dasar alasan eksternal yaitu untuk
menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah.
 Orientasi minat pribadi, berperilaku atas dasar kepentingan
pribadinya seperti apa keuntungan untuknya jika ia melakukan
atau tidak melakukan hal itu.

b. Conventional Morality (setelah 10 tahun)


 Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas, pada tahap ini
seseorang telah menginternalisasi standar dari figur otoritas, ia
peduli untuk menjadi seseorang yang baik dan meyenangkan bagi
orang lain.
 Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial, seseorang akan
berusaha untuk mempertahankan aturan sosial.

c. Postconventional Morality (dewasa awal sampai dewasa akhir)


 Orientasi kontrak sosial
aturan dianggap sebagai kontrak sosial bukan sebagai keputusan
yang kaku, dimana bila ada aturan yang dapat memunculkan
ketidaksejahteraan aturan tersebut harus diubah melalui pendapat
mayoritas dan kompromi.
 Prinsip etika universal,

8
pada tahap ini keputusan mengenai perilaku-perilaku sosial
berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber
dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan
kepentingan orang lain, keyakinan terhadap moral pribadi dan
nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan
dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial.

3. Teori Bioekologi Bronfenbrenner

Menurut sudut pandang kontekstual, perkembangan manusia tidak


dapat dipisahkan dari lingkungannya. Teori bioekologi bronfenbrenner
menjelaskan berbagai proses yang saling berinteraksi dan mempengaruhi
dalam perkembangan manusia. Setiap organisme berkembang dalam konteks
sistem ekologi yang mendukung atau menghambat perkembangannya.
Menurut Bronfenbrenner, perkembangan muncul dari berbagai proses yang
rutin dan berkembang menjadi semakin rumit. Untuk memahami proses ini
kita harus mempelajari berbagai konteks dimana mereka berada, seperti
rumah atau tempat tinggal. Bronfenbrenner mengidentifikasi sistem
kontekstual yang saling terkait, yaitu:
a. Mikrosistem
Mikrosistem adalah setting tempat individu banyak menghabiskan
waktu. Beberapa konteks dalam sistem ini antara lain adalah keluarga,
teman sebaya, sekolah, dan tetangga. Dalam mikrosistem inilah individu
berinteraksi dengan agen sosial secara langsung (keluarga, teman
sebaya, guru). Menurut Bronfenbenner, dalam setting ini individu
bukanlah penerima pengalaman yang pasif, tetapi sebagai individu yang
berinteraksi secara timbal balik dengan orang lain.
b. Mesosistem
Mesosistem adalah hubungan antara beberapa mikrosistem atau
hubungan antara beberapa konteks. Contohnya adalah hubungan antara
pengalaman keluarga dengan pengalaman sekolah, pengalaman sekolah
dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan
9
pengalaman teman sebaya.
c. Eksosistem
Eksosistem dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam
setting sosial lain, ketika individu tidak memiliki peran yang aktif
mempengaruhi hal yang individu alami dalam konteks yang dekat. Atau
sederhananya menurut eksosistem melibatkan pengalaman individu
yang tak memiliki peran aktif di dalamnya. Misalnya, pengalaman kerja
dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan
anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya
melakukan lebih banyak pekerjaan, yang dapat meningkatkan konflik
perkawinan dan perubahan pola interaksi orang tua-anak.
d. Makrosistem
Makrosistem adalah kultur yang lebih luas. Kultur merupakan
istilah yang luas yang mencakup peran etnis dan faktor sosioekonomi
dalam perkembangan. Misalnya, beberapa kultur (seperti Mesir dan Iran
sebagai negara Islam), menekankan pada peran gender yang
tradisioanal. Kultur lain (seperti di Amerika Serikat) menerima peran
gender yang lebih bervariasi. Di kebanyakan negara Islam sistem
pendidikannya mengutamakan dominasi pria. Di Amerika, sekolah-
sekolah semakin mendukung nilai kesetaraan antara pria dan wanita.
e. Kronosistem
Kronosistem meliputi pengolahan peristiwa-peristiwa sepanjang
rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris dari perkembangan
individu. Misalnya, dalam mempelajari dampak perceraian terhadap
anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering
memuncak pada tahun pertama setelah percaraian dan bahwa
dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan
(Hetherington, 1989 dalam Santrock, 2008). Dua tahun setelah
perceraian, interaksi dalam keluarga tidak begitu kacau dan lebih stabil.
Bronfenbrenner semakin banyak memberi perhatian kepada
kronosistem sebagai sistem lingkungan yang penting. Dia
memperhatikan dua problem penting, yaitu banyaknya anak Amerika
10
yang hidup dalam kemiskinan (terutama dalam keluarga single-parent)
dan penurunan nilai-nilai.

Penjelasan lebih lanjut Hubungan Teori diatas dengan Dewasa Tengah atau Madya
Ditinjau dari teori perkembangan moral dari Piaget yang disebut juga
dengan teori perkembangan stuktur-kognitif seseorang yang telah mencapai usia
dewasa madya (40-60 th) sewajarnya telah mencapai tahap “Operasional Formal”
dimana seseorang telah mampu berpikir secara abstrak termasuk penalarannya
mengenai aturan-aturan dan moral.
Seorang yang telah mencapai tahap ini menyadari bahwa aturan
merupakan suatu kesepakatan bersama Dalam perkembangan dari remaja menjadi
dewasa awal kemudian dewasa madya, seseorang dalam tahap perkembangan
moralnya mengalami tahap kodifikasi atau pemantapan peraturan seiring dengan
pertambahan usianya. Selain itu, orang-orang dewasa madya mampu
mempertimbangkan moral yang menyangkut orang lain namun ia juga menyadari
akan maksunya sendiri. Sehingga ia sudah dapat menilai suatu masalah dengan
mempertimbangkan situasi yang lebih spesifik, seperti lebih mempertimbangkan
niat dari suatu perilaku.
Sementara bila ditinjau dari teori perkembangan moral Kohlberg, seorang
dewasa madya yaitu 40-60 tahun telah mencapai tahap “Pasca-Konvensinal” atau
“Post-Conventional”. Pada tahap Post-Conventional oleh Kohlberg dibagi lagi
menjadi dua tahap yaitu tahap orientasi kontrak sosial dan tahap prinsip etika
universal. Seorang manusia dewasa baik dewasa awal maupun dewasa madya
menurut Kohlberg telah mencapai tahap Post-conventional ini, namun menurut
Kohlberg tidak semua orang mampu mencapai tahap perkembangan moral
terakhir yaitu prinsip etika universal. Oleh karena itu tahap perkembangan moral
dewasa madya berkisar pada tahap Post-conventional.
Pada tahap Post-Conventional, seseorang menganggap bahwa aturan
adalah suatu kontrak sosial yang dapat berubah apabila aturan tersebut
memunculkan suatu ketidaksejahteraan melalui pendapat meyoritas atau
kompromi. Selain itu semakin berkembangnya moral seseorang, keputusan dalam
berperilaku berdasarkan atas prinsip-prinsip moral dan kepentingan orang lain.
11
Keyakinan terhadap moral dan nilai-nilai melekat meskipun sewaktu-waktu
berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial.
Dari kedua teori perkembangan tersebut, keduanya memandang suatu
perkembangan secara bertahap. Sementara itu berdasarkan teori Bioekologi
Bronfenbrenner perkembangan moral seseorang selalu dipengaruhi oleh faktor
lingkungannya. Seperti keluarga, teman sebaya, media massa, budaya, dan
sebagainya. Sehingga dalam sekelompok orang usia dewasa madya yang berasal
dari (misalanya) budaya yang berbeda dan daerah yang berbeda dapat terjadi
perbedaan dalam perkembangan moralnya.

PERKEMBANGAN EMOSI, SOSIAL DAN MORAL DEWASA MADYA


Emosi, sosial dan moral pada masa ini berkaitan dengan beberapa hal :
 Pernikahan dan cinta Individu berada masa kestabilan
 Sindrom sarang kosong Terjadi karena anak-anak mulai meninggalkan orang
tuanya
 Hubungan persaudaraan dan persahabatan Hubungan dengan saudara dan teman
meningkat
 Pengisian waktu luang Individu membangun dan memenuhi aktivitas waktu
luang untuk persiapan pensiun
 Hubungan antar generasi Keterdekatan hubungan tampak pada keterdekatan
anak-anak yang beranjak dewasa dengan orang tua
Perkembangan Intelegensi :
1. Crystalized Intelligence (kemampuan akumulasi informasi dan keterampilan
verbal meningkat)
2. fluid Intelligence (kemampuan penalaran abstrak menurun)
3. Hasil penelitian Willis & Schaie (1999) menunjukkan bahwa kemampuan
intelektual yaitu perbendaharaan kata, memori verbal, angka, orientasi spasial,
penalaran induktif, dan kecepatan perseptual meningkat.

12
B. Perkembangan Spiritual Dewasa Tengah

Dalam studi yang dilakukan MacArthur, “Study of Midlife Develoment’’


lebih dari 70 % orang dewasa menengah di Amerika Serikat mengatakan
dirinya religious dan menganggap spiritualitas sebagai bagian utama
kehidupanya (Brim, 1999).
Agama memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupansejumlah
orang dewasa, sementara pada sejumlah orang dewasa lainya , perannya
mungkin kecil atau tidak ada sama sekali ( McCullough & kawan-kawan,
2005). Selain itu, pengaruh agama terhadap kehidupan seseorang dapat berubah
seiring dengan perkembangan mereka (George, 2009; Sapp, 2010). Dalam
studi longitudinal yang dilakuakan oleh John Clausen (1993), beberapa
individu yang memiliki kehidupan religious yang kuat di masa dewasa awal,
menjadi kurang religious di masa dewasa menengah . dalam studi longitudinal
yang dilakukan terhadap individu berusia 30-an hingga akhir 60-an / awal 70-
an, terjadi peningkatan spiritualitas yang berarti terjadi antara akhir dewasa
menengah ( pertengahan 50-an / awal 60-an ) dan dewasa akhir ( Wink &
Dillon, 2002).
Secara konsisten wanita memperlihatkan minat yang lebih besar terhadap
agama dibandingkan pria. Dalam studi longitudinal ini, spiritualitas wanita
memperlihatkan peningkatan yang lebih besar dibandingkan pria di
pertengahan kedua dari masa hidupnya ( Wink & Dillon, 2002 ).

Agama dan Mengatasi Stres


Menghadapi stres secara religious sering kali menguntungkan pada masa-
masa stress tingkat tinggi dan kelompok yang tingkat stress nya rendah ( Manton
1989 ). Studi baru mengungkapkan bahwa ketika agama menjadi aspek penting
dalam hidup orang, mereka sering berdoa, dan mereka punya keyakinan dasar
agama yang positif, mereka lebih jarang khawatir, jarang cemas, dan punya gejala
depresi yang rendah. ( Rosmarine, Krumrei, & Andersson, 2009 ).

13
Agama dan Kesehatan
Bagi individu-individu yang menganut agama besar, terdapat kaitan antara
agama dan Kesehatan fisik. ( Campbell, Yoon, Johnstone, 2009; McCullough &
Willoughby, 2009 ). Para peneliti menemukan bahwa komitmen religious
membantu menurunkan tekanan darah dan hipertensi hingga level menengah dan
bahwa kehadiran di kegiatan keagamaan berkaitan dengan penurunan tekanan darah
( Gillum & Ingram, 2007 ). Selain itu, sejumlah studi mengkonfirmasi hubungan
positif antar partisipasi religious dengan panjangnya usia (Oman & Thoresen,
2006).
Dalam bagian Mengoneksikan perkembangan dengan kehidupan atau
hubungan antara agama dan mengatasi masalah. Singkatnya, berbagai dimensi
religiusitas dapat membantu Sebagian individu untuk menghadapi hidup mereka
secara lebih efektif ( Park, 2010 ). Konselor religious sering memberikan saran
kepada orang tentang kesehatan mental dan cara menghadapi masalah.

Makna Hidup
Frank menyebutkan tiga kualitas yang hanya dimiliki oleh manusia, yakni
spiritualitas, kebebasan, dan tanggung jawab. Dalam pandangan Frankl, spiritualitas
tidak memilik dsar agama. Spiritualitas merujuk pada keunikan hakikat manusia
kepada spirit, filosofi, dan pikiran. Menurut Frankl, manusia perlu mengajukan
pertanyaan kepada dirinya sendiri seperti mengenai mengapa mereka ada, apa yang
mereka inginkan dari hidup, dan apa yang menjadi makna dalam hidup mereka.
Di masa dewasa menengah ,individu mulai lebih sering dihadapkan pada
kematian, khususnya kematian orang tua dan saudara-saudara yang lebih tua.
Berhadapan dengan kurangnya waktu dalam hidup. Banyak individu di masa ini
mulai bertanya dan meng evaluasi pertayaa yang di ajukan oleh Frankl ( Cohen,
2009 ). Dan, sebagaimana yang kami nyatakan dalam diskusi mengenai agama dan
mengatasi masalah, mengatasi masalah yang ditempuh dengan cara membuat
makna secara khusus membantu ketika individu menghadapi stress yang kronis dan
kehilangan.

14
Roy Baumeister dan Kathleen Vosh menyatakan bahwa pertanyaan yang
menyangkut makna hidup dapat dipahami menurut empat kebutuhan akan makna,
yang membimbing bagaimana seseorang membuat makna dari hidup mereka.
 Kebutah akan keterarahan. “ peristiwa-peristiwa yang berlangsung saat ini dapat
memperoleh makna dari keterkaitanya dengan peristiwa-peristiwa di masa depan.
Keterarahan dapat diabagi ke dalam ( 1 ) Tujuan ( 2 ) Pemenuhan. Hidup dapat di
orientasikan ke kondisi di masa depan yang di antisipasikan, seperti hidup
Bahagia selamnya atau dicintai.
 Kebutuhan akan nilai. Hal ini dapat menggiring pada penghayatan mengenai
kebijakan dan membenarkan rangkaian-rangkaian Tindakan tertentu. Nilai-nilai
memungkinkan seseorang untuk memutuskan apakah Tindakan-tindakan tersebut
benar atau salah .
 Kebutuhan akan penghayatan terhadap efficacy. Hal ini mencakup keyakinan
bahwa seseorang dapat membuat perubahan. Hidup yang memiliki arah dan nilai
namun tidak memiliki efficacy akan menjadi hidup yang tragis .
 Kebutuhan akan nilai diri ( self worth ). Sebagian besar individu ingin menjadi
pribadi yang “ baik” dan berharga. Self worth dapat dikejar secara individual.
Studi juga menyatakan bahwa individu yang telah menemukan rasa pemaknaan
dalam hidup punya fisik yang lebih sehat dan merasa lebih Bahagia, dan
mengalami lebih sedikit depresi, daripada mereka yang belum menemukan makna
dalam hidup mereka.

C. Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Tengah

Kebanyakan tugas perkembangan usia madya mempersiapkan individu


bagi penyesuaian yang berhasil terhadap usia tua. Dengan demikian, penguasaan
tugas-tugas ini penting artinya untuk keberhasilan dan kebahagian baik pada usia
madya maupun pada tahun-tahun terakhir kehidupan serta pemanfaatan kegiatan
pada waktu luang. Sebagian besar pengembangan tugas-tugas usia madya
diarahkan pada persiapan individu demi suksesnya upaya menyesuaikan diri
menuju usia tua. Oleh karena itu, jelas bahwa kemampuan menguasai tugas-
tugas perkembangan yang sesuai dengan usia merupakan hal yang penting demi
15
suksesnya dan kebahagian tidak saja pada usia madya akan tetapi juga pada
detik-detik akhir hayat dikandung badan (Jahja, 2011).
Adapun yang menjadi sumber dari pada tugas-tugas perkembangan
tersebut menurut Havighurst adalah Kematangan fisik, tuntutan masyarakat atau
budaya dan nilai-nilai dan aspirasi individu. Menurut Havighurst, tugas
perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan individu pada fase-
fase atau periode kehidupan tertentu; dan apabila berhasil mencapainya mereka
akan berbahagia, tetapi sebaliknya apabila mereka gagal akan kecewa dan dicela
orang tua atau masyarakat dan perkembangan selanjutnya juga akan mengalami
kesulitan. Pembagian tugas-tugas perkembangan untuk dewasa madya
dikemukakan oleh Havighurst sebagai berikut :
1. Menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik dan fisiologis.
2. Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai individu.
3. Membantu anak-anak remaja belajar menjadi orang dewasa yang
bertanggung jawab dan berbahagia.

4. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir


pekerjaan.
5. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang yang dewasa.
6. Mencapai tanggung jawab sosial dan warga Negara secara penuh.
Masalah-masalah tertentu yang timbul dalam penyesuaian diri merupakan
ciri dari usia madya pada kebudayaan masa kini. Masalah utama yang harus
dipecahkan dan disesuaikan secara memuaskan selama usia madya mencakup apa
saja yang menjadi tugas-tugas perkembangan selama periode ini.
Hurlock (Hurlock, 1980), membagi tugas-tugas perkembangan periode
dewasa madya menjadi empat kategori utama, yaitu tugas penyesuaian diri
terhadap perubahan fisik dan fisiologis, tugas penyesuaian diri terhadap perubahan
minat, tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kejujuran, dan tugas yang
berkaitan dengan keluarga. Berikut penjelasan lengkapnya :
1. Tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik
Salah satu dari sekian banyak penyesuaian yang sulit bagi pria
maupun wanita berusia madya yang diharus lakukan adalah dalam

16
mengubah penampilan, Mereka harus benar-benar menyadari bahwa fisik
nya sudah tidak mampu berfungsi lagi sama seperti sediakala pada saat
mereka kuat dan bahkan beberapa organ-organ tertentu tubuh yang vital
sudah "aus". Mereka yang berusia madya harus dapat menerima kenyataan
bahwa kemampuan mereproduksi sudah berkurang atau akan berakhir, dan
bahkan mungkin mereka akan kehilangan dorongan seks serta daya tarik
seksual. Seperti anak-anak puber yang pada masa kanak-kanaknya
berurusan tentang akan jadi apa mereka dan bagaimana penampilannya
bila mereka sudah besar kelak dan siapa yang kemudian menyesuaikan diri
sehingga realitas penampilan mereka bila tidak bertumbuh sesuai dengan
harapan mereka, demikian juga orang berusia madya harus mengesankan
diri terhadap perubahan-perubahan yang tidak mereka sukai dan yang
menandai tibanya usia tua mereka.
2. Tugas yang Berkaitan dengan Perubahan Minat
Perubahan minat yang ada pada masa usia madya terjadi sebagai
akibat dari perubahan tugas, tanggungjawab, kesehatan dan peran dalam
hidup. Perubahan minat ini dirasakan oleh pria dan wanita. Dalam banyak
kasus, perubahan ini terjadi secara bertahap dan tersebar ke seluruh tingkat
usia madya tersebut. Keinginan baru mungkin akan menjadi mantap pada
waktu usia madya, tetapi baik pria mau pun wanita nampaknya lebih
berperan teguh pada minat lama yang pernah memberikan kepuasan,
daripada harus menggantinya dengan minat baru, kecuali lingkungan dan
pola hidupnya berubah, tetapi masih mempunyai Kesempatan untuk
mengembangkan keinginan dan motivasi baru.
3. Tugas yang Berkaitan dengan Penyesuaian Kejuruan
Tugas ini berkisar pada pemantapan dan pemeliharaan standar
hidup yang relative mapan.
4. Tugas yang Berkaitan dengan Kehidupan Keluarga
Tugas yang penting dalam kategori ini meliputi hal-hal yang
berkaitan dengan seseorang sebagai pasangan, menyesuaikan diri dengan
orang tua yang lanjut usia, dan membantu anak remaja untuk jadi orang
dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia. Penyesuaian terhadap
17
perubahan keluarga dalam usia madya, sering dipersulit oleh sejumlah
faktor yang berhubungan secara langsung atau pun tidak langsung dengan
kehidupan keluarga. Berikut factor yang dapat merumitkan penyesuaian
diri terhadap keluarga pada masa dewasa madya :
a) Perubahan fisik
b) Hilangnya peran sebagai orang tua
c) Kurangnya persiapan
d) Perasaan kegegalan
e) Merasa tidak berguna
f) Kekecewaan terhadap perkawinan
g) Merawat anggota keluarga berusia lanjut

18
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan teori perkembangan moral dari Piaget, seseorang yang telah
mencapai dewasa tengah yakni berusia 40-60 tahun, ia sewajarnya telah mencapai
tahap Operasional Formal yang mampu berpikir secara abstrak mengenai moral
dan aturan-aturan yang disepakati bersama. Sementara berdasarkan teori
perkembangan moral Kohlberg dewasa tengah telah mampu mencapai tahap Post-
Conventional, akan tetapi karena menurut Kohlberg sendiri bahwa tahap ke enam
tidak semua orang mampu mencapainya, perkembangan moral dewasa tengah
berkisar pada dua tahap di Post-Conventional. Perkembangan moral dan spiritual
masing-masing orang akan berbeda-beda satu sama lain, hal itu dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti faktor ekobiologik dan lingkungan yang ada.

22
DAFTAR PUSTAKA

John W. Santrock. 2002. Life-Span Development. Jakarta : Penerbit Erlangga


Papalia, Diane., Olds, Sally., Feldman, Ruth. 2009. Human Development jilid 1. Jakarta:
Salemba Humanika
Papalia, Diane., Olds, Sally., Feldman, Ruth. 2009. Human Development jilid 2. Jakarta:
Salemba Humanika
Hurlock, E. B. (1980). Development Psychology A life Span Approach (5th ed.). New
York: McGraw Hill.
Jahja, Y. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai