Anda di halaman 1dari 32

PSIKOLOGI SOSIAL

(Identitas Sosial : Self & Gender)


A. Pengertian Identitas Sosial
 Teori Identitas Sosial sendiri mulai dikenalkan oleh seorang tokoh yang
bernama Henri Tajfel, dia adalah keturunan yahudi Polandia yang lahir di
Wloclawek pada 22 Juni 1919. Akan tetapi, Tajfel sama sekali tidak
menganut agama yang dianutnya secara penuh.
 Tajfel tertarik belajar psikologi mulai tahun 1946. Ditahun1968, Tajfel
menjadi Profesor Psikologi Sosial dari Departemen Psikologi pada
Universitas Bristol, dan dia tetap di sana sampai kematian menjemputnya
pada tahun 1982. 
 Di Universitas Bristol Tajfel bekerja sama dengan peneliti-peneliti muda
seperti Michael Billing, Dick Eisier, Jonathan Turner dan Glyns
Breakwell. Pada 1974 Tajfel berhasil mengajukan proposal ke Social
Science Research Council (SSRC) mengenai identitas sosial, kategorisasi
sosial, dan perbandingan sosial dalam tingkah laku hubungan antar
kelompok. Nantinya, bersama Turner, Tajfel mempopulerkan teori
identitas sosial. (Reicher, 1993, dalam Woodhead et al., 1999 ).
 Awal dari kehidupan, setiap orang mulai memiliki pandangan tentang
siapa dirinya, termasuk apakah ia harus melabel dirinya sebagai
“perempuan” atau “laki-laki”.
 Dengan kata lain, setiap membangun sebuah identitas sosial (social
identity), sebuah defenisi diri yang memandu bagaimana kita
mengonseptualisasi dan mengevaluasi diri sendiri.
 Menurut Baron & Byrne (2004) Identitas sosial (social identity) adalah
definisi seseorang tentang siapa dirinya termasuk di dalamnya atribut
pribadi (self concept) serta keanggotaan dalam berbagai kelompok (aspek

1|Page
yang dimiliki bersama dengan orang lain. Contoh: saya adalah mahasiswa
IPB (identitas sosial saya adalah sebagai mahasiswa IPB).
 Identitas sosial mencakup nama, konsep diri, gender (laki-laki/
perempuan), hubungan interpersonal (anak perempuan, anak laki-laki,
pasangan, orang tua, dll), afiliasi politik/ idiologi (feminis, pecinta
lingkungan demokrat, vebetarian, dll), atribut khusus (homoseksual,
cerdas,MR, pendek, tampan, dll) afiliasi etnis/ religius (Katolik, Orang
Selatan, Hispanik, Yahudi, dll).
 Menurut William James dalam Walgito, identitas sosial lebih diartikan
sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, dimana diri adalah segala
sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya
tentang tubuh dan keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga tentang
anak–istrinya, rumahnya, pekerjaannya, nenek moyangnya, teman–
temannya, milikinya, uangnya dan lain–lain.
 Menurut Henri Tajfel (1982) Social Identity (identitas sosial) adalah
bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka
tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan
signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Social identity
berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari
keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu.
 Menurut Hogg dan Abram (1990)  Social identity sebagai rasa keterkaitan,
peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai
kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu
memiliki hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki
berbagai minat.
 Menurut William James (dalam Walgito, 2002) Social identity lebih
diartikan sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, dimana diri adalah
segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan

2|Page
hanya tentang tubuh dan keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga
tentang anak–istrinya, rumahnya, pekerjaannya, nenek moyangnya, teman–
temannya, milikinya, uangnya dan lain–lain.
 Menurut Barker (2004) Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan,
soal personal dan sosial, soal apa yang kamu miliki secara bersama-sama
dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang lain.
 Menurut Fiske dan Taylor (1991) : social identity menekankan nilai positif
atau negatif dari keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu.
 Berdasarkan uraian maka dapat disimpulkan bahwa identitas sosial (social
identity) adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari
pengetahuan atas keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial tertentu,
yang di dalamnya disertai dengan nilai-nilai, emosi, tingkat keterlibatan,
rasa peduli dan juga rasa bangga terhadap keanggotaannya dalam
kelompok tersebut.
B. Dimensi dalam mengkonseptualisasikan social identity
 Menurut Jackson and Smith (dalam Barron and Donn, 1991) ada
empat dimensi dalam mengkonseptualisasikan social identity, yaitu:
a) Persepsi dalam konteks antar kelompok
Dengan mengidentifikasikan diri pada sebuah kelompok, maka
status dan gengsi yang dimiliki oleh kelompok tersebut akan
mempengaruhi persepsi setiap individu didalamnya. Persepsi tersebut
kemudian menuntut individu untuk memberikan penilaian, baik
terhadap kelompoknya maupun kelompok yang lain.
b) Daya tarik in-group
Secara umum, in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok
dimana seseorang mempunyai perasaan memiliki dan “common
identity” (identitas umum). Sedangkan out group adalah suatu
kelompok yang dipersepsikan jelas berbeda dengan “in group”.

3|Page
Adanya perasaan “in group” sering menimbulkan “in group bias”,
yaitu kecenderungan untuk menganggap baik kelompoknya sendiri.
Menurut Henry Tajfel (1974) dan Michael Billig (1982) in group
bias merupakan refleksi perasaan tidak suka pada out group dan
perasaan suka pada in group. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena
loyalitas terhadap kelompok yang dimilikinya yang pada umumnya
disertai devaluasi kelompok lain.
Berdasarkan Social Identity Theory, Henry Tajfel dan John
Tunner (1982) mengemukakan bahwa prasangka biasanya terjadi
disebabkan oleh “in group favoritism”, yaitu kecenderungan untuk
mendiskriminasikan dalam perlakuan yang lebih baik atau
menguntungkan in group di atas out group. Berdasarkan teori
tersebut, masing-masing dari kita akan berusaha meningkatkan harga
diri kita, yaitu: identitas pribadi (personal identity) dan identitas
sosial (social identity) yang berasal dari kelompok yang kita miliki.
Jadi, kita dapat memperteguh harga diri kita dengan prestasi yang kita
miliki secara pribadi dan bagaimana kita membandingkan dengan
individu lain.
c)  Keyakinan yang saling terkait
Social identity merupakan keseluruhan aspek konsep diri
seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori
keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang
bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap
kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari
keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang
memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan
harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat
identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri.
Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise
4|Page
yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang
rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang
mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan
meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga
meningkat.
d) Depersonalisasi
Ketika individu dalam kelompok merasa menjadi bagian dalam
sebuah kelompok, maka individu tersebut akan cenderung
mengurangi nilai-nilai yang ada dalam dirinya, sesuai dengan nilai
yang ada dalam kelompoknya tersebut. Namun, hal ini juga dapat
disebabkan oleh perasaan takut tidak ‘dianggap’ dalam kelompoknya
karena telah mengabaikan nilai ataupun kekhasan yang ada dalam
kelompok tersebut. Keempat dimensi tersebut cenderung muncul
ketika individu berada ditengah-tengah kelompok dan ketika
berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya.
C. Komponen Identitas Sosial
Menurut Tajfel (1982), identitas sosial terdiri dari tiga komponen
utama, yaitu :
1. Komponen Kongnitif (cognitive component)
Kesadaran kognitif akan keanggotaannya dalam kelompok,
seperti self categorization. Individu mengkategorisasikan dirinya
dengan kelompok tertentu yang akan menentukan kecenderungan
mereka untuk berperilaku sesuai dengan keanggotaan kelompoknya.
(dalam Ellemers, 1999). Komponen ini juga berhubungan dengan self
stereotyping yang menghasilkan identitas pada diri individu dan
anggota kelompok lain yang satu kelompok dengannya. Self
stereotyping dapat memunculkan perilaku kelompok (Hogg, 2001).
2. Komponen Evaluatif (Evaluative Component)

5|Page
Merupakan nilai positif atau negatif yang dimiliki oleh individu
terhadap keanggotaannya dalam kelompok, seperti group self esteem.
Evaluative component ini menekankan pada nilai-nilai yang dimiliki
individu terhadap keanggotaan kelompoknya (dalam Ellemers, 1999).
3. Komponen Emosional (emotional component) 
Merupakan perasaan keterlibatan emosional terhadap kelompok,
seperti komitmen afektif. Komponen Emosional ini lebih menekankan
pada seberapa besar perasaan emosional yang dimiliki individu
terhadap kelompoknya. Komitmen afektif cenderung lebih kuat dalam
kelompok yang dievaluasi secara positif karena kelompok lebih
berkontribusi terhadap identitas sosial yang positif. Hal ini
menunjukkan bahwa identitas individu sebagai anggota kelompok
sangat penting dalam menunjukkan keterlibatan emosionalnya yang
kuat terhadap kelompoknya walaupun kelompoknya diberikan
karakteristik negatif.
D. Motivasi Melakukan Social Identity
Menurut Hogg dan Vaughan (2011), terdapat tiga motivasi yang
melatar-belakangi pembentukan identitas sosial pada seseorang, yaitu
sebagai berikut, yaitu :
a) Self-enhancement dan positive distinctiveness 
Positive distinctiveness mencakup keyakinan bahwa kelompok
kita lebih baik dibandingkan kelompok mereka. Kelompok dan
anggota yang berada di dalamnya akan berusaha untuk
mempertahankan positive distinctiveness tersebut karena hal itu
menyangkut dengan martabat, status, dan kelekatan dengan
kelompoknya. Positive distinctiveness sering kali dimotivasi oleh
harga diri anggota kelompok. Ini berarti bahwa harga diri yang rendah
akan mendorong terjadinya identifikasi kelompok dan perilaku antar

6|Page
kelompok. Dengan adanya identifikasi kelompok, harga diri pun akan
mengalami peningkatan. Self-enhancement tak dapat disangkal juga
terlibat dalam proses identitas sosial. Karena motif individu untuk
melakukan social identity adalah untuk memberikan aspek positif
bagi dirinya, misalnya meningkatkan harga dirinya, yang
berhubungan dengan self enhancement.
b) Uncertainty Reduction 
Motif ini secara langsung berhubungan dengan kategorisasi sosial.
Individu berusaha mengurangi ketidakpastian subjektif mengenai
dunia sosial dan posisi mereka dalam dunia sosial. Individu suka
untuk mengetahui siapa mereka dan bagaimana seharusnya mereka
berperilaku. Selain mengetahui dirinya, mereka juga tertarik untuk
mengetahui siapa orang lain dan bagaimana seharusnya orang lain
tersebut berperilaku.
Kategorisasi sosial dapat menghasilkan uncertainty reduction
karena memberikan group prototype yang menggambarkan
bagaimana orang (termasuk dirinya) akan/dan seharusnya berperilaku
dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam uncertainty reduction,
anggota kelompok terkadang langsung menyetujui status keanggotaan
mereka karena menentang status kelompok berarti meningkatkan
ketidakpastian self-conceptualnya. Individu yang memiliki
ketidakpastian self-conceptual akan termotivasi untuk mengurangi
ketidakpastian dengan cara mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok yang statusnya tinggi atau rendah. Kelompok yang telah
memiliki kepastian self-conceptual akan dimotivasi oleh self-
enhancement untuk mengidentifikasi dirinya lebih baik terhadap
kelompoknya.
c) Optimal Distinctiveness 

7|Page
Individu berusaha menyeimbangkan dua motif yang saling
berkonflik (sebagai anggota kelompok atau sebagai individu) dalam
meraih optimal distinctiveness. Individu berusaha untuk
menyeimbangkan kebutuhan mempertahankan perasaan individualitas
dengan kebutuhan menjadi bagian dalam kelompok yang akan
menghasilkan definisi dirinya sebagai anggota kelompok
E. Proses Pembentukan Identitas Diri
1. Interaksi social dengan keluarga langsung.
Misal: dalam kelurga Susi selalu dinasehati: “Kita ini keluarga
terpelajar, jadi jangan sampai nilai kamu kalah dari yang lainnya!”,
maka dalam diri Susi ada konsep diri keluarga terpelajar dan tekun
belajar.
2. Interaksi sosial dengan orang lain sepanjang hidup.
Misal : teman-teman Susi selalu mengatakan, “Susi baik sekali yah”,
“dia anak yang baik yah”, maka dalam diri Susi terbentuk konsep diri
orang baik, sebaliknya.
Dinamika identitas sosial lebih lanjut, ditetapkan secara lebih
sistematis oleh Tajfel dan Turner pada tahun 1979. Mereka membedakan
tiga proses dasar terbentuknya identitas sosial, yaitu :

1. Identification
Ellemers menyatakan bahwa identifikasi sosial, mengacu pada
sejauh mana seseorang mendefinisikan diri mereka (dan dilihat oleh
orang lain) sebagai anggota kategori sosial tertentu. Posisi seseorang
dalam lingkungan, dapat didefinisikan sesuai dengan “categorization”
yang ditawarkan. Sebagai hasilnya, kelompok sosial memberikan
sebuah identification pada anggota kelompok mereka, dalam sebuah
lingkungan sosial. Ketika seseorang teridentifikasi kuat dengan
kelompok sosial mereka, mereka mungkin merasa terdorong untuk
8|Page
bertindak sebagai anggota kelompok, misalnya, dengan menampilkan
perilaku antar kelompok yang diskriminatif. Aspek terpenting dalam
proses identification ialah, seseorang mendefinisikan dirinya sebagai
anggota kelompok tertentu. Hogg & Abrams juga menyatakan bahwa
dalam identifikasi, ada pengetahuan dan nilai yang melekat dalam
anggota kelompok tertentu yang mewakili identitas sosial individu.
Selain untuk meraih identitas sosial yang positif, dalam melakukan
identifikasi, setiap orang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan
bagi dirinya sendiri dalam suatu kelompok.
2. Categorization
Ellemers menyatakan bahwa categorization menunjukkan
kecenderungan individu untuk menyusun lingkungan sosialnya dengan
membentuk kelompok-kelompok atau kategori yang bermakna bagi
individu. Sebagai konsekuensi dari categorization, perbedaan persepsi
antara unsur-unsur dalam kategori yang sama berkurang, sedangkan
perbedaan antara kategori (out group) lah yang lebih ditekankan.
Dengan demikian, categorization berfungsi untuk menafsirkan
lingkungan sosial secara sederhana. Sebagai hasil dari proses
categorization, nilai-nilai tertentu atau stereotip yang terkait dengan
kelompok, dapat pula berasal dari individu anggota kelompok itu juga.
Kategorisasi dalam identitas sosial memungkinkan individu menilai
persamaan pada hal-hal yang terasa sama dalam suatu kelompok.
Adanya social categorization menyebabkan adanya self categorization.
Self categorization merupakan asosiasi kognitif diri dengan kategori
sosial yang merupakan keikutsertaan diri individu secara spontan
sebagai seorang anggota kelompok.
3. Social Comparison.
Ketika sebuah kelompok merasa lebih baik dibandingkan dengan
kelompok lain, ini dapat menyebabkan identitas sosial yang positif.
9|Page
Identitas sosial dibentuk melalui perbandingan sosial. Perbandingan
sosial merupakan proses yang kita butuhkan untuk membentuk
identitas sosial dengan memakai orang lain sebagai sumber
perbandingan, untuk menilai sikap dan kemampuan kita. Melalui
perbandingan sosial identitas sosial terbentuk melalui penekanan
perbedaan pada hal-hal yang terasa berbeda pada ingroup dan
outgroup, dalam perbandingan sosial, individu berusaha meraih
identitas yang positif jika individu bergabung dalam ingroup.
Keinginan untuk meraih identitas yang positif dalam identitas sosial ini
merupakan pergerakan psikologis dari perilaku individu dalam
kelompok. Proses perbandingan sosial menjadikan seseorang mendapat
penilaian dari posisi dan status kelompoknya.

F. Aspek-Aspek Identitas Sosial


Menurut Guneri dkk (dalam Purwanti, 2013) aspek-aspek identitas
diri yaitu :
a) Sosial
Keanggotaan dalam kelompok dan pemenuhan peran, merupakan
aspek utama dalam pembentukan identitas sosial remaja. Keanggotaan
dalam kelompok merupakan fasilitas penting dalam menunjang
validasi diri. Penerimaan teman sebaya juga memiliki pengaruh yang
penting dalam pembentukan identitas diri remaja.
b) Fisik
Penampilan fisik memiliki pengaruh penting terhadap identitas diri.
Untuk sebagian remaja penilaian dari orang lain berkaitan dengan
penampilan fisik mereka memiliki pengaruh yang lebih besar
dibandingkan dengan penilaian diri mereka sendiri karena hal ini
mempengaruhi persepsi mereka.
c) Personal
10 | P a g e
Meliputi karakteristik kepribadian seperti harga diri, kepercayaan diri
dan kontrol diri, selain itu juga berhubungan dengan identitas jenis 23
kelamin yang kuat, dimana pria merasa lebih puas dengan identitas
jenis kelamin mereka.
d) Keluarga
Memegang peranan penting tergadap pembentukan identitas diri dan
perilaku remaja, orang tua adalah tokoh yang paling penting dalam
perkembangan identitas diri remaja.
G. Contoh Identitas Sosial
Berikut ini beberapa contoh identitas sosial kelompok yang melekat
pada diri seorang individu, diantaranya:
a) Ikatan mahasiswa Lampung di Bandung, berarti yang melekat pada
diri seseorang adalah anggota kelompok tersebut berasal drai provinsi
Lampung.
b) Individu yang tergabung dalam kelompok pecinta alam, berarti
anggota kelompok tersebut gemar mendaki gunung atau melakukan
aktivitas yang langsung ke alam.
c) Individu yang bergabung dalam kelompok pecinta kucing, artinya
anggota kelompok gemar memelihara kucing, saling bertukar
informasi cara merawatnya dan hal lain yang berkaitan dengan kucing.

H. The Self (Diri) : Komponen Identitas Unik Seseorang


Berpikir mengenai dirinya sendiri adalah aktivitas manusia yang tak
dapat dihindari pada umumnya, secara harfiah orang akan berpusat pada
dirinya sendiri. Sehingga self adalah pusat dari dunia sosial setiap orang.
Sementara seperti yang telah kita ketahui faktor genetik memainkan
sebuah peran terhadap identitas diri atau konsep self yang sebagian besar
didasarkan pada interaksi dengan orang lain yang dipelajari dimulai
11 | P a g e
dengan anggota keluarga terdekat kemudian meluas ke interaksi dengan
mereka diluar keluarga.

 Konsep Self : Skema Dasar


Konsep self adalah kumpulan keyakinan dan persepsi diri
mengenai diri sendiri yang terorganisasi. Self memberikan sebuah
kerangka berpikir yang menentukan bagaimana kita mengolah
informasi tentang diri kita sendiri, termasuk motivasi, keadaan
emosional, evaluasi diri, kemampuan dan banyak hal lainnya. Kita
bekerja sangat keras untuk melindungi citra diri kita dari informasi
yang mengancam untuk mempertahankan konsistensi diri dan untuk
menemukan alasan pada setiap inkonsistensi.
Orang cenderung menolak perubahan dan salah memahami atau
berusaha meluruskan informasi yang tidak konsisten dengan konsep
self mereka. Reaksi defensif akan berkurang Ketika individu memiliki
pengalaman menegaskan (self affirming experience) yang tidak
berhubungan. Sebagai contoh seseorang merasa punya selera humor
tinggi dan diminta untuk menuliskan atau memikirkan sebuah situasi
dimana menjadi seorang humoris memiliki efek yang positif. Setelah
itu individu menjadi lebih terbuka pada informasi baru serta kurang
sikap defensifnya terhadap informasi yang berpotensi mengancam
dirinya.
Sedikides dan Skowronski menyatakan bahwa self berevolusi
sebagai sebuah karakteristik adaptif. Aspek pertama yang muncul
adalah kesadaran diri subjektif, yaitu hal ini melibatkan kemampuan
organisme untuk membedakan dirinya dengan lingkungan fisik dan
sosialnya. Kemudian kesadaran diri objektif yaitu kapasitas organisme
untuk menjadi objek perhatiannya sendiri, menyadari keadaan
pikirannya sendiri, dan mengetahui bahwa ia tahu, mengingat bahwa

12 | P a g e
ia ingat. Sedangkan kesadaran diri simbolik adalah kemampuan
organisme untuk membentuk sebuah konsep abstrak dari self melalui
bahasa. Kemampuan ini membuat organisme mampu untuk
berkomunikasi, menjalin hubungan, menentukan tujuan, mengevaluasi
hasil, dan membangun sikap yang berhubungan dengan self, dan
membelanya terhadap komunikasi yang mengancam.
 Konsep Self Sosial
Selain identitas unik yang sering disebut sebagai konsep self
personal juga ada aspek sosial dari self yang kita bagi dengan orang
lain. Konsep diri sosial tidak sesederhana saat kita membentuk
asosiasi sebagai contoh dengan kelompok etnis tertentu tetapi
didefinisikan secara berbeda tergantung pada afiliasi etnis kita. Bagian
dari siapa kita dan bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri
ditentukan oleh identitas kolektif yang disebut sebagai self sosial
(social self) (lawan dari self personal (personal self). Self sosial terdiri
dari dua komponen: (1) berasal dari hubungan interpersonal dan (2)
berasal dari keanggotaan pada kelompok yang lebih besar dan kurang
pribadi seperti ras, etnis atau budaya. Hubungan dan kategori tersebut
menjadi bagian dari self. Baumeister dan Leary (1995) berargumen
bahwa self sosial didasarkan pada “kebutuhan untuk Bersama-sama”
yang merupakan karakteristik manusia yang dibawa secara genetik.
Konsep self sosial adalah setiap konsep self keseluruhan
seseorang terdiri dari banyak komponen yang berbeda yang
memberikan skema terhadap aspek spesifik dalam hidupnya. Satu
komponen tersebut yaitu interaksi sosial. Untuk kaum muda, konsep
self sosial ini dapat dibagi lebih jauh dalam kategori yang lebih
spesifik, seperti interaksi sosial di sekolah dan interaksi sosial dalam
keluarga. Di dalam setiap interaksi, spesifikasi lebih lanjut adalah

13 | P a g e
dalam interaksi dengan teman sekelas versus dengan guru dan
orangtua versus saudara.
Walaupun orang dalam budaya individualistis, pada umunya
mengasumsikan bahwa self relatif tetap konstan, namun tak disangkal
bahwa orang dapat dan mampu berubah seiring dengan berjalannya
waktu. Nyatanya, membandingkan diri sendiri sekarang dengan diri
sendiri di masa lalu sering kali menyenangkan karena hal tersebut
memungkinkan melihat perbaikan yang terus menerus. Kemungkinan
self (possible self) Adalah representasi mental terhadap kemungkinan
akan menjadi apakah kita atau seharusnya menjadi apa dimasa depan.

 Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Konsep Self


Konsep self berubah sesuai dengan perubahan situasi. Diantara
banyak faktor yang menyebabkan perubahan dalam konsep self, salah
satunya adalah faktor yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang.
Sebagai contoh, persepsi diri seseorang sangat dipengaruhi oleh
pekerjaan.
 Self-Esteem : Sikap terhadap Diri Sendiri
Self-esteem adalah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu,
sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi
positif-negatif. Evaluasi terhadap diri sendiri dikenal sebagai self-
esteem. Sedikides (1993) menyatakan tiga kemungkinan motif dalam
evaluasi diri, orang dapat mencari self-assesment (untuk memperoleh
pengetahuan yang akurat tentang dirinya sendiri), self-enhancement
(untuk mendapatkan informasi positif tentang diri mereka sendiri) atau
self-verification (untuk mengkonfirmasi sesuatu yang sudah mereka
ketahui tentang diri mereka sendiri).

14 | P a g e
Motif mana yang paling sering aktif akan tergantung dari budaya
dan kepribadian seseorang serta situasi yang dihadapinya. Kita telah
mendiskusikan peran self-enhancement dalam budaya barat dan self-
assesment dalam budaya kolektivistis. Pencarian akan self-verification
umum digunakan oleh mereka dengan pandangan diri negatif yang
tidak mau berubah. Untuk mempertahankan evaluasi diri negatif
mereka, mereka mencari pasangan yang mau memandang diri mereka
secara negatif bertingkah laku untuk membangkitkan persepsi negatif
dan mempersepsikan reaksi orang lain secara negatif walaupun reaksi
tersebut sebenarnya tidak negatif.

 Mengevaluasi Diri Sendiri


Memiliki self-esteem yang tinggi berarti seorang individu
menyukai dirinya sendiri. Evaluasi positif ini sebagian berdasarkan
opini orang lain dan sebagian lagi berdasarkan dari pengalaman
spesifik. Tingkah laku individu dengan self-esteem yang relatif rendah
lebih mudah diprediksikan daripada individu dengan self-esteem yang
tinggi, karena skema diri yang negatif diorganisasi lebih ketat
daripada skema diri yang positif. Sebagai contoh, jika anda
memandang diri anda negatif, anda dapat dengan mudah menjelaskan
kegagalan atau penolakan dalam hubungannya dengan kelemahan
anda.
Walaupun kita sering kali membicarakan self-esteem sebagai
sebuah kesatuan pada umumnya individu mengevaluasi diri mereka
sendiri dalam dimensi yang majemuk seperti olahraga, akademis,
hubungan interpersonal dan seterusnya. Self-esteem secara
keseluruhan mewakili rangkuman dari evaluasi spesifik ini.

15 | P a g e
Self-esteem seringkali diukur sebagai sebuah peringkat dalam
dimensi dimensi yang berkisar dar negatif sampai positif atau dari
rendah sampai tinggi. Sebuah pendekatan yang berbeda adalah dengan
meminta responden untuk mengindikasikan self ideal mereka seperti
apa, self mereka yang sebenarnya, dan kemudian meneliti perbedaan
diantara keduanya. Semakin besar perbedaan antara self dan idealnya,
semakin rendah self-esteem. Walaupun konten spesifiknya dapat
bervariasi seiring dengan berjalannya waktu, perbedaan self dengan
ideal cenderung stabil. Menyenangkan menerima umpan balik yang
menunjukkan bahwa kita berfungsi di tingkat ideal dalam beberapa
aspek dalam hidup kita, dan kurang menyenangkan untuk menghadapi
kenyataan bahwa kita kurang ideal.
Perbandingan sosial kebawah (downward social comparison)
Adalah membandingkan diri anda dengan diri orang lain yang lebih
buruk dalam atribut-atribut tertentu. Perbandingan sosial keatas
(upward social comparison) Adalah membandingkan diri anda sendiri
dengan diri orang lain yang lebih baik dalam atribut-atribut tertentu.
 Efek Self-Esteem Yang Tinggi Versus Rendah
Dalam kebanyakan kasus, self-esteem yang tinggi memiliki
konsekuensi yang positif yang positif, sementara self-esteem yang
rendah memiliki efek sebaliknya. Sebagai contoh, eveluasi diri negatif
dihubungkan dengan keterampilan sosial yang tidak memadai,
kesepian, depresi, dan unjuk kerja lebih buruk yang menyertai
pengalaman kegagalan. Tubuh seseorang dapat menjadi sumber self-
esteem, dan saat mereka diingatkan pada sifat mereka yang dapat
berubah, hal ini akan meningkatkan perjuangan self-esteem.

16 | P a g e
Self-esteem paradoks (paradoxical self-esteem) Adalah Ketika
kompetensi actual seseorang tidak sesuai dengan evaluasi dirinya atau
self-seteem yang tidak realistik baik tinggi atau rendah.
 Perubahan Dalam Self-Esteem
Peristiwa negatif dalam hidup memiliki efek negatif terhadap
self-esteem. Sebagai contoh, ketika masalah muncul di sekolah, di
tempat kerja, di dalam keluarga, atau diantara teman, akan terjadi
penurunan self-esteem. Peningkatan kecemasan, dan individu yang
terganggu akan berusaha mencari penguatan melalui berbagai cara.
Namun, biasanya tingkat self-esteem kita relatif konstan karena kita
menggunakan mekanisme majemuk untuk mempertahankan tingkat
itu. Mereka dengan self-esteem yang tinggi mengigat peristiwa yang
menyenangkan dengan lebih baik, yang membantu mempertahankan
evaluasi diri yang positif. Sedangkan mereka dengan self-esteem yang
rendah melakukan hal yang sebaliknya, mengingat peristiwa yang
tidak menyenangkan dengan lebih baik, untuk mempertahankan
sebuah evaluasi diri yang negatif.

I. Aspek Lain Dari Fungsi Self : Memfokuskan, Memonitor


Dan Menilai

 Memfokuskan Perhatian Pada Self atau Pada Dunia Eksternal


Self-focusing didefinisikan sebagai perhatian yang diarahkan
pada diri sendiri daripada sekelilingnya. Self-focusing yang terus
menerus dan konsisten dapat menciptakan kesulitan. Misalnya,
sebagai respon terhadap interaksi sosial yang tidak menyenangkan,
individu dengan gaya yang terfokus pada self mengalami perasaan
negatif lebih banyak, dan reaksi ini lebih kuat pada wanita dibanding
pria. Suatu hal yang penting untuk mampu memfocuskan diri secara

17 | P a g e
seimbang. Kenyataan bahwa kita dapat mengubah focus telah menjadi
bagian dari proses self-regulation terhadap pikiran kita sendiri.
Elemen kuncinya adalah kemampuan untuk mengontrol apa yang ada
pikirkan, arah yang paling menguntungkan bagi focus seseorang
bervariasi sesuai dengan situasi. Dan berfokus pada self sering kali
merupakan sebuah cara yang berguna untuk mengatasi situasi yang
penuh tekanan jika hal itu melibatkan pengendalian keadaan perasaan
seseorang dan memikirkan cara untuk memecahkan masalah. Mereka
melakukan hal tersebut dikatakan melakukan orientasi reflektif
terhadap suasana hati mereka. Self-focusing juga dapat menyebabkan
kesulitan. Sebagai contoh, orientasi perenungan melibatkan self-
focusing yang berulang kali mengingat pemikiran yang sama berulang
kali daripada berusaha melakukan pemecahan masalah.
Konsep self seseorang tersusun atas banyak elemen yang
berlainan, merupakan hal yang tidak mungkin untuk memikirkan
seluruh aspek diri Anda sendiri pada saat yang bersamaan, kita hanya
dapat memfocuskan satu bagian kecil pada satu saat. Proses ini analog
dengan menganalisis isi dari sebuah ruangan yang besar dan gelap
dengan mengarahkan senter pada setiap objek satu persatu. Anda
dapat saja “membiarkan pikiran anda berkelana” atau anda dapat
“mengarahkan senter”. Perhatian anda dapat diarahkan pada petunjuk
dari luar atau petunjuk yang anda ciptakan untuk anda sendiri.
 Memonitor Tingkah Laku Anda Dengan Menggunakan Tanda-
Tanda Internal Atau Eksternal
Istilah self-monitoring merujuk pada kecenderungan untuk
mengatur tingkah laku berdasarkan petunjuk eksternal seperti
bagaimana orang berkreasi (self-monitoring tinggi) atau berdasar pada
petunjuk internal seperti keyakinan seseorang dan sikapnya (self-

18 | P a g e
monitoring rendah). Orang dengan self-monitoring yang
rendahcenderung bertingkah laku saat situasi berubah. Pernyataan
berskala seperti “saya hanya dapat membela ide yang saya telah yakini
kebenarannya” dijawab sebagai sesuatu yang benar oleh orang dengan
self-monitoring yang rendah dan yang salah oleh orang dengan self-
monitoring yang tinggi.
Orang dengan self-monitoring yang tinggi berusaha
menyesuaikan tingkah laku dan peran dalam kondisi yang ada untuk
memperoleh evaluasi positif dari orang lain. Kecenderungan
melakukan self-monitoring dapat muncul dalam berbagai aspek
tingkah laku sosial.
 Self-Efficacy : Percaya Pada Diri Sendiri
Self-efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan
atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan
atau mengatasi hambatan. Evaluasi ini dapat bervariasi, tergantung
pada situasi. Lebih lanjut mengenai self-efficacy, Bandura
mengajukan konsep self-efficacy kolektif, yaitu keyakinan yang
dibagi oleh anggota sebuah kelompok bahwa tindakan kolektif akan
menghasilkan efek yang diinginan. Mereka yang tidak yakin pada
self-efficacy kolektif beranggapanbahwa mereka tidak dapat merubah
apapun, sehingga mereka menyerah dan menjadi apatis.
Individu sering kali kurang memiliki perasaan self-efficacy dalam
situasi interpersonal. Ini disebabkan karena kurangnya kemampuan
sosial atribusi yang tidak tepat, tidak memadainya karakter diri dan
tidak bersedia untuk mengambil inisiatif dalam persahabatan.
Self-efficacy cenderung konsisten sepanjang waktu, tetapi bukan
berarti tidak brubah. Umpan balik positif terhadap kemampuan
seseorang meningkatkan self-efficacy. Penelitian terhadap efficacy

19 | P a g e
dimulai dengan penelitian yang mengajarkan penderita fobia ular
untuk mengatasi rasa takutnya dengan cara meningkatkan efficacy
mererka dalam menghadapi ular. Mereka yang takut terhadap ular ,
kurang percaya diri pada kemampuannya untuk mengatasi ular.
Menggunakan bentuk terapi behavioral, penenliti memberikan
individu yang fobia ular serangkaian pengalaman mengurangi
sensitivitas. Setelah serangkaian sesi, partisipan penelitian belajar
untuk rileks selama melihat foto ular, kemudian mainan ular dan
kemudian seekor ular kecil di dalam kandang kaca. Kemajuan yang
secara terus-menerus semakin realistis dilanjutkan hingga mereka
merasa nyaman dengan seekor ular besar yang malata dipangkuan dan
bahunya. Dengan berkurangnya fobia, physiological arousal sebagai
respons terhadap ular pun akan berkurang dan perasaan self-efficacy
meningkat.

20 | P a g e
J. Gender : Menjadi Seorang Laki-Laki Atau Perempuan
Sebagai Aspek Krusial Identitas

 Jenis Kelamin dan Gender


Istilah jenis kelamin dan gender sering kali digunakan bergantian,
tetapi kita akan mengadopsi istilah dari banyak bidang yang
membedakan keduanya. Jenis kelamin (sex) didefinisikan sebagai
istilah biologis berdasarkan perbedaan anatomi dan fisik antara laki-
laki dan perempuan atau kejantanan atau kewanitaan yang ditentukan

21 | P a g e
oleh faktor genetik yang berperan pada saat konsepsi dan
menghasilkan perbedaan dalam fisik dan anatomi. Gender merujuk
pada segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin individu,
termasuk peran, tingkah laku, kecenderungan dan atribut lain yang
mendefiniskan arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam
kebudayaan yang ada.
Asal perbedaan gender sering kali diperdebatkan, tetapi kita
sepakat menyatakan bahwa berbagai atribut gender yang seluruhnya
berdasarkan pada apa yang diajarkan (seperti rambut panjang dengan
feminitas). Barbara Mackoff menyatakan, “perbedaan terbesar antara
perempuan dan laki-laki adalah dalam cara kita memperlakukan
mereka.” Seluruh atribut lainnya mungkin berdasarkan determinan
biologis (seperti ada atau tidak adanya kumis).
Jenis kelamin terhadap gender seperti sinar terhadap warna, jenis
kelamin dan cahaya adalah fenomena fisik, sementara gender dan
warna adalah kategori yang dibentuk berdasarkan budaya, dimana
secara tegas membagi jenis kelamin dan cahaya dalam sub kelompok
tertentu.
 Identitas Gender dan Stereotip Gender
Setiap orang memiliki identitas gender yaitu bagian kunci dari
konsep diri dalam label sebagai “laki-laki” atau “perempuan”. Pada
sebagian besar orang, jenis kelamin biologis dan identitas gender
berkorespondensi walaupun proporsinya kecil dalam populasi,
identitas gender mereka berbeda dari jenis kelamin mereka. Identitas
gender (gender identity) Adalah sebagian dari konsep diri yang
melibatkan identifikasi seseorang sebagai seorang laki-laki atau
perempuan dan kesadaran terhadap identitas gender biasanya
berkembang pada usia dua tahun.

22 | P a g e
 Mengembangkan Identitas Gender
Hal pertama yang ditanyakan orang dewasa tentang seorang bayi
(bayi mereka atau bayi orang lain) adalah apakah bayinya laki-laki
atau perempuan. Pengumuman akan kelahiran seorang bayi dimulai
dengan informasi tersebut, lalu dipilihnya nama yang berbau laki-laki
atau perempuan baju merah muda atau biru dibeli, kamar bayi
didekorasi baik dengan gaya feminim atau maskulin, mainan dan
pakaian yang sesuai dengan gender pun dibeli. Angier menyatakan,
“Masyarakat masih berasumsi bahwa anak laki-laki akan tetap
kekanak-kanakan, sementara perempuan tidak.”
Walaupun penekanan yang luas terhadap definisi gender, bayi
dan anak-anak lain pada umumnya tidak menyadari baik jenis kelamin
atau gender mereka sampai mereka berusia dua tahun. Berbagai
alasan muncul, dua tahun adalah usia pada ubagmumnya anak blajar
untuk menyatakan dirinya adalah perempuan atau laki-laki, seringkali
tanpa pengertian yang benar terhadap kata itu sendiri. Secara bertahap,
identitas gender diperoleh pada saat anak mengembangkan kesadaran
diri (a sense of self) yang mencakup kelaki-lakian atau
keperempuanan. Antara usia empat dan tujuh tahun, anak mulai
memahami pentingnya konsistensi gender, bahwa mereka menerima
prinsip gender sebagai atribut dasar dari tiap orang.
Antara usia empat dan tujuh tahun anak mulai memahami
pentingnya konsistensi gender (gender consistency). konsistensi
gender (gender consistency) yaitu konsep yang menyatakan bahwa
gender Adalah atribut dasar dan menetap pada setiap individu.
 Apakah Dasar Dari Identitas Gender?

23 | P a g e
Walaupun telah lama diyakini bahwa perbedaan paling nyata
antara laki-laki dan perempuan adalah faktor biologis, sebagai
penelitian menunjukkan secara meyakinkan bahwa berbagai
karakteristik tipikal maskulin dan feminim ternyata dipelajari. Teori
skema gender menyatakan bahwa anak-anak memiliki kesiapan umum
untuk mengorganisasian informasi tentang self atas dasar definisi
budaya pada atribut laki-laki dan perempuan yang sesuai. Informasi
tersebut diaplikasikan pada self, juga seperti pada hal lainnya.
Dengan bertambah dewasanya anak, tipe jenis kelamin (sex
typing) yaitu terjadi ketika mereka memahami stereotip “tepat” yang
berhubungan dengan kelaki-lakian dan keperempuanan dalam budaya
mereka. Hal penting dari apa yang dipelajari anak tentang gender ialah
berdasarkan observasi terhadap orangtua mereka dan mencoba seperti
mereka. Secara umum, anak diberi reward untuk melakukan tingkah
laku yang pantas dan sesuai dengan gendernya dan dilarang ketika
tingkah laku mereka tidak sesuai dengan gendernya.

K. Peran Tingkah Laku Gender dan Reaksi Terhadapnya

 Tingkah Laku Yang Berhubungan Dengan Peran Gender


Dalam hal-hal tertentu, ada norma-norma sosial yang tetap
tradisional, dimana tingkah laku sesuai dengan gender yang
diharapkan. Sehingga, pria seharusnya kuat, dominan, asertif,
sementara wanita seharusnya perhatian, sensitif, dan ekspresif secara
emosional. Tingkah laku berstereotip gender bahkan mempengaruhi
postur tubuh, pria duduk dengan kaki dan lengan menjauh dari tubuh,
sementara wanita duduk dengan salah satu kaki ditumpangkan pada
kaki yang lain dan tangan pada tubuh. Wanita yang memiliki postur

24 | P a g e
seperti laki-laki dipandang maskulin, dan pria yang mengadopsi postur
perempuan dipandang feminin.
Maskulinitas tradisional tampaknya menciptakan masalah
interpersonal. Sebagai contoh, di antara remaja laki-laki, maskulinitas
yang tinggi dihubungkan dengan memiliki banyak pasangan hubungan
seksual, memandang pria dan wanita sebagi lawan, dan keyakinan
bahwa menghamili pasangan adalah indikasi positif dari kejantanan
seseorang. Yang lebih mengejutkan lagi, mungkin kenyataan bahwa
maskulinitas (baik pada laki-laki maupun perempuan) dihubungkan
dengan mortalitas, semakin tinggi maskulinitas, maka semakin
individu cenderung untuk meninggal pada usia-usia tertentu.
Mengapa? Sebuah penjelasan yang mungkin dimana maskulinitas
dihubungkan dengan pengambilan resiko dan tingkah laku maladaptif
lain yang mengurangi harapan hidup.
Identifikasi peran feminin juga memiliki kelemahan. Kedua
gender yang memiliki feminitas yang tinggi cenderung memiliki self-
esteem yang lebih rendah dibanding individu yang maskulin atau
androgini. Femininitas yang tinggi juga dihubungkan dengan depresi,
khususnya saat wanita berusia paruh baya.
Bem Sex-Role Inventory-BSRI Adalah ukuran Bem tentang
sejauh mana deskripsi diri seseorang melibatkan karakteristik
tradisional maskulin, feminism atau keduanya (androgini) atau tidak
keduanya (tidak berdiferensiasi). Hipermaskulinitas Adalah
identifikasi peran gender yang ekstrem yaitu versi laki-laki tradisional
yang berlebihan termasuk didalamnya sikap seksual yang dingin
terhadap Wanita, keyakinan bahwa kekerasan berarti kejantanan dan
kenikmatan akan bahaya Adalah sumber rasa senang.
Identifikasi peran gender Adalah derajat dimana seseorang
individu mengidentifikasikan dirinya dengan stereotip gender dalam
25 | P a g e
budayanya. Adroginus Adalah dikarakteristikkan oleh pemilikkan
kedua karakteristik tradisional maskulin dan feminim.
Hiperfemininitas (hyperfemininity) Adalah identifikasi peran gender
yang ekstrem yaitu versi peran perempuan tradisional yang berlebihan
termasuk didalamnya keyakinan bahwa hubungan dengan pria Adalah
hal penting yang utama dalam hidupnya, daya Tarik dak seksualitas
seharusnya digunakan untuk memperoleh seorang pria dan
mempertahankannya dan sah-sah saja untuk terkadang berkata tidak
tetapi artinya ya.
Pria hipermaskulin (macho) mengekspresikan sikap seksual yang
dingin terhadap wanita, yakin bahwa kekerasan adalah kejantanan dan
menikmati bahaya sebagai sumber rasa senang. Pria tersebut
melakukan tingkah laku seksual yang memaksa, mereka senang
dengan fantasi pemerkosaan, dan mengakui keinginan mereka
melakukan pemerkosaan jika mereka diyakinkan bahwa mereka tidak
akan ditangkap.
Baik hipermaskulinitas dan hiperfemininitas berhubungan dengan
dukungan terhadap berbagai bentuk agresi legal, sebagai contoh:
memukul anak, kekerasan media, dan hukuman mati. Bahkan pada
tingkat maskulinitas yang kurang ekstrem, pria yang
mengidentifikasikan diri secara kuat dengan peran maskulin
bertingkah laku lebih kasar dan agresif dibanding pria yang moderat.
 Peran Gender Di Rumah Dan Dalam Pekerjaan
Perkawinan yang paling bahagia adalah antara dua orang
androgini, dibandingkan kombinasi lainnya. Walaupun ada perubahan
yang besar dalam peran wanita di masyarakat Barat pada beberapa
dekade yang lalu, peran gender tradisional masih memiliki pengaruh
yang kuat terhadap cara pria dan wanita bereaksi di dalam rumah.

26 | P a g e
Bahkan ketika kedua pasangan bekerja dalam pekerjaan dengan
tuntutan dan gaji yang tinggi, pekerjaan di rumah masih dibagi
berdasarkan gender. Secara keseluruhan, wanita menghabiskan waktu
lebih banyak untuk melakukan pekerjaan rumah dibanding pria,
terlepas dari identifikasi peran gender mereka. Ketika tiba waktunya
untuk membersihkan kamar mandi atau mengecat garasi, peran gender
yang telah diisyaratkan oleh budaya masih mempengaruhi secara kuat
deskripsi diri seseorang.
Namun di tempat kerja, gender dan peran gender tetaplah menjadi
isu sentral. Sebagai contoh, pekerjaan yang di persepsikan sebagai
maskulin atau feminin, dan kesuksesan yang dipersepsikan tergantung
pada atribut maskulin (berani, kompetitif, matematis) dalam pekerjaan
maskulin dan atribut feminin (cantik, bekerja sama, intuitif) dalam
pekerjaan feminin. Pekerjaan-pekerjaan tersebut menuntut atribut
maskulin untuk sukses dan gaji yang lebih tinggi. Dalam pekerjaan,
gender mempengaruhi harapan dan motivasi. Walaupun performa pria
dan wanita seimbang dalam tes kecerdasan, dan performa superior
wanita di sekolah, laki-laki memperkirakan kecerdasan mereka lebih
tinggi dibanding perempuan, baik pria dan wanita memberi peringkat
bahwa ayah mereka lebih pandai dibanding ibunya, dan kakek mereka
lebih cerdas dibanding neneknya.
Pria telah belajar mengevaluasi dirinya sendiri dalam cara yang
lebih berpusat pada ego daripada wanita, dan ego ini tampaknya diberi
rewards. Tannen menekankan pula perbedaan gender dalam tipe
komunikasi. Wanita tidak seperti pria yang meributkan prestasi
mereka. Satu konsekuensi dari perbedaan ini adalah wanita sering kali
gagal menerima penghargaan yang pantas, bahkan ketika karya
mereka sangat bagus. Wanita diharapkan mengekspresikan emosi
positif terhadap kesuksesan orang lain tetapi tidak terhadap prestasi
27 | P a g e
mereka sendiri. Walaupun wanita secara tradisional didorong untuk
rendah hati terhadap prestasi mereka, mereka mampu membalikkan
peran ketika mereka belajar tentang efek perbedaan jenis kelamin.
Wanita juga memiliki ketidakberuntungan dibandingkan pria dalam
hubungannya dengan gaji dan promosi. Satu alasannya adalah wanita
sering kali yakin bahwa ia pantas memperoleh gaji yang lebih kecil.
Seksualitas dalam pekerjaan juga merupakan masalah khusus.
Sebagai contoh, wanita dalam pekerjaan yang secara tradisional bukan
pekerjaan perempuan (seperti pekerja di pabrik besi baja) tidak
dipandang sebagai korban pelecehan sebanyak wanita dalam
pekerjaan tradisional perempuan (seperti sekretaris) bahkan ketika
bukti pelecehan dan konteksnya sama.
 Mengapa Peran Gender Tradisional Masih Sangat Kuat Pada
Abad Ke-21 ?
Dalam konteks nonreligius, buku-buku anak secara tradisional
telah menampilkan laki-laki dan perempuan dari semua umur sebagai
stereotip gender. Pria dan laki-laki memainkan peran yang aktif,
pengambil inisiatif, sementara wanita dan anak perempuan hanya
mengikuti pimpinan laki-laki atau memerlukan laki-laki untuk
menyelamatkan mereka dari bahaya.
Banyak dongeng tradisional secara sengaja dirancang untuk
mengajarkan kepada anak-anak pelajaran moral dan tingkah laku.
Salah satu contohnya adalah gadis berkerudung merah yang gagal
mematuhi nasihat ibunya untuk memilih jalan terbaik menuju rumah
nenek. Kemudia srigala yang lapar menjadi alat hukuman yang
menakutkan bagi kemandiriannya yang sembrono. Ketika pelajaran itu
telah dipahami, datanglah penebang kayu dan berlari dengan kapaknya
untuk menyelamatkan gadis berkerudung merah dan neneknya.

28 | P a g e
Mengikuti alur cerita yang sama putri salju cinderela, putri tidur dan
lainnya yang melibatkan seorang perempuan dalam kesulitan besar.
Satu-satunya harapan bagi perempuan Adalah cukup menarik bagi
seorang pangeran yang tampan untuk menciumnya dan atau
menyelamatkannya dari ibu tiri yang jahat sehingga pasangan tersebut
dapat hidup Bahagia selama-lamanya.
Pada masa-masa kini, perbedaan gender terus berlanjut dalam
dunia komputer dan piranti lunak lainnya. Sebagian besar materi ini
berdasarkan stereotip laki-laki, seperti olahraga yang berhubungan
dengan laga dan permainan, untuk perempuan, hanya ada beberapa
saja seperti rancangan pakaian Barbie. Secara keseluruhan, ada sejarah
panjang dari penerusan stereotip gender dan superioritas laki-laki.
 Indikasi Bahwa Stereotip Gender Mulai Menghilang
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa secara bertahap kita
menjauhi stereotip gender di Amerika Serikat dan di tempat lain.
Walaupun banyak orang yang memahami pendapat tradisional tentang
perbedaan gender, mahasiswa masa kini sering kali mengabaikan
stereotip ini dan cenderung tidak menampilkan perbedaan gender.
Sikap asertif adalah salah satu contoh perubahan. Sebuah agen
perubahan penting adalah diadakannya kuliah khusus mengenai studi
tentang wanita, dan mereka yang mengambil kuliah umum dengan
subjek ini menunjukkan peningkatan kesadaran feminis. Ada juga
beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa perubahan psikologis
tersebut disebabkan oleh perubahan yang terkait dengan pengaruh
budaya.
Bahkan iklan mulai menampilkan wanita dan pria dalam cara
yang nontradisional. Anda mungkin berpikir apakah peran-peran baru
ini bagi wanita dalam cerita anak-anak, film dan iklan memiliki efek?

29 | P a g e
Ya, mereka memiliki efek. Ketika dihadapkan pada model
nontradisional dalam media, perempuan mengekspresikan percaya diri
lebih tinggi pada kemampuannya, dan kedua jenis kelamin telah
meningkatkan harapannya terhadap prestasi perempuan. Dalam setting
penelitian tingkah laku, tidak diragukan lagi bahwa dampak dari
media seperti film dan iklan akan berpengaruh. Sehingga cukup
masuk akal untuk menduga bahwa dampaknya sedikit banyak muncul
dalam kehidupan sehari-hari.

L. Ketika Laki-Laki dan Perempuan Berbeda:


Disebabkan oleh Faktor Biologi, Peran Gender
Bawaan, atau Keduanya?

 Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Tingkah Laku Interpersonal


Orang dapat mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki perbedaan tingkah laku karena mereka memiliki jumlah
hormon testosteron yang berbeda. Testosteron secara konsisten
ditemukan berhubungan dengan tingkah laku dominan; pria memiliki
tingkat testosteron yang lebih tinggi dibanding wanita, sehingga pria
bertingkah laku lebih dominan dibanding wanita. Tingkah laku apa
yang berhubungan dengan tingkat testosteron? Laki-laki dengan
tingkat hormon tertinggi cenderung memilih pekerjaan yang dominan
dan memberikan rasa kendali; mereka menjadi pengacara
dipengadilan, aktor, politikus, dan penjahat. Bahkan pengacara laki-
laki di pengadilan memiliki tingkat testosteron lebih tinggi daripada
pengacara perempuan lainnya.
Perbedaan jenis kelamin dalam tingkah laku interpersonal lainnya
juga dapat dijelaskan melalui perbedaan evolusi. Sebagai conoh,
wanita lebih cenderung menyadari emosinya daripada pria, lebih
30 | P a g e
berbagi penghargaan, dan ingin mempertahankan hubungan daripada
mengendalikannya. Wanita adalah subjek terhadap tekanan sosial
yang mendorong mereka untuk memperjuangkan kerjasama dan
kemurahan hati daripada kompetisi dan keegoisan. Dengan cara yang
serupa, wanita memiliki keterampilan sosial yang lebih baik daripada
pria karena mereka harus melakukannya. Aube serta kolagenya
menyatakan bahwa alasan dari perbedaan jenis kelamin adalah karena
wanita merasa terlalu bertanggung jawab akan kesejahteraan orang
lain dan sulit bersikap asertif dalam hubungannya.
 Perbedaan Persepsi Diri Laki-Laki Dan Perempuan
Dibandingkan pria, wanita cenderung mengekspresikan
kekhawatiran dan ketidakpuasan lebih banyak terhadap tubuh dan
penampilan fisik mereka secara keseluruhan. Bahkan penuaan
dipandang lebih negatif bagi wanita daripada pria. Kolumnis Dave
Barry menyatakan bahwa pria memandang diri mereka memiliki
penampilan biasa-biasa saja, ini berarti menarik; namun bagi wanita,
memiliki penampilan biasa-biasa saja berarti penampilan mereka
tersebut tidak cukup memuaskan. Bagi wanita, khususnya di budaya
Barat, berat badan adalah isu khusus. Sebuah konsekuensi
keprihatinan perempuan terhadap berat badan adalah berkembangnya
gangguan makan, yang lebih sering terjadi pada perempuan daripada
laki-laki.
Walaupun penelitian dan teori-teori berperan besar, namun tidak
seorangpun yang dapat berkata dengan pasti bahwa perbedaan jenis
kelamin didasarkan pada biologis, pembelajaran atau sebuah
kombinasi diantara keduanya. Namun, tampaknya mungkin, beberapa
perbedaan spesifik yang didasari oleh perbedaan genetik dan beberapa
diantaranya secara keseluruhan merupakan hasil pengaruh sosial,

31 | P a g e
sementara sebagian besar perbedaan tersebut merepresentasikan
campuran antara faktor biologi dan eksternal.

32 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai