Disusun Oleh :
1.
2. Sabila
3.
4.
5.
Kelas : PGSD-D
Semester : 1
JURUSAN PGSD
FAKULTAS KEGURUAN & ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NERANGIN
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang konsep lingkungan alam dan sosial ini dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak
Yudistira Ahmad, S.Pd.M.Pd selaku Dosen mata Bahasa Indonesia yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Konsep dasar lingkungan alam dan
sosial. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,Kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang akan saya buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
A. Pengertian moral...................................................................................................3
B. Tahap-tahap Perkembangan Moral......................................................................4
a. Tingkat Prakonvensional....................................................................................4
b. Tingkat Konvensional.........................................................................................5
c. Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip........................5
C. Perkembangan Dan Pengembangan Moral anak usia Sekolah Dasar..................6
BAB III PENUTUP..............................................................................................................20
A. KESIMPULAN........................................................................................................20
B. SARAN..................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tugas perkembangan yang harus dicapai pada priode anak adalah
memiliki seperangkat nilai atau sistem etis untuk menjadi pedoman dalam
bertingkah laku dalam menjalani kehidupan dimasyarakat. Selama usia anak-anak,
pengusaha moral anak mulai diperhatikan secara berangsur-angsur mereka mulai
menguasai dan menyakini nilai-nilai yang bersifat universal.nilai-nilai yang
dimiliki sebagi seorang anak membimbing cara berinteraksi dengan orang lain,dan
dalam menghadapi berbagai problematik kehidupan, sehingga memungkinkan
anak menjalani kehidupan secara seimbang dan tentram. Tercapainya
perkembangan moral memberi arti bagi peningkatan sosialisasi sehingga anak
benar-benar siap memasuki kehidupan dewasa atau remajanya.
1
Dengan penjelasan dari atas maka kami memgangkat makalah dengan
judul ”Perkembangan Moral pada Anak Usia Sekolah Dasar”.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian moral ?
2. Bagaimana tahap-tahap perkembangan moral ?
3. Bagaimana perkembangan dan pengembangan moral anak usia sekolah
dasar ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian moral
2. Untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan moral
3. Untuk mengetahui perkembangan dan pengembangan moral anak usia
sekolah dasar
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian moral
Moral berasal dari bahasa Latin "mos" (jamak: mores) yang berarti
kebiasaan, adat. Kata "mos" (mores) dalam bahasa Latin sama artinya dengan
etos dalam bahasa Yunani. Di dalam bahasa Indonesia, kata moral
diterjemahkan dengan arti susila. Adapun pengertian moral yang paling
umum adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide yang diterima
umum, yaitu berkaitan dengan makna yang baik dan wajar. Dengan kata lain,
pengertian moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran-
ukuran tindakan yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau
lingkungan tertentu. Kata moral selalu mengacu pada baik dan buruknya
perbuatan manusia sebagai manusia. Telah banyak ahli yang mencoba
memberikan pengertian moral. Seperti apa pengertian moral menurut mereka?
Dari tiga pengertian moral di atas, dapat disimpulkan bahwa Moral adalah
suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk, yang sesuai dengan
kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau pemikiran. Jadi, moral
3
sangat berhubungan dengan benar salah, baik buruk, keyakinan, diri sendiri,
dan lingkungan sosial.
a. Tingkat Prakonvensional
4
tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan tunduk pada
kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang
merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan
kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia
diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung-rugi.
b. Tingkat Konvensional
5
Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian.
Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak
dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah
disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang jelas
mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme
nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai
kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional
dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi.
Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan
penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan
pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum,
persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban .
Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-
prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada
komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-
prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral
konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan,
resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada
manusia sebagai pribadi.
6
perilaku yang gagal menyesuaikan pada harapan sosial. Perilaku tersebut
tidak dapat diterima oleh norma-norma sosial. Perilaku unmoral adalah
perilaku yang tidak menghiraukan harapan dari kelompok sosialnya.
Perilaku ini cenderung terlihat pada kanak-kanak. Ketika masih kanak-
kanak, anak tidak diharapkan untuk mengenal seluruh tata krama dari
suatu kelompok. Begitu anak memasuki usia remaja dan menjadi anggota
suatu kelompok, anak dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan
kebiasaan kelompoknya. Tingkah laku yang sesuai dengan aturan tidak
hanya sesuai dengan dasar-dasar yang ditetapkan secara sosial tetapi juga
perlu diikuti secara suka rela. Hal ini terjadi pada otoritas eksternal
maupun internal. Dalam perkembangan moral kelak anak-anak harus
belajar mana yang benar dan mana yang salah. Kemudian, begitu anak
bertambah besar, ia harus tahu alasan mengapa sesuatu dianggap benar
sementara yang lain tidak. Dengan demikian, anak perlu dilibatkan dalam
aktivitas kelompok, tetapi yang terpenting tetap perlu mengembangkan
harapan melakukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun konsep anak
mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang
benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan anak
mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran
moral. Jadi, menurut piaget relativitasme moral menggantikan moral yang
kaku. Misalnya bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk, sedangkan
anak yang lebih sadar bahwa dalam bebarapa situasi, berbohong
dibenarkan, dan oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat kedua dari
perkembangan moral moral akhir masa kanak-kanak sebagai
tingkat moralitas konvensional atau moralitas dari aturan-aturan dan
penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini oleh
Kohlberg disebutkan moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan
untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-
7
hubunganyang baik. Dalam tahap kedua, kohlberg mengatakan bahwa
kalau kelompok sosial menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi
semua anggota kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan
untuk menghindari penolakan kelompok dan celaan.
Jean Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara
tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan
lingkungannya (teori perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak
memiliki struktur kognitif yang disebut schemata yaitu sistem konsep yang
ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada
dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung
melalui proses asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang
sudah ada dalam pikiran) dan proses akomodasi (proses memanfaatkan
konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Kedua proses
tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat pengetahuan lama
dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu secara
bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan
lingkungannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat
dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan lingkungannya.
Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses
belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungannya.
Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada
rentang usia sekolah dasar tersebut anak mulai menunjukkan perilaku
belajar sebagai berikut:
(1) Mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek
situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara
serentak, (2) Mulai berpikir secara operasional, (3) Mempergunakan cara
berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, (4)
Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip
ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat, dan (5)
8
Memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan
berat.
Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut,
kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu:
(1) Konkrit. Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-
hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan
diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai
sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan
hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan
dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami,
sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya
lebih dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Integratif; Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu
yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-
milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir
anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi bagian.
(3) Hierarkis; Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar
berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal
yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu
diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar materi, dan cakupan
keluasan serta kedalaman materi.
1. Usaha Pengembangan Tingkah Laku Bermoral
Sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan, perlu diupayakan suatu
sistem pendidikan yang mampu membentuk kepribadian dan ketrampilan
peserta didik yang unggul, yakni beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, manusia yang kreatif, cakap, terampil, jujur, dapat
dipercaya, disiplin, bertanggung jawab dan memiliki solidaritas sosial
yang tinggi. Untuk mewujudkan manusia yang unggul perlu diberikan
landasan pendidikan yang kokoh. Oleh karena itulah kebutuhan dasar
siswa harus terpenuhi lebih dahulu, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan
rasa aman, kebutuhan akan rasa kasih sayang, dan kebutuhan akan harga
9
diri. Bangsa kita sebenarnya telah memiliki pilar pendidikan yang sangat
fundamental, yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro, Ing Ngarso Sun
Tulodho, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani, namun
implementasinya dalam pendidikan kita masih rendah. Empat pilar
pendidikan yang dijadikan fondasi pendidikan pada era informasi dan
jaringan global ini dalam meraih dan merebut pasar internasional.
Keempat pilar tersebut adalah:
1. Learning to Know (belajar untuk tahu)
Pada proses pembelajaran melalui penerapan paradigma ini, peserta
didik akan dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu
pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam
lingkungannya. Untuk mengkondisikan masyarakat belajar yang efektif
dewasa ini, diperlukan pemahaman yang jelas tentang “apa” yang perlu
diketahui, “bagaimana” mendapatkan Ilmu pengetahuan, “mengapa’ ilmu
pengetahuan perlu diketahui, “untuk apa” dan “siapa” yang akan
menggunaka ilmu pengetahuan itu. Belajar untuk tahu diarahkan pada
peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan fleksibel, adaptable,
value added dan siap memakai bukan siap pakai. Sebab, salah satu ukuran
luar yang dapat dipakai untuk melihat sejauh mana tingkat kemjuan
diskursus suatu disiplin ilmu adalah dengan melihat upaya-upaya dan hasil
diskursus mengenai disiplin tersebut.
2. Learning to Do (Belajar untuk melakukan)
Proses pembelajaran dengan penekanan agar peserta didik menghayati
proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna ‘’Active
Learning‘’. Peserta didik memperoleh kesempatan belajar dan berlatih
untuk dapat menguasai dan memiliki standar kompetensi dasar yang
dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran yang dilakukan
menggali dan menemukan informasi (information searching and
exploring), mengolah dan informasi dan mengambil keputusan
(information processing and decision making skill), serta memecahkan
masalah secara kreatif (creative problem solving skill). Menurut John
10
Dewey bahwa pembelajaran yang dapat dilakukan dengan: 1). Belajar
peserta didik dengan berpikir kreatif, 2). Keterampilan proses, 3).
Problem solving approach, 4). Pendekatan inkuiri, 5). Program sekolah
yang harus terpadu dengan kehidupan masyarakat, dan 6). Bimbingan
sebagai bagian dari mengajar. Beberapa bentuk Active Learning ;
Kegiatan Active learning dilakukan dengan kegiatan mandiri, peserta didik
membaca sendiri bahan yang akan dibahas di kelas.
3. Learning to be (Belajar untuk menjadi diri sendiri)
Proses pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik
dengan sikap mandiri. Kemandirian belajar merupakan kunci terbentuknya
rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri untuk berkembang secara
mandiri. Sikap percaya diri akan lahir dari pemahaman dan pengenalan
diri secara tepat. Belajar mandiri harus didorong melalui penumbuhan
motivasi diri. Banyak pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan
dalam melatih kemandirian peserta didik, misalnya; pendekatan sinektik,
problem soving, keterampilan proses, discovery, inquiry, kooperatif, dan
sebagainya Pendekatan pembelajaran tersebut mengutamakan keterlibatan
peserta didik secara efektif. Pendekatan-pendektan pembelajaran ini pada
dasarnya suatu proses sosial, peserta didik dibantu dalam melakukan peran
sebagai pengamat yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi.
Meskipun guru dapat memberikan situasi masalah, namun dalam
penerapannya, peserta didik mencari, menanyakan, memeriksa dan
berusaha menemukan sendiri hal-hal yang dipelajari. Para peserta didik
mulai berpikir berdasarkan kemampuan dan pengalamannya masing-
masing secara logis. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan salah satu
alternatif pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses
pembelajaran.
4. Learning To Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama)
Proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati
hubungan antar manusia secara intensif dan terus menerus untuk
menghindarkan pertentangan ras/etnis, agama, suku, keyakinan politik,
11
dan kepentingan ekonomi. Peningkatan pendidikan nilai kemanusiaan,
moral, dan agama yang melandasi hubungan antar manusia.
Untuk mewujudkan makna pendidikan dan fondasi pembelajaran yang
terintegrasikannya nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadian dan perilaku
selama proses pembelajaran diperlukan proses pembelajaran yang efektif.
Keefektifan proses pembelajaran merupakan pencerminan dalam mencapai
tujuan pembelajaran tepat yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan. Keefektifan proses pembelajaran berkenaan dengan jalan,
upaya, teknik dan strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan
pembelajaran secara optimal, tepat dan cepat (Nana Sudjana, 1996 : 52).
Sekolah tidak hanya berkewajiban untuk memelihara nilai-nilai
masyarakat, namun juga harus memberikan keaktifan kepada peserta didik
dan secara kritis dalam menghadapi masalah-masalah sosial, dan harus
mengadakan usaha pemecahan masalah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran antara
lain kemampuan guru dalam menggunakan strategi. Penerapan strategi
pembelajaran dipengaruhi oleh faktor tujuan, peserta didik, situasi,
fasilitas dan pembelajaran itu sendiri. Dengan menerapkan metode yang
tepat, proses pembelajaran akan berlangsung lebih efektif sehingga hasil
pembelajaran akan lebih baik dan mantap. Salah satu strategi pembelajaran
yang memberikan perhatian pengembangan potensi peserta didik adalah
strategi keterampilan proses (proses pemecahan masalah).
2. Orang Tua dan Pengembangan Moral Anak Usia Sekolah Dasar
Orang tua sangat besar peranannya dalam perkembangan moral anak.
Tidak seorang pun ahli perkembangan moral anak yang membantah bahwa
moral anak terbentuk melalui hubungan sosial. Hubungan sosial pertama
yang dialami anak dalam hidupnya adalah orang tuanya. Orang tua brperan
besar dalam membentuk tingkah laku altruitis, role taking,dan perasaan
bersalah pada anak. Kasih sayang orang tua terhadap anak, membangun
sistem interaksi yang bermoral antara anak dengan orang lain. Hubungan
12
dengan orang tua yang hangat, ramah, gembira, dan kasih sayang,
merupakan pupuk bagi perkembangan moral anak.
Pengembangan tingkah laku moral tidak lepas dari berbagai peran
keluarga adalah sebagai berikut:
a.Memperkenalkan nilai moral yang berlaku di masyarakat.
Di negara kita ada empat sumber nilai yang dijadikan pedoman
dalam bertingkah laku, yaitu agama, ilmu pengetahuan, nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia (Pancasila) dan adat istiadat. Anak harus
diperkenalkan dengan aturan-aturan berhubungan sosial yang sesuai
dengan keempat sumber nilai itu. Kebiasaan yang berlaku di
masyarakat tidak boleh bertentangan dengan keempat sumber nilai itu.
Kalau terjadi pertentangan nilai yang berlaku di masyarakat dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam keempat sumber itu, maka anak akan
mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat, karena seperti yang
dikatakan sebelumnya bahwa anak akan bertingkah laku yang dianggap
baik oleh orang dewasa sekitarnya walaupun tidak sesuai dengan
moral. Dalam bertingkah laku mereka belum mempunyai kesadaran
untuk berpegang teguh pada prinsip moral, tetapi cenderung mengikuti
kebiasaan-kebiasaan orang dewasa dalam masyarakat sekitarnya.
b.Memperkuat tingkah laku altruistik
Seperti halnya pengembangan tingkah laku sosial, tingkah laku
altruistik memegang peranan yang menentukan dalam perkembangan
moral anak. Tingkah laku suka menolong, membagi milik sendiri
kepada teman sebaya merupakan contoh tingkah laku altruistik. Pada
periode sekolah dasar, tingkah laku altruistik dapat dikembangkan
secara baik dengan merangsang perkembangan tingkah laku empati
terlebih dahulu. Hoffman (Dalam Elida, 2005: 175) mengungkapkan
bahwa ”penguasaan tingkah laku empati merupakan dasar bagi
perkembangan moral anak”. Tingkah laku empati dapat dilihat dari
kemampuan anak untuk merasakan orang lain. Misalnya, seorang anak
melihat temannya yang bersedih karena kehilangan pencil. Anak itu
13
dapat menghayati perasaan temannya dan mengerti bahwa temannya
sedang sedih. Kalau anak menghibur atau membantu kawannya itu
tidak sedih, maka tingkah laku ini disebut altruistik.
14
Pengembangan kata hati merupakan usaha memperkuat kata hati
itu sendiri. Memperkuat kata hati berarti mengembangkan tingkah
laku altruistik, role taking, dan perasaan bersalah. Oleh karena itu,
sebenarnya cara mengembangkan kata hati tidak berbeda dengan
pengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan perasaan
bersalah.
3. Guru dan Pengembangan Moral Anak Usia Sekolah Dasar
Tak jauh beda dengan orang tua , guru juga memiliki peranan penting
dalam mengembangkan moral anak usia sekolah dasar .
Guru diartikan sebagai orang yang bekerja pada bidang pendidikan dan
pengajaran yang ikut bertanggungjawab membentuk anak-anak mencapai
kedewasaan masing-masing. Pendidik memberikan peranan yang sangat
besar dalam menentukan keberhasilan pengajaran di sekolah. Banyak
unsur-unsur manusiawi yang dimilikinya seperti, sikap, sistem nilai,
perasaan, motivasi, kebiasaan, dan keteladanan yang diharapkan dari
proses pembelajaran yang tidak dapat mungkin dicapai kecuali melalui
pendidik.
15
yang baik dengan orang tua siswa, masyarakat dan semua orang-orang
yang terlibat dalam kelancaran proses pendidkan di sekolah.
16
dapat memupuk kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri untuk mencapai
tujuan interpersonalnya, sehingga tidak akan mudah merasa kecewa dengan
pasang/surutnya interaksi sosial. Hal-hal tersebut berimplikasi terhadap
kemampuan penyesuaian sosial dan profesionalnya di kemudian hari (Burton,
1986).
Interaksi sosial memberikan kepada anak kesempatan untuk belajar
dari reaksi teman sebayanya. Berbagai studi tentang penguatan
(reinforcement) dari teman sebaya menunjukkan bahwa anak lebih
cenderung untuk mengerem penggunaan strategi agresif terhadap teman
sebayanya yang memberikan perlawanan terhadap agresi tersebut (Jewett,
1992). Karena hubungan anak dengan teman sebayanya itu bersifat
egaliter, maka interaksi antara teman sebaya memperkenalkan kepada anak
perilaku saling memberi dan menerima, yang sangat penting untuk
memupuk sosialisasi dan menekan agresi(Budd, 1985). Lebih jauh,
sejumlah kajian literatur (Ladd & Asher, 1985; Hartup, 1992),
menunjukkan bahwa perolehan dan pemeliharaan berbagai bentuk perilaku
sosial, disposisi kepribadian, dan sikap yang diperoleh pada masa kanak-
kanak (misalnya pola bahasa, isyarat altruistik, popularitas di kalangan
teman sebaya, keyakinan moral) sebagian tergantung pada reaksi yang
diperoleh anak dari teman-teman sebayanya. Berbagai studi juga
menunjukkan bahwa anak belajar dengan memperhatikan dan meniru
perilaku teman-teman sebayanya. Perilaku prososial maupun agresif anak
diperoleh dengan memperhatikan teman-teman sebayanya melakukan
respon semacam itu, begitu juga dengan perilaku spesifik laki-laki atau
perempuan, standar untuk penguatan diri (self-reinforcement) dan perilaku
yang menunjukkan sifat pemberani (Bandura,dalam Nelson-Jones, 1995;
Ladd & Asher, 1985).
Hartup (1992) mengidentifikasi empat fungsi hubungan teman sebaya, yang
mencakup:
1) Hubungan teman sebaya sebagai sumber emosi (emotional resources), baik
untuk memperoleh rasa senang maupun untuk beradaptasi terhadap stress;
17
2) Hubungan teman sebaya sebagai sumber kognitif (cognitive resources) untuk
pemecahan masalah dan perolehan pengetahuan;
3) Hubungan teman sebaya sebagai konteks di mana keterampilan sosial dasar
(misalnya keterampilan komunikasi sosial, keterampilan kerjasama dan
keterampilan masuk kelompok) diperoleh atau ditingkatkan; dan
4) Hubungan teman sebaya sebagai landasan untuk terjalinnya bentuk-bentuk
hubungan lainnya (misalnya hubungan dengan saudara kandung) yang lebih
harmonis. Hubungan teman sebaya yang berfungsi secara harmonis di kalangan
anak-anak prasekolah telah terbukti dapat memperhalus hubungan antara anak-
anak itu dengan adiknya.
Hartup mengemukakan bahwa sebagai sumber emosi, pertemanan bagi
anak memberi rasa aman untuk memasuki wilayah baru, bertemu dengan
orang baru atau hal-hal baru, dan mengatasi persoalan- persoalan baru.
Di samping itu, dengan teman sebaya, anak saling memberikan dukungan
dalam mengatasi stress dan menciptakan suasana yang menyenangkan.
Pada gilirannya, keadaan ini dapat memberikan “basis yang aman” untuk
melakukan social learning lebih lanjut dan membuat temuan-temuan baru.
Studi yang dilakukan oleh Freud dan Dann (Ladd & Asher, 1985) terhadap
enam orang anak yatim piatu korban Perang Dunia II menunjukkan bahwa
dalam ketidakhadiran orang dewasa sebagai pengasuh, anak
mengembangkan pola hubungan yang menyerupai hubungan oran tua-
anak. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh penelitian Schwarz dan Ispa
(Ladd & Asher, 1985) yang menunjukkan bahwa bila anak dihadapkan
pada situasi baru atau situasi yang mungkin membahayakan, sahabat
sebayanya dapat berfungsi sebagai penghibur atau penurun ketegangan,
satu fungsi yang biasanya ditunjukkan oleh orang tuanya. Sebagai sumber
kognitif, hubungan teman sebaya memungkinkan anak untuk saling
mengajari dalam banyak situasi, dan pada umumnya kegiatan ini efektif.
Hartup (1992) mengidentifikasi empat jenis pengajaran antarteman
sebaya, yaitu peer tutoring, cooperative learning, peer collaboration dan
peer modeling. Peer tutoring adalah transmisi informasi secara
didaktik dari satu anak ke anak lain, biasanya dari “ahli” kepada
18
“pemula”. Cooperative learning adalah cara belajar yang menuntut
anak untuk saling berkontribusi dalam pemecahan masalah dan
berbagi imbalannya. Peer collaboration terjadi bila semua anggota
kelompok belajar itu adalah pemula yang bekerjasama untuk
menyelesaikan suatu tugas yang tidak dapat dilakukan sendiri-
sendiri. Peer modeling adalah transmisi informasi melalui peniruan
antarteman sebaya.
19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Moral adalah suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk, yang
sesuai dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau
pemikiran. Jadi, moral sangat berhubungan dengan benar salah, baik
buruk, keyakinan, diri sendiri, dan lingkungan sosial.
Tahap-tahap perkembangannya yaitu:
1. Tingkat prakonvensional
2. Tingkat konvensional
3. Tingkat pascakonvensional
Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut,
kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu:
(1) Konkrit
(2) Integratif
(3) Hierarkis
Dalam meningkatkan perkembangan dan pengembangan moral
diperlukan usaha-usaha seperti, peran dari orang tua, guru, maupun dari
teman sebaya.
B. SARAN
Sejak dini, anak-anak harus diberikan pelatihan untuk mengembangkan
moralnya agar menjadi pribadi yang baik. Olehnya itu, diperlukan peran
dari berbagai pihak untuk membuat moral anak tersebut menjadi bagus.
20
DAFTAR PUSTAKA
www.tengertian%20Moral%20Menurut%20para%20Ahli
%20%20%20Pengertian%20Ahli.htm
www.tahap%20perkembangan%20moral%20Kohlberg%20-
%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.htm
www.ihya%20Yusriati%20%20Perkembangan%20Moral%20pada
%20Anak%20Usia%20SD.htm
www._I%20_L_GGE_%20AR__%20D_NIE_.._..htm
www.(1)%20Dunia%20ilmu%20-%20MAKALAH
%20PERKEMBANGAN%20MORAL%20MENURUT
%20HAVIGHURST....htm
www.butiran%20Kata%20%20PERAN%20ORANGTUAN
%20MENGEMBANGKAN%20MORAL%20ANAK%20UMR%206-
12%20TAHUN.htm
21