Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK


PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK SD

Dosen Pengampuh :
Drs. Laihat, M.Pd
Najlatul Fathia, M.Pd

Ditulis Oleh :
Kelompok 6
Chintya Valensia (06131382227078)
Tresya Dian Natasyah (06131382227079)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan dan sampaikan pada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
rahmat dan karuni-Nya sehingga kami bias menyusun dan melesaikan makalah yang berjudul
“Perkembangan Peserta Moral Didik SD“ sehingga kita bisa memahami bagaimana peran
Perkembangan Peserta Moral Didik SD.

Makalah ini disusun dengan maksud untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman
akan kesadaran pentingnya nasionalisme indonesia dan sekaligus juga dapat membangkitkan
semangat nasionalisme yang semakin luntur sehingga sekali lagi diharapkan dengan makalah
ini dapat menjadikan motivasi dengan semangat kebangsaan nasionalisme Indonesia.

Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan
dan perbaikan makalah ini.

Kami selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs.
Laihat, M.Pd dan Ibu Najlatul Fathia, M.Pd. sebagai dosen pengampuh mata kuliah ini. Tidak
lupa bagi rekan-rekan mahasiswa lain yang telah mendukung penyusunan makalah ini kami
juga mengucapkan terima kasih.

Palembang, 09 Februari 2023

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ 2

DAFTAR ISI .............................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 4

1.1. Latar Belakang .......................................................................... 4

1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 5

1.3. Tujuan Penulisan ....................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 6

2.1. Apa Pengertian Perkembangan Secara Umum ........................... 6

2.2. Bagaimana Perkembangan Moral Peserta Didik ....................... 12

2.3. Bagaimana Perkembangan Intelek Peserta Didik....................... 15

2.4. Bagaimana Perkembangan Kreativitas Peserta Didik ............... 19

2.5. Bagaimana Perkembangan Bakat Khusus Peserta Didik ............ 20

2.6. Tahap-Tahap Perkembangan Moral Peserta Didik .................... 21

BAB III PENUTUP .................................................................................... 22

3.1. Kesimpulan ............................................................................. 22

3.2. Saran ...................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 23

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini kualitas peserta didik di indonesia menjadi fenomena dan
permasalahan yang mengglobal di seluruh penjuru, baik di desa dan di kota, moral,
intelek, kreativitas dan bakat khusus dari peserta didik merubah sistem yang
seharusnya, siswa yang dituntut bermoral, berintelek, kreatif dan mampu
mengembangkan bakat khususnya sesuai tujuan pendidikan telah jauh dari harapan
dan impian bangsa, saat ini banyak terjadi kesalahan-keasalahan dri pihak pendidik
yang terlalu memberikan kebebasan. Banyak siswa yang acuh-tak acuh pada
kualitasnya, karena kurangnya bimbingan dari piahak pendidik.
Salah satu aspek yang menunjang perkembangan kemahiran dalam
kolaborasi, komunikasi, dan pemecahan masalah adalah dengan membantu
perkembangan moral siswa agar tumbuh optimal. Ini menjadi sangat penting
terutama bagi para siswa di wilayah Indonesia yang secara umum
masyarakatnya adalah masyarakat religius yang meyakini bahwa moral
merupakan pondasi terpenting bagi keberhasilan seseorang baik dalam karir
maupun kehidupan pribadinya. Penalaran moral berkaitan dengan kemampuan
seseorang dalam mengambil keputusan moral ketika dihadapkan pada dilemma
moral tentang sikap dan perilaku yang sebaiknya dipilih. Hal itu merupakan
esensi utama sebuah proses pendidikan.
Pendidikan merupakan proses seumur hidup mulai dari dalam kandungan dan
berlangsung sampai akhir dari kehidupan. Pendidikan tidak hanya memberikan
pengetahuan dan keterampil-an, tetapi juga menanamkan nilai-nilai, pelatihan
naluri, membina sikap yang tepat dan kebiasaan terhadap generasi muda. Dengan
kata lain, pendidikan juga merupakan proses penanaman karakter.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian perkembangan secara umum?
2. Bagaimana perkembangan moral peserta didik?
3. Bagaimana perkembangan intelek peserta didik?
4. Bagaimana perkembangan kretivitas peserta didik?
5. Bagaimana perkembangan bakat khusus peserta didik?

4
1.3 Tujuan Penulisan

1. Mampu mengetahui pengertian perkembangan secara umum

2. mampu menguraikan perkembangan moral peserta dididk

3. dapat menjelaskan tentang perkembangan intelek peserta didik

4. mengetahui perkembangan kreativitas peserta didik

5. mampu mendeskripsikan hal-hal terkaait bakat khusus peserta didik

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PERKEMBANGAN
A. Pengertian

Pada dasarnya, perkembangan merujuk kepada perubahan sistematik tentang


fungsi-fungsi fisik dan psikis. Perubahan fisik meliputi perkembangan biologis dasar
sebagai hasil dari konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma), dan hasil dari interaksi
proses biologis dan genetika dengan lingkungan. Sementara perubahan psikis
menyangkut keseluruhan karakteristik psikologis individu, seperti perkembangan
kognitif, emosi, sosial dan moral.

Perkembangan dapat diartikan sebagai proses perubahan kuantitatif dan kualitatif


individu dalam rentang kehidupannya, mulai dari masa konsepsi, masa bayi, masa
kanak-kanak, masa anak, masa remaja, sampai masa dewasa. Perkembangan dapat
diartikan juga sebagai suatu proses perubahan dalam diri individu atau organisme,
baik fisik (jasmaniyah) maupun psikis (rohaniyah) menuju tingkat kedewasaan atau
kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan.

B. Ciri-ciri Perkembangan
1. serta organ-organ tubuh lainnya, dan (b) aspek psikis: semakin bertambahnya
perebendaharaan kata dan matangnya kemampuan berfikir, mengingat, serta
Terjadinya perubahan ukuran, dalam (a) aspek fisik: perubahan tinggi dan berat
badan menggunakan imajinasi kreatif.
2. Terjadinya perubahan proporsi dalam (a) aspek fisik: proporsi tubuh anak berubah
sesuai dengan fase perkembangannya, dan pada usia remaja proporsi tubuh anak
mendekati proporsi tubuh usia dewasa, dan (b) aspek psikis: perubahan imajinasi
dari yang fantasi ke realitas, dan perubahan perhatiannya dari yang tertuju kepada
dirinya sendiri perlahan-lahan beralih kepada orang lain (khususnya teman
sebaya).
3. Lenyapnya tanda-tanda lama dalam (a) aspek fisik: lenyapnya kalenjar thymus
(kalenjar anak-anak) yang terletak pada bagian dada, rambut halus, dan gigi susu,
dan (b) aspek psikis: lenyapnya masa mengoceh (meraban), bentuk gerak-gerik
kanak-kanak (seperti merangkak) dan prilaku impulsif (melakukan sesuatu
sebelum berfikir).
6
4. Munculnya tanda-tanda baru dalam (a) aspek fisik: tumbuh dan pergantian gigi
dan matangnya organ-organ seksual pada usia remaja, baik primer (menstruasi
pada wanita dan mimpi basah pada pria) maupun sekunder (membesarnya pinggul
dan buah dada pada wanita, dan tumbuhnya kumis serta perubahan suara pada
pria) dan (b) aspek psikis: berkembangnya rasa ingin tahu, terutama yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan, lingkungan alam, nilai-nilai moral, dan
agama.
2.2 PERKEMBANGAN MORAL PADA PESERTA DIDIK
A. Pengertian Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,
bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara dalam kehidupan, adat-istiadat
atau kebiasaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai
akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan
pengertian moral,yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi
bentuk formalnyaberbeda.
B. Pendapat Para Ahli Tentang Pengertian Moral
1. TEORI KOHLBERG
Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian
perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlberg. Melalui disertasinya yang
sangat monumental yang berjudul The Depelovment of Modes of Moral Thinking
and Choice in The Years 10 to 16 yang diselesaikannya di University of Chicago.
Teori Kohlberg dikenal sebagai teori yang mengukur tingkatan moral
seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat perkembangan moral
siswa SD yang berusia antara 11-12 tahun, berdasarkan tahapan
perkembangan teori Kohlberg. Penelitian menggunakan metode penelitian
kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa anak-anak SD yang berusia 11-12
tahun secara umum termasuk dalam tahap pra konvensional tahap ½ yang
dominan diikuti tahap 2 dan 2/3, yang cenderung melakukan sesuatu
kegiatan bukan karena membutuhkan hasil melainkan karena takut dihukum.
Teori Kohlberg mengenai perkembangan moral secara formal disebut
cognitive-dvelopmental theory of moralization, yang berakar pada karya Piaget.
Asumsi utama Piaget adalah bahwa kognisi (pikiran) dan afek (perasaan)
berkembang secara paralel dan keputusan moral merupakan proses
perkembangan kognisi secara alami. Sebaliknya, kebanyakan ahli psikologi
7
pada masa itu berasumsi bahwa pikiran moral lebih merupakan proses
psikologi dan sosial. Dalam mengembangkan teorinya, Kohlberg tidak
memusatkan perhatian pada tingkah laku moral, artinya apa yang dilakukan oleh
seorang indivdu tidak menjadi pusat pengamatan-nya. Untuk menemukan tahap
kepatutan moral seseorang, Kohlberg telah menyusun instrumen penelitian
guna menggolongkan proses penalaran orang tersebut dalam mengatasi dilema
moral. Seseorang dihadapkan pada dilema moral supaya muncul minatnya,
lalu ditanya secar alangsung bagaimana solusinya terhadap dilema tersebut
dan mengapa dia mengambil keputusan seperti itu (Zuchdi, 2010: 11-13).
Kohlberg tidak memusatkan perhatian pada tingkah laku moral, artinya apa
yang dilakukan oleh seorang indivdu tidak menjadi pusat pengamatannya.
Mengamati tingkah laku tidak menunjukan banyak mengenai kematangan
moral. Memang seorang dewasa yang sudah matang dan seorang anak kecil
keduanya barangkali tidak mau mencuri mangga. Dalam hal ini tingkah laku
mereka sama. Tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda,
kematangan moral itu tidak tercermin dalam tingkah laku mereka, melainkan
pertimbangan (penalaran) mereka mengapa tidak mau mencuri mencerminkan
perbedaan kematangan tersebut. Kohlberg juga tidak memusatkan perhatian pada
pernyataan (statement) seseorang, apakah dia mengatakan
Enung Hasanah 136 sesuatu hal benar atau salah. Alasannya sama dengan
hal pertama tadi. Seorang dewasa yang sudah matang dan seorang anak kecil,
mungkin berkata bahwa mencuri mangga itu salah. Sekali lagi tidak tampak
perbedaan antara orang dewasa dengan anak kecil. Apa yang menampakan
perbedaan dalam kematangan moral itu adalah pertimbangan-pertimbangan yang
diberikan oleh mereka, mengapa mencuri mangga itu salah. Pertimbangan-
pertimbangan inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap
perkembangan moral. Memperhatikan pertimbangan mengapa suatu tindakan
(tingkah laku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu
itu salah. Penelitian Kohlberg menunjukan bahwa bila penalaran-penalaran
yang diajukan oleh seseorang mengapa ia mempunyai pertimbangan moral
tertentu atau melakukan tindakan tertentu diperhatikan, maka akan tampak jelas
adanya perbedaan-perbedaan yang berarti dalam pendangan moral orang
tersebut. Mungkin saja seseorang menunjukan bahwa berbuat curang itu salah,
karena dapat ditangkap, sedangkan orang lain barangkali menunjukan bahwa
berbuat curang itu merongrong kepercayaan umum yang dibutuhkan untuk
8
berlangsungnya masyarakat (Duska & Whelan, 1984: 57). Dengan demikian,
apa yang membedakan tingkatan moral seseorang apat dilihat dari alasan apa
yang digunakan seseorang untuk melakukan sesuatu. Teori Kohlberg (Hersh,
R.H. 1977) tentang perkembangan moral dibagi menjadi 3 level, yang
masing-masing level dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut: Level 1.
Moralitas Pra-konvensional, Tahap 1 - Ketaatan dan Hukuman. Tahap awal
perkembangan moral terutama terjadi pada anak-anak kecil, tetapi orang dewasa
juga mampu mengekspresikan jenis penalaran ini. Pada tahap ini, anak-anak
melihat aturan sebagai hal yang tetap dan absolut. Mematuhi aturan itu
penting karena merupakan
JIPSINDO No. 2, Volume 6, September 2019 137 sarana untuk
menghindari hukuman.; Tahap 2 - Individualisme dan Pertukaran. Pada tahap
perkembangan moral ini, anak-anak menjelaskan sudut pandang individu dan
menilai tindakan berdasarkan bagaimana mereka melayani kebutuhan individu.
Dalam dilema Heinz, anak-anak berpendapat bahwa tindakan terbaik adalah
pilihan yang paling baik memenuhi kebutuhan Heinz. Timbal balik adalah
mungkin, tetapi hanya jika melayani kepentingan diri sendiri. Level 2.
Moralitas Konvensional • Tahap 3 - Hubungan Interpersonal. Seringkali
disebut sebagai orientasi "good boy-good girl", tahap perkembangan moral
ini difokuskan pada memenuhi harapan dan peran sosial. Ada penekanan
pada konformitas, bersikap "baik," dan mempertimbangkan bagaimana pilihan
memengaruhi hubungan.; Tahap 4 - Menjaga Ketertiban Sosial. Pada tahap
perkembangan moral ini, orang mulai menganggap masyarakat secara
keseluruhan ketika membuat penilaian. Fokusnya adalah menjaga hukum dan
ketertiban dengan mengikuti aturan, melakukan tugas seseorang dan menghormati
otoritas. Level 3. Moralitas Pasca-konvensional. Tahap 5 - Kontrak Sosial
dan Hak Perorangan. Pada tahap ini, orang mulai memperhitungkan
perbedaan nilai, pendapat, dan kepercayaan orang lain. Aturan hukum penting
untuk mempertahankan masyarakat, tetapi anggota masyarakat harus menyetujui
standar-standar ini.; Tahap 6 - Prinsip Universal. Tingkat penalaran moral terakhir
Kolhberg didasarkan pada prinsip-prinsip etika universal dan penalaran abstrak.
Pada tahap ini, orang mengikuti prinsip-prinsip keadilan yang diinternalisasi
ini, bahkan jika mereka bertentangan dengan hukum dan peraturan.
2. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk
tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).
9
3. Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata
moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan
merupakan sumbertimbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan
ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.
4. Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso (1986: 22) merumuskan
pengertian moral secara lebih komprehensip rumusan formalnya sebagai berikut :
a. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna
dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan
tertentu.
b. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan
hidup atau agama tertentu.
c. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran,
bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik , sesuai dengan nilai
dan norma yang berlaku dalam lingkungannya
5. Shaffer, moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam
prilaku yang harus dipatuhi
6. Rogers, moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur prilaku
individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral
merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial
budaya dimana individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai
anggota sosial
Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam
kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Prilaku
moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan,
ketertiban, dan keharmonisan.
C. Tahapan Perkembangan Moral Anak
John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget mengemukakan 3
tahap perkembangan moral
1. Tahap moral
Ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan
2. Tahap konvensional
Ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan kataatan pada kekuasaan
3. Tahap otonom
Ditandai dengan berkembangnya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada
resiprositas
10
D. Pengertian Pendidikan Moral
Pendidikan moral berusaha untuk mengembangkan pola prilaku seseorang
sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendaknya ini berwujud moralitas atau
kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat.
Karena menyangkut 2 aspek inilah yaitu (a) Nilai-nilai, dan (b) kehidupan nyata, maka
pendidikan moral lebih banyak membahas masalah dilema (seperti makan buah
siamalakama) yang berguna untuk mengambil keputusan moral yang terbaik bagi diri
dan masyarakatnya.[3]
Berdasarkan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN dan
tujuan kelembagaan sekolah serta tujuan pendidikan moral yang duberikan pada
tingkat sekolahdan perguruan tinggi, maka pendidikan moral di indonesia bisa
dirumuskan sebagai berikut
Pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang
mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan
memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan.[4]
E. Konsep Moral Dan Pertimbangan Moral
Keefektifan pendidikan moral di sekolah diteliti oleh Harshorne dan May pada tahun
1928-1930. Dari penelitian tersebut ditemukan hal-hal berikut[5]
1. pendidikan watak atau karakter dan pengajaran agama di kelas tidak memengaruhi
pendidikan prilaku moral.
2. pendidikan etika yang dilakukan dengan cara pengklarifikasian nilai, yakni
pengajaran tentang aturan-aturan berprilaku benar dan baik di sekolah sedikit
berpengaruh terhadap pembentukan moral sebagaimana yang dikehendaki.
Menurut Freud, Peck, Kohlberg, dan Hoffman, temuan penelitian Hartsshorne
dan May dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan moral si sekolah tidak efektif.
Ketidak efektifan itu disebabkan oleh karakter moral telah dibentuk lebih awal di
rumah karena pengaruh orang tua, karakter moral juga dianggap sebagai sesutau yang
tidak tetap dan merupakan emosi mendalam yang keberadannya tidak konsisten.
Seseorang berprilaku amoral disebabkan oleh faktor-faktor situasional dan bukan
merupakan hasil pemikiran yang didasarkan atas pertimbangan moral. Oleh karena itu,
prilaku amoral bukan merupkan refleksi dari pengalaman pendidikan yang berpusat
pada nilai-nilai moral yang diajarkan. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa
pendidikan moral selama dekade tersebut dinyatakan kurang berhasil, bahkan
dianggap gagal, yaitu karena kurang mengikutsertakan faktor kognitif.

11
F. Teori Pendidikan Moral
Dewey menyatakan bahwa pada dasarnya tujuan pendidikan adalah
mengembangkan kemampuan intelektual dan moral, prinsip-prinsip psikologi dan
etika dapat membantu sekolah untuk meningkatkan seluruh tugas pendidikan dalam
membangun kpribadian siswa yang kuat.[6]
Shaver mengemukakan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan
bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan kecakapan siswa
dalam menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau untuk tidak bertindak.
Kemampuan demikian terkait dengan nilai-nilai, terutama nilai yang bersifat humanis.
Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai beban dan tanggung
jawab untuk melaksanakan pendidikan moral dan membantu siswa menegmbangkan
cara berpikinya dalam menetepkan keputusan moralitasnya.
Rats menyatakan bahwa sekolah harus lebih sensitif pada masalah kemampuan
berfikir moral dan keterampilan berprilaku moral. Sekolah bukan saja harus
memerhatikan secara khusus aspek intelektual dan prilaku moral, tetapi lebih dari itu,
yaitu seluruh fungsi dan isi pendidikan di sekolah harus didasarkan pada suatu rencana
kerja serta kurikulum yang mengarah kepada usaha nyata demi tercapainya
peningkatan moral.
Goods menegaskan bahwa negara yang mengakui agama dan sekolah agama,
maka pendidikan moral di sekolah diajarkan melauli pendidikan moral di sekolah
diajarkan melalui pendidikan agama atau sekolah agama, sedangkan negara yang tidak
mengakui agama, pendidika moral diajarkan melalui pendidikan kewarganegaraan
atau civics. Menurut Goods Ppendidikan moral dapat dilakukan secara formal maupun
insidental, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah.

Pasal 1 ayat 1 uu no 20 thn 2003 tentang sistem pendidikan nasional


menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi diri nya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kpribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya pasal 3 menegaskan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat,
12
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Pendidikan moral merupakan bagian lingkungan yang berpengaruh, darancang
secara sengaja untuk mengembangkan dan mengubah cara berpikir dan bertindak
dalam situasi moral. Sebagaimana pendidikan pada uumnya.
Ryan mengemukakan 3 teori tentang usaha menumbuhkan dan
mengembangkan moral yaitu[7]
1. Teori perkembangan kognitif
Teori ini pada awalnya dikemukakan oleh dewey, dilanjutkan piaget,
dan disempurnakan oleh kohlberg, damon, mosher, perry, dan lain-lain.
Menurut teori ini, moral manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tahapan-tahapan perkembangan berdasarkan tingkat pertimbangan moral.
Tingkat pertimbangan moral, urutannya sedemikian tetap, dari tingkat yang
rendah menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Tingkat pertimbangan moral
dianggap suatu proses moral dalam menetapkan suatu keputusan. Dasar
pemikiran moral berladas pada filsafat moral yang mengacu pada prinsip-
prinsip keadilan, konsep-konsep persamaan dan saling terima.
2. Teori belajar sosial
Teori ini bersumber dari ajaran empirisnya locke dan teori
behaviorismenya watson dan skinner, yang memandang hakikat manusia
seperti kertas ksong yang siap ditulis masyarakat dan memebentuk
pengalamannya. Masyarakat yang multidimensi menentukan individu melalui
keluarga, kelompok etnik, dan sosial budayanya secara menyeluruh.
Pandangan ini menegaskan bahwa untuk terwujudnya moralitas, pendidikan
moral hendaknya mempelajari mengenai apa saja yang seharusnya dikerjakan
setiap orang dalam masyarakatnya.
3. Teori psikoanalitik
Teori ini memandang hakikat manusia sebagai makhlik yang
dikendalikan oleh hati nurani dan sulit dikontrol. Agen2 masyarakat,
khususnya orang tua harus turut campur tangan dalam menentukan dan
membentuk prilaku anak untuk kebaikan individu dan masyarakatnya

13
G. Tujuan Pendidikan Moral
Frankena mengemukakan 5 tujuan pendidikan moral sebagai berikut[8]
a. Mengusahakan suatu pemahaman”pandangan moral” ataupun cara-cara moral
dalam mempertimbangkan tindakan-tinadakan dan penetapan keputusan apa yang
seharusnya dikerjakan, seperti membedakan hal estetika, legalitas, atau pandangan
tentang kebijakan
b. Membantu mengembangkan kepercayaan atau pengadobsian satu atau beberapa
prinsip umum yang fundamental, ide atau nilai sebagai suatu pijakan atau
landasan untuk mempertimbangkan moral dalam menetapkan suatu keputusan.
c. Membantu mengembangkan kepercayaan pada norma-norma konkret, nilai-nilai,
kebaikan-kebaikan.
d. Mengembangkan suatu kecendrungan untuk melakukan sesuatu yang secra moral
baik dan benar.
e. Meningkatkan pencapaian refleksi otonom, pengendalian diri atau kebebasan
mental spritual.
2.3 PERKEMBANGAN INTELEK
A. Pengertian
Intelek berasal dari bahasa Inggris intelect yang menurut Chaplin diartikan
senbagai[9]
a. Proses kognitif, proses berpikir, daya menghubungkan, kemampuan menilai, dan
kemampuan mempertimbangkan
b. Kemampuan mental atau intelegensi
Menurut Mahfudin Shalahuddin dinyatakan bahwa “intelek” adalah akal
budi atau intelegensi yang berarti kemampuan untuk meletakkan hubungan dari
proses berpikir. Selanjutnya, dikatakan bahwa orang yang intelegent adalah
orang yang dapat menyelesaikan persoalam dalam waktu yang lebih singkat,
memahami masalahnya lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat.
Jean Piaget mendefenisikan intellect adalah akal budi berdasarkan aspek-
aspek kognitifnya, khususnya proses berfikir yang lebih tinggi,
Istilah inteligensi, semula berasal dari bahasa latin intelligere yang
berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Menurut Wiiliam
Stern, salah seorang pelopor dalam penelitian inteligensi, mengatakan bahwa
inteligensi adalah kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu
dan pikiran guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru. Menurut
Jean Piaget diartikan sama dengan kecerdasan, yaitu seluruh kemampuan
14
berfikir dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang
kompleks seperti berfikir, mempertimbngkan, menganalisis, mensintesis,
mengevaluasi, dan menyelesaikan persoalan-persoalan. Jean Piaget mengatakan
bahwa inteligensi adalah seluruh kemungkinan koordinasi yang memberi
struktur kapada tingkah laku suatu organisme sebagai adaptasi mental terhadap
sesuatu baru. Dalam arti sempit, intelegensi diartikan sebagai inteligensi
operasional, termasuk pula tahapan-tahapan yang sejak dari periode
sensorimotoris sampai dengan operasional formal. Sedangkan Leis Hedison
Terman berpendapat bahwa inteligensi adalah kesanggupan untuk belajar secara
abstrak.
Berdasarkan urauan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian intelek
tidak berbeda dengan pengertian inteligensi yang memiliki arti kemampuan
untuk malakukan abstraksi, serta berpikir logis dan cepat sehingga dapat
bergerak dan menyesuaikan diri terhadap sesuatu baru.
B. Tahapan Perkembangan Intelek
Jean Piaget membagi perkembangan intelek/kognitif menjadi empat tahapan[10]
1) Tahap sensori-motoris
2) Tahap praoperasional
3) Tahap operasional konkret
4) Tahap operasional formal
• Membantu Perkembangan Intelek Peserta Didik
Kondisi psikologis yang perlu diciptakan agar peserta didik merasa aman secara
psikologis sehingga mampu mengembangkan kemampuan intelektualnya adalah
sebagai berikut.[11]
1. Pendidik menerima peserta didik secara positif sebagaimana danya tanpa
syarat, artinya apapun keberadaan peserta didik dengan segala kekuatan dan
kelemahannya harus diterima dengan baik
2. Pendidik menciptakan suasana dimana peserta didik tidak terlalu dinilai orang
lain. Memberi penilaian terhadap peserta didik dengan berlebihan dapat
dirasakan sebagai ancaman sehungga menimbulkan kebutuhan akan
pertahanan diri.
3. Pendidik memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran,
perasaan, dan prilaku peserta didik, serta melihat sesuatu dari sudut pandang
mereka. Dalam suasana seperti ini peserta didik akan merasa aman untuk
mengembangkan dan mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.
15
4. Memahami pemikiran, perasaan, dan prilaku remaja, menempatkan diri dalam
situasi remaja, serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka. Dalam
suasana seperti ini pesrta didik akan merasa aman untuk mengembangkan
pemikiran atau ide-idenya.
5. Memberikan suasana psikologis yang aman bagi peserta didik untuk
mengemukakan pikiran-pikirannya sehingga terbiasa berani mengembangkan
pemikirannya sendiri.
Dalam bekerja guru cenderung mengelompokkan siswa dalam interaksi
yang berbeda, mereka mengelompokkan sebagai “golongan siswa berkemampuan
tinggi” yang mereka anggap sebagai siswa yang cerdas, patuh, tertib, rajin, rapi
dan sebagainya. Interaksi kedua adalah “golongan siswa berkemampuan rendah”,
mereka adalah yang termasuk siswa yang mempunyai nilai rendah, bandel,
pemberontak, malas, dan sebagainya. Ada beberapa contoh interaksi anak
berkemampuan tinggi dan anak berkemapuan rendah:
1. Cenderung lebih murah senyum >< cenderung berbicara lebih keras
2. Lebih banyak ngobrol >< ngobrol seperlunya
3. Akrab >< jarang senyum
4. Berbicara secara intelektual >< berbicara lambat
5. Humoris >< intruksional
6. Bertindak lebih matang >< otoriter
7. Menggunakan kosakata yang kompleks >< menggunakan kalimat
mentah
Untuk menciptakan interaksi antara siswa dengan guru dalam melakukan
proses komunikasi yang harmonis sehingga tercapai suatu hasil yang diinginkan
dapat dilakukan contact-hours atau jam-jam bertemu antara guru dan siswa,
dimana guru dapat menanyai dan mengungkapkan keadaan siswa dan sebaliknya
siswa mengajukan persoalan-persoalan dan hambatan-hambatan yang dihadapinya.
Adapun interaksi pembelajaran yang dapat dilakukan sebagai berikut:
Interaksi satu arah, dimana guru bertindak sebagai penyampai pesan dan
siswa penerima pesan.
Interaksi dua arah antara siswa dan guru dimana guru memperoleh balikan
dari siswa.
Interaksi dua arah antar guru dan siswa dimana guru mendapat balikan dari
siswa selain itu saling berinteraksi atau saling belajar satu dengan yang lainnya.

16
2.4 PERKEMBANGAN KREATIVITAS
A. Pengertian
Kreativitas didefenisikan secara berbeda-beda oleh para pakar berdasarkan sudut
pandang masing-masing. Perbedaan dalam sudut pandang ini menghasilkan berbagai
definisi kreativitas dengan penekanan yang berbeda-beda, diantaranya: [12]
a. Barron, mendefenisikan bahwa kreativitas adalah kemampuan unutuk
menciptakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru disini bukan berarti harus
sama sekali baru, tetapi dapat juga sebagai kombinasi dari unsur-unsur yang
telah ada sebelumnya.
b. Guilford, menyatakan bahwa kreativitas mengacu pada kemampuan yang
menandai ciri-ciri seorang kreatif. Lebih lanjut Guilford mengemukakan dua
cara berpikir, yaitu cara berfikir konvergen dan divergen. Cara berfikir
konvergen adalah cara-cara individu dalam memikirkan sesuatu dengan
berpandangan bahwa hanya ada satu jawaban yang benar. Sedangkan cara
berfikir divergen adalah kemampuan individu untuk mencari berbagai alternatif
jawaban terhadap suatu persoalan. Dalam kaitannya dengan kreativitas, Guilford
menekankan bahwa orang-orang kreatif lebih banyak memiliki cara-cara berfikir
divergen daripada konvergen.
c. Utami Munandar, mendefinisikan kreativitas adalah kemampuan yang
mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berfikir serta
kemampuan untuk mengolaborasi suatu gagasan.
d. Rogers, mendefinisikan kreativitas sebagai proses munculnya hasil-hasil baru ke
dalam suatu tindakan. Hasil-hasil baru itu muncul dari sifat-sifat individu yang
unik yang berinteraksi dengan individu lain, pengalaman maupun keadaan
hidupnya.
B. Pendekatan Terhadap Kreativitas
Pendekatan dalam studi kreativitas dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu[13]
1. Pendekatan psikologis
Pendekatan ini lebih melihat kreativitas dari segi kakuatan yang ada
dalam diri individu sebagai faktor-faktor yang menentukan kreativitas, seperti
inteligensi, bakat, motivasi, sikap, minat, dan disposisi kepribadian lainnya.

17
Salah satu pendekatan psikologis yang digunakan untuk menjelaskan
kreativitas adalah pendekatan holistik
2. Pendekatan sosiologis
Pendekatan ini berasumsi bahwa kreativitas individu merupakan hasil
dari proses iteraksi sosial, dimana individu dengan segala potensi dan disposisi
kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat individu itu berada,
yang meliputi ekonomi, politik, kebudayaan, dan peranan keluarga.
Arieti mengemukakan beberapa faktor sosiologis yang kondusif
bagi perkembangan kreativitas yaitu[14]
1. tersedianya sarana-sarana kebudayaan
2. keterbukaan terhadap keberagaman cara berfikir
3. adanya keleluasaan bagi berbagai media kebudayaan
4. adanya toleransi terhadap pandangan-pandangan yang divergen, dan
5. adanya penghargaan yang memadai terhadap orang-orang yang
berprestasi
C. Tahap-tahap Kreativitas
a) Persiapan
b) Inkubasi
c) Iluminasi
d) Verifikasi
C. Karakteristik Kreativitas
Clark mengemukakan karakteristik kretivitas adalah sebagai berikut[15]
1) Memiliki disiplin diri yang tinggi
2) Memiliki kemandirian yang tinggi
3) Cendrung sering menentang otoritas
4) Memiliki rasa humor
5) Mampu menentang tekanan kelompok
6) Lebih mampu menyesuaikan diri
7) Senang berpetualangan
8) Toleran terhadap ambiguitas
9) Kurang toleran terhadap hal-hal yang membosankan
10) Memiliki kemampuan berfikir divergen yang tinggi
11) Memiliki memori dan atensi yang baik
12) Memiliki wawasan yang luas
13) Memerlukan situasi yang mendukung
18
14) Sensitif terhadap lingkungan
15) Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
16) Memiliki nilai setetik yang baik

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kreativitas


Clark mengkategorikan faktor-faktor yang memepengaruhi kretivitas ke dalam dua
kelompok, yaitu faktor yang mendukung dan yang menghambat. Faktor-faktor yang
dapat mendukung perkembangan kreativitas adalah
a. Situasi yang menghadirkan ketidak lengkapan serta keterbukaan
b. Situasi yang memungkunkan dan mendorong timbulnya banyak pertanyaan
c. Situasi yang dapat mendorong dalam rangka menghasilkan sesuatu
d. Situasi yang mendorong tanggungjawab dan kemandirian
e. Situasi yang menekankan inisiatif untuk menggali, mengamati, bertanya,
merasa, mengklasifikasikan, mencatat, menguji hasil pikiran dan
mengkomunikasikan.
f. Perhatian dari orang tua terhadap minat anaknya

Sedangkan faktor-faktor yang menghambat berkembangnya kreativitas adalah


a) Adanya kebutuhan akan keberhasilan, ketidak beranian dalam menanggung
resiko, atau upaya mengejar sesuatu yang belum diketahui
b) Konformitas terhadap teman-teman kelompoknya dan tekanan sosial
c) Kurang berani dalam melakakukan eksplorasi, menggunakan imajinasi dan
penyelidikan
d) Tidak menghargai fantasi dan khyalan
e) otoritarianisme

E. Upaya Membantu Perkembangan Kreativitas Peserta Didik


1. Pembimbing berusaha memahami pikiran dan perasaan anak
2. Pembimbing mendorong anak untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tanpa
mengalami hambatan
3. Pembimbing lebih menekankan pada proses daripada hasil sehingga pembimbing
dituntut mampu memandang permasalahan anak sebagai bagian dari
keseluruhan dinamika perkembangan dirinya.

19
4. Pembimbing berusaha menciptakan lingkungan yang bersahabat, bebas dari
ancaman, dan suasana penuh saling menghargai.
5. Pembimbing tidak memaksakan pendapat, pandangan, atau nilai-nilai tertentu
kepada anak
6. Pembimbing berusaha menempatkan aspek berfikir dan perasaan secara
seimbang dalam proses bimbingan

2.5 PERKEMBANGAN BAKAT KHUSUS


A. Pengertian
Bakat mengandung makna kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang
masih perlu pengembangan dan latihan lebih lanjut, bakat merupakan potensi yang
masih memerlukan ikhtiar pengembangan dan pelatihan secara serius dan sistematis
agar dapat terwujud. Bakat berbeda dengan kemampuan yang mengandung makna
sebagai daya untuk melakukan sesuatu, sebagai hasil pembawaan dan latihan. Bakat
juga berbeda dengan kapasitas, yaitu kemampuan yang dapat dikembangkan di masa
yang akan datang apabila latihan dilakukan secara optimal. Dengan demikian dapat
disarikan bahwa bakat masih merupakan suatu potensi yang akan muncul setelah
memperoleh pengembangan dan latihan. Adapun kemampuan dan kapasitas sudah
merupakan suatu tindakan yang dapat dilaksanakan atau akan dapat dilaksanakan.
Jadi yang disebut bakat adalah kemampuan alamiah untuk memperoleh
pengetahuan dan keterampilan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat
khusus. Bakat umum apabila kemampuan berupa potensi tersebut bersifat umum.
Sedangkan bakat khusus apabila kemampuan yang berupa potensi tersebut bersifat
khusus. Misalnya bakat akademik, sosial dan seni kinestetik. Bakat khusus ini
biasanya disebut dengan talent,sedangkan bakat umum sering disebut dengan istilah
gifted. Oleh karena itu, anak yang memiliki bakat khusus menonjol sering disebut
dengan istilah talented children,[16]sedangkan anak yang memiliki bakat intelektual
menonjol sering disebut dengan istilahgifted children.
Dengan bakat, memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang
tertentu. Tetapi untuk mewujudkan bakat ke dalam suatu prestasi diperlukan latihan,
pengetahuan, pengalaman, dan motivasi. Seorang yang memiliki potensi bakat musik
tetapi tidak memperoleh kesempatan mengembangkannya, bakat musiknya tidak dapat
berkembang dan terwujud dengan baik.
B. Jenis-Jenis Bakat Khusus
20
Bakat khusus (talent) adalah kemampuan bawaan berupa potensi khusus dan jika
memperoleh kesempatan berkembang dengan baik, akan muncul sebagai kamampuan
khusus dalam bidang tertentu sesuai potensinya.
Conny Semiawan dan Utami Munadar mengklasifikasikan jenis-jenis bakat
khusus, baik yang masih berupa potensi maupun yang sudah terwujud menjadi 5
bidang yaitu:[17]
1. bakat akademik khusus
2. bakat kreatif-produktif
3. bakat seni
4. bakat kinestetik/psikomotorik
5. bakat sosial
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Peserta Didik
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan bakat khusus yang
secara garis besar dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor
internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor-faktor internal
tersebut adalah
1. minat
2. motif berprestasi
3. keberanian mengambil resiko
4. keuletan dalam menghadapi tantangan
5. kegigihan atau daya juang dalam mengatasi kesulitan yang timbul
Adapun faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari lingkungan individu
tumbuh dan berkembang. Faktor-faktor eksternal meliputi:
1. kesempatan maksimal untuk mengembangkan diri
2. sarana dan prasana
3. dukungan dan dorongan orangtua/keluarga
4. lingkungan tempat tinggal, dan
5. pola asuh orangtua
D. Upaya Pengembangan Bakat Khusus Peserta Didik
1. Mengembangkan situasi dan kondisi yang memberikan kesempatan bagi anak-
anak dengan mengusahakan dukungan hasil psikologis maupun fisik
2. Berupaya menumbuhkembangkan minat dan motif berprestasi tinggi di kalangan
anak, baik dalam lingkungan keluaraga, sekolah maupun masyarakat.
3. Meningkatkan kegigihan dan daya juang peserta didik dalam menghadapi
berbagai tantangan dan kesulitan
21
4. Mengembangkan program pendidikan berdiferensi di sekolah dengan kurikulum
berdiferensi pula

22
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan
Pada dasarnya, perkembangan merujuk kepada perubahan sistematik tentang
fungsi-fungsi fisik dan psikis. Perubahan fisik meliputi perkembangan biologis dasar
sebagai hasil dari konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma), dan hasil dari interaksi
proses biologis dan genetika dengan lingkungan. Sementara perubahan psikis
menyangkut keseluruhan karakteristik psikologis individu, seperti perkembangan
kognitif, emosi, sosial dan moral.
Perkembangan dapat diartikan sebagai proses perubahan kuantitatif dan
kualitatif individu dalam rentang kehidupannya, mulai dari masa konsepsi, masa bayi,
masa kanak-kanak, masa anak, masa remaja, sampai masa dewasa. Perkembangan
dapat diartikan juga sebagai suatu proses perubahan dalam diri individu atau
organisme, baik fisik (jasmaniyah) maupun psikis (rohaniyah) menuju tingkat
kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan
berkesinambungan.
b. Saran
Sebagai masyarakat Indonesia dan kaum muda harus mampu
mengimplementasikan karakter yang baik dan sempurna bagi adik –adik kita, agar
bangsa kita menjadi bangsa yang menunjukan bahwa pendidikan karakter itu bukan
masalah social ataupun konflik daerah dan pertentangan antar kelompok agar kita
menjidikan pendidikan karakter itu dengan baik dan menjadi yang terbaik buat bangsa
kita.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad. Mohammad Asrori. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.Jakarta:


Bumi Aksara. 2011

Sjarkawi. Pembentukan Kpribadian Anak, peran moral, intelektual, emosional, dan sosial
sebagai wujud integritas membangun jati diri,

Yusuf, Syamsu. Nani M Sugandhi. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2011

Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan,

24

Anda mungkin juga menyukai