Anda di halaman 1dari 13

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

Perkembangan Moral
Dosen Pengampu: Dwi Septi Anjas Wulan, S.Pd, M.Pd

Disusun Oleh:
Erikson Tampubolon
Fadli Rahman Saragih

Juna Roy Fernando

PENDIDIKAN BAHASA JERMAN

JURUSAN BAHASA ASING

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat serta hidayah-Nya, sehigga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
“Perkembangan Moral”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu
dalam penulisan makalah ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dwi Septi
Anjas Wulan, S.Pd, M.Pd selaku dosen Perkembangan Peserta Didik.

Penulis menyadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata
penulis mohon maaf apabila dalam makalah ini banyak kesalahan. Semoga bermanfaat bagi
penulis sendiri dan bagi pembaca.

Medan, Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

SAMPUL.....................................................................................................................................

KATA PENGANTAR...............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................

A. Latar Belakang............................................................................................................

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................

C. Tujuan.........................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................

A. Pengertian Moral ........................................................................................................

B. Tahap Perkembangan Moral .......................................................................................

C. Perkembangan Kesadaran Moralitas Anak ................................................................

D. Perkembangan Moral Anak Indonesia........................................................................

E. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral ………………………….....

F. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Moral ………………………….....

BAB III PENUTUP....................................................................................................................

A. Kesimpulan.................................................................................................................

B. Kritik Dan Saran.........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan moral awalnya dipusatkan pada disiplin yaitu jenis disiplin yang terbaik untuk
mendidik anak yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada penyesuaian
pribadi dan sosial. Secara bertahap bergeser ke arah perkembangan moral kepola yang
normal untuk aspek perkembangan ini dan usia seorang anak dapat diharapkan bersikap
sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat. Dengan adanya peningkatan yang serius dalam
kenakalan remaja, minat untuk mempelajari penyebab, penanganan, dan pencegahan menjadi
sasaran perhatian psikologi dan sosiologi. Mula-mula minat ini terbatas pada penelitian
remaja karena sesungguhnya, anak-anak tidak dianggap “anak nakal” betapapun jauhnya
penyimpangan perilaku mereka dari standar yang disetujui masyarakat.

Dalam dua dasawarsa terakhir, studi psikologi mengenal perkembangan moral telah dipacu
oleh teori-teori yang didasarkan atas hasil-hasil penelitian sehubungan dengan pola
perkembangan moral pada masa kanak-kanak dapat diramalkan. Teori terbaik dan yang
paling berpengaruh adalah teori Piaget dan teori Kohlberg.

Manusia sulit bersikap netral terhadap perkembangan moral. Banyak orang tua kuatir bahwa
anak-anak mereka bertumbuh tanpa nilai-nilai tradisional. Para guru mengeluh bahwa murid-
murid mereka tidak sopan. Didalam makalah ini kita akan membahas tentang perkembangan
moral, pandangan Piaget tentang pertimbangan moral anak-anak berkembang, hakikat
perilaku moral anak-anak, dan perasaan anak-anak menyubang bagi perkembangan moral
mereka.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:

1. Apakah pengertian moral ?

2. Bagaimana tahap – tahap perkembangan moral ?

3. Bagaimana perkembangan moral pada anak ?

4. Bagaimana perkembangan moral anak Indonesia ?

C. TUJUAN

Adapun tujuan dalam makalah ini adalah penulis ingin menjelaskan:

1. Pengertian moral.

2. Tahap – tahap perkembangan moral.

3. Perkembangan moral pada anak.

4. Perkembangan moral anak Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MORAL

Moral yang merupa­kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya
“Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan
perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau
orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral
disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia
lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara
ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral
manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai
implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang
yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus
memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan
dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh.

Lalu, berbagai pengertian tentang moral banyak bermunculan, seperti yang dirumuskan oleh
beberapa ahli berikut ini:

· Pengertian Moral Menurut Chaplin (2006): Moral mengacu pada akhlak yang sesuai
dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah
laku.

· Pengertian Moral Menurut Hurlock (1990): moral adalah tata cara, kebiasaan, dan adat
peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya.

· Pengertian Moral Menurut Wantah (2005): Moral adalah sesuatu yang berkaitan atau
ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah
laku

B. TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL

1. Pra-Konvensional

Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun
orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada
dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam
perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.

· Tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari


tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah
secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan
dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang
orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis
otoriterisme.

· Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar
didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan
perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga
berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan
kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh
loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam
tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan
dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif
dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

2. Konvensional

Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di
tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan
pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan
keempat dalam perkembangan moral.

· Tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba
menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada
gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk
mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.
Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap
ini; 'mereka bermaksud baik…'.

· Tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial
karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap
empat lebih dari sekadar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga;
kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan
apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa
melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas
untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara
moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan
yang buruk dari yang baik.

3. Pasca-Konvensional

Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima
dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang
terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakikat diri mendahului orang lain’ ini membuat
tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.

· Tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan


nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan
jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau
absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu,
hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan
terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.[8] Hal tersebut diperoleh melalui keputusan
mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap lima.

· Tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip
etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap
keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak
tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan
dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara
kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant[13]). Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga
memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John
Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak
pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan
bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan
seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada,
yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.

C. Perkembangan Kesadaran Moralitas Anak

Tahapan Perkembangan Moral Anak Usia Dini menurut para ahli. Pengertian moral adalah
sesuatu yang berhubungan dengan penerapan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat,
dalam perbuatan yang seharusnya dilakukan dalam interaksi sosial. Menurut para ahli
perkembangan anak di bawah ini terdapat kesamaan dalam perkembangan moral anak usia
dini.

a. Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut Piaget

Menurut Piaget dalam pengamatan dan wawancara pada anak usia 4-12tahun
menyimpulkan bahwa anak melewati dua tahap yang berbeda dalam cara berpikir tentang
moralitas yaitu:

1. Tahap Moralitas Heterogen

Anak usia 4-7 tahun menunjukkan moralitas heterogen, yaitu tahap pertama dari
perkembangan moral. Anak berpikir bahwa keadilan dan peraturan adalah property dunia
yang tidak bisa diubah dan dikontrol oleh orang. Anak berpikir bahwa peraturan dibuat oleh
orang dewasa dan terdapat pembatasan-pembatasan dalam bertingkah laku.Pada masa ini
anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laku berdasarkan konsekuensinya, bukan niat
dari orang yang melakukan. Anak juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah atau
diturunkan oleh sebuah otoritas yang berkuasa. Anak berpikir bahwa mereka tidak berhak
membuat peraturan sendiri, melainkan dibuatkan aturan oleh orang dewasa. Orang dewasa
perlu memberikan kesempatan pada anak untuk membuat peraturan, agar anak menyadari
bahwa peraturan berasal dari kesepakatan dan dapat diubah.

2. Tahap Moralitas Otonomi

Usia 7 – 10 tahun, anak berada dalam masa transisi dan menunjukkan sebagian ciri-ciri dari
tahap pertama perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua yaitu moralitas
otonom.Anak mulai sadar bahwa peraturan dan hokum dibuat oleh manusia, dan ketika
menilai sebuah perbuatan, anak akan mempertimbangkan niat dan konsekuensinya. Moralitas
akan muncul dengan adanya kerjasama atau hubungan timbal balik antara anak dengan
lingkungan dimana anak berada

Pada masa ini anak percaya bahwa ketika meraka melakukan pelanggaran, maka otomatis
akan mendapatkan hukumannnya. Hal ini seringkali membuat anak merasa khawatir dan
takut berbuat salah.Namun, ketika anak mulai berpikir secara heteronom, anak mulai
menyadari bahwa hukuman terjadi apabila ada bukti dalam melakukan pelanggaran.

Piaget yakin bahwa dengan semakin berkembang cara berpikir anak, anak akan semakin
memahami tentang persoalan-persoalan social dan bentuk kerjasama yang ada didalam
lingkungan masyarakat

b. Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut Kohlberg

Selain Piaget, Kohlberg juga menekankan bahwa cara berpikir anak tentang moral
berkembang dalam beberapa tahapan. Kohlberg menggambarkan 3 (tiga) tingkatan penalaran
tentang moral, dan setiap tingkatannya memiliki 2 (dua) tahapan, yaitu :

1. Moralitas Prakonvensional

Penalaran prakonvensional adalah tingkatan terendah dari penalaran moral, pada tingkat ini
baik dan buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment (hukuman)
eksternal.

· Tahap satu, Moralitas Heteronom adalah tahap pertama pada tingkatan penalaran
prakonvensional. Pada tahap ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak
berpikir bahwa mereka harus patuh dan takut terhadap hukuman. Moralitas dari suatu
tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya.

Contoh : “Bersalah” dicubit. Kakak membuat adik menangis, maka ibu memukul tangan
kakak (dalam batas-batas tertentu).

· Tahap kedua, individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran. Pada tahap ini, anak
berpikir bahwa mementingkan diri sendiri adalah benar dan hal ini juga berlaku untuk orang
lain. Karena itu, anak berpikir apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan atau
pertukaran yang setara.

Jika ia berbuat baik, maka orang juga harus berbuat baik terhadap dirinya, anak
menyesuaikan terhadap harapan social untuk memperoleh penghargaan.
Contoh : berbuat benar ia dipuji “ pintar sekali”.

3. Moralitas Konvensional

Penalaran konvensioanal adalah tingkat kedua atau menengah dalam tahapan Kohlberg. Pada
tahapan ini, individu memberlakukan standar tertentu , tetapi standar ini ditetapkan oleh
orang lain, misalnya oleh orang tua atau pemerintah.

Moralitas atas dasar persesuaian dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain
dan untukmempertahankan hubungan baik dengan mereka.

· Tahap satu, ekspektasi interpersonal, hubungan dengan orang lain, pada tahap ini anak
menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar penilaian
moral. Pada tahap ini, seseorang menyesuaiakan dengan peraturan untuk mendapatkan
persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan baik dengan mereka.

Contoh adalah mengembalikan krayon ketempat semula sesudah digunakan (nilai moral =
tanggung jawab).

· Tahap kedua, moralitas system social, pada tahap ini penilaian moral didasari oleh
pemahaman tentang keteraturan dimasyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban.Seseorang
yakin bahwa bila kelompok social menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh kelompok,
maka mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari keamanan dan
ketidaksetujuan social.

Contohnya adalah bersama-sama membersihkan kelas, semua anggota kelompok wajib


membawa alat kebersihan (nilai moral = gotong royong).

4. Moralitas Pascakonvensional

Penalaran pascakonvensional merupakan tahapan tertinggi dalam tahapan moral Kohlberg,


pada tahap ini seseorang menyadari adanya jalur moral alternative, dapat memberikan
pilihan, dan memutuskan bersama tentang peraturan, dan moralitas didasari pada prinsip-
prinsip yang diterima sendiri.

Ini mengarah pada moralitas sesungguhnya, tidak perlu disuruh karena merupakan kesadaran
dari diri orang tersebut.

· Tahap satu, hak individu, pada tahap ini individu menalar bahwa nilai, hak, dan prinsip
lebih utama. Seseorang perlu keluwesan dalam adanya modifikasi dan perubahan standar
moral apabila itu dapat menguntungkan kelompok secara keseluruhan.
Contoh pada tahun ajaran baru sekolah memperkenankan orangtua menunggu anaknya
selama lebih kuarang satu minggu, setelah itu anak harus berani ditinggal.

· Tahap kedua, prinsip universal pada tahap ini, seseorang menyesuaikan dengan standar
social dan cita-cita internal terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri
dan bukan untuk menghindari kecaman social (orang yang tetap mempertahankan moralitas
tanpa takut dari kecaman orang lain).

Contohnya adalah anak secara sadar merapikan kamar tidurnya segera setelah ia bangun tidur
dengan harapan agar kamarnya terlihat selalu dalam keadaaan rapih

D. Pengembangan Moral Anak Indonesia

Anak Indonesia memiliki perkembangan moral yang tidak jauh berbeda dengan
anak di dunia pada umumnya. Faktor-faktor pembentuk munculnya perbedaan moral manusia
diantaranya kenyataan hidup, tantangan yang dihadapi, dan harapan yang dicita-cita oleh
komunitas manusia itu

sendiri. Bangsa Indonesia telah mengalami kemunduran menyangkut persoalan kejujuran,


kebenaran, dan keadilan. Sehingga bangsa ini butuh kembali menanamkan nilai-nilai moral
yang dimiliki bangsa ini. Kemerosotan moral generasi muda, perlu penanganan yang lebih
intensif dimana kita perlu menanamkan nilai moral sedini mungkin. Kemerosotan moral yang
dialami bila tidak diberikan perhatian khusus akan berakibat buruk bagi generasi mendatang.
Pendidikan moral merupakan salah satu pendekatan yang dianggap sebagai gerakan utama
dalam penanaman nilai moral pada anak. Pendidikan moral perlu menjadi prioritas dalam
kehidupan. Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan
sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan
kehidupan individu. Oleh karena itu, pendidikan nilai yang mengarah pada pembentukan
moral yang sesuai dengan norma-norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi
pengembangan manusia utuh dalam konteks sosialnya.

Akan tetapi, pada kenyataannya banyak terjadi masalah dalam penanaman moral pada anak.
Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan yang signifikan, bahkan
terjadi degradasi moral dan sosial budaya dalam masyarakat. Untuk itu, perlu adanya
pendidikan moral dalam usaha penanaman nilai moral pada anak.

Masalah yang paling penting dalam pendidikan moral bagi anak Indonesia adalah
bagaimana upaya kita sebagai seorang pendidik agar setiap perbedaan yang muncul dapat kita
arahkan menjadi suatu materi pendewasaan sikap dan perilaku anak dalam sosialisasinya.
Tidak ada salahnya kita sisipkan pendidikan multikultur kepada anak usia dini sesuai dengan
tingkat dan pemahaman mereka.

E. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral

a. Perkembangan Kognitif Umum


Penalaran moral yang tinggi yaitu penalaran yang dalam mengenai hukum moral dan nilai-nilai luhur
seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak asasi manusia dan memerlukan refleksi yang mendalam
mengenai ide-ide abstrak.Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, perkembangan moral
tergantung pada perkembangan kognitif. (Kohlberg dalam Ormord, 2000:139). Contoh: anak-anak
secara intelektual berbakat umumnya lebih sering berpikir entang isu moral dan bekerja keras
mengatasi ketidakadilan di masyarakat lokan ataupun dunia secara umum ketimbang teman-teman
sebayanya (Silverman dalam Ormord, 200:139). Meski demikian, perkembangan kognitif tidak
menjamin perkembangan moral. Anak yang memiliki bakat khusus menonjol sering disebut dengan
istilah talented children, [3][16]sedangkan anak yang memiliki bakat intelektual menonjol sering
disebut dengan istilah gifted children.

b. Penggunaan Rasio dan Rationale

Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam perkembangan moral ketika mereka
memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang
lain. Menjelaskan kepada anak-anak alasan perilaku-perilaku tertentu tidak dapat diterima, dengan
focus pada perspektif orang lain, dikenal sebagai induksi (Hoffman dalam Ormord, 2000:140).
Contoh: induksi berpusat pada korban induksi membantu siswa berfokus pada kesusahan orang lain
dan membantu siswa memahami bahwa mereka sendirilah penyebab kesesahan-kesusahan tersebut.
Penggunaan konduksi secara konsisten dalam mendisiplinkan anak-anak, terutama ketika disertai
hukuman ringan bagi perilaku yang menyimpang misalnya menegaskan bahwa mereka harus meminta
maaf atas perilaku yang keliru.

c. Isu dan Dilema Moral

Kolhberg dalam teorinya mengenai teori perkembangan moral menyatakan bahwa disekuilibrium
adalah anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu dilemma moral yang
idak dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu.
Dalam upaya membantu anak-anak yang mengahdapi dilema semacam itu Kulhborg menyarankan
agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap di atas tahap yang dimilik anak pada saat itu.
Contoh: bayangkanlah seorang remaja laki-laki yang sangat mementingkan penerimaan oleh teman-
teman sebayanya, dia rela membiarkan temannya menyali pekerjaan rumahnya. Gurunya mungkin
menekankan logika hokum dan keteraturann dengan menyarankan agar semua siswa seharusnya
menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa bantuan orang lain karena tugas-tugas pekerjaan rumah
dirancang untuk membantu siswa belajar lebih efektif.

d. Perasaan Diri

Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika mereka berfikir bahwa mereka
sesungguhnya mampu menolong orang lain dengan kata lain ketika mereka memiliki efikasi diri yang
tinggi mengenai kemampuan mereka membuat suatu perbedaan (Narvaez dalam Ormrod, 200:140).
Contoh: pada masa remaja beberapa anak muda mulai mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-
nilai moral kedalam identitas mereka secara keseluruhan. Mereka menganggap diri mereka sebagai
pribadi bermoral dan penuh perhatian, yang peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain

F.Perbedaan Individual dalam Perkembangan Moral

Bayi tidak memiliki hierarki nilai dan suara hati. Bayi tergolong nonmoral, tidak bermoral maupun
tidak amoral, dalam artian bahwa perilakunya tidak dibimbing norma-norma moral. Lambat laun ia
akan mempelajari kode moral dari orang tua dan kemudian dari guru-guru dan teman bermain dan
juga ia belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral ini. Belajar berperilaku moral yang diterima
oleh sekitarnya merupakan proses yang lama dan lambat. Tetapi dasar-dasarnya diletakkan dalam
masa bayi dan berdasarkan dasar-dasar inilah bayi membangun kode-kode moral yang membimbing
perilaku bila telah menjadi besar nantinya. Karena keterbatasan kecerdasannya, bayi menilai benar
atau salahnya suatu tindakan menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkannya dan bukan
menurut baik atau buruknya efek suatu tindakan terhadap orang-orang lain.

Untuk sebagian remaja serta orang dewasa yang penalarannya terhambat atau kurang berkembang,
tahap perkembangan moralnya ada pada tahap prakonvensional. Pada tahap ini seseorang belum
benar-benar mengenal apalagi menerima aturan dan harapan masyarakat. Pedoman meraka hanyalah
menghindari hukuman. Sedangkan bagi mereka yang dapat mencapai tingkat kedua sudah ada
pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga harus memikirkan kepentingan
orang lain.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa, Moral merupakan tingkah laku manusia
yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat. Spiritual merupakan kepercayaan peserta didik terhadap suatu keyakinan yang
didasarkan pada adat istiadat maupun ketuhanan.

Dari kasus yang sudah dijelaskan diatas, peran orang tua, guru dan lingkungan sangat
menunjang perkembangan moral anak. Selain itu kebiasaan yang diajarkan pada anak juga
berpengaruh dalam perkembangan moralnya. Jika anak biasa diajarkan baik maka mereka
akan sulit terpengaruh dengan lingkungan yang buruk bahkan walau mereka mempunyai sifat
bawaan yang buruk, mereka akan berusaha merubahnya.

Perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap.
Perkembangan moral (moral development) berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.

Perkembangan moral (moral development) melibatkan perubahan seiring usia pada pikiran,
perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan nilai yang mengarahkan bagaimana seseorang
seharusnya bertindak. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal (nilai dasar dalam diri
seseorang dan makna diri) dan dimensi interpersonal (apa yang seharusnya dilakukan orang dalam
interaksinya dengan orang orang lain).

B. SARAN

Peran orang tua, guru dan lingkungan sangat menunjang perkembangan moral anak. Selain
itu kebiasaan yang diajarkan pada anak juga berpengaruh dalam perkembangan moralnya.
Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk moral anak agar moral
anak bangs menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

http://catatannyasulung.blogspot.co.id/2012/11/perkembangan-moral-pada-anak-anak.html

http://www.akuntt.com/2014/02/pengertian-moral-secara-umum-etimologi.html

http://paudjateng.xahzgs.com/2015/09/tahap-perkembangan-moral-anak-usia-dini.html

http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-moral-dan-tahap-
perkembangannya.html

Anda mungkin juga menyukai