Anda di halaman 1dari 22

PERKEMBANGAN MORAL (MORAL DEVELOPMENT)

MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik

Oleh:
Kelompok 3
Lailatus Sa adah (140210101021)
Fathulloh Faruq (140210101058)
SOFI (140210101065)

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Sunardi, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKN MATEMATIKA


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu
sebagai salah satu tugas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik. Tugas ini
adalah salah satu perwujudan hasil kerja keras kami dalam melaksanakan tugas
Semester enam ini yang akan membantu dalam meningkatkan pemahaman
terhadap materi Perkembangan Peserta Didik.
Tidak sedikit kesulitan yang kami hadapi. Namun berkat bantuan berbagai
pihak, makalah ini akhirnya dapat diselesaikan. Sehubungan dengan hal ini, kami
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Sunardi sebagai dosen pembimbing dalam mata kuliah Perkembangan
Peserta Didik.
2. Teman-teman, serta pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami juga menyadari akan segala kekeliruan dan kekurangan dalam
makalah ini, sehingga dengan tangan terbuka kami menerima masukan baik
berupa saran ataupun kritikan guna mendapatkan makalah yang lebih sempurna
nantinya.
Semoga makalah kelompok kami ini bermanfaat bagi para pejuang ilmu,
Aamiin.

Jember, 26 April 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
2.1 Hakikat Perkembangan Moral................................................................................... 3
2.2 Teori Perkembangan Moral ...................................................................................... 5
2.3 Tahap-Tahap Perkembangan Moral.......................................................................... 8
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral................................................. 11
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kesenjangan antara Pengetahuan Moral
dan Perilaku Moral Anak .......................................................................................13
2.6 Perbedaan Individu dalam Perkembangan Moral ...................................................13
2.7 Hubungan antara Nilai, Moral, Sikap, dan Tingkah Laku ..................................... 14
2.8 Pelanggaran Moral yang Umum Terjadi pada Anak.............................................. 14
2.9 Upaya Pengembangan Moral Anak ....................................................................... 15
BAB III. KESIMPULAN.................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19

iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam kehidupan bermasyarakat arti nilai sebuah moral sangat
penting. Dalam hal ini orang dapat dikatakan bermoral apabila dalam
menjalani kehidupan sesuai dengan aturan yang berlaku, dalam kehidupan
manusia tidak bisa hidup sendiri atau dengan kata lain manusia dengan
manusia yang lain melakukan interaksi. Pengalaman berinteraksi dengan
orang lain menjadi pemicu dalam memahami tentang perilaku mana yang baik
dikerjakan dan yang tiadak baik dikerjakan. Sedangkan moralitas merupakan
kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai- nilai atau prinsip-
prinsip moral.
Perkembangan moral merupakan proses perkembangan kepribadian
siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang
lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat.
perkembangan itu sendiri merupakan proses perubahan kualitatif yang
mengacu pada kualitas fungsi organ-organ jasmaniah, dan bukan pada organ
jasmani tersebut, sehingga penekanan arti perkembangan terletak pada
kemampuan organ psikologis. Selain itu perkembangan moral hampir dapat
dipastikan merupakan perkembangan sosial, sebab perilaku moral pada
umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial.
Seperti dalam proses perkembangan yang lainnya, proses perkembangan
moral selalu berkaitan dengan proses belajar, belajar itu sendiri memiliki
tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi dengan kompetensi-
kompetensi yang dimiliki (Mudjiman, 2008). Konsekuensinya, kualitas hasil
perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar
(khususnya belajar sosial), baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun di
lingkungan masyarakat. Jadi proses belajar sangat menentukan kemampuan
siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral,
agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yang berlaku dalam
masyarakat.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut.
1.2.1 Apa hakikat perkembangan moral peserta didik?
1.2.2 Apa saja teori perkembangan moral?
1.2.3 Bagaimana tahap-tahap perkembangan moral?
1.2.4 Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral?
1.2.5 Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan
antara pengetahuan moral dengan perilaku moral anak?
1.2.6 Bagaimana perbedaan individu dalam pengembangan moral?
1.2.7 Bagaimana hubungan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku?
1.2.8 Bagaimana pelanggaran moral yang umum terjadi pada anak?
1.2.9 Apa upaya untuk mengembangkan sikap sosial peserta didik?
1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan
tujuan untuk.
1.3.1 Mengetahui hakikat perkembangan moral peserta didik
1.3.2 Mengetahui teori perkembangan moral
1.3.3 Mengetahui tahap-tahap perkembangan moral
1.3.4 Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral
1.3.5 Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan
antara pengetahuan moral dengan perilaku moral anak
1.3.6 Mengetahui perbedaan individu dalam pengembangan moral
1.3.7 Mengetahui hubungan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku
1.3.8 Mengetahui pelanggaran moral yang umum terjadi pada anak
1.3.9 Mengetahui upaya untuk mengembangkan sikap sosial peserta didik

2
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Perkembangan Moral
Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos, moris
(adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat,
kelakuan, tabiat, watak, akhlak) (Gunarsa, 2003). Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan
prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral ini antara lain, seruan untuk berbuat
baik kepada orang lain, atau larangan untuk tidak berbuat kejahatan kepada
orang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa moral merupakan tingkah laku
manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma
yang berlaku dalam masyarakat.
Seseorang dikatakan bermoral apabila ia mempunyai pertimbangan baik
dan buruk yang ditunjukkan melalui tingkah lakunya yang sesuai dengan adat
dan sopan santun. Sebaliknya seseorang dikatakan memiliki perilaku tak
bermoral apabila perilakunya tidak sesuai dengan harapan sosial yang
disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya
perasaan wajib menyesuaikan diri.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan
aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dalam interaksinya dengan orang lain (Santrock, 2003). Anak-anak ketika
dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat
potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara,
teman sebaya, atau guru), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang
baik yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak
boleh dikerjakan (Desmita, 2012).
Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal (nilai dasar dalam
diri seseorang dan makna diri) dan dimensi interpersonal (apa yang
seharusnya dilakukan orang dalam interaksinya dengan orang orang lain).
Perkembangan moral juga merupakan perubahan-perubahan perilaku yang
terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tata cara, kebiasaan, adat,
atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial. Anak-anak ketika

3
dilahirkan tidak memiliki moral (imoral) akan tetapi dalam dirinya terdapat
potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Melalui pengalamannya
berinteraksi dengan orang lain (orang tua, saudara, teman sebaya atau guru),
anak belajar memahami tingkah laku mana yang buruk atau tidak boleh
dilakukan dan mana yang baik atau boleh dilakukan sehingga terjadi
perkembangan moral anak tersebut.
Menurut piaget (Sinolungan, 1997), hakikat moralitas adalah
kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan. Selanjutnya, kohlberg
mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari
lahir, tapi sesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari.
Perkembangan moral merupakan proses internalisasi nilai/norma masyarakat
sesuai dengan kematangan dan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan
diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan
moral mencangkup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik/buruk atau
benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral itu dipraktekkan.
piaget mengajukan perkembangan moral, yang digambarkan pada aturan
permainan. Menurut beliau hakekat moralitas adalah kecenderungan
menerima dan menaati sistem peraturan. Piaget membagi perkembangan
menjadi 3 fase yaitu:
a. Fase Absolute
Anak menghayati peraturan sebagai suatu hal yang dapat diubah, karena
berasal dari otoritas yang dihormatinya. Disini peraturan sebagai moral
adalah obyek eksternal yang tidak boleh diubah.
b. Fase Realitas
Anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain.
Peraturan dianggap dapat diubah, karena berasal dari perumusan bersama.
Mereka menyetujui perubahan yang jujur dan disetujui bersama, serta
merasa bertanggung jawab menaatinya.
c. Fase Subyektif
Anak memperhatikan motif/kesengajaan dalam penilaian perilaku.
Perkembangan moral dipengaruhi upaya membebaskan diri dari
ketergantungan pada orang tua, meningkatkan interaksi dengan sesama

4
dan berkontak dengan pandangan lain. Dengan interaksi yang bertambah
luas anak makin mampu memahami pandangan orang lain dan berbagi
aturan untuk kehidupan bermoral dalam kebersamaan.
Sikap moral muncul dalam praktek moral dengan kategori
positif/menerima, netral, atau negatif/menolak. Anak yang bersikap positif
atau menerima nilai-nilai moral, diekspresiakan dalam perilaku yang
bersimpati dalam berinteraksi dengan nilai dan orang disekitarnya, seperti mau
menerima, mendukung, peduli, dan berpartisipasi dalam kegiatan kelompok.
Sikap moral yang netral diekspresikan dalam perilaku sikap tidak memihak
(mendukung atau menolak) terhadap nilai yang ada di masyarakat. Sikap
moral yang negatif diekspresikan dalam perilaku menolak yang diwarnai
emosi dan sikap negatif seperti kecewa, kesal, marah, benci, bermusuhan, dan
menentang, perhadap nilai moral yang ada di masyarakat. Pada sikap dan
perilaku moral tersirat nilai-nilai yang dianut berkaitan dengan nilai mengenai
sesuatu yang dikatakan baik dan benar, patut, dan seharusnya terjadi. Sikap
moral sebagian besar diteruskan dari generasi ke generasi melalui proses
pendidiakan seumur hidup. Ada nilai-nilai yang perlu dipertahankan, ada yang
diasimilasikan ke arah kemajuan atau perubahan progresif, tetapi ada juga
yang berubah atau bergeser karena berbagai faktor yang mempengaruhinya.
2.2 Teori Perkembangan Moral
2.2.1 Teori Psikoanalisa tentang Perkembangan Moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan
pembagian struktur kepribadian manusia atas 3, yakni id, ego, dan superego.
Id adalah struktur kepribadian yang terdiri dari aspek biologis yang irasional
dan tidak disadari. Ego adalah kepribadiana yang terdiri dari aspek psikologis,
yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki
moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek sosial
yang berisikan sistem nilai dan moral yang benar-benar memperhitungkan
benar dan salahnya sesuatu (Desmita, 2012).
Menurut psikoanalisa klasik Freud, semua orang mengalami konflik
Oedipus. Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur kepribadian
yang dinamakan Freud sebagai superego. Salah satu alasan mengapa anak

5
mengatasi konflik Oedipus adalah perasaan khawatir akan kehilangan kasih
saying orang tua dan ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual
mereka yang tidak dapat diterima terhadap orang tua yang berbeda jenis
kelamin. Untuk mengurangi kecemasan, menghindari hukuman, dan
mempertahankan kasih sayang orang tua, anak-anak membentuk suatu
superego dengan mengidentifikasi standar-standar benar dan salah orang tua
(Desmita, 2012).
Struktur superego ini mempunyai dua komponen, yaitu ego ideal kata
hati (conscience). Kata hati menggambarkan bagian dalam atau kehidupan
mental seseorang, peraturan-peraturan masyarakat, hokum, kode, etika, dan
moral. Pada usia kira-kira 5 tahun perkembangan superego secara khas akan
menjadi sempurna. Ketika hal ini terjadi, maka suara hati terbentuk. Ini berarti
bahwa pada usia sekitar 5 tahun orang sudah menyelesaikan pengembangan
moralnya.
2.2.2 Teori Belajar Sosial tentang Perkembangan Moral
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas
stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman, dan peniruan
digunakan untuk menjelaskan prilaku moral anak-anak. Bila anak diberi
hadiah atas perilaku yang sesuai dengan aturan dan kontrak social, mereka
akan mengulangi perilaku tersebut. Sebaliknya, bila mereka dihukum atas
perilaku yang tidak bermoral, maka perilaku itu akan berkurang dan hilang
(Desmita, 2012).
2.2.3 Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan Moral
Teori kognitif Piaget tentang perkembangan moral melibatkan prinsip-
prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang
ditemui dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget,
perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan. Karena itu,
hakikat moralitas adalah kecenderungan untuk menerima dan mentaati system
peraturan.
2.2.4 Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral
Tokoh yang paling dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian
perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui

6
disertasinya yang sangat monumental yang berjudul The Development of
Modes of Moral Thinking and Choice in the Years 10 to 16 yang
diselesaikannya di University of Chicago pada tahun 1958, dia melakuakn
penelitian empiris lintas kelompok usia tentang cara pertimbangan moral
terhadap 75 orang anak dan remaja yang berasal dari daerah sekitar Chicago.
Anak-anak dibagi kedalam tiga kelompok usia, yaitu kelompok usia 10, 13,
dan 16 tahun. Penelitiannya dilakukan dengan cara menghadapkan para subjek
penelitian/responden kepada berbagai dilema moral dan selanjutnya mencatat
semua reaksi mereka. Dalam pandangan Kohlberg, sebagaimana sebagaimana
juga pandangan Jean Piaget salah seorang yang sangat dikaguminya bahwa
berdasarkan penelitiannya, tampak bahwa anak-anak dan remaja menafsirkan
segala tindakan dan perilakunya sesuai dengan struktur mental mereka sendiri
dan menialai hubungan social dan perbauatan tertentu sebagai adil atau tidak
adil, baik atau buruk juga seiring dengan tingkat perkembangan atau struktur
moral mereka masing-masing (Ali & Asrori, 2012).
Berdasarkan penelitainnya itu, Kohlberg (1995) menarik sejumlah
kesimpulan sebagai berikut :
a. Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan
moral bukanlah soal perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung
suatu tafsiran kognitif terhadap keadaan dilemma moral dan bersifat
kondtruktif kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing-
masing individu sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak,
kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan
adil. Kesemuanya merupakan tindakan kognitif.
b. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan
pandangan formal harus diuraikan dan biasanya digunakan remaja untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.
c. Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur
16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral
sebagimana penelitian piaget membuktikan, bahwa baru pada masa remaja
pola pemikiran operasional-formal berkembang. Demikian pula Kohlberg
menunjukkan adanya kesejajaran antara perkembangan moral, yaitu bahwa

7
pada masa remaja dapat juga dicapai tahap tertinggi perkembangan moral,
yang ditandai dengan kemampuan remaja menerapkan prinsip keadilan
universal pada penilaian moralnya (Ali & Asrori, 2012).
Kohlberg setuju dengan piaget yang menjelaskan bahwa sikap moral
bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperolah dari pengalaman. Tetapi,
tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan dari anak-anak.
Anak-anak memang berkembang melalui interaksi social, namun interaksi ini
memiliki corak khusus, dimana factor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak
ikut berperan (Desmita, 2012).
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah
orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan
dibedakan dengan tingkah laku moral daam arti perbuatan nyata. Semakin
tinggi tahap perkembangan moral seseorang, akan semakin terlihat lebih
mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya. Berdasarkan
pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis yang dihadapi
seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga
tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (Desmita,
2012).
2.3 Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut Piaget (Slavin, 2008), perkembangan moral berlangsung dalam
tahap-tahap yang dapat diprediksi, yakni dari tipe penalaran moral yang sangat
egosentris ke tipe penalaran moral yang didasarkan pada sistem keadilan
berdasarkan kerjasama dan ketimbalbalikan.
1. Tahap pertama perkembangan moral ini disebut sebagai moralitas
heteronom atau disebut juga tahap realisme moral atau moralitas
paksaan .
Heteronom berarti tunduk pada aturan yang diberlakukan oleh orang-
orang lain. Selama periode ini, anak-anak yang masih muda terus menerus
diberitahu tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan. Pelanggaran aturan diyakini membawa hukuman otomatis.
Keadilan dilihat sebagai sesuatu yang otomatis, dan orang-orang yang jahat
pada akhirnya akan dihukum. Piaget juga menggambarkan anak-anak pada

8
tahap ini menilai moralitas perilaku berdasarkan konsekuensi-konsekuensi
berikutnya. Mereka menilai perilaku sebagai sesuatu yang jahat kalau hal
itu menghasilkan konsekuensi negatif sekalipun maksud semula pelakunya
adalah baik.
2. Tahap kedua dinamakan aturan moralitas otonomi atau moralitas kerja
sama .
Piaget menemukan bahwa anak-anak usia 10 atau 12 tahun cenderung
mendasarkan penilaian moral pada maksud pelakunya alih-alih konsekuensi
tindakan tersebut. Moralitas tersebut muncul ketika dunia sosial anak itu
berkembang hingga meliputi makin banyak teman. Dengan terus-menerus
berinteraksi dan bekerja sama dengan anak-anak lain, gagasan anak tersebut
tentang aturan dan karena itu juga moralitas mulai berubah. Kini aturan
adalah apa yang kita buat sebagai aturan. Hukuman atas pelanggaran tidak
lagi otomatis tetapi harus diberikan dengan pertimbangan maksud pelanggar
dan lingkungan yang meringankan. Anak mengalami kemajuan dari tahap
moralitas heteronom ke tahap moralitas otonom dengan perkembangan
struktur kognitif tetapi juga karena interaksi dengan teman-teman yang
mempunyai status yang sama. Dia percaya bahwa menyelesaikan konflik
dengan teman-teman memperlemah sikap anak-anak mengandalkan otoritas
orang dewasa dan meningkatkan kesadaran mereka bahwa aturan dapat
diubah dan seharusnya ada hanya sebagai hasil persetujuan bersama.
Menurut Kohlberg (Ormord, 2000) ada tiga tingkat perkembangan
moral, yaitu tingkat prakonvensional, konvensional dan post-
konvensional. Masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap, sehingga
keseluruhan ada enam tahapan (stadium) yang berkembang secara
bertingkat dengan urutan yang tetap.
1. Tingkat Penalaran Prakonvensional
Pada penalaran prakonvensional anak tidak memperhatikan
internalisasi nilai-nilai moral. Penalaran moral dikendalikan oleh
imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Pada tingkat ini terdapat dua
tahap.

9
a. Tahap satu yaitu orientasi hukuman dan ketaatan (punihsment and
obedience orientation) ialah tahap penalaran moral didasarkan atas
hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut
mereka untuk taat.
b. Tahap dua ialah individualisme dan tujuan (individualism and
purpose) ialah tahap penalaran moral didasarkan atas imbalan
(hadiah) dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin
dan butuh untuk taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan
baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
2. Tingkat Penalaran Konvensional
Pada tingkat ini, internalisasi individual ialah menengah.
Seseorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka
tidak menaati standar-standar orang lain (eksternal), seperti orang tua
atau aturan-atuaran masyarakat.
c. Tahap tiga ialah norma-norma interpersonal (interpersonal norms).
Pada tahap ini, seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan
kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan moral.
Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya
pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh orang tuanya
sebagai seorang perempuan yang baik atau seorang laki-laki
yang baik.
d. Tahap empat yaitu moralitas sistem sosial (social system morality).
Pada tahap ini pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas
pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, dan kewajiban.
3. Tingkat Penalaran Pascakonvensional
Tingkat ini ialah tingkat tertinggi dalam teori perkembangan
moral kohlberg. Pada tingkat ini moralitas benar-benar
diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.
Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki
pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode
moral pribadi.

10
e. Tahap lima ialah hak-hak masyarakat Vs hak-hak individual
(community rights Vs individual rights). Pada tahap ini, seseorang
memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif
dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Seseorang menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi
juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya
bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting dari pada
hukum.
f. Tahap keenam ialah prinsip-prinsip etis universal (universal ethical
principles). Pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu
standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang manusia
yang universal. Bila menghadapi konflik antara hukum dan suara
hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu
mungkin melibatkan resiko pribadi.
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Para peneliti perkembangan telah mengidentifikasi sejumlah faktor yang
berhubungan dengan perkembangan penalaran dan perilaku moral:
1. Perkembangan Kognitif Umum
Penalaran moral yang tinggi yaitu penalaran yang dalam mengenai
hukum moral dan nilai-nilai luhur seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak
asasi manusia dan memerlukan refleksi yang mendalam mengenai ide-ide
abstrak. Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, perkembangan moral
tergantung pada perkembangan kognitif (Ormord, 2000).
Contoh: anak-anak secara intelektual berbakat umumnya lebih sering
berpikir entang isu moral dan bekerja keras mengatasi ketidakadilan di
masyarakat lokan ataupun dunia secara umum ketimbang teman-teman
sebayanya (Ormord, 2000). Meski demikian, perkembangan kognitif tidak
menjamin perkembangan moral.
2. Penggunaan Rasio dan Rationale
Anak-anak lebih cenderung memperoleh manfaat dalam
perkembangan moral ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan
emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain.

11
Menjelaskan kepada anak-anak tentang alasan perilaku-perilaku tertentu
tidak dapat diterima, dengan fokus pada perspektif orang lain, dikenal
sebagai induksi (Gunarsa, 2003)
Contoh: induksi berpusat pada korban induksi membantu siswa
berfokus pada kesusahan orang lain dan membantu siswa memahami bahwa
mereka sendirilah penyebab kesesahan-kesusahan tersebut. Penggunaan
konduksi secara konsisten dalam mendisiplinkan anak-anak, terutama
ketika disertai hukuman ringan bagi perilaku yang menyimpang misalnya
menegaskan bahwa mereka harus meminta maaf atas perilaku yang keliru.
3. Isu dan Dilema Moral
Kolhberg dalam teorinya mengenai teori perkembangan moral
menyatakan bahwa disekuilibrium adalah anak-anak berkembang secara
moral ketika mereka menghadapi suatu dilema moral yang tidak dapat
ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya
saat itu. Dalam upaya membantu anak-anak yang menghadapi dilema
semacam itu, Kulhborg menyarankan agar guru menawarkan penalaran
moral satu tahap di atas tahap yang dimilik anak pada saat itu.
Contoh: bayangkanlah seorang remaja laki-laki yang sangat
mementingkan penerimaan oleh teman-teman sebayanya, dia rela
membiarkan temannya menyali pekerjaan rumahnya. Gurunya mungkin
menekankan logika hokum dan keteraturann dengan menyarankan agar
semua siswa seharusnya menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa bantuan
orang lain karena tugas-tugas pekerjaan rumah dirancang untuk membantu
siswa belajar lebih efektif.
4. Perasaan Diri
Anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika
mereka berfikir bahwa mereka sesungguhnya mampu menolong orang lain
dengan kata lain ketika mereka memiliki efikasi diri yang tinggi mengenai
kemampuan mereka membuat suatu perbedaan (Narvaez dalam Ormrod,
200:140).
Contoh: pada masa remaja beberapa anak muda mulai
mengintegrasikan komitmen terhadap nilai-nilai moral kedalam identitas

12
mereka secara keseluruhan. Mereka menganggap diri mereka sebagai
pribadi bermoral dan penuh perhatian, yang peduli pada hak-hak dan
kebaikan orang lain. Tindakan belarasa yang mereka lakukan tidak terbatasa
hanya pada teman-teman dan orang yang mereka kenal saja, melainkan juga
meluas ke masyarakat.
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kesenjangan antara
Pengetahuan Moral dan Perilaku Moral Anak
Sering kali pada anak terjadi kesenjangan antara pengetahuan moralnya
dengan perilaku moral yang ditunjukkan. Hal ini terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor di bawah ini.
1. Faktor Kebingungan, disebabkan karena:
o konsep moral bersifat abstrak bagi dirinya
o terdapat kesenjangan (jarak) antara perkataan orangtiua dan orang lain
yang berwenang
o terdapat kesenjangan antara perilaku yang dilukiskan dalam media
massa dan apa yang diajarkan pada mereka tentang benar salah
o konsep moral anak berbeda dengan konsep moral terhadap teman
sebaya
o konsep moral bertentangan dengan konsep kejujuran, loyalitas dan
kerjasama
2. Faktor Emosi
Sewaktu marah anak mungkin melakukan hal yang ia tahu itu salah untuk
membalas supaya orang lain marah.
3. Faktor Motivasi (dorongan)
Anak mungkin merasa bahwa berbuat sesuatu itu tidak benar, namun dapat
menguntungkan bagi mereka.
2.6 Perbedaan Individu dalam Perkembangan Moral
Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi nilai, moral,
dan sikap sesuai dengan dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak
terdapat anggapan bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlak karena
diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi.

13
Sedangkan pada anak-anak berusia lebih tua, mereka bisa menawar aturan-
aturan tersebut jika disetujui oleh semua orang.
Pada sebagian remaja dan orang dewasa yang penalarannya terhambat,
pedoman mereka hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan untuk tingkat
kedua sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri
seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain. Perbedaan
perseorangan juga dapat dilihat pada latar belakang kebudayaannya. Jadi, ada
kemungkinan terdapat individu atau remaja yang tidak mencapai
perkembangan nilai, moral, dan sikap serta tingkah laku yang diharapkan
padanya.
2.7 Hubungan antara Nilai, Moral, Sikap, dan Tingkah Laku
Nilai merupakan sesuatu yang baik, diinginkan, atau dicita-citakan dan
dianggap penting oleh warga masyarakat, misalnya kebiasaan dan sopan
santun. Menurut Green, sikap merupakan kesediaan bereaksi individu
terhadap suatu hal. Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku
seseorang. Tingkah laku adalah implementasi dari sikap yang diwujudkan
dalam perbuatan. Dalam kaitan dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka
moral merupakan control dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan
nilai-nilai hidup yang dimaksud.
2.8 Pelanggaran Moral yang Umum Terjadi pada Anak
Berikut ini merupakan beberapa pelanggaran moral yang umum terjadi
pada anak.
1. Berbohong
Anak kecil yang berbohong biasanya tidak menipu, melainkan sedang
mengkhayal. Pada anak yang lebih besar berbohong karena rasa takut akan
hukuman atau diejek.
2. Kecurangan
Kecurangan dalam bermain umumnya terjadi pada anak dari semua usia
karena kemenangan mempunyai nilai sosial yang tinggi.
3. Mencuri
Biasanya dilakukan anak kalau mereka tidak dapat memperoleh sesuatu
yang dilakukan dengan cara lain.

14
4. Merusak
Biasanya tidak dilakukan anak kecil, kecuali jika dilakukan secara
pembalasan. Pada anak yang lebih besar merusak sudah mulai dilakukan.
Jika terjadi kegiatan merusak biasanya dilakukan oleh kelompok sebagai
ekspresi kemarahan.
5. Membolos
Pada anak kecil, membolos biasanya karena takut masuk sekolah. Pada
anak yang sudah besar membolos karena tidak suka.
2.9 Upaya Pengembangan Moral Anak
Perwujudan moral tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Apa yang
terjadi di dalam diri pribadi seseorang hanya dapat dikekari dengan cara-cara
tidak langsung yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang
tersebut, maupun membandingkan dengan gejala serta tingkah laku orang lain.
Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral. Adapun upaya-
upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan moral adalah :
a. Menciptakan komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang
moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana
seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai
moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Disekolah
para siswa hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk
mengembangkan aspek moral misalnya dalam kerja kelompok, sehingga
dia belajar tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain
karena hal ini tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma moral.
b. Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral,
kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan
nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan
yang secara positif, jujur, dan konsekuen senantiasa mendukung bentuk
tingkah laku yang merupakan pencermminan nilai hidup tersebut. Ini
berarti hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan
intelektual semata-semata tetapi juga mengutamakan adanya lingkungan

15
yang kondusif dimana faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan
pejelmaan yang kongkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Karena
lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan bervariasi, maka
tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan social terdekat yang
terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan Pembina
yaitu orang tua dan guru.

16
BAB III. KESIMPULAN
3.1 Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan
konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain.
3.2 Teori-teori yang berkaitan dengan perkembangan moral antara lain Teori
Psikoanalisa, Teori Belajar Sosial, Teori Kognitif Piaget, dan Teori Kohlberg.
3.3 Klasifikasi perkembangan moral menurut Kohlberg ada tiga tingkatan (level),
yaitu tingkat 1 pra-konvensional, tingkat 2 konvensional , dan tingkat 3 pasca-
konvensional. Tiga tingkatan tersebut kemudian dibagi lagi menjadi enam
tahap, yaitu (1) Orientasi kepatuhan dan hukuman; (2) Orientasi minat pribadi;
(3) Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas; (4) Orientasi otoritas
dan pemeliharaan aturan sosial; (5) Orientasi kontrak sosial; (6) Prinsip etika
universal. Sedangkan tahap perkembangan moral menurut John Dewey yang
kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget, terdapat tiga tahap perkembangan
moral, yaitu tahap pramoral, heteronomi, dan otonomi.
3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral.
1. Perkembangan Kognitif Umum
2. Penggunaan Rasio dan Rationale
3. Isu dan Dilema Moral
4. Perasaan Diri
3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan antara pengetahuan
moral dengan perilaku moral anak.
1. Faktor kebingungan
2. Factor emosi
3. Factor motivasi (dorongan).
3.6 Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi nilai, moral, dan
sikap sesuai dengan dimana individu tersebut berada.
3.7 Hubungan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku adalah moral
merupakan control dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-
nilai hidup yang dimaksud.
3.8 Pada kenyataannya, terjadi beberapa pelanggaran moral yang dilakukan oleh
anak antara lain berbohong, kecurangan, mencuri,merusak, dan membolos.

17
3.9 Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan moral
anak agar perkembangan moral anak menjadi baik adalah dengan menciptakan
komunikasi yang baik yaitu komunikasi yang aktif antara orang dewasa
dengan anak serta menciptakan iklim lingkungan yang serasi.

18
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M., & Asrori, M. (2012). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: Bumi Aksara.
Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya.
Gunarsa, S. (2003). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung
Mulia.
Mudjiman, H. (2008). Belajar Mandiri. Surakarta: UNS press.

Ormord, J. E. (2000). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan


Berkembang. Bandung: Media Sasana.
Santrock, J. (2003). Adolescene: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Sinolungan, A. (1997). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Wira
Sari.
Slavin, R. E. (2008). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik. Jakarta: PT.
Indeks.

19

Anda mungkin juga menyukai