Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

PERKEMBANGAN MORAL DAN IMPLEMENTASINYA

Disusun oleh:

1. Destya dwi damayanti (160210102050)


2. Nelly candra agustin (160210102067)
PENDIDIKAN FISIKA-PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
KATA PENGANTAR

Puji Syukur terhadap Allah S.W.T karena telah memberikan


rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Perkembangan Moral dan Implementasinya”. Dan kami juga berterimakasih
kepada Bapak Subiki selaku dosen Belajar dan Pembelajaran yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.

Kami juga sangat berterimakasih terhadap pihak pihak yang telah


memberikan sumbangan materi maupun pemikirannya sehingga makalah ini bisa
terselesaikan dengan lancar. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan memberikan banyak manfaat bagi para pembaca.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Jember, 15
Februari 2017

Penyus
un

Daftarisi
Daftar
isi ..........................................................................................................................................
..1

BAB I......................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................2
1.1 Latar belakang.............................................................................................................................2
1.2 Rumusan masalah........................................................................................................................2
1.3Tujuan...........................................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................3
BAB III....................................................................................................................................................9
PENUTUP...............................................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................................9
3.2
saran...................................................................................................................................9

Daftar Pustaka.....................................................................................................................................10
Lampiran ...............................................................................................................................
...............11

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Didalam proses pembelajaran guru harus memahami peserta didik.
Aspek-aspek yang terkait dengan peserta didik salah satunya berkenaan
dengan pemahaman perkembangan fisik dan psikis. Dengan memahami
perkembangan moral peserta didik, maka guru dapat mengeksplorasi,
memilih dan menentukan bahan pelajar, strategi pembelajaran, model-model
pemberian motivasi serta mewujudkan proses pembelajaran yang efektif.

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Apakah pengertian teori perkembangan moral menurut Jean
Piaget?
1.2.2 Apakah pengertian teori perkembangan moral menurut Kolhberg?
1.2.3 Apakah pengertian teori perkembangan moral menurut Erik
H.Erikson?
1.2.4 Bagaimana implementasi beberapa teori terhadap perkembangan
moral dan pembelajaran?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian teori perkembangan moral menurut Jean
Piaget
1.3.2 Mengetahui pengertian teori perkembangan moral menurut
Kolhberg

1.3.3 Mengetahui pengertian teori perkembangan moral menurut Erik


H.Erikson

1.3.4 Mengetahui implementasi beberapa teori terhadap perkembangan


moral dan pembelajaran
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Perkembangan Jean Piaget


Dalam proses pembelajaran, guru seringkali dihadapkan pada dinamika
yang berkaitan dengan perkembangan peserta didik. Perubahan-perubahan dan
perkembanagn yang terjadi pada peserta didik ini harus mendapat perhatian dari
guru, karena guru bisa memilih strategi pembelajarn yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik yang terlibat dari proses pembelajaran.

Dalam teorinya, Piaget mengungkapkan bahwa secara unsur semua anak


berkembang melalui urutan yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman
mereka berbeda. Semua perubahan yang terjadi pada setiap tahap tersebut
merupakan kondisi yang diperlukan anak untuk mengubah tahap perkembangan
moral berikutnya.

Berkaitan perkembangan moral, Piaget mengemukakan dua tahap


perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Tahap pertama disebut
“Heterenomous” atau tahap “Realisme Moral”. Dalam tahap ini seorang anak
cenderung menerima begitu saja aturan-atuan yang diberikan. Tahap kedua
disebut “Autonomous Morality” atau “Independensi Moral”, dalam tahap ini
seorang anak memandang perlu memodifikasi aturan-aturan sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada.

Dalam pandangan Piaget tahap-tahap kognitif mempunyai kaitan yan


sangat kuat dengan empat karakteristik berikut :

1. Setiap anak pada usia berbeda akan menempatkan cara-cara berbeda


secara kualitatif dalam hal memecahkan masalah.
2. Perbedaan cara berfikir antara anak satu dengan yang lain seringkali dapat
dilihat dari dengan tingkat perkembangan usianya.
3. Masing-masing cara berpikir akan membentuk satu kesatuan yang
terstruktur.
4. Tiap-tiap urutan dari tahap kognitif pada dasarnya merupakan suatu
integrasi hirarkis dari apa yang telah dialami sebelumnya.

Seperti dikemukakan sebelumnya, Piaget mencoba mengkaji tingkah laku


anak melalui aktivitas bermainnya, karena ia ingin menguji bagaimana anak-anak
dapat berpikir secara spontan, dan dapat menyesuaikan konsepnya terhadap
berbagai tata aturan.
Dalam hasil penelitiannya Piaget mengetahui anak-anak yang usianya
lebih muda cenderung menilai sesuatu tindakan berdasakan konsekuensi atau
akibat materialnya.
Kesimpilan mendasar dai hasil pengamatna Piaget adalah bahwa dapat
diambil terdapat pola-pola yang konsisten pada perilaku anak yang bergerak dari
satu tahap ketahap berikutya. Pola-pola perubahan ini terkait secara langsung
dengan tingkat usia anak.

2.2 Teori Perkembangan Moral kolhberg


Dalam upaya mengembangkan aspek afeksi siswa melalui pembelajaran
Murray dalam sebuah overviewnya mengemukakan bahwa menurut Kolhberg
pendekatan yang baik harus dilakukan untuk memahami perilaku moral.
Dijelaskan pula bahwa tujuan pendidikan moral adalah mendorong individu-
individu guru mencapai tahapan-tahapan perkembangan moral selanjutnya. Dalam
keadaan itu pendidikan moral harus memperhatikan kepribadian secara
menyeluruh, khususnya berkaitan dengan interaksi kita dengan orang lain,
perilaku atau etika kita (Manan,1995:8).

Searah dengan Piaget, Kolhberg melihat bahwa para remaja menerapkan


struktur kognitif moral mereka pada dilema moral. Dengan demikian Kolhberg
menemukan bahwa: (1) penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat
rasional, (2) terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai yang sesuai
dengan Piaget, (3) penelitiannya membenarkan gagasan Piaget, bahwa sekitar usia
16 tahun, pada masa remaja menunjukkan tahap tertinggi dalam proses
tercapainya pertimbangan moral.

Kolhberg mengetengahkan enam tahap perkembangan moral yang dilalui


seorang anak untuk dapat sampai ketingkat remaja, yaitu:

Tahap 1: The Punishment and Obediance Orientation (orientasi pada


hukuman dan kepatuhan)

Pada tahap ini biasanya perilaku bai yang muncul pada anak-anak bukan
tumbuh sebagai suatu kesadaran akan kebaikan tersebut, akan tetapi hal itu
muncul karena adanya konsekuensi tertentu bilamana mereka melakukan atau
tidak melakukan sesuatu tindakan tersebut.

Tahap 2: The Instrumental Relativist Orientation


Pada tahap ini pandangan perbuatan yang benar adalah perbuatan yang
secara instrumental memuaskan kebutuhan dirinya dan kadang-kadang kebutuhan
orang lain.

Tahap 3: The Interpersonal Concordance of “Good Boy – Nice


Girl”Orientation (Orientasi “ Anak Manis”)

Pada tahap ini perilaku yang baik diartikan sebagai perilku yang
menyenangkan atau yang dapat membantu orang lain dan yang disetujui oleh
mereka.

Tahap 4: The Law and Order Orientation (orientasi perintah dan hukum)

Pada tahap ini teindakan seseorang lebih banyak berorientasi pada otoritas,
aturan-aturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial.

Tahap 5: The Social Contract Legalistis Orientation (orientasi Kontrak


Sosial Legalistik)

Dalam tahap ini perbuatan yang benar didefinisikan sebagai kebenaran


individual secara umum dalam ukuran-ukuran yang standar yang telah diuji secara
kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat.

Tahap 6: The Universal Ethical Principle Orientation

Pada tahap ini, yang secara moral dipandang benar tidak harus dibatasi
oleh hukum-hukum atau aturan-aturan sosial, akan tetapi lebih dibatasi oleh kata
hati dan kesadarn menurut prinsip-prinsip etik.

Teori dari Kolhbrg tidak lepas dari kritik. Yang paling banyak mendapat
sorotan adalah pandangannya yang memberikan tempat istimewa terhadap
keadilan, sebagai tingkatan tertinggi atau tahap tertinggi dari konsep
perkembangannya. Berdasarkan kritika-kritikan yang muncul akhirnya
mendorong Kolhberg untuk merevisi konsep tahapan-tahapannya (dari keenam
kelima), dan sekaligus menuju kembali kecenderungan untuk menempatkan
keadilan sebagai prinsip tertinggi.

2.3 Pandangan Psikologo Sosial Etik H.erikson


Sepintas dapat dikemukakan bahwa Erik H.Eriksom adalah salah satu
kelompok Neo-Freudian, dimana mereka yang bertitik tolak dari kerangka
pemikiran Psikoanalisa Freud. Mengenai tahap-tahap perkembangan Psikososial
ini mengungkapkan adanya delapantahap perkembangan, yaitu:

1. Trust vs Mistrust
Tahapan pertama ini berkaitan dengan persoalan apa yag patut
dipercaya(trust) dan apa yang tidak dapat dipercaya(Mistrust)
Seorang bayi akan dapat mengerti dunia sekitarnya melalui
perasaannya, dan akan dapat merasakan melalui lidahnya. Trust dalam
hubungan ini diartikan sebagai suatu kesesuaian antara kebutuhan-
kebutuhan bayi dengan dunia sekitarnya.
Berkaitan dengan Mistrust, Erikson tidak melihat bahwa setiap
tahap merupakan kunci untuk menguasai secara penuh kualitas moral
pada tahap berikutnya. Erikson membatasi mistrus sebagai kesiapan
terhadap kemungkinan bahaya, ancaman, atau suatu antisipasi terhadap
keadaan yang tidak menyenangkan.
Dari apa yang dikemukakan di atas nampak bahwa Erikson lebih
cenderung mengembangkan suatu orientasi terhadap sifat dasar
manusia.
2. Auntonomy vs Doubt
Menurut Erikson tiap-tiap tahap dalam perkembangan seseorang
distrukturkan melalui cara-cara yang sama.
Dalam tahap kedua ini Erikson mengidealisasikan tumbuhnya
sifat-sifat positif (auntonomi) dan sifat-sifat negatif (doubt) secara
bersama-sama. Dalam hubungan ini Erikson melihat bahwa
pertumbuhan Auntonomy pada dasarnya memerlukan pengembangan
rasa percaya diri. Kendati demikian satu hal yang patut untuk
diperhatikan bahwa auntonomi yang berlebihan dapat membahayakan.
3. Initiative vs guilt
Dalam pandangan Erikson konflik yang paling menonjol ditahap
ketiga ini adalah perkembangan suatu initiative terhadap satu sasaran
atau tujuan, dan kemungkinan tumbuhnya guilt dalam upayanya untuk
mencapai sasaran atau tujuan yang lain.

4. Industry vs Inferiority
Tahap keempat adalah tahap dimana anak-anak mulai mampu
menggunakan cara berpikir deduktif, disamping tumbuhnya kemauan
untuk mau belajar mematuhi aturan-aturan.

Tahap idustry vs inferiority meliputi dua kutup ekstrim, yaitu sense


of industry dan sense of inferiority.

5. Identity vs role confusion


Erikson memperluas konsep yang dikemukakan oleh Freud dimana
proses identitas diri akan tumbuh dalam diri anak pada saat mereka
sudah memasuki tahap phallic(sekitar usia 4-6 tahun) dimana pada saat
itu anak-anak akan memperoleh kepuasaan atau kekuasaan dengan
jalan mengimajinasikan hubungan yang erat antara dirinya dengan
orang tua atau orang lain yang mempunyai kelamin sejati.

6. Intimacy vs isolation
Menurut Erikson konflik yang paling menonjol ditahap enam
adalah intimacy disatu pihan dan isolation dipihak lain. Dalam periode
ini tali persahabatan mulai dikembangkan dengan kuat, bahkan
pengikatan hubungan dalam tali perkawinan mulai memperoleh
tempat.
7. Generativity vs self absorption
setelah memasuki hubungan perkawinan, kemudian membangun
rumah tangga maka akan mengalami konflik masalah pertumbuhan
dan kemandengan.

8. Integrity vs despair
Dimensi psikososial yang mencerminkan tercapainya kematangan
konflik antara integrity dengan dispair. Ketidakmampuan menguasai
salah satu konflik tersebut diatas, sudah cukup untuk mengakibatkan
kegagalan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi seseorang.

2.4 Memadukan Pandangan Kohlberg, Piaget, dan Ericson

Kesamaan pandangan yang paling nampak adalah pengkaun terhadap


adanya tahap-tahap perkembangan moral anak dari tahap yang paling sederhana
dan sangat realistik dalam memandangan sesuatu sampai pada struktur yang lebih
komplek dan semakin abstrak, walaupun jumlah dan sebutan untuk masing-
masing berbeda menurut hasil penelitian dan kajian mereka masing-masing.
Disamping menunjukkan adanya kesamaan, juga terdapat perbedaan-perbedaan
yang secara jelas terlihat dalam kajian yang mereka lakukan.

Moral berkaitan dengan disiplin dan kemajuan kualitas perasaan, emosi


dan kecenderungan manusia, sementara aturan pelaksanaannya merupakan aturan
praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah pertimbangan dan konveksi
lainnya meskipun kadang-kadang sesuai dengan kriteria moral.

Teori-teori perkembangan dan pertimbangan moral, baik diungkapkan


oleh Piaget, Kolhberg maupun Erikson sebagaimana diungkapkan terdahulu dapat
dijadikan sebagai pengetahuan dalam membuka pemahaman awal terhadap
perkembangan moral. Walaupun terdapat sejumlah perbedaan pandangan dan
kekurangan dari masing-masing teori yang dikemukakan, namun pada prinsipnya
mereka telah membuka peluang untuk pengkajian-pengkajian lebih lanjut kearah
pemahaman yang lebih komprehensip dan mendalam dari setiap tahap
perkembangan tersebut.
Uraian tersebut memberikan makna dan penegasan bahwa pemahaman
terhadap suatu teori harus dikaji secara mendalam dan komprehensip, apalagi teori
yang tidak bertolak dari nilai-nilai agama yang sifatnya sangat tentatif.

2.5Implementasi Keterpaduan dalam Pembelajaran


Beberapa teori atau pandangan yang dikemukakan sebelumnya
memberikan inspirasi tentang pentingnya pemahaman guru terhadap
perkembangan dan eksistensi siswa, pemilihan bahan pembelajaran, penentuan
stategi pembelajaran dalam upaya mewujudkan proses pembelajaran yang opimal.

1. Pemahaman Peserta Didik


Jika guru memahami peserta didik dengan baik, maka ia dapat
memilih dan menentukan sumber-sumber belajar yang tepat, pendekatan-
pendekatan yang sesuai, mampu mengtasi masalah-masalah pembelajaran
sehari-hari dengan baik, sehingga potensi anak dapat didorong untuk
mencapai perkembangan yang optimal melalui penyelenggaraan proses
pembelajaran. Pakar psikologi dari Swiss, Jean Piaget mengemukakan
empat periode perkembanagn kognitif anak, yaitu : periode sensormotorik,
periode operasi awal, periode operasi kongkrit dan periode operasi
formal(Kartadinata dan Dantes 1996/1997:60).

1. Periode sensorimotorik
Menurut Piaget, sampai usia kurang lebih delapan belas bulan
perkembangan skema lebih terpusat kepada sensorimotorik. Pembentukan
konsep pada periode ini terbatas pada objek permanen, yaitu objek yang
tampak dalam batas pengamatan anak.

2. Periode operasi awal


Kurang lebih dari usia delapan belas bulan hingga kira-kira tujuh
tahun, anak menginternalisasi skema sensorimotorik kedalam bentuk
skema kognitif(imajinasi dan pikiran). Skema yang berkembang pada
masa ini belum merupakan skema yang stabil. Anak belum banyak belajar
menimbang sesuatu berdasarkan persepsi orang lain. Oleh srbab itu
kecakapan yang berkembang pada periode ini masih bersifat egosentrik.

3. Periode operasi kongkrit


Sejak usia tujuh tahun sampai 12 tahun, perkembangan skema pada
periode ini lebih berupa skema kognitif, terutama yang berkaitan dengan
keterampilan berpikir dan pemecahan masalah.

4. Periode operasi formal


Periode ini berlangsung pada usia 12 tahun ke atas. Ciri utama dari
periode operasi formal ini adalah perkembanagn kecakapan berpikir
simbolik dan pemahaman isi secara bermakna tanpa tergantung paad
keberadaan objek fisik, atau bahkan imajinasi masa lalu akan objek
sejenis.

Asrori (2003:6) mengemukakan bahwa perkembangan berbagai


karakteristik individu tampak dalam aspek-aspek yang ada pada seiap diri
individu yang meliputi perbedaan karakteristik individual; (a) aspek fisik,
(b) aspek intelek, (c) aspek emosi, (d) aspek sosial, (e) aspek bahasa, (f)
aspek bakat, (g) aspek nilai, moral dan sikap.

2. Mengaktualisasi Potensi Siswa


Sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan murid merupakan
tujuan yang ingin dicapai oleh semua sekolah dan guru , dan itu berarti
sanagt keliru jika guru hanya bertanggung jawab menyampaikan materi
pelajaan pada bidang studinya saja (Gordon, 1997:8). Guru memegang
peranan strategis teutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui
pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan.dari dimensi
tersebut, peranan guru sulit digantikan oleh yang lain (Gaffar dalam
Supriadi: 1998: xv).

Kompetensi pendagogis, khususnya berkenaan dengan upaya


mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki anak ini harus benar-
benar mendapat perhatian yang serius dari semua guru.

3. Pemilihan Bahan Pembelajaran


Dalam pemilihan bahan ajar ada beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan. Prinsip-prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran
meliputi prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan.

Prinsip relevansi artinya, materi pembelajaran harus relevan atau


ada kaitan dengan pecapaian standar kompetensi dan kompetensi
dasar.Prinsip konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar yang
harus dikuasai siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan
juga harus meliputi empat macam. Prinsip kecukupan artinya materi
yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa
menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Jika terlalu sedikit akan
kurang membantu mencapai standar kompetensi an kompetensi dasar.
Sebaliknya, jika terlalu banyak akan membuang waktu atau tenaga
sementara hal itu diluar kemampuan anak.
Jean Piaget mengingatkan pentingnya metode mengajar anak yang
seimbang dengan usia serta perkembangan fisik serta mental anak.

Metode pembelajaran yang baik harus didukung pula oleh berbagai


faktor penunjang seperti perhatian serta dukungan orang tua, keadaan
lingkungan serta kesehatan yang baik dan gizi anak yang cukup.
BAB III
PENUTUP

1.3 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan yaitu:

3.1.1 Piaget mengungkapkan bahwa semua perkembangan anak melalui


urutan yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman mereka
berbeda. Semua perubahan yang terjadi pada setiap tahap tersebut
merupakan kondisi yang diperlukan anak untuk mengubah tahap
perkembangan moral berikutnya. Ada dua tahap yang
dikemukakan Piaget, yaitu tahap pertama disebut “Heteronomous”,
tahap kedua disebut “Autonomous Morality”.
3.1.2 Searah dengan Piaget, Kolhberg melihat bahwa para remaja
menerapkan struktur kognitif moral mereka pada dilema moral.
Dengan demikian Kolhberg menemukan bahwa: (1) penilain dan
perbuatan moral pada intinya bersifat rasional, (2) terdapat
sejumlah tahap perkembangan moral yang sesuai dengan Piaget,
(3) peneitiannya membenarkan gagasan Piaget, bahwa sekitar usia
16 tahun, pada masa remaja menunjukkan tahap tertinggi dalam
proses terjadinya perkembangan moral.
3.1.3 Menurut Erik H.Erikson ada 8 tahap perkembangan yaitu: Trust vs
Mistrust, Autonomy vs Doubt, Initiative vs Guilt, Industry vs
Infeority, Identity vs Role Confusion, Intimacy vs Isolation,
Generativity vs Sel-absorption, Integrity vs Despair.
3.1.4 Beberapa teori atau pandangan yang dikemukakan memberikan
inspirasi tentang pentingnya pemahaman guru terhadap
perkembangan dan eksistensi siswa, pemilihan bahan
pembelajaran, penentuan strategi pembelajaran dalm upaya
mewujudkan proses pembelajaran yang optimal.

3.2 Saran
3.2.1 Perkembangan moral tidak hanya dalam diri sendiri tetapi juga
perlu adanya peran aktif dari keluarga dan juga lingkungan sekitar.

3.2.2 Guru juga harus berperan aktif guna meningkatkan potensi siswa
agar siswa dapat perkembang secara optimal.
Daftar Pustaka

Asrori, M.(2003). Perkembangan Peserta Didik. Malang: Wineka Media.

Aunurrahman.2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

Gordon, T & Burch, N.(1997). T.E.T; Teacher Effectiveness Training.


Menjadi Guru yang Effektif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kartadinata, S; Dantes, Ny. (1996/1997). Landasan-Landasan Pendidikan


Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas Proyek Pengembangan Buku
Sekolah Dasar.

Manan, A.(1995). Pendidikan Nilai; Konsep dan Strategi (Values and


Models). Malang: UNM.

Supriadi, Dedi. (1998). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyaarta:


Adicita Karya Nusa.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai