Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

BIMBINGAN KONSELING UNTUK OPTIMALISASI MORAL


KEAGAMAAN REMAJA

Mata Kuliah: Bimbingan Konseling Anak Usia Remaja

PENGAMPU: DEWI YULIANTI, M.pd

Disusun oleh kelompok 8:

KELAS/SEMESTER IVA

ARMI FEBRIANTI_200101003

MUSTARI IRAWAN_200101020

UNIERSITAS HAMZANWADI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
berkenan memberi petunjuk, kesehatan, kekuatan dan lain sebagainya yang tidak
bisa di sebut satu-persatu sehingga makalah “ Bimbingan Konseling Untuk
Optimalisasi Perkembangan Moral Keagamaan Remaja” ini bisa dapat di
selesaikan dengan baik meskipun belum sempurna dan masih banyak
kekurangannya, baik dari segi penulisan, isi, maupun bahasa yang digunakan.
Makalah ini disusun dan dibuat bertujuan agar dapat menambah
pengetahuan dan wawasan penulis,pembaca serta pendengar dalam belajar dan
mempelajarinya.
Semoga makalah ini bermanfaat , terutama bagi penulis, pembaca dan
pendengar pada umumnya.

Pancor,29 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................i

KATA PENGANTAR....................................................................................ii

DAFTAR ISI. .................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................1


B. Rumusan Masalah ..........................................................................2
C. Tujuan Pembahasan .......................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3

A. Optimalisasi perkembangan Moral pada Remaja...........................3


1. Pengertian Moral................................................................3
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
Moral...................................................................................3
3. Karakteristik perkembangan Moral Pada Remaja..............4
B. Optimalisasi Perkembangan Agama pada Remaja.........................5
1. Pengertian...........................................................................5
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi.....................................6
3. Karakteristik perkembangan Agama pada Remaja.............7

BAB III PENUTUP.........................................................................................10

A. Kesimpulan .....................................................................................10
B. Saran...............................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja adalah periode di mana seseorang mulai bertanya-


tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya
sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978)
menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam
menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan
mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb.
Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan
absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja
mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan
mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya.

Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan


keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan
dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat
adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan
dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat
hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi
lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik
dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.

Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada


remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan
yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan
merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan
inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap
peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika
sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang
mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan
mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu
tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu
kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi
sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi
sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya.
Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang

1
ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan
sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan
penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak
mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Faktor apa saja yang mempengaruhi Perkembangan Moral Pada


Remaja?
2. Bagaimana Perkembangan Moral Pada Remaja?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi Perkembangan Agama pada
Remaja?
4. Bagaimana Perkembangan Agama Pada Masa Remaja?

C. Tujuan

1. Bagaimana Perkembangan Moral dan Perkembangan Agama pada


Remaja
2. Mengetahui Faktor apa saja yang mempengaruhi Perkembangan
Moral dan Agama pada Remaja

2
BAB II

A. Optimalisasi Perkembangan Moral Pada Remaja

1.Pengertian Moral

Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris) yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan
moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-
nilai atau prinsip-prinsip moral.

Nilai-nilai moral itu, seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain,
memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan, dan memelihara
hak orang lain, serta larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman
keras dan berjudi.

Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai
dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.

2.Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Moral

Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh


lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama
dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nlai-nilai dan berprilaku sesuai
dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan nilai moral anak, peranan
orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa
sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral
anak , diantaranya sebagai berikut :

a. Konsisten dalam mendidik anak

Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau
membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang
dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan
pada waktu lain.

b. Sikap orangtua dalam keluarga

Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu,
atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui
proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung
melahirkan sikap disiplin semu oada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh
atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang

3
bertanggungjawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang
sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih saying, keterbukaan,
musyawarah (dialogis).

c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam
mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious
(agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai
agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

d. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma

Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur,
maka mereka harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur.
Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata
yang sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri
menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada
dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alas an
untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia
akan berprilaku seperti orangtuanya.

3.Karakteristik Perkembangan Moral Pada Remaja

Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah


bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan
berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu
memecahkan masala-masalah yang bersifat hipotetis maka pemikiran remaja
terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan
situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka
(Gunarsa,1988).

Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran


akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena
dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung
jawabkannya secara pribadi (Monks, 1988). Perkembangan moral remaja yang
demikian, jika meminjam teori perkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah
mencapai tahap konvensioanl. Pada akhir masa remaja seseorang akan memasuki
tahap perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap pascakonvensional
ketika orisinilitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran moral
remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada
pendapat atau pranata yang bersifat konvensional.

4
Melalui pengalaman atau berinteraksi social dengan orang tua, guru, teman sebaya
atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika
dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai
moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan
kedisiplinan.

Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang


dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berprilaku bukan hanya untuk
memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya
penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).

B.Optimalisasi Perkembangan Agama pada Remaja

1.Pengertian

Masa remaja adalah masa bergejolaknya bermacam-macam perasaan yang


kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
perubahan emosi yang begitu cepat dalam diri remaja,,seperti ketidakstabilan
perasaan remaja kepada Tuhan/Agama.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Adams dan Gullotta (1983), agama


memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu
membandingkan tingkah lakunya, agama dapat menstabilkan tingkah laku dan
bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia
ini, agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang
tengah mencari eksistensi dirinya.

Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung


kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang. Namun, mengenai arah dan
kualitas perkembangan beragama remaja sangat bergantung kepada proses
pendidikan yang diterimanya. Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk
kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah
yang direfleksikan kedalam peribadatan kepada-Nya.

Kebutuhan remaja akan Allah kadang-kadang tidak terasa ketika remaja dalam
keadaan tenang, aman, dan tentram. Sebaliknya Allah sangat dibutuhkan apabila
remaja dalam keadaan gelisah, ketika ada ancaman, takut akan kegelapan, ketika
merasa berdosa.

Jadi,,kesimpulannya,,perasaan remaja pada agama adalah ambivalensi. Kadang-


kadang sangat cinta dan percaya pada Tuhan, tetapi sering pula berubah menjadi

5
acuh tak acuh dan menentang (Zakiyah Darajat, 2003:96-96 dan Sururin,
2002:70).

2.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

Tidak sedikit remaja yang bimbang dan ragu dengan agama yang
diterimanya,,W. Sturbuck meneliti mahasiswa Middle Burg College. Dari 142
remaja yang berusia 11-26 tahun, terdapat 53% yang mengalami keraguan
tentang:

a) Ajaran agama yang mereka terima.

b) Cara penerapan ajaran agama.

c) Keadaan lembaga-lembaga keagamaan.

d) Para pemuka agama

Menurut analisis yang dilakukan W.Starbuck, keraguan itu disebabkan oleh


factor:

1. Kepribadian
Tipe kepribadian dan jenis kelamin, bisa menyebabkan remaja melakukan
salah tafsir terhadap ajaran agama.

Ø Bagi individu yang memiliki kepribadian yang introvert, ketika mereka


mendapatkan kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan, maka akan
menyebabkan mereka salah tafsir terhadap sifat Maha Pengasih dan Maha
Penyayangnya Tuhan.

Misalnya: Ketika berdoa’a tidak terkabul,,maka mereka akan menjadi ragu akan
kebenaran sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang Tuhan tersebut.
Kondisi ini akan sangat membekas pada remaja yang introvert walau sebelumnya
dia taat beragama.

Ø Untuk jenis kelamin

Wanita yang cepat matang akan lebih menunjukkan keraguan pada ajaran agama
dibandingkan pada laki-laki cepat matang.

2. Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama

Kesalahan ini dipicu oleh “dalam kenyataannya,,terdapat banyak organisasi dan


aliran-aliran keagamaan”. Dalam pandangan remaja hal itu mengesankan adanya
pertentangan dalam ajaran agama. Selain itu remaja juga melihat kenyataan

6
“Tidak tanduk keagamaan para pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti
tuntutan agama”.

3. Pernyataan Kebutuhan Agama

Pada dasarnya manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah
ada),, namun disisi lain,,manusia juga memiliki dorongan curiosity (dorongan
ingin tahu).

Kedua sifat bawaan ini merupakan kenyataan dari kebutuhan manusia yag normal.
Apa yang menyebabkan pernyataan kebutuhan manusia itu berkaitan dengan
munculnya keraguan pada ajaran agama?

Dengan dorongan Curiosity, maka remaja akan terdorong untuk


mempelajari/mengkaji ajaran agamanya. Jika dalam pengkajian itu terdapat
perbedaan-perbedaan atau terdapat ketidaksejalanan dengan apa yang telah
dimilikinya (konservatif) maka akan menimbulkan keraguan.

4. Kebiasaan

Remaja yang sudah terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan
ragu untuk menerima kebenaran ajaran lain yang baru diterimanya/dilihatnya.
Kebiasaan mengaji untuk menanamkan nilai-nilai agama

5. Pendidikan

Kondisi ini terjadi pada remaja yang terpelajar. Remaja yang terpelajar akan lebih
kritis terhadap ajaran agamanya. Terutama yang banyak mengandung ajaran yang
bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan
ajaran agama yang dianutnya secara lebih rasional.

3.Karakteristik Perkembangan Agama pada Remaja

Apakah remaja memikirkan Tuhan sama dengan cara berpikir anak ?


Apakah perkembangan intelektual mempengaruhi perkembangan terhadap Tuhan
atau agama? Karena pandangan terhadap Tuhan atau agama sangat dipengaruhi
oleh perkembangan berpikir, maka pemikiran remaja tentang Tuhan berbeda
dengan pemikiran anak.

Kemampuan berpikir abstrak remaja memungkinkannya untuk dapat


mentransformasikan keyakinan beragamanya. Dia dapat mengapresiasi kualitas
keabstrakan Tuhan sebagai Yang Maha Adil, Maha Kasih Sayang.
Berkembangnya kesadaran atau keyakinan beragama, seiring dengan mulainya
remaja menanyakan atau mempermasalahkan sumber-sumber otoritas dalam

7
kehidupan, seperti pertanyaan “Apakah Tuhan Maha Kuasa, mengapa masih
terjadi penderitaan dan kejahatan di dunia ini?”

Untuk memperoleh kesadaran beragama remaja ini, dapat disimak dalam uraian
berikut :

1. Masa Remaja Awal (sekitar usia 13-16 tahun)

Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan
terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan,
kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula
mengalami kegoncangan . Kepercayaan kepada Tuhan kadang-kadang sangat
kuat, kan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara
beribadah yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. Penghayatan
rohaninya cenderung skeptic (was-was) sehingga muncul keengganan dan
kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual (misalnya ibadah sholat)
yang selama ini dilakukan dengan penuh kepatuhan.

Kegoncangan alam keagamaan ini mungkin muncul, dikarenakan oleh factor


internal maupun eksternal. Faktor internal yang berkaitan dengan matangnya
organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun
disisi lain ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang agama. Kondisi ini
menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor internal lainnya adalah bersifat
psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat oleh
norma-norma keluarga ( orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru kurang
memahami da mendekatinya secara baik, bahkan bersikap keras, maka sikap itu
akan muncul dala bentuk tingkah laku negative (negativisme), seperti membandel,
oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh.

Apabila remaja kurang mendapat bimbingan keagamaan dalam keluarga, kondisi


keluarga yang kuarang harmonis, orangtua yang kurang memberikan kasih saying
dan berteman dengan kelomopok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai
agama, maka kondisi diatas akan menjadi pemicu berkembangnya sikap dan
perilaku remaja yang kurang baik atau asusila, seperti pergaulan bebas (free sex),
minum-minuman keras, mengisap ganja dan menjadi troublemaker (pengganggu
ketertiban/pembuat keonaran) dalam masyarakat.

2. Masa Remaja akhir ( 17-21 tahun)

Secara psikologis, masa ini merupakan permulaan masa dewasa, emosinya mulai
stabil dan pemikirannya mulai matang (kritis). Dalam kehidupan beragama,
remaja sudah mulai melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
Remaja sudah dapat membedakan agama sebagai ajaran dengan manusia sebagai

8
penganutnya diantaranya ada yang shalih dan ada yang tidak shalih. Pengertian ini
memungkinkan dia untuk tidak terpengaruh oleh orang-orang yang mengaku
beragama, namun tidak melaksanakan ajaran agama atau perilakunya
bertentangan dengan nilai agama.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai seorang remaja harus memiliki pengetahuan tentang moral
dan ilmu agama yang akan menjadi pegangan remaja hidup dalam
bersikap. Dengan kemampuan berpikir abstrak mampu menentukan mana
hal yang baik dan buruk, pantas atau tidak pantas, benar atau salah.
Remaja yang tidak memiliki pengetahuan moral akan terlibat tindakan
Immoral yang akan meresahkan masyarakat umumnya dan akan
menghancurkan masa depan remaja yang bersangkutan remaja tersebut
khususnya.

B. Saran

Orang tua hendaknya memberikan atau membimbing anak dari kecil


dengan banyak ilmu pengetahuan tentang moral dan agama sehingga
dalam menghadapi masa remaja yang labil, anak tidak canggung. Remaja
akan bertanggung jawab dengan apa yang Dilakukannya. Di samping itu,
guru sebagai orang tua pengganti disekolah hendaknya membimbing
remaja dalam menjalin hubungan dengan teman lawan jenis agar tidak
Terjadi penyimpangan moral yang akan merusak citra sekolah, dan
menuntunnya ke jalan yang benar. Remaja harus diberi Pengetahuan
agama dan dibimbing dalam mengembangkan minat dan bakat sehingga
Remaja tidak memiliki waktu untuk bertindak immoral.
Oleh karena itu, orang tua dan guru harus menjadi model yang baik bagi
remaja dan selalu memberikan kasih sayang yang penuh terhadap remaja.

10
DAFTAR PUSTAKA

http://ardika.blog.uns.ac.id/files/2010/05/makalah-perkembangan-nilai-
moral-dan-sikap/

http://vivienanjadi.blogspot.com/2012/02/perkembangan-moral-nilai-dan-
agama-pada.html?m=1

11

Anda mungkin juga menyukai