Anda di halaman 1dari 20

PERKEMBANGAN MORAL REMAJA

OLEH:
VANIA AULIA ZAHRO
NIM : 12112200099

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM ABDULLAH SAID
TAHUN 2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................I

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................1
C. Tujuan Masalah.........................................................................1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................1
A. Moral..........................................................................................1
B. Teori dan Komponen Perkembangan Moral..............................1
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Remaja.......................................................................................1
D. Usaha-Usaha Yang dapat Dilakukan Orang Tua dan Guru
Untuk Mengembangkan Moral Remaja......................................1

BAB III PENUTUP.......................................................................................1


A. Kesimpulan................................................................................1
B. Saran......................................................................................... 1

BAB IV DAFTAR PUSTAKA.......................................................................1

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Masa remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak
dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial
(Santrock, 2003). Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence,
berasal dari bahasa latin adolesscere yang artinya tumbuh atau tumbuh
untuk mencapai kematangan. Perkembangan masa remaja secara global
berlangsung antara umur 12-21 tahun dan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu
12-15 tahun (remaja awal), 15-18 tahun (remaja tengah), dan 18-21 tahun
(remaja akhir). Dalam masa remaja (adolescence) terjadi banyak perubahan,
yaitu mencakup perubahan biologis, kepribadian, kognitif, sosialisasi, moral
dan lainnya sesuai dengan usianya (Santrock, 2003).

Masa remaja memiliki beberapa tahap perkembangan yang harus


diselesaikan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara
dewasa. Salah satu tahap perkembangan yang harus diselesaikan, yaitu
tahap perkembangan moral. Perkembangan moral adalah perubahan-
perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan remaja berkenaan dengan
tatacara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok
sosial. Perkembangan moral menurut Kohlberg (1995), terbagi dalam tiga
tingkat dan masing-masing memiliki 2 tahap perkembangan moral, yaitu (1)
tingkat pra konvensional, dimana pada tingkat ini individu berorientasi pada
hukuman dan kepatuhan dan juga berorientasi pada relativis-instrumental.
(2) tingkat konvensional, dimana individu berorientasi pada anak baik atau
anak manis dan berorientasi pada ketertiban masyarakat dan aturan sosial.
(3) tingkat post konvensional, dimana individu berorientasi pada kontrak
sosial dan prinsip dan etika universal.

Dalam tahap perkembangan moral Kohlberg, remaja berada pada


tingkat perkembangan moral 2, yaitu tingkat konvensional dan berada pada

1
2

tahap yang ke 2, yaitu orientasi ketertiban masyarakat dan aturan sosial


dimana remaja didorong oleh keinginannya untuk menjaga tata tertib sosial,
otoritas dan aturan yang tetap. Tingkah laku yang baik adalah memenuhi
kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib
sosial merupakan tindakan moral yang baik pada dirinya. Berdasarkan tahap
perkembangan moral yang dicapai, remaja seharusnya berperilaku sesuai
dengan ciri perkembangan moral konvensional tahap yang ke 2. Akan
tetapi, masih banyak perilku remaja yang tidak sesuai dengan tahapan
perkembangan yang seharusnya dicapai. Masih banyak remaja yang tidak
memenuhi kewajibannya, tidak mematuhi hukum, tidak menjaga tata tertib
dan lainnya.

Tindakan moral yang baik adalah tindakan yang memenuhi


kewajiban, mematuhi hukum dan menghormati otoritas. Moral adalah
sesuatu yang mengalami perkembangan, dalam proses perkembangan
tersebut banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral remaja,
salah satunya adalah interaksi teman sebaya. Interaksi teman sebaya adalah
suatu hubungan sosial antar individu yang mempunyai tingkatan usia yang
hampir sama, seperti didalamnya terdapat keterbukaan, tujuan yang sama,
kerjasama serta frekuensi hubungan dan individu yang bersangkutan akan
saling mempengaruhi satu sama lainnya. Setiap harinya individu melakukan
interaksi, begitu juga dengan remaja. Remaja lebih banyak menghabiskan
waktu luangnya bersama dengan teman sebaya mereka, sehingga interaksi
pun terjalin didalamnya.

B. Rumusan
Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
diuraikan, maka diidentifikasikan Perkembangan Moral Remaja :

a. Apa yang di maksud dengan Moral?


b. Sebutkan Teori Perkembangan Moral?
3

c. Apa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral


Remaja?
d. Apa Usaha-usaha yang dapat dilakukan Orang Tua dan Guru
untuk Mengembangkan Moral Remaja?

C. Tujuan
Masalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Mengetahui dan memahami Perkembangan Moral Pada Remaja.


2. Mengetahui Teori-Teori Perkembangan Moral.
3. Mengetahui Foktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Moral
Pada Remaja.
4. Mengetahui Usaha-Usaha apa saja yang dapat dilakukan Orang Tua
dan Guru untuk mengembangkan Moral Remaja.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Moral
Istilah moral berasal dari kata latin “mos” (moris)
yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan atau nilai-nilai kehidupan.
Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai moral itu, seperti seruan
untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban, keamanan dan
larangan untuk berbuat jahat.1

Tindakan moral yang baik adalah tindakan yang memenuhi kewajiban,


mematuhi hukum dan menghormati otoritas. Moral adalah sesuatu yang
mengalami perkembangan, dalam proses perkembangan tersebut banyak faktor
yang mempengaruhi perkembangan moral remaja, salah satunya adalah interaksi
teman sebaya.

Interaksi teman sebaya adalah suatu hubungan sosial antar individu yang
mempunyai tingkatan usia yang hampir sama, seperti didalamnya terdapat
keterbukaan, tujuan yang sama, kerjasama serta frekuensi hubungan dan
individu yang bersangkutan akan saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Setiap harinya individu melakukan interaksi, begitu juga dengan remaja. Remaja
lebih banyak menghabiskan waktu luangnya bersama dengan teman sebaya
mereka, sehingga interaksi pun terjalin didalamnya.

Tingkatan tertinggi dalam perkembangan moral adalah melakukan sesuatu


perbuatan bermoral, karena panggilan hati nurani, tanpa perintah, tanpa harapan
akan sesuatu imbalan atau pujian. Secara potensial tingkatan moral ini dapat
dicapai oleh individu pada akhir masa remaja, tetapi faktor-faktor dalam diri dan
lingkungan individu sangat berpengaruh terhadap pencapaiannya.2

1
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan RemajaI, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2014), 132.
2
Elfi Yuliani Rocmah, Psikologi Perkembangan, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2014),

4
5

Michael mengemukakan lima perubahan dasar moral yang harus dilakukan


oleh remaja, yaitu sebagai berikut.

a. Pandangan moral individu makin lama menjadi lebih abstrak.


b. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan yang kurang
pada apayang salah.

c. Penilaian moral yang semakin kognitif mendorong remaja untuk berani


mengambil kepurusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
d. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa
penilaian moral menimbulkan ketegangan emosi.

B. Teori dan Komponen Perkembangan Moral

Secara garis besar komponen dalam perkembangan moral menyangkut


3 hal, yaitu : moral thought, moral feelings, and moral behavior.

1. MORAL TOUGHT

Pada awalnya, munculnya ketertarikan mengenai isu pola


pikir moral yang ada pada anak dan remaja, dimulai oleh Piaget
(1932) yang secara ekstensif mengobservasi dan mewawancara
anak usia 4-12 tahun pada saat mereka sedang bermain. Piaget
tertarik mengenai bagaimana anak menggunakan dan berpikir
tentang aturan-aturan main yang berlaku. Piaget juga menanyakan
masalah mencuri, berbohong, hukuman serta keadilan.

Ternyata anak-anak menjawab dengan cara yang berbeda-


beda. Secara garis besar terdapat dua jawaban. Fakta ini
menunjukkan bahwa perkembangan moral sangat tergantung pada
kematangan perkembangan yang dicapai. Tahap perkembangan
moral Piaget adalah heteronomous morality (4-7 tahun). Pada tahap
ini keadilan dan aturan merupakan hal yang diyakini tidak dapat
diubah, sifatnya tetap dan dipegang oleh orang yang berkuasa.
6

Tahap kedua adalah autonomous morality (10 tahun ke


atas). Pada tahap ini, anak mulai menyadari bahwa aturan dan
hukum adalah buatan manusia, untuk itu dalam penerapan aturan
dan hukuman bagi tiap individu perlu kiranya melihat terlebih
dahulu intensitas dan konsekuensi dari suatu perilaku. Kelompok
heteronomous morality juga mempercayai apa yang disebut dengan
immanent justice, yaitu konsep yang dikemukakan oleh Piaget,
bahwa jika suatu aturan dilanggar maka hukuman harus diberikan
segera.

Masih menurut Piaget, seiring dengan perkembangan


manusia, anak menjadi lebih tertarik untuk berpikir tentang hal-hal
sosial, terutama yang berkaitan dengan berbagai macam
kemungkinan dan syarat dalam suatu kerjasama. Perkembangan
sosial ini terbentuk dari adanya interaksi mutual (adanya take and
give) antara anak dengan peer-nya. Sebaliknya pada remaja, seiring
dengan perkembangan kognitifnya, remaja mulai menampakkan
kemampuannya untuk membandingkan antara ideal self dengan
real self, remaja juga mulai mampu untuk membuat suatu konsep-
konsep yang bertentangan berkaitan dengan fakta yang ada di
lapangan, mampu untuk menghubungkan antara masa lalu dengan
masa sekarang, mulai memahami tentang peran remaja dalam
lingkungan sosialnya, dalam sejarah, serta dalam dunia, remaja
dapat melakukan konseptualisasi pikiran dan berpendapat bahwa
konstruksi mental mereka adalah sebuah objek.

Ide dari Piaget ini, mendorong Martin Hoffman (1980) mencetuskan


teorinya yaitu cognitive disequilibrium theory yaitu teori yang menyatakan
bahwa masa remaja adalah masa yang penting bagi perkembangan moral,
khususnya saat remaja pindah dari lingkungan yang homogen (sekolah tingkat
SMP) ke lingkungan yang heterogen (sekolah tingkat SMA atau universitas).
Pada saat ini remaja mulai menghadapi berbagai macam konsep moral yang
7

kontradiksi yaitu antara apa yang dimiliki oleh remaja dengan apa yang dialami
remaja di luar lingkungan keluarganya.

Selain itu, ahli lain yang merumuskan masalah perkembangan moral


adalah Kolhberg. Menurut Kolhberg, ada 3 tingkatan perkembangan moral
dimana masing-masing tingkatan ada 2 sub tingkatan. Adapun konsep teori
perkembangan menurut Kohlberg adalah sebagai berikut:

a. Proconventional reasoning Yaitu tingkatan terendah yang ditandai


dengan belum adanya internalisasi nilai dan pemahaman moral
yang dimiliki masih dikendalikan oleh faktor eksternal (hadiah dan
hukuman).

1. Punishment and obidience Konsep pemikiran moral masih


berdasarkan pada hukuman. Contohnya adalah anak dan
remaja mematuhi orangtua karena mereka disuruh untuk patuh.
2. Individualism and purpose Pemikiran moral didasarkan pada
hadiah dan minat yang ada dalam diri individu. Misalnya anak
atau remaja akan patuh jika mereka ingin patuh dan sesuai
dengan keinginan atau minatnya untuk patuh. Sesuatu yang
dianggap benar adalah yang mendatangkan perasaan nyaman
dan yang mendatangkan hadiah.

b. Conventional reasoning Adalah tahap intermediate dimana pada


masa ini sudah ada internalisasi nilai (meski belum maksimal).
Individu terkadang tidak menyukai standar tertentu yang mereka
miliki (internal) namun standar yang mereka buat berasal dari
eksternal (orangtua atau masyarakat).

1. Interpersonal norms, Pada tahap ketiga ini, nilai terhadap


trust, caring and loyality terhadap orang lain adalah
merupakan dasar dari moral judgments yang mereka miliki.
Anak dan remaja mengadopsi standar moral dari orangtua
8

dan pada tahap ini mereka ingin mendapatkan label atau


sebutan sebagai anak baik dari orangtua mereka.

2. Social system morality, Pada tahap keempat, penilaian


dan pemahaman moral mereka sudah didasarkan pada
pemahaman tentang aturan sosial yang ada, berdasarkan
hukum dan konsep keadilan yang berlaku di masyarakat.
Contohnya seorang remaja akan dapat mengatakan bahwa
masyarakat dapat bekerja secara efektif jika dilindungi oleh
hukum dan ditaati oleh seluruh anggotanya.

c. Postconventional reasoning, Tahap ini adalah tahap perkembangan


moral tertinggi. Pada tahap ini selurih nilai sudah secara lengkap
terinternalisasi ke dalam diri individu. Selain itu, konsep moral yang
ada tidak lagi berdasarkan standar dari oranglain atau pihak luar.
Individu sudah mengenali alternatif-alternatif pembelajaran moral,
mampu mengeksplorasi pilihan-pilihan moral dan dapat mengambil
keputusan atas dasar kode moral yang dimiliki.

1. Community rights vs individual rights, Individu sudah


dapat memahami bahwa nilai dan hukum adalah bersifat
relatif dan standar nilai serta hukum sifatnya bervariasi
pada tiap individu. Artinya bahwa individu paham bahwa
hukum adalah hal yang penting bagi suatu masyarakat dan
individu juga memahami bahwa hukum dapat diubah.
Adalah hal wajar jika seseoeang meyakini bahwa
kebebasan merupakan hal yang paling penting daripada
hukum.

2. Universal ethical principles, Pada tahap ini, individu


dapat mengembangkan konsep moralanya berdasarkan hak
asasi manusia secara universal. Saat individu menghadapi
konflik antara hukum dan kata hati maka mereka akan
9

cenderung mengikuti kata hati meskipun keputusan mereka


tersebut mengandung risiko.

2. MORAL BEHAVIOR

Basic Processes Proses dasar munculnya perilaku yang


berbeda-beda antara individu adalah berkaitan dengan hadiah,
hukuman dan imitasi. Sama halnya dengan hukum belajar sosial,
dimana dinyatakan bahwa apabila suatu perilaku mendapatkan
hadiah maka perilaku yang sama cenderung akan diulangi.

Saat model berperilaku yang baik maka akan cenderung


untuk ditiru, apabila suatu perilaku mendapatkan hukuman maka
perilaku tersebut akan “dihilangkan”. Agar proses pembentukan
perilaku dapat berhasil maka pemberian hukuman dan hadiah
haruslah efektif. Efektivitas pemberian hukuman dan hadiah ini
terletak pada konsistensi dan jadwal pemberian hukuman dan
hadiah.

Sedangkan efektivitas proses imitasi terletak pada ciri


yang dimiliki oleh model, (misalnya model memiliki kekuatan,
kekuasaan, kehangatan, keunikan, dll) yang disertai dengan
proses kognitif individu (misalnya adanya kode-kode simbolik
dan imagery untuk menyimpan perilaku model dalam memori
dimana perilaku tersebut kemudian ditiru). Terkadang/seringkali
terjadi gap antara moral thought dengan moral action. Hal ini
disebabkan oleh faktor lingkungan yang sifatnya sangat
situasional. Fakta tersebut ditunjukkan dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hugh Hartshorne dan Mark May, dimana mereka
mengobservasi 11.000 anak dan remaja dalam kondisi situasi
yang telah ditentukan.

Anak dan remaja tersebut diminta untuk memberikan


respon moral pada situasi-situasi tertentu, misalnya anak dan
10

remaja diperbolehkan untuk berbohong, mencuri atau berbuat


curang dimana saja. Ternyata hasilnya menunjukkan bahwa tidak
ada anak dan remaja yang dapat dinilai benar-benar tidak jujur
atau benar-benar jujur. Perilaku yang muncul sangat dipengaruhi
oleh situasi lingkungan pada saat itu. Cognitive Social Learning
Theory of Moral Development Teori ini menyatakan bahwa ada
perbedaan antara moral competence remaja (yaitu kemampuan
yang menghasilkan suatu perilaku moral) dan moral performance
(yaitu munculnya perilaku moral pada suatu situasi tertentu) .

Pembentukan perilaku moral (moral competence) ini


sangat tergantung pada proses kognitif-sensori, dimana yang
termasuk di dalam kemampuan ini adalah kemampuan untuk
melakukan sesuatu, apa yang diketahui, keahlian, kesadaran
moral dan regulasi diri serta kemampuan kognitif untuk
membangun suatu perilaku. Sedangkan moral performance sangat
ditentukan oleh motivasi, hadiah dan insentif yang didapat
sebagai konsekuensi dari suatu perilaku. Bandura (1991) juga
percaya bahwa perkembangan moral dapat dipahami dengan baik
apabila kita melihat perkembangan tersebut dari proses interaksi
antara faktor sosial dengan kognitif, terutama yang melibatkan
proses kontrol diri.

3. MORAL FEELINGS

Segala sesuatu mengenai moral feeling dapat dijelaskan


melalui teori berikut ini :

Teori Psikoanalisa, Dalam pribadi manusia terdapat 3


struktur utama pembentuk kepribadian yaitu id, ego dan super
ego. Super ego berkembang pada awal masa kanak dan saat anak
menyelesaikan masa oedipus complex serta anak mulai
11

melakukan identifikasi diri dengan orangtua yang sama jenis


kelaminnya.

Anak dapat menyelesaikan oedipus complex karena


adanya rasa takut dalam diri anak akan kehilangan cinta orangtua
dan akan mendapatkan hukuman dari orangtua karena adanya
keinginan seks yang tidak dapat diterima secara nilai moral.
Untuk menghilangkan rasa cemasnya dan untuk menghindari
hukuman, serta untuk tetap menjaga kasih sayang dari orangtua,
anak mulai membentuk super ego dengan cara melakukan
identifikasi pada orangtua yang berjenis kelamin yang sama.

Melalui ini, anak mulai melakukan internalisasi standar


nilai benar dan salah dari orangtua. Kemudian anak juga mulai
memendam rasa irinya pada orangtua yang berjenis kelamin
sama. Jika rasa iri ini berkembang maka akan muncul rasa
bersalah yang pada akhirnya akan muncul pula keinginan untuk
menghukum dirinya sendiri. Pada masa perkembangan super ego
ini, kontrol orangtua yang biasanya diterima oleh remaja mulai
digantikan dengan kontrol diri remaja itu sendiri. 3

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral Remaja

Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan moral :

1. Konsisten dalam mendidik anak


2. Sikap orang tua dalam keluarga
3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut.4
Piaget dan Kohlberg yakin bahwa orangtua bertanggung jawab
untuk menciptakan general role-taking opportunities dan konflik kognitif
3
Zulkifli, L. 1986. ”Psikologi Remaja”. Bandung: Remaja Karya.
4
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan RemajaI, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2014), 133.
12

pada remaja. Orangtua juga memegang peranan penting dalam


perkembangan moral remaja (sedangkan teman sebaya tidak memegang
peranan penting dalam perkembangan moral remaja). Sedangkan menurut
Freud, pola pengasuhan anak dapat mendukung perkembangan moral
karena adanya rasa takut terhadap hukuman dan takut kehilangan kasih
sayang dari orangtua. Apabila kita berbicara mengenai masalah
pengasuhan yang dikaitkan dengan kasih sayang maka tampaknya hal ini
berkaitan dengan masalah kedisiplinan.
Jika psikoanalisa berpendapat bahwa perkembangan moral terjadi
karena faktor adanya rasa bersalah yang tidak disadari, atau teori lain yang
mengatakan bahwa perkembangan moral terjadi karena peran dari empati
(yaitu adanya reaksi emosi terhadap perasaan orang lain dimana reaksi
tersebut sama dengan yang dilakukan oleh orang lain), maka pada masa ini
banyak ahli percaya bahwa baik perasaan positif (empati, simpati,
admiration, dan self esteem) maupun negatif (marah, murka, malu dan rasa
bersalah) berperanan dalam perkembangan moral remaja (Damon, 1988;
Eisenberg, 1997). Ditambah pula dengan pengalaman yang ada, maka
bentuk emosi-emosi ini akan mempengaruhi perilaku remaja yang
didasarkan pada keyakinan akan benar dan salah.
Menurut Muhyani (2012) menjelaskan bahwa religius merupakan
ekspresi spiritual seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai,
hukum yang berlaku. Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi
kehidupan, bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan ritual agama
yang dianutnya saja, tetapi juga ketika melakukan aktivitasaktivitas
lainnya yang didorong oleh kekuatan supranatural. Setiap orang tua juga
pasti memiliki berbagai harapan-harapan. Misalnya, anak harus lebih baik
dari pada orang tuanya.5

5
Muryono, S. (2009). Empati, Penalaran Moral, dan Pola Asuh: Telaah Bimbingan Konseling.
Yogyakarta: Gala Ilmu Semesta.
13

D. Usaha-Usaha Yang dapat Dilakukan Orang Tua dan Guru Untuk


Mengembangkan Moral Remaja

Adapun peranan orang tua dalam perkembangan tingkah laku


bermoral pada remaja, antara lain (a) memberikan contoh yang sangat
penting dalam perkembangan moral anak. Anak meniru tingkah laku orang
tua. Oleh karena itu, orang tua semestinya memiliki kepribadian yang baik
dan mantap dalam nuansa moralitasnya. (b) menerapkan disiplin.
Kedisiplinan yang diberikan oleh orang tua terhadap anak merupakan
salah satu faktor yang menunjang penerapan tingkah anak dalam
menerapkan tingkah laku moral. Teknik disiplin yang digunakan oleh
orang tua, yakni dengan cara membangkitkan perasaan sayang (afeksi)
terhadap orang yang menegakkan disiplin.
Ada tiga bentuk kedisiplinan yang dikembangkan oleh orangtua
yaitu :
a. Love withdrawal : yaitu orangtua yang tidak memberikan
perhatian dan kasih sayang pada anak. Misalnya orangtua yang tidak mau
berbicara dengan anaknya. Hal ini dapat menyebabkan munculnya
kecemasan dalam diri remaja.
b. Power assertion : yaitu orangtua yang berusaha untuk
mengendalikan anak/misalnya orangtua yang selalu mengancam anak atau
mengambil hak anak. Hal ini dapat menyebabkan munculnya hostility
(sikap bermusuhan) pada anak.
c. Induction : yaitu orangtua yang menggunakan alasan dan
penjelasan tentang konsekuensi yang akan muncul jika anak melakukan
suatu tindakan tertentu.
Pada pola kedisiplinan a dan b akan menimbulkan akibat adanya
arousal yang tinggi pada anak, dan meskipun orangtua menyertainya
dengan penjelasan, maka penjelasan tersebut tidak akan dihiraukan oleh
14

anak/remaja. Pola pendisiplinan a dan b ini menunjukkan bahwa orangtua


tidak memiliki kontrol diri. Akibat yang lebih parah dapat muncul dari
pola pendisiplinan ini adalah perilaku orangtua cenderung akan ditiru oleh
anak/remaja terutama pada saat mereka sedang berada dalam situasi yang
menekan. Sebaliknya untuk pola c, akibat yang ditimbulkan lebih positif
dibandingkan dengan kedua pola sebelumnya.
Peran Guru, Wawasari (2005, hlm. 23) mengatakan beberapa
pendapat dan berbagai macam tokoh dengan sudut pandang masing-
masing. Adams & Dicley (dalam Wawasari, 2005) menyatakan bahwa
peran guru sebagai berikut. (1) Guru sebagai tenaga pengajar. (2) Guru
sebagai pembimbing. (3) Guru sebagai ilmuwan (4) Guru sebagai pribadi.
Sedangkan tugas guru yang utama adalah menyempurnakan,
membersihkan, dan menyucikan, serta membawa hati manusia untuk
mendekatkan dirinya pada Allah SWT. (Ghazali dalam Ngainum, 2009).
Peran guru memiliki pengaruh besar dalam meningkatkan moral
siswa. Guru sebagai pendidik harus bisa mendidik siswanya kearah yang
lebih baik, mampu membentuk dan membangun sikap siswa agar lebih
menghargai maupun menghormati orang lain, memiliki rasa toleransi yang
tinggi. Peningkatan moral tersebut dilakukan dengan metode keteladanan
dan pembiasaan-pembiasaan serta halhal yang baik.
Dari hasil wawancara peran guru sebagai pendidik tidak hanya
mengajarkan materi saja, tetapi dengan memberi keteladanan yang baik
terhadap siswanya. Selain itu, melakukan pembiasaan–pembiasaan seperti
membiasakan salam ketika memulai ataupun mengakhiri sapaan dan
membiasakan berdoa ketika memulai dan mengakhiri pembelajaran dan
juga mengarahkan siswa supaya berperilaku baik. Guru sebagai pendidik
juga harus bisa menjadi panutan bagi muridnya.
Hal ini sesuai dengan prinsipprinsip psikologi dan etika yang dapat
membantu sekolah untuk meningkatkan seluruh tugas pendidikan dalam
membangun kepribadian siswa yang kuat. Terkait itu, Adams dan Dicley
15

(dalam Wawasari 2005, hlm. 23) menjelaskan bahwa peran guru ialah
sebagai pengajar, pembimbing, ilmuan, dan sebagai pribadi.
Guru sebagai pribadi yang mana guru mampu memberikan panutan
yang baik bagi siswa dan memberikan contoh sikap teladan dengan
memberikan keteladanan melalui cara bersikap guru dalam bergaul dan
kedisiplinan serta memberikan pembiasaan agar siswa dapat berperilaku
santun.6

6
Muhyani. (2012). Pengaruh Pengasuhan Orang Tua dan Peran Guru di Sekolah Menurut Persepsi
Murid terhadap Kesadaran Religius dan Kesehatanmental. Jakarta: Kementerian Agama Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam.
16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimp
ulan
Psikologi Perkembangan merupakan bagian dari ilmu
psikologi yang mempelajari tentang perkembangan setiap individu selama
rentang kehidupan. Serta mempelajari Aspek-aspek perkembangan pada
individu meliputi perkembangan fisik, intelligensi, emosi, bahasa, sosial,
kepribadian, moral, dan kesadaran beragama.
Moral berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk membedakan
antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral juga
mendasari dan mengendalikan seseorang dalam bersikap dan bertingkah
laku.

B. Sa
ra
Penulis mendapatkan pengalaman yang sangat berharga dalam
pembuatan makalah ini mengenai pengetahuan Perkembangan Moral
Remaja. Penulis menyarankan kepada semua pembaca untuk menjadi yang
lebih baik lagi dalam menjalankan Moral.

17
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Mighwar. 2006. “Psikologi Remaja”. Bandung: Pustaka Setia.

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan RemajaI, (Bandung : PT


Remaja Rosdakarya, 2014)

Elfi Yuliani Rocmah, Psikologi Perkembangan, (Ponorogo: STAIN Ponorogo


Press, 2014),

Zulkifli, L. 1986. ”Psikologi Remaja”. Bandung: Remaja Karya.

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan RemajaI, (Bandung : PT


Remaja Rosdakarya, 2014),

Muryono, S. (2009). Empati, Penalaran Moral, dan Pola Asuh: Telaah


Bimbingan Konseling. Yogyakarta: Gala Ilmu Semesta

Muhyani. (2012). Pengaruh Pengasuhan Orang Tua dan Peran Guru di


Sekolah Menurut Persepsi Murid terhadap Kesadaran Religius dan
Kesehatanmental. Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam.

18

Anda mungkin juga menyukai