Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH ETIKA BISNIS

Tahap Tahap Perkembangan Kesadaran Moral dari Kohlberg Proses


Pengambilan Keputusan Etis Oleh Individu Perbedaan Tiga Jenis Organisasi
(Rational, Political dan Caring)

DISUSUN OLEH :

MARINA KADIR (A021191080)

SITI NURANNISA (A021191171)

HILDA SULISTINA (A021191026)

MUHAMMAD TAUFIQURRIZKY FITRANI (A021191190)

MUHAMMAD AKBAR (A021191200)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

JURUSAN MANAJEMEN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

TAHUN 2021
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada
kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Tahap Tahap Perkembangan Kesadaran Moral dari
Kohlberg Proses Pengambilan Keputusan Etis Oleh Individu Perbedaan Tiga Jenis Organisasi
(Rational, Political dan Caring”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika
Bisnis selaku dosen Ibu Drs. Hj. Nursiah Sallatu MA Selain itu, penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada ibu selaku dosen mata kuliah
Etika Binsis. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami
terkait bidang yang ditekuni penulis.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu masukan dan
saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini dan semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Makassar, 29 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengembangan Moral ............................................................................... 3


B. Pengambilan Keputusan Etis Individu ...................................................... 8
C. Tiga Jenis Organisasi ........................................................................ ….11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………… 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembahasan moral manusia dalam perkembangannya banyak mengalami pasang surut.
Hal ini seiring dengan perubahan yang terjadi baik dalam tatanan sosial masyarakat maupun
pengaruh tuntunan zaman. Norma kehidupan terkadang dipandang sebagai penghalang oleh
sekelompok manusia yang tidak mau menerimanya walaupun pada awal peradaban manusia
dengan susah payah menyusun dan menyepakati keberadaan norma itu untuk menata perilaku
manusia. Pendidikan sebagai sarana pelestarian moralitas sekaligus pengembang tatanan
kehidupan manusiamemiliki peran dan fungsi yang sangat penting serta efektif. Jalur-jalur
pendidikan dimulai dari lingkungan terdekat dengan manusia dan dapat dimulai sejak usia dini
sampai manusia manusia itu mampu bersikap dan menemukan perilakunya sesuai dengan
tingkat kedewasaan masing-masing. Tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang
berkepribadian akhlak mulia, Ibnu Sina juga mengemukakan bahwa ukuran akhlak mulia
tersebut dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia.

Selain dengan pembahasan moral, etika bisnis juga menguraikan proses pengambilan
keputusan etis oleh individu dimana Keputusan adalah pilihan yang dibuat dari dua atau lebih
pilihan. Pengambilan keputusan biasanya terjadi atas adanya masalah atau pun suatu pilahan
tentang kesempatan. Dalam suatu organisasi diperlukan suatu kebijakan dalam pengambilan
keputusan yang baik dalam menentukan strategi, sehingga menimbulkan pemikiran tentang cara-
cara baru untuk melanjutkannya. Proses pengambilan keputusan adalah bagaimana perilaku dan
pola komunikasi manusia sebagai individu dan sebagai anggota kelompok dalam struktur
organisasi. Tidak ada pembahasan kontemporer pengambilan keputusan akan lengkap tanpa
dimasukkannya etika. Mengapa? Karena pertimbangan etis seharusnya merupakan suatu kriteria
yang penting dalam pengambilan keputusan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:

1
1. Bagaimana tahap perkembangan kesadaran moral dari Kohlberg dan kritik feminis
atasnya?
2. Bagaimana proses pengambilan keputusan etis oleh individu?
3. Bagaimana bentuk perbedaan dari 3 jenis organisasi?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tahap perkembangan kesadaran moral dari Kohlberg dan kritik feminis
atasnya
2. Untuk mengetahui proses pengambilan keputusan etis oleh individu.
3. Untuk mengetahui bentuk perbedaan dari 3 jenis organisasi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengembangan Moral

Banyak orang beranggapan bahwa nilai-nilai kita terbentuk pada masa kanak-kanak dan
tidak berubah setelah itu. Faktanya, banyak penelitian psikologis, serta pengalaman pribadi kita
sendiri, menunjukkan bahwa saat kita dewasa, kita mengubah nilai-nilai kita secara mendalam.
Sama seperti kemampuan fisik, emosional, dan kognitif orang berkembang seiring bertambahnya
usia, demikian juga kemampuan mereka untuk menangani masalah moral berkembang saat mereka
menjalani kehidupan mereka. Faktanya, sama seperti ada tahap-tahap pertumbuhan yang dapat
diidentifikasi dalam perkembangan fisik, demikian pula kemampuan untuk membuat
pertimbangan moral yang masuk akal juga berkembang dalam tahap-tahap yang dapat
diidentifikasi. Sebagai anak-anak, kita hanya diberitahu apa yang benar dan apa yang salah, dan
kita patuh untuk menghindari hukuman. Saat kita dewasa menjadi remaja, standar moral
konvensional ini secara bertahap diinternalisasi, dan kita mulai mencoba memenuhi harapan
keluarga, teman, dan masyarakat sekitar. Akhirnya, sebagai orang dewasa, kita belajar untuk
bersikap kritis terhadap standar moral konvensional yang diwariskan kepada kita oleh keluarga,
teman sebaya, budaya, atau agama kita. Kita mulai mengevaluasi standar moral ini dan
merevisinya jika menurut kita standar tersebut tidak memadai, tidak konsisten, atau tidak masuk
akal. Singkatnya, kita mulai melakukan etika dan mengembangkan prinsip-prinsip moral yang kita
rasa lebih baik dan lebih masuk akal daripada yang kita terima sebelumnya.

1. Tahap-Tahap Perkembangan Kesadaran Moral dari Kohlberg

Ada banyak penelitian psikologis yang menunjukkan pandangan moral orang berkembang
kurang lebih dengan cara ini. Psikolog Lawrence Kohlberg, misalnya, yang mempelopori
penelitian di bidang ini, menyimpulkan berdasarkan penelitian lebih dari 20 tahun bahwa ada
urutan enam tahap yang dapat diidentifikasi dalam perkembangan kemampuan seseorang untuk
menangani masalah moral. Kohlberg mengelompokkan tahap-tahap perkembangan moral ini ke
dalam tiga tingkat, masing-masing berisi dua tahap. Pada setiap tingkat, tahap kedua adalah bentuk
yang lebih maju dan terorganisir dari perspektif umum tingkat itu. Urutan keenam tahapan tersebut
dapat diringkas sebagai berikut.

3
TINGKAT SATU: TAHAP PRA KONVENSIONAL

Pada dua tahap pertama ini, anak dapat menerapkan label baik, buruk, benar, dan salah.
Tetapi baik dan buruk, dan benar dan salah dilihat dari segi konsekuensi yang menyenangkan atau
menyakitkan dari tindakan atau apa yang diminta oleh figur otoritas. Jika Anda bertanya kepada
seorang anak berusia 4 atau 5 tahun, misalnya, apakah mencuri itu salah, dia akan menjawabnya.
Tetapi ketika Anda bertanya kepada anak itu mengapa itu salah, jawabannya akan seperti, “Karena
Ibu memberi saya time-out jika saya mencuri.” Anak pada tingkat ini dapat melihat situasi
terutama dari sudut pandangnya sendiri sehingga motivasi utamanya berpusat pada diri sendiri.

Tahap Satu: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan Pada tahap ini, tuntutan figur otoritas atau
konsekuensi yang menyenangkan atau menyakitkan dari suatu tindakan menentukan benar dan
salah. Alasan anak melakukan hal yang benar adalah untuk menghindari hukuman atau tunduk
pada kekuasaan penguasa. Ada sedikit kesadaran bahwa orang lain memiliki kebutuhan dan
keinginan seperti milik sendiri.

Tahap Dua: Orientasi Instrumental dan Relatif Pada tahap ini, tindakan yang benar menjadi
tindakan yang melaluinya anak memenuhi kebutuhannya sendiri. Anak sekarang sadar bahwa
orang lain memiliki kebutuhan dan keinginan seperti dia dan menggunakan pengetahuan ini untuk
mendapatkan apa yang dia inginkan. Anak berperilaku dengan cara yang benar terhadap orang
lain, sehingga orang lain nantinya akan melakukan hal yang sama terhadapnya.

TINGKAT KEDUA: TAHAP KONVENSIONAL

Pada dua tahap berikutnya, anak yang lebih tua atau remaja yang lebih muda melihat moral
yang benar dan salah dalam hal hidup sesuai dengan norma-norma konvensional dari keluarga,
kelompok sebaya, atau masyarakatnya. Orang muda pada tahap ini setia pada kelompok-kelompok
ini dan norma-norma mereka. Dia melihat benar atau salah dalam hal “apa yang teman-teman saya
pikirkan”, “apa yang diajarkan keluarga saya kepada saya”, “apa yang kita orang Amerika
percayai”, atau bahkan “apa yang dikatakan hukum”. Orang tersebut memiliki kemampuan untuk
mengambil sudut pandang orang lain yang sejenis dalam kelompoknya.

Tahap Tiga: Orientasi Kesesuaian Antarpribadi Perilaku yang baik pada tahap konvensional
awal ini memenuhi harapan orang-orang yang kepadanya orang tersebut merasakan kesetiaan,
kasih sayang, dan kepercayaan, seperti keluarga dan teman. Perbuatan yang benar adalah sesuai

4
dengan apa yang diharapkan dalam perannya sebagai putra yang baik, putri yang baik, teman yang
baik, dan sebagainya. Pada tahap ini, anak muda ingin disukai dan dianggap baik.

Tahap Empat: Orientasi Hukum dan Ketertiban Benar dan salah pada tahap konvensional
yang lebih dewasa ini didasarkan pada loyalitas terhadap bangsa atau masyarakat. Hukum dan
norma masyarakat harus dipatuhi agar masyarakat terus berfungsi dengan baik. Orang tersebut
dapat melihat orang lain sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar yang mendefinisikan
peran dan kewajiban individu, dan dia dapat membedakan kewajiban ini dari apa yang dibutuhkan
oleh hubungan pribadinya.

TINGKAT KETIGA: TAHAP PASCA KONVENSIONAL

Pada dua tahap berikutnya, orang tersebut tidak lagi hanya menerima nilai dan norma
kelompoknya. Sebaliknya, orang tersebut mencoba untuk melihat benar dan salah dari sudut
pandang yang tidak memihak yang mempertimbangkan kepentingan semua orang. Orang tersebut
dapat mempertanyakan hukum dan nilai-nilai masyarakatnya dan menilainya berdasarkan prinsip-
prinsip moral yang dia yakini dapat dibenarkan bagi setiap orang yang berakal. Ketika orang
dewasa pada tahap ini ditanya mengapa sesuatu itu benar atau salah, orang tersebut dapat
menjawab dalam istilah apa yang “adil untuk semua orang” atau dalam hal “keadilan,” atau “hak
asasi manusia,” atau “kesejahteraan masyarakat.”

Tahap Lima: Orientasi Kontrak Sosial Pada tahap pascakonvensional pertama ini, orang
menjadi sadar bahwa orang-orang memiliki pandangan moral yang bertentangan, tetapi percaya
ada cara yang adil untuk mencapai konsensus tentang mereka. Orang tersebut percaya bahwa
semua nilai moral dan norma moral adalah relatif dan bahwa, terlepas dari konsensus demokratis,
semua pandangan moral harus ditoleransi.

Tahap Enam: Orientasi Prinsip-Prinsip Moral Universal Pada tahap pascakonvensional kedua
ini, tindakan benar didefinisikan dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip moral yang dipilih karena
kewajaran, universalitas, dan konsistensinya. Ini adalah prinsip-prinsip moral umum yang
berhubungan, misalnya, dengan keadilan, kesejahteraan sosial, hak asasi manusia, penghormatan
terhadap martabat manusia, atau memperlakukan orang sebagai tujuan dalam diri mereka sendiri.
Orang tersebut melihat prinsip-prinsip ini sebagai kriteria untuk mengevaluasi semua norma dan
nilai yang diterima secara sosial.

5
Teori Kohlberg berguna karena membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita
berkembang, dan itu mengungkapkan bagaimana kita bisa matang dalam pemahaman kita tentang
standar moral kita sendiri. Penelitian oleh Kohlberg dan lain-lain telah menunjukkan bahwa,
meskipun orang umumnya maju melalui tahapan dalam urutan yang sama, tidak semua orang maju
melalui semua tahapan. Kohlberg menemukan bahwa banyak orang tetap terjebak pada salah satu
tahap awal sepanjang hidup mereka. Mereka yang tinggal di tingkat pra-konvensional terus melihat
benar dan salah dalam istilah egosentris untuk menghindari hukuman dan melakukan apa yang
dikatakan oleh figur otoritas yang kuat. Mereka yang mencapai tingkat konvensional, tetapi tidak
pernah melewatinya, terus mendefinisikan benar dan salah dalam kaitannya dengan norma dan
harapan konvensional kelompok sosial mereka atau negara mereka dan hukumnya. Selanjutnya,
mereka yang mencapai tingkat pascakonvensional dan melihat secara rasional dan kritis pada
standar moral konvensional yang telah mereka pegang akan datang untuk mendefinisikan benar
dan salah dalam hal prinsip-prinsip moral yang telah mereka pilih karena masuk akal.

Penting untuk dilihat bahwa Kohlberg percaya bahwa penalaran moral orang-orang pada
tahap perkembangan moral selanjutnya lebih baik daripada penalaran moral mereka yang berada
pada tahap awal. Pertama, dia mengklaim, orang-orang pada tahap selanjutnya memiliki
kemampuan untuk melihat sesuatu dari perspektif yang lebih luas dan lebih lengkap daripada pada
tahap sebelumnya. Orang pada tingkat pra-konvensional dapat melihat situasi hanya dari sudut
pandang egosentris orang itu sendiri; orang pada tingkat konvensional dapat melihat situasi hanya
dari sudut pandang yang sudah dikenal orang-orang dalam kelompok sosial orang tersebut; dan
orang dari sudut pandang pascakonvensional memiliki kemampuan untuk melihat situasi dari
perspektif universal yang mencoba mempertimbangkan semua orang. Kedua, orang-orang pada
tahap selanjutnya memiliki cara yang lebih baik untuk membenarkan keputusan mereka kepada
orang lain daripada mereka yang berada pada tahap sebelumnya. Orang pada tingkat
prakonvensional dapat membenarkan keputusan hanya dalam hal bagaimana kepentingan orang
itu sendiri akan terpengaruh, dan oleh karena itu pembenaran pada akhirnya hanya persuasif bagi
orang tersebut. Orang pada tingkat konvensional dapat membenarkan keputusan dalam kerangka
norma-norma kelompok di mana orang tersebut berada, sehingga pembenaran pada akhirnya
hanya bersifat persuasif bagi anggota kelompok orang tersebut. Akhirnya, orang di tingkat
pascakonvensional dapat membenarkan pilihannya berdasarkan prinsip-prinsip moral yang tidak
memihak dan masuk akal dan bahwa setiap orang yang berakal dapat menerima.

6
2. KRITIK TERHADAP KOHLBERG: PANDANGAN CAROL GILLIGAN

Teori Kohlberg telah dikritik. Pertama, Kohlberg telah dikritik karena mengklaim bahwa
tahap yang lebih tinggi secara moral lebih disukai daripada tahap yang lebih rendah. Kritik ini
tentu benar. Meskipun tingkat Kohlberg yang lebih tinggi menggabungkan perspektif yang lebih
luas dan pembenaran yang lebih dapat diterima secara luas, tidak berarti bahwa perspektif ini
secara moral lebih baik daripada yang lebih rendah. Untuk menetapkan bahwa tahapan yang lebih
tinggi secara moral lebih baik akan membutuhkan lebih banyak argumen daripada yang diberikan
Kohlberg. Dalam bab-bab selanjutnya, kita akan melihat alasan macam apa yang dapat diberikan
untuk pandangan bahwa prinsip-prinsip moral yang menentukan tahap Kohlberg selanjutnya
secara moral lebih disukai daripada kriteria yang digunakan dalam tahap prakonvensional dan
konvensional.

Kritik penting kedua terhadap Kohlberg adalah kritik yang muncul dari karya psikolog
Carol Gilligan. Dia berpendapat bahwa, meskipun teori Kohlberg dengan tepat mengidentifikasi
tahap-tahap yang dilalui pria saat mereka berkembang, teori itu gagal melacak secara memadai
bagaimana moralitas wanita berkembang. Karena sebagian besar subjek Kohlberg adalah laki-laki,
menurut Gilligan, teorinya gagal memperhitungkan bagaimana perempuan berpikir tentang
moralitas.

Gilligan mengklaim bahwa ada pendekatan "laki-laki" dan "perempuan" terhadap


moralitas. Laki-laki, menurutnya, cenderung berurusan dengan masalah moral dalam hal prinsip-
prinsip moral yang impersonal, tidak memihak, dan abstrak—persis jenis pendekatan yang
dikatakan Kohlberg adalah karakteristik pemikiran postkonvensional. Namun, Gilligan
mengklaim, ada pendekatan kedua, perempuan, terhadap masalah moral yang tidak diperhitungkan
oleh teori Kohlberg. Wanita, klaim Gilligan, cenderung melihat diri mereka sebagai bagian dari
jaringan hubungan dengan keluarga dan teman. Ketika wanita menghadapi masalah moral, mereka
prihatin dengan memelihara hubungan ini, menghindari menyakiti orang lain dalam hubungan ini,
dan merawat kesejahteraan orang lain. Bagi wanita, moralitas terutama adalah soal “perhatian”
dan “tanggung jawab” bagi mereka yang memiliki hubungan pribadi dengan kita. Moralitas
bukanlah masalah mengikuti prinsip-prinsip yang tidak memihak. Gilligan mengklaim bahwa
pendekatan perempuan terhadap moralitas berkembang melalui tahapan yang berbeda dari yang
dijelaskan Kohlberg. Perkembangan moral bagi wanita ditandai dengan kemajuan menuju cara-

7
cara yang lebih baik dalam merawat dan bertanggung jawab atas diri sendiri dan orang lain yang
berhubungan dengan kita. Dalam teorinya, tingkat perkembangan moral paling awal atau pra-
konvensional bagi perempuan adalah yang ditandai dengan hanya merawat diri sendiri. Wanita
pindah ke tingkat kedua atau konvensional ketika mereka menginternalisasi norma-norma
konvensional tentang merawat orang lain dan dengan demikian mengabaikan diri mereka sendiri.
Ketika wanita bergerak ke tingkat pascakonvensional atau paling dewasa, mereka menjadi kritis
terhadap norma-norma konvensional yang telah mereka terima sebelumnya, dan mereka mencapai
keseimbangan antara merawat orang lain dan merawat diri sendiri.

Apakah Gilligan benar? Meskipun penelitian tambahan telah menunjukkan bahwa


perkembangan moral pria dan wanita tidak berbeda dengan cara yang awalnya disarankan Gilligan,
penelitian yang sama telah mengkonfirmasi klaim bahwa Gilligan telah mengidentifikasi cara
berpikir tentang masalah moral yang berbeda dari cara yang ditekankan Kohlberg. Masalah moral
dapat ditangani dari perspektif prinsip moral yang tidak memihak atau dari perspektif merawat
orang dan hubungan, dan kedua perspektif ini berbeda. Namun, wanita dan pria terkadang
mendekati masalah moral dari perspektif prinsip moral yang tidak memihak, dan pria serta wanita
terkadang mendekati masalah moral dari perspektif merawat orang dan hubungan. Meskipun
penelitian tentang "perspektif perawatan" yang dijelaskan Gilligan masih berlangsung, jelas
merupakan perspektif moral penting yang harus dipertimbangkan baik oleh pria maupun wanita.

B. Pengambilan Keputusan Etis Individu

Keberagaman dan luasnya dimensi etika dalam berbagai penelitian terdahulu menunjukkan
kesulitan yang akan dihadapi yaitu, aspek pengukuran dan pengamatan dengan hasil yang tidak
biasa Bertens (2000), mengemukakan bahwa etika adalah: seperangkat nilai-nilai dan norma-
norma moral yang menjadi pegangan dari seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Etika diartikan secara universal menurut Arens dan Loebbecke (2000, hal: 76), sebagai
satu set prinsip moral atau nilai. Dua pengertian diatas menunjukkan kedudukan etika dan moral
yang kemudian oleh Magnis (1987), dikemukakan bahwa etika dimaksud adalah tindakan yang
paling etis menurut seseorang atau kelompok sedangkan moral dimaksudkan sebagai cara
menekankan sesuatu Wisesa (2009), mengemukakan bahwaindividu berperilaku etis disebabkan
oleh rasa takut atas beragam pertimbangan dan rasa itu kerap mempengaruhi pembuatan keputusan
etis. Oleh karena rasa takut ini seseorang sebelum bertindak berfikir etis terlebih dahulu. Untuk

8
memahami rasa atau kesan ini Magnis (2000), kesadaran moral tidak ditentukan oleh perasaan,
melainkan oleh kemampuan intelektual, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengerti sesuatu
secara rasional.pernyataan tersebut diperkuat oleh Robbins (2006) yang menyatakan individu akan
mempersepsikan rasa atau kesan tersebut dapat berbeda dari kenyataan yang obyektif.

Secara garis besar, Keputusan etis merupakan suatu keputusan yang harus dibuat oleh setiap
profesional yang mengabdi pada suatu bidang pekerjaan tertentu. Oleh karena itu dalam membuat
suatu keputusan etis, seorang profesional pasti akan mengacu pada kode etik profesi.

LANGKAH-LANGKAH PENGAMBILAN KEPUTUSAN YANG ETIS

1. Menentukan fakta-fakta
Langkah pertama dalam membuat keputusan yang bertanggung jawab secara etis
adalah menentukan fakta situasi. Upaya yang jujur untuk memahami situasi, untuk
membedakan fakta dari sekadar opini, adalah penting. Perbedaan persepsi seputar
bagaimana individu mengalami dan memahami situasi dapat menjelaskan banyak
perbedaan etika. Mengetahui fakta dan dengan hati-hati meninjau keadaan dapat membantu
menyelesaikan perselisihan pada tahap awal.
2. Mengidentifikasi isu-isu etika yang terlibat.
Langkah kedua dalam pengambilan keputusan etis yang bertanggung jawab
membutuhkan kemampuan untuk: mengenali keputusan atau masalah sebagai keputusan
etis atau masalah etika. Ini mudah disesatkan oleh kegagalan untuk mengenali bahwa ada
komponen etis untuk beberapa keputusan. Mengidentifikasi isu-isu etika yang terlibat
adalah langkah selanjutnya dalam membuat keputusan yang bertanggung jawab. Tentu
saja, langkah pertama dan kedua mungkin muncul secara terbalik pesanan, tergantung pada
keadaan. Terkadang, Anda memiliki pilihan fakta yang menimbulkan dilema atau masalah
etika tertentu. Namun, sama kemungkinannya, mungkin juga ada saat-saat ketika Anda
dihadapkan dengan masalah dari awal, katakanlah, ketika seorang rekan meminta Anda
untuk bimbingan dengan kesulitan etika yang menantang. Identifikasi masalah, oleh karena
itu, menjadi langkah pertama, sedangkan pengumpulan fakta adalah langkah kedua yang
diperlukan.
3. Mengidentifikasi para pemegang kepentingan dan mempertimbangkan situasi-situasi dari
sudut pandang mereka

9
Langkah ketiga yang terlibat dalam pengambilan keputusan etis melibatkan salah
satu elemen yang lebih kritis. Kami diminta untuk mengidentifikasi dan
mempertimbangkan semua orang yang terkena dampak oleh suatu keputusan, masyarakat
sering disebut pemangku kepentingan. “Pemangku kepentingan,” dalam pengertian umum
ini, mencakup semua kelompok dan/atau individu yang terpengaruh oleh suatu keputusan,
kebijakan, atau operasi perusahaan atau individu. Meneliti masalah dari berbagai perspektif
selain milik sendiri, dan selain dari apa yang local konvensi menyarankan, membantu
membuat keputusan seseorang lebih masuk akal, akuntabel, dan bertanggung jawab. Dan,
sebaliknya, berpikir dan bernalar dari sudut pandang yang sempit dan—sudut pandang
pribadi hampir menjamin bahwa kita tidak akan sepenuhnya memahami situasi. Membuat
keputusan dari sudut pandang yang sempit dan pribadi juga memastikan bahwa kami
bertanggung jawab untuk membuat keputusan yang tidak mempertimbangkan dengan
matang kepada orang lain dan perspektif.
4. Mempertimbangkan alternatif-alternatif yang tersedia juga disebut dengan “imajinasi
moral”
Setelah kita memeriksa fakta, mengidentifikasi masalah etika yang terlibat, dan
mengidentifikasi pemangku kepentingan, kita perlu mempertimbangkan alternatif yang
tersedia. Kreativitas dalam mengidentifikasi pilihan etis—juga disebut imajinasi moral—
adalah salah satunya elemen yang membedakan orang baik yang membuat keputusan yang
bertanggung jawab secara etis dari orang baik yang tidak. Penting untuk tidak hanya
mempertimbangkan yang sudah jelas pilihan sehubungan dengan dilema tertentu, tetapi
juga yang jauh lebih halus yang mungkin tidak terlihat pada pandangan pertama.
5. Mempertimbangkan bagaimana sebuah keputusan dapat memengaruhi para pemegang
kepentingan, membandingkan dan mempertimbangkan alternatif-alternatif berdasarkan
konsekuensi-konsekuensi, kewajiban-kewajiban, hak-hak, prinsip-prinsip dan dampak
bagi integritas dan karakter pribadi

Langkah selanjutnya dalam proses pengambilan keputusan adalah membandingkan dan


mempertimbangkan alternatif-alternatif, membuat suatu spreadsheet mental yang
mengevaluasi setiap dampak tiap alternatif yang telah dipikirkan terhadap masing-masing
pemegang kepentingan yang telah identifikasi. Salah satu cara yang paling mudah adalah
menempatkan diri terhadap posisi orang lain. Sebuah elemen penting dalam evaluasi ini

10
adalah pertimbangan cara untuk mengurangi, meminimalisasi atau mengganti kensekuensi
kerugian yang mungkin terjadi atau meningkatkan dan memajukan konsekuensi-
konsekuensi yang mendatangkan manfaat. Selain itu juga perlu mempertimbangkan
kewajiban, hak-hak dan prinsip-prinsip, serta dampak bagi integritas dan karakter pribadi.

6. Membuat sebuah keputusan

Setelah Anda menjelajahi variabel-variabel ini, langkah selanjutnya adalah


membuat keputusan. Namun, prosesnya belum selesai. Keputusan dalam bisnis tidak
biasanya keputusan sederhana "ya" atau "tidak"; dalam banyak kasus, membuat keputusan
berarti merumuskan rencana dan melaksanakannya.

7. Memantau dan belajar dari hasil

Selanjutnya, untuk bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan kita, tidak


cukup hanya dengan mempertimbangkan proses ini, hanya untuk kemudian mengangkat
tangan setelah keputusan dibuat: "Ini di luar kendali saya sekarang!" Sebaliknya, kita
memiliki kemampuan sebagai manusia untuk belajar dari pengalaman kita. Kemampuan
itu menyiratkan tanggung jawab untuk menyelesaikan proses dengan melanjutkan ke
langkah terakhir: evaluasi implikasinya keputusan kami, untuk memantau dan belajar dari
hasil, dan untuk memodifikasi tindakan yang sesuai ketika menghadapi tantangan serupa
di masa depan. Dalam istilah kelembagaan, ini bisa berarti menggunakan apa yang
dipelajari untuk mengembangkan rencana pencegahan krisis masa depan, untuk
melembagakan praktik baru, dan untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur baru.
Titik Keputusan “Menerapkan Model Pengambilan Keputusan” memberi kita sebuah
kesempatan untuk mempraktikkan proses pengambilan keputusan ini.

C. Tiga Jenis Organisasi

1. Organisasi Rasional
Model organisasi bisnis yang “rasional” yang lebih tradisional mendefenisikan
organisasi sebagai suatu struktur hubungan formal (yang didefenisikan secara eksplisit dan
digunakan secara terbuka) yang bertujuan mencapai tujuan teknis atau ekonomi dengan
efisiensi maksimal. E. H. Schein memberikan satu defenisi ringkas tentang organisasi dari
prespektif tersebut yaitu “organisasi adalah koordinasi rasional atas aktivitas-aktivitas

11
sejumlah individu untuk mencapai tujuan atau sasaran eksplisit bersama, melalui
pembagian tenaga kerja dan fungsi dan melalui hirarki otoritas dan tanggung jawab.”
Berbagai tingkatan dalam organisasi dan yang mengatur semua individu ke dalam
tujuan organisasi dan hirarki formal adalah kontrak. Hal ini mengasumsikan bahwa
pegawai sebagai agen yang secara bebas dan sadar telah setuju untuk menerima otoritas
formal organisasi dan berusaha mearaih tujuan organisasi, dan sebagai gantinya mereka
memperoleh dukungan dalam bentuk gaji dan kondisi kerja yang baik. Dari perjanjian
kontraktual tersebut, pegawai menerima tanggungjawab moral untuk mematuhi atasan
dalam usaha mencapai organisasi, dan selanjutnya organisasi juga memiliki
tanggungjawab moral untuk memberikan dukungan ekonomi pada para pegawai seperti
yang telah dijanjikan. Teori utilitarian memberikan dukungan tambahan pada pandangan
bahwa pegawai memiliki kewajiban untuk berusaha mencapai tujuan perusahaan secara
loyal.
Tanggung jawab etis dasar yang muncul dari aspek "rasional" organisasi ini berfokus
pada dua kewajiban moral timbal balik:
1) Kewajiban karyawan terhadap perusahaan
Dalam pandangan rasional perusahaan, kewajiban moral utama pegawai
adalah untuk bekerja mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan-
kegiatan yang mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti
menyimpang dari tujuan-tujuan tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri
dalam cara-cara yang, jika melanggar hukum, dapat dinyatakan sebagai “kejahatan
kerah putih”.
Ada sejumlah situasi dimana pegawai gagal melaksanakan kewajiban untuk
mencapai tujuan perusahaan, yaitu sebagai berikut:
a) Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan dalam bisnis muncul saat seorang pegawai atau pejabat
duatu perusahaan melaksanakan tugasnya, namun dia memiliki kepentingan-
kepentingan pribadi terhadap hasil dari pelaksanaan tugas tersebut yang (a)
mungkin bertentangan dengan kepentingan perusahaan, dan (b) cukup substansial
sehingga kemungkinan mempengaruhi penilaiannya sehingga tidak seperti yang
diharapkan perusahaan. Konflik kepentingan bisa bersifat aktual dan potensial.

12
Konflik kepentingan aktual terjadi saat seseorang melaksanakan kewajibannya
dalam satu cara yang mengganggu perusahaan dan melakukannya demi
kepentingan pribadi. Konflik kepentingan potensial terjadi saat seseorang, karena
didorong kepentingan pribadi, bertindak dalam suatu cara yang merugikan
perusahaan.
b) Pencurian Pegawai dan Komputer
Pegawai perusahaan memiliki perjanjian kontraktual untuk hanya
menerima keuntungan tertentu sebagai ganti hasil kerjanya dan menggunakan
sumber daya perusahaan hanya dalam usaha untuk mencapai tujuan perusahaan.
Tindakan pegawai yang mencari tambahan keuntungan pribadi atau menggunakan
sumber daya perusahaan untuk dirinya sendiri merupakan tindakan pencurian
karena keduanya berarti mengambil atau menggunakan properti milik orang lain
(perusahaan) tanpa persetujuan pemilik yang sah.
Tindakan memeriksa, menggunakan atau menyalin informasi atau program
komputer merupakan pencurian. Disebut pencurian karena informasi yang
dikumpulkan dalam bank data komputer oleh suatu perusahaan dan program
komputer yang dikembangkan atau dibeli perusahaan merupakan properti dari
perusahaan yang bersangkutan.
c) Insider Trading
Insider trading sebagai tindakan membeli dan menjual saham perusahaan
berdasarkan informasi “orang dalam” perusahaan. Informasi “dari dalam” atau
“dari orang dalam” tentang suatu perusahaan merupakan informasi rahasia yang
tidak dimiliki publik di luar perusahaan, namun memiliki pengaruh material pada
harga saham perusahaan.
Insider trading adalah ilegal dan tidak etis karena orang yang melakukannya
berarti “mencuri” informasi dan memperoleh keuntungan yang tidak adil dari
anggota masyarakat lain. Namun demikian, sejumlah pihak menyatakan bahwa
insider trading secara sosial menguntungkan dan menurut prinsip utilitarian,
tindakan ini seharusnya tidak dilarang, malah dianjurkan.

13
2) Kewajiban perusahaan kepada karyawan
Kewajiban moral dasar perusahaan terhadap pegawai, menurut pandangan
rasional, adalah memberikan kompensasi yang secara sukarela dan sadar telah
mereka setujui sebagai imbalan atas jasa mereka. Ada dua masalah yang berkaitan
dengan kewajiban ini: kelayakan gaji dan kondisi kerja pegawai. Gaji dan kondisi
kerja merupakan aspek-aspek kompensasi yang diterima pegawai dari jasa yang
mereka berikan, dan keduanya berkaitan dengan masalah apakah pegawai
menyetujui kontrak kerja secara sukarela dan sadar. Jika seorang pegawai "dipaksa"
menerima pekerjaan tanpa upah yang memadai atau kondisi kerja yang layak, maka
kontrak kerja tersebut dianggap tidak adil.
a) Upah yang Adil
Dari sudut pandang pekerja, upah adalah sarana utama (mungkin
satu-satunya) untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dasar pekerja dan
keluarga pekerja. Dari sudut pandang majikan, upah adalah biaya produksi
yang harus dijaga agar harga produk tidak keluar dari pasar. Oleh karena
itu, setiap pengusaha menghadapi dilema dalam menetapkan upah yang
adil: Bagaimana keseimbangan yang adil dapat dicapai antara kepentingan
pengusaha dalam meminimalkan biaya dan kepentingan pekerja dalam
menyediakan penghidupan yang layak bagi diri mereka dan keluarganya?
Tidak ada rumus sederhana untuk menentukan “upah yang adil”. Keadilan
upah sebagian bergantung pada dukungan publik yang diberikan
masyarakat kepada pekerja (Jaminan Sosial, Medicare, kompensasi
pengangguran, pendidikan publik, kesejahteraan, dll.), tunjangan non-upah
yang secara tradisional disediakan oleh perusahaan, kebebasan pasar tenaga
kerja, kontribusi dan produktivitas pekerja, kebutuhan pekerja dan keluarga
pekerja, serta posisi kompetitif dan pendapatan perusahaan
b) Kondisi Kerja: Kesehatan dan Keamanan
Bahaya di tempat kerja tidak hanya mencakup kategori yang lebih
jelas dari cedera mekanis, sengatan listrik, dan luka bakar, tetapi juga panas
dan dingin yang ekstrem, mesin yang bising, debu batu, debu serat tekstil,
asap kimia, merkuri, timbal, berilium, arsenik, korosif, racun, kulit iritasi,

14
dan radiasi. Banyak bahaya di tempat kerja tidak dikenali sampai bertahun-
tahun setelah mereka mulai menimbulkan kerusakan pada pekerja. Asbes,
misalnya, membutuhkan waktu sekitar 20 tahun sebelum kanker paru-paru
muncul yang sekarang kita ketahui penyebabnya. Meskipun menghirup
serat asbes telah lama dicurigai sebagai penyebab penyakit paru-paru, itu
tidak secara pasti ditemukan terkait dengan kanker sampai tahun 1964, lama
setelah puluhan ribu pekerja terpapar asbes di galangan kapal dan proyek
konstruksi lainnya.
c) Kondisi Kerja: Kepuasan Kerja
Spesialisasi pekerjaan yang berlebihan memang tidak baik karena
alasan lain, yaitu bahwa cara ini memberikan beban yang tidak adil pada
pekerja. Juga ada banyak bukti bahwa cara ini tidak mendukung efisiensi.
Bagaimana masalah-masalah ketidakpuasan kerja dan kerugian mental ini
ditangani? Hackman, Oldham, Jansen, dan Purdy menyatakan bahwa ada
tiga determinan kepuasan kerja: 1) Arti yang dialami. Seseorang harus
melihat pekerjaannya sebagai sesuatu yang bernilai atau penting melalui
sistem nilai yang diterimanya. 2) Tanggung jawab yang dialami. Dia harus
percaya bahwa dia secara pribadi bertanggung jawab atas hasil kerjanya.
Dan 3) Pengetahuan akan hasil. Dia harus mampu menentukan, secara
teratur, apakah hasil kerjanya memuaskan. Untuk memengaruhi ketiga
determinan tersebut, menurut penulis, pekerjaan haruslah diperluas
sepanjang lima dimensi berikut: 1) Keragaman keahlian. 2) Identitas tugas.
3) Arti penting tugas. 4) Otonomi. Dan 5) Umpan Balik.
Pendeknya, pemecahan masalah ketidakpuasan kerja adalah dengan
memperluas cakupan kegiatan dari pekerjaan-pekerjaan yang sangat
terspesialisasi: memperluas pekerjaan secara "horisontal" dengan
memberikan tugas-tugas yang lebih beragam pada pegawai dan
memperdalam pekerjaan secara "vertikal" dengan memberikan kontrol
yang lebih besar pada pegawai atas tugas-tugas tersebut.

15
2. Organisasi Politik
Analisis politik organisasi yang sekarang kita gambarkan adalah pandangan
organisasi yang dikembangkan lebih baru daripada analisis rasional. Berbeda dengan
model rasional, model politik organisasi tidak hanya melihat garis formal otoritas dan
komunikasi dalam suatu organisasi, juga tidak menganggap bahwa semua perilaku
organisasi dirancang secara rasional untuk mencapai suatu tujuan dan tujuan ekonomi
tertentu seperti profitabilitas. atau produktivitas. Sebaliknya, model politik organisasi
melihat organisasi sebagai sistem koalisi kekuatan yang bersaing dan jalur pengaruh dan
komunikasi formal dan informal yang terpancar dari koalisi ini.
Model politik organisasi mengakui bahwa individu-individu di semua organisasi
sering berkumpul bersama untuk membentuk koalisi yang kemudian saling bersaing untuk
mendapatkan sumber daya, manfaat, dan pengaruh. Akibatnya, tujuan organisasi menjadi
yang ditetapkan oleh koalisi yang paling kuat atau dominan secara historis. Tujuan tidak
diberikan oleh otoritas "yang sah", tetapi ditawar di antara koalisi yang kurang lebih kuat.
Realitas organisasi yang mendasar, menurut model ini, bukanlah otoritas formal atau
hubungan kontraktual, tetapi kekuasaan: kemampuan individu (atau kelompok individu)
untuk mengubah perilaku orang lain dengan cara yang diinginkan tanpa mengubah
perilakunya sendiri dengan cara yang tidak diinginkan.
Perilaku dalam suatu organisasi mungkin tidak ditujukan pada tujuan organisasi
yang rasional seperti efisiensi atau produktivitas, dan baik kekuasaan maupun informasi
dapat berjalan sepenuhnya di luar (bahkan bertentangan dengan) garis wewenang dan
komunikasi formal. Meskipun demikian, otoritas manajerial formal dan jaringan
komunikasi formal menyediakan sumber kekuasaan yang kaya. Kewenangan dan sanksi
formal yang diberikan kepada para manajer merupakan sumber dasar kekuasaan yang
mereka miliki atas pekerja.
Jika kita fokus pada kekuasaan sebagai realitas dasar organisasi, maka masalah
etika utama yang akan kita lihat ketika kita melihat sebuah organisasi adalah masalah yang
berhubungan dengan perolehan dan pelaksanaan kekuasaan. Isu etika sentral tidak akan
fokus pada kewajiban kontraktual dari pengusaha dan karyawan (sebagai model rasional
akan memfokuskan mereka), tetapi pada kendala moral yang penggunaan kekuasaan dalam
organisasi harus dikenakan.

16
a) Taktik Politik dalam Organisasi
Tidak ada definisi yang ditetapkan atas politik organisasional. Untuk tujuan
pembahasan ini, kita bisa menggunakan definisi berikut: proses di mana individu atau
kelompok menggunakan taktik-taktik kekuasaan yang dibentuk secara non-formal
untuk mencapai tujuannya sendiri; kita semua menamakan taktik ini sebagai taktik
politik.
Karena politik organisasional bertujuan untuk mencapai kepentingan individu atau
kelompok (misalnya memperoleh promosi, kenaikan gaji atau anggaran, status, atau
bahkan kekuasaan yang lebih besar) dengan menggunakan kekuasaan-kekuasaan
nonformal atas individu atau kelompok lain, maka individu-individu politik cenderung
menutupi maksud dan metode mereka. Fakta bahwa taktik politik biasanya tersembunyi
memiliki arti bahwa taktik tersebut sangat mungkin mengandung unsur penipuan atau
manipulasi. Berikut taktik-taktik yang mereka laporkan: Menyalahkan atau menyerang
pihak lain, Mengendalikan informasi, Mengembangkan dukungan bagi gagasan
seseorang, Membangun Image, Menjalin hubungan dengan pihak yang berpengaruh,
Membentuk koalisi kekuasaan dan mengembangkan aliansi yang kuat, dan Menciptakan
kewajiban.
b) Etika Taktik Politik
Jelasnya, perilaku politik dalam suatu organisasi dapat dengan mudah menjadi
kejam: taktik politik bisa digunakan untuk mencapai kepentingan pribadi dengan
mengorbankan kepentingan organisasi dan kelompok, bisa menjadi tindakan manipulasi
dan penipuan, serta sangat merugikan pihak-pihak yang hanya sedikit atau tidak
memiliki kekuasaan dan keahlian politik. Namun demikian, taktik politik juga dapat
digunakan untuk tujuan-tujuan organisasi dan sosial, kadang diperlukan untuk
melindungi yang lemah, dan kadang merupakan satu-satunya pertahanan yang dimiliki
untuk menghadapi taktik pihak lain. Dilema bagi individu dalam suatu organisasi adalah
mengetahui batas-batas yang memisahkan taktik politik yang sah dan perlu dilakukan
dengan taktik yang tidak etis.
3. Caring Orgnization
Aspek kehidupan organisasional tidak cukup baik digambarkan dalam model
kontraktual yang merupakan dasar dari organisasi "rasional", ataupun dengan model

17
kekuasaan yang mendasari organisasi "politik". Mungkin aspek tersebut paling tepat
digambarkan sebagai organisasi penuh perhatian (caring), di mana konsep-konsep moral
utamanya sama dengan konsep yang mendasari etika memberi perhatian.
Dalam organisasi caring, kepercayaan tumbuh subur karena "orang merasa wajib
saling memercayai jika mereka melihat diri mereka sebagai pihak-pihak yang saling
membutuhkan dan saling terkait". Karena kepercayaan tumbuh subur dalam organisasi
semacam itu, maka organisasi tidak perlu melakukan banyak investasi untuk mengawasi
para pegawainya dan memastikan bahwa mereka tidak melanggar perjanjian kontraktual.
Dalam model kontraktual, masalah etis penting muncul dari kemungkinan
terjadinya pelanggaran terhadap hubungan kontraktual. Dalam model politik, masalah etis
penting muncul dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Lalu apa masalah etis
penting dari perspektif organisasi caring? Jawabannya adalah memberikan perhatian
terlalu banyak atau kurang banyak.
Karakteristik Organisasi Peduli
Jeanne M. Liedtka menggambarkan organisasi peduli sebagai organisasi, atau bagian dari
organisasi, sebagai entitas di mana kualitas berikut muncul.
 Fokus bukan pada cara terbaik untuk meningkatkan keuntungan atau kualitas, tetapi
pada kepedulian terhadap orang-orang yang membentuk organisasi.
 Peduli bukanlah sesuatu yang dilakukan sebagai sarana instrumental untuk
meningkatkan kualitas atau keuntungan tetapi sebagai tujuan yang dilakukan untuk
kepentingannya sendiri.
 Kepedulian diarahkan pada individu tertentu pada tingkat subjektif dan merupakan
sesuatu di mana masing-masing menjadi asyik.
 Peduli bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan mereka yang dirawat dengan
menggerakkan mereka untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas penuh
mereka untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi yang telah mereka tetapkan untuk
diri mereka sendiri.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembentukan kesadaran moral pada anak sejak dini akan memberikan dampak yang sangat
besar dalam dirinya. Oleh karena itu, anak yang diajari dengan iklim kerja keras dan tanggung
jawab akan cenderung menunjukkan prestasi yang tinggi. Pembentukan kesadaran moral sejak dini
pada anak ini akan tertata dalam pikiran dan hati anak melalui standar yang disampaikan oleh
orangtuanya, kemudian membuat harapan yang mapan, menjalani contoh yang konsisten dan
sampai kepada cita-cita bersama yang berakhir bahagia, damai dan sejahtera.
Keputusan yang diambil pemimpin tentunya akan menghasilkan dampak bagi orang lain.
Idealnya, seorang pemimpin mempunyai integritas yang menjunjung tinggi nilai moral dan etika.
Sehingga, keputusan yang diambilnya adalah mengacu tidak hanya pada kepentingannya sendiri,
melainkan juga kepentingan orang banyak termasuk lingkungannya. Ada lima kriteria dalam
mengambil keputusan yang etis, yaitu utilitarian, universalisme (duty), penekanan pada hak,
penekanan pada keadilan, dan relativisme (self-interest).

19
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2013. Etika (edisi revisi). Yogyakarta: PT Kanisius


Darmawatimks.(2012).pengambilankeputusan.http://darmawatimks.co.id/2012/01/pengambilan-
keputusan. Diakases pada 28 September 2021

Hidayat, Otib Satibi. 2015. Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama. Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka.

Juprilumbantoruan.(2013).pendekatandalampengambilankeputusan.http://juprilumbantoruan.blo
gspot.co.id/2013/10/pendekatan-dalam-pengambilan-keputusan. Diakses pada 28
September 2021

Velasquez Manual G. 2012. Business Ethics Concepts and Cases. Eight Edition. New York.

20

Anda mungkin juga menyukai