A. PENDAHULUAN
1
Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2014), hlm. 186.
1. Lembaga pendidikan Jami’atul Khoir
Jami’atul Khoir berhasil menjadi yayasan pendidikan pada tahun
1905, dimana yayasan tersebut terletak di jalan K.H Mas Mansyur No.
17, kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang di kota Jakarta
Pusat, yang diketuai oleh Said Aboe bakar bin Alie bin Shahab.
Berdirinya yayasan selain karena faktor yang sudah penulis
jelaskan di atas, juga karena ada beberapa faktor yang lain yang
mendorongnya, diantaranya:
a. Belum ada sekolah yang cocok untuk anak-anak muslim, sebab
adanya sekolah pada saat itu hanya khusus disediakan untuk anak
orang-orang Kristen dan kaum bangsawan.
b. Pendidikan agama Islam tidak boleh diajarkan pada sekolah
pemerintahan Kolonial.
c. Semangat para pembaharu Islam yang akhirnya membuka
pemikiran orang Arab/keturunan Arab.
Yayasan pendidikan Jami’atul Khoir mempunyai tingkatan
pendidikan, diantaranya yaitu:
a. TK Tanah Abang
b. TK Depok
c. MI Putra Tanah Abang
d. MI Putri Tanah Abang
e. MTS Tanah Abang
f. MA Tanah Abang
g. Institut Agama Islam Jami’atul Khoir Tanah Abang
2. Konsep pendidikan Jami’atul Khoir
Yayasan Jam’iatul Khoir sangat memperhatikan dua bidang
kegiatan yaitu: 1) pendirian dan pembinaan sekolah pada tingkat dasar, 2)
pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi, akan tetapi
dalam bidang ini sering terhambat karena kekurangan biaya dan juga
kemunduran khilafah.
Sekolah dasar Jami’atul Khoir dalam proses pembelajarannya tidak
semata-mata mempelajari agama, tetapi juga mempelajari pengetahuan
umum seperti berhitung, sejarah dan lain-lain. Bahasa yang digunakan
adalah bahasa Indonesia dan Melayu. Di samping anak-anak keturunan
Arab, anak-anak Indonesia juga terdaftar di sekolahan ini yang
kebanyakan berasal dari Lampung.
Guru-guru yang mengajar adalah guru yang bekualitas, untuk
memenuhi tenaga guru yang berkualitas, Jami’atul Khair mendatangkan
guru-guru dari daerah lain bahkan dari luar negeri untuk mengajar di
sekolah tersebut. Pada tahun 1907 seorang guru dari Padang yang bernama
Haji Muhammad Mansur diminta untuk mengajar di sekolah tersebut
karena pengetahuannya yang luas dalam bidang agam, selain itu juga
karena kemampuannya di dalam bahasa Melayu. Selanjutnya tahun 1911
seorang dari Tunis yang bernama Al-Hasyim didatangkan disamping
mengajar juga memperkenalkan gerakan kepanduan olah raga di
lingkungan sekolah Jami’atul Khair.2
Pada bulan Oktober 1911 ada tiga guru dari luar negeri yang
bergabung ke Jami’atul Khair. Mereka yaitu Syeikh Ahmad Surkati dari
Sudan, Syekh Muhammad Taib dari Maroko dan Syekh Muhammad
Abdul Hamid dari Makkah.
Berbicara tentang konsep pendidikan Jami’atul Khoir, yayasan
pendidikan ini menganut konsep pendidikan konvergensi, maksudnya
yaitu dalam proses pendidikannya menggabungkan antara sistem
pengetahuan umum dan pengetahuan Islam, dimana dapat kita lihat dalam
kurikulumnya yang disamping mempelajari tentang pengetahuan agama,
juga mempelajari pengetahuan umum.
2
Djohan Efendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan
Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, Kompas, 2010, hlm. 63
C. AL-ISHLAH WAL IRSYAD
Syeikh Akhmad Surkati, yang sampai di jakarta pada bulan februari 1912,
seorang alim yang terkenal dalam agama islam, beberapa lama kemudian
meninggalkan jami’at khair dan mendirikan gerakan Agama sendiri bernama Al-
Islah Wal Irsyad, jadi dengan begitu seakan adanya haluan dalam adanya
perubahan untuk Islam atau dengan kata lain dinamakan reformasi.
Yang mana pada tahun 1914, itu berdiri suatu perkumpulan yang
dinamakan dengan Al-Islah Wal Irsyad yang berlanjut terkenal dengan sebutan
Al-Irsyad. Pada saat itu sangat sangat terkenal dari golongan Arab atau dengan
kata lain bukan dari golongan Alawi.
Berlanjut pada tahun 1915 itu didirikannya sekolah Al-Irsyad yang berada
di Jakarta, dengan adanya pendirian yang pertama maka muncullah cabang-
cabang ataupun sekolahan Al-Irsyad yang lain dengan pengembangan pengajian
dan ilmu-ilmu agama yang berdasar pada Al-Irsyad. Dengan begitu
berkembanglah dengan penuh semangat oleh para pemrakarsa, yang mana
pendiri-pendiri Al-Irsyad itu sendiri kebanyakan merupakan pedangan, dari
situlah dijadikannya guru sebagai tempat meminta pendapat dengan kebijaksanaan
yang dikenal dengan pemikiran, penelaahan, sekaligus pengetahuannya yang
luarbisa beliau adalah Syekh Ahmad Surkati. Beliau dilahirkan di Dunggala,
Sudan, tahun 1872, beliau berasal dari keluarga yang taat beragama dan juga
menguasai sekaligus memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an sejak usia yang masih
kecil.3 Walaupun beliau tidak bisa memenuhi impian ataupun keinginannya untuk
belajar di Mesir akan tetapi mampu ke Arab karena situasi dan kondisi yang
membawanya karena saat itu Ayahnya meninggal dunia.
Syekh Akhmad Surkati itu menuntut Ilmu kepada Syeikh Muhammad bin
Yusuf al-Khayyat, beliau dalam menuntut ilmu di Arab yaitu Mekah terhitung
selama sebelas tahun.4 Saat itu pada tahun 1906 beliau diberi penghargaan
sekaligus menerimanya sertifikat yang tingkatannya itu setinggi guru Agama dari
3
Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. PT Bumi Aksara, Jakarta. Hal.162-163
4
Ibid, hal. 163
Pemerintahan Istanbul. Beliau Ahmad Surkati merupakan seorang pelajar sudan
yang pertama menerima sertifikat tersebut. Dan bermula pada tahun 1906 telah
mengajar di Negeri Suci tersebut karena cerdasnya, dan telah mengenal tulisan-
tulisan Abduh. Begitu juga dengan majalah Al-Manar dari Mesir yang mana ia
sering mengunjunginya secara tetap bahkan teratur. Dari situlah beliau ditarik atau
dengan kata lain diminta untuk mengajar di Jakarta karena pada saat itu dari
Jami’at Al-Khairiyah itu membutuhkan guru-guru yang berasal dari Arab untuk
mengajar di Jakarta, sehingga Jami’at Al-Khairiyah waktu itu memberikan
Amanah pada Syeikh yang sering membimbing Jama’ah Haji mencarikan guru-
guru tersebut, dan Al-Hasil Syeikh Ahmad Surkati lah yang kemudian tiba di
jakarta dan mengajar pada tahun 1911. Lalu pada tahun 1913 beliau meninggalkan
Jami’at Al-Khairiyah dan mulai membuka ruang belajar sendiri seperti sekolah,
dan pada waktu itu sekolahnya adalah di rumahnya sendiri yang berkembang
kemudian bergabung dengan Al-Irsyad.
5
Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. PT Bumi Aksara, Jakarta. Hal. 163
Dalam hal yang konkret Al-Irsyad sebenarnya sangat memperlihatkan
fasilitas dan energi yang kapasitasnya lebih besar daripada Jami’at Al-Khair baik
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya maupun hal yang terkait. Karena Al-
Irsyad itu sendiri cenderung sangat loman, artinya uang yang disumbangkan
cenderung bernilai banyak dibandingkan Jami’at Al-Khair. Dengan begitu mulai
adanya persusulan inisiatif kawank-kawan yang ada di jakarta dengan pendirian
cabang-cabang Al-Irsyad di Cirebon, Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Surabaya, dan
Lawang. Adanya berbagai cabang yang didirikan itu tidak hanya pada sekolah-
sekolah tingkat tinggi, melainkan sekolah umum tingkat rendah juga banyak.
Yang mana pada tahun 1930 an untuk cabang di surabaya itu mendirikan sekolah
guru 2 (dua) tahun dan sebuah sekolah dasar tingkat rendah berbahasa belanda
yang bernama Schakelschool. Begitu pula jenis sekolah yang ada di jakarta itu
sangat beragam.
Al-Irsyad pada awal didirikan itu terdiri dari kalangan anak-anak Arab,
walau dalam jumlah yang lebih kecil anak-anak Indonesia yang asli dari sumatra
dan kalimantan. Kalau di luar Jakarta dan Surabaya untuk murid-muridnya terdiri
dari anak-anak keluarga setempat saja, jadi pada saat itu kebanyakan dari anak-
anak penghulu, guru, dan beberapa dari pegawai pemerintah.
Lulusannya pun umumnya menjadi guru dan juga pedagang, dan ada
beberapa yang menjadi pegawai pemerintah seperti yang bekerja di kantor-kantor
masalah pribumi (kantoor oor Inlandse Zaken). Lalu pada tahun 1930 an
Organisasi Al-Irsyad tersebut mengeluarkan Beasiswa untuk beberapa lulusannya
guna lanjut belajar di luar negeri terutama di Mesir seperti Impian daripada Syekh
Ahmad Surkati pada saat itu.
6
Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. PT Bumi Aksara, Jakarta. Hal. 165
pertemuan selain itu juga menerbitkan buku dan pamflet-pamflet serta melalui
maas-media untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan pembaharuan sekaligus
pemurnian ajaran agama Islam dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan As-
sunnah.
D. PENDIDIKAN AL IRSYAD
1. Pemikiran Surkati Tentang Pendidikan
Di Indonesia Ahmad Surkati mendirikan lembaga Al-Irsyad, yang
mempunyai prinsip gerakan sebagai berikut:
a. Untuk mengukuhkan doktrin persatuan dengan membersihkan shalat
dan doa dari kontaminasi unsur politheisme.
b. Untuk mewujudkan kesetaraan antara kaum muslim dann mencari dalil
shahih dalam Al-Qur’an dan sunnah serta mengikuti jalan yang benar
untuk semua solusi masalah agama yang diperdebatkan.
c. Untuk memerangi taqlid am (penerimaan membabi buta) yang
bertentangan dengan dalil aqli dan naqli.
d. Untuk mensyairkan pengetahuan alam sesuai Islam dan menyebarkan
kebudayaan arab yang sesuai dengan ajaran Allah.
e. Mencoba untuk menciptakan pemahaman dua arah antara dua muslim
yaitu Indonesia dan Arab.
Pengembangan Al Irsyad dapat dipahami sebagai sebuah terobosan
baru di Indonesia terutama dalam hal pembaharuan masyarakat Islam,
Ahmad Surkati tidak hanya mereformasika keadaan masyarakat, melarang
sesuatu, tetapi juga memberi solusi cerdas, sehingga apa yang
dilakukannya mendapat sambutan yang baik dikalangan masyarakat.
Adapun konsep pengembangan yang dilakukan oleh Ahmad
Surkati pada Al-Irsyad yaitu sebagi berikut:
a. Memperbaiki kondisi religious dan sosio ekonomi kaum muslim pada
umumnya dan Arab pada khusunya dengan mendirikan madrasah,
rumah piatu, panti asuhan, dan rumah sakit.
b. Menyebarkan reformasi Islam diantara para muslim melalui tulisan
dan publikasi, pertemuan, kuliah, kelompok studi dan misi tertentu.
c. Membantu organisasi lain demi kepentingan bersama.
Dari konsep pengembangan tersebut, mengindikasikan bahwa agama
tidak dapat tegak secara sempurna tanpa dukungan ekonomi yang mapan
dan tingkat pendidikan yang memadai. Untuk mewujudkan keadaan
tersebut maka perlu kerja sama dengan organisasi lain yang mempunyai
visi dan misi yang sama. Peluang tersebut dimanfaatkan Ahmad Surkati
dalam mengembangkan Al-irsyad.7
Untuk mendukung perombakan dan reformasi pendidikan Indonesia,
Ahmad Surkati mendirikan pendidikan berjenjang yaitu:
a. Madrasah Awaliyah berjenjang tiga tahun
b. Madrasah Ibtidaiyah berjenjang empat tahun
c. Madrasah Tajhiziyah berjenjang dua tahun
d. Sekolah Tinggi yang dinamakan takhassus.
7
B. Affandi, Syaikh Akhmad Surkati (1874-1943) Pembaharuan dan Pemurni Islam di
Indonesia. (Jakarta: Alkautsar, 1999), hlm. 6-7.
Adanya perjenjangan dalam institusi pendidikan yang dilakukan
Ahmad Surkati membuktikan keseriusannya dalam mengembangkan
pengetahuan dan syi’ar Islam di Indonesia.8
2. Sistem Pendidikan
Ahmad Surkati menyatakan bahwa system pendidikan hendaknya
mencerminkan kebutuhan masyarakat. Artinya bahwa pendidikan
hendaknya mampu mengakomodasikan kebutuhan yang ada dalam
masyarakat dan pendidikan harus bersinergi dengan nilai-nilai ketuhanan
dan kemanusiaan. Hal ini akan terwujud apabila pendidikan diarahkan dan
dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakat pada saat itu serta
disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. 9
Tujuan pendidikan menurut Ahmad Surkati lebih mengacu kepada
perlindungan terhadap manusia dari keterbelakangan dan keangkuhan diri
sendiri, terutama dalam posisinya sebagai khalifah Allah didunia ini.
Lebih lanjut tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Ahmad Surkati
mengisyaratkan perlunya perhatian khusus terhadap permasalahan,
problem, keadaan individu peserta didik, yang mengalami berbagai macam
perbedaan latar belakang, ekonomi, budaya, kemampuan, bakat dan
potensi, maka dari itu perlindungan terhadap setiap individu peserta didik
menjadi sangat penting demi tercapainya pribadi yang paripurna
berdasarkan apa yang ada pada peserta didik.
Ramayulis dan Samsul Nizar memahami dan menyimpulkan tujuan
pendidikan Islam yang di definisikan oleh Ahmad Surkati lebih tertuju
pada pengembangan konsep tauhid bagi manusia. Adanya pengembangan
konsep tauhid tersebut diharapkan manusia akan:
a. Membaca ayat-ayat qauliyah yang terdapat dalam wahyu Allah.
b. Membaca ayat-ayat kauniyah yang terdapat di alam raya.
8
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia cetakan IV. (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2011), hlm. 113.
9
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Cet I, Jakarta: PT Hidakarya
Agung, 1996), hlm. 307.
c. Mengembangkan, memberdayakan, dan memelihara potensi alam
sesuai dengan kehendak Allah.
Al-Irsyad merupakan kurikulum modern, dalam arti ada semacam
kurikulum yang dibuat secara khusus. Materi dan kitab disesuaikan
berdasarkan tingkat dan waktu lama belajar santri/siswa. Dalam
oprasionalnya kegiatan pembelajaran dilakukan secara sistematis,
berurutan dimulai dari awal pada setiap kitab yang akan dipelajari sampai
pada bab penutup. Demikian juga dalam merujuk dan menggunakan kitab,
biasanya dari kitab yang termudah, kemudian dilanjutkan kepada kitab
yang dianggap paling sulit.
Materi pelajaran yang diajarkan adalah Bahasa Arab, Qawaid,
Nahwu, Sharaf, Balaghah, Bahasa Belanda, agama Islam dari Al-Qur’an
beserta tafsirnya, hadis dengan Musthalah hadisnya, ilmu hitung, ilmu
bumi, ilmu ukur/handasah, ilmu mantiq, ilmu tarikh, dan ilmu tata buku.
Konsep diatas terlihat bahwa kurikulum yang disusun oleh Ahmad Surkati
menunjukkan keahliannya dalam bidang kurikulum, kurikulum yang
disusunnya memberi peluang pada siswa untuk berkembang dan
berkompeten si berdasarkan kemampuan dan bakat yang mereka miliki. 10
E. Kesimpulan
11
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Cet I, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 81-85.
Bahwa Jami’atul Khoir adalah sebuah organisai pertama dengan bentuk
modern, yang bertujuan untuk membantu fakir miskin untuk menatap masa
depan, karena pendiri organisasi ini mayoritas orang kaya. Akan tetapi karena
organisasi ini juga terjun dalam bidang ekonomi dan politik, akhirnya menjadi
sebuah yayasan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi B, Sukarti Syaikh Akhmad (1874-1943). 1999. Pembaharuan dan
Pemurni Islam di Indonesia. Jakarta: Alkautsar.